• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etis dan Tidak Etis dalam Perjanjian Lam (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etis dan Tidak Etis dalam Perjanjian Lam (1)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Yane Octavia Rismawati Wainarisi

NIM : 1400101

Data Buku : Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7 11-33 The Ethics Of Eden : Truth Telling In Genesis 2-3 oleh Robert P. Gordon

(2)

Jadi seharusnya, jika Adam dan Hawa tidak menyentuh atau memakan buah itu, mereka tetap memiliki akses masuk ke taman dan untuk hidup selamanya. Ular memakai kata-kata Allah sendiri “kamu pasti tidak akan mati” (3:4) untuk mengelabui mereka yang memang telah menyimpan harapan lebih sebelumnya. Padahal sebenarnya, Allah berkata bahwa mereka akan mati. Tawaran menarik diberikan ular adalah bahwa mereka jauh dari kematian, mata mereka akan terbuka, dan akan memiliki pengetahuan seperti Allah. Kata-kata ular ini jika dilihat dari tinjauan Pitchard memang menunjukkan bahwa ular berhasil memberikan cara agar manusia menjadi sama dengan Allah atau istilahnya salah satu bagian dalam pengadilan Allah di surga (p. 26-28).

Berbeda dengan Barr dan Moberly, Mettinger muncul dengan idenya sendiri. Mettinger menggunakan metode komparasi dalam studinya. Baginya, kebijaksanaan atau kekekalan hanyalah ide baru dalam kisah Eden. Allah mengatur Adam untuk masuk dalam sebuah tes dan memperhadapkan mereka dengan pilihan yang radikal. Jika Adam berhasil melaluinya, ia akan mendapat hadiah kekekalan. Keberadaan kedua pohon itu ternyata merupakan sarana untuk menguji ketaatan mereka. Adam gagal untuk mengerti hati dan suara Tuhan dengan lebih memilih untuk mendengar suara istrinya. Kematian dan kekekalan merupakan konsekuensi dari ketidaktaatan (Kej 2-3). Ular hanyalah agen Allah untuk menguji manusia. Dalam seluruh PL tergambar jelas tentang “Ujian” dan “pilihan” yang menghasilkan ketaatan atau ketidaktaatan. (p.29-31)

Kita lihat, bagaimanapun juga, dosa selalu memiliki daya tariknya tersendiri. Dan manusia acapkali begitu tidak berdaya dan terpikat olehnya. Anehnya, banyak pengalaman dalam Alkitab yang menggambarkan kelemahan atau tindakan salah manusia tidak disebutkan dengan kata “dosa”. Hal ini karena masyarakat Yahudi telah paham benar bahwa “tindakan salah” merupakan dosa tanpa perlu rekonfirmasi. Klaim bahwa manusia itu tidak sempurna (Kej 2-3) sehingga mereka bisa saja jatuh perlu dipertanyakan. Sepertinya telah ada kontradiksi antara Kej 2-3 dengan Kej 1. Benarkah Allah telah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang “sungguh amat baik” dan Allah puas dengan ciptaan-Nya itu? Atau Allah telah gagal dalam menciptakan manusia sehingga manusia melawan kepada-Nya.

(3)

kepada Adam tentang “kematian” menjadi memiliki makna yang kontradiksi dengan makna sebelumnya. Dalam hal ini ular memprovokasi Hawa bahwa sebenarnya Allah telah berbohong kepada mereka. Sikap seolah-olah netral yang ditampilkan ular antara Allah dan manusia ternyata telah menjerumuskan manusia kepada kejatuhan. Peringatan Allah dalam Kej 2:17 merupakan sebuah peringatan yang serius. Tidak hanya makan, menyentuh pun dapat mengakibatkan kematian. Keseriusan ini justru tergambar dalam kata-kata Hawa. Di lain pihak, sebenarnya, ketika Hawa diprovokasi, Allah bisa saja secara langsung menghentikan ular, namun di sinilah ketaatan Hawa diuji. Dan Hawa, terprovokasi.

