38
PERUBAHAN DAYA KESEIMBANGAN AIR DAN NERACA LAHAN AKIBAT PEMBANGUNAN WADUK DI LOKASI HUTAN LINDUNG
Bambang Rahadi1*, Novia Lusiana1, Angga Dheta S1
Jurusan Teknik Pertanian-Universitas Brawijaya *Email : 1jbrahadi@ub.ac.id, b.rahadi@gmail,com
Abstrak
Alih fungsi lahan di kawasan penyangga berakibat perubahan keseimbangan air, keseimbangan lahan dan erosi, Demikian juga kegiatan pembangunan Waduk Bendo dikabupaten Ponorogo yang terletak di kawasan lindung mengakibatkan perubahan keseimbangan air, keseimbangan lahan dan erosi. Maka pembangunan waduk di kawasan lindung penting untuk dikaji. Metode penelitian dilakukan dengan simulasi (1) Eksisting(2) Jika terbangun waduk seluas 22,31 ha. (3) jika hutan lindung diganti 5ha. dan dilakukan secara bertahap meliputi:persiapan, studi/kajian literature, observasi awal di lapangan dan lembaga/instansi, analisa data. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Defisit airsebesar191.166.699 m3/tahun pada kondisi existing dan meningkat menjadi 191.239.613 m3/tahun jika dialih fungsikan menjadi hutan produksi, dan akan menurunkan defisit jika hutan lindung di ganti 5 ha. sebesar 174.505.398 m3; (2) Rasio Debit Maksimum dan Minimum pada kala ulang 5 tahun, 10 tahun dan 50 tahun memiliki rasio yang sama sebesar 154,927 sedangkan kala ulang 25 tahun memiliki rasio 153,970 dan pada kondisi existing, alih fungsi lahan dan simulasi rasionya tidak mengalami perubahan. (3) Neracalahanmenunjukkankondisi surplus sebesar 72.115,90 Ha pada saat existing, surplus pada 72.096,85 Ha jika terjadi alih fungsi lahan hutan lindung kehutan produksi dan surplus 72.116,35 Ha pada kondisi penambahan hutan lindung seluas 5 ha (5) Erosi kondisi existing jika dialih fungsikan ke hutan produksi akan terjadi peningkatan erosi, dan masih pada tahap yang diijinkan (kurang dari 15 ton/Ha/tahun) (5) Hutan Lindung seluas 22,31 Ha Jika dialih fungsikan menjadi Hutan Produksi tidak akan merubah banyak Daya Dukung Lingkunganya.
Kata Kunci: Alih fungsi lahan, neraca air, hutan lindung.
PENDAHULUAN
Alih fungsi lahan akan terus terjadi, di DAS Ciliwung kurun waktu 10 tahun mencapai 20,3% (Sabar, 2008). Di Daerah Istimewa Yogyakarta kurun waktu 20 tahun dari tahun 1983-2002 lahan sawah menyusut 4.896 ha (Suherman, 2004). Alih fungsi lahan yang berlebihan akan mengakibatkan perubahan penutupan lahan dan apabila terjadi hujan akan meningkatnya limpasan permukaan, kejadian tersebut juga terjadi pada pembangunan waduk Bendodi Kabupaten Ponorogo.
