• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asesmen terhadap Pendidikan dan Pelatiha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asesmen terhadap Pendidikan dan Pelatiha"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang

menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan menyatakan

bahwa jaksa adalah pejabat fungsional, yakni sebagai "jabatan yang bersifat keahlian

teknis" (pasal 1 angka 4). Dengan demikian jaksa seyogyanya memiliki kemampuan

yang profesional, dan tentu saja dengan disertai integritas yang tinggi.

Permasalahannya, secara umum kebanyakan jaksa masih belum mempunyai

kemampuan yang diharapkan masyarakat. Banyaknya keluhan masyarakat atas

kemampuan jaksa, memperkuat anggapan itu. Hal ini ditambah dengan penanganan

pemberantasan korupsi dan kolusi yang belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Kami melihat bahwa masih banyaknya keluhan terhadap profesionalitas dan integritas

jaksa tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pendidikan dan

pelatihan jaksa.

Bagaimanakah pendidikan dan pelatihan terhadap jaksa dilaksanakan, diatur sedemikian

rupa oleh pihak Kejaksaan itu sendiri. Pendidikan dan pelatihan jaksa yang baik akan

berbanding lurus dengan output jaksa yang baik pula dalam arti profesional dan

berintegritas. Jika suatu pendapat mengatakan bahwa

good judges are made not borned

,

maka tidak berlebihan jika pendapat itu dapat dianalogikan juga pada jaksa. Oleh

karenanya membenahi pendidikan dan pelatihan jaksa merupakan hal yang sangat

penting untuk menghasilkan jaksa yang baik.

Pembaruan sistem pendidikan dan pelatihan jaksa tersebut tidak hanya menyangkut

substansi pendidikan tetapi juga lembaga (penyelenggara), atau bahkan semangat

pendidikan dan pelatihan itu sendiri. Sebagai sebuah sistem pula, perlu adanya

sebuah pendekatan sistem dalam pembaruan sistem pendidikan dan pelatihan jaksa.

Salah satu karakteristik dari pendekatan sistem ini adalah adanya saling

ketergantungan (

interdependent)

antar subsistem

karena produk

(output)

suatu

subsistem merupakan masukan

(input)

bagi subsistem yang lain.

(2)

Hukum Nasional bekerjasama dengan Kejaksaan Agung Republik I ndonesia dan

I nstitut I lmu Sosial Alternatif (I I SA) melakukan asesmen yang diberi nama dengan

“Asesmen Pendidikan dan Pelatihan Jaksa”.

Asesmen ini menitikberatkan pada asesmen terhadap studi dokumen dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif. Jika merujuk pada tahapan asesmen, maka

yang terangkum dalam laporan ini ialah asesmen pada tahap pertama. Dalam

asesmen ini peranan Kejaksaan Agung sangat besar dengan terlibatnya Pusat

Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung. Tidak lupa pula kami berterima kasih

kepada para pejabat Kejaksaan Agung yang telah bersedia banyak membantu

asesmen ini. Semoga asesmen ini bermanfaat dalam membangun pendidikan dan

pelatihan jaksa. Amin.

Jakarta, Agustus 2005

(3)

DAFTAR I SI

KATA PENGANTAR

……….

i

DAFTAR I SI

………

iii

RI NGKASAN EKSEKUTI F

………...

v

BAB I :

PENDAHULUAN

………

1

A Latar Masalah……….

1

B. Pernyataan Masalah………..

2

1.

Permasalahan yang Diselesaikan Pada Asesmen Tahap

Pertama Melalui Studi Dokumen ...

2.

Permasalahan yang Diselesaikan Pada Asesmen Tahap Kedua

Melalui Studi Lapangan ...

3

3

C. Tujuan …………...………..

4

D. Ruang Lingkup Asesmen....……….………

5

1.

Asesemen Tahap Pertama…..………..

2.

Asesmen Tahap Kedua ………..………..

5

5

F. Organisasi Tim Asesmen….……….

5

BAB I I : METODE PENELI TI AN

……….

6

A.

Pengertian……….………..

6

B.

Tahapan……….………..

7

C. Langkah Penciptaan dan Penerapan Skema Koding...

7

1.

Penentuan Unit Pengukuran ……….

2.

Penentuan Kategori ………

3.

Pengujian Koding Pada Sampel Teks ...

7

7

8

BAB I I I : TEORI TI SASI DAN TAHAPAN ANALI SI S

………

9

A. Teknik Sampling ………..

9

B. Dokumen yang Dikaji ………

9

C. Perspektif/ Dimensionalitas Dalam Analisis I si ……….

15

1. Coding Sheet I : Prinsip-Prinsip Penegak Hukum ……….

2. Coding Sheet I I : Kriteria Pembelajaran I nstruksional ………...

3. Coding Sheet I I I : Visi Dan Misi Pendidikan Jaksa ……….

4. Coding Sheet I V : Manajemen Gagasan dan Pengetahuan...

15

20

24

26

D. Validitas dan Reliabilitas Data………..

28

BAB I V : HASI L ANALI SI S

….………..

32

A. Hasil Analisis Deskriptif ……….

32

B.

Hasil Analisis I nferensial ………..……….

62

1.

Reformulasi Pertanyaan Riset Ke Dalam Dimensionalitas

Keempat Coding Sheet………

2.

Hasil Analisis Data Atas Pertanyaan Riset yang Ter-Reformilasi

3.

Rekapitulasi Hasil ...

63

69

94

C.

Temuan

Lain………...

99

(4)

2. Keterkaitan Antara Prinsip-Prinsip Penegakan Hukum dan

Ketiga Misi Kejaksaan……….

103

3. Keterkaitan Antara Prinsip-Prinsip Penegakan Hukum dan

Keenam Visi Kejaksaan………..

106

4. Ketegasan Pilahan Dimensionalitas Antara Substansi Coding

I I dan Coding I V………

110

5. Ketumpangtindihan yang Relatif Pada Pilihan Dimensionalitas

dari Substansi Coding I dan Coding I I I ……….

111

BAB V :

PENUTUP

………

113

A.

Pembahasan……….………. 113

1. Pola I si / Muatan Pada Hasil Analisis Deskriptif………

113

2. Muatan Prinsip-Prinsi Antar Jenis Dokumen………

117

3. Temuan ……….

122

B.

Kesimpulan………. 129

C.

Rekomendasi……….. 132

(5)

RI NGKASAN EKSEKUTI F

I . Pendahuluan

Aspirasi masyarakat luas yang bertumpu pada idealitas demokrasi, keterbukaan,

akuntabilitas publik, dan profesionalisme berdampak pada penilaian terhadap kinerja

Kejaksaan yang dinilai lemah dan jauh dari harapan untuk menjawab masalah yang

timbul di masa kini dan masa mendatang. Posisi Kejaksaan dalam struktur

ketatanegaraan, organisasi Kejaksaan berikut visi, misi, struktur, tugas, wewenang, tata

kerja; ketersediaan sumber daya manusia (terutama jaksa), pengawasan (internal dan

eksternal) dsb., kesemuanya, merupakan faktor yang menjelaskan kinerja Kejaksaan.

Setidaknya, penengaraan ini menjadi landasan rekomendasi dalam laporan hasil audit

yang dilakukan

PriceWaterHouse Coopers

dan

The British Institute of International and

Comparative Law

dengan bantuan

Asian Development Bank

pada tahun 2001. Merespon

hasil audit tersebut, Kejaksaan Agung, dengan asistensi Komisi Hukum Nasional dan

dukungan

Partnership for Governance Reform in Indonesia

telah melakukan diskusi dan

seminar pada tahun 2003.

Disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan

berimplikasi bahwa jaksa adalah pejabat fungsional, yakni sebagai "jabatan yang bersifat

keahlian teknis" (pasal 1 angka 4). Dengan demikian, seorang jaksa harus memenuhi

kualifikasi sebagai pegawai negeri, selain kualifikasi khusus yang bersifat keahlian teknis

sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang tersebut. Jaksa tidak hanya dituntut

menguasai hukum positif yang bersifat umum (

lex generalist

), tetapi juga dituntut

mempunyai kemampuan yang bersifat khusus (

lex specialist

) yang banyak bermunculan

akhir-akhir ini.

(6)

hasil-hasil

Law Summit III,

Kejaksaan Agung telah mencanangkan program-program

sebagai upaya perbaikan di bidang pendidikan dan pelatihan, di antaranya:

1.

Restrukturisasi pendidikan dan pelatihan, termasuk dalam hal ini ialah sistem seleksi,

jenis pendidikan dan pelatihan, maupun pola pembelajaran;

2.

Revisi kurikulum pendidikan dan pelatihan, baik pendidikan dan pembentukan jaksa

maupun pendidikan dan pelatihan lainnya; dan

3.

Pengiriman jaksa untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di dalam dan luar negeri,

termasuk program pascasarjana.

Permasalahannya adalah:

1.

