• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERAMPILAN DAN KUALITAS KONSELOR YANG (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KETERAMPILAN DAN KUALITAS KONSELOR YANG (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KETERAMPILAN DAN KUALITAS KONSELOR YANG

EFEKTIF

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Konseling

Yang dibina oleh Lutfi Fauzan

Oleh:

Achmad Faris Yulianto (130111613636) Ahmad Abdullah (13011160003642)

Azizah (130111600059)

Samawatul Chofiyah (130111613639)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING Februari, 2014

(2)

KETERAMPILAN DAN KUALITAS KONSELOR YANG EFEKTIF

Pendekatan keterampilan sangat berhasrat untuk menemukan cara alternatif memahami perilaku konselor. Konsep yang lebih berguna tampaknya adalah konsep yang mengandung ide kompetensi yang lebih luas, yang merujuk kepada keterampilan atau kualitas apa saja yang ditampilkan oleh pelaku yang kompeten dalam pekerjaan tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan jumlah riset yang bertujuan mengidentifikasikan kompetensi yang diasosiasikan dengan sukses dalam konseling dan psikoterapi. Bidang ini merupakan area riset ini sedang maju sangat pesat, dan dilamanya terdapat berbagai model konselor yang berbeda. Sebagai contoh, Crouch (1992) menyatakan adanya empat area perkembangan keterampilan: kesadaran konselor, pekerjaan pribadi, pemahaman teoritis dan keterampilan melakukan pekerjaan social (casework). Larson, et al. (1992) telah membangun model yang memecah kompetensi konselor (yang mereka sebut “efektivitas-diri konselor”) kedalam lima area: keterampilan mikro, proses, berhadapan dengan perilaku klien yang sulit, kompetensi budaya dan kesadaran akan nilai. Beutler, et al. (1986), dalam sebuah ulasan terhadap literatur, mengidentifikasikan beberapa kategori “variabel terapis” yang berdasarkan penelitian berkaitan dengan kompetensi: kepribadian, status emosional, sikap dan nilai, sikap hubungan (misalnya empati, kehangatan, kongruen), atribut kesadaran sosial (misalnya kepakaran, amanah, menarik, kredibilitas dan persuasif), harapan, latar belakang profesional, gaya intervensi dan penguasaan prosedur teknikal dan pemikiran teoritis. Untuk memenuhi tujuan bab ini, rangkaian pembahasan berikut ini diatur dengan mempertimbangkan model yang terdiri dari tujuh kompetensi area:

1. Keterampilan interpersonal

Konselor yang efektif mampu mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran, kesadaran komunikasi non-verbal, sensitifitas terhadap kualitas suara, daya tanggap terhadap ekspresi emosi, pengambilalihan, menstruktur waktu, menggunakan bahasa.

(3)

Kapasitas untuk menerima yang lain, yakni adanya potensi untuk berubah, kesadaran terhadap pilihan etika dan moral. Sensitivitas terhadap nilai yang dipegang oleh klien dan diri.

3. Kemampuan konseptual

Kemampuan untuk memahami dan menilai masalah klien, mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan, memahami proses kilat dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas, mengingat informasi berkenaan dengan klien. Fleksibilitas kognitif, dan keterampilan dalam memecahkan masalah. 4. Ketegaran personal

Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk mentolerir perasaan yang kuat atau tidak nyaman dalam hubungannya dengan klien, batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi klien. Tidak mempunyai prasangka sosial, etnosentrisme dan autoritarianisme.

5. Penguasaan teknik

Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana melaksanakan intervensi tertentu, kemampuan untuk menilai efektivitas intervensi, memahami dasar pemikiran di belakang teknik, memiliki simpanan intervensi yang cukup. 6. Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial

Termasuk kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja dengan klien, pengaruh agensi terhadap klien, kapasitas untuk mendukung jaringan dan supervisi. Sensitivitas terhadap dunia sosial klien yang mungkin bersumber dari perbdaan gender, etnis, orientasi seks, atau kelompok umur.

7. Terbuka untuk belajar dan bartanya

Kemampuan untuk waspada terhadap latar belakang dan masalah klien. Terbuka terhadap pengetahuan baru. Menggunakan riset untuk menginformasikan praktek.

