• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENDAPATAN PER KAPITA DAN DISTR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH PENDAPATAN PER KAPITA DAN DISTR"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PENGARUH PENDAPATAN PER KAPITA DAN DISTRIBUSI

PENDAPATAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROPINSI SULAWESI TENGGARA

Muhammad Nur

Hak Cipta 2017, Pada Penulis

Desain Cover : Adi Tata Letak Isi : Yanti

Cetakan Pertama: Agustus 2017

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang No 19 Tahun 2002. Dilarang memfotokopi, atau memperbanyak isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Copyright © 2017 Penerbit Gawe Buku All Right Reserved

Penerbit Gawe Buku

(group Penerbit CV. Adi Karya Mandiri)

Modinan Pedukuhan VIII, RT 034/RW 016 Brosot, Galur, KulonProgo, Yogyakarta 55661

Telp: 08562866766, e-mail: adikaryamandiri86@gmail.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

NUR, Muhammad

Pengaruh Pendapatan Per Kapita dan Distribusi Pendapatan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Propinsi Sulawesi Tenggara/oleh Muhammad Nur.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Penerbit Gawe Buku, Agustus 2017.

v, 135 hlm.; Uk:14x20 cm

ISBN 978-602-50228-8-3

1. Ekonomi I. Judul

(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT atas tersusunnya Buku Pengaruh Pendapatan Per Kapita dan Distribusi Pendapatan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Propinsi Sulawesi Tenggara.

Tujuan dari buku ini adalah untuk mengetahui distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara, mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara, serta mengetahui pengaruh pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara. Harapannya untuk pengambilan keputusan dalam kebijakan pembangunan daerah, tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi semata tetapi juga hendaknya memperhatikan masalah pemerataan pendapatan.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Dalam buku ini masih banyak memiliki kekurangannya. Penulis mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Konsep Pembangunan Ekonomi ... 8

2.2. Konsep Dasar Pertumbuhan Ekonomi ... 9

2.3. Konsep Kesejahteraan ... 12

2.4. Teori Kesejahteraan Masyarakat... 19

2.5. Teori distribusi pendapatan ... 24

2.6. Pengukuran distribusi pendapatan. ... 27

2.7. Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi pendapatan ... 35

2.8. Penelitian Terdahulu ... 38

BAB III KERANGKA PIKIR ... 45

3.1. Kerangka Pikir... 45

3.2. Hipotesis ... 48

BAB IV METODE PENELITIAN ... 50

(6)

4.2. Rancangan Penelitian ... 51

4.3. Sumber dan Jenis Data ... 52

4.4. Analisis Data ... 52

4.5. Alat Analisis ... 53

4.5.1. Indeks Gini ... 53

4.5.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ... 55

4.5.3. Pendekatan ekonometri dengan Fixed effects models ... 57

4.6. Defenisi Operasional variabel ... 69

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 71

5.1. Gambaran Umum Provinsi Sulawesi Tenggara ... 71

5.2. Pertumbuhan PDRB Perkapita Provinsi Sulawesi Tenggara ... 75

5.3. Distribusi Pendapatan ... 83

5.4. Tingkat kesejahteraan ... 99

5.5. Regresi untuk data panel ... 108

5.5.1. Analisis Kuantitatif ... 109

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 126

6.1. Kesimpulan ... 126

6.2. Saran-saran ... 127

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi didefenisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad,1999:11).

Dari defenisi ini pembangunan ekonomi mempunyai pengertian bahwa suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus menerus, usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita, kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus terus berlangsung dalam jangka panjang dan perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang.

Sebagai suatu proses, maka pembangunan ekonomi mempunyai kaitan dan pengaruh antara faktor-faktor didalamnya yang menghasilkan pembangunan ekonomi. Selanjutnya pembangunan ekonomi akan tercermin pada kenaikan pendapatan per kapita dan perbaikan tingkat kesejahteraan pada masyarakatnya. Indikator dari laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah salah satunya ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto.

(8)

merata dan adil serta dapat meningkatkan kesejahteraan daerah itu.

Sigit (1980) menyatakan distribusi pendapatan yang merata antar penduduk/rumah tangga mengandung dua segi penting. Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh, dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar rumah tangga (Rudatin,2000:1).

Di daerah-daerah yang sedang berkembang termasuk Provinsi Sulawesi Tenggara perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sulit diwujudkan secara bersama. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi menghendaki yang lebih tinggi dan untuk itu diperlukan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana cara memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa yang melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya, kalangan elit kaya raya yang minoritas ataukah mayoritas masyarakat yang miskin. Persoalan pemerataan pendapatan ini semakin terasa karena adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dan tidak disangsikan dalam proses pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.

(9)

kesenjangan kesenjangan distribusi sumber-sumber ekonomi, struktur ekonomi hingga distribusi pendapatan karena masing-masing daerah mempunyai potensi yang berbeda.

Selama pertumbuhan ekonomi ini dinikmati secara adil oleh masyarakat maka persoalan pemerataan pendapatan ini tidak akan muncul. Persoalan ini timbul jika terjadi perubahan status quo dari golongan kaya dan golongan miskin, berupa perbedaan tingkat pendapatan yang semakin melebar.

Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, Provinsi Sulawesi Tenggara juga diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh kabupaten dan kota baik di wilayah perdesaan maupun di wilayah perkotaan. Provinsi Sulawesi Tenggara telah melaksanakan berbagai pendekatan dan terobosan-terobosan secara mendasar sebagai penjabaran dari pola pembangunan nasional, yang disesuaikan dengan potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, potensi-potensi lainnya yang dimiliki.

(10)

selama kurung waktu 2005 – 2007 rata-rata sebesar 7,31 persen pertahun. PDRB perkapita berdasarkan harga berlaku pada tahun 2005 sebesar Rp. 6,62 juta, sedangka PDRB perkapita berdasarkan harga berlaku sebesar Rp. 4,5 juta. Pada tahun 2007 PDRB perkapita mengalami peningkatan berdasar harga berlaku sebesar Rp. 8,41 juta sedangkan harga konstan Rp. 4,58 juta. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi ini masih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Nasional. Seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki ukuran ketidakmerataan distribusi pendapatan berdasarkan indeks Gini sebesar 0,27 yang berarti ketimpangan distribusi pendapatan cukup merata. (BPS Provinsi Sultra 2007).

(11)

Namun demikian peningkatan pendapatan perkapita yang tidak disertai dengan pendistribusian pendapatan yang tidak merata maka akan terjadi ketimpangan tingkat kesejahteraan antar penduduk. Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat penduduk miskin pada tahun 2005 berjumlah 4.209.000 jiwa, atau sekitar 21,49 % dari total penduduk. (BKKBN, 2004: 22).