Sejauh mana tingkat konsistensi (dan koherensi) antara berbagai materi yang

dicakup dalam kurikulum pendidikan jaksa dan muatan visi, misi, struktur, tugas,

wewenang, tata kerja, ketersediaan sumber daya manusia (terutama jaksa), dan

pengawasan (internal dan eksternal) yang dicanangkan kejaksaan?

2.

Lebih rinci dari permasalahan pertama, sejauh mana tingkat konsistensi dan

koherensi antara berbagai materi yang dicakup dalam kurikulum pendidikan jaksa

yang sudah dilaksanakan dan hasil evaluasi dari berbagai hasil penelitian tentang

kinerja para jaksa pada umumnya?

3.

Berdasarkan permasalahan pertama dan kedua, bagaimanakah corak dan tingkatan

kesenjangan di antara berbagai materi yang dicakup dalam kurikulum pendidikan

jaksa, di satu pihak; dengan:

(a)

muatan visi, misi, struktur, tugas, wewenang, tata kerja, ketersediaan sumber

daya manusia, juga

(b)

hasil evaluasi dari berbagai hasil penelitian tentang kinerja para jaksa pada

umumnya;

sehingga dari sini dapat diidentifikasikan gagasan-gagasan perbaikan sistem

pendidikan kejaksaan.

I I . Metode Penelitian

(7)

1.

Sebuah teknik riset untuk mendapatkan deskripsi sistematik, obyektif, dan

kuantitatif tentang isi yang diejawantahkan ke dalam komunikasi.

2.

Suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan memperlakukan pesan

–-sebuah alat untuk melakukan observasi dan analisis perilaku komunikasi kasat

mata (overt) dari bentuk komunikasi yang dipilih.

3.

Suatu teknik riset untuk menarik inferensi yang dapat direplikasi dan sahih

menurut data dalam suatu konteks.

4.

Suatu metodologi riset yang menggunakan sejumlah prosedur guna melakukan

inferensi yang sahih dari teks.

Langkah yang dilakukan untuk riset tersebut adalah:

1.

Formulasi pertanyaan riset, teori, dan hipotesis.

2.

Penyeleksian sampel dan menentukan kategori.

3.

Pembacaan dan pengodean suatu sampel representatif dari isi yang hendak diteliti

menurut kaidah yang sesuai dengan sasaran.

4.

Pemeriksaan validitas & reliabilitas; termasuk membuat revisi dan kembali ke langkah

3 jika memang diperlukan.

5.

Pengodean semua teks.

6.

Penganalisisan data hasil koding.

7.

Perbandingan isi dengan variabel lain.

8.

Interpretasi temuan.

Untuk dapat menarik inferensi yang

legitimate

d atas teks, penting bahwa prosedur

klasifikasi yang digunakan menghasilkan data yang reliabel (akurat). Dalam hal ini, orang

yang berbeda dapat saja mengode teks yang sama dengan cara yang sama. Sebagai

tambahan, prosedur klasifikasi harus mampu merampatkan data yang

valid

atau sahih

(dalam pengertian

clean & relevant

). Data itu

valid

kalau mewakili apa yang dituju oleh si

peneliti.

I I I . Teoritisasi dan Tahapan Pra Analisis

(8)

akan sangat terbantu. Semua dokumen yang terkirim berjumlah 110 dokumen dengan

total 1016 halaman dan ditulis pertama kali tahun 1994 hingga 2004.

Perspektif atau dimensionalitas yang diterapkan dalam analisis isi merupakan prasyarat

pokok bagi pembacaan dan pengodean suatu sampel representatif dari isi yang hendak

diteliti menurut kaidah yang disesuaikan dengan sasaran.

Perspektif atau dimensionalitas yang diterapkan dalam analisis isi merupakan prasyarat

pokok bagi pembacaan dan pengodean suatu sampel representatif dari isi yang hendak

diteliti menurut kaidah yang disesuaikan dengan sasaran.

1. CODI NG SHEET I : PRI NSI P-PRI NSI P PENEGAK HUKUM

Secara teoritik, dimensionalitas pada

coding sheet

ini diilhami sebuah paper

tulisan Alexander P. Springer berjudul "Political Justice? Assessing the Role of

Colombian Courts"

1

dan buku pedoman yang dikeluarkan oleh

Administrative Review

Council Information Officer

Commonwealth of Australia

2001

2

Relevansi paper Springer dapat diargumentasikan dari fakta bahwa Kolombia

dan Indonesia adalah sama-sama sebagai negara Dunia Ketiga dengan persoalan

konsolodasi demokrasi yang dapat berimbas pada persoalan hukum. Jika Indonesia

sedang menapaki proses Otonomi Daerah berikut prosedur demokrasi yang

ditempuh,

3

Kolombia sedang mengalami konsolidasi demokrasi dalam konteks

Amerika Latin. Hal ini seturut dengan yang sudah disinggung pada latar

permasalahan penelitian, di mana persoalan utama yang disorot dalam paper

Springer ialah pembentukan kelembagaan (

institution building

) yang konsonan

dengan tuntutan masyarakat era demokratik, utamanya berkenaan dengan interaksi

antara rezim partai, lembaga

judiciary

, dan aktor politik lain.

Yang dicoba-adaptasikan dari paper ini ke dalam konteks Kejaksaan RI ialah

indikator-indikator komposit yang penulis tengarai menjadi landasan bagi efektivitas

judicial reform

. Hal ini cukup beralasan, sebab persoalan hubungan kekuasaan,

misalnya, Struktur Kejaksaaan yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, berakibat

pada kesulitan untuk merealisasikan tuntutan masyarakat akan jaksa yang

independen. Hal yang sama secara ekuivalen terjadi di Kolombia, utamanya perihal

1

Alexander P. Springer, “Political Justice? Assessing the Role of Colombian Courts” (Paper for presentation at LASA's 98 Meeting, Palmer House Hilton, Chicago, I L, Sept. 26-28, 1998). Online Documents: http: / / darkwing.uoregon.edu/ ~ caguirre/ springerpr.html.

2

Administrative Review Council A Guide To Standards Of Conduct For Tribunal Members, September 2001, Diakses 18/ 07/ 2005 pada Online Documents: http: / / law.gov.au/ arc.

3

(9)

corak hubungan kekuasaan antara

Constitutional Court

,

General Attorney’s Office

(Fiscalía General), dan

Supreme Council of the Judiciary

(Consejo Superior de la

Judicatura). Manakala pertanyaan dikerucutkan ke soal siapa yang memfungsikan

dan memerankan diri sebagai pengawal garda depan hukum dan demokrasi saat

harus berhadapan dengan sikap apatis masyarakat, yang terjadi ialah fenomena

kebingungan bertanggungjawab (

diffussion of responsibility

) antar lembaga terkait.

Oleh karena itu, terpikir relevan jika prinsip-prinsip, seperti:

independence

,

efficiency

,

dan

access to justice

diangkat sebagai penakar.

Adapun buku pedoman dengan judul

Administrative Review Council A Guide

To Standards Of Conduct For Tribunal Members

memberikan inspirasi dari gagasan

bahwa ada beberapa nilai prinsipal seperti: penghormatan terhadap hukum

(

lawfulness, fairness

)

,

keterbukaan (

openness

) dan kecepatan layanan (

efficiency

)

sebagai tiga nilai yang memainkan peran penting dalam sistem peninjauan

administratif peradilan oleh jaksa, utamanya dalam posisi mereka sebagai para

fungsionalis-profesional; sehingga kinerja mereka dapat diukur, sementara

kepercayaan publik dan respek terhadap korp jaksa dapat ditingkatkan dan

dipelihara. Oleh sebab itu, ketiga nilai -- penghormatan pada hukum (

lawfulness,

fairness

)

,

keterbukaan (

openness

) dan kecepatan layanan (

efficiency

)—dapat

dielaborasikan atau dijabarkan ke dalam delapan prinsip sebagai kriteria kinerja jaksa,

yakni:

respect for the law, fairness, independence, respect for persons, diligence and

efficiency, integrity, accountability and openness/ transparency

,

rensponsibility of

tribunal head

.

Kedelapan prinsip tersebut diperlakukan sebagai kriteria dimensionalitas guna

membobot muatan atau isi dokumen yang tersedia sehingga prosedur analisis

penelitian ini mampu menjejak, sejauh mana standar perilaku dasar yang dapat

diinternalisasikan ke dalam kerangka tindakan para calon jaksa yang mengikuti

pendidikan. Dengan demikian konflik kepentingan yang potensial dialami di lapangan

dapat disadari, dihindarkan dan diimplementasikan secara dini.

(10)

Tabel 3

Penjabaran Kriteria Dimensionalitas Standar Perilaku Dasar

Jaksa Pada Coding Sheet I

NI LAI 0 DI MENSI ONALI TAS NI LAI 7

RESPECT FOR THE LAW

Sama sekali tidak memiliki kandungan tersebut.

RESPECT FOR THE LAW 1:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang mampu menampilkan penghormatan hukum di dalam sepak terjang, baik dengan tutur kata maupun tindakan.