(4)

Mampu membentuk hubungan produktif dengan klien, menyusun laporan atau kontak, merupakan hal ditekankan oleh semua pendekatan konseling. Analisis awal terhadap area kompetensi dalam rangka keterampilan ini, yang mendorong pendidik konseling seperti Ivey untuk merekomendasikan konselor agar mempraktikkan keterampilan mendengar dan merenung. Dari perspektif analisis kompetensi yang lebih luas, model “aliansi terapeutik” (Bordin 1979) menekankan tiga elemen inti pembentukan hubungan kerja yang baik dengan klien: penciptaan ikatan emosional antara klien dan konselor, pencapaian kesepakatan berkenaan dengan tujuan konseling dan pemahaman bersama terhadap tugas untuk mencapai tujuan ini. Model aliansi terapeutik menyajikan kerangka umum untuk memahami kompetensi interpersonal yang dituntut dalam konseling yang efektif. Hobson (1985) menyatakan bahwa ikatan antara konselor dan klien tumbuh dari penciptaan “bahasa perasaan” bersama, yaitu cara berbicara bersama yang mengizinkan ekspresi perasaan klien. Hubungan antarmanusia sangat dipengaruhi oleh faktor umum, seperti kelas sosial, usia, etnisitas, dan gender. Salah satu hubungan kompetensi penting bagi konselor adalah keharusannya untuk sadar akan nilai karakteristik demografis ini, dan mampu meningkatkan gaya atau pendekatannya secara tepat.

B. Keyakinan dan Sikap Personal

(5)

memandang seauatu. Untuk dapat menangani situasi ini, konselor dituntut untuk mampu melepaskan diri dari posisi filosofisnya sendiri sebagai cara agar para klien mengetahui bahwa ia dapat menerima perspektif yang berbeda.

C. Kemampuan Konseptual

(6)

D. Kompetensi Personal

(7)
(8)

adanya pembuatan kebijakan riset terinformasi menjadi sesuatu yang patut disayangkan.

E. Menguasai Teknik

Terdapat gerakan substansial dalam beberapa tahun terakhir ini untuk mengidentifikasi kompetensi konselor sebagai hal utama dalam penguasaan teknik. Kompetensi konselor dinilai dalam kerangka seberapa dekat dia dapat mengikuti manual. salah satu karakteristik konselor yang sangat kompeten atau berbakat adalah kemahiran mereka dalam memodifikasi secara kreatif teknik atau latihan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Namun harus dicatat bahwa dalam studi yang menggunakan manual instruksi, hasil buruk amat berkaitan dengan kesalahan atau kekeliruan dalam teknik. Oleh karena itu, menguasai teknik mungkin merupakan hal yang penting. Harus diakui bahwa memiliki serangkaian teknik, atau apa yang terkadang disebut teknik cadangan, akan menguntungkan. Lazarus (1989a,b) penemu eklektisisme sistematis, dengan jelas merekomendasikan bahwa konselor yang kompeten harus akrab dengan berbagai strategi intervensi. Mahrer mengklasifikasikan teknik ke dalam kategori luas dan menggunakan rangkaian kategori operasi terapis untuk menganalisis perilaku beberapa “pakar terapis” terkenal seperti Carl Rogers dan Irving Polster. Ia menemukan bahwa masing-masing orang dari mereka secara regular menggunakan cakupan strategi yang sangat terbatas. Walaupun pendekatan yang lebih jauh jelas diperlukan, hasil yang dicapai oleh Mahrer tampaknya menyiratkan bahwa pemahaman yang menyeluruh tentang kisaran sempit teknik mungkin lebih berharga daripada kapasitas yang lebih dangkal untuk menggunakan jangkauan yang lebih luas. Mahrer tidak setuju dengan kesimpulan ini, dan melihat salah satu tujuan dari program risetnya adalah mendorong konselor dan terapis untuk memperoleh cadangan operasi lebih luas.

