PEMAKAIAN BAH ASA INDONESIA RAGAM LISAN OLEH PARA KHATIB Dl KOTAMADIA BANDUNG
(Studi Deskriptif terhadap Ragam dan Fungsi Bahasa)
TESIS
diajukan kepada Panitia Ujian Tesis
Institut Keguruan dan IImu Pendidikan Bandung
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan
bidang Pengajaran Bahasa Indonesia
Oleh
Dudung Rahmat Kidayat
No.Pokok: 335/E.12/XIV- 6
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TESIS
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING
UNTUK MENEMPUH UJIAN TAHAP II
Pembimbing I
Prof.Dr.H.Yus Rusyana
Pembimbing II
Prof.Dr.H.J.S^Badudu
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BANDUNG
PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA RAGAM LISAN OLEH PARA KHATIB Dl KOTAMADIA BANDUNG
( STUDI DESKRIPTIF TERHADAP RAGAM BAHASA )
ABSTRAK
Pemakaian bahasa itu beragam. Kesimpulan tersebut dirumuskan oleh para ahli berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya. Siapa yang berbicara, kepada siapa berbicara, dalam suasana apa pembicaraan itu dilakukan, apa yang yang menjadi pokok pembicaraan dan apa tujuan pembicaraan itu, merupakan
faktor-faktor yang sangat menentukan terjadinya pemakaian bahasa dalam masyarakat.
Bila melihat faktor-faktor di atas, maka sebagai salah satu bentuk komunikasi lisan yang khas, khotbah diduga akan memiliki keragaman tersendiri, yang berbeda dengan bentuk-bentuk komunikasi lisan lainnya. Karena itu yang menjadi persoalan pokok adalah bagaimanakah ragam bahasa khotbah itu ?
Untuk sampai pada jawaban di atas, penulis melakukan penelitian lapangan
dan studi deskriptif terhadap wacana khotbah, yang penulis rekam dan kemudian
ditranskipsi apa adanya kedalam tulisan.Data tersebut dilengkapi pula oleh hasil observasi dan wawancara, baik terhadap khatib itu sendiri, maupun khalayak. Lima
orang khatib yang dijadikan sampel penelitian ini. Setelah melalui proses analisis, maka diperoleh gambaran yang banyak menarik perhatian penulis.
Adalah benar bahwa ragam bahasa khotbah, memiliki beberapa kesamaan dengan ragam bahasa lisan pada umumnya. Struktur bahasa yang singkatdan terpenggal-penggal, banyak dijumpai di dalamnya. Disamping itu, dijumpai juga tuturan yang berulang. Kata-kata populer dan gaya-gaya retoris, mewarnainya pula.
Semua itu menunjukkan fenomena yang umum dijumpai dalam bentuk-bentuk komunikasi lainnya.
Namun, inilah menariknya, bahwa ternyata ragam bahasa khotbah memiliki karakteristik tersendiri. Ragam bahasa khotbah cenderung merupakan ragam bahasa tidak baku. Ketidakbakukan tersebut disebabkan oleh banyaknya gejala interferensi yang muncul di dalamnya, Gejala interferensi tersebut dijumpai pada sitiap aspek kebahasaan, baik pada aspek fonologi, diksi, morfologi, sintaksis,
maupun wacana.
Munculnya gejala semacam itu dapat dipahami, yakni disebabkan oleh fungsi
khotbah itu sendiri yang merupakan bagian dari kegiatan yang formal ritual, yang nota bene bersumber dari kaidah Alquran dan hadis yang berbahasa Arab.
Ciri lainnya ialah bahwa khotbah banyak diwarnai oleh nasihat dan ajakan. Hal ini sesuai dengan makna khotbah itu sendiri (bahasa Arab ). Namun dalam khotbah dijumpai pula pemyataan-pemyataan yang kritis dan prinsipiil sebagai pendapat dan pemyataan khatib. Dengan demikian jadilah suasana khotbah itu
sebagai pendorong untuk berintrospeksi dan merenung, tidak hanya bagi pendengar
DAFATAR ISI
KATA PENGANTAR i
UCAPAN TERIMA KASIH ii
ABSTRAK iv
DAFTARISI v
DAFTARTABEL viii
BAB1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 3
1.3 Pembatasan Masalah 5
1.4 Perumusan Masalah 6
1.5Tujuan Penelitian 6
1.6 Manfaat Penelitian 7
1.7 Asu msi 8
1.8 Definisi Operasional 8
BAB 2 PEMAKAIAN BAHASA RAGAM LISAN DALAM KHOTBAH
2.1 Pemakaian Bahasa 9
2.1.1 Pelafalan 11
2.1.2 Bentuk Kata 12
2.1.3 Pilihan Kata 1*
2.1.4 Kalimat 15
2.2 Ragam Bahasa 18
2.2.1 Pengertian 18
2.2.2 Latar Belakang Timbulnya Keragaman Bahasa 19 2.3 Komunikasi dan Prinsip-prinsipnya Menurut Pendekatan Ragam 26
2.3.2 Timbulnya Keragaman dalam Komunikasi Lisan 27
2.3.2.1 Komunikasi Lisan 27
2.3.2.2 Keragaman Bahasa Lisan 30
2.4 Fungsi Bahasa 32
2.5 Kedwibahasaan 34
2.5.1 Kontak Bahasa 36
2.5.2 Interferensi 37
2.5.3 Alih Kode dan Campur Kode 38
2.6 Khotbah 40
2.6.1 Pengertian 40
2.6.1 Rukun dan Syarat-syarat Khotbah 42
2.6.3 Khotbah dan Prinsip-prinsip Komunikasi 44
B A B 3 M E T O D E D A N P R O S E D U R PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian 48
3.2 Sumber Data dan Prosedur Penentuan Sampel 49
3.3 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 52
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data 52
3.3.2 Teknik Analisis Data 53
BAB 4 DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA RAGAM LISAN DALAM KHOTBAH
4.1 Deskripsi Khotbah 55
4.1.1 Khotbah A(MN) 55
4.1.2 Khotbah B (TB) 75
4.1.3 Khotbah C (MA) 90
4.1.4 Khotbah D (MF) 104
4.1.5 Khotbah E (MAN) 123
4.2 Analisis Pemilihan Ragam Bahasa Para Khatib 139
4.2.1 Ragam Bahasa Baku 140
4.2.2 Ragam Bahasa Nonbaku 143
4.2.3 Ragam Khas Para Khatib 159 4.3 Analisis Ciri Ragam Bahasa Lisan Para Khatib 163
4.3.1 Fonologi 163
4.3.2 Pilihan Kata (Diksi) 165
4.3.3 Pembentukan Kata (Morfologi) 167
4.3.4 Sintaksis 175
4.3.5 Wacana 189
4.4 Analisis Fungsi Bahasa Ragam Lisan Para Khatib 194 4.5 Analisis Isi /Pesan yang Disampaikan Para Khatib 201
BAB 5 PEMBAHASAN 207
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 240
6.1.Simpulan 240
6.2.Saran 242
DAFTAR PUSTAKA 243
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran : 1. Transkripsi Khotbah 247
Lampiran : 2. Pedoman Wawancara 291
Lampiran : 3. Riwayat Hidup 298
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Gejala Fonemisasi KhatibA (Tabel 1) 54
2. Bentuk-bentuk Pemakaian Kata oleh Khatib A (Tabel 2 ) 61
3. Gejala Fonemisasi Khatib B (Tabel 3) 74
4. Penggunaan Kata Asing/Daerah oleh Khatib C (Tabel 4) 82
5. Gejala Fonemisasi Khotbah C (Tabel 5) 89
6. Variansi Pengucapan Fonem IXI oleh Khatib B (Tabel 6) 90
7. Korelasi Kata Arab-Indonesia (Tabel 7) 91
8. Kata-kata Arab yang Digunakan Khatib D (Tabel 8) 95
9. Gejala Fonemisasi Khotbah D (Tabel 9) 104
10. Kata-kata Arab yang Digunakan Khatib D (Tabel 10) 113
11. Gejala Fonemisasi Khotbah E(Tabel 11) 123
12. Kata-kata Bahasa Arab yang Digunakan Khatib E (Tabel 12) 128 13. Gejala Fonemisasi Ragam Khotbah (Tabel 13) 140
14. Bahasa yang Berinterferensi terhadap Fonem Ragam Khotbah (Tabel 14) 142
15. Pemakaian Kosakata Arab oleh Para Khatib (Tabel 15) 144 16. Gejala Morfologisasi Ragam Khotbah (Tabel 16) 148 17. Gejala Pelesapan Imbuhan oleh Para Khatib (Tabel 17) 149
18. Gejala penambahan Imbuhan oleh Para Khatib (Tabel 18) 150
19. Sebab-sebab kerancuan Pembentukan Kata oleh Para Khatib (Tabel 19)... 152 20. Gejala Umum Ragam Khotbah Aspek Sintaksis (Tabel 20) 156
21. Isi dan Struktur Penyajian Khotbah (Tabel 21) .^j-s^s, 172
22. Bentuk- bentuk Wacana dalam Khotbah (Tabel 22) ^Z&^&.X-m.$&
*X". v^V^'-v ••'••<' •'•" '-'•'•
BAB1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan.menduduki tempat yang lebih penting daripada
fungsi-fungsi bahasa lainnya. Karena itu wajar apabila konsep tersebut sudah
mempunyai sejarah yang panjang jika kita menelusuri studi bahasa pada masa lalu.
Pada abad pertengahan (500-1500 M) studi bahasa umumnya dilakukan oleh para ahli
logika atau filsafat, yang penyelidikannya menitikberatkan pada konsep bahasa sebagai
alat komunikasi, terutama berkaitan dengan proposisi benar atau salah. Perhatian yang
cukup serius diberikan pula oleh Wardhaugh (1972: 2-8), yang juga mengatakan bahwa
fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, lisan maupun tertulis.