Berbagai bentuk kerusakan DAS seringkali merupakan permasalahan yang timbul akibat daya dukung lingkungan hidup telah terlampaui. Terlampauinya daya dukung lingkungan menimbulkan persoalan bagi manusia dalam pemanfaatan ruang, maka menjadi penting bagaimana agar DAS beserta ekosistemnya mampu secara berkelanjutan mendukung kehidupannya dengan tingkat kesejahteraan yang dipandang memadai. Salah satu bentuk upaya menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah melalui proses penataan ruang yang berbasis daya dukung lingkungan agar tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
39 Pembangunan Waduk Bendo Sub DAS Keyang, berdampak pada kebutuhan pembukaan lahan dalam rangka untuk menunjang kegiatan pembangunan waduk serta menjaga keberlanjutan fungsi waduk. Dalam rangka mempertahankan keberlanjutan waduk Bendo maka Bupati Kabupaten Ponorogo berdasarkan Surat Bupati No 03/BAPL/RenSDH-II/III/2015 merencanakan adanya penurunan status peruntukan lahan seluas ±22,31 Ha menjadi peruntukan hutan produksi. Kondisi letak pembangunan waduk di Sub DAS Keyang yang merupakan bagian daerah aliran sungai bagian hulu menjadikan setiap kegiatan perlu dipertimbangkan lagi untuk menghindari adanya penurunan kualitas lingkungan. Maksud diadakannya kajian ini adalah untuk mengetahui perubahan keseimbangan air, Keseimbangan lahan dan Erosi yang diakibatkatkan alih fungsi lahan hutan lindung seluas ± 22,31 ha menjadi lahan hutan produksi. Tujuan Penelitian mengkaji dampak alih fungsi lahan seluas 22,31 ha : (1) Mengidentifikasi kondisikesesuaian lahan, (2). keseimbangan air di Sub DAS Keyang.(3) Peningkatan erosi akibat alih fungsi lahan
Sasaran yang ingin dicapai dari Kajian ini adalah: (1)Menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan lingkungan di DAS Keyang akibat alih fungsi lahan hutan lindung seluas 22,31 ha menjadi lahan hutan produksi. (2)Menjaga sustainibilitas fungsi hutan lindung dan hutan produksi terhadap daya dukung lingkungan.(3)Menjaga keseimbangan fungsi lingkungan dalam rangka menghindari adanya kerusakan lingkungan akibat pembangunan.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan pekerjaan penelitian terdiri dari beberapa tahapan yaitu persiapan, studi/kajian literature, observasi awal di lapangan dan lembaga/instansi, penyusunan laporan pendahuluan dan diskusi, survey (pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder), analisa data, penyusunan draft laporan akhir (draft report), konsultasi draft laporan akhir, penyusunan laporan akhir (final report).Secara skematik tahapan kegiatan digambarkan dalam bagan alur pada Gambar (1).
Gambar 1. Tahapan penelitian.
40 poligon. Feature adalah satuan gambar spasial hasil digitasi peta.Datayang diperlukan untuk membangunan sistem informasi ini berupa data peta dan data mengenai karakteristik lahan yang ada di Kabupaten Ponorogo.
Kompilasi data meliputi pekerjaan konversi data dari analog ke digital. (a)Digitasi peta dimana dalam kompilasi data ini dilakukan pendigitasian peta-peta yang berhubungan dengan pekerjaan sehingga dapat dilakukan proses selanjutnya.
(b) Pemasukkan data bertujuan untuk memberikan atribut alphanumeric (angka/huruf) pada suatu obyek (titik, garis, dan poligon) dan masukan berupa basis data.
Survey Lapangan dilakukan untuk mendapatkan data data primer yang dibutuhkan dalam pekerjaan ini. Pengambilan data primer dilakukan di ketiga lokasi terdampak yang berada pada wilayah Alir DAS.
3. Deskripsi Lokasi Kajian
Wilayah Kabupaten Ponorogo yang potensial dan rawan terhadap bencana banjir adalah Kecamatan yang berada pada wilayah dataran rendah antara lain Kecamatan Kauman, Sukorejo, Bungkal, Jetis, Mlarak, Ponorogo, Sambit, Sawoo, dan Siman, yang kesemuanya merupakan DAS Keyangmempunya luas 42.919 Ha dan panjang 49 km. Daerah pengalirannya meliputi Kecamatan Bungkal, Jetis, Mlarak, Ponorogo, Pulung, Sambit, Sawoo, Siman, dan Sooko (Gambar 2).
Gambar 2. Peta Lokasi Aliran Sungai Keyang.
41 Aliran sungai Keyang dengan panjang daerah pengaliran 49 km dan rata-rata kedalaman sungai 8 m mempunyai debit pada musim kemarau sebesar 502 m3/detik sedangkan pada musim hujan mencapai 7.306 m3/detik. Kondisi debit sungai di Kabupaten Ponorogo dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Debit Sungai di Kabupaten Ponorogo Tahun 2015.
