• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berjuang dari Pinggiran Intelektual dala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Berjuang dari Pinggiran Intelektual dala"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Berjuang dari Pinggiran?

Intelektual dalam Politik Demokrasi

di Indonesia Pasca Orde Baru

Otto Adi Yulianto

“.. Bila aktivis pro-demokrasi tidak membangun konstituen, mengorganisasi massa dari bawah, dan tetap menempatkan diri sebagai kelompok lobi atau demonstrasi, mereka akan termarginalisasi. Gerakan pro-demokrasi hanya akan menjadi kelompok lobi permanen, sementara politik dimonopoli oleh orang-orang buruk ..” (Olle Tornquist, 2004)1

Demokrasi secara substansial tidak berlangsung di masa pemerintahan Soeharto. Di masa itu, partisipasi rakyat amat ditekan, hanya muncul sebagai wacana yang serba terbatas, atau sekedar menjadi jargon. Partai politik, yang seharusnya berfungsi menyalurkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya, amat dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Para intelektual yang berusaha mengartikulasikan aspirasi rakyat juga mengalami pembatasan, pengendalian, maupun represi. Berbagai kebebasan dasar --seperti kebebasan bersuara, berekspresi, berkumpul, dan berserikat-- tidak dapat dinikmati secara memadai. Padahal berbagai kebebasan tersebut secara normatif merupakan hak yang asasi bagi setiap warga negara dan sangat vital untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Lumrah bila di masa itu muncul keyakinan bahwa demokrasi akan terwujud bila berbagai kebebasan dasar tersebut dapat berlangsung dan dinikmati secara memadai.

Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, terjadi perubahan yang mengesankan berkenaan dengan kebebasan dasar. Media massa menjadi lebih bebas, seiring ditiadakannya surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan dibubarkannya Departemen Penerangan, institusi yang di masa Soeharto amat berkuasa dalam menentukan hidup-matinya sebuah media. Akses informasi relatif lebih baik bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kebebasan bersuara serta berorganisasi juga lebih baik. Partai bebas berdiri serta berkompetisi dalam pemilihan umum (Pemilu) yang kini relatif bebas dan fair. Pulihnya kebebasan bersuara, berekspresi, serta berorganisasi telah memungkinkan terjadinya ledakan jumlah media massa baru, lembaga swadaya masyarakat (LSM) baru, serta akademisi yang kritis dan muncul ke ruang publik. Ledakan jumlah juga terjadi dengan organisasi buruh, petani, perempuan, dan jurnalis, sesuatu yang di masa Orde Baru sulit dibayangkan2.

1

Kompas, 31 Januari 2004 2

(2)

Sementara para tahanan dan narapidana politik yang dipenjarakan oleh pemerintahan Soeharto telah dibebaskan oleh pemerintahan Habibie, penggantinya3.

Sejumlah aspek ketatanegaraan juga mengalami perbaikan. Pada Juni 1999 dan April 2004 telah berlangsung proses Pemilu legislatif yang diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) dan 24 (dua puluh empat) partai politik, berlangsung relatif bebas dan damai, serta derajat kecurangan yang terjadi relatif kecil bila dibandingkan dengan 6 (enam) Pemilu di masa pemerintahan Soeharto. Undang-Undang Dasar 1945, yang di masa pemerintahan Soeharto disakralkan, mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang sebelumnya di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, kini dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu, yang untuk pertama kalinya diadakan pada awal Juli dan September 2004.

Sentralisasi kekuasaan negara mencair, sebaliknya persoalan desentralisasi dan otonomi daerah mendapat perhatian yang menonjol, di antaranya lewat terbitnya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah4. Mulai Juni 2005, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, maupun walikota) secara langsung akan mulai berlangsung di sejumlah daerah. Sementara instrumen yang mendukung tindakan represif negara, seperti Keppres No 29 tahun 1988 tentang pembentukan Bakorstanas dan Keppres No. 16 tahun 1990 tentang Penelitian Khusus (Litsus), dicabut di masa presiden Abdurrahman Wahid lewat Keppres No. 38 tahun 2000.

Dalam persoalan pemberantasan korupsi, sejumlah mantan pejabat yang cukup berpengaruh di masa pemerintahan Soeharto kini diadili karena kasus korupsi. Bahkan termasuk Akbar Tanjung, ketua Partai Golkar yang juga ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode tahun 1999-2004. Mantan presiden Soeharto yang sebelumnya amat berkuasa dan terkesan sulit disentuh hukum, sempat juga terancam diadili. Tommy Soeharto putra kesayangannya dan Mohamad (Bob) Hasan --konglomerat kroninya dan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Pembangunan VII-- telah diadili dan dipenjarakan di Nusakambangan, lokasi yang mendapat citra menyeramkan karena merupakan penjara bagi narapidana kelas berat.

Demikian pula dengan militer. Mereka harus menerima kenyataan bahwa sejumlah prajurit dan perwiranya diadili serta dihukum karena kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang telah mereka lakukan, misalnya dalam kasus penculikan aktivis pro-demokrasi, Timor Timur, serta Tanjung Priok. Sebelumnya, setelah melalui berbagai proses politik yang panjang, jajak pendapat menyangkut status Timor Timur

Pergantian kekuasaan dari Soeharto ke Habibie ini sempat menimbulkan sejumlah kontroversi karena

sekedar lewat serah-terima, tidak melalui mekanisme MPR. Selain itu, Habibie juga mengalami masalah dengan legitimasinya karena dinilai sebagai “orangnya Soeharto”.

4

(3)

akhirnya berlangsung pada Agustus 1999, dan berlanjut dengan pisahnya wilayah itu dari Indonesia karena mayoritas warganya memilih untuk menjadi negara sendiri.

Persoalan dwifungsi serta bisnis militer, yang di masa pemerintahan Soeharto tabu untuk dibicarakan dan hanya sejumlah kecil warga negara yang berani mempersoalkan, kini disorot dan digugat secara terang-terangan. Sorotan dan gugatan tidak hanya muncul secara terbatas dari aktivis demonstran, namun juga datang dari kalangan pejabat negara dan politisi yang duduk di parlemen. Demikian juga dengan operasi militer. Daerah operasi militer yang telah diberlakukan di wilayah Aceh sejak 1989, sempat dicabut pada 1999, meski kemudian di masa pemerintahan Megawati darurat militer diberlakukan pada Mei 2003. Meski begitu, pengambilan keputusan dan implementasi menyangkut operasi militer tersebut kini tidak lagi semudah dan seleluasa seperti di masa Soeharto.

Pemahaman Mengenai Demokrasi

Meski ada sejumlah perbaikan, tidak serta-merta dapat dikatakan bahwa kini Indonesia telah menjelma menjadi negara yang demokratis. Berbagai perbaikan dalam hal kebebasan dasar dan sejumlah institusi demokrasi --misalnya kebebasan mendirikan partai, Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, berdirinya pengadilan HAM, serta penerbitan media massa yang bebas serta independen-- memang telah berlangsung. Namun demokrasi secara substansial tidak sekedar persoalan adanya sejumlah perbaikan dalam hal kebebasan maupun institusi demokrasi tersebut.

Ada beragam pemahaman yang berkembang mengenai demokrasi. Mengikuti Uhlin (1997: h. 8-12), setidaknya ada dua kelompok pemahaman atas konsep demokrasi yang dominan, yakni mereka yang mendefinisikan demokrasi secara minimalis dan maksimalis. Definisi demokrasi yang minimalis cenderung membatasi makna demokrasi sebagai sistem politik, yang berbeda dari sistem ekonomi dan sosial. Menurut kelompok ini, jika isu ekonomi dan sosial disertakan maka konsep demokrasinya akan menjadi sangat luas sementara realitas empiris yang signifikan dengan teori ini akan menjadi sempit sehingga menyulitkan dalam mengkaji fenomena yang ada. Di sisi lain, kelompok yang mendukung definisi yang maksimalis menyatakan bahwa definisi yang terbatas pada demokrasi politik akan menyingkirkan diskusi tentang pembagian kekuasaan yang nyata dalam masyarakat dan membuat masalah ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi tidak relevan. Isu tentang gerakan sosial dan gender juga ikut tersisihkan.

Dalam menjembatani kedua kelompok pemahaman tersebut, Uhlin mendukung definisi yang ditawarkan oleh David Beetham. Dia mendefinisikan demokrasi sebagai “sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat.” Tatanan yang paling demokratis adalah “yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan itu.” Elemen kunci dari definisi ini adalah kontrol rakyat dan kesetaraan politik (ibid.).

(4)

kewenangan bagi para wakil rakyat dan pejabat terpilih, representasi mereka untuk mewakili berbagai kepentingan dan gagasan yang hidup dalam masyarakat, selain harus terus menerus responsif terhadap opini dan kepentingan masyarakat serta bertanggung jawab --baik secara langsung atau tidak langsung-- kepada warga negara atas apa yang mereka lakukan, di mana pertanggungjawaban itu memerlukan adanya transparansi. Sementara kesetaraan warga negara secara implisit berlaku dalam semua prinsip tersebut. Solidaritas antar warga negara serta di kalangan mereka yang berjuang untuk demokrasi juga merupakan hal yang mendasar. Hampir semua, atau malah semua, prinsip-prinsip umum tersebut memerlukan prinsip tambahan yaitu hak asasi manusia. (DEMOS, 2005: h. 9)

Prinsip-prinsip umum tersebut mensyaratkan adanya seperangkat instrumen dalam berbagai tingkatan yang diharapkan mendorong: (1) kewarganegaraan yang setara, kepastian hukum, keadilan, hak-hak sipil dan politik, dan hak-hak sosial ekonomi menyangkut kebutuhan pokok; (2) pemilihan umum yang demokratis, keterwakilan, dan pemerintah serta administrasi publik yang responsif dan bertanggung jawab; (3) media, seni, akademi, masyarakat sipil yang bebas dan berorientasi demokratis, serta berbagai bentuk partisipasi masyarakat yang lain. Beetham mengidentifikasi dan merumuskan setidaknya ada 85 (delapan puluh lima) instrumen demokrasi, sementara Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia - DEMOS dalam risetnya tentang “Masalah-Masalah dan Pilihan-Pilihan Demokratisasi di Indonesia” telah merevisi dan mengolahnya kembali menjadi 40 (empat puluh) instrumen (hak-hak dan institusi-institusi) demokrasi – lihat tabel 1 (ibid).