Komunikasi merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan berbagai
komponen bila peristiwa itu ingin berlangsung dengan baik. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan Webster's New Colegiate Dictionary (1981: 225), bahwa komunikasi
merupakan proses pertukaran informasi antar individu melalui sistem simbol, tanda, atau
tingkah laku. Dengan demiKian, ada tiga unsuryang harus teriibatdi dalamnya, yakni: (1)
pihak yang berkomunikasi, yakni pengirim (komunikator) dan penerima informasi yang
dikomunikasikan (komunikan), yang lazim disebut partisipan, (2) informasi yang
dikomunikasikan, dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi itu. Sayangnya para
partisipan, terutama pihak pengirim komunikasi (komunikator), sering melupakan
unsur-unsur tersebut. Karenanya, tidak mengherankan apabila dalam suatu proses
komunikasi, komunikasi itu tidak berjalan dengan mulus, terjadinya saling pengertian
antar partisipan terhambat, atau pun tidak tercapainya tujuan dari komunikasi yang
dilangsungkannya itu.
Ciri yang paling jelas dari gagalnya proses komunikasi adalah si komunikan itu
enggan, atau bahkan tidak mengerti terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam komunikasi massa, keengganan atau ketidakmengertian tersebut,
antara lain, ditandai oleh keadaan memaksa penceramah untuk menghentikan pembicarannya, misalnya dengan menyuruhnya supaya turun dari podium. Lebih jauhnya, komunikasi itu tidak memberikan dampak apa-apa terhadap khalayak, misalnya tidak ada perubahan sikap, tingkah laku, atau perubahan-perubahan lain sebagaimana yang telah digariskan sebelumnya oleh komunikator.
Pemakaian bahasa tidaklah seragam. Bahasa yang digunakan oleh seseorang ketika ia berada di pasar, akan berbeda bila ia dihadapkan pada kondisi yang formal. Demikian halnya bahasa yang digunakan oleh seorang khatib ketika ia berhadapan dengan sejumlah massa dalam situasi yang serba formal-ritual akan berbeda dari ketika
khatib itu berbicara di hadapan anggota keluarganya. Dikemukakan Halliday (dim Rusyana (1984: 121), bahwa keragaman bahasa bertalian dengan siapa yang
memakainya, kepada siapa ia berbicara, dalam suasana apa pembicaraan itu dilakukan, apa yang menjadi pokok pembicaraan, dan apa tujuan pembicaraan itu.
Para khatib, seperti halnya anggota masyarakat lain, dituntut untuk mampu menggunakan bahasa yang beragam itu sesuai dengan konteksnya. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan perannya sebagai penyeru, yang mengajak kepada keinsafan, atau sebagai agen mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik
terhadap pribadi maupun masyarakat (Shihab, 1997: 194). Kepiawaian para khatib
dalam memilih ragam bahasa benar-benar sangat dituntut. Dalam perannya itu, para
khatib haruslah menggunakan bahasa yang persuasif, yang akrab, agar mudah
dipahami dan dimengerti oleh khalayak (mustami'in). Keberhasilan khotbah sebagai
para khatib dalam memilih ragam bahasa. Karena itu, ragam bahasa khatib akan
memiliki ciri atau karakteristik tersendiri, sesuai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya
Bahasa para khatib sangat menarik untuk dikaji, karena bahasa dipandang
sebagai alat interaksi yang sangat vital. Khotbah memiliki peranan yang sangat besar
dalam memberdayakan jiwa dan kehidupan umat. Sasaran khotbah adalah lubuk hati
para pendengamya. Karenanya, tidak bertebihan apabila bahasa ditunjuk sebagai faktor
yang sangat besar pengaruhnya. Dan, "hanya bahasalah yang bisa menembus apa
yang tidak bisa ditembus oleh jarum, yakni hati" demikian kata sebuah pepatah dalam bahasa Arab. Lebih dari itu, sepanjang pengamatan penulis,bahwa kajian ke arah yang lebih spesifik terhadap penggunaan ragam bahasa khotbah belum ada yang
melakukannya. Kajian-kajian yang sudah dilakukan umumnya berkisar pada pemakaian ragam bahasa yang berkaitan dengan status sosial, jenis kelamin, lapangan pekerjaan. Sebagai penelitian tesis, antara lain telaah dilakukan oleh Sri Indrawati (tesis, 1993) mengenai penggunaan ragam bahasa oleh para penyuluh kesehatan, Inayah Hanum (1994) meneliti tentang penggunaan ragam bahasa oleh tenaga pengajar pada lembaga pendidikan perkebunan Medan, dan lis Lisnawati (1996) tentang penggunaan ragam bahasa oleh para kader bina keluarga balita. Sedangkan, kajian terhadap fenomena kebahasaan ragam khotbah masih luput dari perhatian para peneliti. Karenanya, penulis berpendapat bahwa masalah tersebut merupakan hal yang penting dan sangat bermanfaat bila dikaji secara lebih mendalam.
1.2 Identifikasi Masalah
Ragam bahasa menurut sarana yang digunakannya terbagi atas ragam lisan
dan ragam tulisan (Moeliono, 1986: 6). Dari kedua ragam tersebut, penulis memilih
penulis memilih ragam tersebut. Pertama, bahwa ragam lisan memiliki banyak
kelonggaran, lebih alamiah. Potensi untuk timbulnya berbagai variasi dan kekhasan
dalam bahasa lisan lebih besar. Seperti yang dikemukakan Badudu (1985: 6) bahwa
dalam bahasa lisan, terdapat jauh lebih banyak kelonggaran, baik kelonggaran struktur
maupun penggunaan kosakata, yang ditimbulkan oleh pengaruh dialek setempat,
pengaruh bahasa daerah, pengaruh orang yang diajak bicara, pengaruh tempat di mana pembicaraan dilakukan, dan terutama pengaruh situasi. Kedua, umumnya para
khatib menggunakan bahasa lisan sebagai sarana penyampaiannya.
Walaupun para khatib memiliki kapasitas berbahasa Alquran dan hadis (Arab) yang relatif lebih, tetapi mau tidak mau mereka harus menyampaikan pesan-pesannya
itu lewat bahasa yang dapat dipahami oleh pendengamya. Karenanya bisa menjadi dilema bagi para khatib. Pada satu sisi, mereka harus menerjemahkan pesan-pesan
Alquran dan hadis yang notabene tertuang dalam bahasa Arab; di sisi lain mereka pun
dituntut untuk memahami latar belakang khalayak, serta situasi dan kondisi di mana
mereka menyampaikan khotbah. Dengan demikian, peluang untuk timbulnya gejala
interferensi sangat besar. Berbeda dengan ragam bahasa yang digunakan oleh para
penceramah lain, misalnya dosen, penyuluh pertanian, atau juru kampanye, khatib akan
memilih warna atau ragam bahasa tersendiri. Perbedaan-perbedaan tersebut terutama
pada besarnya kemungkinan terjadinya gejala interferensi itulah, yakni dari bahasa Arab
kepada bahasa Indonesia.
Kecuali latar belakang khatib dan karakteristik yang dimiliki khotbah itu sendiri,
faktor situasi dan kondisi juga turut berpengaruh pada pemilihan ragam bahasa yang
mungkin dibawakan oleh para khatib. Situasi yang serba ritual, seperti khotbah Jumat,
cenderung untuk menggiring para khatib memilih ragam bahasa yang formal. Begitu pula
dengan kondisi mesjid, yang turut menentukan pada keputusan seorang khatib dalam
Pertimbangan lain yang dituntut untuk diperhatikan oleh para khatib adalah
topik pembicaraan. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa materi khotbah (dakwah) yang dikemukakan dalam Alquran berkisar pada tiga masalah pokok, yakni akidah, akhlak, dan hukum (Shihab, 1997: 193). Ketiga topik tersebut memiliki istilah-istilah teknis, atau pun rujukan-rujukan ayat yang belum tentu semuanya dikenal oleh khalayak.
Oleh karena itu, para khatib perlu berusaha memilih ragam bahasa yang sesuai, memilih istilah-istilah yang dapat dipahami oleh khalayaknya.
Pemilihan dan pemakaian ragam bahasa tujuan akhirnya tidak lain, supaya
materi khotbah dapat sampai kepada khalayak, dapat berbekas (atsar) di benak
khalayak ataupun berkesan dalam jiwa, yang kemudian tercermin dalam tingkah laku
mereka (Shihab, 1997: 194). Untuk mencapai sasaran tersebut, antara lain para khatib
dituntut untuk dapat memilih ragam bahasa yang sekiranya dipahami oleh khalayaknya. Bila memilih ragam formal, tentu yang akan digunakan adalah lafal, bentuk dan
pemilihan kata, serta ragam kalimat yang baku; atau terdapat ragam-ragam lainnya yang
mungkin digunakan para khatib untuk membuat khotbahnya benar-benar berhasil secara
efektif.
1.3 Pembatasan Masalah
Menurut Mackey (1962: 163), materi bahasa itu bisa berbeda-beda, yaitu: (1)
diaiek, (2) register, (3) gaya bahasa, dan (4) media yang digunakannya. Dari keempat materi bahasa tersebut, penulis hanya menitikberatkan pada masalah register, yakni
ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya. Register menjelaskan hubungan bahasa
dengan konteks di mana, untuk apa, dan oleh siapa bahasa itu digunakan.
Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji pemakaian bahasa ragam lisan oleh para khatib di Kotamadia Bandung, yang dikaitkan dengan empat aspek, yaitu lawan
peneliti hanya menekankan pada pemakaian ragam bahasa lisan para khatib ketika
menyampaikan materi khotbahnya, berkenaan dengan perannya sebagai seorang
penceramah keagamaan. Pada lingkup situasi pembicaraan, penelitia hanya
menitikberatkan pada pemakaian ragam bahasa lisan dalam situasi formal, yaitu ketika
khatib berkhotbah. Pada lingkup isi pembicaraan, penelitian hanya difokuskan pada topik-topik pembicaraan yang terdapat dalam bahasa lisan khatib. Pada lingkup fungsi
interaksi, peneliti hanya memfokuskan pada tujuan atau maksud penggunaan ragam
bahasa.