Hampir semua relevan dengan kandungan tersebut.

Sama sekali tidak memiliki kandungan tersebut.

RESPECT FOR THE LAW 2:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang mampu menghormati hukum di dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sehari-hari.

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang mampu memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat yang dilayani. tertentu yang sulit dijelaskan.

FAI RNESS 2:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang mampu bertindak tanpa bias dan dengan cara yang tidak mengundang bias

bagi citra mereka sebagai bentuk pertanggungjawaban institusional. Makin minimal penciptaan “oknum”, makin tinggi fairness 2 ini.

Tegas dan tidak mendua.

Menunggu dan bertindak dan berada di bawah kepentingan atau golongan tertentu setelah masalah terjadi.

FAI RNESS 3:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang mampu bertindak proaktif dan komprehensif di atas semua golongan dan kepentingan. jauh ke depan sehingga terjebak pada kepentingan suatu pihak.

FAI RNESS 4:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang mampu mengkalkulasikan impak dari setiap aktivitas dan kepentingan sehingga mampu bersikap tidak memihak secara bertanggungjawab.

Bertindak secara implementatif sehingga dapat mengambil

keputusan secara mandiri di atas semua

golongan/kepentingan.

Rentan terhadap godaan, tawaran dan desakan yang bersifat insentif.

FAI RNESS 5:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk peran, fungsi dan status

(11)

NI LAI 0 DI MENSI ONALI TAS NI LAI 7

jaksa sebagai institusi yang mampu menolak setiap pemberian dalam bentuk apa pun yang secara rasional dapat ditafsirkan sebagai alasan berpihak pada kepentingan sang pemberi.

I NDEPENDENCE

Hampir tanpa proteksi hukum tertentu.

I NDEPENDENCE I :

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi diproteksi dengan hukum (kedudukan, imunitas judicial, stabilitas gaji judicial, prosedur appointment).

Hampir secara menyeluruh terproteksi dengan hukum tertentu.

Sangat tergantung pada suasana politik yang sedang mewarnai saat itu.

I NDEPENDENCE 2:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang menjadi/ tidak menjadi suatu bagian dari sistem judicial (tidak ada peradilan khusus, kekuasaan peradilan dari polisi, jurisdiksi militer).

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang memberi kesempatan, di mana kecakapan/ kompetensi untuk bertindak berfungsi sebagai sistem

checking bagi percabangan kewenangan (misalnya dengan

judicial review, haneas corpus, atau

amparo).

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang memiliki otonomi untuk menyeleksi dan mengelola personil dan anggarannya.

Personil dan anggaran dioutuskan secara otonom.

RESPECT FOR PERSONS

Mereaksi secara berlebihan, kasar, arogan, dan tidak ramah.

RESPECT FOR PERSONS 1:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang sabar, bermartabat, dan santun manakala berhadapan dengan berbagai kepentingan dan pihak-pihak, baik dari kalangan interen maupun eksteren lingkungan kerja dan masyarakat yang dilayani.

Proporsional, asertif, ramah, membantu.

Berimplikasi ke tindakan atau penyikapan yang salah tangkap, kaku pada prosedur dan serba menuntut.

RESPECT FOR PERSONS 2:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada peran, fungsi dan status jaksa sebagai institusi yang

(12)

NI LAI 0 DI MENSI ONALI TAS NI LAI 7

penuh pemahaman, toleransi dan sensitif terhadap kebutuhan pribadi-pribadi yang terlibat dalam proses/ urusan peradilan.

DI LI GENCE AND EFFI CI ENCY

Terlalu terspesifikasi, sempit, detail dan parsial namun kehilangan kerangka besarnya.

DI LI GENCE AND EFFI CI ENCY 1:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa yang mumpuni menangani investigasi kriminal dan pengakuan baik dari kalangan politisi maupun aparatur negara.

Mendalam, komprehensif dan terintegrasi dengan gambaran besarnya.

Tidak memiliki cakupan dan tidak mengandung keterkaitan antara warga dan aparat negara.

DI LI GENCE AND EFFI CI ENCY 2:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk menangani keluhan seputar masalah hak warga negara dan pelanggaran hak ini oleh agen negara.

Mencakup dan

mengintegrasikan seluruh komponen negara.

Tidak memiliki cakupan antar kelembagaan negara berikut perangkat perundangannya.

DI LI GENCE AND EFFI CI ENCY 3:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk menangani kasus-kasus judicial review dari kalangan legislasi nasional (DPR dan lembaga negara lain) dan temuan-temuan kasus yang bersifat inkonstitusional. dan ketulusan sebagai hal yang erat dengan profesionalitas.

I NTEGRI TY 1:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk tampil secara jujur dan tulus sebagai bentuk

Bocor, tidak proporsional, tidak mampu memagang rahasia jabatan.

I NTEGRI TY 2:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk tidak mengambil keuntungan dari informasi yang tidak selayaknya menjadi konsumsi publik sebagai wujud tanggungjawab posisi yang sedang diduduki.

I NTEGRI TY 3:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk tidak memanfaatkan posisi mereka guna memperoleh atau mencari keuntungan, perlakuan istimewa dari dan terhadap pihak manapun.

Tidak mengambil

(13)

NI LAI 0 DI MENSI ONALI TAS NI LAI 7

Tidak kritis terhadap kemungkinan pemanfaatan status sosial untuk sembarang keadaan, ruang dan waktu.

I NTEGRI TY 4:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk tidak secara kaku dan

scrupulous dalam menggunakan kewenangan mereka.

Tidak memanfaatkan status sosial secara konstan.

Tidak dapat menempatkan diri secara tepat karena pijakan yang kaku dan tidak luwes.

I NTEGRI TY 5:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk bertindak sedemikian rupa dalam kehidupan privat mereka sehingga tidak mencemari korp mereka.

Dapat membawakan diri sehingga berimplikasi pada citra kejaksaan.

ACCOUNTABI LI TY AND TRANSPARENCY

Tidak dapat dihandalkan, tidak konsisten, dan berlaku setengah-setengah.

ACCOUNTABI LI TY AND TRANSPARENCY 1:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk menepati janji, keputusan dan kesepakatan serta berpartisipasi (berkomitmen) penuh sembunyi di luar kesepakatan.

ACCOUNTABI LI TY AND TRANSPARENCY 2:

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi dan status jaksa untuk bersikap seterbuka mungkin atas semua keputusan dan tindakan yang dilakukan sehubungan dengan tanggungjawab terhadap korpnya.

Bertindak komunikatif, terbuka dan penuh inisiatif untuk

mengimplementasikan keputusan.

RESPONSI BI LI TY OF TRI BUNAL HEAD

Tidak mendalami pemahaman akan prinsip dan terlalu berorientasi pada diri sendiri.

RESPONSI BI LI TY OF TRI BUNAL HEAD

Seberapa dokumen yang ditelaah menunjuk pada pembentukan kecakapan peran, fungsi, dan status jaksa untuk menerima prinsip-prinsip dan tanggungjawab melalui tindak kepemimpinan,

(14)

“ ..Program Pendidikan dan Pelatihan Jaksa merupakan pintu awal bagi

seseorang untuk menduduki jabatan Jaksa. Proses tersebut harus

disiapkan secara baik, sehingga peningkatan kualitas materi, pengajar,

dan pola pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan

perkembangan hukum. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas para

calon jaksa adalah melalui proses magang sebagai langkah awal. Selain

itu perlu ada transparansi dalam proses penilaian bagi para peserta

sehingga dapat menutup peluang terjadinya kolusi…“

4

.

Pendidikan, tak terkecuali pendidikan profesi jaksa, mempersyaratkan kualitas

materi, pengajar, dan pola pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan

perkembangan hukum. Sedang terkait dengan persyaratan kualitas, pemancangan

derajat atau tingkatan kualitas yang hendak dicapai cenderung didasarkan pada

amatan, penyimpulan, pemikiran, dan harapan tertentu; sehingga yang lebih

dijadikan prioritisasi ialah rumusan prasyarat minimal. Minimalitas dari prasyarat ini

justru dimaksudkan untuk membentengi atau mencegah agar tidak terjadi

kesenjangan dan ketidaksesuaian harapan peran masyarakat terhadap kinerja jaksa

yang gilirannya dapat merugikan korp kejaksaan lantaran citra yang buruk tentang

jaksa sebagai profesi di mata publik.

Mengingat bahwa pemancangan derajat kualitas yang hendak dicapai secara

pragmatik dapat dikerjakan dengan variasi tertentu, satu hal yang tidak boleh

dilupakan ialah kualitas kurikulum. Dalam pandangan Kaiser-Messmer

5

fokus ini dapat

beragam, seperti: terlalu menekankan pada aktivitas yang bersifat utilitarian dan

pragmatik, tujuan pendidikan yang cenderung lebih saintifik atau humanistik, atau

pendekatan yang lebih integratif. Demikian pula, pendidikan jaksa, melalui bahan ajar

dan bahan penunjang lain yang dijadikan rujukan, perlu ditilik dari ketajaman,

keterarahan, dan fokus dari tujuan pendidikannya.