Tabel 1. Empat Puluh Instrumen Demokrasi

I : Kewarganegaraan, hukum, dan hak-hak 1. Kesetaraan warga negara

2. Hak-hak minoritas, migran, dan pengungsi 3. Rekonsiliasi konflik dalam masyarakat

4. Penghargaan dan dukungan pemerintah terhadap hukum internasional dan traktat hak asasi manusia PBB

5. Ketaatan aparatur dan penyelenggara kekuasaan negara terhadap hukum 6. Akses yang setara dan aman terhadap keadilan

7. Integritas dan independensi peradilan

8. Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut atasnya 9. Kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi

10. Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja/ buruh 11. Kebebasan beragama dan berkeyakinan

12. Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan 13. Kesetaraan dan emansipasi jender

14. Perlindungan terhadap hak-hak anak

15. Hak untuk mendapatkan pekerjaan, jaminan sosial, dan terpenuhinya kebutuhan dasar lainnya

16. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara

17. Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan regulasi bisnis untuk kepentingan publik

II: Pemerintahan yang representatif dan bertanggung jawab

18. Pemilihan umum yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal

(5)

jabatan-jabatan publik

21. Partai yang mengartikulasikan isu-isu vital dan kepentingan-kepentingan masyarakat 22. Pencegahan penyalahgunaan sentimen religius atau etnis, ataupun simbol-simbol dan

doktrinnya, oleh partai

23. Independensi partai dari politik uang dan kepentingan kuat yang terselubung

24. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap partainya, dan respons serta tanggung jawab partai terhadap konstituen

25. Kemampuan partai membentuk dan menjalankan pemerintahan

26. Transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah terpilih, di segala tingkatan 27. Transparansi dan pertanggungjawaban eksekutif/ pejabat publik pada semua tingkatan 28. Desentralisasi pemerintahan secara demokratis (atas dasar prinsip subsidiaritas) 29. Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintahan yang

terpilih dan publik

30. Kapasitas pemerintah untuk memerangi kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan terorganisir

31. Kemerdekaan pemerintah dari intervensi asing (kecuali konvensi PBB dan hukum internasional yang positif)

32. Kapasitas pemerintah untuk bebas dari kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, untuk menghilangkan korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan

III: Masyarakat sipil dan partisipasi langsung yang berorientasi demokratis 33. Kebebasan pers, seni, dan dunia akademis

34. Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, juga untuk merefleksikannya

35. Partisipasi warganegara dalam organisasi masyarakat yang independen

36. Transparansi, pertanggungjawaban, dan praktek demokratis dalam organisasi-organisasi masyarakat

37. Akses dan partisipasi yang luas dari semua kelompok sosial –termasuk perempuan– terhadap kehidupan publik

38. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap layanan publik dan para pelayan masyarakat

39. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap para wakil politik mereka

40. Konsultasi pemerintah dengan masyarakat, dan bila mungkin, partisipasi rakyat secara langsung dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan publik

Sumber: DEMOS, 2005: h. 10.

Ada Perubahan Namun Belum Demokratis

Patut diakui bahwa ada sejumlah perbaikan pada sejumlah instrumen demokrasi yang terjadi pasca jatuhnya Soeharto. Sejumlah kebebasan dasar dan institusi demokrasi kini relatif lebih baik bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Namun dalam hal kualitas atau substansinya, masih banyak instrumen demokrasi yang tetap saja buruk. Misalnya, meski kebebasan berpendapat dan bersuara kini dimungkinkan, namun suara masyarakat, terutama kelas bawah, masih sering diabaikan dalam kebijakan publik. Saat pemerintah mengambil kebijakan pencabutan berbagai subsidi yang berdampak kepada kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, ternyata keberatan masyarakat terhadap kebijakan tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan. Demikian juga protes masyarakat menyangkut berbagai program privatisasi badan usaha milik negara (BUMN) yang belakangan ini marak terjadi.

(6)

undang-undang hukum pidana (KUHP) yang dikenal sebagai pasal-pasal haatzaai artikelen, yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda saat menghadapi gelombang pasang aktivis pergerakan kemerdekaan di awal abad 20 lalu. Sejumlah kantor lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis hak asasi manusia (HAM) masih juga mendapat teror dan penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok preman. Demikian juga dengan kantor redaksi media massa. Kualitas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta bebas dari tindak kekerasan dan rasa takut tampaknya masih mengalami masalah yang cukup serius.

Akses masyarakat, terutama kelas bawah, terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial tampaknya juga tidak mengalami perubahan yang berarti. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi sudah didirikan dan pengadilan kasus korupsi marak dilakukan, namun korupsi masih tumbuh subur di berbagai tingkatan birokrasi negara, hanya sebagian kecil yang disentuh hukum, yang sering kali berakhir secara mengecewakan. Sejumlah pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di masa lalu tidak diusut secara memadai dan dituntaskan dengan memberi rasa keadilan kepada para korban, seperti yang dituntut banyak kalangan. Demikian juga berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa kini. Meski pemerintah berusaha menunjukkan citra populis, tetap saja penggusuran terhadap pedagang kaki lima serta warga kampung miskin sering terjadi, bahkan tak jarang disertai dengan tindak kekerasan. Demikian juga peminggiran terhadap masyarakat adat dan petani. Tingginya angka pengangguran, rendahnya upah buruh, serta banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih juga berlangsung. Ilustrasi yang mewakili pandangan publik terhadap kinerja pemerintah dalam beberapa bidang pokok yang menyangkut kepentingan publik dapat dilihat dalam tabel 2, tabel 3, serta tabel 4 berikut ini:

Tabel 2. Survei Kompas tentang Penilaian Responden terhadap Kinerja Presiden Habibie (1998-1999)

Sikap Responden No Keberhasilan

Setuju Tidak setuju Tidak tahu/ jawab

1 Berhasil mewujudkan

kebebasan pers

69,0 27,2 3,8

2 Berhasil memperbaiki

kondisi ekonomi

24,6 72,9 2,5

3 Berhasil memberantas

korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)

10,7 87,1 2,2

4 Berhasil menjaga keamanan 17,7 80,4 1,9

(7)

Tabel 3. Survei Kompas tentang Kepuasan Responden terhadap Kinerja Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Sikap responden

2000 2001

No Bidang

Januari Juli Januari Juli

1 Perbaikan perekonomian 50,3 25,7 19,7 10,3

2 Perbaikan kondisi politik dan keamanan

41,8 30,7 21,7 13,4

3 Perbaikan kesejahteraan sosial

41,4 30,1 30,0 18,9

Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

Tabel 4. Survei Kompas tentang Kepuasan Responden terhadap Kinerja Presiden Megawati Soekarnoputri (1999-2001)

Sikap responden No Bidang

Oktober 2001 Januari 2002 April 2002

1 Perbaikan perekonomian 43,0 21,9 31,3

2 Perbaikan kondisi politik dan keamanan

52,4 43,1 40,1

3 Perbaikan kesejahteraan sosial 41,5 31,6 36,4

Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

Sementara studi Booz-Allen & Hamilton pada tahun 1999 menunjukkan bahwa indeks good governance5 di Indonesia amat buruk, bahkan terburuk bila dibandingkan dengan sejumlah negara di tingkat Asia Tenggara. Penilaian yang mirip juga datang dari studi Huther dan Shah (1998) mengenai indeks kualitas governance yang diukur dari indeks: (1) partisipasi masyarakat, (2) orientasi pemerintah, (3) pembangunan sosial yang berlangsung, dan (4) manajemen ekonomi makro. Menurut hasil studi mereka, Indonesia termasuk dalam kategori poor governance (lihat tabel 5).6

5

Good governance di sini dipahami sebagai suatu tata pemerintahan yang mengedepankan dan melaksanakan prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Sebagai sebuah konsep, awalnya berasal dari Bank Dunia. Konsep good governance ini diperkenalkan pada akhir dekade 1980-an (1989), setelah kegagalan kebijakan penyesuaian struktural yang disuntikkan oleh Bank Dunia di Sub-Sahara Afrika. Bank Dunia menganggap kegagalan tersebut dikarenakan adanya krisis pemerintahan yang berlangsung dalam negara tersebut. Krisis yang terjadi misalnya tingginya tingkat korupsi serta lemahnya kontrol dari masyarakat, sebagaimana yang lazim terjadi dalam pemerintahan yang otoritarian. Namun karena konsep ini berasal dari Bank Dunia, dan kemudian lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF dan Asian Development Bank (ADB) ikut mempopulerkan, banyak pihak mencurigai bahwa penyebarluasan gagasan tersebut bukan demi menegakkan demokrasi namun lebih sebagai usaha untuk memuluskan jalannya berbagai kebijakan neo-liberal dari lembaga tersebut di negara yang bersangkutan, yang lebih menguntungkan negara kapitalis maju yang menguasai lembaga tersebut, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa Barat. Meski kecurigaan tersebut beralasan, namun sejumlah pihak --yang juga kritis terhadap kebijakan Bank Dunia, IMF, ADB, serta sejumlah lembaga donor lainnya-- melihat bahwa gagasan good governance dapat digunakan bagi perjuangan demokratisasi. Di Indonesia, konsep good governance awalnya justru dipopulerkan oleh kalangan LSM di awal dekade 1990-an, di antaranya saat mempersoalkan pembangunan bendungan Kedung Ombo, proyek pemerintah yang dibiayai dengan utang dari Bank Dunia dan bermasalah karena menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi dalam pelaksanaannya.