1.4 Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian-uraian di atas, maka yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Ragam bahasa apakah yang digunakan oleh para khatib?
2) Mengapa para khatib itu memilih ragam kebahasaan tertentu?
3) Apakah ciri ragam bahasa yang digunakan oleh para khatib, terutama bila dikaitkan
dengan pelafalan, bentuk kata, pilihan kata, dan jenis kalimat yang digunakannya? 4) Bagaimanakah fungsi bahasa ragam lisan yang digunakan para khatib?
5) Apakah khalayak dapat memahami bahasa ragam lisan yang digunakan oleh para
khatib?
1.5 Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui gambaran umum mengenai ragam bahasa yang biasa digunakan
oleh para khatib.
2) Untuk memperoleh alasan penggunaan dipilihnya ragam bahasa lisan tertentu oleh
para khatib ketika berkhotbah .
para khatib, terutama bila dikaitkan dengan sistem pelafalan, bentukan kata, pilihan
kata jenis kalimat dan wacana.
4) Untuk memperoleh gambaran tentang fungsi bahasa ragam lisan yang digunakan
oleh para khatib.
5) Untuk memperoleh gambaran mengenai keterpahaman bahasa ragam lisan para
khatib oleh khalayak.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dipandang sangat bermanfaat, terutama dalam kaitannya dengan
pengembangan dakwah. Dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan suatu umpan
balik terhadap strategi dakwah yang dilakukan oleh para khatib. Lebih-lebih sepanjang
pengamatan penulis, bahwa selama ini perhatian terhadap pentingnya ragam bahasa dalam memperoleh efektivitas khotbah (dakwah) masih kurang. Padahal sebagaimana
kita maklumi bahwa khotbah sebagai suatu bentuk ajakan dan penginsafan (persuasi)
sangat berkaitan dengan faktor emosi, keinginan dan kerinduan, serta kegelisahan dan
kecemasan (Rakhmat dim Audentia, 1/1/93), yang antara lain hal tersebut dapat disentuh
dengan penggunaan bahasa yang efektif.
Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh para pendidik, terutama dalam
memberikan pelajaran mengenai "kebaikan dan kebenaran bentuk bahasa atau dalam
pemakaian bahasa secara baik dan benar. Para pendidik dapat memberikan pengertian bahwa yang menjadi syarat berterimanya suatu bentuk bahasa tidak selamanya harus baku, melainkan perlu pula mempertimbangkan situasi, konteks, serta efektivitas beriangsungnya komunikasi itu sendiri. Para pendidik dapat menyusun konsep-konsep
kebahasaan yang sesuai dengan tuntutan kaidah dan konteks penggunaannya; dalam
1.7 Asumsi
Penelitian ini bertitik tolak dari beberapa asumsi:
1) Bahasa itu tidaklah seragam, melainkan bersifati aneka ragam. Keanekaragaman itu
sangat bertalian dengan faktor siapa yang memakainya, kepada siapa ia digunakan,
dalam suasana apa pembicaraan itu dilakukan, apa yang menjadi pokok
pembicaraan, dan apa tujuan pembicaraan itu (Halliday dim Rusyana, 1984: 122)
2) Khotbah bersisi pesan-pesan ritual keagamaan. Pesan yang disampaikan kepada
masyarakat harus menggunakan bahasa yang akrab, dengan isi pesan yang relevan
dengan keperluam khalayak serta sesuai dengan daya tangkap masyarakat
(Depdikbud, 1988: 9)
3) Para khatib sesuai dengan perannya sebagai penyampai pesan-pesan keagamaan
(Islam), baik dalam kajian maupun penyampaiannya, banyak yang bersumber dari
literatur-literatur berbahasa Arab.
4) Khalayak akan lebih mudah memahami isi khotbah yang disampaikan dalam ragam
bahasa yang sudah diakrabinya.
1.8 Definisi Operasional
Penelitian ini terdiri dari beberapa istilah yang erat kaitannya dengan maslah
penelitian. Karena itu, istilah-istilah tersebut periu didefinisikan untuk menjadi sandaran
dan menghindari kerancuan dalam pembahasan lebih lanjut.
1) Pemakaian bahasa Indonesia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara penggunaan bahasa Indonesia, yang merujuk kepada pelafalan, pembentukan
kata, pemilihan kata, dan struktur kalimat.
2) Ragam lisan yang dimaksud dalam hal ini adalah ragam bahasa yang diucapkan
(dituturkan) oleh para khatib ketika mereka sedang berhotbah.
3) Khatib adalah orang yang berkhotbah, yang memberikan ceramah tentang ajaran
B A B 3
M E T O D E D A N P R O S E D U R PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Dikatakan sebagai metode deskriptif kualitatif, oleh karena penelitian ini bercirikan: (1)
lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai instrumen kunci,
(2) data yang dikumpulkan berupa deskripsi gejala kebahasaan, (3) penelitian ini
dianalisis secara deduktif, (4) penelitian ini dilakukan dengan observasi partisipan, dan
(5) penelitian ini lebih ditekankan pada proses daripada produk.
Ciri-ciri tersebut sejalan dengan karakteristik penelitian deskriptif kualitatif yang
dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1982: 27-29). Dengan demikian penggunaan
studi deskriptif dalam penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasikan apa yang ada, pendapat yang memeriukan dukungan, proses yang
sedang beriangsung, akibat yang terjadi, atau kecenderungan yang sedang
berkembang. Karena itu kriteria yang dikemukakan para ahli di atas sejalan dengan tujuan penelitian ini yakni mendeskripsikan penggunaan ragam bahasa lisan oleh para
khatib di Kodya Bandung.
Penelitian deskriptif kualitatif meliputi (1) studi kasus, (2) studi pengembangan,
(3) studi follow up , (A) analasisi dokumentasi, (5) analisis kecenderungan, (6) survei,
dan (7) studi korelasi. Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini termasuk ke dalam studi
kasus.
Bogdan dan Biklen (1982:58) mengatakan bahwa studi kasus adalah a
detailed examanition of one setting, or one single subject, or one single depository of
document or one particular event, la melanjutkan bahwa terdapat tiga perbedaan tipe
49
studi kasus yang dilakukan secara kualitatif, yaitu (1) historical organizational case
studies, yang memusatkan perhatiannya pada suatu organisasi tertentu dalam waktu
yang lama, (2) observational case studies, yang memusatkan perhatiannya pada
observasi partisipan dan berfokus pada organisasi-organisasi tertentu ( misalnya :
sekolah, pusat rehabilitasi ) atau beberapa aspek organisasi, dan (3; life history, yang
memusatkan perhatiannya pada peristiwa riwayat seseorang.
Tipe studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah observational case
studies. Dengan menggunakan studi kasus observasional, penulis berharap dapat
menemukan gambaran mengenai kebiasaan para khatib dalam memberikan
khotbahnya, sehingga dapat terjawab pertanyaan: apa, mengapa, dan bagaimana
ragam bahasa yang digunakan oleh para khatib tersebut.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
lapangan dan wawancara. Yang diobservasi dalam hal ini adalah penggunaan bahasa
oleh khatib disaat menyampaikan khotbahnya. Kecuali ekspresi dan gaya bicaranya,
penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana
(sintagmatik), tidak mungkin diamati tuntas pada waktu itu. Karenanya, penulis
membantunya dengan observasi melalui perekaman. Hasil rekaman kemudian
ditranskrip secara utuh dan apa adanya ke drlam bahasa tulis untuk dikaji lebih lanjut.
Untuk lebih melengkapi data hasil rekaman, penulis juga mengadakan wawancara kepada khatib yang bersangkutan dan kepada beberapa mustami.
3.2 Sumber Data dan Prosedur Penentuan Sampel
Data penelitian ini berupa lima buah khotbah hasil rekaman langsung sebagai
bahasa ragam lisan para khatib di Kotamadya Bandung. Sumber data penelitian ini
50
khotbahnya dalam salat Jumat, dan (2) pendengar (mustami), yakni orang yang turut
menyimak khotbah dari khatib yang bersangkutan. Adapun prosedur penentuan sampel
atas kedua sumber data tersebut ditentukan sebagai berikut.
1) Peneliti melakukan observasi dan pendataan terhadap keberadaan mesjid-mesjid
yang ada di Kodya Bandung.
2) Dengan berasumsi bahwa setiap mesjid dan khatibnya memiliki kebiasaan dan
karakter yang berlain-lainan, maka ditetapkan tiga kriteria mesjid. Penetapan
tersebut dimaksudkan untuk menjamin adanya heterogenitas data yang akan
diperoleh. Secara garis besar, mesjid yang biasa digunakan khotbah (Jumat) di
Kodya Bandung, meliputi tiga klasifikasi.
a) Mesjid dalam klasifikasi besar. Yang termasuk ke dalam kelas ini, tidak hanya
patokan ukuran fisiknya, melainkan pula banyaknya jamaah. Mesjid ini biasanya
terletak di tengah jantung kota, atau sekurang-kurangnya meliputi jamaah dari
berbagai lingkungan pemukiman (komplek). Biasanya khatibnya pun adalah yang dianggap memiliki popularitas (kondang), jam terbang khotbahnya lebih banyak.
Demikian halnya dengan para audien (jamaah)-nya, yang dipandang lebih banyak
berasal dari kelas menengah ke atas, dan lebih heterogen.
b) Mesjid dalam klasifikasi menengah. Di samping ukurannya yang relatif lebih kecil
daripada mesjid besar, juga jumlah audiennya yang lebih sedikit. Mesjid yang ada
di suatu komplek tertentu, kami anggap mewakili mesjid kelas ini. Kualifikasi kepopularitasan khatib tidak menjadi tuntutan mesjid kelas seperti ini. Namun demikian, paling tidak khatib memiliki pengetahuan umum yang luas daripada
audien, di samping pula penguasaan bidang keagamaan yang mumpuni.
Sedangkan audien cenderung lebih homogen bila dibandingkan dengan audien
yang ada di mejid besar, baik latar belakang pendidikan maupun ekonomi.