6

Lebih jauh, dapat dipersoalkan,

misalnya:

4

Lihat Tim Kejaksaan Agung, KHN dan MAPPI UI , “Penelitian Pembaharuan Kejaksaan, Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa”. [ Ringkasan Eksekutif (Executive Summary)] , 2003.

5

Kaiser-Messmer, G., “Application-oriented Mathematics Teaching: A Survey of the Theoretical debate.” Dalam M. Niss, W. Blum, & I . Huntley (Eds.)., Dalam Teaching of Mathematical Modelling and Applications. Chichester: Ellis Horwood, 1991.

6

(15)

I mplikasi dari beberapa opsi kurikulum. Kurikulum hendaknya tidak bersifat

tunggal, tetapi akomodatif terhadap komponen kependidikan, seperti ragam

pengajar, peserta didik, ketidaklengkapan sarana penunjang dsb.; sehingga

dapat diuji dan ditentukan akhirnya, manakah kurikulum yang lebih

memuaskan dan efektif.

Pengartikulasian situasi riil keseharian, baik yang dialami peserta didik

maupun masyarakat di mana mereka hidup, sebagai sebuah

starting point

untuk mendalami sebuah konsep berikut situasi problematik yang hendaknya

dikaji dan didalami.

Macam peran didaktik yang seharusnya lebih diprioritaskan dan

mempersyaratkan aktivitas yang lebih sederhana sehingga dapat ditentukan

manakah kondisi dan prasyarat yang lebih bermanfaat bagi pembekalan

profesionalitas jaksa di lapangan.

Dari sini proses pembelajaran para peserta didik tak dapat dilepaskaitkan dari

dua hal penting: pertama, strategi didaktik dan proses di kelas; dan, kedua,

pengembangan diri dan keahlian para pengajar. Terkait dengan hal pertama,

orientasi kurikuler yang lentur nampak lebih memberikan keleluasaan, terutama bagi

interaksi antara pengajar dan peserta didik. Di antaranya ialah cara membantu para

peserta didik untuk memecahkan kasus atau masalah, di mana perlu

dipertimbangkan beberapa prinsip pedagogik, andragogik atau intervensi tertentu.

Juga strategi pengelompokan peserta didik yang memungkinkan efektivitas

pelaksanaan aktivitas baik secara individual, kelas, maupun kelompok; selain

pertimbangan tentang aktivitas yang sebaiknya dikerjakan di kelas atau di luar kelas;

selain metode evaluasinya.

Kedua, hal pengembangan diri pengajar, yang terkait erat dengan upaya

untuk mencegah staf pengajar agar tidak menjadi batu sandungan bagi inovasi.

Karena posisi mereka dalam struktur sosial di kelas, para pengajar memiliki alasan,

batasan, dan kelebihan yang beragam. Kepengajaran mereka dibentuk dari pelatihan,

motivasi dan kompetensi yang beragam pula, sehingga perlu diperhatikan hal-hal

seperti: kesulitan yang mereka alami dalam kaitan dengan pemahaman akan

pembawaan diri dan peneladanan, pembawaan aktivitas dalam praktik kependidikan

mereka, juga fleksibilitas dan rigiditas mereka dalam menerapkan materi kurikuler.

Kesemuanya ini secara fokus dicoba-sorot melalui dokumen yang selama ini dijadikan

sebagai bahan ajar.

(16)

Dalam penelitian ini, penakaran kualitas, sebagaimana pernah dilakukan oleh

Davis,

7

disorot dari relevansi tujuan instruksional, tingkat rincian dari setiap deskripsi

aktivitas, kejalasan penjelasan yang mengaitkan antara aktivitas dan tujuan,

koherensi dan organisasi materi, dan ketepatan tujuan (

correctness

). Uraian ini tidak

berseberangan dengan Pedoman Materi Bahan Ajar Kejaksaan yang dikeluarkan oleh

Komisi Hukum Nasional, di mana tertulis:

“…Pemilihan materi bahan ajar, harus sejalan dengan ukuran-ukuran

(kriteria) yang digunakan untuk bidang studi bersangkutan. Misalnya

kriteria pemilihan materi bahan ajar yang akan dikembangkan dalam

sistem instruksional dan yang mendasari penentuan strategi belajar

mengajar…”

8

Adapun kriteria yang dimaksud terdiri dari: pertama, kriteria tujuan

instruksional, materi bahan ajar yang terpilih dan dimaksudkan untuk mencapai

tujuan instruksional khusus atau tujuan-tujuan tingkah laku; sehingga materi sejalan

dengan tujuan-tujuan yang telah dirumuskan. Kedua, keterjabaran, di mana materi

bahan ajar harus rinci berdasarkan tujuan instruksional khusus yang telah

dirumuskan secara spesifik, teramati, dan terukur. Ketiga, relevansi dengan

kebutuhan siswa yang ingin berkembang berdasarkan potensi yang dimilikinya yang

mencakup beberapa aspek, seperti: pengetahuan, sikap, nilai, dan ketrampilan.

Keempat, kesesuaian dengan kondisi masyarakat, karena siswa dipersiapkan untuk

menjadi warga masyarakat yang berguna dan mampu hidup mandiri, kepada mereka

perlu diberikan pengalaman edukatif yang bermakna. Kelima, materi bahan ajar

mengandung segi-segi etik, mengingat perkembangan moral siswa kelak sebagai

manusia yang etik sesuai dengan sistem nilai dan norma-norma yang berlaku di

masyarakatnya. Keenam, materi bahan ajar tersusun dalam ruang lingkup dan urutan

yang sistematik dan logis dengan alasan bahwa setiap materi bahan ajar perlu

disusun secara bulat dan menyeluruh, terbatas ruang lingkupnya, terpusat pada satu

topik masalah tertentu, dan disusun secara berurutan sehingga memudahkan siswa

untuk menyerap. Dan ketujuh, bahan ajar bersumber dari buku sumber yang baku,

pribadi pengajar yang ahli, dan masyarakat --tiga faktor yang perlu diperhatikan

dalam memilih materi bahan ajar. Ketujuh kriteria ini peneliti jadikan sebagai kriteria

7 Dr. Elizabeth Davis (2002). “Classroom Assessment Report”. Diakses 18/ 07/ 2005 pada Online

Documents: http: / / www.saumag.edu/ assessment/ reports2002/ CI / EnglishMethodsDavis/ SCORI NGGUI DE TeachingLiterature.

8

(17)

dimensionalitas untuk menilai dokumen-dokumen yang tersedia sebagaimana pada

Tabel 4.

Tabel 4

Penjelasan Kriteria Dimensionalitas Menurut Prinsip Kebertujuan,

Koherensi, Organisasi Materi, dan Ketepatan Pada Coding Sheet I I

NI LAI 0 KRI TERI A NI LAI 7

TUJUAN I NSTRUKSI ONAL

Tak sejalan Sejauh mana terjadi kesejalanan materi ajar dengan tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dan disepakati.

Sejalan

KETERJABARAN

Tak teramati, tak terukur, tidak relevan

Sejauh mana keterincian materi bahan ajar seturut tuntutan, di mana setiap tujuan instruksional telah dirumuskan secara spesifik, teramati dan terukur; di sini terdapat keterkaitan dan relevansi erat antara

spesifikasi tujuan dan spesifikasi materi bahan ajar.

Teramati, terukur, relevan.

RELEVANSI DENGAN KEBUTUHAN PESERTA DI DI K

Tak menunjang pengembangan pribadi, tidak memenuhi keempat domain.

Seberapa besar korelasi antara kebutuhan siswa untuk berkembang menurut potensi yang dimilikinya dengan materi bahan ajar yang memungkinkan usaha pengembangan pribadi siswa yang mencakup pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan.

Menunjang pengembangan pribadi, mencakup keempat domain.

KESESUAI AN DENGAN KONDI SI MASYARAKAT

Tak terdapat sentuhan reflektif yang mengilhami pembelajaran akan masyarakat.

Sejauh mana relevansi antara orientasi siswa untuk menjadi warga masyarakat yang berguna dan mampu hidup mandiri dengan keterpenuhan materi bahan ajar yang membantu mendelivery pengalaman edukatif yang bermakna untuk menjadi manusia yang adaptif.

Miskin sentuhan etik yang menguak-merelatifkan hasil pembelajaran moral.

Sejauh mana materi bahan ajar mencakup segi perkembangan moral siswa, di mana pengetahuan dan ketrampilan sebagai muatan materi bahan ajar mampu mengembangkan siswa untuk menjadi manusia yang etik sesuai sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

Tingkat kebulatan dan keutuhan antar unsur dalam materi bahan ajar, tetapi juga

ketajaman batasan ruang lingkup ke satu topik masalah tertentu, serta keberurutan

susunannya yang fasilitatif bagi perkembangan psikologis siswa; dengan demikian materi lebih mudah diserap dan terukur tingkat

keberhasilannya.