6

(8)

Tabel 5. Indeks Good Governance Sejumlah Negara di Asia Tenggara Tahun 1999 Negara Indeks Good Governance Kategori Kualitas

Governance

Malaysia 7,72 Good Governance

Singapura 8,93 Good Governance

Thailand 4,89 Fair Governance

Filipina 3,47 Fair Governance

Indonesia 2,88 Poor Governance

Sumber: Booz-Allen & Hamilton, Alex Irwan (2000), dan Huther dan Shah (2000) dalam Cahyo Suryanto (2002).

Padahal isu good governance sudah muncul di Indonesia sejak awal tahun 1990-an dan sebagai wacana telah berkembang pesat dalam enam tahun terakhir ini. Pasca turunnya Soeharto, konsep ini makin populer di Indonesia, bahkan usaha untuk melaksanakannya menjadi salah satu butir kesepakatan dengan IMF pada tahun 1998, salah satu syarat bila pemerintah Indonesia masih berharap mendapat utang dari lembaga keuangan tersebut. Sementara sejumlah lembaga donor internasional, utamanya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, telah mengalokasikan dan menyalurkan dana yang relatif besar bagi kegiatan LSM dan institusi negara di Indonesia untuk mendukung isu tersebut.7

Dalam risetnya, dengan mengacu kepada 40 instrumen demokrasi seperti dalam tabel 1, DEMOS bahkan telah mengidentifikasi dan sampai kepada kesimpulan bahwa masih dan lebih banyak instrumen demokrasi yang kondisinya buruk dibanding yang mulai membaik. Keadaan ini disebutnya sebagai defisit demokrasi. Instrumen demokrasi yang kondisinya paling buruk menyangkut rule of law, keterwakilan kepentingan dan gagasan dalam politik (representasi politik), pemerintah yang bertanggung jawab (termasuk dalam persoalan desentralisasi), serta taraf hidup warga negara (kondisi hak ekonomi dan sosial). Di antara berbagai instrumen demokrasi yang masih buruk tersebut, menurut DEMOS, yang paling utama membutuhkan perhatian bagi perbaikan adalah soal representasi politik (lihat tabel 6), karena keberhasilan dalam memperbaikinya dapat menjadi sarana yang efektif bagi perbaikan instrumen demokrasi lainnya, termasuk untuk menciptakan good governance.

7

(9)

Tabel 6. Masalah-masalah utama dalam keterwakilan dan partisipasi langsung8

No. Hak dan institusi demokrasi Kinerja Buruk

Cakupan Buruk

1. Independensi partai-partai dari politik uang dan kelompok kepentingan yang kuat

91% 69%

2. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap partainya

84% 71%

3. Aksesibilitas masyarakat kepada pejabat pelayanan publik dan pejabat terpilih

82% 70%

4. Sikap partai tentang isu-isu vital dan kepentingan vital di dalam masyarakat

81% 70%

5. Kemampuan partai untuk menjalankan pemerintahan 81% 70%

6. Partisipasi publik secara langsung dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik

75% 73%

7. Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol, doktrin agama atau etnis oleh partai

66% 58%

Sumber: DEMOS, 2005: h. 33.

Memang beberapa instrumen demokrasi yang berkenaan dengan representasi politik kini telah eksis, namun dalam realitasnya banyak yang tidak berfungsi secara efektif karena dikuasai oleh para elit politik serta ekonomi. Partai kini bebas didirikan, pemilihan umum (Pemilu) telah berlangsung secara bebas dan relatif baik bila dibanding masa-masa sebelumnya, dan parlemen tidak lagi di bawah dominasi eksekutif seperti di masa Orde Baru, namun yang kemudian berlangsung: partai-partai dan para politisi yang ada tidak representatif dan responsif. Tampaknya, para elit kini telah beradaptasi dengan prosedur demokrasi, kemudian mereka menguasai, memonopoli, membengkokkan, dan menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri, tidak untuk memajukannya sehingga menjadi bermakna bagi banyak orang (DEMOS, 2005: h. 17-38).

Tumbangnya pemerintahan Soeharto dan gegap gempitanya “reformasi”, yang diyakini dapat membawa Indonesia kepada transisi ke arah demokrasi, sudah hampir tujuh tahun berlalu. Namun demokrasi yang substansial --di mana instrumen-instrumen demokrasi tidak sekedar eksis namun juga efektif dan dapat diakses oleh setiap warga negara sehingga bermakna-- belum juga berlangsung secara signifikan di Indonesia. Good governance juga masih jauh dari harapan. Yang terjadi kini malah para elit sudah menyesuaikan diri dengan prosedur demokrasi dan menguasainya untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri. Mengapa hal ini terjadi? Bukankah dalam rentang waktu tujuh tahun terakhir ini telah bertumbuh ribuan media massa serta para jurnalisnya yang makin kritis, organisasi massa dan LSM berikut para aktivisnya, serta para akademisi kritis yang konon merupakan aktor penting dan berpengaruh dalam perjuangan menegakkan demokrasi? Ada apa dengan intelektual di Indonesia?

Menaruh Harapan kepada Intelektual

Mengapa intelektual? Karena mereka mempunyai citra, diyakini, dan meyakini sebagai pihak yang memperjuangkan keadilan bagi kelompok masyarakat yang lemah

8

(10)

dan dipinggirkan, aktor penting dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik, termasuk perubahan ke arah demokrasi. Secara empirik, intelektual bukanlah entitas yang homogen, termasuk dalam pemihakannya. Penulis tidak menafikkan bahwa intelektual dapat atau berpotensi juga menjadi pihak yang ikut memberikan legitimasi terhadap kekuasaan atau kebijakan negara meski kekuasaan atau kebijakan tersebut tidak demokratis, seperti yang pernah berlangsung di masa pemerintahan Soeharto9, atau secara praktik berbeda dengan citranya10. Konsep intelektual yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini lebih kepada kategori intelektual yang cenderung berorientasi demokratis, yang menggunakan dan berusaha memajukan instrumen-instrumen demokrasi.

Dalam tulisan ini, intelektual tidak hanya ditujukan secara terbatas kepada para akademisi serta peneliti di lembaga-lembaga penelitian, namun juga para jurnalis maupun para aktivis organisasi massa dan LSM. Tidak sekedar akademisi karena berbagai kategori tersebut secara empirik sulit untuk dipilah-pilah secara tegas. Yang terjadi tidak hanya sekedar saling bahu-membahu, namun juga telah berlangsung tumpang tindih, kait-mengkait, persilangan, dan percampuran antar mereka. Banyak akademisi yang juga sebagai jurnalis, aktivis organisasi massa, atau aktivis LSM. Sementara banyak juga jurnalis yang menjadi akademisi, peneliti, serta aktivis organisasi massa maupun LSM. Demikian juga aktivis LSM, banyak juga yang menjadi akademisi, peneliti, maupun bertindak sebagai jurnalis.

Alasan kedua, bahwa intelektual dipahami sebagai mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang mendalam tentang berbagai persoalan sosial-kemanusiaan yang dihadapi masyarakatnya. Seorang intelektual dapat melakukan refleksi kritis, berani mengemukakan pendapatnya, serta mempunyai pemihakan dan komitmen sosial-kemanusiaan yang tinggi dalam arena sosial-politik. Kapasitas dan posisi seperti ini bukan monopoli atau tidak sekedar berpeluang dimiliki oleh mereka yang mempunyai latar belakang akademisi, namun juga bisa datang dari mereka yang berlatar belakang aktivis LSM maupun jurnalis. Dalam arena politik demokrasi, ketiganya sama-sama menonjol dalam hal kepemilikan modal budaya, selain dan lebih dari modal sosial, simbolik, maupun ekonomi.11

9

Tentang keterlibatan intelektual dalam rezim yang tidak demokratis, lihat artikel utama dalam Media Kerja Budaya edisi 09 tahun 2002.

10 Misalnya seperti yang dikatakan Antariksa (2002) bahwa jika di tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para peneliti atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin. (http://www.kunci.or.id/misc/a_subaltern.htm)

11

(11)

Apa yang selama ini telah dikerjakan oleh intelektual bagi perbaikan ke arah demokrasi di Indonesia? Tak dapat dipungkiri bahwa banyak yang sudah dikerjakan, tidak hanya di tataran nasional namun juga di tingkat lokal. Pasca pemerintahan Soeharto, intelektual cenderung lebih banyak dan menonjol bekerja dalam isu reformasi institusi hukum dan politik kenegaraan bagi pencapaian good governance, baik dengan melakukan kerja-kerja pemantauan maupun advokasi kebijakan, serta penguatan masyarakat sipil. Secara garis besar, kerja-kerja mereka dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, melakukan mempromosikan terjadinya perubahan dan perbaikan pada bermacam kebijakan dan institusi (institusional and policy reform) demokrasi dengan harapan dapat mempercepat terciptanya good governance. Kedua, melakukan pemberdayaan dan penguatan berbagai kelompok dalam masyarakat sipil untuk mengontrol dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara. (Cahyo Suryanto, 2002: h. 4-5).

Saat ini, nyaris tiap hari ada saja intelektual yang berkomentar, dikutip pendapatnya, dan melakukan kritik terhadap kekuasaan negara, dalam kerangka mempromosikan gagasan demokrasi dan good governance di berbagai media massa. Mereka juga mempromosikan reformasi kebijakan dan institusi demokrasi serta melakukan pemantauan dan advokasi terhadap berbagai macam isu, misalnya anti korupsi, hak asasi manusia, keadilan jender, desentralisasi dan otonomi daerah, reformasi hukum, institusi, serta aparat penegak hukum, Pemilu yang bebas dan jujur, dan sebagainya. Selain membangun opini lewat media, mereka juga mengorganisasikan diri atau ikut ke dalam suatu institusi, forum, koalisi, atau jaringan, kemudian melakukan kajian, menyusun rekomendasi, melakukan lobi, dan advokasi. Misalnya, Koalisi LSM (organisasi non-pemerintah, penyebutan lain untuk LSM) untuk Perubahan Konstitusi, Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Koalisi untuk Kebijakan Partisipatif, Koalisi RUU (rancangan undang-undang) Pertahanan, dan sebagainya.

