B.Populasi dan Sampel ... 45
C.Variabel Penelitian ... 46
D.Pengembangan Instrumen Penelitian ... 46
E. Skala Sikap ... 58
F. Lembar Obsevasi ... 59
G.Pengembangan Bahan Ajar ... 60
H.Teknik Pengumpulan Data ... 61
I. Teknik Pengolahan Data ... 61
J. Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian ... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 72
1. Deskripsi Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Matematis 72 2. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 74
3. Kemampuan Penalaran Matematis ... 90
4. Skala Sikap Siswa ... 105
5. Hasil Observasi ... 110
B.Pembahasan Hasil Penelitian ... 111
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 120
B.Saran ... 121
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Tabel Weiner tentang Keterkaitan Antar Variabel Bebas, terikat
dan kontrol ... 43
3.2 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 47
3.3 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 48
3.4 Interpretasi koofisien Validitas ... 51
3.5 Interpretasi Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis ... 51
3.6 Uji Validitas Tes Penalaran Matematis ... 52
3.7 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 53
3.8 Klasifikasi Daya Pembeda ... 55
3.9 Daya Pembeda Tes Komunikasi ... ... 55
3.10 Daya Pembeda Tes Penalaran Matematis ... 56
3.11 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 57
3.12 Tingkat Kesukaran Butir Soal Komunikasi Matematis ... 57
3.13 Tingkat Kesukaran Butir Soal Penalaran Matematis ... 57
3.14 Klasifikasi N-Gain...………. 65
4.1 Hasil Test Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Matematis berdasarkan Metode Pembelajaran dan Kemampuan Awal Matematis Siswa ... 73
4.3 Uji Homogenitas Hasil Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan
Komunikasi Matematis ... 77 4.4 Hasil Uji t Pretes dan Postes Kemampuan
Komunikasi Matematis ... 79 4.5 Analisis Varians Gain Kemampuan Komunikasi Matematis
menurut Metode Pembelajaran dan kelompok Tingkat Kemampuan Awal Siswa ... 82 4.6 Hasil Anova Dua Jalur Gain Ternormalisasi Kemampuan Komunikasi
Matematis Antar Kelompok Berdasarkan Klasifikasi Kemampuan Awal Siswa ... 85 4.7 Uji Perbedaan RerataGain Ternormalisasi Kemampuan Komunikasi
Matematis Antar Kelompok Berdasarkan Klasifikasi
Kemampuan Awal Matematis ... 86 4.8 Uji Normalitas Hasil Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan
Penalaran Matematis ... 91 4.9 Uji Homogenitas Hasil Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan
Penalaran Matematis ... 92 4.10 Hasil Uji t Pretes dan Postes Kemampuan Penalaran Matematis ... 94 4.11 Analisis Varians Gain Kemampuan Penalaran Matematis
menurut Metode Pembelajaran dan kelompok Tingkat Kemampuan Awal Siswa ... 97
4.12 Hasil Anova Dua Jalur Gain Ternormalisasi Kemampuan Penalaran Matematis Antar Kelompok Berdasarkan
Penalaran Matematis Antar Kelompok Berdasarkan Klasifikasi
Kemampuan Awal Matematis ... 101 4.14 Distribusi Skor Siswa terhadap Pelajaran Matematika...107 4.15 Distribusi Skor Sikap Siswa terhadap Pembelajaran dengan
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 4.1 Kurva Interaksi antara Metode Pembelajaran dan Kemampuan
Awal Siswa dalam Peningkatan Kemampuan Komunikasi
Matematis ... 83 4.2 Kurva Interaksi antara Metode Pembelajaran dan Kemampuan
Awal Siswa dalam Peningkatan Kemampuan Penalaran
DAFTAR DIAGRAM
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Rencana Pembelajaran ... 131
2 Lembar Kerja Siswa ... 152
3 Instrumen Tes... 178
4 Skala Sikap... 186
5 Pedoman Observasi ... 189
6 Analisis Hasil Uji Coba Soal ... 191
7 Analisis Data Pretes dan Postes ... 199
8 Analisis Uji Normalitas dan Homogenitas... 211
9 Analisis Uji Perbedaan Rerata ... 215
10 Analisis Hasil Uji Coba Anova Dua Jalur ... 223
11 Sebaran Jawaban Skala Sikap dan Pedoman Penskoran Skala Sikap ... 225
12 Foto Kegiatan Penelitian ... 227
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era teknologi canggih seperti sekarang ini dan lebih-lebih di era perdagangan bebas ternyata peran Sumber Daya Manusia (SDM) sangat menentukan. Alasannya, hanya bangsa yang memiliki SDM yang bermutu tinggi yang akan mampu dan akan tetap berperan dalam persaingan global yang akan berlangsung sangat keras. Salah satu upaya yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan SDM adalah melalui bidang pendidikan. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan prestasi dirinya.
Proses pembelajaran matematika merupakan salah satu bagian dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi, yang diharapkan dengan proses ini tujuan pendidikan akan dapat dicapai antara lain dalam bentuk terjadinya perubahan sikap, keterampilan, serta meningkatnya kemampuan berpikir siswa. Hal ini senada dengan pernyataan Ebbutt dan Straker (dalam Suhitno, 2003:6) yang berpendapat bahwa matematika sekolah atau yang kemudian disebut sebagai matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan, kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan, kegiatan problem solving dan kegiatan komunikasi.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menjadi acuan pembelajaran di Indonesia merinci empat jenis kemampuan penting yang harus
dikuasai oleh siswa, di antaranya: pemecahan masalah (problem solving), penalaran (reasoning), komunikasi (communication) dan menghargai kegunaan matematika sebagai tujuan pembelajaran matematika SD, SMP, SMA dan SMK, disamping tujuan yang berkaitan dengan pemahaman konsep seperti yang sudah dikenal selama ini. Dari uraian di atas jelas bahwa kemampuan berkomunikasi (communication ability) dan kemampuan bernalar (reasoning ability) merupakan bagian kompetensi matematika yang harus dicapai dalam pembelajaran matematika.
Kemampuan komunikasi dalam matematika merupakan kemampuan mendasar yang harus di miliki oleh siswa. Melalui kemampuan komunikasi akan tergambar kemampuan siswa dalam menginterpretasi dan mengekspresikan penguasaan tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari. Hal ini disampaikan oleh Adele Leonhardy (dalam Gie, T.L: 1999) menyatakan bahwa matematika tidak hanya dipakai sebagai suatu alat, tetapi matematika juga merupakan bahasa. Salah satu rahasia kekuatan matematika adalah perlambangan yang abstrak, yang merupakan suatu bahasa penuh dalam dirinya sendiri.