Gambaran ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya di Kota Kendari dikalangan masyarakat miskin, dapat dilihat dari hasil penelitian Apoda (2001) yang mengungkapkan bahwa rasio Gini distribusi pendapatan masyarakat Kota Kendari di Kecamatan Poasia adalah sebesar 0,18 atau berada dalam kategori ketimpangan distribusi pendapatan yang sangat rendah (relatif merata). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam lingkup wilayah Kota Kendari

masih terdapat masyarakat yang berada pada kategori ” merata dalam kemiskinan”

(12)

pertumbuhan ekonomi tetapi tidak dibarengi dengan distribusi pendapatan yang merata. Hal ini menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan perkapita masyarakat yang tidak marata. Sehingga perlu diupayakan suatu peningkatan kesejahteraan dengan melakukan pendistribusian hasil-hasil pembangunan ekonomi bagi seluruh masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan keadaan tersebut diatas menunjukkan bahwa masalah distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan di Provinsi Sulawesi Tenggara perlu dikaji secara sistematis dan mendalam. Sehubungan dengan hal ini, maka dinilai penting untuk melakukan analisis

mengenai ”Pengaruh Pendapatan Perkapita dan Distribusi

Pendapatan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Provinsi Sulawesi Tenggara”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini difokuskan pada masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Bagaimana pengaruh pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.3. Tujuan Penelitian

(13)

1. Untuk mengetahui distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun ilmiah adalah :

1. Secara ilmiah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam ekonomi pembangunan serta penelitian yang berkaitan dengan distribusi pendapatan di Provinsi Sulawesi Tenggara.

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunan Ekonomi

Tujuan pembangunan ekonomi yang harus dicapai adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah pertumbuhan yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh penduduk disuatu negara atau daerah.

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan

output per kapita dalam jangka panjang dalam defenisi ini ditekankan pada aspek-aspek sebagai berikut:

1. Perekonomian berkembang dari waktu ke waktu; 2. kenaikan output per kapita karena kenaikan

pendapatan akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat, agar pendapatan per kapita naik maka pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari pada kenaikan jumlah penduduk;

3. Aspek lainnya adalah pertumbuhan ekonomi harus berlangsung dalam jangka panjang yang akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila dalam jangka waktu yang cukup panjang output per kapita mempunyai kecenderungan yang meningkat, walaupun bisa saja pada suatu tahun tertentu

output per kapita menurun. (Boediono 1999:1).

(15)

meningkat, pembagian hasil-hasil pembangunan yang semakin merata, terciptanya kesempatan kerja yang memadai dan tentu saja pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

2.2. Konsep Dasar Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi disuatu daerah, melalui perubahan yang dilakukannya terhadap struktur ekonomi, secara potensial mempengaruhi distribusi pendapatan. Secara empiris berdasarkan data antar Negara (cross-section). (Simon Kuznets,1955) mempelopori penelitian mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan. Kuznets menemukan adanya suatu hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan, yang kemudian lebih dikenal sebagai

hipotesa “Inverted U-curve”. Hipotesa tersebut menyatakan bahwa ketidakmerataan pendapatan dalam suatu daerah meningkat pada tahap-tahap awal pertumbuhan ekonominya, cenderung tidak berubah pada tahap menengah, dan terus menurun ketika daerah tersebut menjadi sejahtera.

(16)

modern yang meningkatkan ketidakmerataan pendapatan di daerah tersebut.

Kuznets juga menekankan terjadinya perubahan struktural dalam pembangunan ekonomi, dimana dalam prosesnya sektor industri dan jasa-jasa cenderung berkembang dan terjadi pergeseran dari sektor tradisional ke sektor modern. Selama masa transisi tersebut, produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor modern lebih tinggi daripada sektor tradisional, sehingga pendapatan per kapita yang diharapkan juga lebih tinggi, akibatnya ketidakmerataan pendapatan antara kedua sektor tersebut meningkat pada awal-awal pembangunan.

Kevalidan hipotesa “Inverted U-curve” membawa

implikasi bahwa jika suatu daerah berada pada tahap-tahap awal pembangunan, pertumbuhan ekonomi akan lebih meningkatkan ketidakmerataan pendapatan sehingga pengurangan kemiskinan akan memakan waktu yang lebih lama (Adams, 2004).

Karenanya hipotesa ini sangat controversial dan menjadi bahan perdebatan, mempengaruhi pemikiran, dan penelitian selanjutnya mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan pendapatan. Penelahan terhadap penelitian-penelitan selanjutnya juga menjadi sangat menarik karena begitu beragamnya kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari berbagai penelitian yang hasilnya mendukung penuh hipotesa,

(17)

ditanggapi secara hati-hati. Hal ini terutama sekali karena data distribusi pendapatan antar Negara, betapapun

comparablenya, kemungkinan besar tetap tidak bisa dibandingkan sebagai akibat adanya perbedaan konsep pendekatan pendapatan/pengeluaran dalam penghitungan ketidakmerataan pendapatan, perbedaan unit populasi, dan cakupan survey. Galbraith dan Kum (2002), memperlihatkan hal tersebut ketika membahas beragamnya hasi-hasil penelitian yang menggunakan data penelitian Deininger dan Squire.

Perkembangan terakhir dari penelitian-penelitian mengenai pembangunan ekonomi, juga tidak lagi berfokus pada berlaku atau tidaknya hipotesa “Inverted U-curve”

dari Kuznets, tapi lebih kepada pengaruh positif pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan dengan kemungkinan terjadi peningkatan ketidakmerataan pendapatan yang mengurangi efektivitas dari pengurangan kemiskinan, seperti yang ditunjukan oleh Wodon (1999) di Bangladesh dan Lin (2003) di China. Selanjutnya berkembang penelitian-penelitian dengan fokus pada efektivitas pengurangan kemiskinan oleh pertumbuhan ekonomi (Pro-poor Growth Index) yang dipelopori oleh Kakwani dan Pernia (2000) dan dilanjutkan oleh Ravallion dan Chen (2003), Son (2003), dan Ravallion (2004), dimana dikatakan bahwa sekalipun pertumbuhan ekonomi meningkatkan ketidakmerataan pendapatan akan tetapi hal itu mungkin tidak mengurangi efektivitas pengurangan kemiskinannya seperti yang juga diperlihatkan oleh Ravallion (2005).

(18)

pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi untuk setiap daerah penelitian yang mempunyai tanda (arah) positif. Ini berarti bahwa logaritma pertumbuhan ekonomi (logaritma pendapatan per kapita) mempunyai korelasi yang positif dengan logaritma ketidakmerataan pendapatan (logaritma indeks Gini). Karenanya, untuk tingkat secara keseluruhan maupun untuk daerah perkotaan dan perdesaanya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan meningkatkan ketidakmerataan pendapatan.

Penelitian ini mengkaji meningkatnya ketidakmerataan pendapatan ini, terjadi karena disebabkan hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh kelompok penduduk. Jika bagian terbesar dari pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk tidak miskin, sedangkan sisanya dinikmati secara merata oleh penduduk miskin, maka akan terjadi peningkatan pada ketidakmerataan pendapatan (kemungkinan pertama). Kemungkinan kedua yang terjadi adalah jika bagian terbesar dari pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk miskin, sedangkan sebagian kecil penduduk tidak miskin menikmati bagian yang lebih kecil, akibatnya akan terjadi pula peningkatan pada ketidakmerataan pendapatan.

2.3. Konsep Kesejahteraan

(19)

menyebutkan, kesejahteraan sosial yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila yaitu sila kelima.

Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang sangat berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dari dua area perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari subtansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas subtansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat.

Meskipun tidak ada suatu batasan subtansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Dengan kata lain lingkup subtansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial.