Dalam usaha memperbaiki kinerja institusi-institusi negara dan demokrasi, banyak intelektual yang juga melakukan kerja pemantauan (monitoring) terhadap kinerja institusi-institusi tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga pemantau seperti media watch, parliament watch, judicial watch, corruption watch, police watch, atau government watch. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, banyak melakukan investigasi kasus korupsi serta melakukan advokasi lewat kampanye di media. Berbeda dengan ICW yang relatif luas lingkup korupsi yang menjadi perhatiannya, Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita) lebih memfokuskan kegiatannya pada pengawasan aset negara. Government Watch (Gowa) memusatkan perhatiannya pada kejahatan yang dilakukan oleh partai-partai politik atau para elit politik terhadap keuangan dan fasilitas negara, misalnya terhadap Bulog, yang mereka yakini bahwa di lembaga tersebut banyak dana yang tidak tersentuh kegiatan audit, yang dikenal sebagai dana non-budgeter. Sementara Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dipimpin oleh Mar'ie Muhammad, mantan menteri keuangan di masa Soeharto yang dikenal relatif jujur, melakukan aktivitas pemantauannya dengan mengkaji

(12)

berbagai hal yang memberi peluang terjadinya penyelewengan, serta menyodorkan alternatif-alternatif yang bisa dilakukan untuk menutup peluang tersebut.12

Apakah kerja-kerja yang mereka lakukan dapat berhasil secara efektif? Tampaknya, sering kali efektifitas dari kerja tersebut baru pada tahap pembentukan opini publik. Temuan-temuan hasil investigasi serta opini yang mereka sampaikan tak jarang menjadi wacana publik yang cukup hangat. Namun yang sering kali terjadi kemudian, tidak mendapat respon yang memadai dari para pengambil kebijakan atau pemegang kekuasaan. Bisa juga tenggelam dengan berlalunya waktu atau adanya persoalan-persoalan baru yang lebih hangat. Sebagian contoh, Gempita selalu kalah setiap kali membawa temuannya ke pengadilan. Mulai dari kasus mobil Timor, penyalahgunaan dana reboisasi, kasus BRI, hingga kasus Pertamina Balongan. Sementara, dari sejumlah masukan yang disampaikan MTI ke pemerintah maupun DPR, hanya gagasan tentang dibentuknya badan independen anti-korupsi yang tampaknya ditindaklanjuti oleh pemerintah. Saat akan dibentuk, perumusan kewenangan dan proses seleksi bagi keanggotaannya masih membutuhkan pemantauan lagi. Begitu pula yang dialami oleh ICW. Kasus-kasus yang ditemukannya hingga kini belum ada yang dituntaskan secara berkeadilan oleh aparat penegak hukum, mulai dari kasus korupsi di Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dugaan suap (mantan) Jaksa Agung M Ghalib, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan sebagainya.13

Menurut Indro Cahyono, yang sudah lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam dunia aktivis, ketidakefektifan ini terjadi karena lembaga-lembaga tersebut tidak muncul dari gerakan rakyat. Apalagi tugasnya cenderung memantau saja. “Mestinya mereka tidak hanya memantau, tetapi juga mampu menggerakkan”, tegasnya.14Opini publik dan wacana yang berlangsung dalam media tentu saja penting, namun sering kali kandas ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan bila tidak mampu menggerakkan dan memperoleh dukungan massa yang riil.

Intelektual dalam Politik Lokal

Apakah menggerakkan dan membangun dukungan massa telah diabaikan oleh para intelektual? Tampaknya, perubahan konteks dan pentingnya menggerakkan massa tidak juga diabaikan oleh sebagian intelektual, bahkan sangat diperhatikan. Selain mendorong reformasi dan perbaikan kebijakan serta institusi demokrasi, sebagian intelektual juga melakukan penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil15. Kebanyakan kerja ini dilakukan di tingkat lokal, seiring dan dalam konteks berlangsungnya desentralisasi dan otonomi daerah.

12

Kompas, 4 Juni 2000. 13

Ibid. 14

Media Indonesia, 4 Oktober 2001. 15

(13)

Menurut Sutoro Eko, Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, desentralisasi secara bertahap dan pelan telah mendorong pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari pemerintahan birokratis ke pemerintahan partai merupakan contoh hadirnya pemerintahan yang terbuka. Sebelumnya, di masa pemerintahan Soeharto, kekuasaan lokal dimonopoli oleh birokrasi dan militer, yang notabene dikendalikan dari Jakarta. (Sutoro Eko, 2004: h. 312).

Meski begitu, desentralisasi dan otonomi daerah tidak secara otomatis memberikan akses dan kontrol masyarakat lokal yang besar atas sumber daya di daerahnya, seperti yang diharapkan dan dibayangkan banyak pihak. Yang terjadi saat ini, desentralisasi dan otonomi telah memberikan distribusi kekuasaan yang lebih besar kepada elit lokal, sehingga yang cenderung tampak paling berkepentingan terhadap otonomi daerah adalah para elit tersebut. Desentralisasi dan otonomi daerah telah menyuguhkan kebangkitan raja-raja kecil di tingkat lokal, memindahkan korupsi dari Jakarta ke lokal, konflik kewenangan dan sumber daya, pelipatgandaan pajak dan retribusi daerah yang menjadi beban berat masyarakat setempat, oligarki elit yang jauh dari sentuhan masyarakat, dan sebagainya. (Ibid. h. 313)

Namun tidak dapat diabaikan bahwa desentralisasi juga telah mendorong bertumbuhnya berbagai organisasi dan jaringan sosial (gerakan sosial) yang dimotori oleh para intelektual di tingkat lokal. Mereka membuka ruang publik seluas-luasnya, termasuk membentuk berbagai forum, memperkuat institusi lokal, prakarsa lokal, partisipasi masyarakat (voice, akses, dan kontrol) dalam proses pemerintahan dan pembangunan, serta mentransformasikan gerakan masyarakat sipil yang berbasis kelas menengah kota menjadi jaringan dan gerakan sosial massif yang berbasis berbagai komunitas dan organisasi rakyat, yang menjadi kekuatan oposisi yang menekan partai politik dan elit politik agar mereka punya komitmen dan tanggung jawab. Mereka juga mendorong peningkatan partisipasi rakyat serta menantang akuntabilitas dan transparansi lembaga legislatif serta pemerintah daerah, selain juga membuka dan mendorong kerja sama serta kemitraan antara masyarakat, legislatif, dan pemerintah daerah (ibid. h. 324-325). Mengenai tipologi gerakan sosial yang tumbuh dan dibangun oleh intelektual di tingkat lokal dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 7. Tipologi Gerakan Sosial di Tingkat Lokal

No Basis Konstituen Contoh Sifat dan Pendekatan

Orientasi

1 Komunitas atau satuan geografis (forum yang 2 Isu (forum lahir sebagai

(14)

3 Kelompok atau profesi (forum yang dilahirkan oleh kelompok-kelompok khusus

4 Sektoral (forum yang lahir karena kepedulian terhadap

Minimnya Usaha Membangun Representasi dan Masuk Politik Formal

Apakah yang dikerjakan para intelektual selama ini, baik di tingkat nasional maupun lokal, termasuk lewat strategi membangun dukungan dan menggerakkan massa, berhasil memajukan dan mengkonsolidasikan demokrasi secara efektif? Dengan mempertimbangkan bahwa masih (lebih) banyaknya instrumen demokrasi yang kondisinya buruk, atau meminjam istilah dari DEMOS, terjadi defisit demokrasi, tampaknya kerja-kerja mereka sulit untuk dikatakan berhasil. Secara moderat dapat dikatakan bahwa ada keberhasilan, namun masih jauh dari cukup. Seperti yang sudah disampaikan di awal, dalam hal eksisnya kebijakan atau institusi demokrasi memang sudah berlangsung sejumlah perbaikan. Namun dari segi substansi atau kualitasnya, masih banyak yang buruk. Banyak yang sudah dikerjakan, namun kerja-kerja mereka masih belum efektif dalam menghasilkan perubahan ke arah demokrasi yang lebih bermakna. Mengapa? Mungkinkah karena strateginya?

Seperti yang pernah diingatkan oleh Ariel Heryanto (dalam Uhlin, 1997: h. 212-213), strategi untuk membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi pasca kejatuhan pemerintahan otoriter tentunya berbeda dengan strategi untuk menjatuhkan pemerintahan yang otoriter tersebut. Dengan mengambil contoh Filipina, menurutnya, orang-orang awam di sana banyak yang ambil bagian dalam menggulingkan pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos, tetapi mereka enggan bergabung dengan para aktivis dalam membangun dan memperkokoh demokrasi pasca Marcos. Aktivis dapat dikatakan sebagai orang yang hidupnya berjuang demi suatu prinsip, nilai, moralitas demokrasi, tetapi orang kebanyakan tidak. Mereka berjuang demi suatu yang pragmatis, sesuatu yang sangat nyata. Mereka membenci pemerintahan Marcos, tetapi ketika pemerintahan itu tumbang, berakhir pula perjuangan mereka.

(15)

Lantas, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, adakah perubahan strategi yang diambil oleh para intelektual yang berorientasi demokratis? Mengapa?

Berbeda dengan apa yang terjadi di masa Soeharto, saat ini partai-partai pemenang Pemilu secara riil menjadi sangat berkuasa dalam menentukan berbagai kebijakan kenegaraan. Seideal apa pun gagasan dari intelektual, namun bila tanpa dukungan yang signifikan dari partai-partai yang berkuasa maka gagasan tersebut akan menjadi tidak efektif. Mereka memang berwenang dan mempunyai legitimasi karena memperoleh dukungan suara secara sah lewat Pemilu, yang kini sudah berlangsung secara bebas dan fair. Kekuasaan mereka besar dan diperoleh berkat dipilih oleh rakyat melalui mekanisme yang demokratis. Namun kecenderungan yang terjadi saat ini, mereka banyak yang mengabaikan persoalan representasi. Kepentingan pribadi, kelompok, atau elit partainya lebih diutamakan dibanding dengan kepentingan rakyat pemilih. Yang terjadi, demokrasi tanpa representasi.