Reys (Suherman dkk, 2003) mengatakan bahwa matematika merupakan suatu bahasa. Matematika sebagai suatu bahasa tentunya sangat diperlukan untuk dikomunikasikan baik secara lisan maupun tulisan sehingga informasi yang disampaikan dapat diketahui dan dipahami oleh orang lain. Seperti apa yang dikemukakan Cockroft (Shadiq, 2004: 19), ‘We believe that all these perceptions of the usefulness of mathematics arise from the fact that mathematics provides a
Pernyataan ini menunjukkan tentang perlunya para siswa belajar matematika dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak membingungkan.
Sebagai contoh untuk notasi 20 ⨉ 4 dapat digunakan untuk menyatakan berbagai hal seperti: luas permukaan kolam dengan ukuran panjang 20 meter dan lebar 4 meter, banyaknya roda pada 20 buah mobil, atau jarak tempuh sepeda motor selama 4 jam dengan kecepatan 20 km/jam. Contoh ini telah menunjukkan bahwa suatu notasi, yaitu 20 ⨉ 4 dapat menyatakan suatu hal yang berbeda. Selain itu, lambang, gambar, dan tabel dapat juga digunakan untuk menyampaikan informasi. Bayangkan jika siswa tidak mempunyai kemampuan komunikasi dalam matematika, bagaimana mereka dapat menyatakan suatu notasi dengan makna yang berbeda? Tentu saja notasi 20 ⨉ 4 menjadi tidak bermakna.
Ungkapan yang senada juga disampaikan Sumarmo (2002) yang mengungkapkan bahwa untuk memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa terlibat secara aktif dalam diskusi, siswa dibimbing untuk bisa bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan. Pembelajaran yang diberikan menekankan pada penggunaan strategi diskusi, baik diskusi dalam kelompok kecil maupun diskusi dalam kelas secara keseluruhan.
Berdasar pada pengetahuan yang berkait dengan penalaran dan komunikasi tersebut, didasarkan juga pada Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 tentang Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang dapat dijadikan acuan oleh guru SMA, diharapkan guru pengajar matematika dapat menyusun instrumen pembelajaran yang dapat melatih dan mengukur kemampuan bernalar dan berkomunikasi dari peserta didik. Menurut dokumen di atas, indikator yang dapat menunjukkan kemampuan komunikasi adalah : (a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; (b) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematik, secara tertulis dengan benda nyata, gambar, dan aljabar; (c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (d) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi. Indikator yang dapat menunjukkan penalaran adalah: : (a) Membuat analogi dan generalisasi; (b) Memberikan penjelasan dengan menggunakan model; (c) Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematika; (d) Menyusun dan menguji konjektur. Dokumen tersebut menyatakan juga bahwa ketika akan memasukkan nilai ke dalam rapor, hasil penilaian terhadap indikator yang menunjukkan bahwa siswa telah kompeten dalam kemampuan penalaran dan komunikasi dimasukkan ke dalam aspek penilaian penalaran dan komunikasi.
rendah. Salah satu indikator yang menunjukan hal tersebut adalah hasil survey UNESCO (dalam Subiyanto, 2005) terhadap anak usia 15 tahun di 43 negara menempatkan Indonesia sebagai negara terendah bersama Albania dan Peru dalam hal basic skill yang meliputi kemampuan matematika, membaca, dan sains. Hal ini menunjukan bahwa prestasi belajar matematika siswa masih rendah. Hasil analisis Trend in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007 (Sugianti, 2009:1) rata-rata skor metematika siswa di Indonesia untuk setiap kemampuan yang diteliti yaitu kemampuan pengetahuan, penerapan dan penalaran masih dibawah rata-rata skor matematika siswa internasional, untuk kemampuan pengetahuan berada pada ranking 38, penerapan pada ranking 35 dan penalaran pada ranking 36 dari 48 negara. Berdasarkan laporan TIMSS tersebut terlihat bahwa kemampuan penalaran matematis siswa Indonesia masih rendah.
siswa untuk berargumentasi dengan menggunakan penalaran, sehingga siswa belum mampu mengungkapkan gagasan/ide-ide, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan tidak terlatihnya siswa untuk mengungkapkan gagasan maupun idenya berarti bahwa kemampuan komunikasi matematis menjadi rendah sehingga mengakibatkan siswa tidak terlatih untuk menggunakan pikirannya dalam membangun gagasan-gagasan/ide-ide yang dimilikinya atau dengan kata lain kemampuan penalaran matematis siswa menjadi rendah.
Disadari atau tidak, ternyata dalam proses pembelajaran matematika, tidak sedikit guru yang menyusun butir soal sebagai alat evaluasi hanya menekankan pada kemampuan hapalan saja. Padahal menurut Taksonomi Bloom revisi (Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R., 2001) hapalan sebenarnya merupakan taraf terendah dari kemampuan berpikir. Artinya, masih ada taraf lain yang lebih tinggi yang perlu dilatihkan kepada siswa. Siswa diharapkan memiliki kemampuan kognitif remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (menerapkan), analysing (menganalisis, mengurai), evaluating (menilai) dan creating (mencipta).
Pembelajaran yang berorientasi pada masalah-masalah akademis yang sifatnya tertutup (closed problem) (Shimada, 1997) berdampak pada proses pembelajaran menjadi paket-paket yang menekankan langkah-langkah secara explicit step by step. Karena sifat dari masalah ini explicit deterministic, di mana
itu, proses pembelajaran matematika di kelas perlu mendapatkan perhatian. Kaitannya dengan pembelajaran di kelas, ada empat pilar yang digunakan sebagai pedoman, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar untuk kebersamaan (learning to live together) (Budimansyah, 2002). Pembelajaran matematika yang diharapkan adalah pembelajaran yang lebih menyenangkan dan mendorong siswa untuk berperan aktif berdasarkan penalaran, masalah dan pemecahan masalah contextual yang sifatnya terbuka, berpusat pada siswa, mendorong siswa untuk menemukan kembali, serta membangun pengetahuan dan pengalaman siswa secara mandiri (Soejadi & Sutarto Hadi, 2004).
siswa berperan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar.
Sund, Trowbridge dan Leslie (dalam Gani, 2007) membedakan metode inkuiri menjadi tiga jenis berdasarkan besarnya intervensi guru terhadap siswa atau besarnya bimbingan yang diberikan oleh guru kepada siswanya. Ketiga jenis metode inkuiri tersebut adalah: a) inkuiri terbimbing; b) inkuiri bebas dan c) inkuiri modifikasi dari inkuiri terbimbing dan bebas. Namun dalam penelitian ini penulis memilih metode inkuiri terbimbing dengan pertimbangan bahwa penelitian yang akan dilakukan terhadap siswa kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA), walaupun tingkat perkembangan kognitif siswa kelas X sudah berada pada tahap periode operasional formal, tetapi masih belum berpengalaman belajar dengan metode inkuiri serta karena siswa masih dalam taraf belajar proses ilmiah, sehingga penulis beranggapan metode inkuiri terbimbing lebih cocok untuk diterapkan.
