CAMPUR KODE PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA PERANCIS DI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
T E S I S
Oleh
WINDI SAHPUTRA BARUS 167009019/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
CAMPUR KODE PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA PERANCIS DI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
WINDI SAHPUTRA BARUS 167009019
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
CAMPUR KODE PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA PERANCIS DI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
ABSTRAK
Proses komunikasi yang melibatkan campur kode merupakan satu alternatif untuk menghindari kesalahpahaman saat berkomunikasi dalam masyarakat bilingual. Dengan memanfaatkan bidang ilmu sosiolinguistik maka proses tersebut dapat diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk campur kode, mendeskripsikan faktor penyebab munculnya campur kode, dan mendeskripsikan realisasi campur kode dalam pembelajaran bahasa Perancis pada tuturan percakapan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis.
Metode yang digunakan melalui pendekatan kualitatif. Data terbagi atas dua yaitu data kualitatif berupa data tuturan dan data kuantitatif berupa angket atau kuisioner. Data kualitatif didapatkan menggunakan metode simak dengan teknik sadap. Sedangkan data kuantitatif didapatkan menggunakan kuisioner tertutup.
Hasil penelitian ini meliputi; Bentuk campur kode berupa 1) penyisipan unsur bahasa Perancis dalam bentuk kata, yang terdapat pada kata nomina, numeral, verba (infinitif dan konjugasi), Adverbia ( tanya dan waktu), dan adjektiva; 2) Dalam bentuk frasa, yaitu frasa nomina (benda dan numeral), frasa verba, dan frasa adverbia; 3) Dalam bentuk klausa, yaitu klausa nomina, klausa numeral, klausa verba, dan klausa adverbia; dan 4) dalam bentuk idiom. Hasil penelitian berikutnya yaitu faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode dikarenakan mengekspresikan identitas kelompok, memenuhi kebutuhan leksikal nyata, membicarakan topik tertentu, mengutip orang lain, melakukan pengulangan untuk klarifikasi niat, menegaskan tentang sesuatu, mengklarifikasi isi percakapan, dan melembutkan atau memperkuat permintaan atau perintah. Hasil berikutnya menunjukkan bahwa campur kode memiliki peranan penting dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Perancis hal ini dibuktikan dengan seringnya tuturan mahasiswa yang melibatkan campur kode dalam pembelajaran bahasa Perancis.
Kata kunci: Sosiolinguistik, Bahasa Perancis, Campur Kode, Bentuk, Faktor.
CODE MIXING TO STUDENTS OF FRENCH LANGUE EDUCATION STUDY PROGRAMS AT UNIVERSITY OF THE STATE MEDAN
ABSTRACT
The communication process involving a code mixing is an alternative to avoid misunderstandings when communicating in a bilingual community. By utilizing sociolinguistics, the communication activities can be analyzed. This study aims to change the form of code mixing, describe the causes of interfering code mixing, and describe the realization of code mixing in French language learning base of the discourses from the students French language education study program. The method used through a qualitative approach. The data obtained is divided into two, qualitative data in the form of data recording conversational discourse and quantitative data in the form of questionnaires qualitative data obtained using the method refer to tapping technique. While quantitative data obtained using a closed-ended question. Data sources are student’s in French language education study programs. The results are the forms of code mixing were;1) insertion of elements of French in word form, They are nouns, numerals, verbs (infinitive and conjugation), adverb (question and time), and adjectives; 2) the terms of phrases, they are noun phrases (objects and numerals), verb phrases, and adverb phrases;3) the form of clauses, they are noun clauses, numeral clauses, verb clauses, and adverb clauses; and 4) idiomatic form. The other result about the factors that cause code mixing are; expressing group identity, Because of real lexical need, discussing a particular topic, quoting someone else, repetition used for clarification of intention, asserting something, clarifying the contents of the conversation , and to soften or strengthen requests or orders. The next results show that code mixing has an important role in improving students' ability to communicate using French, this is evidenced by the frequency of student speech involving code mixing in learning French.
Keyword: Sociolinguistic, French, code mixing, Forms, Factors.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu. Tesis ni merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Magister Linguistik Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, M.Hum 2. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Bapak Dr. Budi
Agustono, M.S.
3. Ketua Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Eddy Setia, M.Ed TESP, yang dalam kesempatan ini juga sebagai Penguji yang telah membimbing, membantu, dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Sekretaris Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. yang pada kesempatan ini juga sebagai Penguji yang telah memberikan motivasi- motivasi dan arahan serta masukan-masukan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis.
5. Pembimbing pertama, Bapak Mhd. Pujiono, M.Hum., Ph.D. yang memberikan arahan dengan baik, dukungan yang positif, serta bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan kendala-kendala dalam penulisan tesis.
6. Pembimbing kedua, Ibu Dr. Hesti Fibriasari, M.Hum yang telah memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepeda penulis dalam penyelesaian tesis.
7. Penguji, Bapak Dr. Andi Wete Polili, M.Hum yang telah memberikan arahan serta masukan-masukan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis.