(20)

kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

Meskipun penentuan lingkup subtansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan output ekonomi perkapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan. Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Namun untuk mengukur relevansi peningkatan pendapatan perkapita terhadap perkembangan tingkat kesejahteran digunakan indikator lain yang lebih komprehensif. Atas promosi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini indeks konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan tingkat kesejahteraan.

Pendekatan kebutuhan dasar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk tiap negara dalam kurun waktu satu generasi. Untuk tujuan itu ditetapkan dua perangkat sasaran yang tersendiri tapi saling melengkapi. Pertama kebutuhan konsumsi perorangan seperti pangan, pemukiman dan sandang, sedangkan yang kedua meliputi jasa, pelayanan umum dasar seperti keselamatan, sanitasi, persediaan air minum yang bersih, pendidikan dan fasilitas-fasilitas budaya.

Pemenuhan kebutuhan dasar yang lebih baik dapat

memecahkan “lingkaran setan” kemiskinan di mana

(21)

menyebabkan produktivitas rendah, sedangkan pendapatan rendah sebaliknya menjadi sebab dari kurang gizi, keadaan buta huruf dan penyakit. Tingkat kesejahteraaan tertentu dari individu maupun keluarga dicapai apabila kebutuhan dasar telah terpenuhi.

Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang akan menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang. Oleh karena itu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat berdasarkan besarnya kenaikan pendapatan per kapita penduduk. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk.

Pembangunan ekonomi Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai maksud tersebut dikehendaki suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Keinginan ini juga tertuang dalam GBHN yang menghendaki pemerataan distribusi pendapatan tidak hanya antarlapisan masyarakat, namun juga antardaerah sebagaimana yang tercantum dalam Trilogi pembangunan yang menjadikan pemerataan pembangunan sebagai prioritas.

(22)

Menurut Todaro (2000:188) untuk negara-negara sedang berkembang dapat dinyatakan bahwa distribusi pendapatan sangat tidak merata jika angka indeks Gini terletak antara 0,5 sampai dengan 0,7. Distribusi pendapatan dengan ketidakmerataan sedang, jika angka indeks Gini terletak antara 0,36 sampai dengan 0,49. Distribusi pendapatan relatif merata jika angka indeks Gini antara 0,2 sampai 0,35.

Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, sejak tahun 1990 United Nations for Development Program (UNDP) mengembangkan suatu indeks yang sekarang dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan manusia (Human Development Indeks =HDI). Indikator-indikator yang digunakan untuk menyusun indeks ini adalah; (1) tingkat harapan hidup, (2) tingkat melek huruf masyarakat, (3) tingkat pendapatan riil perkapita berdasarkan daya beli masing-masing negara atau daerah. Indeks ini besarnya antara 0 sampai dengan 100. semakin mendekati 1 berarti indeks pembangunan manusianya tinggi, demikian sebaliknya. (Lincolin Arsyad, 2004;37-38).

(23)

sedangkan batas bawahnya adalah 229/1000 kelahiran ditemukan di Gabon pada tahun 1950. Tingkat melek huruf yang diukur berdasarkan angka persentase satu hingga seratus, dapat dihitung secara langsung.

Untuk mengetahui pengaruh pendapatan per kapita terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan digunakan data panel dengan model fixed effect. Regresi untuk data panel adalah regresi dengan kombinasi antara data runtut waktu time series yang memiliki observasi temporal biasa pada suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan data silang tempat atau suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan observasi atas sejumlah vaiabel. Alasan penggunaan data panel ini adalah untuk meningkatkan jumlah observasi (mengatasi masalah keterbatasan jumlah data runtut waktu) dan dengan data panel akan diperoleh variasi antar unit yang berbeda menurut ruang dan variasi yang muncul menurut waktu (Kuncoro, 2001:124).

Lebih lanjut Prayitno dan Santosa (1996:110) menjelaskan bahwa untuk melihat gambaran tingkat distribusi pendapatan ada berbagai macam ukuran. Secara umum ukuran pokok distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan perorangan (personal distributions) dan distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan berdasarkan peranan masing-masing faktor yang bisa didistribusikan (distribution factor share).

(24)

yang mereka terima. Cara yang dilakukan oleh keluarga atau perorangan untuk mendapatkan pendapatan tersebut, berapa besar penerimaan masing-masing individu atau rumah tangga. Individu-individu tersebut dikelompokkan berdasarkan pendapatan perorangan, lalu membaginya dengan jumlah yang berbeda-beda ukurannya.

Sedangkan distribusi pendapatan fungsional merupakan ukuran ketimpangan yang mencoba menerangkan bagian dari pendapatan nasional atau daerah yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Distribusi pendapatan fungsional merupakan prosentase dari penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan (bukan sebagai badan usaha yang terpisah secara individual) dan membandingkannya dengan prosentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa bunga dan keuntungan (yaitu perolehan dari tanah, uang dan modal fisik).

Prayitno dan Santosa (1996:117) mengemukakan bahwa pengamatan distribusi pendapatan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pengamatan secara

langsung adalah dengan memakai data

pendapatan/pengeluaran rumah tangga yang biasanya diperoleh dari survei. Sedangkan pengamatan secara tidak langsung dilakukan dengan mengamati konstribusi (share) dari tenaga kerja (labour) dalam total value added PDB.

(25)

2.4. Teori Kesejahteraan Masyarakat

Sen, (2002) mengatakan bahwa welfare economic

merupakan suatu proses rasional kearah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kualitas hidup dan pembangunan manusia.

Nichlson (1992), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial yaitu keadaan sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan. Dengan demikian kedudukan individu adalah sebagai mahluk sosial yang harus ditonjolkan dalam ilmu ekonomi utamanya dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan menuju kesejahteraan masyarakat.

Menurut BKKBN (badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional), Kesejahteraan Keluarga digolongkan kedalam 3 golongan, yaitu:

Keluarga Sejahtera Tahap I dengan kriteria sebagai berikut:

1. Anngota keluarga melaksanakan ibadah agama. 2. Pada umumnya anggota keluarga makan 2 kali

sehari atau lebih.

3. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda di rumah/ pergi/bekerja/sekolah.

4. bagian lantai yang terluas bukan darai tanah.

Keluarga Sejahtera Tahap II, meliputi :

1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur.

(26)

3. Setahun terakhir anggota keluarga menerima satu stel pakaian baru.

4. Luas lantai paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.

5. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat da dapat melaksanakan tugas. 6. Ada anggota keluarga umur 15 tahun keatas

berpenghasilan tetap.

7. Anggota keluarga umur 10 – 60 tahun bisa baca tulis latin.

8. Anak umur 7-15 tahun bersekolah.

9. PUS dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi.

Keluarga Sejahtera Tahap III, meliputi:

1. Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.

2. Sebagian penghasilan keluarga ditabung.

3. Keluarga makan bersama paling kurang sekali sehari untuk berkomunikasi.

4. Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat dilingkungan tempat tinggal.