Agustinus melihat tindakan ketidaktaatan Hawa ini sebagai bentuk rasa tidak puas manusia terhadap diri sendiri. Karena itu, tawaran untuk menjadi sama dengan Allah merupakan tawaran yang baik dan tentu sangat menyenangkan bagi mereka. Kisah menyedihkan tentang efek dosa ini berlanjut. Dosa Adam dan Hawa memiliki konsekuensi pada semua keturunan manusia dan kesadaran akan keberdosaan disertai ratapan tergambar dalam seluruh PL. Mereka diusir dari taman, mengalami permusuhan dengan lingkungan, kehilangan kesenangan dan jaminan keamanan, lebih parah lagi mereka kehilangan harapan untuk dapat hidup selamanya. Harapan bahwa mata mereka akan “terbuka” justru membawa mereka pada fakta memalukan tentang ketelanjangan mereka. Yang jelas bahwa dalam PL, dosa dan kematian seolah merupakan dua hal yang tidak terpisahkan seperti yang tertera jelas dalam Kej 2-3. Banyak ahli menilai bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa ini terjadi karena Hawa. Levison bahkan menegaskan bahwa Istri yang bertabiat buruk akan membawa dampak buruk bagi suaminya. Bagi Breugmann, PL dari kacamata PB memiliki arti ganda karena kekayaan rasa dan kiasan yang ada di dalamnya. Karena itu kekayaan PL ini diterima walau mungkin dalam cara yang berbeda dari penafsiran tradisional.

(4)

kasih-Nya kepada manusia dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ada sebuah istilah menarik yang digunakan oleh Gordon, “Justru semakin dosa menyebar, semakin menyebar pula kasih karunia Allah”.

34-55 Desire For Ethics atau Ethics Of Desire? By Diana Lipton

Dalam segala keterbatasan pemahaman bahasa, merupakan sebuah keterkejutan tersendiri bagi pelapor ketika membaca judul ini. Kata “desire” dalam judul ini memberi gambaran tentang adanya suatu keinginan kuat dari subjek terhadap sesuatu. Keinginan kuat bagi pelapor merujuk kepada sebuah pemikiran tentang nafsu. Tapi benarkah sub judul ini berkaitan dengan nafsu? Berdasarkan pemahaman ini pelapor memperoleh judul dari sub-bab ini yaitu nafsu untuk beretika atau etika nafsu. Lepas dari apakah penterjemahan judul ini salah atau benar, isi dari bagian ini sepertinya justru telah lebih mengejutkan pelapor.

Beban dari penulis judul ini adalah bagi pengajaran anak. Hal ini penting, mengingat perkembangan pengetahuan pada anak-anak dan pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul dari mereka tentang peristiwa-peristiwa dalam Alkitab. Menurut pelapor, tidak hanya anak, setiap orang yang membaca dan mengkaji pun bertanya. Tapi bagaimana cara menyesuaikan fakta konteks di balik narasi Alkitab terhadap setiap penanya dalam berbagai usia?

Lipton mendasarkan kasus untuk studinya tentang judul ini pada Kej 39. Bila kurang awas, kita akan terjebak pada perasaan aneh ketika membaca tema ini dan pelapor sendiri mengalaminya. Bisa jadi ini, masalah budaya.

(5)

berlaku secara legal dalam masyarakat. Orang yang masuk dalam satu komunitas tertentu harus juga taat terhadap norma atau hukum yang berlaku dalam komunitas tersebut. Dengan kata lain, hukum bisa jadi merupakan tanda pengenal dan bentuk ideal suatu kebudayaan. Hukum merupakan tema sentral dalam narasi Alkitab meski dalam praktisnya sering bersifat fleksibel. Penerapan yang fleksibel ini sepertinya memang telah menurunkan derajat dari hukum tersebut, namun inilah bukti keterbatasan manusia. Apapun bentuknya, narasi Alkitab telah mencoba dengan berbagai karakter yang kompleks agar poin utama dari kitab Hukum tetap dapat tetap diterapkan. (p.39).