No Nama sungai Panjang (km)
Kedalaman
(m)
Debit (m3/det)
Maks Min
1 Asin 36,80 5 2.128 1.287
2 Cemer 36,00 5 3.878 635
3 Gendol 33,20 5 710 8
4 Keyang 49,00 8 7.306 502
5 Bedingin 4,00 4 164 8
6 Nambang 6,00 4 245 12
7 Slahung 35,90 8 12.192 21
8 Mayong 13,70 3 771 10
9 Pelem 18,00 4 691 50
10 Munggu 7,70 6 561 27
11 Domas 12,40 4 43 12
12 Ireng 7,00 4 49 4
13 Sungkur 58,10 8 1.297 109
14 Galok 29,70 4 940 160
15 Gonggang 36,00 4 0 0
16 Pucang 15,00 3 50 50
17 Nglorog Atas - - 0 0
42 Gambar 3. Peta Topografi, Jenis Tanah. Tekstur dan Permeabilitas., Kedalaman efektif,
43 Aliran sungai Keyang mempunyai ketinggian antara 100 mdpl (diatas permukaan laut) di daerah hilirnya yaitu di Desa Kali Malang Kecamatan Sukorejo, terdapat di bagian tengah Kabupaten Ponorogo dan berupa dataran rendah yang subur. Daerah hulu aliran sungai Keyang mencapai ketinggian lebih dari 1000 mdpl di Desa Sidowayah Kecamatan Sooko, dan berupa daerah pegununganKetinggian 1416,667-1700 m dpl meliputi kecamatan Pulung dan Sooko;
Jenis tanah terbentuk dari faktor-faktor pembentuk tanah antara lain batuan induk, iklim, topografi, vegetasi dan waktu. Wilayah aliran sungai Keyang mempunyai sembilan macam jenis tanah yaitu aluvial coklat kekelabuan; aluvial kelabu tua; asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan; komplek andosol coklat andosol coklat kekuningan dan litosol; komplek latosol coklat kemerahan dan litosol; latosol coklat; latosol coklat kemerahan; litosol; mediteran coklat kemerahan. Jenis tanah yang mendominasi di wilayah aliran sungai Keyang yaitu mediteran coklat kemerahan, sedangkan yang paling sedikit yaitu jenis asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan.
Tekstur tanah di wilayah aliran sungai Keyang terdiri dari empat jenis tekstur tanah, yaitu berpasir, lempung, lempung berliat, lempung berpasir. Berdasarkan klasifikasi tekstur tanah, tekstur tanah berpasir seluas 10.165,329 Ha atau 16,594% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Tekstur lempung seluas 6.725,748 Ha atau 10,979% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Tekstur lempung berliat seluas 13.523,368 Ha atau 22,076% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Tekstur lempung berpasir seluas 30.844,910 Ha atau 50,351% dari luas seluruh wilayah sungai Keyang.
Permeabilitas di lokasi penelitian terdisri dari agak lambat (0,5-2,0 cm/jam) seluas 13.523,368 Ha atau 22,076% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lahan yang memiliki kemampuan permeabilitas sedang (2,0-6,25 cm/jam) seluas 6.725,748 Ha atau 10,979% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lahan yang memiliki kemampuan permeabilitas agak cepat (6,25-12,5 cm/jam) seluas 30.844,910 Ha atau 50,351% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lahan yang memiliki kemampuan permeabilitas cepat ( >12,5 cm/jam) seluas 10.165,329 Ha atau 16,594% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang.
Kedalaman efektif wilayah aliran sungai Keyang ada tiga macam, yaitu dalam ( >90 cm) seluas 42.343,679 Ha atau 69,122% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Kategori sedang (90-50 cm) seluas 8.750,347 Ha atau 14,284% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Kategori dangkal (50-25 cm) seluas 10.165,329 Ha atau 16,594% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Kedalaman efektif di wilayah aliran sungai Keyang didominasi dengan kedalaman kategori dalam ( >90 cm), sedangkan hanya sebagian kecil untuk kedalaman kategori sedang (90-50 cm). Peta klasifikasi kedalaman efektif wilayah aliran sungai Keyang .