(9)

Dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan dari pendekatan konseling kontemporer adalah pandangan yang mereka anut terlalu individualistik terhadap proses konseling. Mereka fokus pada skenario di mana klien duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan konselor yang duduk di kursi lainnya. Walaupun demikian, dalam realitasnya terdapat audien bagi pertunjukkan ini, termasuk keluarga dan teman klien, dan pengawas serta rekan konselor. Konselor dan klien selalu bertindak dalam sistem sosial, dan tindakan mereka memengaruhi sistem tersebut. Karena itu, nilai penting kompentensi adalah kemampuan untuk menyadari pengoperasian dalam sistem sosial. Konselor yang bekerja dalam agensi akan menyadari tuntutan dan tekanan yang dibuat organisasi. Tekanan tersebut, yang yang dijelaskan pada Bab 16, dapat berupa tekanan untuk membocorkan rahasia klien, harapan untuk mempengaruhi perilaku klien dan pembatasan terhadap pekerjaan yang dapat dilakukan oleh klien. Konselor yang efektif dalam system social seperti ini harus sangat kompeten dalam menghadapi sistem sosial yang menjadi tempat kerja mereka.

G. Terbuka untuk Belajar dan Bertanya

Kompetensi ini mendasari semua kompetensi yang disebutkan atas. Sebab, merupakan hal yang penting bagi seorang konselor untuk terus berusaha belajar dari klien mereka, dan berusaha secara aktif mencari pengetahuan dan pemahaman dalam situasi di mana proses atau hubungan konseling membawa mereka melampaui basis pengetahuan yang mereka kuasai sekarang ini. Inti dari kompetensi ini adalah kemampuan untuk melaksanakan temuan riset, dan untuk menggunakan bukti riset untuk menginformasikan praktek tersebut.

Perjalanan Konselor: model pengembangan kompetensi konselor

(10)

kompetensi konselor. Banyak konselor yang menemukan makna dalam metafora “Perjalanan konselor” (karya Goldberg, 1988), citra yang memungkinkan mereka untuk melacak akar peran konseling mereka, dan memahami perberbedaan daerah serta kendala yang mereka temui di jalan untuk menjadi seorang konselor. Jalan pribadi dan profesional yang diikuti oleh konselor dapat dibagi menjadi lima tahap berbeda namun tumpang tindih: 1. Peran, hubungan dan pola kebutuhan emosional yang terbentuk dimasa

kanak-kanak.

2. Keputusan untuk menjadi seorang konselor. 3. Pengalaman menjalin pendidikan.

4. Mengatasi praktik yang berat.

5. Mengekspresikan kreativitas dalam peran konseling.

Model ini bersumber dari riset yang sebagian besar dilaksanakan terhadap psikoterapis di USA (Henry 1966, 1977; Burton 1970), meskipun ada bukti dilaksanakannya riset serupa dalam skala kecil terhadap terapis Inggris (Norcross dan Guy, 1989; Spurling dan Dryden 1989). Marston (1984) menunjukkan bahwa motif untuk menjadi terapis dapat mencakup kontak, membantu orang lain, penemuan, status sosial, kekuasaan dan pengaruh, self-terapi dan voyeurisme. Jelas, keseimbangan yang tepat dari motif diperlukan.

(11)

terapi menuntut ketertarikan yang kuat untuk memahami sisi “dalam” dunia klien. Keterbukaan terhadap periode kesepian atau kesendirian di masa kanak-kanak menyajikan kapasitas untuk mengeksplorasi sisi dalam kehidupan.

Dimensi lain dalam pengalaman masa kanak-kanak terapis berhubungan dengan apa yang dikenal dengan teori “penyembuhan luka”. Ini menyatakan bahwa kekuatan dari para penyembuh bersumber dari pengalaman batinya terhadap rasa sakit, kehilangan, atau menderita. Keberadaan luka dalam diri penyembuh memberikan dasar yang sempurna untuk memahami dan berempati terhadap luka yang diderita klien. Konsep penyembuhan luka ini dapat dijadikan untuk mentransformasi pengalaman hidup negatif menjadi sumber untuk membantu orang lain.