Ada berbagai isu penting yang muncul dalam narasi Alkitab tentang etika kehidupan bangsa Israel yang perlu diperhatikan oleh orang percaya di zaman sekarang, selain karena sepertinya bermakna yang ambigu, isu-isu yang dibahas dalam narasi Alkitab ternyata bukanlah hal yang cukup layak untuk dijadikan teladan. Hal ini terus dipertanyakan, dibahas dan diusahakan agar diperoleh aplikasi yang tepat secara etis. (p.40). Pelapor sendiri sebenarnya, dan banyak orang lain juga mulai mempertanyakan tentang peran tokoh-tokoh Alkitab dalam PL yang memang dalam kasus-kasus mereka, tidak cukup layak untuk ditiru. Abraham yang diakui sebagai bapa orang beriman contohnya atau Daud yang namanya dikenang dan dibanggakan sampai saat ini. Secara moral apalagi dalam kaitannya dengan etika Kristen masa kini, bagaimana mungkin orang-orang ini dapat dijadikan model etika? Berbagai pertanyaan tentang PL diajukan dalam kaitannya dengan etika dan ini menuntut tidak hanya penerapannya bagi masa kini namun eksegesis berdasarkan konteks asli pada fakta Alkitab harus disampaikan tanpa perlu ditutup-tutupi. Manusia Kristen saat ini perlu bersikap lebih dewasa, bahwa bagaimanapun gelapnya, inilah fakta PL tentang perilaku normatif para tokohnya. Pertanyaannya adalah bagaimana Kristen masa kini menentukan tindakan apa yang harus ditempuh secara etis dalam menangani kasus yang serupa?

(6)

mengajak orang lain yang bukan suaminya untuk tidur bersama. Lipton sendiri menunjukkan tiga macam kesalahan dari nyonya Potifar dalam tindakannya itu; menggoda Yusuf untuk bersetubuh, berzinah atau membuat suaminya cemburu dengan menggoda Yusuf.

Sub judul ini sangat membuat pelapor pusing dan terkaget-kaget. Selama ini, bagian-bagian ini memang menimbulkan pertanyaan namun tanpa ada tindak lanjut dengan penelitian. Namun di lain pihak, Lipton mencoba mengungkap kemungkinan lain di balik kasus ini, mungkin dari sisi feminis, yaitu adanya keinginan istri Potifar untuk melanjutkan garis keturunan dari suaminya, Potifar. Dan ini sama dengan tindakan donasi sperma atau rahim agar memiliki keturunan. Nyonya Potifar dalam hal ini justru memiliki niat baik bagi suaminya, yaitu untuk mengamankan atau berniat melestarikan nama suaminya. Tamar juga melakukan hal yang sama agar garis keturunan dari sang suami tetap ada, maka ia tidur dengan Yehuda, mertuanya. Tindakan yang diambil kedua perempuan ini sama, namun hasilnya berbeda. Tamar berhasil mendekati Yehuda sementara Istri Potifar tidak, karena pendekatan yang mereka lakukan juga berbeda. Ini juga yang terjadi pada Abraham dan Sarah saat mereka menantikan anak. Sarah yang tidak sabar akhirnya menyuruh Abraham suaminya untuk “tidur” dengan Hagar budak mereka untuk memakai rahim Hagar sebagai tempat penitipan Sperma sehingga dapat meneruskan garis keturunan mereka. (P.41-43). Jadi titik fokus mereka terletak pada bagaimana garis keturunan mereka dapat berlanjut, bukan pada etis tidaknya tindakan yang mereka lakukan. Ini masalah budaya, bahwa nama atau silsilah memang sangat penting.

(7)

kepada si istri.

Mungkin awalnya tidak ada ketertarikan dari istri Potifar karena Yusuf ketika diambil menjadi budak masih muda belia. Namun pertambahan usia dan pertumbuhan tubuh Yusuf sepertinya telah mempesona nyonya Potifar ini. Dan ia menggoda Yusuf untuk tidur dengannya. Ajakan untuk tidur ini sendiri telah dilihat Lipton dari berbagai segi: ia menggunakan kekuasaannya sebagai nyonya rumah agar Yusuf mau memenuhi nafsunya atau ia hanya ingin mengajak Yusuf tidur dan membuat kesepakatan dengan Yusuf. Apapun itu, yang jelas adalah bahwa tindakan nyonya Potifar tidak hanya mengarah kepada tindakan asusila namun juga melibatkan kepentingan ras dan politik. Selain itu, timbul pertanyaan, kemana Potifar pergi? Mengapa ia meninggalkan istrinya? Mungkinkah istri Potifar ini kesepian, ditinggalkan dan karena itu sulit mendapatkan keturunan sehingga ia memutuskan untuk menggoda Yusuf?