Sistematik menurut urutan, tingkatan, taksonomi, dan kategori tertentu.

(18)

NI LAI 0 KRI TERI A NI LAI 7

Tidak didasarkan pada keakuratan sumber, data dan narasumber yang pakar dalam bidang mereka.

Tingkat sejauh mana materi bahan ajar bersumber pada kebakuan buku, keahlian pengajar, dan kepedulian masyarakat.

Didasarkan pada keakuratan sumber, data dan narasumber yang pakar dalam bidang mereka.

3. CODI NG SHEET I I I : VI SI DAN MI SI PENDI DI KAN JAKSA

Kutipan pada Laporan Penelitian Standar Profesi Jaksa atas Visi, Misi, Fungsi,

Tugas, dan Wewenang

Crown Prosecutor Servicee

9

Pada visi, disebutkan bahwa visi

CPS adalah :

"

…menciptakan lembaga yang berwenang untuk melakukan

penuntutan, memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada

masyarakat, menjadi organisasi profesional yang menghargai semua

lapisan masyarakat, menerapkan standar kerja yang tinggi,

memberikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum, serta bekerja

sama dengan semua elemen dari sistem peradilan pidana… ".

10

Selanjutnya ditulis, CPS memegang peran utama dalam membantu

pemerintah untuk melaksanakan sistem peradilan pidana, antara lain mengurangi

kejahatan dan ketakutan yang ditimbulkan karenanya serta memastikan agar

keadilan ditegakkan sebaik-baiknya.

Adapun misi CPS adalah:

“...mendukung pelaksanaan penegakan hukum yaitu mengurangi

kejahatan, mengurangi rasa takut masyarakat terhadap kejahatan,

serta biaya sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Untuk

menegakkan hukum secara adil dan efisien serta untuk meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap hukum, maka CPS diharapkan

untuk: ...memberikan pelayanan penuntutan berkualitas tinggi yang

membawa para pelanggar kepengadilan; membantu mengurangi baik

kejahatan dan rasa takut terhadap kejahatan serta karenanya

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku

dengan melakukan pemeriksaan kasus yang konsisten, adil dan

independen, melalui presentasi yang adil, menyeluruh dan benar pada

tiap-tiap persidangan....”

11

9 Sebagaimana dikutip dari Crown Prosecutor Service, “Statutory Duties and Powers”. Diakses

18/ 07/ 2005 pada Online Documents: http: / / www.cps.gov.uk/ legal/ section1/ chapter_a.html 10

Laporan Penelitian Standar Profesi Jaksa, Noted. 11

(19)

Peneliti melakukan konfirmasi atas kutipan tersebut dan menjadikanya

sebagai landasan dari dimensionalitas visi dan misi guna menyorot dokumen yang

ada. Tabel 5 menggambarkan rincian kesembilan dimensi.

Tabel 5

Penjelasan Dimensionalitas Menurut Visi Dan Misi Kejaksaan

Pada Coding Sheet I I I .12

Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kompetensi

Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kompetensi

Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kompetensi

Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kemampuan

Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kompetensi

Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal upaya

BERSIKAP KONSISTEN Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kemampuan

BERSIKAP ADIL Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kemampuan

BERSIKAP INDEPENDEN Selalu atau hampir seluruhnya tersurat perihal kemampuan bersikap independen.

4. CODI NG SHEET I V : MANAJEMEN GAGASAN DAN PENGETAHUAN

Jika manajemen umum diartikan sebagai soal bagaimana membuat segala

sesuatunya selesai melalui pelibatan orang, maka manajemen gagasan dan

12

(20)

pengetahuan adalah soal bagaimana mengupayakan agar pengetahuan dapat

ditangkap manusia pembelajar dalam bentuk unit/ satuan atau objek/ sasaran yang

dapat menciptakan jejaring dengan sesama pembelajar dan

software/ machines

.

Manajemen pengetahuan (

knowledge management, KM

) sendiri sebenarnya ralatif

merupakan disiplin baru, sebagaimana dikemukakan oleh:

The Beep Knowledge

System

:

“…Knowledge Management (KM) is a relatively new field, but KM

practices around the world show a rich variety of lessons learned, and

the body of literature is growing rapidly. Organisations implementing

Knowledge Management generally have two objectives. First they

nurture the creation of new knowledge in order to speed up

innovation and gain a competitive advantage. Second, by sharing

existing knowledge they try to increase efficiency, i.e. prevent the

wheel from being reinvented too often. The cases described come

from large multinationals, as they are at the forefront of KM

developments…”

13

.

Dari kedua sasaran, yakni: pertama, penciptaan pengetahuan untuk

mempercepat inovasi dan keuntungan kompetitif, dan kedua, penyelenggaraan

suasana keberbagian pengetahuan untuk meningkatkan efisiensi; yang lebih terkait

dan relevan dengan pendidikan jaksa adalah sasaran kedua.. Manifestasi dari sasaran

kedua merupakan resultante saat pengetahuan ditangkap dan berubah menjadi

informasi yang merupakan kualitas

personalized

dan

localized.

14

Manakala

pengetahuan gagal diubah ke dalam informasi, yang dapat terjadi kemudian ialah

peristiwa depersonalisasi dan dekontekstualisasi makna. Logis, jika agenda yang

ditarik berkait dengan implikasi pembelajaran terhadap angkatan kerja di masa depan

ialah bagaimana agar pendidikan jaksa menciptakan personalisasi dan

re-kontekstualisasi pengetahuan.

Pendekatan pembelajaran niscaya menyertakan baik tujuan, perkembangan

modal manusiawi dan terapannya. Ketiganya dapat saling bertentangan, sebab

masing-masing dari ketiga hal mewakili intensi, asumsi dan metode yang berbeda

tentang bagaimana mencapai tujuan. Implementasi semacam ini dikongklusikan oleh

Arthur M. Harkins:

13

Lihat The Beep Knowledge System (2005), “eEconomy – work and skills”. Diakses 26/ 07/ 05 pada Online Documents: http: / / www.beepknowledgesystem.org/

14 Menurut pandangan psikologi kognitif yang menggunakan informational-processing

(21)

“…I nformation to knowledge transition: arrival of the desktop

computer and the cell phone begin to permit 'distance' relationships to

living, learning and working. Growth of the service industries and the

movement of many heavy industries to offshore locations.

I ntroduction of robots in some manufacturing and assembly

processes. I nformation management systems become necessary.

Postsecondary education and training are no longer options for many

types of jobs. Perhaps 5% of workers are Knowledge Workers. Some

of these are futurists…”

15

Dari ungkapannya, tersirat betapa dahsyatnya efek tekhnologi, utamanya

Internet

, yang mempu mendorong akselerasi pengetahuan. Tak ubahnya di dunia

industri, di mana pekerja harus bersedia berhadapan dengan pelanggan dan perilaku

pesaing yang tidak terprediksikan sebelumnya, jaksa pun harus bersedia berhadapan

dengan segala kemungkinan yang barangkali tidak terbayangkan terjadi di masa lalu

dan masa kini. Masuk akal jika kegamangan akan masa depan pendidikan dan

pelatihan jaksa harus dijawab dengan cara pandang dan perspektif yang disiapkan

untuk menanggapi hal-hal tak terprediksikan tersebut. Mempertimbangkan pemikiran

ini, relevan jika penelitian Analisis Isi atas berbagai dokumen pada Pusat Pelatihan

Jaksa ini menempatkan pendekatan

Performance/ Innovation Base Learning

(P/ IBL)

sebagai perspektif untuk menilai penyelenggaraan pendidikan jaksa sebagaimana

terangkum dalam Tabel 6 berikut penjelasannya.

Tabel 6

Penjelasan Dimensionalitas Berdasar Atribut Sistem

Pembelajaran ( Arthur M. Harkins, 2003) Pada Coding Sheet I V

NI LAI 0 ATRI BUT SI STEM PEMBELAJARAN NI LAI 7

Ada tidaknya agenda untuk mempersiapkan peserta didik

menampilkan suatu kinerja umum.

Purpose

Ada-tidaknya

bimbingan/ pendampingan untuk bertindak atau menunjukkan kinerja tertentu.

Tergantung pada baik-tidaknya persiapan kelas.

Approach

Mengandung porsi coach guna melakukan tindakan atau kinerja tertentu.

Terlaksana-tidaknya

perkuliahan..l Occurrence

Dibawakan-tidaknya kinerja yang dibutuhkan.

Penjenjangan dan penyeleksian didasarkan pada

Focus

Penjenjangan dan penyeleksian didasarkan pada ketersediaan potensi dan keterpenuhan

15

(22)

NI LAI 0 ATRI BUT SI STEM PEMBELAJARAN NI LAI 7

kluster usia atau senioritas tertentu.

persyaratan.

Didasarkan pada

kurikulum akademik.l Basis

Didasarkan pada praktik dan sistem pendukung yang disandarkan pada pengetahuan eksplisit.

Learning sequence Bersifat Event-driven, induktif.