51
dengan rasio audien (jamaah) yan9 jumlahnya sedikit, terbatas pada masyarakat
yang ada di satu atau dua lingkungan RT. Umumnya yang lebih berperan sebagai
khatib di mesjid ini adalah tokoh di lingkungan tersebut. Penokohan mungkin
diletarbelakangi oleh pendidikan keagamaannya (kiyai, ustad) atau gelar
keagamaan (haji). Para audien sangat homogen, baik latar belakang pendidikan
maupun ekonomi.
Dari tiga klasifikasi mesjid yang telah ditetapkan di atas, kemudian ditentukan
unrtuk masing-masing sampel khatib. Tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya bias. Karena itu, khatib yang dipilih adalah mereka yang benar-benar sering berkutbah di mesjid tersebut, atau yang latar belakangnya representasif dengan identitas mesjidnya. Selain itu, topik khotbah juga menjadi salah satu pertimbangan pemilihan. Dengan
demikian, jumlah khatib yang ditetapkan sebagai sampel yaitu sebanyak lima orang,
yang masing-masing khatib itu menyampaikan topik khotbah yang beriainan.
Dalam pelaksanaan observasi tersebut, penulis juga berperan sebagai mustami, bergabung dengan para mustami lainnya. Pada saat itu observasi langsung hanya
terfokus pada unsur di luar kebahasaan, sedangkan, pengamatan terhadap unsur-unsur kebahasaannya itu sendiri dilakukan melalui perekamaman (tape recorder).
Proses perekamanan dimulai sejak khatib mulai pengucapkan salam pembuka (khotbah
pertama) sampai dengan khotbah selesai. Kecuali proses perekaman, penulis tidak melakukan pencatatan lainnya, sebab ketika khotbah berlangsung para mustami tidak
diperkenankan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya selain menyimak apa yang
disampaikan khatib.
Sumber data lainnya berupa hasil wawancara terhadap para khatib dan para
mustami. Berbeda dengan hasil observasi, data ini daharapkan menjadi penjelas atau
pelengkap bagi sumber data pertama. Sebagaimana dikemukakan dalam tujuan
52
pengertian (pemahaman) para khatib tentang ragam bahasa juga efektivitas dari ragam
bahasa yang mereka gunakan. Untuk itu, cara yang harus dilakukan adalah dengan
mewawancara para khatib itu secara langsung dan mengetahui evektivitas khotbahnya
itu dengan cara bertanya kepada para audien. Adapun wawancara dengan mustami
(audien), proses penentuannya dilakukan secara acak; dalam arti, tidak dilakukan
pemilihan-pemilihan secara khusus. Baik wawancara kepada khatib maupun mustami
dilakukan secara informal, setelah khotbah itu berlangsung (selesai salat Jumat).
3.3 Teknik Pengumpulan dan Alisis Data
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Telah dikemukakan di atas, bahwa teknik yang digunakan dalam pengupulan data
bagi penelitian adalah teknik observasi langsung, perekaman bahasa, serta wawancara.
Teknik tersebut dilakukan melalui prosedur sebagai berikut.
1) Merancang instrumen observasi maupun wawancara yang akan digunakan
dalam roses pengumpulan data.
2) Mengumpulkan data dari tiga sumber (klasifikasi mesjid) yang telah ditetapkan, yakni melalui observasi langsung dan perekaman. Dalam hal ini
penulis mengobservasi pelaksanaan khotbah, dan guna melakukan perekaman terhadap ragam bahasa yang digunakan khatib untuk kemudian
ditranskrip.
3) Secara bertahap, kami mencatat (menginventarisasi) ragam bahasa yang
dipandang menjadi identitas keragaman bahasa khotbah. Aspek yang penulis
catat dalam hal ini fonologi, morfologi, pilihan kata, sintaksis, dan unsur
wacananya.
53
diperoleh dari hasil wawancara.
5) Merangkum dan mengidentifikasi hasil analisis.
6) Membahas hasil analisis.
7) Merumuskan kesimpulan dan saran atas hasil penelitian.
8) Menetapkan implikasi bagi pengajaran bahasa Indonesia.
Dalam kegiatan penginventarisasian data, diadakan pemeriksaan dari
sumber data yang telah terkumpul. Kegiatan tersebut dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a) Menelaah bahasa khotbah yang telah ditranskrip.
b) Menandai unsur-unsur kebahasaan, yang meliputi unsur fonologi, morfologi,
pilihan kata, sintakasis, dan unsur wacana, dan yang dianggap sebagai
karakter atau ragam khas dari khotbah. Terutama dalam hal ini adalah unsur
bahasa yang merupakan hasil gejala interferensi dari bahasa Arab ke dalam
struktur bahasa Indonesia.
c) Memasukkan bagian-bagian yang telah ditandai itu ke dalam lembar
observasi yang telah disediakan.
3.3.2 Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul disusun berdasarkan unsur-unsur kebahasaan, yang
digunakan oleh masing-masing khatib. Bersamaan dengan proses penyusunan data,
dilakukan pula proses identifikasi. Seperti yang tampak pada lembar instrumen,
pemasukkan data disertai pengidentifikasian, misalnya mana yang termasuk ragam
bahasa unsur fonologi, morfologi, dan setemsnya. Demikian halnya dengan (sub) ragam
yang mungkin terjadi pada unsur-unsur itu. Dalam unsur morfologi misalnya, kami telah
menyediakan tiga format kemungkinan terjadinya keragaman, yakni: pengimbuhan,
54
Sehubungan dengan banyaknya data yang harus dianalisis dari enam khotbah yang
dikumpulkan, setelah ditranskrip temyata menjadi sekitar tiga puluh enam lembar-maka
penginteventarisasian yang dilakukan terhadap data yang dipandang signifikan sebagai
ciri ragam bahasa khotbah. Bentuk-bentuk keragaman yang sejenis dicatat beberapa
bagian saja, dengan disertai contoh-contoh penggunaannya.
Langkah berikutnya, setelah semua data teriventarisasi, dilakukan interpretasi
terhadap stmktur dan fungsi kebahasaan. Hal ini dilakukan guna memperoleh gambaran
tentang fungsi-fungsi keragaman bahasa yang digunakan para khatib, dalam kaitannya dengan efektivitas khotbah. Lembar hasil wawancara terhadap para khatib dan para
BAB 5 PEMBAHASAN
i. 1 Gambaran Umum Ragam Bahasa Para Khatib
i.1.1 Bahasa Khatib Sebagai Ragam Lisan
Secara umum bahwa temyata ragam bahasa khotbah tidak jauh berbeda dengan
Didato-pidato atau pun bentuk komunikasi lisan lainnya. Dalam ragam khotbah banyak
dijumpai kalimat-kalimat yang mengalami pelesapan subjek, predikat, dan bagian-bagian
lainnya. Gejala pelesapan ini dimungkinkan, dengan alasan bahwa si pendengar dianggap
memahami bagian-bagian yang dilesapkan itu. Dengan cara demikian, jalannya komunikasi
lebih efisien dan tidak bertele-tele. Khatib dapat menyesuaikan kecepatan dan pilihan kata
dan kalimat yang digunakannya dengan situasi dan kondisi pendengamya. Secara hukum,
penyesuaian kecepatan (lamanya waktu) berkhotbah adalah dibenarkan. Dalam kondisi
tertentu, jalannya khotbah malah dianjurkan apabila kondisi para pendengar tidak
memungkinkan untuk bariama-lama di mesjid.
Dalam ragam khotbah pun para khatib memiliki keleluasaan pula untuk menggunakan
gaya dan metode pembicaraan sebagaimana yang beriaku dalam bentuk-bentuk pidato
lainnya. Gaya bahasa repetisi, kalimat retoris, dan kalimat sapaan, adalah beberapa contoh
fenomena kebahasaan yang digemari para khatib (lihat Tabel 4.21). Untuk suatu pemyataan,
mereka dapat mengulanginya beberapa kali, baik dalam bentuk pemyataan sama atau pun
berbeda. Kalimat repetisi tampak lebih dominan dibandingkan dengan gaya kalimat lainnya.
Kenyataan ini dapatlah dimengerti, sebab khatib tidak hanya berkepentingan untuk membuat
jelas suatu pemyataan, melainkan memiliki tugas untuk menerjemahkan dan membuat jelas
berbagai kalimat yang mereka ungkapkan dalam bahasa Arab. Sedangkan, untuk memancing
dan menarik perhatian para pendengar, mereka tidak jarang pula melontarkan
pemyataan-pemyataan retoris, yang menyentak, menyindir, dan bemada mengingatkan. Kalimat-kalimat
sapaan mereka gunakan pula, yang biasanya ditempatkan setiap kali mengganti topik
pembicaraan. Tentu saja mereka tidak pemah mengeluarkan sapaan dengan ucapan "para
ibu", sebab pendengamya homogen kaum laki-laki. Memang dalam soal sapa-menyapa ini,
208
ampaknya dalam ragam khotbah ada kaidah tersendiri. Para khatib tidak menempatkan para
>endengarnya sebagai pihak yang hams dihormati, sebagaimana layaknya dalam
pidato-jidato pada umumnya. Kalimat sapaan "Hadirin, yang saya hormati" misalnya, lebih sering
diganti dengan "Hadirin, sidang Jum'at, yang Allah muliakan" atau "Hadirin, undangan Allah
yang berbahagia". Dalam teologi Islam, mesjid dipandang sebagai mmah Allah. Karena itu,
siapapun yang datang ke mesjid (misalnya, untuk mengikuti khotbah dan salat) dianggap
sebagai tamu Allah.
Jalannya khotbah yang penulis telaah adalah khotbah yang disampaikan serta merta,
spontanitas. Karena itu, tidak sedikit dijumpai kalimat-kalimat yang tidak jelas stmktur maupun
maknanya. Dalam satu kalimat terdapat lima klausa, bahkan ada pula yang lebih. Selain itu,
dijumpai pula kalimat yang hubungan antara unsur-unsumya tidak jelas, penempatan
konjungsi dan kedudukan fungsi-fungsi kalimatnya kacau. Banyaknya kalimat efektif temyata
tidaklah sama antara khatib yang satu dengan khatib yang lainnya. Latar belakang pendidikan
serta jumlah "jam terbang" mempakan faktor penting yang berpengaruh terhadap efektivitas
pemakaian bahasa para khatib.