8. Para dosen yang mengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana universitas Sumatera Utara yang telah mengajarkan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ASBTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
PERNYATAAN ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Batasan Masalah ... 12
1.3 Rumusan Masalah ... 12
1.4 Tujuan Penulisans ... 12
1.5 Manfaat Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1 Konsep ... 14
2.1.1 Bahasa dalam Konteks Sosial ... 14
2.1.2 Kedwibahasaan dan Diglosia ... 17
2.1.3 Kode ... 20
2.1.3.1 Variasi Bahasa/ Ragam Bahasa ... 22
2.1.3.2 Gaya Bahasa ... 25
2.1.3.3 Register (Dialek) ... 26
2.1.4 Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa ... 27
2.1.5 Campur Kode ... 31
2.1.6 Kontribusi Sosiolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa.... 33
2.2 Landasan Teori ... 35
2.3 Penelitian Relevan ... 48
2.4 Kerangka Berpikir ... 51
BAB III METODE PENELITIAN ... 53
3.1 Pendekatan Penelitian ... 53
3.2 Objek Penelitian ... 54
3.3 Data dan Sumber Data... 54
3.4 Lokasi ... 55
3.5 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data... 56
3.6 Analisis Data ... 56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60
4.1 Pengantar ... 60
4.2 Analisis Data ... 60
4.2.1 Bentuk Campur Kode pada Wacana Percakapan Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Perancis di UNIMED ... 71
4.2.1.1 Campur kode berupa penyisipan unsur bahasa Perancis dalam bentuk kata ... 71
4.2.1.2 Campur kode berupa penyisipan unsur bahasa Perancis dalam bentuk Frasa ... 76
4.2.1.3 Campur kode berupa penyisipan unsur bahasa Perancis dalam bentuk klausa ... 79
4.2.1.4 Campur kode berupa penyisipan unsur bahasa Perancis dalam bentuk idiom ... 83
4.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Campur Kode pada Wacana Percakapan Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Perancis di UNIMED ... 84
4.2.2.1 Mengekspresikan Identitas Kelompok ... 84
4.2.2.2 Karena Kebutuhan Leksikal Nyata ... 85
4.2.2.3 Berbicara Tentang Topik Tertentu... 86
4.2.2.4 Mengutip Orang Lain ... 87
4.2.2.5 Pengulangan Dilakukan untuk Klarifikasi ... 88
4.2.2.6 Menjadi Tegas Tentang Sesuatu ... 88
4.2.2.7 Niat untuk Mengklarifikasi Isi Percakapan ... 89
4.2.2.8 Untuk Melembutkan atau Memperkuat Permintaan atau Perintah ... 90
4.2.3 Realisasi Campur Kode pada Wacana Percakapan Mahasiswa Dikaitkan dengan Pembelajaran Bahasa Perancis ... 91
4.2.3.1 Penggunaan Bahasa Campur oleh Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Perancis ... 91
4.2.3.1.1 Penggunaan Bahasa Campur Saat Bercengkrama ... 92
4.2.3.1.2 Penggunaan Bahasa Campur Saat Memberi Tahu Sesuatu ... 93
4.2.3.1.3 Penggunaan Bahasa Campur Saat Meminta Pertolongan... 94
4.2.3.1.4 Penggunaan Bahasa Campur Saat Menyapa ... 95
4.2.3.1.5 Penggunaan Bahasa Campur Saat Berdiskusi ... 96
4.2.3.2 Realisasi Campur Kode pada Wacana Percakapan Mahasiswa Dikaitkan dengan Pembelajaran Bahasa Perancis ... 98
4.2.3.2.1 Bahasa ... 98
4.2.3.2.2 Pembelajaran Bahasa ... 99
4.2.3.2.3 Bahan Ajar ... 99
4.2.3.2.4 Konteks ... 100
4.3 Pembahasan ... 100
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 103
5.1 Simpulan... 103
5.2 Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 105
GLOSARIUM ... 108 LAMPIRAN I
LAMPIRAN II LAMPIRAN III
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
4.1. Campur Kode dalam Bentuk Kata ... 72
4.2. Campur Kode dalam Bentuk Frasa ... 76
4.3. Campur Kode dalam Bentuk Klausa ... 80
4.4. Campur Kode dalam Bentuk Idiom ... 83
4.5. Penggunaan Bahasa Campur saat Bercengkrama ... 92
4.6. Indeks dan Interval Penilaian Bahasa Campur saat Bercengkrama... 92
4.7. Penggunaan Bahasa Campur saat Memberitahu Sesuatu ... 93
4.8. Indeks dan Interval Penilaian Bahasa Campur saat Memberi Tahu Sesuatu ... 93
4.9 Penggunaan Bahasa Campur saat Meminta Pertolongan ... 94
4.10 Indeks dan Interval Penilaian Bahasa Campur saat Meminta Pertolongan... 94
4.11 Penggunaan Bahasa Campur saat Menyapa ... 95
4.12 Indeks dan Interval Penilaian Bahasa Campur saat Menyapa ... 95
4.13 Penggunaan Bahasa Campur saat Berdiskusi ... 96
4.14 Indeks dan Interval Penilaian Bahasa Campur saat Berdiskusi ... 96
4.15 Besar Penggunaan Bahasa Campur ... 97
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1.1. Diskusi mahasiswa Prodi Pendidikan BP semester III di kantin ... 4
1.2. Diskusi mahasiswa Prodi Pendidikan BP semester 5 di kelas ... 9
2.1 Proses pengkodean ... 22
2.2 Kerangka Berfikir... 51
DAFTAR SINGKATAN
Adj = Ajektiva
Adv = Adverbia
CK = Campur Kode
Fem = feminin
Fn = Frasa Nomina
Fnum = Frasa Numeral
Fv = Frasa Verba
Inf = Infinitif
Kadv = Klausa Adverbia
Kn = Klausa Nomina
Knum = Klausa Numeral
Konj = Konjungsi
Kv = Klausa Verba
Mas = Masculin
Num = Numeral
Plu = plurièl
UNIMED = Universitas Negeri Medan
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Data Wacana Percakapan Melibatkan Campur Kode
LAMPIRAN 2. Angket Penggunaan Bahasa Campur pada Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Perancis di UNIMED
LAMPIRAN 3. Data Angket Penggunaan Bahasa Campur LAMPIRAN 4. Contoh Isian Data Angket
LAMPIRAN 5. Surat Permohonan Pengajuan Penelitian LAMPIRAN 6. Surat Keterangan Melaksanakan Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Komunikasi tersebut dilakukan untuk menyampaikan gagasan, bertukar pikiran, atau memberikan informasi dan juga sebagai cara manusia menjalin hubungan atau relasi kepada orang lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Keraf (2009: 2), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sehubungan dengan ungkapan tersebut dapat dikatakan bahwa bahasa dan masyarakat merupakan dua bagian yang tidak dapat terpisahkan. Hal ini dikarenakan kedudukan Masyarakat yang erat kaitannya dengan bahasa, begitupun sebaliknya, bahasa yang pada dasarnya memang melekat pada masyarakat. Hal tersebut cenderung karena di dalam masyarakat ada interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa di dalam masyarakat memiliki fungsi yang sangat luas. Keraf (2009: 3) berpendapat bahwa sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud, melahirkan perasaan, dan memungkinkan kita menciptakan kerjasama dengan sesama warga. Selain itu, Chaer dan Agustina (2010: 14) juga mengungkapkan bahwa fungsi bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, dan juga perasaan. Sehingga peran bahasa dalam kehidupan masyarakat sangat penting dan tidak tergantikan. Oleh sebab itu, masyarakat dituntut untuk menggunakan
bahasa dengan bijaksana supaya pesan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah diterima oleh orang lain.
Berdasarkan pada deskripsi tersebut, maka penggunaan bahasa dalam masyarakat dapat dikaji baik secara internal dan ataupun eksternal. Kajian Internal yaitu analisa yang berfokus pada interen bahasa saja, yaitu yang melekat pada bahasa tersebut (aspek dan teori linguistik). Sedangkan kajian secara eksternal merupakan analisa yang fokus pembahasannya ialah hal-hal yang berada di luar bahasa tetapi tetap berkaitan dengan pemakaian bahasa itu dengan kelompok masyarakat dimana bahasa tersebut digunakan. Pengkajian Bahasa secara eksternal dengan cangkupan yang lebih luas tentu saja melibatkan lebih dari satu disiplin ilmu, seperti ilmu sosiolinguistik yang termasuk dalam ilmu interdisipliner yang merupakan gabungan antara dua disiplin ilmu yaitu sosiologi dan linguistik.
Sosiolinguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Sosiolinguistik merupakan cabang dari ilmu linguistik yang mempelajari hubungan dan pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Seperti yang dikatakan oleh Fishman (1972: 4) :
“Sosiolinguistics is the study of the caracteristics of language varieties, the carakteristics of their functions,and the characteristics of their speakers as these three constlantly interact, change and change one another within a speech community.‖
Artinya, sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi–fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat. Sedangkan Chaer dan Agustina (2010:2) berpendapat bahwa intinya sosiologi itu adalah kajian
yang objektif mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat, sedangkan pengertian linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Adapun kajian utama sosiolinguistik mencakup pada kegiatan berbahasa sekelompok masyarakat dalam sebuah lingkungan. Kajian ini dimanfaatkan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dalam kelompok sosial. Sosiolinguistik memberikan pedoman untuk berkomunikasi dengan menunjukkan ragam bahasa yang sering kali digunakan dalam situasi dan orang-orang tertentu.
Berdasarkan sudut pandang ilmu sosiolinguistik, bahasa memandang berbagai macam variasi sosial yang tidak dapat dipecahkan oleh kerangka teori struktural.
Seorang sosiolinguistik harus dapat menjelaskan hubungan antara variasi-variasi itu dengan faktor-faktor sosial. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini tentu saja tidak ada istilah . Hal ini terlihat dari salah satu ungkapan oleh Bell (1976: 252)
―There are not single style speaker of a language because each individual control and uses a variety of linguistic style and no one speaks in exactly the same way in all circumstances.‖ (Tidak ada pembicara dalam berbahasa yang menggunakan gaya bahasa yang sama. Hal ini dikarenakan setiap individu mengontrol dan menggunakan keanekaragaman gaya bahasa dan tidak seorang pun berbicara sama persis dalam sebuah lingkungan). Dengan demikian, variasi bahasa, seperti ragam (formal atau informal); tingkat tutur (speech level), register, dialek, sosiolek, dan sebagainya,
dengan berbagai fenomena pemakaian bahasanya dikontrol oleh faktor-faktor yang bersifat sosial dan situasional. Hal tersebut dapat terlihat dari seringnya ditemukan di dalam kalangan sosial, ketika interaksi bahasa yang melibatkan lebih dari satu pemakaian bahasa dalam berkomunikasi, seperti data percakapan 1 berikut ini :
Gambar 1.1 Diskusi mahasiswa semester 3 di kantin A : kita mau pigi kemana we ?
(1) B : shopping aja lah yok ke carefour. gimana?
(2) C : allez-y, suntuk juga ga da kegiatan..
(3) A : oke, let’s go guys
C : tapi tunggulah bentar wee., biar siap ini dulu., A : tugas apa rupanya cha?
(4) C : resumé Mme. Rabiah., belum siap punyaku., (5) A : oh la la! Nantikan bisa lo..,
Dapat dilihat dalam percakapan tersebut seperti normalnya percakapan sehari-hari, namun ternyata ada hal tertentu yang menjadi fokus Penulisan ini, yaitu adanya proses pergantian bahasa atau ragam bahasa yang terjadi dalam interaksi bahasa tersebut yang terjadi diakibatkan oleh keadaan atau keperluan saat berbahasa. Hal tersebut juga tidak terlepas dari komponen bilingualitas (kemampuan dalam dua bahasa). Dalam berbahasa, si A, B dan C, melakukan percakapan secara santai antar teman, penggunaan bahasa asing yang disisipkan pada bahasa indonesia pada kalimat yang diutarakan seperti pada kata shopping, carefour, allez-y, oke let’s go guys, resumé Mme, oh la la!. Ungkapan-ungkapan tersebut berdampak pada pemakaian
kata yang lebih pas untuk menyampaikan pesan atau maksud. Sehingga interaksi bahasa yang berlangung berjalan dengan baik tanpa terjadinya salah maksud.
Kemampuan dalam menguasai lebih dari satu bahasa disebut kedwibahasaan.
Kridalaksana (2008: 36). Individu dikatakan dwibahasawan karena mampu menguasai dua bahasa atau lebih dalam komunikasinya. Individu sebagai dwibahasawan yang dimaksud selain menguasai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, juga menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi. Bahkan, tidak sedikit dari mereka menerapkan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, bahasa Perancis, ataupun bahasa asing lainnya. Bahasa asing yang dimaksud merupakan bahasa yang dipelajari yang banyak diterapkan. Selain itu, Murniati (2015: 2) mengungkapkan bahwa kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat. Penggunaan dari dua bahasa tersebut dapat menyebabkan terjadinya alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).
Kridalaksana (2008:40) mengungkapkan bahwa campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Selain itu, Chaer dan Agustina (2010:114), campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya. Campur Kode di dalam masyarakat bilinguial/multilingual menciptakan adanya hubungan timbal balik antara fungsi dan peran kebahasaan.
Peran dalam arti kata sosok/individu yang menggunakan bahasa tersebut, ditandai dengan status sosial penutur, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Sedangkan fungsi menunjukkan hal yang ingin dicapai oleh penutur dengan menggunakan campur kode.
Fenomena campur kode memang sudah banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya dalam situasi nonformal, dalam situasi formal pun campur kode sering terjadi, misalnya dalam proses pembelajaran. Proses belajar di Universitas misalnya, tempat yang sering melibatkan interaksi aktif yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Dosen sebagai fasilisator dituntut untuk dapat menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mahasiswa.
Penggunaan bahasa dalam interaksi belajar mengajar, pada dasarnya harus menggunakan bahasa yang jelas dan dapat dipahami oleh mahasiswa. Dosen dituntut memberikan informasi sesuai dengan pola-pola dan kaidah penggunaan bahasa yang dapat ditangkap dan dipahami oleh mahasiswa. Salah satu strategi agar informasi dapat ditangkap mahasiswa, dosen menggunakan lebih dari satu bahasa dalam interaksi pembelajaran selama perkuliahan. Hal ini merujuk pendapat Nababan (1993:
12) yang mengatakan bahwa campur kode dapat ditemukan dalam situasi formal karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Peristiwa campur kode ini sering ditemukan salah satunya di ruang lingkup prodi pendidikan Bahasa Perancis Universitas Negeri Medan. Dikutip dari laman resmi UNIMED (https://www.unimed.ac.id/) disebutkan bahwa Prodi pendidikan bahasa Perancis UNIMED termasuk salah satu prodi yang kompeten baik dari segi manajemen ataupun akademis salah satunya yaitu jumlah persentase standar kualifikasi dosen yang telah ditentukan oleh DIKTI sebesar 60 % dan jumlah yang diperoleh Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis telah jauh dibanding dengan
standar yang telah ditentukan DIKTI. Hal ini merupakan kekuatan Prodi Pendidikan Bahasa Perancis karena mempunyai sumber daya manusia dengan kualifikasi pendidikan yang memadai. Selain itu, program studi pendidikan bahasa Perancis melakukan kerjasama secara internal dengan program studi, jurusan, dan fakultas lain di dalam Unimed dalam rangka pertukaran dosen pengampu mata kuliah, dengan lembaga di luar Unimed dalam hal praktek pengajaran lapangan terpadu (PPLT), penelitian, praktek dari mata kuliah français du tourisme (pemandu wisata), dan français de l’hôtellerie (table manner). Sebagai salah satu prodi dengan fokus didikannya adalah bahasa Perancis sebagai salah satu bahasa Asing yang dipelajari di Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, bahasa Perancis merupakan bahasa asing yang harus dipelajari setelah bahasa inggris dikarenakan sudah banyak negara maju dan berkembang yang menggunakan bahasa Perancis, dibeberapa negara bahasa Perancis telah menjadi bahasa resmi tidak hanya itu bahasa Perancis juga telah digunakan dalan urusan delegasi internasional karena itulah bahasa Perancis termasuk bahasa yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.