Apapun alasannya, ada perbedaan budaya antara nyonya Potifar, Yusuf dan kita pada masa kini. Bisa jadi nyonya Potifar justru telah bertindak berdasarkan budayanya. Tapi kebanyakan kita menilai tindakan nyonya Potifar ini berdasarkan budaya kita dan inilah yang menimbulkan tanggapan negatif terhadap beliau. Dan menilai positif kepada Yusuf yang tetap bertahan pada budayanya dan menjadi orang asing di tanah Mesir. Namun masih ada kemungkinan tafsiran lain. Yusuf melakukan tugasnya sebagai budak berkaitan dengan upaya penerusan garis keturunan, namun di tengah jalan, ia teringat dengan budayanya sendiri1. Dan

inilah yang membuat Yusuf memutuskan untuk meninggalkan nyonya Potifar dan bajunya.

Lalu bagaimana dengan perasaan nyonya Potifar? Kata “mempermainkan” dalam bahasa Ibrani memiliki makna polisemi yang berarti tidak hanya mengejek, menertawakan, menari, tetapi juga memiliki makna lain dalam kaitannya dengan seks, yaitu bercumbu (peristiwa Ishak dan Ribka yang disaksikan oleh Abimelek dalam Kej 26:8). Dalam benak istri Potifar, bisa jadi Yusuf yang memang telah dibeli oleh Potifar memang dibeli bukan hanya untuk menjadi pelayan rumah, dalam hal ini makanan, namun juga seks. Ketika istri Potifar mengadukan tindakan Yusuf, ia telah memanipulasi kejadian yang sebenarnya. Bukan tentang budaya, namun tentang hasratnya, tentang alasan mengapa ia berteriak. Teriakan

(8)

istri Potifar bukan karena ingin minta tolong kepada sida-sida lain karena kasus perkosaan yang dilakukan oleh Yusuf. Namun karena sukacita yang ia rasakan. Pirson mengkaji kata “teriakan” ini dan menemukan konotasi bahwa ternyata istri Potifar ini sedang berada dalam keadaan hampir orgasme atau malah orgasme. Atau tafsiran lain mengatakan bahwa tangisan ini terjadi karena istri Potifar malu dan marah terhadap penolakan Yusuf. Tangisannya bermakna ambigu, antara sakit hati atau sukacita (p.52-54). Bagaimanapun juga, untuk menutupi fakta ini, maka harus ada korban. Kasus dimana Yusuf meninggalkan nyonya Potifar membuat dia dikeluarkan dari rumah Potifar dan masuk ke dalam penjara, karena ia telah menolak otoritas Potifar (p.52). Ini nafsu dalam beretika atau etika dalam bernafsu?

56-70 Psalm 101 and The Ethics Of Kingship oleh Andrew Nein

Dalam kitab Ibrani, raja merupakan sumber perhatian. Pada mereka ada harapan dan ketakutan, pemujaan, keadilan dan masa depan. Dan dalam Mazmur 72 dan 101 terdapat isu etis tentang standar terbaik bagi raja-raja. Lebih dari itu, Mazmur 101 menggambarkan tentang tanggung jawab moral orang Israel. Mazmur, kitab yang terkenal dengan kitab puisi, selama tiga sampai empat dekade terakhir, oleh para ahli lebih diselidiki sebagai kitab etika. Kitab ini juga ternyata memiliki kontribusi besar bagi dunia Kristen masa kini.

(9)

pencitraan Allah. Anderson mengkritisi tulisan Barton dengan mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan Barton, kurang membebaskan. Barton telah melanjutkan marginalisasi kaum perempuan, miskin dan orang asing. Apapun itu, sebenarnya bagi Mein, Barton telah memberi perhatian khusu bagi pentingnya kelompok sosial bagi etika.