5. Keluarga rekreasi bersama paling kurang sekali dalam enam bulan.

6. Keluarga memperoleh berita dari surat kabar/majalah/TV/radio.

Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, meliputi:

1. Keluarga secara teratur memberikan sumbangan. 2. Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus

(27)

Kesejahteraan/kemakmuran dapat pula diartikan sebagai suatu keadaan dimana kebutuhan yang dirasakan oleh manusia relatif lebih banyak dapat dipenuhi karena kebutuhan seimbang dengan alat pemuas kebutuhan yang ada (Bintari. 1986: 10-11). Hal ini sejalan dengan penjelasan BAPPENAS dan DEPDAGRI (1993;3) bahwa kemiskinan terjadi karena situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki si miskin, melainkan tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Maka berdasarkan teori kesejahteraan, maka masyarakat yang tidak memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak disebut kemiskinan.

Remi dan Tjiptoherijanto (2002:34) menjelaskan bahwa BPS menggunakan tiga jenis indikator kemiskinan, yakni kemiskinan absolut (termasuk timbulnya kemiskinan), indeks jurang kemiskinan, dan indeks kesulitan kemiskinan. Kemiskinan absolut mengukur jumlah dari penduduk miskin, sedangkan timbulnya kemiskinan ditunjukkan sebagai persentase kemiskinan pada total penduduk. Jurang kemiskinan mengukur rata-rata jurang pemisah antara pendapatan kaum miskin dengan garis kemiskinan. Indeks kesulitan kemiskinan adalah jurang kemiskinan yang sensitif didistribusikan.

(28)

yang digunakan untuk melihat kemiskinan tersebut antara lain adalah pendapatan per kapita, keadaan gizi, kecukupan pangan, kebutuhan pangan, dan tingkat kesehatan keluarga yang sering diukur dari rata-rata kematian bayi. Kemiskinan dapat juga dilihat diluar masalah pangan dan sandang, yaitu meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dari dunia sekitarnya, bahkan sering juga kurang perlindungan dari hukum dan pemerintah.

Peny (1990:43-44) menjelaskan bahwa informasi tentang pendapatan riil total memberikan petunjuk untuk memastikan apakah seseorang termasuk kaya, miskin atau sekedar miskin, melarat bertahan untuk hidup, atau menderita kelaparan dan terancam maut. Implikasi dari pengertian ini adalah mereka yang tidak memenuhi kebutuhannya menurut ukuran tertentu akan digolongkan bertaraf hidup rendah atau tidak sejahtera (miskin).

Walaupun kemiskinan dapat dikaji dari berbagai aspek, namun dalam prakteknya pengukuran atau penentuan garis kemiskinan ada dua macam yakni kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif (Rusminingsih 1997:21).

Indikator kemiskinan ada bermacam-macam. Indikator itu antara lain konsumsi beras per kapita per tahun, tingkat pendapatan, tingkat kecukupan gizi, kebutuhan fisik minimum (KFM) dan tingkat kesejahteraan.

(29)

digunakan patokan 2100 kalori per hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Kuncoro, 2000:116)

Secara lebih rinci indikator kemiskinan tersebut dibagi menjadi 3 kelompok seperti berikut

Perdesaan Perkotaan

1. Melarat 180 kg 270 kg

2. Sangat miskin 240 kg 360 kg

3. Miskin 320 kg 480 kg

Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS (1996) dengan memperhatikan pendapatan minimum yang diperlukan agar masyarakat atau kelompok dapat melepaskan diri dari kategori miskin, seperti dalam tabel berikut

Tabel 2.1

Batas Garis Kemiskinan, 1976-1996 (Rp/kapita/bulan)

Tahun Perkotaan Perdesaan

1976 4.522 2.849

1978 4.969 2.981

1980 6.831 4.449

1982 9.777 5.877

1984 13.731 7.746

1987 17.381 10.294

1990 20.381 13.295

1993 27.905 18.244

(30)

Dari tabel di atas terlihat bahwa pendapatan penduduk di daerah perdesaan agar terlepas dari kriteria miskin lebih kecil daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini dapat dipahami karena dinamika kehidupan diantara keduanya berbeda. Penduduk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif lebih banyak dan beragam bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perdesaan .

2.5. Teori distribusi pendapatan

(31)

sebagai alat untuk redistribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan.

Pendapat lain mengatakan bahwa adanya ketidakmerataan pembagian pendapatan terjadi akibat dari ketidaksempurnaan pasar. Ketidaksempurnaan pasar disini diartikan sebagai adanya gangguan yang mengakibatkan persaingan dalam pasar tidak dapat bekerja secara sempurna. Gangguan-gangguan tersebut selain berupa perbedaan dalam kepemilikan sumber daya juga dalam bentuk perbedaan dalam kepemilikan informasi, adanya intervensi pemerintah melalui berbagai peraturannya, dan yang sering kali terjadi di daerah baru berkembang adalah adanya keterkaitan antara beberapa pelaku ekonomi dengan pemerintah.

Ada tiga pandangan yang berkembang mengenai ketidakmerataan distribusi pendapatan yaitu :

1. Kuznets (1955) berpendapat bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik

atau lebih dikenal dengan kurva “ U terbalik”, dalam

(Todaro,2000:207);

(32)

akhirnya menyempit kembali, dalam (Todaro, 2000:207);

3. peneliti lain menyatakan bahwa faktor penentu utama atas pola-pola distribusi pendapatan bukanlah laju pertumbuhan ekonomi, tetapi adalah struktur ekonomi, dalam (Todaro, 2000:211).

Secara umum ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara sedang berkembang menurut Adelman dan Morris disebabkan oleh: dalam (Arsyad,1999 :226).

1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;

2. inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;

3. ketidakmerataan pembangunan antar daerah; 4. investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek

yang padat modal (capital intensive) sehingga persentase pendapatan modal dari harta tambahan lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;

5. rendahnya mobilitas sosial;

6. pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;

(33)

sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor NSB;

8. hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga dan lain-lain.

2.6. Pengukuran distribusi pendapatan.

Remi dan Tjiptoherijanto (2002:22) mengemukakan bahwa distribusi pendapatan adalah pengukuran untuk mengukur kemiskinan relatif. Hal ini senada dengan penjelasan Prayitno dan Santosa (1996:103) bahwa kemiskinan relatif berkaitan dengan distribusi pendapatan yang mengukur ketidakmerataan atau kemiskinan relatif sering diartikan sebagai indikator ketimpangan (ketidakmerataan).

Lebih lanjut Prayitno dan Santosa (1996:110) menjelaskan bahwa untuk melihat gambaran tingkat distribusi pendapatan ada berbagai macam ukuran. Secara umum ukuran pokok distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan perorangan (personal distributions) dan distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan berdasarkan peranan masing-masing faktor yang bisa didistribusikan (distribution factor share).

(34)

individu atau rumah tangga. Individu-individu tersebut dikelompokkan berdasarkan pendapatan perorangan lalu membaginya dengan jumlah yang berbeda-beda ukurannya. Metode yang lazin digunakan adalah membagi penduduk ke dalam lima atau 10 kelompok (quintiles atau

desiles) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok dari pendapatan tersebut.

Sedangkan distribusi pendapatan fungsional merupakan ukuran ketimpangan yang mencoba menerangkan bagian dari pendapatan nasional atau daerah yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Distribusi pendapatan fungsional merupakan persentase dari penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan (bukan sebagai badan usaha yang terpisah secara individual) dan membandingkannya dengan persentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa bunga dan keuntungan (yaitu perolehan dari tanah, uang dan modal fisik).