Bahasa Indonesia dan bahasa Perancis memiliki kemiripan diantara bentuk katanya. Terdapat kata-kata Bahasa Prancis yang diserap oleh Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Belanda yang menyerap Bahasa Prancis. Beberapa kata dari Bahasa Prancis sudah dikenal sehingga lebih mudah mempelajarinya. seperti Déjà vu, restaurant, café, menu, dan dessert. Bahasa Inggris dan Belanda menyerap kata dari Bahasa Perancis sehingga terdapat kosa kata Bahasa Perancis yang mirip dengan bahasa Indonesia misalnya kudeta yang berasal dari kata coup d’etat, sepeda (velocipede), tante (tant), akur (accord), karoseri (carrosserie), kado (cadeau), dan
trotoar (trottoir). Lembaga atau institusi yang mengajarkan Bahasa Prancis sudah tersebar di Indonesia dan terdiri atas peminat bahasa tersebut. Hal ini terbukti dari Universitas dan juga Sekolah Menegah Atas ataupun kejuruan yang sudah menjadikan bahasa Perancis sebagai salah satu mata kuliah ataupun mata pelajaran seperti UNIMED. Bahasa Perancis diajarkan di sekolah sebagai bahasa resmi kedua di 32 negara. Bahasa Prancis adalah Bahasa resmi negara: Swiss, Kanada, Pantai Gading, Luxemburg, Monako, Kongo and Nigera. Negara-negara ini disebut francophonie. Bahasa Perancis juga menjadi bahasa resmi kedua negara- negara: Maroko, Tunisia, Algeria, Lebanon, Suriah, Laos, Kamboja dan Vietnam.
Selain itu, bahasa Perancis pernah menjadi bahasa kaum ningrat dan diplomasi di seluruh Eropa dan saat zaman Kekaisaran Ottoman, bahasa Perancis menjadi bahasa internasional pertama sebelum digantikan oleh bahasa Inggris pada pertengahan abad 20.
Di Prodi pendidikan bahasa Perancis sendiri, dalam interaksi bahasanya tentu saja banyak terjadi peristiwa campur kode, baik antar sesama mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, ataupun sesama dosen. Selain itu, proses tersebut juga bisa terjadi baik antara situasi formal ataupun informal, baik dalam pelajaran di dalam kelas ataupun di luar kelas. Secara umum bahasa yang sering kali digunakan oleh mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Perancis UNIMED adalah bahasa Indonesia. Namun, bahasa Perancis sebagai bahasa asing yang di pelajari di prodi tersebut menuntut mahasiswa/i untuk bisa berkomunikasi juga dalam bahasa Perancis. Namun pada saat mengadakan percakapan baik formal ataupun informal, sering kali terdapat penyisipan (frasa, klausa, dsb) dalam bahasa Perancis. Kegiatan berbahasa tersebut baik mahasiswa
ataupun dosen dalam proses pembelajaran pasti akan menentukan pilihan bahasa mana yang akan digunakan seperti Peristiwa bahasa berupa menyampaikan informasi, menjelaskan sesuatu, kegiatan berdiskusi, menginginkan sesuatu, atau kegiatan tanya jawab, dan sebagainya. Berbagai proses kegiatan yang disebutkan di atas tentu saja menciptakan adanya percakapan yang menggunakan campur kode di kalangan mahasiswa dan dosen pada saat pembelajaran bahasa Perancis di UNIMED.
Dalam proses pembelajaran di kelas, khusus pembelajaran bahasa Perancis, sering kali terjadinya campur kode selama berlangsungnya proses belajar mengajar, seperti data percakapan 2 berikut ini:
Gambar 1.2 Diskusi mahasiswa prodi pendidikan BP semester V di kelas P1 : Quelle-est la redacteur de votre film? Redacteur c’est-a-dire…
P2 : Redacteur? Un journalist? Journal?
P1 : iya., penulis., itu kan., itu kan film kan.., P2 : oui.. parlez français s’il vous plait..
P1 : c’est un film n’est-ce pas?
P2 : oui.,
(6) P1 : owh., iya kan., alors, quelle., apa tadi ya., la redacteur de votre film., apa..
P2 : cette film.,
(7) P1 : le film,apa.. du vers film, gitu aja susah kalipun.
D : c’est tout?
(8) P1 : oh., di ganti aja Mme, di ganti aja deh Mme., nggak.., biar lebih nampak., inilah
ya biar lebih gampang ya, quelle-est le nom de redacteur? Silahkan..
Berdasarkan pada data awal pada penelitian ini, penggalan percakapan dari kegiatan perkuliahan mahasiswa semester V prodi pendidikan bahasa Perancis UNIMED pada 03 oktober 2018 mata kuliah reception ecrite élèmentaire. Campur kode yang ditemukan dari penggalan percakapan tersebut adalah campur kode ekstern. Faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode pada penggalan percakapan tersebut adalah (1) situasi dan (2) kosa-kata. Penguasaan kosakata bahasa Perancis tentu menjadi faktor penting agar dapat melakukan komunikasi dengan baik selama kelas berlangsung. Pada gambar 1.1 dua mahasiswa yang merupakan satu kelompok belajar (P2) sedang melakukan presentasi singkat dengan meresume sebuah film Perancis, percakapan tersebut dimulai pada saat sesi tanya jawab dimulai oleh peserta (P1) bertanya kepada P2 tentang penulis dari film tersebut (Quelle-est la redacteur de votre film? Redacteur c’est-a-dire…) namun terjadi kesalahpahaman dikarenakan P2 kurang mengerti pertanyaan yang diajukan P1, dan pada akhir penggalan tersebut P1 mengganti pertanyaannya menjadi lebih sederhana (quelle-est le nom de redacteur?).