Tabel 8. Survei Kompas tentang Penilaian Publik atas Kinerja DPR Periode 1999-2004 Masa Pemerintahan

Abdurrahman Wahid Megawati Soekarnoputri Penilaian publik Oleh sebagian besar

responden (70,8%), para wakil rakyat dinilai lebih memperjuangkan kepentingan partainya masing-masing daripada menyuarakan kepentingan rakyat (jajak pendapat 8-9 Agustus 2000)

43,8% responden menuding anggota DPR mulai

mengedepankan urusan pribadi di atas kepentingan rakyat. Responden lain (42,5%) menuding anggota DPR mementingkan partai (jajak pendapat 30-31 Januari 2002)

Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 203.

Untuk memajukan demokrasi di Indonesia, menurut pandangan Olle Tornquist (Kompas, 31 Januari 2004), profesor ilmu politik dari Oslo University, Norwegia, yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengamati dan meneliti politik demokrasi di Indonesia, saat ini para aktor pro-demokrasi perlu meninggalkan cara-cara lama --seperti lobi serta demonstrasi-- dan masuk ke sistem politik formal serta membangun representasi politik. Dalam konteks yang sudah berubah, di mana tidak lagi untuk melawan pemerintahan otoriter namun untuk mengkonsolidasikan demokrasi, membangun dukungan massa tidak hanya untuk mobilisasi, atau sekedar menumbuhkan partisipasi masyarakat, namun juga untuk membangun konstituen, dukungan dalam Pemilu, dan representasi politik.

(16)

Dalam sebuah riset yang dilakukan dalam kurun waktu 2003-2004, DEMOS (DEMOS, 2005: h. 47) menemukan bahwa aktor pro-demokrasi di Indonesia banyak yang berkiprah serta memilih strategi demokrasi-langsung lewat masyarakat sipil dan cenderung mengabaikan instrumen-instrumen demokrasi yang berkenaan dengan politik formal dan representasi. Kondisi politik formal serta representasi politik yang buruk, di mana elit lama maupun baru telah memonopoli dan menguasainya, oleh para aktor pro-demokrasi bukannya diperbaiki dengan membangun kapasitas politik mereka dan masuk ke dalamnya, namun malah dijauhi (lihat tabel 9). Mereka kurang berusaha men-demonopoli kekuasaan para elit atas instrumen-instrumen demokrasi yang berkenaan dengan politik formal serta representasi tersebut. Padahal dengan penguasaan atas instrumen-instrumen tersebut memungkinkan mereka untuk secara efektif memperbaiki instrumen-instrumen demokrasi lainnya yang masih buruk, termasuk instrumen yang berkaitan dengan persoalan rule of law serta taraf hidup warga negara.

Tabel 9. Hak-hak dan institusi-institusi berkaitan dengan keterwakilan yang menurut para informan paling kurang perlu digunakan dan dimajukan, dan proporsi informan yang berusaha untuk menemukan alternatifnya No. Hak dan Institusi Memanfaatkan

dan Memajukan

Mencari Alternatif

1. Partai untuk menjalankan pemerintahan 30% 19%

2. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap partainya

33% 21%

3. Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol, doktrin agama atau etnis oleh partai

33% 19%

4. Independensi partai-partai dari politik uang dan kelompok kepentingan yang kuat

35% 24%

5. Aksesibilitas masyarakat kepada pejabat pelayanan publik dan pejabat terpilih

37% 15%

6. Sikap partai tentang isu-isu dan kepentingan vital di dalam masyarakat

38% 18%

7. Kebebasan membentuk partai, merekrut anggota dan mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki kekuasaan pemerintah

42% 13%

Sumber: DEMOS, 2005: h. 34

Kesimpulan ini tampaknya juga relevan bagi para intelektual yang dimaksud dalam tulisan ini karena para aktor pro-demokrasi yang dirujuk serta menjadi informan dalam riset ini dapat dikategorikan sebagai intelektual. Mereka adalah para aktivis, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang reflektif, berlatar belakang aktivis LSM, organisasi rakyat, organisasi politik pro-demokrasi, jurnalis, akademisi termasuk guru, yang bergerak dari berbagai macam isu, seperti agraria, perburuhan, kaum miskin kota, HAM, anti korupsi, rekonsiliasi konflik, demokratisasi pendidikan, pers dan jurnalisme, jender, pengembangan partai, organisasi massa dengan isu yang diperluas, dan pembangunan representasi di tingkat lokal.

(17)

lebih menekankan penguatan masyarakat sipil, misalnya membangun organisasi-organisasi rakyat dan membentuk forum-forum warga untuk menjadi alternatif atau mencoba mengontrol kinerja DPRD, daripada memperbaiki politik kepartaian dan DPRD, dengan memperbaiki representasi politik, yang mereka nilai tidak aspiratif. Intelektual cenderung memposisikan diri sebagai partner dan menjalankan fungsi kontrol terhadap DPR/ DPRD dan pemerintah/ pemerintah daerah. Ilustrasi mengenai kerja-kerja para intelektual yang cenderung lebih kepada reformasi kebijakan dan kelembagaan, monitoring kinerja institusi hukum dan kenegaraan, serta penguatan masyarakat sipil telah disampaikan di depan.

Kalau pun ada pemikiran dan usaha untuk memperbaiki keadaan sistem politik formal yang buruk, yang dilakukan cenderung sekedar membuat serangkaian pelatihan bagi peningkatan kapasitas, seperti menambah pengetahuan serta pengembangan skills, anggota parlemen dan birokrasi pemerintahan. Padahal persoalan pokoknya bukan pada kapasitas, namun minimnya para politisi di parlemen dan pejabat publik yang merepresentasikan kepentingan rakyat pemilihnya. Absennya para intelektual yang berorientasi demokratis dalam arena politik formal, membuat parlemen dan pemerintahan tetap dikuasai oleh orang-orang yang buruk. Implikasinya, representasi politik memburuk dan intelektual juga terpinggirkan secara politik.

Mendorong perbaikan terhadap institusi-institusi demokrasi yang berkaitan dengan sistem politik formal --misalnya perbaikan dalam sistem Pemilu, mendorong keterlibatan perempuan untuk menjadi anggota legislatif, dan adanya pemilihan pimpinan eksekutif secara langsung oleh rakyat -- memang telah dilakukan, namun hal tersebut belum cukup. Keterlibatan dan menjadi pemain yang menentukan, untuk memperbaiki kondisi representasi politik yang saat ini buruk, dalam politik formal masih sangat minim.

Padahal persoalan representasi politik sangat perlu dan mendesak untuk diperbaiki, karena memang perlu ada wakil-wakil terpercaya pada posisi-posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan publik, yang tentu saja sekaligus dengan membangun mekanisme agar tetap dapat dikontrol oleh para konstituennya. Di sini mereka tidak hanya menjalankan peran sebagai substitusi partai politik --bila mereka menilai bahwa partai politik yang saat ini ada tidak representatif--, namun yang utama adalah berusaha masuk ke dalam sistem politik serta memperbaikinya, misalnya membangun atau memfasilitasi munculnya partai yang representatif dengan membangun dukungan massa yang luas. Dengan dukungan massa yang luas, dan mengubahnya menjadi “suara”, masuk politik formal supaya tidak sekedar punya akses namun juga menentukan dalam pembuatan keputusan publik. Jadi tidak sekedar menjalankan fungsi kontrol atau berpartisipasi, namun juga terlibat dan menjadi pemain yang menentukan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan publik.

(18)

cenderung larut dalam dinamika partai.16 Yang dimaksud dengan strategi masuk ke dalam politik formal dalam tulisan ini secara substansif berbeda dengan fenomena tersebut. Masuk ke politik formal secara individual, apalagi tidak berakar, tanpa membangun basis massa sebagai konstituennya, dan tidak mendasarkan kepada gagasan pentingnya memajukan representasi politik, adalah langkah yang sia-sia bila dimaksudkan untuk memajukan demokrasi.

Intelektual dalam Politik Formal: Pengalaman dari Filipina

Secara teoretik, dalam negara yang besar dan luas seperti Indonesia, warga negara hanya bisa memberikan pengaruh yang sangat kecil sebagai individu, tetapi pengaruh itu bisa besar jika mereka bergabung dan membentuk perkumpulan. Partai-partai politik menyatukan orang-orang yang memiliki pandangan-pandangan serta kepentingan-kepentingan yang sama. Mereka bersama-sama memperjuangkan jabatan dan pengaruh politis. Bagi pemerintah, partai politik menyediakan pendukung politis yang cukup stabil yang akan memungkinkan mereka melaksanakan program-programnya setelah mereka terpilih. Partai politik juga menjadi sarana pendidikan politik, terlibat dalam masalah-masalah publik, dan saluran untuk mempengaruhi kebijakan publik. (Beetham & Boyle, 2000: h. 31).

Di Indonesia, intelektual masih cenderung bekerja berdasar nilai-nilai ideal yang mereka yakini, kasus-per-kasus, atau isu-per-isu, kemudian memperjuangkannya secara individual atau lewat lembaga-lembaga seperti organisasi profesi, LSM, atau jaringan LSM. Mereka kurang berusaha membangun organisasi-organisasi untuk kepentingan representasi dan memperluas konstituennya, misalnya membangun organisasi massa dengan mempertemukan dan merangkum berbagai organisasi rakyat, kelompok, kepentingan, dan gagasan yang sama-sama berorientasi kepada kesejahteraan bersama dan demokratis, kemudian masuk ke politik formal, membentuk partai dan ikut bersaing untuk merebut kekuasaan, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif, secara demokratis lewat Pemilu. Bukankah menang dalam Pemilu berarti ikut menjadi pihak yang menentukan kebijakan publik dan mempunyai posisi strategis dalam usaha memperbaiki institusi-institusi demokrasi yang masih dalam kondisi buruk?