Kemampuan drainase yang ada di wilayah aliran sungai Keyang terdiri dari empat kategori yaitu, kemampuan drainase baik seluas 10.165,329 Ha atau 16,594% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Kemampuan drainase agak baik seluas 30.844,910 Ha atau 50,351% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Kemampuan drainase agak buruk seluas 6.725,748 Ha atau 10,979% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Sedangkan untuk kemampuan drainase buruk seluas 13.523,368 Ha atau 22,076% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang.
44 10.542,240 Ha atau 17,209% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lereng agak miring (8-15%) seluas 8.716,320 Ha atau 14,228% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lereng miring berbukit (15-30%) seluas 11.504,160 Ha atau 18,779% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lereng agak curam (30-45%) seluas 8.389,440 Ha atau 13,695% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lereng curam (45-60%) seluas 5.135,040 Ha atau 8,382% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang. Lereng sangat curam ( >60%) seluas 3.214,080 Ha atau 5,246% dari luas seluruh wilayah aliran sungai Keyang.
4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Besarnya Erosi
Hasil pendugaan nilai laju erosi pada kondisi tata guna lahan existing dapat diketahui bahwa jumlah erosi total wilayah aliran sungai Keyang dengan luas wilayah sebesar 62.468,53 Ha erosi mencapai 103.172,0095 ton/th dengan erosi rata-rata sebesar 1,685 ton/ha/th. Kondisi jika terbangun bendung jumlah erosi total wilayah aliran sungai Keyang mencapai 103.212,0013 ton/th dengan erosi rata-rata sebesar 1,685 ton/ha/th. Sedangkan pada kondisi penggantiahan hutan lindung seluas 5 Ha didapatkan erosi total wilayah aliran sungai Keyang mencapai 103.208,0205 ton/th dengan erosi rata-rata sebesar 1,685 ton/ha/th. Perubahan nilai erosi total antara kondisi existing dan alih fungsi lahan sebesar 39,991800 ton/th (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi Kondisi Existing Wilayah Aliran Sungai Keyang.
No.
Berdasarkan tabel 2 klasifikasi masing-masing kondisi diatas dapat diketahui
bahwa dari kondisi existing ke alih fungsi lahan ke bendungan terjadi penurunan
persentase untuk kategori erosi sangat ringan sebesar 0,03% , dan terjadi peningkatan
persentase untuk kategori erosi berat sebesar 0,02%. Sedangkan dari kondisi alih fungsi
lahan ke penggantian hutan lindung 5 Ha terjadi penurunan persentase untuk kategori
45 Gambar 5. Erosi Kondisi Eksisting, Terbangun bendung, Penggantian Hutan Lindung
Seluas 5 Ha.
4.2. Neraca Air
Defisit air pada kondisi eksisting sebesar 191.166.699 m
3
/tahun. Dalam dan
kebutuhan terbesar terletak pada sektor pertanian sebesar 765.567.004 m
3
/tahun. Defisit air akibat alih fungsi lahan berubah menjadi bendungan mengalami sebesar
191.239.613m
3
/tahun dan mengalami peningkatan jumlah kebutuhan sebesar
72.914m
3
/tahun. Hal ini disebabkan oleh berubahnya nilai koefisien tanaman antara hutan lindung dan hutan produksi. Defisit air pada kondisi penggantian lahan sebesar
5Ha hutan lindung sebesar 174.505.398m
3
/tahun, d a n k e b u t u h a n a i r
748.905.703 m
3
/tahun. Tetapi apabila ditinjau secara menyeluruh menunjukkan defisit yang lebih kecil dibandingkan kondisi saat ini dan pembangunan waduk.
Tabel 4. Neraca Air Kondisi Existing, Waduk, Penggantian Hutan Lindung.