Berdasarkan data percakapan 1 dan 2, ditemukan perbedaan-perbedaan baik dari pilihan bahasa seperti tuturan santai dan juga bahasa formal, kosa kata bahasa yang digunakan, maupun situasi berbahasanya. Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasi bahwa dalam proses bertutur cakap yang melibatkan adanya peristiwa campur kode tentu saja dikarenakan adanya pengaruh faktor-faktor tertentu sehingga terjadinya campur kode tersebut, hal tersebut yang telah ditunjukkan pada kedua penggalan wacana diatas. Hal ini juga berarti bahwa faktor penyebab terjadinya campur kode bermacam-macam. Bisa dikarenakan faktor keterbatasan kata dalam bahasa Indonesia sehingga penutur menggunakan sisipan bahasa lain sebagai
pengganti.atau bahkan faktor lainnya yang mempengaruhi sehingga terjadinya campur kode tersebut. Fokus dalam penelitian ini adalah bentuk dari campur kode yang muncul dalam percakapan oleh mahasiswa prodi Pendidikan BP. Selain itu, dalam tulisan ini juga dianalisis pengaruh campur kode di kalangan mahasiswa Prodi Pendidikan BP.
Berkaitan dengan Penulisan relevan, Penulis merujuk pada sejumlah artikel seperti ―Alih kode dan campur kode dalam pembelajaran bahasa indonesia di SMP Negeri 12 Kerinci‖ oleh Nelvia Susmita; Artikel berjudul ―Code-switching and code- mixing in theaching-learning process” oleh Ansar tahun 2017 di English education:Jurnal Tadris Bahasa Inggris; Manurung dalam tesisnya yang berjudul Campur kode pada program acara Pro 2 FM radio republik Indonesia stasiun medan pada tahun 2010. Tulisan lain yang menjadi rujukan adalah Polili dalam tesisnya dengan judul perilaku pilih bahasa dan alih kode dikalangan mahasiswa program studi bahasa Perancis universitas negeri medan (Suatu Kajian Sosiolinguistik) pada tahun 2001. Tentunya perlu dilakukan tindak lanjut yang lebih mendalam lagi seperti bentuk campur kodenya, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa campur kode dalam pembelajaran bahasa Perancis, mengapa dalam pembelajaran tersebut terjadi campur kode, dan lain-lain. Hal tersebut mendorong Penulis untuk menindak lanjuti lebih dalam lagi terkait campur kode pada Mahasiswa pendidikan bahasa Perancis di Universitas Negeri Medan.
1.2 Batasan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, fokus Penulisan ini dibatasi pada wacana percakapanan di Prodi Pendidikan Bahasa Perancis UNIMED yang melibatkan proses campur kode.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang menjadi fokus dalam Penulisan ini adalah : 1) Apasajakah bentuk campur kode pada wacana percakapan mahasiswa Prodi
Pendidikan Bahasa Perancis UNIMED?
2) Bagaimanakah faktor penyebab munculnya campur kode pada wacana percakapan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Perancis UNIMED?
3) Bagaimanakah realisasi campur kode pada wacana percakapan mahasiswa prodi pendidikan bahasa Perancis dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Perancis?
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pelaksanaan Penulisan ini yaitu :
1.) mengidentifikasi bentuk campur kode yang terdapat pada wacana percakapan Prodi Pendidikan Bahasa Perancis UNIMED
2.) Mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya campur kode pada Prodi Pendidikan Bahasa Perancis UNIMED
3.) Mendeskripsikan realisasi campur kode pada wacana percakapan mahasiswa prodi pendidikan bahasa Perancis dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Perancis.
1.5 Manfaat Penulisan
Pada dasarnya, Penulisan terhadap suatu hal dilakukan untuk memperoleh jawaban dan suatu manfaat. Adapun manfaat yang diperoleh dalam Penulisan ini terbagi atas dua bagian, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian kebahasaan dan juga sosiolinguistik berupa penggunaan bahasa kedua dalam berkomunikasi dalam kalangan masyarakat multilingual yang terkait dengan campur kode serta proses pembelajaran bahasa bagi semua lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa asing seperti bahasa Perancis.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan untuk bisa memahami kultur bahasa termasuk variasi bahasa yang beragam dari bentuk campur kode yang muncul di kalangan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Prancis UNIMED, dan juga proses pembelajaran bahasa kedua yang mempengaruhi pengguna bahasa tersebut, sehingga dengan mengetahui hal tersebut penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan dan wawasan bagi instansi pendidikan khususnya terkait metode yang tepat dalam pembelajaran bahasa Asing di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Bahasa Dalam Konteks Sosial
Keraf (2009: 2) menyebutkan ada dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Adapun pengertian yang kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang menggunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi sebagai alat yang digunakan untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial. Namun dari sudut pandang sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab dikemukakan Fishman yang telah disebutkan sebelumnya bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah
“Who speak what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa itu, antara lain, dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode dan amanat pembicaraan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa adalah faktor- faktor yang diungkapkan oleh Hymes (1964) dengan akronim SPEAKING.
Kemudian, Nababan (1993: 7) menjabarkan akronim tersebut sebagai berikut: Setting dan Scen; Participant atau orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tutur; End
(purpose and goal ); Act Sequence berupa bentuk, isi pesan dan topik yang akan dibicarakan dalam komunikasi; Key / tone of spirit of art;
Instrumentalis, yaitu tuturan akan dipakai dalam komunikasi; Norm of intersection and interpretation Unsur norma atau tuturan yang harus dimengerti; dan Genres yaitu unsur berupa jenis penyampaian pesan. Kedelapan faktor berbahasa tersebut yang lebih dikenal dengan akronim SPEAKING oleh Hylmes digunakan penulis sebagai penunjuk ataupun penanda apakah interaksi berbahasa yang dilakukan oleh penutur dan lawan bicara (mahasiswa ke mahasiswa – mahasiswa ke dosen – dosen – dosen, dsb) dalam penelitian ini termasuk dalam kegiatan berbahasa ataupun memenuhi sebagian besar atau keseluruhan faktor tersebut.
Dilihat dari konteks sosial, bahasa dipelajari sebagai suatu proses sosial yang membentuk budaya, karenanya bahasa tidak mungkin dikaji lepas dari faktor sosial budaya yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran diantara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, situasi komunikasi, situasi sosial, pendidikan, usia, serta jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.
Bahasa selain merupakan bagian dari unsur budaya, juga merupakan sarana dalam mengungkapkan nilai-nilai budaya dari masyarakat penuturnya. Oleh karena itu pemahaman atas unsur-unsur budaya suatu komunitas masyarakat di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan sebelumnya menjadi faktor yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Sederhananya bagi mahasiswa Universitas Negeri Medan yang mempelajari bahasa Asing yaitu bahasa Perancis tentu dituntut untuk mempelajari bahasa itu tidak hanya pada struktur kalimat
ataupun terjemahannya saja, tetapi lebih dari itu, fungsi bahasa, kebudayaan, dan faktor-faktor lainnya diluar konsep semantik atau sintaksis juga menjadi pemahan tersendiri bagi mereka.
Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya bagaian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkan berbeda dengan bahasa lainnya. Hubungan yang terdapat diantara bahasa dan masyarakat yaitu adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunanya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat.
Misalnya dalam dunia pendidikan dikenal sebutan ragam baku, dan untuk kegiatan sehari-hari dirumah digunakan ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis digunakan ragam usaha, dan untuk kegiatan pencipta karya sastra (puisi atau novel) digunakan ragam sastra.
Sebagai produk sosial budaya masyarakat, bahasa harus dipahami dari dua aspek bentuk dan makna. Karena bahasa yang dihasilkan masyarakat tidak hanya berupa deretan tanda-tanda tanpa arti tetapi deretan tanda yang memuat konteks makna dan nilai. Dengan kata lain, setiap bahasa yang dituturkan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari konteks makna dan nilai. Karena pengguna bahasa memiliki karakteristik majemuk, akibatnya bahasa pun memiliki sejumlah karakteristik berbeda. Misal, masyarakat dapat dibedakan berdasar umur, jenis kelamin, status sosial, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Tentu saja bahasa yang digunakan masyarakat tersebut memiliki ciri berbeda.
2.1.2 Kedwibahasaan dan Diglosia
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan (Chaer, 2004: 84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer di atas, dapat dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari. Selain itu, ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Bloomfield (1933: 56) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like control of two languages. Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu mengoperasikan dua sistem kode bahasa yang berbeda secara baik. Namun Pendapat tersebut masih dianggap lemah oleh pakar lainnya karena syarat dari native like control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakan di setiap keadaan dan situasi dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya.
Weinrich (1968: 1) menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‗The practice of alternately using two language‘, yaitu kebiasaan dari seseorang yang menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian di dalam satu wacana percakapan. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tersebut tidak diwajibkan harus menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Dengan kata lain, bahasa kedua tidak mesti dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas pendukung guna mempermudah proses interaksi dalam percakapan. Merujuk pada pemikiran Weinrich lah penulis melakukan penelitian terhadap mahasiswa Universitas Negeri Medan (Prodi
Pendidikan Perancis) yang sedang dalam tahapan mempelajari (bukan menguasai) bahasa Perancis. Karena pada tahap mempelajari ini, akan banyak ditemukan peristiwa percakapan yang melibatkkan campur kode pada situasi tertentu.
Pendapat lain, Chaer (2004: 86) menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism). Menurutnya, bilingualisme tingkat awal ini yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat rendah. Permasalahan mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama, sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua. Penggunaan bahasa yang seperti itu disebut sebagai diglosia (Aslinda dan syafyahya., 2007: 26).
Pengertian diglosia boleh dikatakan sama dengan bilingualisme, tetapi diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, yakni terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Berkenaan dengan hal di atas, Alwasilah (1990:136) memberikan batasan diglosia seperti berikut.
―Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek- dialek utama suatu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa- bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan (sering kali secara gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi,
sebagai wahana dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa.‖
Selain itu, Chaer dan Agustina (2010: 122) juga mengungkapkan bahwa diglosia adalah (1) suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek-diallek utama ( lebih tepat ragam-ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain, (2) dialek-dialek utama itu, diantaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional, dan (3) ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:- sudah terkodifikasi, -gramatikalnya lebih kompleks, -merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati, - dipelajari melalui pendidikan formal, -digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal, dan –tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.
Jika pengertian tersebut dijabarkan ke dalam contoh, maka diketahui kedudukan diglosia tersebut sebagai berikut.
―Di sebuah kota besar di Indonesia seperti Jakarta terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia.‖ (Sumarsono, 2007: 40)‖
fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan msing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan,
ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan (khotbah). Dari penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia adalah persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing ragamnya mempunyai peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung kepada situasi.
2.1.3 Kode
Dalam proses berkomunikasi yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari- hari, seseorang yang menyampaikan maksudnya (berbicara) sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan bicaranya. Kode-kode tersebut haruslah dapat dipahami dengan baik oleh kedua belah pihak, baik si penutur sendiri atapaun lawan bicaranya.
Hal ini dikarenakan di dalam proses pengkodean jika mitra bicara atau pendengar memahami apa yang dikodekan si penutur, maka pendengar pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang disarankan oleh penutur. Tindakan yang dimaksud misalnya berupa memutuskan pembicaraan mengulangi pernyataan.
Dalam berbahasa terkandung beberapa macam kode, di dalam satu kode terdapat kemungkinan variasi rasional, untuk kelas sosial, gaya maupun register. Dengan demikian, bahasa merupakan level yang paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian-varian dan ragam serta gaya dan register sebagai sub-sub.
Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara orang satu dengan orang lain. Bagi masyarakat yang monolingual kode terjadi dari varian-varian satu bahasa, tetapi bagi masyarakat yang multilingual kode terjadi dari varian satu bahasa atau lebih dari dua bahasa atau lebih. Secara garis besar, kode dapat dibedakan menjadi tiga, dialek, ragam, dan tingkat tutur atau undha usuk. Dialek dapat dibedakan berdasarkan geografis, sosial, usia, jenis kelamin, aliran dan suku. Tingkat tutur dapat dibedakan menjadi tingkat tutur hormat dan tidak hormat. Ragam dibedakan menjadi ragam suasana, ragam komunikasi dan ragam register. Istilah kode juga dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Perancis, Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Batak, Karo, Melayu), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak). Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
Brook dan Emmert (1976: 4) menggambarkan proses pengkodean sebagai berikut :
Gambar 2.1 Proses Pengkodean
Berdasarkan gambar tersebut, proses pengkodean berlangsung ketika penutur berbicara. Seperti yang di tunjukkan oleh garis panah di gambar tersebut menunjukkan bagaimana proses encoding –decoding yang berlangsung antara speaker dan hearer yang mana proses tersebut berlangsung secara berulang selama dalam percakapan.
2.1.3.1 Variasi Bahasa / Ragam Bahasa
Sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh sama penutur bahasa tersebut. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia homogen, wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam atau bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam (Chaer, 2004: 61) Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri atas berbagai orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena itu, karena latar belakang dan lingkungan yang tidak sama
maka bahasa yang mereka gunakan bervariasi atau beragam, di mana antara variasi atau ragam yang satu dengan yang lain sering kali mempunyai perbedaan yang besar.
Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam (Chaer, 2004: 62).
Chaer (2004: 62) membedakan variasi berdasarkan kriteria (1) latar belakang geografis dan sosial penutur, (2) medium yang digunakan, (3) pokok pembicaraan.