Apakah membangun partai, ikut berkompetisi dalam Pemilu, serta berjuang di dalam mekanisme politik parlementer itu sesuatu yang buruk atau mustahil? Di negara tetangga, Filipina, sejumlah intelektual telah menempuh langkah tersebut dengan mendirikan partai dan mengikuti Pemilu. Menurut Dr Joel Rocamora (Rocamora, 2003: h. 552), direktur LSM Institute for Popular Democracy (IPD), berjuang melalui jalur politik formal itu perlu dikerjakan. Rocamora sendiri, selain direktur IPD juga merupakan presiden dari Partai Akbayan, sebuah partai politik berbasis LSM dan organisasi rakyat yang didirikan pada Januari 1998. Akbayan artinya aksi warga. Partai ini mengunggulkan dan berusaha konsisten dengan prinsipnya yang humanis, sosialistis, demokratis, pluralis, dan sensitif jender. Setidaknya tampak dari, paling tidak, 30% pengurus partai di semua level adalah perempuan. Rocamora dkk membangun partai ini dari nol dan mengembangkannya secara pelan-pelan. Tahun 2002 lalu, partai ini sudah mempunyai basis di 65 (enam puluh lima) provinsi dari 98 (sembilan puluh delapan) provinsi yang ada di Filipina.

16

(19)

Mengapa dan sejak kapan gagasan mengenai perlunya mendirikan partai politik tersebut tumbuh? Menurut Anton Prajasto (2004: h. 90), peneliti DEMOS yang melakukan studi terhadap Partai Akbayan ini, pada tahun 1991, di Filipina telah disahkan Undang-Undang (UU) Pemerintah Lokal, yang mengatur mengenai desentralisasi. UU ini memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah daerah, namun sekaligus juga memungkinkan partisipasi masyarakat sipil dalam tata pemerintahan, seperti terlibat dalam badan-badan khusus di tingkat lokal misalnya Dewan Pembangunan Daerah, Dewan Pendidikan, Badan Pengawas Polisi, dsb. Meski UU ini mensyaratkan agar 25% anggota badan-badan khusus itu harus berasal dari LSM atau organisasi massa, ternyata para pejabat pemerintah di tingkat lokal tidak mentaati peraturan ini. Organisasi-organisasi masyarakat sipil perlu berjuang sendiri untuk dapat terwakili. Mereka perlu berjuang dengan kalangan reformis dalam pemerintahan. Dalam proses ini, organisasi masyarakat sipil menyadari bahwa cara terbaik untuk terwakili adalah dengan menjadi kandidat untuk posisi-posisi di pemerintahan lokal.

Desentralisasi kekuasaan, peningkatan akuntabilitas, dan kecekatan pemerintah lokal tidak-serta merta dapat menjawab kebutuhan masyarakatnya. Korupsi ternyata merajalela dan kepentingan vital rakyat tidak terakomodasi. Tata pemerintahan yang baik hanya menjadi slogan kosong. Dalam refleksinya, kalangan LSM di sana menyimpulkan bahwa tata pemerintahan yang baik perlu mensyaratkan adanya partisipasi rakyat yang efektif. Pengalaman mengajarkan bahwa partisipasi masyarakat tercapai jika warga terorganisasi dengan baik, warga mendapat cukup informasi, ada transparansi dari pemerintah, dan ketika kebutuhan dasar warga terpenuhi. Untuk itu, perlu dibangun organisasi berbasis massa. (Ibid.)

Buruknya representasi mendorong sejumlah LSM untuk memperbaiki instrumen perwakilan. Mulanya dengan membentuk koalisi terbuka dari berbagai gerakan sosial. Namun koalisi LSM dan organisasi rakyat ini tidak cukup berhasil dalam menjawab kelemahan aksesibilitas rakyat dalam menentukan kebijakan umum. Lantas pemikiran pun berkembang bahwa partisipasi dalam politik hanya dimungkinkan melalui partai politik. Mereka kemudian bersama-sama membangun sebuah partai dan membiarkan organisasi-organisasi yang bergabung di dalamnya tetap independen, dapat mengurus dan mengelola lembaganya tanpa campur tangan partai. Keanggotaan partai tidak berbasis organisasi namun pada individu yang menjadi anggota organisasi-organisasi tersebut, sehingga basis massa dapat terukur. Inilah cikal bakal Partai Akbayan. (Ibid.)

(20)

Berdasar pengalaman Partai Akbayan (Rocamora, op.cit. h. 554), pembicaraan mengenai perlunya LSM bekerja di dalam dan melalui sistem politik formal tetap harus dikaitkan dengan seberapa jauh kalangan LSM berhasil membangun jaringan pergerakan baik di kalangan mereka sendiri maupun antara mereka dengan masyarakat. Sebelum LSM masuk ke arena politik, mereka harus punya basis di kalangan masyarakat, setidaknya dengan membangun dan mengembangkan serikat-serikat buruh, organisasi petani, gerakan lingkungan, gerakan perempuan, dan sebagainya.

Partai Akbayan dibangun berbasiskan organisasi-organisasi rakyat. Basis paling signifikan dari partai ini adalah kalangan petani dan buruh. Sekitar 80% dari petani progresif Filipina dan 30% buruh progresif berafilisasi ke partai tersebut. Di samping itu, ia juga memperluas konstituen ke kalangan perempuan, gay, lesbian, dan para aktivis lingkungan. Pembangunan di internal partai juga dilakukan, di antaranya dengan mengembangkan tradisi komunikasi politik. Misalnya cara untuk melakukan kontrol, pengawasan, dan koreksi internal antar anggota partai, atau anggota dengan pengurus partai, adalah dengan menyindir. Mereka menggunakan medium humor dan tertawa sebagai alat komunikasi untuk pembicaraan-pembicaraan yang serius. Banyak cara dilakukan untuk menghindari ketegangan. (Rocamora, op.cit. h. 552-553)

Menurut Rocamora (Rocamora, op.cit. h. 553), di banyak tempat, revolusi ditempuh untuk mengubah keadaan. Sementara para aktivis Partai Akbayan percaya bahwa perubahan juga bisa dilakukan sambil menikmati kehidupan. Syaratnya, harus punya tujuan, program, dan melaksanakannya dengan serius. Kalau tidak mau menikmati hidup, akan mati sebelum revolusi berhasil. Salah satu yang menjamin agar bisa melakukan pekerjaan politik secara serius adalah dengan cara membangun keanggotaan partai dari kalangan muda, di bawah 30 tahun. Mereka inilah yang meyakini bahwa mereka bisa menikmati hasil dari perjuangan yang sedang dilakukan.

Mereka (Anton Prajasto, op. cit.) juga meyakini bahwa partisipasi luas dari warga dalam politik tidak cukup diukur melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui proses-proses pemerintahan dan melalui partisipasi langsung di tingkat desa. Strategi yang dipilih merupakan kombinasi gerakan sosial dengan masuk ke dalam sistem politik formal. Sudah sekitar 36 bupati, 50 wali kota, 250 kepala kecamatan, dan 700 kepala desa berasal atau mengikatkan diri dan menjadi representasi dari konstituen partai ini. Jumlah ini memang belum seberapa bila dibandingkan keseluruhan wali kota di Filipina, namun setidaknya mereka telah mulai memperbaiki representasi politik. Salah satu yang memungkinkan prestasi tersebut adalah partai tidak sekedar menjadi kendaraan untuk mengakumulasi kekuatan massa, namun juga meningkatkan kapasitas para calonnya, baik untuk jabatan di eksekutif maupun legislatif, sehingga dapat benar-benar akuntabel kepada publik dan konstituennya. Termasuk mengembangkan pendidikan di antara mereka dan mekanisme penyusunan kebijakan yang berbasis rakyat.

Warisan Orde Baru?

(21)

kurang dalam usaha membangun dan memperbaiki representasi politik, yakni: (1) mereka cenderung masih kurang dalam membangun organisasi berbasis massa, (2) paradigma yang dominan di kalangan mereka adalah non-partisan dan menjaga jarak dengan kekuasaan, (3) mereka cenderung lebih suka melancarkan kritik dan desakan lewat forum publik dan media, produksi gagasan, melakukan lobi, serta melakukan desakan lewat demonstrasi daripada masuk politik formal.

Kurangnya intelektual di Indonesia dalam membangun organisasi berbasis massa, pertama-tama dan terutama karena warisan politik massa mengambang dari masa Orde Baru. Kebijakan “massa mengambang” serta politik pengendalian dan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan organisasi massa yang diterapkan di masa pemerintahan Soeharto merupakan hambatan terbesar bagi tumbuhnya organisasi massa yang berorientasi kepada perubahan. Hal tersebut kemudian mengkondisikan intelektual untuk bergerak secara individual atau melalui pembentukan organisasi-organisasi skala kecil. Misalnya LSM yang tumbuh sebagai organisasi-organisasi-organisasi-organisasi staf berskala kecil dan tidak berambisi menjadi organisasi besar dengan cakupan wilayah yang meluas dan dukungan massa yang besar pula. Pengembangan yang terjadi lebih kepada usaha membentuk jaringan dengan sejumlah LSM lainnya. Kecenderungan untuk membentuk organisasi-organisasi skala kecil selama periode pemerintahan Soeharto tersebut kemudian tetap berlanjut hingga kini, selain juga membuat mereka miskin pengalaman dalam membangun organisasi massa yang besar dan efektif.