Didasarkan pada ketersediaan kapasitas manusia dan instrumen pendukung.

Delivery platform Didasarkan pada kekuatan agent

dan ketepatan konteks.

Nara sumber sebagai pihak yang

menentukan apa yang hendaknya dipelajari oleh para peserta didik.

Learning initiative determinant Bersifat Event-driven,

induktif-kontekstual.

Tidak tergantung pada konteks, Context independent.

Context Tergantung pada konteks, Context

dependent, personalitas, dan bersifat inovatif.

Di dalam/ luar kelas. Delivery location Menggunakan perangkat jaringan.

Terstruktur di dalam

jadual. Delivery time

Memberi ruang bagi inisiatif peserta didik untuk menyediakan dan mengelola.

1. menyertakan kemampuan untuk menggunakan sistem pendukung kinerja.

2. tergantung pada kualitas sistem pendukung kinerja

I V. Hasil Analisis

Hasil analisis deskriptif mencakup hasil elisitasi melalui proses coding terhadap ke-110

dokumen. Hasil elisitasi coding setelah dikonversikan ke dalam skor terbobot melalui

pengoperasian

categorizing variables

dengan bantuan

software

SPSS For Windows

Release 10.01 (27 Oktober 1999) Standard Version.

(23)

Tabel 19

Rekapitulasi Hasil Penelitan dan I nterpretasi Tentatif

D. NO E. DIMENSI F. SIGNIFIK MEMBERI KAN TEKANAN PADA DI MENSI I NI.MEAN 27.8 MENUNJUKKAN TI NGKATAN YANG “AMAN” DAN BER-RI SI KO UNTUK MEMBAHASNYA.KALAU PUN ADA UPAYA UNTUK MENYENTUHNYA, HAL I NI MUNCUL PADA KONSI NYERI NG APRESI ASI F YANG BERBEDA ANTARA DI MAKALAH PESERTA DAN NOTULENSI.MENI LI K BAHWA DI MAKALAH PESERTA DENGAN MEAN YANG TERENDAH TETAPI MEMI LI KI SD YANG PATUT DI PERTI MBANGKAN (4.3), MEMANG TI DAK DAPAT LANTAS DI TARI K KESI MPULAN BAHWA APRESI ASI NYA RENDAH. NAMPAKNYA DI SPUTASI YANG TAJAM TERJADI DI ANTARA PARA PESERTA.SEDANG NOTULENSI, DENGAN MEAN TERTI NGGI TETAPI DENGAN SD YANG RENDAH (0.7), MEMPERLI HATKAN BAGAI MANA KOMONALI TAS PENDAPAT TENTANG DI MENSI I NI LEBI H DI APRESI ASI. BAGAI MANA KOMPETENSI DAN PROFI SI ENSI DALAM SUBSTANSI HUKUM LEBI H DI KUASAI OLEH PARA PAKAR.PERSOALAN I NDEPENDENCE

I NSTI TUSI ONAL MENJADI SOROTAN UTAMA KALANGAN PAKAR, SEBALI KNYA MASI H BERVARI ASI ANTAR PESERTA (GRASS ROOT). NAMPAK DI SI NI “HUKUM MEMANG

LL. NOTULENSI MEREPRESENTASI KAN PEMBI CARAAN YANG BERLANGSUNG DI FORUM.DALAM I KHWAL PENGHORMATAN (HAK) PRI BADI, NAMPAK BAHWA TERJADI KESAN YANG BERBEDA DI ANTARA KALANGAN PAKAR DAN AKAR RUMPUT.BEBERAPA KESI MPULAN LEBI H KOMPREHENSI F DAPAT DI TARI K DARI POLA DATA I NI. NAMPAKNYA MENJADI CONCERN

(24)

D. NO E. DIMENSI F. SIGNIFIK

DENGAN ANTI TESI S YANG TANGGUH DARI FORUM. SECARA SAMA DI ANTARA FORUM DAN PEMAKALAH. SEBAGAI MASUKAN BAGI PENDI DI KAN JAKSA.DARI HASI L I NI, NAMPAK BETAPA SENJANG ANTARA YANG DI AJARKAN DAN YANG DI SAKSI KAN DI LAPANGAN.

NNN. NAMPAKNYA PEMAHAMAN YANG BASED ON DATA LEBI H MENGGAMBARKAN KAI TAN ANTARA KENYATAAN YANG DI JELASKAN DAN PENJELASANNYA.SEBALI KNYA, BAHAN AJAR CENDERUNG AKSI OMATI K-DEDUKTI F. PEMBERI AN AKSENTUASI PADA KETERAMPI LAN DALAM OLAH LOGI KA DAPAT MEMBERI KONTRI BUSI UNTUK MENI NGKATKAN DAYA PI KAT DARI BAHAN AJAR. KOHERENSI ANTARA MAKSUD DAN TUJUAN DENGAN CARA MECAPAI NYA LEBI H TERGAMBARKAN PADA LAPORAN PENELTI I AN DI BANDI NGKAN PADA MAKALAH. SI MPOSI UM YANG MERELEASE HASI L PENELI TI AN DALAM BI DANG HUKUM AGAKNYA LEBI H BERBI CARA BANYAK BAGI PENYADARAN DARI PADA MAKALAH-MAKALAH YANG CENDERUNG DEDUKTI F.

VVV. 10 WWW. KETERJ MEMBANGUN ARGUMENTASI LEBI H NAMPAK PADA BENTUK LEGAL STATEMENT DARI PADA GAGASAN -GAGASAN YANG DI KERUCUTKAN UNTUK MENANGGAPI TEMA.

CCCC. MENGEMAS GAGASAN KE DALAM METODE PENYAMPAI AN.

(25)

D. NO E. DIMENSI F. SIGNIFIK YANG DI PERSYARATKAN UNTUK PENELI TI AN.

RRRRR. RELEVAN DENGAN KEBUTUHAN PENDI DI KAN.KOMPETENSI TENTANG PROFESI ONALI TAS ANTARA PARA PAKAR SENI OR YANG SUDAH “TERBUKTI PROFESI ONAL KARENA SENI ORI TASNYA”.NAMUN DATA YANG DI TELUSUR LEWAT RI SET BERKATA LAI N.

MMMMMM. SEBENARNYA

STANDARD OPERATI ON PROCEDURE

(SOP) SUDAH MEMADAI.SOALNYA TI NGGAL BAGAI MANA

MENGI MPLEMENTASI KAN.

(26)

D. NO E. DIMENSI F. SIGNIFIK SASARAN DAN BAGAI MANA MEN -DELI VER.

JJJJJJJJ. MASALAH “PENDEKATAN” MENJADI SOAL YANG LEBI H MUNCUL DALAM DI ALOG DI BANDI NG PADA TEKS.

QQQQQQQQ. KEBERPI JAKAN PADA DATA LEBI H HI DUP DAN MENGGUGAH DI BANDI NGKAN DENGAN PENDAPT-PENDAPAT YANG AKSI OMATI K. DI PERTANYAKAN.BUKANKAH POSTULATNYA, KARENA MENYANGKUT PESERTA DI DI K, BAHAN AJAR HENDAKNYA LEBI H FOKUS.MENGAPA YANG TERJADI LEBI H JELAS MUNCUL DALAM PENELI TI AN DI BANDI NG DALAM MAKALAH.PERSOALAN

MEMPERTAUTKAN ANTARA DATA DAN ASUMSI MENJADI HAL YANG PERLU DI PERHATI KAN UNTUK MENCAPAI EFEKTI VI TAS.

LLLLLLLLL. PERSOALAN TI NDAK LANJUT MENJADI HAL KRUSI AL.BANYAK PEMBI CARAAN YANG KADANG TI DAK PERLU DI DENGAR, TETAPI BANYAK DI BUTUHKAN DI ALOG UNTUK SALI NG MENDENGARKAN.

(27)

D. NO E. DIMENSI F. SIGNIFIK

ANT TI AN MEMUNCULKAN BERBAGAI GAGASAN

TANPA TI NDAK LANJUT AKAN MEMANDEGKAN SEMUA UPAYA

GGGGGGGGGG. IDEM DENGAN NO. 31 KEPAKARAN MENJADI PENTI NG BERKAI T DENGAN ADAGI UM THE

UUUUUUUUUU. IDEM DENGAN NO 33.

BBBBBBBBBBB. PENYELENGGARAAN FORUM DAN PENDALAMAN DATA MENJADI SOAL YANG SERI US.JADI BUKAN FORUM YANG ASAL MENGUNDANG BANYAK ORANG. PRAKTI KALI TAS DAN KI NERJA LEBI H MENGEDEPAN DALAM PERCAKAPAN FORUM DI BANDI NG DALAM KOMUNI KSI SATU ARAH SEBAGAI MANA DALAM MAKALAH.

JJJJJJJJJJ

PPPPPPPPPPP. KETERKAI TAN PENDI DI KAN YANG DI TEMPUH DENGAN KI NERJA DAN KI PRAH DI MSA DEPAN PERLU LEBI H DI DUKUNG DENGAN DATA.AGENDA MASA DEPAN BUKAN PENGULANGAN ATAU REPLI KASI MASA LALU.