Halliday dalam Chaer dan Agustina (2004: 62) membedakan variasi bahasa berdasarkan (1) pemakaian yang disebut dialek, dan (2) pemakai yang disebut register. Kemudian, Chaer (2004: 62) membedakan variasi bahasa menjadi empat, yaitu variasi dari segi penutur, variasi dari segi pemakai, variasi dari segi keformalan, dan variasi dari segi sarana. Variasi bahasa dilihat dari segi penutur terdiri dari (1) idiolek yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan yang berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya, (2) dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada dalam satu tempat, wilayah, atau area tertentu, (3) kronolek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu, dan (4) sosiolek atau dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya (Chaer, 2004: 62-64).
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi bahasa berdasarkan bidang
pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan ini biasanya memunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain.
Namun, variasi berdasarkan bidang kegiatan ini tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis (Chaer, 2004: 68) Berdasarkan tingkat keformalannya, Chaer (2004: 70) membagi variasi atau ragam bahasa ini atas lima macam gaya (Style) yaitu gaya atau ragam baku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).
Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi- situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan raat atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Ragam santai atau ragam kasual yaitu variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antaranggota keluarga atau antarteman yang sudah karib. Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini,
dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya dalam bertelepon dan bertelegraf (Chaer, 2004: 72).
2.1.3.2 Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan istilah style “stylus”. Pada perkembangan berikutnya, kata style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2009: 112). Selain itu, Tarigan (2009: 4) mengemukakan bahwa gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak atau pembaca. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan diri sendiri melalui bahasa. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu kejujuran, sopan santun, dan menarik. Pengertiannya kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Sopan santun yang dimaksud memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca, sedangkan menarik berarti harus bervariasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalisasi) dan penuh daya khayal (Keraf, 2009 : 113-115). Menurut Tarigan (2009 : 7) gaya bahasa ada 4 yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Dari keempat gaya bahasa tersebut masih dikelompokkan lagi menjadi beberapa macam, misalnya gaya bahasa perbandingan dikelompokkan lagi menjadi perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonofikasi, alegori, antithesis, pleonasme, antisipasi, serta koreksi. Kemudian
gaya bahasa pertentangan dikelompokkan lagi menjadi hiperbola, litotes, ironi, paronomasia, paralefsis, zeugma, satire, innuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof, apofasis, histeron proteron, hipalase, sinisme, serta sarkasme.
2.1.3.3 Register/Dialek
Chaer dan Agustina (2010: 81) Berdasarkan sejarahnya register pada mulanya ialah mots de leur terroir (kata-kata di atas tanahnya) yang di dalam perkembangannya menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan di dalam karya-karya sastra dan bahasa daerah. Di dalam perkembangannya, salah satu dialek bahasa daerah tersebut mulai diterima sebagai bahasa baku oleh berbagai daerah pemakai dialek-dialek karena adanya unsur subjektif maupun objektif.
Menurut Chaer dan Agustina (2010: 82-85) berdasarkan pemakaian bahasa, dialek dibedakan menjadi 4 macam seperti berikut ini:
1. Dialek regional
Dialek regional merupakan varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu.
Misalnya, bahasa Indonesia dialek Ambon, dialek Jakarta dialek Medan.
2. Dialek sosial
Dialek sosial adalah dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai strata sosial tertentu. Misalnya, dialek remaja.
3. Dialek temporal
Dialek temporal yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu.
Misalnya, dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
4. Idiolek
Idiolek, keseluruhan ciri bahasa seseorang yang khas pribadi dalam lafal, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam dialek itu disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan atau penjajahan. Hal yang tidak boleh dilupakan ialah peranan dialek atau bahasa yang bertetangga di dalam proses terjadinya suatu dialek itu. Dari dialek dan bahasa yang bertetangga itu, masuklah anasir kosakata, struktur, dan cara pengucapan atau lafal. Setelah itu kemudian ada di antara dialek tersebut yang diangkat menjadi bahasa baku, maka peranan bahasa baku itu pun tidak boleh dilupakan. Sementara pada gilirannya, bahasa baku tetap terkena pengaruhnya baik dari dialeknya maupun dari bahasa tetangganya. Selanjutnya, dialek berkembang menuju dua arah, yaitu perkembangan membaik dan perkembangan memburuk.
2.1.4 Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa
Batasan sikap bahasa dikemukan oleh Lambert (1967: 91-102) bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan gagasan yang digunakan dalam proses berpikir; (2) Komponen afektif menyangkut masalah penilaian suka atau tidak suka terhadap sesuatu; dan (3)
Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir melalui komponen inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap keadaan yang dihadapinya. Melalui ketiga komponen tersebut, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap tersebut umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman ―menyenangkan‘ atau
―tidak menyenangkan‖ yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen tersebut tidak sejalan. Apabila ketiga komponen tersebut sejalan, maka bisa diramalkan perilaku menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.
Berkaitan dengan pemilihan bahasa, Chaer, (2004: 78) menyebutkan beberapa faktor yang dapat memengaruhi pemilihan bahasa, antara lain: (1) Kemampuan penutur, biasanya penutur akan lebih banyak menggunakan bahasa yang lebih dikuasainya; (2) Kemampuan pendengar, biasanya penutur juga cenderung menggunakan bahasa yang digunakan oleh pendengar, hal tersebut terjadi apabila penutur sama-sama menguasai bahasa pertama dan kedua; (3) Umur, orang yang lebih dewasa cenderung menggunakan bahasa kedua untuk menunjukkan rasa kepemilikannya terhadap suatu tempat; (4) Status sosial, pada situasi tertentu seseorang akan menggunakan suatu bahasa yang menunjukkan strata sosial yang tinggi; (5) Derajat hubungan, terkadang seseorang menggunakan suatu bahasa pada pertemuan pertama, namun menggunakan bahasa yang lain ketika hubungannya sudah semakin dekat; (6) Hubungan etnis, seseorang terkadang berbicara suatu
bahasa dengan orang seetnis; (7) Tekanan dari luar, apabila suatu bahasa tidak disukai dalam suatu masyarakat karena suatu sebab, maka pemilik bahasa hanya akan menggunakan bahasanya dalam rumah seperti sembunyi-sembunyi; dan (8) Tempat, terkadang pemilihan bahasa dengan menggunakan asas pembagian integratif, menggunakan bahasa pertama di dalam rumah dan bahasa kedua di luar rumah misalnya. Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia berkaitan dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing.
Seseorang dapat menentukan sikap bahasa dan pemilihan bahasa yang digunakannya sesuai jika mengetahui ranah dan juga peran yang dimilikinya dalam peristiwa tutur. Fasold (1990: 183) menyebutkan bahwa the domain analysis is taken as “constellations of factors of location, topic and participant” dimana domain (ranah) ditetapkan sebagai hubungan peran dan status, lingkungan dan pokok bahasan tertentu. Ia juga menyebutkan bahwa ranah adalah konsepsi teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga.