Minimnya usaha untuk membangun representasi politik juga tidak bisa lepas dari paradigma yang dominan dianut intelektual di Indonesia, yakni non-partisan dan menjaga jarak dengan kekuasaan. Berbeda dengan kecenderungan intelektual di masa pergerakan dan awal kemerdekaan hingga pra-Orde Baru, yang populer misalnya Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, kecenderungan atau paradigma intelektual di masa Orde Baru adalah menjaga jarak dengan kekuasaan. Intelektual yang masuk ke dalam kekuasaan mendapat sebutan peyoratif sebagai teknokrat, bukan lagi intelektual. Sementara LSM lebih nyaman dan bangga dengan sebutan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dari pada LSM, selain juga nyaman dan bangga dengan bersikap non-partisan. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat di masa itu negara sangat otoriter dan terkesan kuat sehingga tampak mustahil untuk diperbaiki dengan masuk ke dalamnya. Yang berlangsung kemudian, paradigma negara versus masyarakat sipil (state versus civil society) menonjol dan makin dominan di kalangan intelektual di tahun 1990-an. Paradigma tersebut masih berpengaruh hingga sekarang, meski situasinya sudah mengalami perubahan.

(22)

masyarakat sipil, namun dengan tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan kurang dalam usaha perbaikan terhadap instrumen-instrumen representasi politik (lihat misalnya dalam Sutoro Eko, 2004), yang merupakan manifestasi dari paradigma negara versus masyarakat sipil.

Tabel 10. Pendekatan-Pendekatan yang Dominan dalam Politik Demokratisasi

Agen Struktur

• Crafting elite • Kerangka kebijakan dan legal

• Konvergensi elite • Capacity building

Negara

• Kepemimpinan yang kuat • Reorganisasi dan reformasi birokrasi • Pendidikan politik masyarakat • Penguatan modal sosial (organisasi

dan jaringan)

• Penguatan voice aktor-aktor masyarakat sipil

• Penguatan partisipasi masyarakat

Masyarakat

• Aksi kolektif organisasi masyarakat

sipil

Sumber: Sutoro Eko, 2004: h. 322

Sementara kecenderungan intelektual di Indonesia yang menghindari atau tidak berusaha masuk ke arena politik formal juga tidak bisa dilepaskan dan merupakan warisan Orde Baru. Selain “massa mengambang”, pemerintahan Soeharto juga telah mengkonstruksikan suasana anti politik. Di masanya, pertumbuhan ekonomi dijadikan prioritas dengan menekan kehidupan politik, yang dicitrakannya dapat mengganggu stabilitas, prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi. Ia juga membangun hegemoni bahwa politik itu kotor. Partai-partai politik yang ada tidak berfungsi dan di bawah kendalinya. Kemudian intelektual menempatkan diri sebagai substitusi partai politik yang kondisinya buruk, selain juga paradigma negara versus masyarakat, dalam mengartikulasikan suara rakyat kecil. Kondisi tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Intelektual lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai individu-individu yang bebas dan tidak ingin terlibat dalam kegiatan “politik praktis” yang dinilainya penuh tipu daya, kekerasan, dan politik uang. Mereka lebih nyaman sebagai substitusi dari partai-partai politik yang kondisinya buruk, atau mengomentarinya, daripada secara intens berusaha memperbaiki politik kepartaian yang justru amat strategis serta butuh untuk diperbaiki.

Merintis Representasi Politik di Tingkat Lokal

Meski masih minim dan tenggelam di bawah dominasi ketiga kecenderungan di atas, usaha-usaha untuk memajukan representasi politik sudah mulai tumbuh dan dirintis di sejumlah daerah. Membangun basis massa, merintis pembangunan partai lokal yang berbasis gerakan sosial, serta masuk ke lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif lewat Pemilu maupun pemilihan langsung kepala daerah (Pilsungkada), telah menjadi wacana dan agenda sejumlah intelektual muda di tingkat lokal.

(23)

telah mencalonkan dan memberikan dukungan pada dirinya. (F Bambang Wisudo, 2004).

Meski berada pada peringkat ketiga, namun Muspani telah berhasil masuk ke parlemen dan menjadi salah satu representasi warga Bengkulu, khususnya rakyat kecil di sana. Keberhasilan Muspani disambut gembira oleh para aktivis, petani, nelayan, dan pedagang yang telah menggalang dukungan tanpa dibayar. Rakyat kecil membutuhkan corong untuk menyuarakan aspirasi mereka. Corong itu ditemukan pada diri Muspani. Di atas kertas, bila organisasi-organisasi rakyat itu dihimpun menjadi partai politik, partai mereka berada pada urutan kedua perolehan suara di Provinsi Bengkulu. Mereka kini tengah mengkaji apakah kelak akan membentuk partai politik sendiri atau bergabung dengan partai politik yang ada. Tidak dimungkinkannya partai politik lokal di Indonesia menghalangi organisasi-organisasi rakyat itu untuk bergabung dan mendirikan sebuah partai politik lokal. (Ibid.)

Keberhasilan Muspani telah menjadi inspirasi dan mendorong kepercayaan diri di kalangan aktivis organisasi rakyat setempat. Zaiful Anwar, 52 tahun, anggota Serikat Tani Bengkulu, salah satu pendukung utama Muspani, berharap bahwa pada satu saat nanti jabatan-jabatan DPR, bupati, dan gubernur akan dipegang oleh wakil-wakil petani, nelayan atau pedagang kaki lima. Dengan merebut posisi itu, mereka berharap mempunyai wakil yang representatif dan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang selama ini mereka hadapi. "Sekarang ini kita menggantungkan penyelesaian masalah pada orang lain. Mereka yang ada di DPR, yang menjabat sebagai kepala desa, bupati, dan gubernur bukan orang-orang kita," kata Zaiful.

Di Sulawesi Tenggara, Konsorsium Perluasan Partisipasi Politik Rakyat (KP3R), sebuah konsorsium 46 (empat puluh enam) LSM serta sejumlah organisasi rakyat di Sulawesi Tenggara, melihat betapa strategisnya posisi kepemimpinan formal di tingkat lokal. Sejak tahun 2003, mereka merancang program untuk merebut jabatan 1.000 kepala desa di Sulawesi Tenggara melalui jalan demokratis. Targetnya, hal tersebut dapat dicapai dalam rentang waktu 5 tahun. Keberhasilan merebut posisi kepala desa ini dapat menjadi basis untuk merebut posisi pemerintahan yang lebih tinggi. Menurut mereka, posisi kepala desa di daerahnya sangat berpengaruh dan didengar warganya. Selain untuk menjadi motor bagi pembaharuan desa, posisi tersebut juga dinilai strategis untuk menggalang dukungan bila suatu ketika dilakukan pemilihan langsung untuk jabatan kepala daerah, seperti bupati, walikota, maupun gubernur. (Otto Adi Yulianto, 2004)

Bagi mereka, usaha merebut kepemimpinan di tingkat lokal amatlah perlu mengingat jabatan tersebut amat strategis dan menentukan dalam pembuatan kebijakan daerah yang berdampak langsung terhadap warganya. Menurut La Ode Ota, koordinator KP3R yang juga direktur WALHI Sulawesi Tenggara ini, ada problem yang sangat serius di Sulawesi Tenggara, yakni sumber daya alamnya melimpah namun masyarakatnya miskin secara finansial dan pengetahuan untuk mengolahnya. Yang terjadi kemudian, investor melakukan eksploitasi dan mereguk untung, yang tak jarang berbuntut konflik dan jatuh korban di pihak masyarakat. Hal ini perlu adanya pemecahan yang berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban.

(24)

kepentingan masyarakat korban makin efektif. Ternyata dalam pemilihan anggota DPD, Ota menduduki peringkat 12 dari 31 calon yang ada dengan jumlah perolehan suara sekitar 25.300. Peringkat dan perolehan suara ini sebenarnya cukup spektakuler mengingat dana yang mereka keluarkan hanya sekitar Rp 5 juta, paling kecil dibanding calon-calon yang lain.

Kekalahan Ota dalam pemilihan anggota DPD bukannya menyurutkan langkah mereka untuk masuk ke wilayah politik formal, namun justru sebaliknya. Belajar dari pengalamannya saat pemilihan DPD, KP3R mulai mengantisipasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Mengingat strategisnya posisi kepala daerah dalam pembuatan kebijakan publik, KP3R berharap suatu ketika wakil-wakilnya dapat menduduki posisi-posisi tersebut. Untuk itu, mengembangkan dukungan dan konstituen yang selama ini telah ada perlu dilakukan.

Di Sulawesi Tenggara ada kira-kira 1.581 desa. Bila dari 1 desa direkrut 10 orang kader, maka dari 1581 desa akan ada 15.810 orang kader. Kader-kader tersebut bisa berasal dari community leaders, aktivis mahasiswa, masyarakat adat, aktivis-aktivis setempat, dan sebagainya. Mereka ini kemudian menjadi calon serta orang-orang kunci untuk memenangkan pemilihan kepala desa di desa mereka masing-masing. Sementara KP3R akan menjadi konsultan dan fasilitator bagi mereka.

Usaha masuk ke dalam sistem politik formal dan merebut kepemimpinan lokal di wilayah pedesaan juga dilakukan oleh beberapa Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didampingi USC-Satunama, sebuah LSM di Yogyakarta. Menurut Agustinus Satwoko, koordinator pendamping usaha kecil dan sektor informal USC-Satunama, beberapa KSM dampingan mereka telah menempatkan wakil-wakilnya ke dalam Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa di daerah mereka masing-masing. Misalnya Tumini dan Sumadyo dari KSM Andini Mulyo, yang menjadi kepala desa serta ketua BPD desa Logandeng, Kecamatan Playen, Gunung Kidul sejak 2002. Juga Sularti, dari KSM Anggrek, yang menjadi kepala desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. (Ibid.)

Sejak masa kepemimpinan Bu Sularti, rembuk desa di Beji dihidupkan setelah sebelumnya desa dipimpin oleh kepala desa yang mantan militer dan otoriter. Kepemimpinan Tumini dan Sumadyo dinilai telah membantu meningkatkan akses pasar bagi usaha daging sapi yang dikelola para anggota KSM Andini Mulyo. Bagi mereka yang berharap perubahan radikal secara revolusioner, mungkin hal-hal tadi kelihatannya remeh temeh. Namun yang pasti, apa yang berhasil dicapai oleh KSM-KSM tersebut telah memberikan kontribusi yang kongkrit bagi usaha membangun representasi dan memajukan demokrasi.