Selain itu, dari hasil analisis deskriptif, maka muatan Prinsip-Prinsip Antar Jenis

Dokumen tergambar sebagai berikut:

a. Respect for The Law

(28)

hanya para pemegang otoritas yang berkepentingan dengan implementasi

kebijakan sajalah yang berupaya untuk menyentuh, sebagaimana terjadi

pada dokumen Konsinyering.

b. Fairness

Muatan dimensi

Fairness

memiliki tingkatan berbeda antara yang terdapat

pada Makalah Peserta dan Notulensi. Meski terkesan kadar muatannya

rendah, pada Makalah Peserta terjadi tarik-ulur pandangan di antara

pemakalah sehingga tidak muncul satu gambaran yang homogen apalagi

seragam. Sebaliknya, pada notulensi muatan dimensi ini relatif tinggi; pun

disertai dengan tingkat disputasi yang rendah. Artinya, relatif terdapat

kesepakatan perihal pentingnya dimensi ini.

c. I ndependence

Prinsip

independence

lebih terkesan sebagai diskursus di antara para pakar

hukum seturut dengan kompetensi dan profisiensi mereka dalam substansi

hukum. Persoalan

independence

institusional dijadikan sorotan utama di

kalangan para pakar, sehingga terjadi pemaknaan yang bervariasi di antara

para pengajar. Terkesan di sini, seolah “hukum memang bersifat langitan”.

Kesulitan muncul manakala para akademisi berusaha menerjemahkan

pernyataan-pernyataan hukum ke dalam bahan ajar. Yang kemudian terjadi

tidak saja kesulitan menerjemahkan, tetapi juga kemunculan

multi-interpretasi di kalangan akademisi.

d. Respect For Persons

Dari notulensi, penghormatan (hak) pribadi menjadi sumbu perdebatan yang

menghadap-hadapkan antara kalangan pakar, di satu pihak; dan para peserta

forum dengar pendapat, di pihak lain. Pada dokumen Makalah Pembicara,

selain relatif kurang ada perhatian tentang

Respect For Persons

, juga tidak

terdapat variasi kadar isi. Ini menunjukkan, pada dokumen Makalah

Pembicara tidak cukup porsi yang memberikan tempat bagi muatan prinsip

ini. Hal yang sebaliknya terjadi pada dokumen lain, utamanya Notulensi.

e. Diligence- Efficiency dan I ntegrity

(29)

pemakalah. Di sini tesis yang teoritik-deduktif berhadapan dengan antitesis

yang lebih empirik-induktif dari kalangan peserta forum dengar pendapat.

f. Accountability & Transparency

Konfigurasi ini sungguh menarik bahkan relevan sebagai masukan penting

bagi pendidikan jaksa, sebab nampak betapa senjang antara bahan yang

diajarkan di kelas dan yang dihayati dan disaksikan para peserta didik di

lapangan.

g. Responsibility Of Tribunal Head

Evidensi yang didasarkan pada data lebih menggambarkan kaitan antara

anggapan tentang kehidupan korp kejaksaan dan kenyataan di lapangan.

Bahan ajar cenderung aksiomatik-deduktif manakala dikontraskan dengan

hasil penelitian atau studi empiris. Boleh jadi jika bahan ajar diaksentuasi

dengan keterampilan olah logika, maka ia akan lebih kontributif bagi

peningkatan Bahan Ajar.

h. Tujuan I nstruksional

Koherensi antara maksud dan tujuan, utamanya pada cara pencapaiannya,

lebih tergambar pada laporan penelitian dibandingkan makalah peserta.

Simposium yang me-

release

hasil penelitian dalam bidang hukum agaknya

lebih banyak berbicara bagi upaya penyadaran dari pada makalah-makalah

yang cenderung deduktif.

i. Keterjabaran

Jalinan fakta-opini yang membangun argumentasi lebih terintegrasi pada

bentuk-bentuk

legal statement

dari pada bentuk-bentuk gagasan yang

dikerucutkan sebagai tanggapan atas tema yang dicanangkan. Di sini Surat

Keputusan/ Juklak dengan segala rujukannya lebih mengandung penjabaran

dibandingkan makalah peserta.

j. Relevansi Dengan Kebutuhan Peserta Didik, Kesesuaian Dengan Kondisi

Masyarakat, Kandungan Etik, dan Sistematika

(30)

kondisi masyarakat dan kandungan etik, pun harus dikemas ke dalam

sistematika yang memadai. Mengaitkan ketiganya, penguasaan

academic

writing

menjadi prasyarat yang sangat menunjang profesi jaksa.

k. Kredibilitas Sumber

Risiko yang besar jika tidak kredibel lebih berlaku pada SK/ Juklak dari pada

makalah peserta. Namun justru di sini masalahnya. Sebab tidaklah mungkin

kualitas produk hukum pada posisi hilir, sebagaimana halnya SK/ Juklak, dapat

dijamin tanpa menyertakan produk hukum pada posisi hulu yang berlangsung

selama masa pendidikan profesi. Profesionalitas jaksa diharapkan tidak

semata dilandaskan pada kinerja sebagai

user

atas produk hukum yang ada,

tetapi hendaknya juga kompeten untuk mengolah produk atau bahkan

menciptakan produk melalui, misal,

judicial reviews

.

l. Kompetensi Melakukan Tuntutan dan Kompetensi Melakukan Pelayanan

Publik

Hal ini sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan jaksa sebagaimana

dikemas dalam Bahan Ajar. Kompetensi melakukan tuntutan dan melakukan

layanan publik semestinya diperdalam dan diberi porsi yang lebih besar

mengingat relevansinya dengan pembentukan kompetensi. Yang justru

menarik dikupas, khususnya pada kompetensi melakukan layanan publik,

ialah bahwa kompetensi ini tidak mendapatkan porsi yang memadai pada

Bahan Ajar. Eksplorasi bahan sebagaimana dilakukan dalam dialog yang

direkam dalam Notulen hendaknya ditindaklanjuti dengan memformulasikan

ke dalam bahan Ajar.

m. Kompetensi Profesional

Terdapat perbedaan antara muatan pemahaman tentang profesionalitas pada

para pakar senior yang sudah “terbukti profesional karena senioritasnya”, di

satu pihak; dan data hasil penelitian, di pihak lain. Besaran

standard of

deviation

yang sama-sama 0 pada kedua jenis dokumen menunjukkan

komonalitas muatan, sehingga justru kian mempertegas kongklusi tentang

perbedaan di antara keduanya.

n. Kemampuan Menerapkan Standar Kerja

(31)

sinyalemen ini; meski harus tetap diingat bahwa nilai

standard of deviation

di

sini relatif besar. Artinya tidak semua Surat Keputusan/ Juklak berlaku sebagai

SOP. Namun, perbandingan

mean

Surat Keputusan/ Juklak dan Makalah

Peserta lebih tepat dibaca bahwa masalah substansial terletak pada

bagaimana mengimplementasikan SOP ke dalam praktik.

o. Kemampuan Kerjasama Dengan Semua Elemen Peradilan

Ikhwal ini –kemampuan bekerjasama dengan elemen-elemen peradilan lain--

sama-sama tidak didalami (

mean

= 25.25). Artinya, ikhwal ini masih

merupakan daerah permasalahan yang tak disentuh, tak bertuan, atau

enggan dibicarakan karena berisiko tinggi. Disputasi tentang pembagian

kekuasaan negara barangkali menjadi akar masalahnya.

p. Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat, Bersikap Konsisten, Bersikap

Adil, dan Bersikap I ndependen

Agenda pembicaraan yang dipesankan kepada para pemakalah agaknya

bergeser dalam realisasinya di forum. Karena kesenjangan, selain pengayaan

yang dimunculkan, forum dialog semacam ini menjadi sangat penting dan

perlu ditingkatkan frekuensinya. Hal ini diperlukan khususnya berkait dengan

persoalan “Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat“, “Bersikap Konsisten“,

“Bersikap Adil“, dan “Bersikap Independen“.

q. Purpose

Kontras kadar muatan

Purpose

antara Makalah Peserta dan Makalah

Pembicara menunjukkan perbedaan tingkat ketajaman dalam sasaran dan

bagaimana cara merealisasikan. Makalah Pembicara lebih relevan dengan

tema dibandingkan dengan Makalah Peserta.

r. Approach

Masalah “pendekatan” atau

Approach

menjadi soal yang lebih muncul dalam

dialog dibanding pada teks makalah. Dalam dialog (Notulen) muatan

pendekatan lebih akomodatif dibandingkan dengan muatan pendekatan

dalam makalah.

s. Occurrence

(32)

dengan pendapat-pendapat yang aksiomatik-deduktif. Hal ini muncul ketika

dibuat perbandingan antara muatan pada dokumen Notulensi dan Laporan

Penelitian, di satu pihak; dan Makalah Peserta, di pihak lain.