Selain itu, penulis berpendapat bahwa metode inkuiri bebas kurang sesuai diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena dalam proses pembelajaran matematika topik yang diajarkan sudah ditetapkan dalam silabus kurikulum matematika, sehingga siswa tidak perlu mencari atau menetapkan sendiri permasalahan yang akan dipelajari.
yang diberikan pada individu atau kelompok siswa agar mereka melaksanakan suatu tugas di mana tidak ada algoritma tertentu yang dapat menentukan solusi dari permasalahan tersebut. Artinya dalam proses belajar dengan metode inkuiri siswa tentunya akan bernalar dan dari penalarannya siswa dapat lebih menguasai konsep pelajaran, kemudian siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan gagasan dan ide matematis yang dapat dikemukakannya. Melalui metode inkuiri diharapkan kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematis dapat tertanam secara baik di dalam diri siswa.
Dengan harapan bahwa pembelajaran melalui metode inkuiri yang menganut konstruktivisme dapat memfasilitasi siswa untuk bisa membangun sendiri kemampuannya, karena pembelajaran melalui metode inkuiri adalah kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan sendiri dari suatu masalah yang dipertanyakan (Sanjaya, 2008). Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa, karena pada pembelajaran inkuiri materi pelajaran tidak diberikan secara langsung tetapi siswa berperan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar.
seperti diungkapkan Dahar (1988: 126) bahwa, salah satu kebaikan pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan adalah meningkatkan penalaran matematis dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.
Pembelajaran inkuiri adalah pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk memberikan cara bagi siswa untuk membangun kecakapan-kecakapan intelektual (kecakapan berpikir) terkait dengan proses-proses berpikir reflektif. Jika berpikir menjadi tujuan utama dari pendidikan, maka harus ditemukan cara-cara untuk membantu individu untuk membangun kemampuan itu (Wahyudin, 2008). Artinya melalui pembelajaran ini siswa diharapkan untuk dapat mengkomunikasikan hal-hal yang ada dalam pemikirannya untuk membangun suatu pengetahuan yang akan diperolehnya.
Langkah-langkah dalam metode inkuiri yaitu, mengajukan masalah, mengajukan dugaan, mengumpulkan data, menguji dugaan (konjektur), dan merumuskan kesimpulan, sehingga untuk memfasilitasi langkah-langkah inkuiri tersebut dalam pembelajaran ini hendaknya para siswa didorong untuk bagaimana mereka menguasai permasalahan, selanjutnya berpikir bagaimana mereka memberikan atau membuat suatu dugaan sementara dari suatu gejala atau situasi. Kemudian siswa mengumpulkan data, melakukan pengamatan dan penyelidikan untuk memberikan jawaban atas dugaan yang telah dirumuskan.
inkuiri kemudian dilanjutkan dengan mendorong siswa melakukan diskusi sebagai wujud dari komunikasi, baik lisan maupun tulisan untuk menyempurnakan pembuktian yang telah mereka lakukan, dan kegiatan para siswa untuk mencoba meyakinkan siswa lainnya tentang gagasan-gagasan matematika yang diyakininya dengan membeberkan bukti-bukti yang dapat diterima akal pikirannya. Sehingga dengan pembelajaran inkuiri terbimbing ini diduga dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa.
Berdasar kenyataan di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian di sekolah mengenai penggunaan pembelajaran dengan metode inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematis. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis akan membahas hal tersebut melalui judul “Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran Inkuiri”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematis dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ?
Rumusan masalah di atas dapat diperinci sebagai berikut :
2. Apakah kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional ?
3. Bagaimanakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa apabila ditinjau berdasarkan metode pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematis siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah)?
4. Bagaimanakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa apabila ditinjau berdasarkan metode pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematis siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah)?
5. Bagaimanakah sikap siswa terhadap pelajaran matematika, diskusi kelompok dan terhadap pembelajaran matematika dengan metode inkuiri?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menelaah kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri dengan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
2. Menelaah kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri dengan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
4. Menelaah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa apabila ditinjau berdasarkan metode pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematis siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah).
5. Memperoleh gambaran sikap siswa terhadap pelajaran matematika, diskusi kelompok dan terhadap pembelajaran matematika dengan metode inkuiri.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi siswa, guru dan sekolah.
1. Bagi siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematik yang berakibat pada peningkatan prestasi belajar siswa. 2. Bagi guru dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan metode pembelajaran
matematika, dan menjadikan suatu alternatif metode pembelajaran, jika metode pembelajaran inkuiri ini memberi pengaruh dan dampak yang positif maka pada akhirnya dapat guru dianjurkan untuk menggunakan metode ini dalam mengajar beberapa materi matematik agar kegiatan pembelajaran di kelas tidak monoton. Namun jika pembelajaran matematika dengan metode inkuiri dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh dan dampak yang positif maka dianjurkan untuk peneliti selanjutnya melakukan penyempurnaan terhadap penelitian ini.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk mengajukan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
2. Kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
3. Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan awal matematik siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis.
4. Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan awal matematik siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis.
F. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam penelitian ini, maka beberapa istilah yang terkait didefinisikan sebagai berikut:
dan relasi matematik, secara tertulis dengan benda nyata, gambar, dan aljabar; (c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. 2. Kemampuan penalaran matematis yang dimaksud dalam penelitian ini
merupakan pemikiran logis yang menggunakan logika induktif dan deduktif untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Penalaran induktif yang dimaksud adalah analogi dan generalisasi.
− Analogi adalah penarikan kesimpulan berdasarkan sifat yang serupa
− Generalisasi adalah kemampuan menarik kesimpulan umum berdasarkan data atau fakta yang diberikan.
3. Pembelajaran matematika dengan metode inkuiri adalah suatu metode pembelajaran yang bersifat konstruktif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dalam memperoleh pengetahuannya melalui serangkaian proses kegiatan. Langkah-langkah dalam metode inkuiri dalam penelitian ini adalah: (a) mengajukan masalah; (b) mengajukan dugaan (konjektur); (c) mengumpulkan data; (d) menguji konjektur; (e) merumuskan kesimpulan. Metode pembelajaran inkuiri yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkuiri terbimbing yaitu metode pembelajaran di mana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi, juga guru menentukan permasalahan dan membantu siswa dalam tahap-tahap pemecahannya.
menjelaskan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat penjelasan yang disampaikan guru, kemudian siswa diberi kesempatan belajar secara berkelompok untuk mendiskusikan materi pelajaran apabila ada yang tidak mengerti dan untuk mengerjakan latihan-latihan soal.
5. Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan komunikasi dan penalaran matematis, yang ditinjau berdasarkan gain ternormalkan dari perolehan skor pretes dan postes siswa. Rumus gain ternormalisasi adalah sebagai berikut:
Gain ternormalisasi (g) =
pretes skor ideal skor
pretes skor
postes skor
−
− (Hake, 1999)
Kategori gain ternormalkan adalah: g ≥ 0,7 (tinggi); 0,3 ≤ g < 0,7 (sedang); g < 0,3 (rendah).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Karakteristik yang akan diukur dalam penelitian ini adalah dua dari lima kemampuan matermatis siswa yaitu kemampuan komunikasi dan penalaran matematis. Pengukuran dua dari kemampuan matematika ini dilakukan terhadap kelompok siswa yang diberi perlakuan (eksperimen) dan kelompok siswa sebagai pembanding dan kontrol.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen. Desain penelitian ini digunakan karena penelitian ini menggunakan kelompok kontrol, adanya dua perlakukan yang berbeda. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu sebelum proses pembelajaran, yang disebut pretes dan sesudah proses pembelajaran, yang disebut postes. Secara singkat, desain penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
O X O
O O
Keterangan:
O : Pretes dan postes (kemampuan komunikasi dan penalaran matematik). X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri.
Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh menggunakan metode inkuiri terhadap kemampuan komunikasi dan penalaran matematik dan sikap positif siswa terhadap matematika, maka dalam penelitian ini dilibatkan kategori
kemampuan siswa (tinggi, sedang dan rendah). Keterkaitan antar variabel bebas, terikat dan kontrol disajikan dalam model Weiner (Saragih, 2007) yang disajikan pada Tabel 3.1. berikut:
Tabel 3.1
Tabel Weiner tentang Keterkaitan Antar Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol
Keterangan:
MI(A) adalah pembelajaran dengan metode inkuiri
MK(B) adalah pembelajaran dengan metode konvensional
KKAT adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok tinggi yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
KKAS adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok sedang yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
KKAR adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok rendah yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
KKBT adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok tinggi yang pembelajarannya dengan metode konvensional
KKBR adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok rendah yang pembelajarannya dengan metode konvensional
KPAT adalah kemampuan penalaran matematis kelompok tinggi yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
KPAS adalah kemampuan penalaran matematis kelompok sedang yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
KPAR adalah kemampuan penalaran matematis kelompok rendah yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
KKBT adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok tinggi yang pembelajarannya dengan metode konvensional
KKBS adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok sedang yang pembelajarannya dengan metode konvensional
KKBR adalah kemampuan komunikasi matematis kelompok rendah yang pembelajarannya dengan metode konvensional
KKA adalah kemampuan komunikasi matematis yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
KKB adalah kemampuan komunikasi matematis yang pembelajarannya dengan metode konvensional
KPA adalah kemampuan penalaran matematis yang pembelajarannya dengan metode inkuiri
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Kadipaten Majalengka tahun ajaran 2011/2012 yang terdiri dari 5 kelas dengan jumlah siswa ± 200 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini di bagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen atau kelas eksperimen dan kelompok kontrol atau kelas kontrol. Pengambilan kelompok kelas eksperimen dan kelompok kelas kontrol dilakukan secara acak kelas dengan masing-masing 1 kelas. Untuk kelompok eksperimen diambil kelas X-1 sedangkan kelompok kontrol diambil kelas X-2. Kelompok tersebut dipilih berdasarkan kelas yang diberikan kepada peneliti oleh guru mata pelajaran di sekolah tersebut.
Untuk menghindari ekstranous variabel, maka variabel-variabel yang diperkirakan membuat penelitian ini bias. Agar tak bias maka perlu dinetralkan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Kemampuan awal siswa
Kedua kelas adalah kelas yang memiliki kemampuan awal yang sama data dari guru berupa nilai harian siswa, nilai raport, dan NEM
Lama penyampaian materi
jam pelajaran (4x45 menit) untuk pretes sebelum perlakuan diberikan dan untuk postes setelah perlakukan diberikan.
Buku ajar
Kedua kelompok diberikan bahan ajar yang sama dari buku pegangan yang sama pula.
C. Variabel Penelitian
Data yang akan dikumpulkan berupa data mengenai skor tes kemampuan matematika yang meliputi aspek-aspek komunikasi dan penalaran matematis, serta data mengenai sikap siswa terhadap matematika, sikap siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri, dan sikap siswa terhadap tes matematika.
Oleh karena itu, variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Adapun yang menjadri variabel bebasnya adalah pembelajaran dengan metode inkuiri. Sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan siswa dalam aspek-aspek komunikasi dan penalaran matematis.
D. Pengembangan Instrumen Penelitian
1. Bentuk Tes
Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tes tulis dalam bentuk uraian dan non tes dalam bentuk angket (skala sikap). Dalam hal ini, tes tulis yang diberikan akan digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam aspek-aspek komunikasi dan penalaran matematis. Tes tulis ini sebanyak 5 soal yang mengukur aspek komunikasi dan penalaran matematis.
Untuk memberikan skor terhadap jawaban dari tes, berikut ini adalah skor rubrik untuk dua kemampuan matematika yang diukur (komunikasi dan penalaran) yang diadopsi dari holostic scoring rubrics (Cai, Lane dan Jakabcsin, 1996).
Tabel 3.2
Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Skor Kriteria
0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan
1 Hanya sedikit dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik dan gambar yang dilukis, yang benar.
2 Penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara
matematik masuk akal, melukiskan gambar namun hanya sebagian yang benar
3 Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap dan benar namun mengandung sedikit kesalahan
Tabel 3.3
Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Penalaran Matematis
Tes kemampuan komunikasi dan penalaran matematis ini diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Bahan tes diambil dari materi pelajaran matematika SMA kelas X semester ganjil dengan mengacu pada Kurikulum 2006 yaitu sistem persamaan linier dan kuadrat dua variabel. Sebelum diteskan, instrumen yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi dan penalaran matematis siswa tersebut diuji validitas isi dan validitas mukanya oleh beberapa orang mahasiswa Sekolah Pascasarjana Pendidikan Matematika UPI, yaitu 2 orang mahasiswa S3 dan 2 orang mahasiswa S2 serta 2 orang guru matematika SMA Negeri 1 Kadipaten kabupaten Majalengka yang kemudian hasilnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Validitas soal yang dinilai oleh validator adalah meliputi validitas muka (face validity) dan validitas isi (content validity). Validitas muka disebut pula validitas bentuk soal (pertanyaan,
Skor Kriteria
0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan
1 Menjawab tetapi tidak sesuai dengan aspek pertanyaan tentang penalaran atau menarik kesimpulan salah.
2 Dapat menjawab tetapi hanya sebagian aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar.
3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang penalaran dan dijawab dengan benar.
pernyataan, suruhan) atau validitas tampilan, yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan tafsiran lain (Suherman, E. dkk, 2003), termasuk juga kejelasan gambar dalam soal. Validitas isi berarti ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi materi yang diajukan, yaitu materi (bahan) yang dipakai sebagai tes tersebut merupakan sampel yang representative dari pengetahuan yang harus dikuasai, termasuk kesesuaian antara indikator dan butir soal, kesesuaian soal dengan tingkat kemampuan siswa kelas X, dan kesesuaian materi dan tujuan yang ingin dicapai.