Penutup

Hingga saat ini tampaknya belum ada sistem lain di luar demokrasi yang terbukti lebih baik. Seperti yang disampaikan oleh Asmara Nababan17, bila instrumen-instrumennya kemudian dalam kondisi jelek, bukan berarti demokrasinya yang jelek. Instrumen-instrumen tersebut yang harus diperbaiki. Saat ini masih banyak instrumen demokrasi yang kondisinya buruk dibanding yang mulai membaik. Usaha untuk

17

(25)

memperbaiki berbagai instrumen demokrasi sudah banyak dilakukan oleh para intelektual, namun hasilnya belum optimal.

Menurut Nasikun (2000: h. 245), perbaikan atau transisi ke demokrasi perlu dilakukan dan dimulai dari reformasi politik yang total, termasuk di dalamnya reformasi birokrasi, melalui penyelenggaraan Pemilu yang benar-benar jujur, adil, bebas, dan transparan. Artinya, ia harus dimulai dari perombakan dan pembongkaran total struktur-struktur, institusi-institusi, dan prosedur-prosedur politik Orde Baru yang terpusat dan otoritarian, serta menggantikan semua itu dengan pembangunan dan pelembagaan struktur-struktur, institusi-institusi, serta prosedur-prosedur politik yang lebih demokratis. Ia perlu dimulai dari penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil, bebas, dan transparan, oleh karena hanya melalui penyelenggaraan Pemilu yang demikian suatu pemerintahan yang “legitimate” dapat diharapkan dan kepentingan semua kekuatan politik yang saling bersaing dapat dipertaruhkan.

Pemilu sudah dua kali berlangsung (1999 dan 2004) secara relatif bebas dan bersih. Meski berbagai kebebasan dasar kini kondisinya sudah membaik bila dibandingkan masa pemerintahan Soeharto, namun tampak bahwa sebagian besar instrumen demokrasi yang lain masih dalam kondisi yang buruk. Good governance belum berlangsung seperti yang diharapkan. Yang tidak kalah penting dan sangat strategis, representasi politik masih amat buruk. Para elit, baik yang lama maupun baru, telah berkuasa (kembali) lewat mekanisme demokratis, seperti lewat partai, Pemilu, dan parlemen. Namun kekuasaan yang diperolehnya bukan untuk memperbaiki demokrasi seperti yang diteorisasikan banyak intelektual, justru malah sebaliknya, digunakan untuk kepentingannya sendiri, kelompok, maupun elit partainya.

Pembangunan dan pengembangan struktur-struktur, institusi-institusi, serta prosedur-prosedur demokrasi memang perlu. Namun hal tersebut tidak cukup atau bahkan beresiko bila semata diserahkan kepada elit --kekuatan-kekuatan konservatif yang menguasai pusat-pusat kekuasaan terutama di dalam tubuh pemerintahan dan parlemen-- sementara intelektual yang berorientasi demokratis cenderung memilih di luar atau pinggir kekuasaan, sekedar menjalankan fungsi kontrol lewat lobi, kampanye, dan demonstrasi.

Belajar dari pengalaman selama periode 1999-2004 lalu, reformasi tidak bisa diserahkan kepada elit. Para intelektual perlu melibatkan diri. Tidak hanya di luar atau pinggir kekuasaan, namun masuk ke dalam sistem politik formal dan bersaing untuk memperebutkan kekuasaan demi memperbaiki representasi dan demokrasi. Tidak sekedar menjalankan fungsi kontrol atau berpartisipasi, namun yang utama mengkombinasikannya dengan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan publik secara menentukan. Tentunya tanpa mengabaikan persoalan representasi politik, membangun dukungan massa, serta mekanisme kontrol internal di kalangan mereka.

(26)

disalahgunakan elit oligarkhi tetapi juga karena paradigma yang dominan dan sumber daya yang dimiliki para intelektual masih kurang mendukung. Namun, sejumlah intelektual muda kini telah merintisnya di tingkatan lokal mereka. Bila usaha-usaha tersebut tidak sekedar berhasil dalam menjalankan fungsi kontrol namun juga mampu memajukan representasi politik, menjadi inspirasi dan menyebar ke daerah-daerah lain, serta mereka dapat menjaga reputasinya: fajar baru bagi gerakan pro-demokrasi di Indonesia? *****

Daftar Pustaka

1. A.E. Priyono, et.al (2003), Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto, Jakarta: DEMOS

2. Anton Prajasto (2004), “Filipina dan Institusi Perwakilan yang Representatif”, dalam Tempo, edisi 13-19 Desember

3. Arief Budiman, “Kata Pengantar”, dalam INFID (ed.) (1993), Pembangunan di Indonesia, Memandang dari Sisi Lain, Jakarta: Yayasan Obor dan INFID.

4. B Herry-Priyono (2005), “Hantu Orde Baru: Kuasa Amnesia dalam Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia”, dalam Kompas, 22 Januari

5. Beetham, David dan Kevin Boyle (2000), Demokrasi: 80 Tanya-Jawab, Yogyakarta: Kanisius (Judul asli: Beetham, David dan Kevin Boyle (1995), Introducing Democracy: 80 Questions and Answers, UNESCO Paris, Perancis tahun 1995)

6. Cahyo Suryanto (2002), ‘Gerakan Good Governance “untuk” Indonesia’, dalam Jurnal Wacana Vol 7, No. 2, Juni 2002, Bandung: Akatiga.

7. Crawford, Gordon & Yulius P. Hermawan (2002), “Whose Agenda? ‘Partnership’and International assistance to Democratization and Governance Reform in Indonesia”, Contemporary Southeast Asia a Jurnal of International and Strategic Affairs Institute of Southeast Asian Studies Vol. 24 No. 2, Agustus. 8. DEMOS (2005), Menuju Agenda Demokrasi Berbasis-HAM yang Lebih

Bermakna, Kesimpulan Awal Survei Nasional Tahap 1 dan 2 Masalah-Masalah dan Pilihan-Pilihan Demokratisasi Indonesia, DEMOS: Jakarta.

9. Diamond, Larry 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, Yogyakarta: IRE Press

10. F. Bambang Wisudo (2004), “Kami Menolak Orba Berkuasa Lagi ..”, Kompas, 3 Juli

11. Harriss, John et. al. (2004), Politicing Democracy, The New Local Politics of Democratisation, New York: Palgrave Macmillan

12. Haryatmoko (2003), “Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa”, dalam Basis No. 11-12 tahun ke-52, November-Desember

13. Kwik Kian Gie (2003), “Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan”, dalam mailing list CARI, Januari 2003.

14. Lembaga Studi dan Advokasi Manusia & Lawyers Committee for Human Rights (1995), Atas Nama Pembangunan, Bank Dunia dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: ELSAM.

(27)

16. Otto Adi Yulianto (2004), “Mari Merebut Kepemimpinan Lokal”, dalam Tempo, edisi 13-19 Desember

17. Priyambudi Sulistiyanto (2004), “Oligarki, Kekuasaan dan Pasar di Era Pasca-Soeharto”, Kompas, 19 Juni.

18. Rocamora, Joel (2003), “Belajar dari Pengalaman Filipina”, dalam A.E. Priyono, et.al (2003), Jakarta: DEMOS

19. Salomo Simanungkalit (ed.) 2002, Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

20. Stanley (1994), Seputar Kedung Ombo, Jakarta: ELSAM dan INFID.

21. Sutoro Eko (2004), “Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal” dalam Analisis CSIS vol 33 No. 3 September

22. Uhlin, Anders (1998), Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan

23. Vedi R. Hadiz (2003), “Menimbang Gagasan ‘Transisi Demokrasi’ di Indonesia”, dalam A.E. Priyono, et.al (2003), Jakarta: DEMOS

24. Kompas, 4 Juni 2000.

25. Kompas, 20 September 2001. 26. Kompas, 18 Juli 2002. 27. Kompas, 13 Januari 2003. 28. Kompas, 22 Januari 2003. 29. Kompas, 31 Januari 2004. 30. Kompas, 22 Januari 2005.

Gambar

Tabel 1. Empat Puluh Instrumen Demokrasi
Tabel 5. Indeks Good Governance Sejumlah Negara di Asia Tenggara Tahun 1999
Tabel 6. Masalah-masalah utama dalam keterwakilan dan partisipasi langsung8
Tabel 7. Tipologi Gerakan Sosial di Tingkat Lokal
+4

Referensi

Dokumen terkait

Terjadinya pembentukan dan multiplikasi tunas pada media perlakuan diduga karena konsentrasi sitokinin eksogen yang ditambahkan ke dalam media kultur lebih tinggi dibandingkan

Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud

Simpulan Penelitian: Terdapat (1) hubungan yang kuat namun tidak signifikan antara kadar HbA1c dengan kejadian kandidiasis kutis dimulai ketika kadar HbA1c ≥ 6 % (2)

KAJIAN TEKNIS PENGARUH KONDISI JALAN ANGKUT DARI FRONT PENAMBANGAN – DISPOSAL BLOCK 10 TERHADAP PRODUKSI ALAT ANGKUT DUMP TRUCK DALAM

Baja amutit ukuran penampang 17 mm x 17 mm dengan panjang ± 120 mm dibentuk menggunakan mesin potong, mesin milling dan mesin surface grinding menjadi menjadi balok

Atmosfer dari planet merkurius terdiri dari gas natrium dan kalium yang sangat tipis sehingga kadang-kadang dikatakan bahwa planet ini tidak memiliki atmosfer.. Jarak

[r]

Pada penyakit ambeien atau wasir (hemoroid) internal, pembuluh darah berasal dari daerah yang agak dalam dari anus dimana tidak ada serabut saraf... sensorik sehingga