Saat Ini
Ketersediaan Kebutuhan
Hujan Permukaan Domestik Industri Pertanian
m3/tahun m3/tahun m3/tahun m3/tahun m3/tahun
Bungkal 52.130.118 683.461 1.484.273 534.360 80.688.649
Jetis 21.629.994 283.584 1.245.161 189.800 28.184.446
Mlarak 35.905.210 470.742 1.367.473 476.690 35.024.046
46
Pulung 123.110.472 1.614.061 2.020.531 359.160 185.248.490
Sambit 57.743.686 757.059 1.544.680 1.183.330 78.730.159
Sawoo 120.359.669 1.577.996 2.415.972 805.190 182.005.583
Siman 36.629.105 480.232 1.728.202 305.870 60.449.284
Pudak 47.217.282 619.050 338.611 50.370 26.815.872
Sooko 53.394.522 700.038 919.508 202.210 64.958.631
Total 569.653.532 7.468.542 15.770.592 18.492.360 765.567.004
Status -191.166.699
Waduk
Ketersediaan Kebutuhan
Hujan Permukaan Domestik Industri Pertanian
m3/tahun m3/tahun m3/tahun m3/tahun m3/tahun
Bungkal 52.130.118 683.461 1.484.273 534.360 80.688.649
Jetis 21.629.994 283.584 1.245.161 189.800 28.184.446
Mlarak 35.905.210 470.742 1.367.473 476.690 35.024.046
Ponorogo 21.533.474 282.318 2.706.183 14.385.380 23.461.845
Pulung 123.110.472 1.614.061 2.020.531 359.160 185.281.172
Sambit 57.743.686 757.059 1.544.680 1.183.330 78.730.159
Sawoo 120.359.669 1.577.996 2.415.972 805.190 182.045.815
Siman 36.629.105 480.232 1.728.202 305.870 60.449.284
Pudak 47.217.282 619.050 338.611 50.370 26.815.872
Sooko 53.394.522 700.038 919.508 202.210 64.958.631
Total 569.653.532 7.468.542 15.770.592 18.492.360 765.639.919
Status -191.239.613
Penambahan
5 Ha
Ketersediaan Kebutuhan
Hujan Permukaan Domestik Industri Pertanian
m3/tahun m3/tahun m3/tahun m3/tahun m3/tahun
Bungkal 52.130.118 683.461 1.484.273 534.360 80.688.649
Jetis 21.629.994 283.584 1.245.161 189.800 28.184.446
Mlarak 35.905.210 470.742 1.367.473 476.690 35.024.046
Ponorogo 21.533.474 282.318 2.706.183 14.385.380 23.461.845
Pulung 123.110.472 1.614.061 2.020.531 359.160 174.961.719
Sambit 57.743.686 757.059 1.544.680 1.183.330 78.730.159
Sawoo 120.359.669 1.577.996 2.415.972 805.190 180.782.528
Siman 36.629.105 480.232 1.728.202 305.870 60.449.284
47
Sooko 53.394.522 700.038 919.508 202.210 59.807.157
Total 569.653.532 7.468.542 15.770.592 18.492.360 748.905.703
Status -174.505.398
Sumber: Hasil Analisis PS. Teknik Lingkungan FTP UB, 2015.
4.3. Debit Maksimum dan Minimum
Debit maksimum dan minimum dihitung dengan metode hidrograf satuan sintetik
Nakayasu. Debit maksimum dan minimum dihitung pada saat kondisi existing atau
kondisi saat ini, kebutuhan air dengan kondisi alih fungsi lahan hutan lindung menjadi
hutan produksi seluas ±22,31, dan kebutuhan air setelah dengan simulasi penggantian
lahan seluas ±5 Ha. Debit maksimum dan minimum dihitung dengan kala ulang 5 tahun,
10 tahun, 25 tahun, dan 50 tahun melalui hujan rancangan (Tabel 5).
Tabel 5. Debit Maksimum dan Minimum Aliran Sungai Keyang.