Untuk mengukur kecukupan waktu siswa dalam menjawab soal tes ini, peneliti juga mengujicobakan soal-soal ini kepada kelompok terbatas yang terdiri dari empat orang siswa yang sudah pernah memperoleh materi ini. Hasilnya adalah soal-soal yang ada sudah sesuai dengan waktu yang disediakan yaitu 2x45’ atau 2 jam pelajaran.
2. Analisis Validitas
Suatu alat evaluasi (instrumen) dikatakan valid bila alat tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur (Ruseffendi, 1991). Validitas yang dilakukan dalam penelitian ini melalui dua macam validitas yaitu validitas teoriti (logik) dan validitas empirik (kriterium). Validitas teoritik dilakukan berdasarkan konsultasi dengan dosen pembimbing, sedangkan untuk mengetahui validitas empirik yang terdiri dari validitas butir soal dan validitas soal tes secara keseluruhan atau validitas perangkat tes. Ukuran validitas butir soal adalah seberapa jauh soal tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Sebuah butir soal dikatakan valid atau signifikan bila skor tiap butir soal mempunyai dukungan yang besar terhadap skor totalnya. Sementara itu validitas butir soal tentunya mempengaruhi validitas soal tes secara keseluruhan. Validitas ini berkenaan dengan skor total dari seluruh butir soal yang dikorelasikan dengan kriterium yang dianggap valid. Dalam penelitian ini nilai validitas soal tes keseluruhan dikorelasikan dengan nilai rerata dari semua butir soal siswa.
Karena uji coba dilaksanakan satu kali (single test) maka validasi instrumen tes dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor item dengan skor total perolehan untuk tiap butir tes dengan menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson:
=
(∑ ) ∑ ∑∑ (∑ ) ∑ (∑ ) (Arikunto, 2007: 72-78) Keterangan: = koefisien korelasi antara variabel X dan Y
= banyaknya peserta tes
Interpretasi mengenai besarnya koefisien validitas dalam penelitian ini menggunakan ukuran yang dibuat J.P.Guilford (Suherman. dkk, 2003) seperti pada Tabel berikut.
Tabel 3.4
Interpretasi Koefisien Validitas
Berdasarkan hasil uji coba di SMA Negeri 1 Kadipaten Majalengka kelas XI IPA. Hasil uji validitas ini dapat dinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.5 berikut ini:
Tabel 3.5
Interpretasi Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis Nomor Soal Korelasi Interpretasi Validitas Signifikansi
1 0,862 Tinggi (baik) Sangat Signifikan 2 0,877 Tinggi (baik) Sangat Signifikan
Dari dua butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan komunikasi matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, semua soal memiliki interpretasi validitas tinggi atau baik. Artinya, semua soal mempunyai validitas
yang baik. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada Tabel di atas terlihat semua soal sangat signifikan.
Untuk tes komunikasi matematis diperoleh nilai korelasi XY sebesar 0,51. Apabila diinterpretasikan berdasarkan kriteria validitas tes dari Guilford, maka secara keseluruhan tes komunikasi matematis memiliki validitas yang sedang atau cukup.
Selanjutnya melalui uji validitas diperoleh hasil uji validitas tes penalaran matematis yang dapat dinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan sebagai berikut:
Tabel 3.6
Uji Validitas Tes Penalaran Matematis
Nomor Soal Korelasi Interpretasi
Validitas Signifikansi 1 0,856 Tinggi (baik) Sangat Signifikan 2 0,853 Tinggi (baik) Sangat Signifikan 3 0,802 Tinggi (baik) Sangat Signifikan Dari tiga butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan penalaran matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, diperoleh bahwa ketiga butir soal tersebut mempunyai validitas tinggi atau baik. Artinya, semua soal mempunyai validitas yang baik. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada Tabel di atas terlihat bahwa semua butir sangat signifikan.
Guilford, maka secara keseluruhan tes komunikasi matematis memiliki validitas yang tinggi atau baik.
3. Analisis Reliabilitas
Reliabilitas suatu alat ukur dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg) (Suherman.dkk, 2003).
Sesuai dengan bentuk soal tesnya yaitu tes bentuk uraian, maka untuk menghitung reliabilitasnya menggunakan rumus rumus Alpha-Cronbach, sebagai berikut:
dengan: n = banyak soal = variansi item
= variansi total (Sugiono, 2008)
Tingkat reliabilitas dari soal uji coba kemampuan komunikasi dan penalaran didasarkan pada klasifikasi Guilford (Ruseffendi,1991) sebagai berikut:
Berdasarkan hasil uji coba reliabilitas butir soal secara keseluruhan untuk tes komunikasi matematis diperoleh nilai tingkat reliabilitas sebesar 0,68, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa soal tes komunikasi matematis mempunyai reliabilitas yang sedang. Untuk tes penalaran matematis diperoleh nilai tingkat reliabilitas sebesar 0,76, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa soal tes penalaran matematis mempunyai reliabilitas yang tinggi.
4. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda menunjukkan kemampuan soal tersebut membedakan antara siswa yang pandai (termasuk dalam kelompok unggul) dengan siswa yang kurang pandai (termasuk kelompok asor). Suatu perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan antara siswa yang pandai, rata-rata, dan yang kurang pandai karena dalam suatu kelas biasanya terdiri dari tiga kelompok tersebut. Hasil evaluasinya tidak baik semua atau sebaliknya buruk semua, tetapi haruslah berdistribusi normal, maksudnya siswa yang mendapat nilai baik dan siswa yang mendapat nilai buruk ada (terwakili) meskipun sedikit, bagian terbesar berada pada hasil cukup.
Daya Pembeda tes dihitung dengan rumus:
DP =
Keterangan:
DP : Daya Pembeda
SA : Jumlah Skor Kelompok Unggul
SB : Jumlah Skor Kelompok Asor
IA : Jumlah Skor Ideal salah satu kelompok yang diolah
Klasifikasi daya pembeda (DP) soal (menurut Suherman, 1990) adalah: Tabel 3.8
Klasifikasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal Negatif – 10% sangat buruk, harus dibuang 10% – 19% buruk, sebaiknya dibuang
20% – 29% agak baik, kemungkinan perlu direvisi
30% – 49% Baik
50% ke atas Sangat baik
Hasil perhitungan daya pembeda untuk tes komunikasi dan penalaran matematis disajikan masing-masing dalam Tabel 3.9 dan Tabel 3.10 berikut ini:
Tabel 3.9
Daya Pembeda Tes komunikasi Matematis
Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi
1 46,43 % Baik
Tabel 3.10
Daya Pembeda Tes Penalaran Matematis
Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi
1 39,29 % Baik
2 42,86 % Baik
3 32,14 % Baik
Dari kedua Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal tes komunikasi matematis yang terdiri dari dua butir soal, seluruh soal memiliki daya pembeda yang baik. Begitu pula untuk soal tes penalaran matematis yang terdiri dari tiga butir soal, seluruh soal memiliki daya pembeda yang baik.
