Kajian Dugaan Kartel CPO Siap Dipublis
[21/11/07]
Besarnya jumlah produksi CPO namun harga minyak goreng tetap mahal, menjadi dasar bagi KPPU untuk membuat kajian.
Jika tidak ada halangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera mempublis kajian soal dugaan adanya kartel di industri minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Sebelum di publis ke khalayak umum, rencananya pada akhir November ini, KPPU akan menyampaikan hasil kajian itu ke presiden. Hasil kajian itu nantinya akan menjadi rekomendasi bagi presiden untuk melakukan intervensi dalam mengendalikan harga CPO dan minyak goreng di tanah air.
Sejauh ini KPPU masih berpatokan pada penetapan harga antar sesama pengusaha CPO yang diduga penyebab tingginya harga minyak goreng. Sebelumnya, anggota KPPU Syamsul Maarif menemukan adanya struktur oligopoli dalam industri CPO yang mengarah ke kartel. Struktur itu terbentuk karena hanya beberapa perusahaan besar yang menguasai hulu dan hilir di industri CPO.
Pernyataan Syamsul ini dipertegas anggota KPPU lainnya, Tresna Priyana Soemardi. Menurutnya, usaha yang berkaitan dengan hulu dan hilir rentan terhadap kartel.
Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal. Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi
oligopoli, dimana terdapat sejumlah kecil penjual.
“Begitu juga dengan CPO,” ujar Tresna usai dengar pendapat dengan kalangan asosiasi dan pengusaha CPO di Jakarta, Rabu (21/11). Apalagi, kata dia, meski pemerintah telah berulangkali melakukan intervensi terhadap harga CPO. Namun, harga minyak goreng tetap saja terus naik.
Seperti diketahui, harga minyak goreng selama enam bulan terakhir terus mengalami kenaikan. Bahkan, harganya menembus angka Rp 10 ribu per liter. Kenaikan harga ini dipicu oleh kenaikan harga CPO. Padahal, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kali kebijakan untuk mengendalikan harga minyak goreng. Kebijakan itu mulai dari menaikan tarif pajak ekspor untuk CPO, kebijakan domestic market obligation (DMO), operasi pasar, penghapusan PPN minyak goreng, sampai subsidi ke masyarakat berpendapatan rendah.
Tresna mengatakan, jika dalam perjalanannya KPPU menemukan bukti yang jelas tentang adanya kartel, maka KPPU akan menjadikan rekomendasi itu sebagai suatu perkara yang akan diperiksa oleh KPPU. “Apalagi kalau ada pihak yang mempunyai data yang akurat kemudian melaporkannya ke KPPU, maka bisa kita perkarakan,” katanya.
ditemukannya fakta-fakta bahwa ada integrasi hulu dan hilir antar pelaku usaha minyak goreng,” jelasnya.
Saat ini, KPPU telah memiliki data yang menunjukan bahwa pasar minyak goreng di Sumatera praktis dikuasai oleh tiga pemain besar, yaitu Wilmar Group, Sinar Mas dan Musim Mas. Pasar di Jawa dikuasai oleh Sinar Mas dan Musim Mas. Selain kedua kelompok ini, ada juga Hasil Karsa, Raja Garuda Mas, Salim Group dan Berlian Eka Sakti.
Ketua KPPU Mohammad Iqbal menyatakan, regulasi telah mendorong adanya oligopoli pasar dan industri CPO. “untuk itu KPPU akan memberi masukan kepada pemerintah untuk mengubah peraturan terkait,” ujarnya.
Ia menjelaskan, regulasi di Departemen Pertanian mengenai izin usaha telah mendorong adanya oligopoli di tingkat hulu. Begitu juga dengan Peraturan Menteri Perdagangan mengenai distribusi minyak goreng juga telah membawa iklim usaha CPO di tingkat hilir mengarah ke oligopoli dan kartel harga.
Bantah Ada Kartel mekanisme tender. “Jadi, price kita benar-benar ditentukan oleh market. Price itu dibentuk dari hasil tender. Tenderlah yang menentukan harga,” tuturnya.