Apa yang penulis kemukakan di atas mempakan fenomena kebahasaan yang memang
tidak hanya dijumpai dalam ragam khotbah, tetapi juga terdapat dalam ragam komunikasi
lisan lainnya. fenomena kebahasaan yang penulis kemukakan di atas dapat dibandingkan
dengan rri umum komunikasi lisan yang diberikan Brown &Yule (1983:12). Dari delapan ciri
komunikasi lisan—lebih lengkapnya lihat Bab II tentang Landasan Teori- yang diberikan
Brown dan Yule, tiga diantaranya dijumpai dalam ragam khotbah.
1) Kalimat bahasa lisan banyak yang tidak terstruktur apabila dibandingkan dengan bahasa
tulisan, yakni: (a) bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan hanya
urutan-urutan frasa sederhana; (b) bahasa lisan secara khusus memuat lebih sedikit
kalimat subordinat; (c) dalam komunikasi lisan, kalimat-kalimat pendek dapat diobservasi
dan biasanya berbentuk kalimat-kalimat deklaratif.
2) Penutur dapat menjaring ekspresi lawan.
209
Terjadinya kekeliruan-kekeliruan kalimat atau yang disebut kalimat efektif, dalam
Dmunikasi lisan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Hal tersebut disebabkan oleh
empitnya kesempatan bagi para penutur (khatib) untuk memikirkan ketepatan bahasa yang
kan digunakannya. Berbeda dengan komunikasi tulis, dalam hal ini penulis memiliki
kalimat-alimat yang akan disusunya. Namun demikian, menurut Rusyana (1984: 144) sesuatu yang
idak jelas dalam komunikasi lisan dapat saja langsung dikoreksi atau dibetulkan pada saat
tu juga. Apa yang dianggap tidak jelas oleh pendengar dapat langsung ditanyakan pada
Dembicara. dalam konteks komunikasi lisan lainnya, apa yang dikemukakan Rusyana
memang bisa berlaku demikian. Tetapi dalam konteks komunikasi khotbah hal tersebut
merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Jangankan untuk protes dan angkat
tangan untuk bertanya, sekedar mengucap "uh" pun sebagai tanda kecewa, dalam suasana
khotbah merupakan sesuatu yang dilarang. Siapapun yang melanggar ketentuan tersebut,
dianggap batal jum'atnya. Sesuatu yang tidak jelas oleh para pendengar harus diterima apa
adanya.
Batasan-batasan yang mengatur tata cara berkhotbah memang lebih ketat bila
dibandingkan dengan bentuk komunikasi lisan (pidato) lainnya, baik itu peraturan yang
menyangkut khatib sendiri maupun bagi para pendengamya. Khususnya tentang tata
peraturan yang diberiakukan bagi para khatib ,Taufik (1980: 21-22) memmuskannya sebagai
berikut, yakni bahwa khotbah itu hams (1) objektif, (2) menanamkan tauhid, rukun iman, danmkun Islam , (3) diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran, (4) sopan santun, (5)
tidak kasar dalam mengutarakannya, (6) selalu beriandaskan ayat-ayat Alquran dan hadis
Nabi, (7) motivatif, yakni berupa pengarahan, pembinaan karakter, dan pemantapan
keyakinan, dan (8) dalam penutup diakhiri dengan do'a.
Dengan demikian, walaupun khotbah memiliki banyak persamaan dengan bentuk-bentuk pidato atau komunikasi lainnya, tetapi khotbah pun memiliki karakteristik tersendiri.
Kekhasan tersebut dimungkinkan oleh adanya pengamh dari situasi dan kondisi yang
melatarbelakanginya, Khotbah jum'at misalnya karena beriangsung di tempat ibadah (mesjid)
210
amslah yang sopan dan kontekstual. Kehadiran seseorang ke dalam mesjid tidak lain adalah
una mendekatkan diri kepada-Nya. la terikat dan bersandar pada eksistensi kehambaan
ntuk selalu merendahkan diri dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.
Seorang khatib yang mungkin dalam pidato-pidato umum senang humor, maka dalam
chotbahnya ia hams menjagaperkataanya agar tidak tergoda untuk melakukan kebiasaannya
tu. Seorang khatib yang melucu berarti ia mengundang tawa para pendengamya, sedangkan
tertawa dalam suasana khotbah mempakan sesuatu yang tertarang. Demikianlah suasana
dalam khotbah beriangsung serius. Karena itu tidak jarang, dijumpainya para pendengar yang
terielap disaat khotbah itu beriangsung. Tampak banyak cara yang dilakukan para khatib
dalam menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan itu. Suatu langkah umum, dan ini hanya
dijumpai dalam ragam khotbah, para khatib mengutip ayat Alquran atau pun hadis. Kalau
tidak yang bersifat jaminan sorga (reward), maka yang dikemukakan khatib adalah yang
bersifat "ditawarkan"khatib dengan tujuan menggugah dan memotivasi para pendengar untuk
mengikuti apa yang dinasehatkan, paling tidak tertarik pada apa yang disampaikannya.
5.1.2 Ragam Baku dan Tidak Baku
Berdasarkan ciri-ciri kebakuan bahasa yang diberikan Kridalaksana (1996: 4) temyata
bahwa dalam khotbah terkandung unsur-unsur kebakuan bahasa. Unsur-unsur kebakuan itu
tampak pada hal-hal berikut.
(1) Eksplisitas penggunaan konjungsi. Sebagai contoh, adalah sebagaimana yang
tampak pada kalimat A.137, B.5, C.31, D.21, dan kalimat E. 128. Dalam kalimat-kalimat
tersebut khatib menyatakan konjungsi secara dieksplisitkan. Namun demikian, secara
keselumhan penulis mengakui bahwa kalimat tersebut masih belum baku benar, bilah hams
dikaitkan dengan cara khatib melafalkan fonem (A.29. A.99, A.106, B.3, B.4, B.34, C.3, C.19,
C.28, D.78, D.93, D.107, E.219, dan E.115) dan pemilihan kata (A.52, A.53, B. 27, B.38,
B.68, B.97, C.36, C.39. D.6, D.13, D.46, E.63, dan E. 93).
(2) Penggunaan fungsi gramatikal secara eksplisit Yang dimaksud fungsi gramatikal
211
amatikal-tidaknya suatu kalimat. Bagian-bagian kalimat yang dimaksudkannya itu adalah
ibjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), atau keterangan (K). Salah satu ciri
alimat yang menumt KBBI adalah terpenuhinya syarat minimal fungsi subjek dan predikat
;alimat inti). Berdasarkan kandungan fungsi-fungsi yang membentuknya, kalimat-kalimat
ang digunakan khatib pada umumnya memenuhi fungsi minimal itu. Contohnya, tampak
ada kalimat A.17, A.116, B.2, B.24, B.67, C.30, C.43, C.48, D.5, D.49, D.116, E.1, E.21, dan
=.51.
Yang menarik dalam hal ini bahwa untuk menjumpai kalimat yang betul-betul
jerstmktur dasar S-P, S-P-O, atau S-P-O-K, temyata sangat sulit. Yang ada justm,
variasi-/ariasi pola kalimat yang beragam jumlahnya. Berdasarkan hasil analisis, dalam
kalimat-<alimat tersebut dijumpai tidak kurang dari sembilan variasi pola kalimat, yakni sebagai
berikut: S-P, S-P-Pel, S-P-K, S-K-P, P-S, P-S-K, S-P-0, S-K-P-O, dan S-K-P-O-K. Di
samping pola-pola tersebut, masih terdapat variasi-variasi lainnya yang akan semakin
menarik apabila dikaji lebih lanjut.
(3) Penggunaan me/V- dan ber- secara eksplisit. Imbuhan me- dan ber- sama sama
berfungsi untuk membentuk kata kerja aktif. Persamaan lainnya, bahwa kedua imbuhan
tersebut memiliki toleransi untuk dilesapakan; dalam arti, pemakaiannya tidak dieskplisitkan
dan dalam batas-batas tertentu hal tersebut tidak begitu mengganggu makna kata yang
dibentuknya. Kalimat A.2, A.93, A.95, B.8, F89, B.91, C.36, C.56. C.73, D.42, D.54, D.61,
E.105, dan E.110 mempakan contoh-contoh kalimat yang memiliki predikat yang berimbuhan
me- dan imbuhan ber-, yang oleh khatib dinyatakan secara eksplisit. Namun, bahwa temyata
kalimat-kalimat semacam itu mempakan sejumlah kalimat sangat langka adanya dalam
ragam bahasa khatib. Para khatib temyata lebih banyak menaggalkan kedua imbuhan
tersebut daripada menyatakannnya secara eksplisit, contohnya paada kalimat A.30, 34, 35,
37, 41, , 68, B. 28, B. 39, B. 66, C.7, C.51, dan C.72.
(4) Penggunan polaritas tutur sapa. Pengunaan tutur sapa yang digunakan oleh para
khatib temyata hampir seragam. Mereka menggunakan panggilan "khatib" sebagai sebutan
212
erbahagia", atau "Hadirin, sidang Jumat yang berbahagia". Terdapat perbedaan antara
anggilan untuk orang ketika yang memjuk peada Tuhan, Nabi, dan orang pada umumnya.
Jntuk menyapa Tuhan, para khatib menggunakan kata ganti "Dia" atau klitik "-Nya", kepada
Jabi digunakan panggilan "beliau" , sedangkan untuk masyarakat (orang) pada umumnya,
>ara khatib menggunakan panggilan "mereka". Gejala tersebut dijumaoi hampir pada semua
<hatib yang diteliti (lihat Tabel 4.13).