t. Focus

Bahwa

Focus

pada Laporan Penelitian lebih intensif dibandingkan Bahan Ajar

perlu dipertanyakan. Semestinya, karena menyangkut peserta didik, bahan

ajar hendaknya lebih fokus. Faktanya, yang terjadi adalah sebaliknya.

u. Basis

Orientasi basis lebih jelas muncul pada dokumen Laporan Penelitian dibanding

Makalah Peserta. Persoalan bagaimana mempertautkan antara data dan

asumsi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan kalau yang hendak

dicapai adalah efektivitas.

v. Learning Sequence dan Delivery Platform

Persoalan tindak lanjut menjadi hal krusial. Banyak pembicaraan yang kadang

tidak perlu didengar, tetapi banyak dibutuhkan dialog untuk saling

mendengarkan. Hal ini, selain berfungsi mempertautkan orientasi, juga

membentuk

platform

bersama. Dari sini ditunjukkan, bibit-bibit gagasan yang

tercatat dalam notulensi nampaknya lebih menggugah ke arah proses

pembelajaran profesi dibandingkan dengan yang terdapat dalam Makalah

Peserta.

w . Learning I nitiative Determinant dan Context

Perbandingan muatan tentang sejauh mana telah terjadi

learning initiative

determinant

menunjukkan bahwa langkah yang lebih operasional menjadi hal

yang seharusnya lebih serius diberi tekanan dalam kaitan dengan kerangka

pendidikan. Demikian pula, kontekstualisasi materi. Memunculkan berbagai

gagasan tanpa tindak lanjut mungkin malahan akan memandegkan semua

upaya kepedidikan. Praktik dan

learning by doing

menjadi hal lebih penting

sehubungan dengan corak pendidikan profesi ini.

x. Person Dependency dan Delivery Location

(33)

tempat di mana proses pendidikan dikerjakan/ berlangsung. Artinya,

pertanyaan tentang siapa yang menggagas menjadi hal penting terkait

dengan upaya kependidikan. Di sini, peneladanan dan

modelling

menjadi

faktor penting untuk dijadikan pertimbangan.

y. Delivery Time dan Performance Determinants

Penyelenggaraan forum dan pendalaman data menjadi soal yang serius. Jadi,

bukan forum yang asal mengundang banyak orang, tetapi yang

memungkinkan terjadinya dialog yang tulus, pun menyangkut persoalan

praktikalitas dan kinerja.

z. Workforce I mplications

Keterkaitan pendidikan yang ditempuh dan kinerja serta kiprah di masa depan

perlu lebih didukung dengan data. Aganda masa depan bukan pengulangan

atau replikasi masa lalu. Oleh sebab itu bacaan terhadap

trends

menjadi hal

yang lebih penting dibandingkan dengan pengulangan atas kebiasaan yang

sedang berjalan.

V. Kesimpulan dan Rekomendasi.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis studi dokumen sebagaimana tersebut

sebelumnya, adalah sebagai berikut:

(34)

2.

Integritas, profesionalitas, dan efisiensi dalam menjalankan profesi jaksa

,

merupakan

pokok pembahasan yang sangat sering dinyatakan di dalam berbagai forum. Ini perlu

menjadi pokok penting dalam pendidikan dan pelatihan jaksa. Dengan demikian,

diharapkan terjadinya transparansi dan akuntabilitas dalam Kejaksaan. Dalam

kenyataannya, bahan ajar untuk peserta pendidikan dan pelatihan jaksa tidak

terfokus pada pokok pembahasan tersebut.

3.

Mengenai pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan dan pelatihan jaksa,

pengetahuan yang “

based on data”

lebih menggambarkan kaitan antara kenyataan

yang dijelaskan dan penjelasannya. Sebaliknya, bahan ajar dalam pendidikan dan

pelatihan jaksa cenderung aksiomatik-deduktif. Pemberian aksentuasi pada

keterampilan dalam olah logika dapat memberi kontribusi untuk meningkatkan daya

pikat dari Bahan Ajar. Dengan berpijak pada data, maka peserta pendidikan dan

pelatihan jaksa, lebih “hidup” dan menggugah dibandingkan dengan

pendapat-pendapat yang aksiomatik. Suasana tersebut semakin berkembang baik jika

kebutuhan dialog untuk saling mendengarkan terpenuhi dengan baik pula.

4.

Surat Keputusan maupun Petunjuk Pelaksanaan yang menjadi acuan pelaksanaan

pendidikan dan pelatihan jaksa lebih nampak merupakan bentuk

legal statement

dibandingkan berupa gagasan-gagasan yang dikerucutkan untuk menanggapi

tema-tema pendidikan dan pelatihan sesuai dengan integritas, profesionalitas, dan efisiensi

dalam menjalankan profesi jaksa.

5.

Kompetensi untuk melakukan penuntutan merupakan hal yang sangat relevan

dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan jaksa. Kompetensi semacam ini yang

mestinya diberi aksentuasi. Berkaitan dengan hal tersebut, sebenarnya

standard

operation procedure

(SOP) sudah memadai bahkan standar profesi jaksa pun sudah

diusulkan. Persoalannya terletak pada cara mengimplementasikan.

6.

Persoalan langkah operasional dalam menjalankan profesi jaksa menjadi hal yang

serius dalam kerangka pendidikan. Memunculkan berbagai gagasan tanpa tindak

lanjut akan memandegkan semua upaya kependidikan. Praktik dan

learning by doing

menjadi hal penting.

(35)

Agenda-agenda yang akan dilakukan oleh Kejaksaan di masa depan pun menjadi

pengulangan atau replikasi masa lalu.

8.

Untuk bersikap konsisten, yang seharusnya diupayakan selama proses pendidikan

profesi adalah pembentukan kompetensi melakukan pelayanan publik dan melakukan

tuntutan. Melalui pemunculan kompetensi melakukan pelayanan publik selama proses

pendidikan, para jaksa diharapkan dapat lebih mampu bersikap adil. Dengan catatan

bahwa para calon jaksa mampu meningkatkan kompetensi membangun kepercayaan

masyarakat dan menerapkan standar kerja, niscaya mereka lebih dipersiapkan untuk

memiliki kemampuan bersikap independen.

9.

Prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten memiliki

karakteristik generik seperti:

legislation

,

judication

, dan

execution

. Setiap tindakan

korporasi hendaknya melibatkan liabilitas yang saling terpisah, sehingga setiap

tindakan harus benar-benar saling terpisah. Derajat dari setiap tindakan perlu diikat

ke dalam seperangkat kebijakan yang mengikat karakter dari setiap kelas tindakan

untuk mencegah terjadinya ketumpang-tindihan dan kerusakan sistem. Sebuah

ikatan, yang menjamin keterlaksanaan jabatan terhadap kemungkinan pengrusakan

baik terhadap integritas pribadi pelaku maupun properti, harus diterapkan baik ke

dalam konsepsi jabatan, takaran atau tolok produk dari jabatan; sehingga setiap

langkah atau tahapan senantiasa dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Komposisi prediktor-prediktor atas misi Bersikap Independen, Adil, dan Konsisten

menyiratkan kritik tajam terhadap fakta, misalnya, bahwa secara institusional

kejaksaan berada di bawah payung eksekutif. Di sini institusionalisasi korporasi di

bawah korporasi lainnya (dalam contoh: kejaksaan sebagai salah satu kementerian

dari lembaga eksekutif presiden) sama sekali tidak menjawab persoalan efisiensi dan

efektivitas kelembagaan.

Referensi

Dokumen terkait

18 Dharma Sentosa Marindo Jasa Pembuatan Kapal Laut Tanjung Uncang 19 Drydocks World Pertama Industri Kapal dan Galangan Kapal Tanjung Uncang 20 Galangan Putra Tanjungpura

Lopez Semua Guru Sains Semua Guru Matematik Semua Guru Bahasa Inggeris 13 Jawatankuasa PEBEL Pengerusi Timbalan Pengerusi Penyelaras Setiausaha Ahli Pn. Azizah bt Yusoff

Perkara yang boleh dicontohi oleh pelajar daripada perjalanan hidup Saidina Abu Bakar as-Siddiq:.  berani

Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan jumlah total leukosit dan neutrofil pada tikus wistar yang terpapar asap rokok yang diberikan vitamin E

Hasil Penelitian: Pengetahuan remaja putri tentang penanganan dismenorea primer dengan kompres hangat se- bagian besar adalah kategori baik (76%),yang meliputi tentang

Perumusan Masalah Pengembangan Penelitian Perencanaan Produksi yang lebih baik Hubungan Tingkat Error dengan Total Cost...

Kantor kelurahan yang jaraknya paling jauh dari kantor kecamatan adalah Desa Lirang yaitu berjarak 13 km sedangkan yang paling dekat adalah Desa Pintu Kota

1) Siswa kurang memahami bacaan dari awal. 2) Dengan membaca cepat, siswa tidak bisa menemukan makna bacaan secara mendalam karena proses membaca dilakukan dengan