Akmal mengatakan jika Indonesia menjadi penentu harga, justru rentan terjadi kartel. Ia melihat saat ini posisi Indonesia masih sebatas pengikut harga (price taker). Menurutnya, mahalnya harga minyak goreng saat ini terletak pada penyaluran distribusi yang tidak
Senanda dengan Akmal, Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga berujar, sulit jika dikatakan terjadi kartel di industri CPO. Alasannya sederhana. Di industri ini terdapat beberapa asosiasi yang punya kepentingan sendiri-sendiri. “Sekarang bagaimana mereka mau bisa bersatu secara kartel?” tanyanya.
Menurutnya, daripada menyerang produsen dalam negeri, pemerintah sebaiknya membantu industri CPO yang sedang mengalami kampanye negatif. Pasalnya, perusahaan di Amerika telah menyatakan tidak boleh menggunakan minyak sawit dari Kalimantan dan Sumatera terkait isu lingkungan.
EKSPOR CPO SUMUT NAIK 247%
Harga Crude Palm Oil (CPO) yang terus mengalami kenaikan hingga diatas US$ 1.200 per metrik ton pada triwulan I 2008 mendorong naiknya ekspor komoditas ini. Berdasarkan data Surat Keterangan Asal (SKA) periode Januari- Maret 2008, ekspor CPO Sumut naik sebesar 247,39%, atau naik dari yang sebelumnya 348.070 ton pada tahun 2007 menjadi 1,21 juta ton pada periode yang sama di tahun 2008.
Dari segi nilai, ekspor CPO Sumut juga mengalami kenaikan. Kalau pada periode Januari-Maret 2007 nilainya US$ 389,55 juta, maka pada periode yang sama tahun 2008 menjadi US$ 952,80 juta atau mengalami peningkatan sebesar 144,59%. Sedangkan selama tahun 2007 itu total nilai ekspor CPO Sumut mencapai US$ 2.07 miliar dengan volume 2,960 juta ton.
“Kenaikan ekspor ini tidak terlepas dari meningkatnya permintaan dan harga minyak dunia yang terus meninggi. Namun demikian, kita tetap mengawasi agar pemenuhan dalam negeri tetap terpenuhi. Salah satunya dengan PE progresif yang sudah ada,” Kata kasubdis Perdagangan Luar Negeri (PLN) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut (Disperindagsu) Muzanni Lubis,Selasa (22/4).
Dikatakannya, meningkatnya kebutuhan akan penggunaan CPO menjadi bahan bakar lain merupakan penyebab naiknya permintaan. Dengan demikian, harga terus meninggi dan memberikan angin segar bagi pengusaha maupun eksportir, untuk menambah Volume ekspornya.
Kenaikan harga ini ternyata juga dinikmati petani kelapa sawit. Seperti diutarakan Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad, bahwa naiknya harga CPO dipasar internasional mendongkrak naiknya harga tandan buah segar (TBS) menjadi Rp 1.800/Kg. Sebelumnya, harga TBS hanya berada dikisaran Rp 1.600/Kg sampai Rp 1.700/Kg.” Dengan naiknya harga ini, kita harapkan terus memberikan dampak positif kepada petani,” Ujarnya.
Secara terpisah, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Laksamana Adiyaksa memperkirakan, harga CPO pada bulan Mei akan turun. Hal ini berdasarkan pantauan harga beberapa bulan terakhir yang fluktuatif.
“Saya melihat harga cenderung turun pada bulan Mei nanti, harga tersebut bisa dibawah US$ 1.200 per metrik ton. Namun demikian, penurunan harga yang juga diikuti penurunan PE CPO, tidak begitu berpengaruh terhadap ekspor CPO,” Ujarnya.
Dikatakannya, meski ada perubahan volume ekspor, hal itu baru bisa terlihat setelah tiga bulan
kemudian. Soalnya, perjanjian dagang CPO dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Biasanya selama tiga bulan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 09/PMK.011/2008 yang diterbitkan 1 Februari 2008 lalu, PE CPO turun jadi 15 % pada bulan Mei, jika harganya dibawah US$ 1.200 Per metric ton. Dalam PMK tersebut ditetapkan, apabila harga CPO di Rotterdam melewati US$ 1.100 per ton maka PE- nya sebesar 15% , tapi jika harganya melampaui US$ 1.200 per ton PE-nya menjadi 20%, sedangkan apabila harganya melampaui US$1.300 per ton PE-nya menjadi 25%.