5.1.3 Ragam Khas Para Khatib
Ragam bahasa khotbah memiliki karakteristik tersendiri. Hal ini antara lain tampak
pada pemakaian kata-kata bahasa Arab. Dipilihnya kosakata bahasa Arab (lihat Tabel 4.16)
memberikan suasana formal-ritualistik. Munculnya kata-kata bahasa Arab seperti itu cukup
untuk membedakan ragam bahasa khotbah dengan bentuk komunikasi lainnya. Ragam
bahasa khotbah didominasi oleh pemakaian bahasa Alquran dan hadis, di samping
kedudukannya sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah ritual (Jumat).
Kekhasan ragam bahasa khotbah tidak hanya tampak pada pemakaian kata (diksi),
tetapi juga tampak pada pelafalannya. Jumlah pemakaian fonem dari bahasa Arab adalah
yang paling banyak, disusul kemudian oleh pmakaian fonem dari bahasa Sunda (lihat Tabel
4.15). Sementara itu, interferensi dari bahasa lainnya sangat langkah. Dibandingkan dengan
bahasa lainnya, gejala interferensi fonem bahasa Arab le! ih kuat pengamhnya.
Berkaitan dengan aspek morfologis, penulis tidak menjumpai kekhasan-kekhasan
pemakaian bahasa. Gejala-gejala morfologisasi seperti bentuk pemenggalan afiks dan
pengulangan serta kerancuan pengimbuhan mempakan hal yang umum terjadi dalam ragam
komunikasi lisan lainnya.
Kehasan pemakaian ragam bahasa khotbah dalam kaitannya dengan gejala
interferensi kalimat. Adalah benar bahwa tidak semua bentuk interferensi kalimat didahului
oleh pemyataan pemberitahuan seperti itu. Kalimat-kalimat yang dimaksud contohnya terdapat pada kalimat (A.3), (A.23). (A.46), (A.51), (A.53), (A.57), (A.73), (C.24), (B.81),
213
Khotbah cendemng mempakan wacana yang bersifat persuatif, yang tujuannya
lengajak, mendorong, dan membujuk pihak pendengar. Bagian-bagian persuatif yang
imaksudkan khatib, antara lain, bempa ajakan untuk mensyukuri nikmat dan kamnia yang
iberikan Allah dan untuk memelihara serta meningkatkan iman dan takwa, serta untuk selalu
lerdoa kepada-Nya.
5.3 Kesadaran Pemakaian Ragam Bahasa oleh Para Khatib
Menentukan kesadaran (pentingnya) pemakaian ragam bahasa oleh para khatib dalam
hal ini berarti membandingkan antara ketentuan-ketentuan pemakaian ragam bahasa khotbah
secara normatif dengan kenyataan berbahasa yang sesungguhnya, ketika khatib itu sendiri
menyampaikan khotbahnya. Cara lainnya, adalah dengan mewawancarai mereka secara
langsung, untuk menanyakan ihwal pemakaian ragam khotbah yang biasa mereka gunakan. Cara yang kedua ini memang dipandang terialau teknis, dan bias, subjektivitasnya terlalu
tinggi. Dikatakan terlalu teknis karena konsep keragaman berbahasa mempakan persoalan
akademikus, yang tentunya apabila hal tersebut dikonsultasikan dengan para khatib sedikit
banyak akan berhadapan dengan kendala tersebut. Di samping itu, unsur subjektivitasnya
pun akan banyak mewamai, kadar objektivitasnya sulit dikontrol. Dengan memperhatikan
hal-hal tersebut di atas, maka dalam pembahasan ini penulis akan lebih memfokuskan pada cara
pertama. Penulis akan berfokus pada perbandingan antara kaidah-kaidah normatif ragam khotbah dengan kenyataan yang sesungguhnya di lapangan. Namun dengan cara ini tidak
berarti informasi dari khatib itu sendiri diabaikan. Penulis akan menyertakan
pendapat-pendapat khatib itu sendiri sebagai data penunjang.
Kaidah normatif yang menjadi mjukan dalam kajian ini adalah konsep atau tata aturan
berkomunikasi lisan yang dikemukakan para ahli serta kaidah-kaidah lain berkenaan dengan
pelaksanaan khotbah itu sendiri. Deskripsi kebahasaan yang telah penulis kemukakan
214
tual yang bersifat sakral, secara kebahasaan mereka maknakan sebagai penggunaan
•ahasa secara tertib, sopan, dan terkendali.
Tertib berbahasa dalam khotbah berarti tidak mengabaikan kaidah-kaidah
cetatabahasaan maupun kaidah pemaknaan, khususnya ketika mereka mengutip
pemyataan-pemyataan yang bersifat hukum. Pengucapan unsur fonologis misalnya, mereka pertahankan
Keasliannya. Maka karena itu, banyak dijumpai kata-kata asing (Arab), yang walaupun sudah
diserap dan disesuaikan secara resmi ke dalam bahasa Indonesia, tetapi oleh khatib masih
diucapkan sebagaimana pengucapan dalam aslinya. Misalnya kata-akata Arab yang dalam
KBBI ditulis (dan berarti dilafalkannya pun) berkat, salat, nikmat, zalim, Jumat, rida, dan hadis
oleh para khatib dilafalkan dengan barkah, solat, dzolim, Jumah, ridlo dan hadis.
Mereka pun tampaknya lebih menyukai kata-kata yang berbahasa Arab daripada
padanannya yang memang sudah ada dalam bahasa Indonesia. Mereka lebih senang
menggunakan, misalnya, kata sahabat, jasmani, rohani, janah, aib, amal, syukur, mubalig,
tobat. Banyaknya pemakaian istilah atau pun kata berbahasa Arab, dapat saja menimbulkan
kesan bahwa kecintaan atau nasionalisme mereka terhadap bahasa Indonesia rendah. Bila
ditinjau dari norma yang beriaku di luar sosiologi kebahasaan penilaian tersebut boleh jadi
tidak terialu salah. Namun, bila ditinjaunya dari fungsi dan konteks pemakaian bahasa itu
sendiri, jelas, bahwa penilaian tersebut sangatlah tidak tepat.
Penggantian kata Arab sahabat dengan kata yang lebih mempribumi, yakni dengan kata
kawan misalnya, sepintas tidak akan bermasalah. Sebabnya, antara sahabat dengan kawan
mempakan dua kata yang bersinonim; dalam arti, kandungan makna yang ada di dalamnya
adalah sama. Tetapi tidak demikian adanya bila kedua kata tersebut sudah digunakan dalam
konteks kalimatnya. Makna stmktural kata sahabat dalam ungkapan sahabat Nabi jelas lain
dengan makna stmktural dari kata kawan bila hams ditempatkan dalam ungkapan yang
sama. Ungkapan kata sahabat Nabi jelas memilki rasa bahasa yang berbeda dengan
ungkapan kawan Nabi; atau antara ungkapan sahabat Umar dengan ungkapan kawan Umar.
Perbedaan-perbedaan rasa bahasa dalam penggunaan kata atau istilah-istilah tersebut,215
(konteks) beriangsungnya khotbah, di samping faktor kesejarahan dari masing-masing
itu sendiri. Karena kata sahabat itu berasal dari Arab dan konteks pemakaiannya pun
i dalam suasana keislaman, maka penggunaan kata sahabat lebih tepat dibandingkan
i kata kawan yang bukan berasal dari bahasa Arab. Lebih dari itu, bahwa kata sahabat
i kata yang sudah "akrab" bersandingan dengan kata "Nabi" atau "Rasul". Karena itu,
a kata itu diganti oleh kata lainnya walaupun bersinonim, maka akan tampak
jgalannya.
Bila memperhatikan faktor-faktor di atas, maka penggunaan unsur-unsur (kata, istilah)
bersifat kearab-araban dipandang lebih komunikatif dibanding dengan pemakaian unsur
;a lainnya, sekalipun unsur itu berasal dari bahasa asli Indonesia (Melayu). Hal itu terjadi
ia pemaknaan kata-kata tersebut lebih melekat pada penampilan asosiasi makna atas
hubungan dengan faktor luar kebahasaan, yakni yang dalam hal ni adalah suasana yang
jansa kearaban. Selain itu, karena adanya gambaran makna yang ditimbulkan oleh
ya hubungan antara masing-masing unsur kebahasaan itu sendiri secara internal
ner, 1981:29).
Yang menjadi persoalan kemudian, apakah ketentuan itu beriaku untuk semua
jtilahan; atau dengan kata lain, benarkah setiap unsur yang kerab-araban itu pasti akan
i komunikatif, dan mudah dipahami oleh para pendengamya. Jawabannya, tentu saja
<. Sebab walau bagaimanapun para pendengar khotbah (yang penulis teliti)
anlahorang Arab , melainkan masyarakat Sunda yang tentunya memiliki kultur
ahasaan yang jauh berbeda dengan mereka yang berkultur bahasa Arab. Menyadari akan
yataan pendengamya yang seperti itu, maka muncul pulalah istilah-istilah yang
kesunda-daan. Yang menarik dalam hal ini, dijumpainya seorang khatib yang lebih banyak
nggunakan kosakata Sunda dibanding dengan khatib-khatib yang lain, padahal khatib
ig bersangkutan bukan orang Sunda asli.
Munculnya dua interferensi bahasa dalam ragam khotbah memang sungguh menarik
abila dikaji lebih lanjut. Telah penulis kemukakan di atas bahwa dalam konteks tetentu
216
mengena. Karena itu, munculya unsur-unsur kearaban dalam hal ini adalah fungsional,
i arti tersendiri, dan penting. Lalu, bagaimana halnya dengan penggunaan unsur-unsur
jrahan, yang dalam hal ini bahasa Sunda? Apakah peranannya sama penting
jaimana halnya dengan gejala interferensi abahasa Arab, atau bahkan lebih penting
Sedikitnya tiga variabel yang terkait dengan persoalan ini, yakni (1) latar belakang
hasaan pendengar, termasuk status pendidikannya, (2) lingkungan sosiai budaya, dan
tidak kalah pentingnya lagi adalah (3) menu kebahasaan yang disajikan oleh para khatib
l memiliki tingkatan yang berbeda, yakni antara mereka yang menggunakan menu
ihasaan yang kesunda-sundaan dengan mereka yang menggunakan menu kebahasaan
i kearab-araban. Untuk sampai pada kajian ketiga variabel tersebut, diperiukan metode
crimen dan survey yang lebih secara khusus. Sedangkan, bahasan dalam penelitian ini
<sampai pada arahan masalah yang sejauh itu.