(35)

Di Indonesia pengukuran distribusi pendapatan secara relatif menggunakan harga dari bahan-bahan kebutuhan pokok dimana akan diperoleh anggaran minimum absolute. Angka ini dapat digunakan untuk menentukan upah minimum regional. Sedangkan untuk menentukan pemerataan distribusi pendapatan, Bank Dunia membagi penduduk dalam tiga kelompok, yaitu:

1. 40% berpendapatan rendah 2. 40% berpendapatan rendah 3. 20% berpendapatan tinggi.

Apabila kelompok penduduk yang berpendapatan rendah menguasai: < 12 % PNB berarti terdapat kesenjangan tinggi, < 12% - 17% PNB berarti terdapat kesenjangan sedang, >17% PNB berarti terdapar kesenjangan rendah. Pendapatan dianggap didistribusikan sempurna apabila setiap individu mendapat bagian yang sama dari output perekonomian. Distribusi pendapatan dianggap kurang adil jika sebagian besar output nasional dikuasai sebagian kecil penduduk.

(36)

Menurut Todaro (1983: 195-196) tidak ada negara yang memperlihatkan kemerataan yang sempurna ataupun ketidakmerataan yang sempurna dalam distribusi pendapatannya. Oleh karena itu kurva Lorenz untuk negara yang berbeda akan berada disebelah kanan garis diagonal atau garis keseimbangan. Berdasarkan pendapat ini, Apoda (2001:49) menegaskan bahwa dalam menganalisis distribusi pendapatan penduduk antara wilayah atau antar sektor, kurva Lorenz ini dapat menunjukkan mana yang lebih timpang. Dan untuk memahami tingkat ketimpangannya seringkali dipadu dengan indeks Gini atau Gini ratio.

Ukuran distribusi yang sering digunakan oleh para ahli ekonomi pada umumnya adalah distribusi ukuran yang lebih dikenal dengan distribusi pendapatan antar kelompok size distribution of income yang menjelaskan besarnya pembagian antar perorangan atau rumah tangga. Untuk menentukan distribusi pendapatan ini digunakan dua macam cara.

1. Kurva Lorenz

Metode yang lazim digunakan adalah deciles dan

quintiles yaitu berdasarkan persentase pendapatan secara komulatif dan persentase penerima pendapatan secara komulatif pula. Tingkat distribusi pendapatan cara deciles

yaitu dengan membagi pendapatan menjadi 5 kelompok penerima pendapatan secara berurutan dari kelompok 20% penduduk termiskin sampai 20% penduduk terkaya berdasarkan proporsi pendapatannya, sedangkan cara

(37)

Hasil pengelompokan tersebut merupakan dasar untuk menggambarkan sebuah kurva Lorenz. Kurva Lorenz yaitu kurva yang memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama satu tahun (Todaro, 2000:183).

Remi Sutyastie dan Tjiptoherijanto (2002:41) menjelaskan cara lain untuk menguraikan distribusi pendapatan adalah dengan kurva Lorenz. Kurva ini merupakan sebuah diagram yang memperlihatkan hubungan antara kelompok-kelompok penduduk dan porsi pendapatan yang mereka terima. Pengukuran distribusi pendapatan yang diperoleh dengan menggunakan kurva Lorenz kemudian dijumlahkan dengan memberikan identitas relatif dari ketidakmerataan distribusi pendapatan atau yang dikenal dengan rasio Gini.

Penjelasan senada dikemukakan Kuncoro (1987:147) bahwa indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesenjangan distribusi pendapatan adalah

(38)

pendapatan suatu daerah semakin timpang. Sebaliknya semakin rendah nilai rasio Gini berarti disribusi pendapatan semakin merata.

Wie (1983: 69), mengemukakan bahwa Gini Lorenz Concentration ratio (indeks Gini), adalah variabel yang dinamis dalam arti besarnya berubah-ubah baik antara waktu, antara daerah, maupun antara sektor. Semakin besar indeks Gini (mendekati 1) berarti distribusi pendapatan semakin timpang, dan sebaliknya semakin mendekati nol berarti semakin merata.

Dalam gambar 2.1 dapat dilihat bahwa garis lengkung AC menggambarkan kurva Lorenz dan garis lurus AC menggambarkan garis kemerataan. Semakin melengkung kurva Lorenz atau semakin jauh dari garis kemerataan berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan pembagian pendapatan dan sebaliknya semakin lurus kurva Lorenz atau semakin mendekati garis kemerataan berarti semakin merata pembagian pendapatan.

(39)

2. Indeks Gini

Berdasarkan kurva Lorenz besarnya indeks Gini dapat diketahui dengan menghitung bidang yang terletak antara garis kemerataan dengan kurva Lorenz dibagi dengan separuh bidang di mana kurva Lorenz berada. Pada gambar 2.1 di atas ketidakmerataan pendapatan ditunjukkan oleh daerah P yang terletak antara garis lurus AC (garis kemerataan mutlak) dan garis lengkung AC (garis distribusi pendapatan yang sebenarnya) dibagi dengan segitiga ABC. Dari besarnya nilai indeks Gini tersebut tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam masyarakat dapat diketahui.

Todaro (2000:188) menyatakan bahwa indeks Gini atau koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/kesejahteraan) agregat secara keseluruhan yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Dalam kenyataan, nilai indeks Gini sebesar nol atau satu tidak mungkin terjadi karena tidak mungkin distribusi pendapatan suatu negara mengalami merata sempurna atau tidak merata sempurna. Indeks ini mempunyai beberapa kelebihan seperti teknik penghitungannya yang relatif mudah dan tidak terikat pada distribusi/penyebaran pendapatan yang sedang diamati dan digunakan sebagai alat pembanding dalam mengamati kecenderungan sifat distribusi pendapatan masyarakat.

(40)

semakin mendekati garis keseimbangan berarti semakin merata.

3. Tingkat Distribusi Pendapatan Menurut Kriteria Bank Dunia

Distribusi pendapatan menurut kriteria yang dikemukakan oleh Bank Dunia (Worl Bank). Pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan suatu daerah dengan melihat besarnya kontribusi dari 40% penduduk termiskin. Pengukuran tersebut dapat dilihat dari sisi pendapatan maupun pengeluaran. Akan tetapi seringkali digunakan adalah pengukuran dari sisi pengeluaran karena datanya lebih mudah diperoleh. Walaupun demikian dari sisi pengeluaran tersebut memiliki banyak kelemahan yaitu data yang disajikan akan underestimate jika dibandingkan bila data yang dipergunakan adalah data yang berdasarkan pendapatan. Beberapa kelemahan diataranya adalah yang menyangkut tabungan (saving). Adanya bagian pendapatan yang ditabung menyebabkan jumlah pengeluaran lebih kecil dari pendapatan. Hal ini dalam kenyataan adanya trasfer pendapatan. Dalam masyarakat kita adalah lumrah bila seseorang memberikan sebagian pendapatannya sebagai sokongan kepada saudara yang tidak mampu. Dengan demikian kembali tingkat pengeluaran tidak mencerminkan pendapatan yang diperoreh. Masalah lain adalah sering tidak tercatatnya pengeluaran-pengeluaran terutama bagi masyarakat berpendapatan tinggi. Dengan demikian pendekatan tersebut akan memberikan suatu gambaran yang bias.