5. Analisis Tingkat Kesukaran Soal
Kita perlu mengalisis butir soal pada instrumen untuk mengetahui derajat kesukaran dalam butir soal yang kita buat. Butir-butir soal dikatakan baik, jika butir-butir soal tersebut tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Dengan kata lain derajat kesukaran sedang atau cukup. Menurut Ruseffendi (1991), kesukaran suatu butiran soal ditentukan oleh perbandingan antara banyaknya siswa yang menjawab butiran soal itu dihubungkan soal itu, dihitung menggunakan rumus:
TK =
Dengan TK = Tingkat kesukaran
SA = Banyak siswa yang menjawab benar
Kriteria tingkat kesukaran soal yang digunakan dalam uji coba soal kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis didasarkan pada To (Astuti, 2009), seperti pada Tabel. 3.11 berikut:
Tabel 3.11
Kriteria Tingkat Kesukaran Tingkat Kesukaran Interpretasi
0% - 15% Sangat sukar
16% - 30% Sukar
31% - 70 % Sedang
71% - 85% Mudah
86% - 100% Sangat mudah
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Anates Versi 4.0. diperoleh tingkat kesukaran tiap butir soal tes komunikasi dan penalaran matematis yang terangkum dalam Tabel 3.12 dan Tabel 3.13 berikut ini:
Tabel 3.12
Tingkat Kesukaran Butir Soal komunikasi Matematis Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 55,36% Sedang
2 50,00% Sedang
Tabel 3.13
Tingkat Kesukaran Butir Soal Penalaran Matematis
Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 69,64% Sedang
2 67,86% Sedang
Dari kedua Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal tes komunikasi matematis yang terdiri dari dua butir soal, seluruhnya berada pada tingkat kesukaran sedang. Untuk soal tes penalaran matematis yang terdiri dari tiga butir soal, seluruhnya berada pada tingkat kesukaran sedang.
Adapun hasil analisis reliabitas, validitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal, perhitungannya menggunakan Anates dan dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 6.
E. Skala Sikap
Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sekap siswa terhadap pembelajaran matematika, pembelajaran dengan metode inkuiri, dan pebelajar kelompok. Angket skala sikap diberikan setelah seluruh pembelajaran selesai. Sedangkan angket guru diberikan untuk mengetahui pandangan guru terhadap pembelajaran dengan metode inkuiri. Guru yang mengisi angket ini adalah guru yang terlibat sebagai observer dalam setiap pembelajaran.
STS diberi skor 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 1, S diberi skor 2, TS diberi skor 3 dan STS diberi skor 4.
Langkah pertama dalam menyusun skala sikap adalah membuat kisi-kisi. Kemudian melakukan uji validitas isi butir pernyataan dengan meminta pertimbangan teman-teman mahasisiwa Pascasarjana UPI dan selanjutnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing mengenai isi dari skala sikap sehingga skala sikap yang dibuat sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan serta dapat memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan.
Skala sikap dapat dilihat Lampiran 4 sementara perhitungannya ada pada Lampiran 11.
F. Lembar Observasi
Lembar observasi diberikan kepada 2 orang guru matematika di tempat penelitian berlangsung. Isian lembar observasi ini bertujuan untuk mengetahui pendapatnya mengenai pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan penalaran matematis siswa. Lembar observasi ini dibuat untuk memudahkan guru dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Guru yang mengisi angket ini adalah dua orang guru yang terlibat sebagai pengamat dalam setiap pembelajaran.
G. Pengembangan Bahan Ajar
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kemungkinan terdapatnya perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan penalaran antara siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran dengan metode inkuiri dan metode konvensional. Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dengan mengacu pada tujuan tersebut. Dengan perangkat pembelajaran yang memadai diharapkan proses pembelajaran dapat berlangsung sebagaimana mestinya, sehingga hasil akhir dari semua data yang didapatkan dari hasil belajar dan sikap siswa sesuai dengan yang diharapkan.
Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini disusun dalam bentuk bahan ajar berupa Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Bahan ajar/LKS tersebut dikembangkan dari topik matematika berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku di Sekolah Menengah Atas tempat penulis melakukan penelitian yaitu SMA Negeri 1 Kadipaten. Adapun materi yang dipilih adalah berkenaan dengan pokok bahasan sistem persamaan linear dan kuadrat dua variabel. Semua perangkat pembelajaran untuk kelompok eksperimen dikembangkan dengan mengacu pada ke lima tahapan dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing, yaitu 1) siswa dihadapkan dengan masalah, 2) siswa mengajukan dugaan / hipotesis, 3) siswa mengumpulkan data, 4) siswa menguji hipotesis, 5) siswa merumuskan kesimpulan.
komunikasi dan penalaran matematis siswa. Dalam menyusun bahan ajar penulis menyesuaikan bahan ajar dengan LKS yang digunakan dalam pembelajaran melalui pertimbangan dosen pembimbing.
H. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui tes, kamera video, lembar observasi, dan angket skala sikap. Data yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi dan penalaran matematis siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes). Penggunaan kamera video bertujuan untuk melihat pola berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah dan dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika, serta suasana kelas ketika proses belajar mengajar berlangsung. Data yang berkaitan dengan sikap siswa dalam pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri dikumpulkan melalui angket skala sikap.
I. Teknik Pengolahan Data
Data yang akan dianalisa adalah data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan komunikasi dan penalaran matematis siswa, dan data kualitatif berupa hasil observasi, angket untuk siswa, dan angket untuk guru berkaitan dengan pandangan guru terhadap pembelajaran yang dikembangkan.
1. Uji Perbedaan Dua Rata-rata
Untuk menguji hipotesis 1 dan hipotesis 2 akan dilakukan analisis statistik pengujian perbedaan rerata dua sampel.
Hipotesis 1:
Ho : Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri tidak terdapat perbedaan dibandingkan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
H1 : Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan model inkuiri tidak terdapat perbedaan dibandingkan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
Hipotesis 2:
Ho : Kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri tidak terdapat perbedaan dibandingkan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
H1 : Kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan metode inkuiri tidak terdapat perbedaan dibandingkan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : µ1 = µ2
Keterangan:
µ1 : rata-rata populasi kelompok eksperimen
µ2 : rata-rata populasi kelompok kontrol
Statistik Uji yang digunakan adalaha uji-t dengan menggunakan bantuan software SPSS 18.0, setelah terlebih dahulu uji normalitas (Shapiro Wilk) dan
homogenitas (Uji Levene) dilakukan.
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika sig < α dan tolak H0 untuk
kondisi lainnya dengan α taraf signifikansi yang telah ditentukan.