Polili (2001: 14) mengungkapkan bahwa seorang individu tidak hanya memiliki satu status dan satu peranan saja. Ia mempunyai beraneka ragam status yang lain, masing-masing dengan perangkatnya, disertai dengan berbagai peranan yang mengikatnya masing-masing juga dengan perangkatnya, sehingga kesemuanya merupakan suatu jaringan status peranan yang kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peranan dari penutur dalam setiap tuturannya. Ungkapan tersebut digambarkan Bell (1976: 111-112) peranan seorang anak dalam satu keluarga inti terdiri dari bapak, ibu, kakak kandung, dan adik kandung. Hubungan peran tersebut dapat dilihat dari gambar berikut:
Domain dalam keluarga
Peran-perana dalam keluarga
Hubungan peran dalam keluarga inti
Ket:
Ba = bapak An = anak
Ib = ibu Sk = Saudara kandung
Sumber, (Polili, 2001: 15)
Ba Ib
An Sk
Ba Ib
An Sk
Gambaran tersebut digunakan untuk mendapatkan hubungan peran pada mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Perancis UNIMED sebagai berikut (mahasiswa-teman sekelas, mahasiswa- adik kelas, mahasiswa- kakak kelas, mahasiswa-Dosen)
2.1.5 Campur Kode
Sumarsono (2007:202-203) menyatakan bahwa ―campur kode terjadi apabila penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu‖. Selain itu Suwandi (2008: 87) menyebutkan bahwa campur kode ialah penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal dengan akrab. Dengan kata lain, campur kode merupakan dua unsur bahasa yang saling mempunyai keterkaitan dalam penggunaannya. Berdasarkan pendapat tersebut, campur kode terjadi apabila bahasa digunakan mengandung unsur yang berbeda jenisnya tetapi masih mempunyai keterkaitan dalam fungsinya. Sebagai bahan acuan untuk mengkaji lebih jauh lagi tentang campur kode, pendapat di atas sangat berguna untuk mencari bahasa yang terindikasi bahasa yang mengandung campur kode. Dengan kata lain, campur kode dalam bahasa tulis terjadi apabila terdapat dua unsur bahasa yang sengaja digunakan secara berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain.
Jendra (1991: 123) menyebutkan bahwa ―seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu, yaitu adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (Language dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu bahasa namun, unsur bahasa lain mempunyai fungsi dan peranan yang
berbeda‖. Lebih lanjut Jendra (1991: 124) memberikan ciri-ciri campur kode yaitu sebagai berikut;
1. Campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan seperti dalam gejala alih kode, tetapi bergantung kepada pembicaraan (fungsi bahasa).
2. Campur kode terjadi karena kesantaian pembicara dan kebiasaanya dalam pemakaian bahasa.
3. Campur kode pada umumnya terjadi dalam situasi tidak resmi (informal).
4. Campur kode berciri pada ruang lingkup klausa pada tingkat tataran yang paling tinggi dan kata pada tataran yang paling terendah.
5. Unsur bahasa sisipan dalam peristiwa campur kode tidak lagi mendukung fungsi bahasa secara mandiri tetapi sudah menyatu dengan bahasa yang sudah disisipi.
Selain itu, jendra (1991: 123) juga menyebutkan bahwa campur kode terbagi menjadi dua tipe jika dilihat dari latar belakang terjadinya, yaitu:
1. Tipe yang berlatar belakang pada sikap penutur (attitudinal type) Tipe yang berlatar belakang pada sikap meliputi:
a. untuk memperhalus ungkapan;
b. untuk menunjukkan kemampuannya;
c. perkembangan dan perkenalan dengan budaya baru.
2. Tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan (linguistic type) Tipe berlatar belakang pada kebahasaan meliputi:
a. lebih mudah diingat;
b. tidak menimbulkan kehomoniman;
c. keterbatasan kata;
d. akibat atau hasil yang dikehendaki.
Jendra (1991: 132) menyebutkan bahwa campur kode terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli (intern) dengan segala variasinya Dikatakan campur kode kedalam (intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geologis, hal ini dikarenakan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian bahasa sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode intern umumnya masih dalam satu wilayah politis yang tidak berbeda.
2. Campur kode ke luar/ ekstern (outer code-mixing):
Dikatakan campur kode ekstern apabila antara bahasa sumber dengan bahasa secara politis. Campur kode ekstern ini terjadi diantaranya karena kemampuan sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis ataupun secara geologis Dengan demikian hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar dua bahasa yang terlihat.
2.1.6 Kontribusi Sosiolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa
Aplikasi sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa adalah sebagai manifestasi sosiolinguistik dalam bidang linguistik pendidikan. Sosiolinguistik sebagai bagian dari linguistik makro tidak hanya membahas aspek-aspek yang sempit, namun juga berbagai aspek yang luas, seperti variasi bahasa, interferensi sebagai bentuk
penyimpangan bahasa, dan etnografi komunikasi sebagai wujud masyarakat yang beraneka budaya. Oleh karena itu, kontribusi utama sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa adalah mengenai perhatiannya pada perbedaan antara penggunaan bahasa di kelas dengan di rumah dan di lingkungan sosial siswa (Spolsky dan Hult, 2008: 76). Selain itu, berkembangnya berbagai pendekatan dan metode pembelajaran bahasa pun tidak terlepas dari peran sosiolinguistik ini.
Peran sosiolinguistik yang lain adalah terhadap berkembangnya berbagai pendekatan serta metode pembelajaran bahasa. Hal ini diawali dari konsep communicative competence yang digagas oleh Hymes. Konsep ini menekankan pada competence to communicate (Bagaric dan Djigunovic, 2007: 98). Berdasarkan konsep ini, kompetensi bahasa seseorang ditandai dengan pengetahuan yang menyeluruh mengenai sistem bahasa yang dimaksud, termasuk penggunaannya dalam komunikasi riil. Hal ini menggeser konsep mengenai pembelajaran bahasa yang telah ada sebelumnya, yang lebih menitikberatkan pada struktur bahasa dibandingkan pada fungsi bahasa itu sendiri sebagai alat komunikasi (linguistik struktural).
Berdasarkan pada peran-peran sosiolinguistik yang telah diuraikan di atas, maka disimpulkan bahwa kontribusi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa pada umumnya sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran tersebut.
Tanpa adanya teori-teori sosiolinguistik yang disisipkan dalam materi, maka pembelajaran akan kering dari kondisi penggunaan bahasa dalam lingkungan yang senyatanya, yaitu masyarakat. Tidak mustahil apabila pembelajaran bahasa hanya berfokus pada tataran struktur bahasa saja, tanpa pernah mempertimbangkan bagaimana bentuk bahasa tersebut jika digunakan untuk berkomunikasi dalam