Bahasan atas perbandingan tingkat efektivitas komunikasi antara pemakaian unsur
ahasaan yang bemuansa kearab-araban dengan yang kesunda-sundaan, dalam hal ini
n lebih diarahkan pada kontekstualitas wacana, yang kemudian dikaitkan dengan fungsi
itbah itu sendiri. Namun demikian dikaitkan dengan fungsi khotbah itu sendiri. Namun
nikian, pemahaman dan tanggapan pendengar atas ragam tetap penulis anggap penting.
mbahasan atas soal ini akan dikemukakan pada bagian selanjutnya (lihat Sub bab 5.4).
Dalam tabel 4.16 dideskripsikan sejumlah kosakata Arab yang digunakan oleh para
atib. Masing-masing kosakata tersebut memiliki nuansa makna tertentu, yang tidak dimiliki
jh kosakata yang ada dalam bahasa Indonesia, meskipun misalnya kata tersebut
jrupakan sinonimnya. Banyaknya kosakata Arab yang digunakan khatib mempakan salah
tu indikator bahwa para khatib banyak yang menguasai kosakata Arab. Di luar itu,
mungkinkan oleh kepentingan para khatib atas digunakannya kosakata tersebut. Para
latib berkepentingan untuk memelihara ketepatan makna yang dikandung oleh kosakata rab yang digunakannya, di samping untuk memberikan efek psikologis, baik terhadap para
217
atu aspek akan meberikan nuansa tersendiri terhadap jalannya komunikasi yang
isampaikannya. Suasana formal-ritualistik akan sedemikian kental adanya. Yang pasti lagi
ahwa banyaknya kata-kata serapan dari bahasa Arab seakan menunjukkan kesadaran para
hatib akan periunya suasana khusuk dan serius.
Kekhusuan yang "mencekam" dalam suasana berkomunikasi dapat menjadi
>enghambat efektivitas komunikasi itu sendiri. Karena itu, muncullah kosakata-kosakata yang
jersifat kedaerahan (sundaan). Pada tabel 4.4 digambarkan kata yang
kesunda-sundaan yang digemari oleh khatib C. Kata-kata yang kesunda-kesunda-sundaan dijumpai pada
keempat khatib lainnya. Teriepas dari apakah hal itu disadari atau tidak, kemunculan
kata-kata itu memberikan efek kesegaran dan keakraban bagi para pendengamya. Dengan
demikian, suasana yang khusuk- "mencekam" itu bisa dicairkan dengan munculnya kata-kata
yang sifatynya kedaerahan.
Menyinggung soal perhatian khatib itu sendiri berkenaan dengan pemilihan jenis
kebahsaan ini, setidaknya terdapat empat hal yang dijadikan patokan.
1. Kebiasaan berbahasa lingkungan setempat.
2. Gambaran pendidikan jamaah secara umum.
3. Lingkungan keorganisasian yang mengikat jamaah
4. Bahasa yang digunakan oleh MC (pembawa acara)
Kebiasaan masyarakat, termasuk latar belakang pendidikan, mempakan faktor yang
memberikan banyak gambaran tentang kecenderungan bahasa yang hams digunakan oleh
seorang khatib. Maksudnya, apakah ia hams menggunakan bahasa sunda, Indonesia, atau
yang lebih banyak kosakata Arabnya. Lingkungan masyarakat yang umumnya dihuni oleh
penduduk asli, bukan pendatang, seorang khatib sudah bisa memastikan bahwa bahasa yang
hams digunakan adalah bahasa sunda. Namun demikian, variabel pendidikan yang
218
gi, kalau umumnya para pendengar (jamaah) itu berlatar belakang pesantren, maka
isakata Arab-lah yang akan banyak digunakan.
Jenis bahasa yang digunakan oleh MC temyata mempakan faktor lain yang tidak lepas
ari perhatian seorang khatib dalam memulai khotbahnya dan yang mempengamhi
sputusannya, apakah ia hams menggunakan bahasa Indonesia ataukah bahasa daerah.
;ara penentuan ini mereka gunakan, apabila mereka mengalami "kebutaan" mengenai latar
elakang sosiai dan kebiasaan para jamaah yang sesungguhnya. Lebih dari itu hal yang
angat menarik, bahwa latar belakang organisasi keagamaan yang menaungi mereka
nempakan variabel yang temyata tidak luput dari perhatian mereka. Variabel ini mereka
jnggap penting guna menentukan pemilihan dasar hukum, ayat-ayat, atau pun dalil-dalil yang
sesuai dengan pola pemikiran jamaah. Variabel ini adalah penting pula dipertiatikan, dengan
-naksud menghindari penolakan dan benturan yang mungkin terjadi antara pemikiran khatib
dengan pola pemikiran baku yang menjadi keyakinan para jamaahnya.
5.3. Ciri Ragam Kebahasaan Para Khatib
Lima aspek kebahasaan yang penulis teliti memberikan banyak gambaran bahwa
temyata khotbah mempakan bentuk komunikasi yang memiliki ragam terrsendiri. Memang
bahwa khotbah sebagai ragam bahasa lisan memiliki kesamaan-kesamaan dengan bentuk
komunikasi lisan lainnya. Tetapi, di samping itu terdapat pula perbedaan-perbedaan lainnya
yang menguatkan pada asumsi bahwa khotbah tidak sama dengan komunikasi-komunikasi
lisan pada umumnya. Komunikasi lisan seperti dalam percakapan sehari-hari ragam bahasa yang digunakannya adalah ragam santai, tetapi ragam khotbah tidak demikian. Bahwa
khotbah terikat oleh aturan-aturan baku dan formal adalah benar. Khotbah adalah bentuk
komunikasi yang sangat kental dengan dimensi religius. Karena itu, tidak aneh apabila di
dalamnya banyak dijumpai kata/istilah atau pun kalimat-kalimat Islamis, yang kearab-araban.
Walapun demikian, berdasarkan deskripsi data dan analisis di atas, temyata bahwa kenyataan itu tidak mutlak adanya. Di dalam khotbah nyatanya dijumpai kata/istilah atau
219
iak selalu dijumapi pemyataan-pemyataan yang sifatnya larangan atau perintah,
oktrinisasi, dan sebagainya, tetapi terdapat pula penggalan-penggalan wacana naratif dan
eskriptif yang mengasyikan.
Tentang bagaimana ragam bahasa itu yang sesungguhnya, berikut penulis bahas
ierdasarkan kajian lima aspek kebahasaan.
1.3.1 Fonologi
Berdasarkan aspek fonologi yang ada di dalamnya, ragam bahasa khotbah telah
nenunjukkan kekhasannya. Stmktur fonologi para khotib banyak dipengamhi oleh stmktur
fonem yang beriaku dalam bahasa Arab. Gejala yang terjadi bempa pergantian fonem, yakni bempa pelafalan fonem yang kearab-araban untuk fonem-fonem yang berbahasa Indonesia. Dari gejala itu pula muncul beberapa fonem Arab yang tidak dikenal dalam sistem fonetis
bahasa Indonesia. Adalah benar bahawa dalam hal ini terdapat perbedaan antara sistem
fonetis yang beriaku dalam bahasa Indonesia dengan yang beriaku dalam bahasa Arab.
Dengan adanya perbedaan tersebut berakibat pada timbulnya kesimpangsiuran dalam hal
penyerapan. Dan sayangnya dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempumakan belum memuat kadiah pengucapan (dan penulisan) unsur serapan itu secara
terperinci (Effendi, 1998: 214). Namun demikian, menumt konversi sementara, sedikitnya
terdapat dua betas fonem Arab yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia.
Beberapa fonem-fonem yang fcJak dikenal, yakni fonem &,{_,*, j> itu
dilafalkan para khatib. Yang pasti, semua khatib yang diteliti tidak satu pun yang berasal dari
bahasa Arab, tetapi stmktur fonem bahasa itu sangatlah besar pengamhnya terhadap carapelafalan mereka Tampak mereka kesuliten untuk menggantikan fonem-fonem tersebut
dengan fonem-fonem yang beriaku dalam bahasa Indonesia.
Interferensi bahasa Arab terjadi pula terhadap fonem-fonem bahasa Indonesia lainnya.
Hanya saja fonem penggantinya itu sudah dikenal dalam bahasa Indonesia. Fonem-fonem
yang dimaksud misalnya lei, lol, HI, dan /kh/. Terjadinya penggantian atau interferensi fonem
220
nnya yang benar-benar dari bahasa Melayu atau pun dari bahasa lainnya, tidaklah terjadi.
ejala ini sangat dimungkinkan oleh karena para khatib itu mengenai dan mempelajari
kata-ita tersebut langsung dari bahasa aslinya. Jadi, mengenai kata hadis, zalim, nikmat, solat,
an sebagainya bukan karena mereka memperolehnya dari pergaulannya di masyarakat,
ang notabene berbahasa Indonesia, tetapi langsung dari sumber aslinya, baik itu dari
teratur-literatur Arab ataupun karena pergaulannya yang intens dengan masyarakat yang
erbahasa Arab. Mereka tampak mengalami banyak kesukaran dalam melepaskan stmktur
:earab-arabannya, sekalipun mereka berkomunikasi dengan masyarakat umum yang
>erbahasa di luar bahasa Arab.
Kemungkinan lain, munculnya fonem-fonem Arab itu karena atas prinsip mereka yang
secara sengaja mempertahankannya, dengan pertimbangan menghindari bembahnya makna.