2. ANOVA Dua Jalur
Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan membandingkan pendekatan pembelajaran (Inkuiri dan Konvensional) dengan klsifikasi kemampuan awal matematik (tinggi, sedang, rendah).
a. Kemampuan Komunikasi Matematis i. H01 : µ1 = µ2
(tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara kelas kontrol dan eksperimen)
H11 : µ1≠µ2
(terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara kelas kontrol dan eksperimen)
ii. H02 : µ1 = µ2 = µ3
(tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara kelompok siswa tinggi, sedang dan rendah)
(terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara kelompok siswa tinggi, sedang dan rendah)
iii. H03 : Tidak terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan klasifikasi
kemampuan awal matematik siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis.
H13 : terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan klasifikasi
kemampuan awal matematik siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis.
b. Kemampuan Penalaran Matematis i. H01 : µ1 = µ2
(tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara kelas kontrol dan eksperimen)
H11 : µ1≠µ2
(terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara kelas kontrol dan eksperimen)
ii. H02 : µ1 = µ2 = µ3
(tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara kelompok siswa tinggi, sedang dan rendah)
H12 : minimal satu µi≠µj dengan i = 1,2,3 dan j = 1,2,3
iii. H03 : Tidak terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan klasifikasi
kemampuan awal matematik siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis.
H13 : terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan klasifikasi
kemampuan awal matematik siswa (kelompok tinggi, sedang dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis.
Data yang diperoleh dari pretes dan postes selanjutnya diolah melalui tahap sebagai berikut:
1. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan sistem penskoran yang digunakan
2. Membuat Tabel skor pretes dan postes siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
3. Peningkatan kompetensi yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain ternormalisasi, yaitu
Gain ternormalisasi (g) =
Untuk menentukan uji statistik yang digunakan, terlebih dahulu diperiksa normalitas data dan homogenitas varians dengan menggunakan Software SPSS 18.0, yaitu:
1. Menguji normalitas data skor tes kemampuan komunikasi dan penalaran matematis menggunakan uji statistik Shapiro Wilk.
2. Menguji homogenitas varians tes komunikasi dan penalaran matematis menggunakan uji statistik Levene’s Test.
3. Setelah sebaran data normal dan homogen, uji statistik yang digunakan adalah uji t dengan menggunakan SPSS 18.0 yaitu Compare Mean Independent Sample T-Test, dilanjutkan dengan uji Anova dua jalur
A. Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian
Secara garis besar langkah-langkah pelaksanaan penelitian terlihat pada alur penelitian:
Diagram 3.1 Diagram Alur Pelakasanaan Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Langkah-langkah persiapan penelitian yang dilakukan peneliti adalah:
a. Diawali dengan kegiatan dokumentasi teoritis, yaitu melakukan kajian literatur terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi inkuiri serta pengungkapan kemampuan komunikasi dan penalaran
Penyusunan Perangkat Pembelajaran dan
Uji Coba
Pre Test Pembelajaran
Inkuiri
Pembelajaran
konvensional
Observasi
Skala Sikap
Analisis Data Post Test
matematis siswa. Hasil dari kajian ini akhirnya berbentuk sebuah proposal penelitian
b. Seminar Proposal di Sekolah Pascasarjana Pendidikan Matematika UPI, dilanjutkan dengan perbaikan proposal penelitian
c. Pembuatan instrumen penelitian dan rancangan pembelajaran. Instrumen penelitian terdiri dari soal tes kemampuan komunikasi dan penalaran matematis siswa, format observasi terhadap siswa dan guru, jurnal siswa, dan skala sikap siswa.
d. Melakukan uji coba soal tes
e. Permohonan izin penelitian kepada Rektor melalui Direktur Sekolah Pascasarjana UPI dan permohonan izin penelitian kepada Kepala Sekolah SMAN 1 Kadipaten kabupaten Majalengka.
f. Setelah disetujui dan diterima oleh Kepala Sekolah yang bersangkutan, maka penulis langsung terjun ke lapangan melaksanakan penelitian.
2. Pelaksanaan Penelitian
Tahap pertama :
Setelah persiapan penelitian dianggap cukup memadai, dilanjutkan dengan pemilihan dua kelas sampel penelitian secara acak dari lima kelas yang ada.
Tahap kedua:
Tahap ketiga:
Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran dengan metode inkuiri dan metode konvensional masing-masing di dua kelas yang dipilih secara acak.
Tahap keempat:
Memberikan tugas tambahan kepada siswa berkemampuan rendah pada kelompok eksperimen. Tahap penelitian ini, peneliti sendiri berperan sebagai guru yang memberikan materi pembelajaran pada keempat kelas tersebut. Selama pelaksanaan pembelajaran, ke dua kelas mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal materi pelajaran yang diajarkan dan jumlah jam pelajaran yang diberikan. Pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri dilakukan sebanyak enam kali pertemuan, di mana satu kali pertemuan sama dengan 2 jam pelajaran dan 1 jam dengan model pembelajaran sama dengan 45 menit. Selama proses pembelajaran siswa kelompok eksperimen dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang perkelompok. Pada setiap pembelajaran yang berlangsung dilakukan pengamatan/observasi terhadap kegiatan siswa dan guru yang dilakukan oleh rekan-rekan guru di sekolah tersebut.
Tahap kelima :
Tahap keenam
Kegiatan akhir dari penelitian ini adalah menganalisa data yang diperoleh baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
3. Gambaran Pelaksanaan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti telibat langsung ke lapangan sebagai pengajar dan melaksanakan pembelajaran dengan metode inkuiri. Kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri ini dilakukan sebanyak 6 kali pertemuan, setiap pertemuan siswa diberikan bahan ajaran dalam bentuk LKS.
Bahan ajar/LKS ini telah disusun dengan menyajikan berbagai permasalahan yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial dan budaya sehari-hari siswa. Adanya permasalahan yang diberikan dalam bahan ajar/LKS diharapkan setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mampu membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini menunjukkan terjadinya proses belajar yang mengacu pada paham konstruktivisme. Penerapan metode pembelajaran inkuiri pada proses pembelajaran didesain sedemikian rupa untuk membawa siswa secara langsung menekankan pada proses ilmiah melalui latihan dalam waktu singkat. Dengan kata lain pembelajaran dengan metode inkuiri dirancang untuk membuat siswa menjadi partisipan aktif.
pertanyaan yang dapat menuju ke konsep yang diinginkan. Karena pengamatan terarah pada suatu konsep, mungkin timbul hal-hal yang harus diketahui siswa, namun siswa belum mengetahuinya. Untuk itu siswa akan berusaha mencari tahu dengan bertanya kepada sesama siswa, guru, atau sumber lain. Setelah hal-hal yang ingin diketahui terkumpul, untuk mengarah kepada suatu konsep siswa diharapkan dapat mengajukan dugaan untuk kemudian mengujinya dengan menganalisis berdasarkan data-data yang ada agar dapat menemukan sesuatu.