(41)

1. Bila kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya lebih kecil dari pada 12% dari keseluruhan pengeluaran, maka dikatakan bahwa daerah yang bersangkutan berada dalam tingkat ketimpangan tinggi.

2. Bila kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya antara 12%-17% dari keseluruhan pengeluaran, maka dikatakan bahwa terjadi tingkat ketimpangan sedang (moderat).

3. Bila kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya lebih dari pada 17% dari keseluruhan pengeluaran, maka dapat dikatakan bahwa tingkat ketimpangan yang terjadi adalah rendah.

Untuk mengetahui tingkat distribusi pendapatan dengan kedua cara ini, Biro pusat statistik (BPS) dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) telah menyajikan angka-angka koefisisen Gini dan hasil perhitungan yang berdasarkan kreteria Bank Dunia. Dengan demikian data tersebut merupakan data yang siap untuk digunakan.

2.7. Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi pendapatan

(42)

dapat dilihat dari (1) budaya masyarakat; (2) ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi; dan (3) model pembangunan ekonomi yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Penjelasan Soetrisno menunjukkan bahwa kemiskinan pada dasarnya tidak dapat dilihat hanya dari sisi tertentu. Masalah kemiskinan selalu saling terkait satu dengan yang lainnya. Secara makro dapat dikemukakan bahwa kemiskinan mempunyai dua sisi yakni penawaran dan sisi permintaan. Pada sisi penawaran, kemiskinan disebabkan oleh produktivitas yang rendah, pendapatan riil rendah, tabungan rendah dan kekurangaan modal, produktivitas tetap rendah. Pada sisi permintaan, kemiskinan disebabkan oleh pendapatan riil rendah, permintaan rendah, tingkat investasi rendah, kekurangan modal, produktivitas rendah, pendapatan riil rendah, demikian seterusnya saling terkait bagaikan suatu lingkaran yang tak berujung pangkal (Nurkse dalam

Sukirno, 1985:217-218 dan Tadar, 1984:40-41).

Kemiskinan juga berkaitan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, kecenderungan investasi yang rendah, kekurangan lahan yang baik (subur) untuk ditanami, dan metode produksi yang tidak efisien (Nelson

dalam Jhingan, 1988:219 dan Sukirno, 1985: 202)

(43)

Seminar Pembangunan Pertanian (untuk menanggulangi kemiskinan), menyimpulkan bahwa dalam penanggulangan kemiskinan secara garis besar dikenal dua pendekatan, yaitu kebijaksanaan yang bersifat tidak langsung dan kebijaksanaan langsung. Pendekatan pertama pada dasarnya melalui kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi pasar yang sehat dimana pada gilirannya akan terjadi penetasan kebawah sehingga dapat mengangkat taraf hidup lapisan terbawah. Pendekatan kedua dapat berupa atau terkait dengan program pemerintah secara sektoral seperti pertanian, pendidikan, kesehatan, prasarana maupun bentuk bantuan langsung pada kelompok miskin. Untuk mempercepat proses penanggulangan kemiskinan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan, kedua pendekatan tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan kebutuhan (Sapuan dan Silitonga, 1994:2).

(44)

Disamping usaha mengentaskan kemiskinan melalui delapan jalur pemerataan, pemerintah juga menyalurkan berbagai paket bantuan, diantaranya bantuan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Singaribuan (1996:154) menjelaskan bahwa program IDT diarahkan untuk mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin dan jumlah desa-desa tertinggal, dengan alokasi dana sebesar Rp 20 juta untuk satu desa tertinggal, guna mendukung kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin di desa tertinggal.

Melalui delapan jalur pemerataan dan program IDT pemerintah mencoba melaksanakan pemerataan pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Hal ini berarti pula bahwa pemerintah telah berusaha memikirkan perubahan strategi pembangunan dari strategi maksimisasi pertumbuhan ekonomi ke strategi pemenuhan kebutuhan dasar.

2.8. Penelitian Terdahulu

Lyons (1997) hasil penelitiannya menunjukkan distribusi pendapatan di Propinsi Post-Mao China. Studi Lyons menggambarkan bahwa kesenjangan dalam propinsi di Post-Mao China benar-benar tidak hanya diukur dengan output aggregate (GDP per kapita) tetapi juga dengan indikator melek huruf, tingkat kematian bayi dan indikator ekonomi sosial yang lain. Beberapa indikator ini mempunyai hubungan yang relatif lemah satu sama lainnya

(45)

yang digunakan adalah indeks Gini dan indikator kesejahteraan. Penelitian ini menyatakan bahwa distribusi pendapatan di daerah Istimewa Yogyakarta berada dalam kategori ketidakmerataan rendah dengan indeks Gini sebesar 0,27.

Hasil penelitian Emil Salim dalam Prayitno dan Santosa (1996:102) mengemukakan lima ciri-ciri penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Pertama, pada umumnya mereka tidak mempunyai faktor produksi seperti tanah, modal ataupun keterampilan, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi terbatas. Kedua, mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat pendidikan rendah, waktu mereka tersita untuk mencari nafkah dan mendapatkan penghasilan. Keempat, kebanyakan mereka tinggal di perdesaan. Kelima, mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak didukung oleh keterampilan yang memadai.

(46)

terakhir di wilayah perkotaan (7,2 sampai 17,6 juta jiwa) dimana angka di wilayah perdesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa (dari 15,3 sampai 31,9 juta jiwa). Dari analisis tersebut dapat dilihat timbulnya kemiskinan kelihatan menjadi lebih buruk di wilayah perkotaan selama periode tersebut sedangkan peningkatan sekitar 7 juta di wilayah perdesaan.

Raharjo (1998:114) melaporkan bahwa wujud kemiskinan di daerah perkotaan sangat berbeda dengan perdesaan. Kemiskinan di daerah perkotaan lebih mudah dikenali secara fisik dari pada kemiskinan di daerah perdesaan. Di DKI Jakarta misalnya, dapat ditemukan orang-orang yang meminta sedekah di berbagai pelosok kota, dan mereka digolongkan orang-orang miskin, sedangkan di desa-desa yang meminta sedekah di pinggir jalan atau dari rumah ke rumah tidak mudah ditemukan.

(47)

Usaha-usaha penanggulangan kemiskinan makin difokuskan dan diarahkan pada lokasi-lokasi penduduk miskin. Pemda DKI Jakarta menempuh dua pendekatan untuk mengatasi kemiskinan. Pertama, memberdayakan penduduk miskin di bidang ekonomi. Selain program IDT yang dilaksanakan secara nasional, Pemda DKI Jakarta meluncurkan program Instruksi Gubernur (In-Gub) sebagai upaya khusus memberdayakan penduduk miskin. Disamping itu, Pemda DKI Jakarta juga mengarahkan program-program sektoral, program Muhamad Husni Thamrin atau MHT, partisipasi dunia usaha, serta kegiatan LSM maupun organisasi-organisasi keagamaan dalam menanggulangi kemiskinan. Kedua, memperkuat lembaga-lembaga ekonomi masyarakat ditingkat kelurahan dengan memantapkan koperasi-koperasi (Koperasi Serba Usaha atau KSU) dan warung-warung serba ada (WASERDA).