Prinsip ini memang sesuai dengan prinsip-prinsip komunikasi Islam. Antara lain, dinyatakan dalam Alquran bahwa, "Berkatalah kepada mereka tenteng diri mereka dengan qaulan
balighorf (An-Nisa/4:63). Kata baliohon dalam ayat ini berarti fasih, jelas maknanya, terang,
tepat mengungkapkan sesuatu sesuai dengan apa yang dimaksud yang sebenarnya.
Melafalkan fonem-fonem bahasa Arab memang memeriukan kehati-hatian. Dalam bahasa
Arab terdapat banyak kata yang berbeda makna, yang perbedaan maknanya itu hanya
ditandai oleh varian suatu fonem. Dalam bahasa Indonesia varian fonem tidak sampai
membedakan makna, sedangkan dalam bahasr Arab hal-hal semacam bisa membedakan
makna. Di samping dari bahasa Arab, sistem fonologi lainnya yang banyak berpengaruh
adalah dari bahasa daerah, terutama bahasa Sunda. Gejala keberpengamhan ini juga
memunculkan fonem-fonem bam, yakni diftong /ow/. Dalam bahasa Indonesia fonem ini
sejajar dengan diftong /au/. Gejala lainnya bempa pergantian dan penambahan fonem.
Fonem-fonem Sunda yang dimaksudkan itu adalah fonem lei, /hi, lol, dan lui.
Bila dibandingkan antara gejala interferensi dari bahasa Arab dan Sunda, baik secara
221
aripada dengan kondisi yang berbahasa Arab. Karena itu, dimungkinkan ada faktor-faktor
linnya yang periu ditelaah lebih pasti mengnenai sebab-sebab terjadinya gejala tersebut.
.3.2 Diksi
Mencermati masalah diksi yang digunakan para khatib menunjukkan bahwa
>enggunaan kata-kata dan istilah Arab sangat besar pengamhnya terhadap ragam bahasa
chotbah. Dari setiap khatib dijumpai lebih dari duapuluh kata yang berasal dari bahasa Arab.
Jumlah tersebut di luar kata-kata yang digunakan langsung dalam ayat-ayat Alquran dan
nadis yang sengaja mereka kutip. Kata-kata tersebut mudah dikenali, terutama dari stmktur
fonem yang membentuknya. Antara lain bahwa dalam kata-kata tersebut dijumpai
fonem-fonem yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, seperti fonem-fonem /dz/, /dh/, /gh/, /ts/, dan kh.
Dari sejumlah kata-kata Arab yang mereka gunakan itu sebagian besar sudah diserap
ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian lagi adalah kata-kata yang sama sekali asing.
Penggunaan kata-kata Arab yang sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia tidaklah menjadi
hambatan bagi terjalinnya komunikasi yang efektif. Lain halnya dengan kata-kata Arab yangsama sekali masih asing itu. Tentunya hal tersebut banyak memberikan kesulitan bagi para
pendengar. Menyadari hal tersebut beberapa khatib mengatasinya dengan cara memeberikan
aposisi, penerang, sinonim, atau pun terjemahan sigkat, terhadap kata dan istilah-istilah
tersebut Namun, ada pula yang dibiarkan, tanpa diberikan terjemahan khusus.
Kefasihan para khatib dalam melafalkan kata-kata Arab tersebut sangatlah kentara.
Baik itu dalam pengucapan fonem, intonasi, maupun tekanan (tesdid)-nya. Hal itu
menunjukkan tingginya penguasaan para khatib terhadap leksikal bahasa Arab. Dijelaskan
bahwa khatib itu antara lain adalah mereka yang fasih Alqurannya. Berdasarkan syarat itu,
maka tidak heran apabila para khatib tampak akrab dengan istilah-istilah tersebut.
Ragam khotbah adalah ragam bahasa yang banyak didominasi oleh kata-kata serapan
dari bahasa Arab. Meskipun ada sinonimnya, yang berasal dari bahasa Indonesia asli
misalnya, para khatib cendemng memilih kata serapannya. Kata sahabat, tawadu, solat, rida,
222
-nceramah. Dimungkinakn pula bahwa hal tersebut mereka lakukan guna memperoleh
jtepatan makna dari kata-kata Arab yang digunakannya itu. Khatib tidak bisa ienghindarinya, karena kata-kata tersebut dipandang lebih cocok digunakan dalam konteks
jrsebut Dengan digunakannya kata-kata Arab memberikan nuansa komunikasi yang lebih Drmal, lebih mendekati pada suasana ritualitas. Lebih dari itu menumt Arrosi (1993), bahwa
•engucapan kata-kata tersebut hams mantap dan meyakinkan, sebab kalau tidak akan nenyebabkan cacatnya sang penasihat (khatib) yang pada akhimya akan berbuntut pada
curang meyakinkannya nasihat yang diucapkan.
Mengenai banyaknya kutipan ayat-ayat Alquran atau hadis, dalam stmktur bahasa
Arab dikenal istilah "Iqtibas". Iqtibas ialah suatu cara untuk memperindah kalimat yang
dititikberatkan pada memperindah makna atau susunan kata-kata dengan mengutip ayat-ayat
Alquran atau hadis tanpa disebut bahwa ia itu Alquran atau hadis (Muhsin A.Wahab, 1983:
171-172). Contoh dalam ungkapan bahasa Arab :
^ ij aJ uij Aui oj£ iu1<^ i- cP * ( Telah terbukti apa-apa yang aku tekuti akan
terjadi, biariah karena kita semua akan pulang ke hadirat Allah swt).
Ungkapan ... u>s J c*^d^^ adalah kalimat yang disusun oleh pembicara,
sedangkan lanjutannya adalah ayat Alquran. Begitu pun para khatib, pada saat berkhotbah
mereka bemsaha memperindah khotbahnya baik makna maupun isinya dengan mengutip
ayat-ayat Alquran atau hadis dengan memakai pola "iqtibas".
Berbeda dengan kosakata bahasa Arab yang lebih berkesan formal, muncul kata-kata
bahasa daerah dan bahasa populer yang banyak memberikan suasana santai. Kosakata
bahasa daerah (Sunda) dan bahasa populer adalah kata-kata yang mudah diakrabi oleh para
pendengar. Tentunya apabila khatib bisa menempatkan kata tersebut secara benar, maka
akan lebih banyak menarik perhatian mereka. Namun tentu saja, pilihan-pilihan kata bahasa
daerah atau pun bahasa populer ini sangat bergantung pula kepada siapa pendengamya.
223
enghindari resiko yang mungkin ditimbulkannya, maka dapat dipamahami apabila khatib
bih memilih bahasa Arab yang relatif lebih netral.
.3.3 Morfologi
Berbeda dengan dua aspek sebelumnya yang umumnya lebih dipengamhi oleh faktor
iterferensi bahasa Arab, pada aspek ini ragam bahasa lebih banyak diwamai oleh masalah
eknis yang sifatnya ideoleksis, terpaut dengan pengalaman berbahasa masing-masing
chatib. Gejala-gejala semacam ini mempakan gejala yang sering dijumpai pada bentuk
<omunikasi lainnya. Gejala penanggalan morfem misalnya, mempakan gejala yang umum
terjadi, temtama dalam ragam bahasa percakapan. Demikian pula dengan
kekeliruan-kekeliman lainnya, baik dalam kaitannya dengan afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Gejalakhas morfologisasi sebagai ragam khotbah, dengan demikian, tidaklah tampak.
5.3.4 Sintaksis
Aspek sintaksis mempakan salah satu aspek yang banyak memberikan gambaran
mengenai kekhasan bahasa yang terdapat dalam ragam khotbah. Ditinjau dari gaya kalimat
yang digunakannya, dalam ragam khotbah tidak sedikit dijumpai kalimat-kalimat yang bergaya
repetisi dan retoris. Untuk memberikan penekanan dan kejelasan terhadap suatu gagasan atau pemyataan yang hendak disampaikannya, para khatib melakukannya dengan
mengulang-ulang bagian kalimat itu. Ada yang dua kali, tiga, kali, bahkan lebih. Yang diulang,
di samping bempa kalimat dan frasa, ada juga di antaranya yang berufa klausa. Dengan
adanya gejala ini menunjukkan bahwa khotbah memiliki kesamaan dengan pidato-pidato
lainnya, yang gaya kalimat seperti ini pun banyak dijumpai dalam ceramah kuliah,
kampanye.dan bentuk-bentuk pidato lainnya.
Bahwa khotbah memiliki kesamaan dengan bentuk-bentuk pidato pada umumnya lebih
diperkuat dengan dijumpainya bukti lain, yakni kalimat-kalimat retoris. Kalimat retoris dalam
hal ini adalah kalimat tanya yang tidak menhendaki jawaban. Kalimat retoris itu muncul ketika
224
ing akan dikemukakannya. Dengan adanya pertanyaan semacam itu, setidaknya ada jalinan
)gnitif antara pendengar dengan penanya. Pertanyaan retoris dapat menggugah dan
,engajak pendengar membuka kembali memori (wawasan, pengetahuan, konsep) yang
imilikinya untuk kemudian menyambungkannya dengan hal yang akan disampaikan oleh
enanya. Lontaran-lontaran pertanyaan dapat menarik keterlibatan para pendengar, dapat
nengundang perhatian mereka, sehingga khotbah beriansung dengan tidak membosankan.
Untuk tujuan yang sama, para khotib melontarkan sapaan-sapaan kepada para
chalayak. Lontaran sapaan itu semuanya bempa kalimat-kalimat yang tak berklausa, seperti:
Hadirin, sidang Jumat yang berbahagia dan; Saudara-saudara sidang Jumat yang
berbahagia. Kalimat-kalimat tersebut muncul di awal paragraf atau pada suatu pokok bahasan
tertentu. Dengan demikian, di samping untuk menarik perhatian pendengar, kalimat-kalimat
tersebut berfungsi untuk memisahkan bagian khotbah yang satu dengan khotbah yang
lainnya. Kalimat-kalimat sapaan dapat pula memberikan kesempatan kepada khatib untuk
berpikir dan memikirkan pemyataan-pemyatan yang akan disampaikan selanjutnya.
Dalam Al-Jarimi (1973: 15) bentuk pengu