Dalam kegiatan diskusi kelompok, ketika siswa mengalami kebingungan dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan, guru tidak memberikan penjelasan secara langsung, tetapi memberikan stimulus dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan bimbingan kepada mereka (scaffolding). Cara memberi bantuan ini dilakukan tahap demi tahap antara lain berupa pengajuan pertanyaan yang lebih terfokus pada masalah yang dihadapi siswa, mengajukan clue (sedikit petunjuk), mengajukan siswa mempertimbangkan berbagai pendapat
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan temuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut (baik di kelompok kelas inkuiri atau konvensional) berada dalam kategori sedang.
Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok tinggi, sedang dan rendah) antara kelompok kelas inkuiri dan kelompok kelas konvensional. Artinya, siswa yang berada pada kelompok tinggi mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berada pada kelompok sedang dan rendah. Begitupula siswa yang berada pada kelompok sedang mengalami peningkatan
yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berada pada kelompok rendah.
4. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut (baik di kelompok kelas inkuiri atau konvensional) berada dalam kategori sedang.
Terdapat perbedaan kemampuan penalaran berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (tinggi, sedang dan rendah) antara kelompok kelas inkuiri dan kelompok kelas konvensional. Artinya, siswa yang berada pada kelompok tinggi mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berada pada kelompok sedang dan rendah. Begitupula siswa yang berada pada kelompok sedang mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang berada pada kelompok rendah.
5. Secara umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika, diskusi kelompok, dan pembelajaran dengan metode inkuiri.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
2. Karena keterbatasan waktu yang tersedia dalam melaksanakan penelitian, dan kelas yang dijadikan sampel adalah kelas yang disediakan oleh pihak sekolah sehingga peneliti tidak memiliki keleluasaan dalam memilih kelas dan materi yang akan diajarkan kepada siswa. Diharapkan bagi para peneliti selanjutnya kiranya dapat menerapkan pembelajaaran metode inkuiri ini pada kelas dan materi yang berbeda serta aspek kemampuan yang lain.
3. Populasi pada penelitian ini hanya siswa kelas X SMA Negeri 1 Kadipaten Majalengka dan pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Mungkin di kesempatan yang lain para peneliti dapat menggunakan
DAFTAR PUSTAKA
Afgani, J. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.
Anderson, O.W. & Krathwohl, David R. (2001). A Taxonomi for Learning, Teaching and Assessing. Longman : New York USA
Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write.
Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.
Astuti, D. (2009). Peningkatan Kedisiplinan Dan Prestasi Belajar Matematika Dengan Pendekatan Kreatif Problem Solving Pada Siswa Kelas VII SMP
Muhamadiyah 4 Surakarta (Skripsi S-1 Progdi Matematika). Surakarta:
FKIP Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Awaludin. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Penalaran Matematis Rendah melalui Pendekatan Open-Ended dalam Kelompok
kecil dengan Pemberian Tugas Tambahan . Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.
Barizi, H. (2003). Konseptualisasi dalam Bidang Studi Sains Berbasis Metode Pengajaran. Makalah Disampaikan pada Penataran Dosen Muda IPB.
Baroody. A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York: Macmillan Publising.
Budimansyah,D (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung : Genesindo.
Communication in Mathematics. Dalam P. C. Elliot dan M. J Kenney
(Eds). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, VA. The National Council of Teachers of Mathematics.
Cochran, R. et al.(2007). The Impact of Inqury-Based Mathematics on Context Knowledge and Classroom Practice.[Online]. Tersedia: http://www.rume.org/crume2007/papers/cochran-mayer-mullins.pdf.
Dahar, R.W (1989), Teori – Teori Belajar Jakarta: Erlangga.
Depdiknas. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kebijaksanaan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah Jakarta. Pusat Kurikulum Badan
Penelitian dan Pengembangan Depdiknas.
Depdiknas. (2006). Kurikulum 2006 Mata Pelajaran Matematika SMP/Mts. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.
Dianna.F. (2005) Extended Campus — Oregon State University http://oregonstate.edu/instruct/coursedev/models/id/taxonomy/#table
Designer/Developer –).
Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press.
Fraenkel,J.R. dan Wallen, N.E.(1993). Second Edition. How to Design and Evaluate Research in Education. Singapore: Mc-Graw Hill International.
Gani, R.A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika
Gie, T.L. (1999). Pengantar Filsafat Ilmu. Edisi kedua (diperbaharui), Yogyakarta: Liberty.
Gulo. W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Satriawati, G. (2003). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-ended untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP. Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 1,102-122.
Hadi, S. (2003). Paradigma Baru Pendidikan Matematika. Makalah disajikan pada pertemuan Forum Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan, di Rantau Kabupaten Tapin, 30 April 2003.
Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/ sdi/Analyzingchange-Gain.pdf.
Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Kerangka Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa SMP. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.
Hudoyo, H. (2003). Teori Belajar dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Hutabarat, D. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis Pada Kelompok Siswa yang Belajar Inkuiri dan
Biasa. Tesis. UPI: Tidak Diterbitkan.
Keraf, G. (1982). Argumentasi dan Narasi. Komposisi lanjutan III. Jakarta: Gramedia.
Lindawati,S. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan
Komunikasi Matematika Siswa SMP. Tesis. UPI: Tidak Diterbitkan.
Meltzer & David E. (2002). “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: ‘hidden variable’ in Diagnostic Pretest Scores”. American Journal of Physics, 70, (12), 1259-1267.
NCTM. (1996). The National Council of Teacher of Mathematics (1996). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston,
VA: Author.
NCTM. (2000). The National Council of Teacher of Mathematics (2000). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston,
VA: Author.
Nurlaelah, E. (2009) Pencapaian Daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa Calon Guru melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori Apos. Disertasi
UPI: Tidak diterbitkan.
Pimm, D (1996). Meaningful Communication Among Children: Data Collection. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.
Putrayasa,I.B. (2005). Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Inquiry dalam Upaya Meningkatkan Aktivitas, Kreativitas, dan Logikalitas. Disertasi.
Disajikan dalam Orasi Pengenalan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bahasa Indonesia pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Negeri Singaraja.
Ruseffendi, H. E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru.
Ruseffendi, H. E. T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Cetakan Pertama. Bandung : IKIP Bandung Press.
Ruseffendi, H. E. T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Cetakan ke 4. Semarang: UNNES Press.
Ruseffendi, H. E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Edisi Revisi. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik.
Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.
Sastrosudirjo, S.S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Belajar untuk Siswa SMP. Jurnal Kependidikan no.1 Tahun ke 18: IKIP Yogyakarta.
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Yogyakarta: PPPG Matematika.
Shimada. B. (1997). The Open-Ended Approach. NCTM.
Slavin, R.E. (2008). Cooperative Learning; Teori, Riset dan Praktik. Bandung: PT. Nusa Media.