(48)

yang berorientasi memenuhi pasar asing dari pada pasar domestik; (5) pengikisan peran pemerintah sebagai perantara dalam meminimalkan ketimpangan sosial, contohnya melalui swastanisasi program-program sosial; (6) eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam dan tercemarnya ekosistem yang secara tidak proporsional berdampak pada orang miskin; dan (7) kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi masyarakat, yang memacu bertumbuhnya pemupukan pendapatan dan kesejahteraan.

Penjelasan teoritis diatas memberikan suatu pengertian bahwa pengentasan kemiskinan merupakan tanggung jawab oleh semua pihak. Upaya untuk pengentasan kemiskinan harus memperhitungkan faktor strategi dan kebijakan pembangunan, jumlah dan pola distribusi pemilikan faktor produksi (seperti lahan, tenaga kerja, keahlian, teknologi, dan modal), pendidikan, akses pasar dan fasilitas kredit.

Brata (2005:10) melaporkan hasil penelitiannya bahwa investasi sektor publik atau pengeluaran sosial (pendidikan dan kesehatan) mempengaruhi pembangunan manusia. Pengeluaran sosial dan pembangunan manusia mempengaruhi pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan kualitas manusia.

(49)

dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengurangi tingkat kemiskinan.

Berdasarkan hasil kajian empiris diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) mempengaruhi kemiskinan, sebaliknya kemiskinan mempengaruhi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Dillon (2001:6) mengemukakan bahwa program prioritas penanggulangan kemiskinan dalam PORPENAS (program pembangunan nasional) adalah pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan usaha bagi kelompok miskin dengan target: (1) tercapainya keamanan dan stabilitas bagi aktivitas perekonomian skala kecil; (2) tercapainya peningkatan dan pengembangan sarana dan kualitas kesehatan serta pelayanan pendidikan; dan (3) tercapainya peningkatan produktivitas. Dijelaskan pula bahwa dalam pelaksanaan program pembangunan terdapat tiga pilar utama, yaitu: (1) mengembangkan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin; (2) memberdayakan kapasitas dan kemampuan kelompok masyarakat miskin; dan (3) meningkatkan kualitas jaring pengaman sosial.

(50)

Dartanto (2005:9) mengemukakan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok dapat meningkatkan kemiskinan secara tajam, oleh karena itu pemerintah seharusnya mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok ditingkat yang wajar sehingga tidak memberatkan kalangan konsumen miskin dan kalangan petani sebagai produsen. Pendapat ini mengindikasikan bahwa kemiskinan terjadi karena harga kebutuhan pokok menjadi penyebab meningkatnya tingkat kemiskinan.

Insukidri (2006:2) menjelaskan bahwa distribusi pendapatan antar kelompok dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu distribusi pendapatan mutlak dan distrubusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan dengan proporsi jumlah penduduk yang pendapatannya dapat mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu. Disisi lain konsep distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai kelompok atau kelas penerima pendapatan. Pada umumnya pembicaraan mengenai distribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif.

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tersebut, mempunyai kesamaan yaitu menggunakan indeks Gini, indeks mutu hidup. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah tempat dan waktu penelitian. Penelitian yang akan dilakukan juga meneliti hal yang sama, yaitu membahas masalah ”Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di

(51)

BAB III

KERANGKA PIKIR

3.1. Kerangka Pikir

Pembangunan ekonomi pada umumnya didefenisikan sebagai suatu proses yang akan menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara/daerah meningkat dalam jangka panjang. Oleh karena itu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat berdasarkan besarnya kenaikan pendapatan perkapita penduduk. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan ekonomi Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai maksud tersebut dikehendaki suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat melalui distribusian pendapatan yang merata. Keinginan ini juga tertuang dalam GBHN yang menghendaki pemerataan distribusi pendapatan tidak hanya antarlapisan masyarakat, namun juga antardaerah sebagaimana yang tercantum dalam Trilogi Pembangunan yang menjadikan pemerataan pembangunan sebagai prioritas.

(52)

(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).

Berdasarkan pandangan para pakar diatas, maka penelitian ini dilandasi oleh suatu kerangka pikir bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Sulawesi Tenggara bersifat relatif (ketimpangan distribusi pendapatan) dapat terjadi mulai dari tingkat ketimpangan yang rendah sampai pada tingkat ketimpangan yang tinggi.

Peningkatan pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.

(53)

Gambar 2. Kerangka pikir penelitian

Keterangan:

: Hubungan Klasifikasi

: Hubungan asimetris (pengaruh)

Gambar 2. menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan perkapita dan ketimpangan distribusi pendapatan yang berpengaruh pada tingkat kesejahteraan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonomitrika untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan terhadap

Pertumbuhan Ekonomi

Pendapatan Per Kapita (PDRB Per Kapita) 1. Meningkat

2. Tetap 3. Berfluktuasi 4. Menurun

Distribusi Pendapatan (Indeks Gini) 1. Pemerataan sempurna 2. Ketimpangan sedang 3. Ketimpangan tinggi 4. Ketimpangan rendah

Tingkat Kesejahteraan : (Indeks Pembangunan Manusia) 1. Angka Harapan Hidup

(54)

tingkat kesejahteraan dengan indikator indeks Gini untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan, indeks pembangunan manusia dengan komponen angka harapan hidup, angka melek huruf dan pengeluaran riil perkapita. Peningkatan kesejahteraan dapat ditanggulangi melalui peningkatan pendapatan perkapita disertai dengan distribusi pendapatan yang merata.

Untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan terhadap tingkat kesejahteraan digunakan data panel dengan model fixed effect. Regresi untuk data panel adalah regresi dengan kombinasi antara data runtut waktu time series yang memiliki observasi temporal biasa pada suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan data silang tempat atau suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan observasi atas sejumlah variabel. Alasan penggunaan data panel ini adalah untuk meningkatkan jumlah observasi (mengatasi masalah keterbatasan jumlah data runtut waktu) dengan data panel akan diperoleh variasi antar unit yang berbeda menurut ruang dan variasi yang muncul menurut waktu (Kuncoro, 2001:124).

3.2. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, masalah dan tujuan penelitian maka hipotesis yang hendak diuji adalah :

1. Diduga bahwa distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara berada pada tingkat ketidakmerataan rendah.

(55)

3. Diduga bahwa peningkatan pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara berpengaruh signifikan

(56)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2005 Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas delapan wilayah Kabupaten dan dua kota. Masing-masing kabupaten dan kota dimaksud adalah Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka Utara, Kota Kendari dan Kota Bau-Bau.

Pada tahun 2007 jumlah kabupaten bertambah dua kabupaten, hingga seluruhnya menjadi 10 kabupaten dan dua kota. Adapun tambahan dua kabupaten tersebut adalah Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Konawe Utara. Dengan demikian, jumlah kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara menjadi 12.

(57)

4.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan menganalisis PDRB perkapita dan distribusi pendapatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. Untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan yang diharapkan, penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut.

1. Pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dari data sekunder yaitu data tahunan (2003-2007). Data-data yang terkumpul tesebut kemudian diolah untuk mengetahui indeks Gini dan Indeks Pembangunan manusia .

2. Dari hasil perhitungan dapat diketahui perubahan besarnya distribusi pendapatan dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat selama periode penelitian.