Lepas dari Barton, Mein membagi Mazmur 101 dengan tiga pertanyaan: apa norma etika yang ditemukan secara eksplisit pada bagian tersebut, apa dasar rasionalnya, apa nilai yang dipromosikan? Mazmur 101 sebagai mazmur kerajaan merupakan mazmur yang paling konsisten dalam menjawab pertanyaan moral. Mazmur ini mengatur standar bersikap raja bagi pemerintahan yang baik. Penulis dari Mazmur ini kelihatannya merupakan seseorang yang memiliki kekuatan hukum kuat di Yerusalem, selain karena, suasana yang digambarkan dalam teks ini sepertinya mengarah kepada upacara kerajaan Yehuda.

Terdapat beberapa penafsiran penting secara leksikal terhadap teks ini yang mengindikasikan beberapa hal; bahwa Mazmur ini dibuka dengan pengertian bahwa penulisnya memiliki sebuah pemahaman yang sangat baik terhadap kemuliaan ilahi yang tercermin dalam peraturan-peraturan manusia. Mazmur ini dibuka dengan pemahaman antara kualitas moral yang diperlihatkan oleh raja dan ekspektasinya terhadap orang-orang yang melayaninya. Dilanjutkan dengan penekanan bahwa raja adalah orang yang memiliki integritas hati dan pikiran. Ayat 3 menghasilkan sedikit kebingungan tentang siapa sesungguhnya yang tidak ingin dilihat raja, orang yang melakukan pelanggaran atau mereka yang jatuh secara tidak sengaja dalam kesalahan. Ayat 4 menggambarkan tentang pandangan raja terhadap dirinya sendiri yang tidak mentolerir orang-orang jahat (orang-orang yang tidak murni hatinya). Ayat 5 menggambarkan tentang tindakan yang salah secara spesifik. Ayat 6 dan 7 memberi penekanan tentang kejujuran dan integritas. Ia menolak orang-orang yang munafik atau pendusta. Ayat 8 memberikan dua penekanan penting yaitu tentang keadilan sebagaimana klaim raja bahwa ia akan menghancurkan semua kejahatan di daratan dan memotong semua pelaku kejahatan dari kota dan tanah itu yang dimulai dari dalam rumahnya sendiri, lalu ke luar. Penafsiran singkat tersebut merupakan bukti dari kedalaman etika yaitu cara untuk menjadi murni, hati yang jahat, dll.

(10)

di belakang dan menipu, dan orang-orang yang melakukan ini ditolak sebagai anggota dewan dalam pengadilan. Orang-orang yang diterima sebagai anggota dewan adalah mereka yang jujur dan berintegritas. Dari sini, jawaban tentang siapa pelaku etika dalam konteks pasal ini terjawab sudah.

Beberapa komentator melihat teks ini sebagai komitmen raja kepada Taurat. Moller mendasarkan tesisnya pada ketaatan terhadap kehendak ilahi. Dibanding pasal paralelnya, Mazmur 18, ada perbedaan menarik di antara keduanya. Pasal ini merupakan bentuk ucapan syukur karena kekalahan musuh, namun di pertengahan pasal diselingi dengan salah satu contoh moral dimana kesuksesan keadilan raja ditentukan oleh kebajikannya. Dalam hal ini kebajikan raja dihubungkan langsung dengan ketaatannya. Namun dalam pasal 110, tanggungjawab secara resmi dituliskan lebih eksplisit. Sulit untuk mengetahui substansi jelas, yang dimaksud dengan “ketaatan kepada pewahyuan keinginan Allah”. Mazmur sendiri hanya sedikit memuat pengajaran yang memimpin kepada kehidupan secara legalitas dan sesuai dengan peraturan berlaku. Sikap dari pemimpin dalam pemerintahannya merupakan hal penentu bagi kepemimpinan dalam pemerintahan mereka (p.63).