Pengalaman terapi personal atau konseling sering kali dapat menjadi katalis bagi keputusan untuk mengikuti pendidikan konseling. Keputusan untuk menjadi konselor juga difasilitasi dengan partisipasi pendidikan keterampilan dasar. Penting untuk dinyatakan bahwa keputusan untuk menjadi seorang konselor bukanlah hal yang mudah untuk dibuat. Setelah seseorang memutuskan untuk menjadi seorang konselor, maka ia memasuki tahap pendidikan formal. Dalam pendidikan, seorang konselor merasa rapuh dan tidak cakap, walaupun mereka mengetahui bahwa mereka harus bersiap menjadi model peran yang potensial bagi klien mereka. Sebagai cara untuk mencairkan ketegangan antara kompetensi dan keyakinan katakutan yang mendalam. Konselor dan terapis ini berhadapan dengan ketakutan dan kekhawatiran yang bersumber dari peran mereka yang diidentifikasikan dalam citra terapis sebagai yang maha mengetahui, berkuasa, dan menyayangi. Sharaf dan Levinson (1964) berpendapat bahwa sejumlah tanggung jawab dan tekanan yang timbul dari dalam diri seorang terapis baru akan bermuara pada tanggung jawab atas segala peran profesional.

(12)

menyelesaikan pendidikan dan bekerja namun sambil membawa perasaan kekurangmampuan.

Ancaman utama terhadap kompetensi sepanjang bagian perjalanan konselor yang mengikuti pendidikan, atau bahkan termasuk fase pendidikan selanjutnya, adalah hilangnya motivasi untuk menolong sebagai akibat dari kelelahan, pelepasan diri (detachment), atau alienasi.

Bagian terakhir dari perjalanan konselor adalah mendapatkan kemampuan untuk bekerja secara kreatif dengan klien. Pada tahap ini, seorang konselor tidak lagi hanya teknisi yang mengimplementasikan pendekatan teoretis tertentu. Pada akhirnya, tiap terapis mengembangkan gayanya sendiri, dan “orientasi teoretis” berubah menjadi sekadar latar belakang saja. Yang masih tetap penting adalah kepribadian unik yang mengombinasikan seni dan keterampilan.

(13)

BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Peran konselor mencakup serangkaian tugas dan kompetensi. Konsep keterampilan hanya menggambarkan satu komponen kompetensi konselor. Konselor harus memiliki keterampilan interpersonal seperti: komunikasi, seni mendengarkan, dan perilaku nonverbal. Konselor yang efektif adalah mereka yang dapat mendemonstrasikan fleksibilitas kognitif dan kemampuan untuk mengkonseptualisasi. Model pengembangan kompetensi mengingatkan konselor akan kekuatan dan kelemahan yang unik, pemberian dan pengeluaran, dan semua itu akan membawa mereka ke dalam pertemuan konseling, dan berdasarkan fakta bahwa pengembangan tersebut tidak akan pernah selesai.

B. Saran

Penulis berharap bahwa dengan adanya pemaparan tentang keterampilan dalam konseling, klien dapat menggunakan jasa para konselor dan memberikan kepercayaan bahwa konselor dapat membantu klien dalam pemecahan masalah melalui keterampilan dan kualitas konselor yang efektif.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak, Norma Moral dan Kebijakan Sunset Policy terhadap Peningkatan

1) Naiknya Fed rate akan menyebabkan kenaikan discount rate yang berpengaruh pada ekspektasi deviden sehingga akan menurunkan tingkat.. harga saham di US. Karena Fed rate

Menurut Wong (2008), seseorang yang mememiliki tingkat religiusitas tinggi dalam mengikuti aktivitas keagamaan serta memiliki sikap etis lebih baik dalam kehidupan

Berdasarkan hasil yang dicapai pada siklus I dan siklus II dengan menggunakan metode talking stick untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran

Hipotesis tindakan yang menyatakan bahwa “penggunaan metode pem- belajaran elaboratif dengan strategi peta konsep dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas XII Tata Boga1

Hasil pengujian secara parsial, membuktikan bahwa Variabel Capital Adequacy Ratio (CAR) tidak berpengaruh terhadap Profitabilitas, NPL mempunyai pengaruh negatif

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul : “ PENGARUH LABA KOTOR, LABA OPERASI, DAN LABA BERSIH DALAM MEMPREDIKSI ARUS KAS DI MASA MENDATANG (STUDI

Salah satu metode analisis yang digunakan untuk mempermudah menjawab pokok permasalahan dalam penelitian yakni dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Bab IV