Existing
Debit
Q5 Q10 Q25 Q50
Max Min Max Min Max Min Max Min
1.060,847 6,847 1.170,227 7,553 1.300,356 8,445 1.410,960 9,107
Ratio 154,927 154,927 153,970 154,927
Alih Fungsi Lahan
Debit
Q5 Q10 Q25 Q50
Max Min Max Min Max Min Max Min
1.060,884 6,848 1.170,268 7,554 1.300,401 8,446 1.411,009 9,108
Ratio 154,927 154,927 153,970 154,927
Simulasi
Debit
Q5 Q10 Q25 Q50
Max Min Max Min Max Min Max Min
1.060,799 6,847 1.170,175 7,553 1.300,298 8,445 1.410,897 9,107
Ratio 154,927 154,927 153,970 154,927
48 Gambar 5. Hidrograf kondisialih fungsi lahan.
4.4. Keseimbangan lahan
Wilayah yang menjadi pemilihan simulasi untuk perubahan tegalan menjadi hutan produksi agar ekologi setelah alih fungsi lahan di waduk bendo tetap terjaga terdapat di Kecamatan Sooko. Sebelumnya Kecamatan Sokoo telah mengalami daya dukung lingkungan yang surplus dalam keadaaan existing dan setelah dilakukan simulasi dengan merubah tegalan menjadi hutan produksi, nilai surplus daya dukung di Kecamatan Sokoo meningkat. Hal ini disebabkan karena hasil produksi dari hutan produksi lebih banyak dibandingkan hasil produksi dari tegalan. Hasil surplus daya dukung lingkungan di Kecamatan Sooko dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Keseimbangan lahan di Aliran Sungai Keyang.
No. Kecamatan Nilai DDL Sumber: Hasil Analisis PS. Teknik Lingkungan FTP UB, 2015.
49 Gambar 7. Peta Neraca Lahan Kondisi Eksisting, Alih Fungsi Pembangunan Bendungan
dan Penggantian 5 Ha Hutan Lindung.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa :
1. Hutan Lindung seluas 22,31 Ha jika dialihfungsikan menjadi Hutan Produksi tidak akan merubah banyak Daya Dukung Lingkungannya;
2. Erosi kondisi existing jika dialih fungsikan kehutan produksi akan terjadi peningkatan erosi, dan masih pada tahap yang diijinkan (kurang dari 15 ton/Ha/tahun);
3. Defisit air sebesar 191.166.699 m3/tahun pada kondisi existing dan meningkat menjadi 191.239.613 m3/tahun jika dialih fungsi lahanmenjadihutanproduksi(kondisi alih fungsi lahan), dan hasil pada kondisi simulasi sebesar174.505.398 m3/tahun menunjukkan penurunan dibandingkan kondisi existing dan kondisi alih fungsi hutan produksi;
50
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2004. Hidrologidan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ketiga (revisi). Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Balitbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2013. Agroklimat dan Hidrologi. Buletin Hasil Penelitian. Vol.10(2):11, ISSN 0216-3934.
Chapin, F. Stuart, Jr & Kaiser, E.J. 1979. Urban Land Use Planning, Third Edition. University of Illionis Press, USA.
Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.New York.
FAO. 1976. A framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division, FAO Soil
Buletin No. 32, FAO-UNO, Rome.
H. H. Bailey.1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Ultisol. Universitas Lampung, Lampung. Hadi, Sudharto P., 2001 Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Hadmoko, D. S. 2012. Evaluasi Sumber Daya Lahan Prosedur dan Teknik Evaluasi
Lahan : Aplikasi teknik skoring dan matching. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Hamer, W. I. 1980. Soil Conservation Consultant Report. Technical Note No. 7, FAO Project INS/78/006. Center For Soil Research. Bogor.
Hockensmith, R.D. and Steele J.B. 1943. Recent Trend in Use of Land Capability
Classification. Proc Soil Sci Soc Am 14.
Klibengiel, A.A. and Montgomery, P.H. 1961. Land Capability Classification
Agricultural, Handbook No.210. US Dept. Agric Soil Serv Washington DC.
.Sitorus, Santan R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. PT. Tarsito. Bandung. Soemarto, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Erlangga. Jakarta.
Soemarwoto, Otto. 2000. Analisa Dampak Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Utomo, Hadi, Wani. 1994. Erosidan Konservasi Tanah. Cetakan Pertama. Universitas Negeri Malang.
Wischmeier, W. H. and Smith, D. D. 1965. Predicting Rainfall Erosion Losses a Guide
to Conservation Planning. Agricultural Handbook No. 573. U. S. Departement