Ada juga yang menghubungkan raja sebagai gerbang liturgi (Ps 15 dan 24), penjaga gerbang Taurat (Krauss), pengatus administrasi yang benar dalam kenegaraan (Gunkel), dan imitasi dari Allah (Wenham). Sejalan dengan itu, maka Mazmur memberikan pula penekanan terhadap cara untuk menjadi murni. Namun sepertinya, integritas atau kemurnian tetap merupakan karakteristik ilahi. Pasal 18 ayat 30 menunjukkan bahwa kemurnian Allah itu ditransferkan kepada raja. Kraus menafsirkan bahwa Mazmur 110, Allah juga merepresentasikan sistem keadilan-Nya. Jadi, raja merupakan model bagi moral yaitu model kebajikan bagi dewan pengadilannya, dan menjadi model refleksi karena sifat keilahiannya. Dalam rumah tangga kerajaannya sebagai kaum elit di Yehuda, ia juga menerapkan kejujuran dan kebenaran bagi para anggota kerajaan, baik dari segi administrasi dan birokrasi kerajaan.

(11)

dunia, namun juga bersifat sebagai pelayan Allah bagi sesamanya. Raja merupakan simbol utama antara Allah dan manusia. Allah merupakan model bagi raja yang adalah model bagi dewan pengadilannya dan dewan ini merupakan model bagi orang Israel secara keseluruhan. Ada perbedaan antara dunia kerajaan dan dunia luar. Kerajaan digambarkan sebagai dunia yang penuh dengan norma moral dan kemurnian sementara dunia luar digambarkran sebagai dunia yang tidak bermoral dan penuh kejahatan (p.66).

Tetap masih ada sedikit kebingungan tentang cara menangani kejahatan. Secara teoritis, raja dengan kemurniannya menolak setiap pelaku kejahatan, meski pada praktisnya tidak menyeluruh. Raja berharap bahwa ia dapat mempertahankan integritasnya, walaupun terdapat perbedaan antara hareapan dengan fakta di lapangan.

Mein mengutip penjelasan Lasine tentang sifat paradoks dalam kitab kehidupan raja-raja tentang “siapa” sesungguhnya yang ada dalam pengadilan kerajaan. Menurut Lasine terdapat sifat paradoks yang fundamental dalam diri seorang raja antara dia sebagai figur yang selalu sendiri dan tidak pernah sendiri. Raja, mungkin memiliki kekuatan pribadi yang unik, namun ia hanya dapat melatih kekuatan itu melalui orang lain. Dan orang-orang itu pertama-tama adalah anggota dari dewan pengadilan atau kerajaan itu sendiri. Dari sini harus diakui bahwa, memang, mau tidak mau, kekuatan besar yang dimiliki oleh seorang raja ternyata berasal dari sugesti para pelayannya. Kesuksesan seorang raja berasal dari kesuksesan pegawai-pegawainya. Dia bisa saja adalah orang yang mengetahui segalanya, namun semuanya ini diperoleh, hanya apabila ia dapat merasa aman dan nyaman tinggal dalam kerajaannya itu.

Seorang raja selalu mengetahui di mana menemukan kejahatan dan para pelaku kejahatan, baik di kota atau di tempat-tempat lain dengan kelebihan yang ia miliki (ay 8). Namun ia perlu memperhatikan tiga hal penting dari setiap informasi yang ia terima: Kejujuran, reliabilitas, dan transparansi.

71-87 The Ethics Of Warfare and The Holy War Tradition In The Book Of Judges By Janet Tollington.

(12)