(58)

manusia digunakan regresi linear untuk data panel dengan metode (fixed effect).

4.3. Sumber dan Jenis Data

a. Sumber dan jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data berasal dari sumber resmi yaitu Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara, BPS Provinsi Sulawesi Tenggara dan BAPPEDA beberapa terbitan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007.

b. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif.

4.4. Analisis Data

Untuk efektifnya pencapaian tujuan penelitian sesuai dengan analisis penelitian yang bersifat deskriptif, maka dilakukan analisis data sebagai berikut:

1. Untuk perhitungan distribusi pendapatan digunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yaitu data pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita sebagai (proxy) pendapatan dari tahun 2003 sampai tahun 2007.

2. Analisis untuk kesejahteraan digunakan data statistik indeks pembangunan manusia dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Data tersebut terdiri dari data angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran perkapita riil penduduk yang disesuaikan.

(59)

per kapita dan distribusi pendapatan terhadap tingkat kesejahteraan. Data yang digunakan adalah data PDRB per kapita, indeks Gini, angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran riil perkapita Provinsi Sulawesi Tenggara dari tahun 2003 sampai tahun 2007.

4.5. Alat Analisis 4.5.1. Indeks Gini

Merupakan ukuran ketidakmerataan pendapatan atau ketimpangan distribusi pendapatan, maka teknik analisis yang sesuai adalah mengacu pada ukuran Bank Dunia dan Rasio Gini. Ukuran Bank Dunia adalah:

1. Tingkat ketidakmerataan tinggi (high inequality) jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima kurang dari 12 persen dari total pendapatan seluruh penduduk.

2. Tingkat ketidakmerataan sedang (moderate)

inenguality, jika 40% penduduk berpendapatan terendah menerima antara 12 persen dan 17 persen dari total pendapatan seluruh penduduk. 3. Tingkat ketidakmerataan rendah (low inequality),

jika 40% penduduk berpendapatan terendah menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan penduduk.

Ukuran rasio Gini yang digunakan merujuk pada hasil kajian pustaka sebagai berikut:

(60)

2. Bila rasio Gini terletak dari 0,71 sampai 0,99 maka distribusi pendapatan tergolong dalam kategori ketimpangan mendekati sempurna.

3. Bila rasio Gini terletak antara 0,50 – 0,70 maka distribusi pendapatan tergolong sangat timpang. 4. Bila rasio Gini terletak pada nilai 0,36 – 0,49 maka

distribusi pendapatan tergolong dalam ketimpangan sedang.

5. Bila rasio Gini terletak antara 0,20 – 0,35 maka distribusi pendapatan tergolong dalam kategori ketimpangan rendah.

6. Bila rasio Gini terletak dari 0,10 sampai 0,19 maka distribusi pendapatan tergolong dalam kategori yang sangat rendah atau berada pada tingkat kemerataan yang mendekati sempurna.

7. Bila rasio Gini sama dengan 0,00 maka distribusi pendapatan tergolong dalam kategori tidak ada ketimpangan atau merata secara sempurna

Perhitungan indeks Gini dengan menggunakan data pendapatan yang dikelompokkan menurut kelas pendapatan rumah tangga yang merupakan hasil survei nasional dengan rumus :

(61)

Y* = Proporsi secara kumulatif dari jumlah pendapatan yang dietrima sampai ke -i

Y*i-1 = Yi* bergeser atau turun satu baris

4.5.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara dengan melihat perkembangan kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang disusun dari tiga indikator yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari gabungan (1) lama hidup yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah atau rata-rata-rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun keatas diseluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani (2) angka melek huruf atau persentase dari penduduk usia 15 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis huruf latin terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun keatas (3) standar hidup yang diukur dengan pengeluaran perkapita

(purchasing power parity) paritas daya beli dalam rupiah. Indeks ini merupakan rata-rata sederhana dari komponen komponen dirumuskan sebagai berikut :

IPM = 1/3 [Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3] ……… 4.2

dimana :

X1 = indeks lamanya hidup

X2 = indeks tingkat pendidikan yang dirumuskan sebagai

berikut :

(62)

dimana :

X21 = rata-rata lamanya sekolah

X22 = angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas

X3 = indeks tingkat kehidupan yang layak

Perhitungan indeks dari masing-masing indikator tersebut adalah :

X (i,J) – X (i-min)

Indeks X (i,J) = ... 4.4 X (i-max)– X (i-min)

dimana :

X(i,,j) = indikator ke-i dari daerah j

X (i-min) = nilai minimum dari Xi

X (i-max) = nilai maksimum dari Xi

(63)

Kriteria Tingkatan Status Pembangunan Manusia

Kriteria Status Pembangunan Manusia

IPM < 50 Rendah

50 ≤ IPM < 66 Menengah bawah

66 ≤ IPM < 80 Menengah atas

IPM ≥ 80 Tinggi

Sumber : Bappeda BPS Provinsi Sultra (IPM) 2007.

4.5.3. Pendekatan ekonometri dengan Fixed effects

models

Untuk mengetahui pengaruh pendapatan per kapita terhadap distribusi pendapatan digunakan pendekatan ekonometri dengan menggunakan regresi linear untuk data panel dengan metode (fixed effects models)

Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah

YIMP it = β0 + β1YCap it + β2In GR it + μit …………. 4.5

YIMP it adalah Indeks Pembangunan Manusia

Provinsi Sulawesi Tenggara.

β0 adalah koefisien konstanta untuk masing -

masing kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

β1YCap it adalah PDRB Per Kapita Penduduk masing -

masing kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

β2it adalah Indeks Gini Rasio masing - masing

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.

μit adalah nilai residual

Gambar

Tabel 2.1 Batas Garis Kemiskinan, 1976-1996
Gambar  2.1  Kurva Lorenz
Gambar 2. Kerangka  pikir penelitian
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Luas wilayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun, pada sampel yang hasilnya berada di atas nilai normal baik bilirubin total atau bilirubin direk tidak dapat dihitung nilai dari bilirubin indirek

Kesimpulan penelitian ini bahwa penerapan standard recipe bahan baku sayuran terhadap kualitas makanan di main kitchen Hotel Lorin Solo melalui warna sayuran, aroma

JUDUL SKRIPSI : Efektivitas Model Pembelajaran Berbasis Masalah Ditinjau Dari Kreativitas Hasil Belajar Pada Materi Pokok Sistem Persamaan Linier Dua Variabel Siswa Kelas

i. Satu-satunya prediktor dari misi ”bersikap independen” adalah prinsip independence. Artinya, peningkatan prinsip independence menjadi hal yang harus dipenuhi agar para

Penyulang Rijali merupakan salah satu penyulang ( feeder ) pada sistem kelistrikan kota Ambon yang dicatu dari gardu induk (GI) Hative Kecil yang memiliki panjang penghantar

terhadap hasil belajar matematika materi bangun datar (segiempat) siswa kelas.. VII MTs Negeri Pucanglaban Tulungagung tahun

Berdasarkan pada tujuan penelitian yang telah dirumuskan dan pengolahan data menggunakan metode probabilistik model Continuous review (s,S) System, maka dapat diperoleh

Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori yang sudah ada dan memperluas wawasan dan pengetahuan bagi peneliti dalam bidang