pertahanan. Kitab Hakim-hakim kebanyakan menggambarkan tentang kisah-kisah peperangan ini. Oleh para ahli, perang yang ditulis dalam kisah ini kebanyakan merupakan perang kudus karena dalam hal ini, Tuhanlah yang berperang bagi Israel. Perang yang dimaksud di sini tidak hanya memiliki arti tindakan penyerangan namun juga memiliki kesamaan arti dengan membinasakan (p.75). Ini juga tidak juga secara keseluruhan, karena jika ditilik, terdapat begitu banyak peristiwa jatuh bangun bangsa Israel sebagai suatu bangsa. Tidak digambarkan sebuah peperangan yang mencakup bangsa Israel secara keseluruhan, hanya berupa suku-suku di Israel. Menurut Tollington sendiri, kitab ini kemungkinan sudah mengalami pengeditan oleh beberapa orang yang berkepentingan agar dapat dipakai menjadi kitab bagi komunitas orang percaya. Hal ini terlihat dari adanya dalam cara menggunakan bahasa dan mempresentasikan semua isu tentang peran Allah dalam dengan perang. Ada juga kemungkinan bahwa penulis kitab ini dengan sengaja telah menyembunyikan opini etisnya dan membiarkan para pembacanya untuk menarik kesimpulan pribadi dari tulisan mereka (p. 73). Yang jelas, dari sudut etis, kejatuhan Israel ke dalam penjajahan dan penderitaan terjadi karena mereka melupakan Tuhan dengan menyembah berhala. Hal ini merupakan tindakan yang dipandang jahat oleh Allah. Kitab Hakim-hakim menghadirkan konsep tentang perang sebagai pengajaran Tuhan kepada Israel dalam konteks mereka sebagai suatu bangsa. Perang digunakan Tuhan untuk menguji apakah Israel taat atau tidak kepada-Nya.

(13)

perang saudara. Ketaatan dimulai dari hal yang terkecil. (P.199-202).

Tangisan mereka membuat Allah melepaskan mereka. (p.75). Penderitaan itu akan dilepaskan jika bangsa Israel berbalik lagi kepada Allah. Allah akan menolong dan berperang bagi mereka dengan memakai seorang hakim sebagai pemimpin. Intinya adalah, keamanan dan kenyamanan mereka sebagai suatu bangsa ditentukan melalui hubungan mereka dengan Tuhan.

Pertanyaannya adalah benarkah Allah yang memiliki hakikat penuh kasih ternyata merupakan Tuhan yang berperang? Jika perang identik dengan pembunuhan, dimanakah letak kasih Allah? Para Teolog sendiri sempat kebingungan untuk menemukan konsistensi ide tentang Allah yang penuh kasih dengan Tuhan yang memiliki Roh perang, merancang perang bahkan berkeingininan untuk menghancurkan musuh Israel demi membawa kedamaian bagi bangsa Israel (p. 72). Secara etis, tindakan Allah ini memiliki penekanan terhadap komitmen Allah terhadap umat pilihan-Nya dalam masa politeistik di zaman Hakim-hakim itu. Untuk itu, dalam berperang, Israel tidak membutuhkan mesin perang. Allah sendiri akan menggunakan senjata alam untuk menghalau musuh Israel. Israel hanya perlu bersifat pasif, tanpa menodai diri atau tangan mereka dengan darah. Konsekuensi etisnya, mereka harus bertanggung jawab secara moral kepada Allah.

Sayangnya, bangsa Israel tidak belajar dari kesalahan-kesalahan mereka sebelumnya. Kejahatan mereka tetap sama, kembali, berulang-ulang jatuh dalam penyembahan berhala. Mereka kuat ketika pemimpin mereka ada. Mereka masuk dalam waktu tenang selama beberapa puluh tahun. Namun suasana tenang ini sepertinya telah menjadi pemicu kejatuhan mereka ke dalam penyembahan berhala.

(14)

melakukan apa saja, melalui siapa saja, dengan cara apa saja, agar umat ini tetap bertahan. Masa ini bisa jadi memang merupakan masa kekosongan Teokrasi, atau masa gelap dalam keagamaan umat Israel. Sehingga berulang-ulang mereka dicap “melakukan segala sesuatu menurut pandangannya sendiri”, tanpa pedoman. Namun Allah tetap mempertahankan bangsa ini. Tujuan Allah tetap sama, Ia ingin mempersiapkan satu umat yang taat kepada-Nya, bagaimanapun caranya.

87 – 102 Prophecy, Ethics, and The Divine Anger By Ronald E. Clements

Pemakaian istilah tentang kemarahan Allah dalam buku nubuatan Yesaya (5:25 – 30) sepertinya telah menimbulkan pertanyaan khusus terlebih-lebih dengan bukti kedatangan Asyur untuk menyerang wilayah Israel dan Yehuda. Asyur dalam hal ini dipakai oleh Allah untuk menghajar Israel. Namun perjalanan ini tidak sampai di sini saja. Di balik pernyataan ini sepertinya telah menjadi tersisipi kepentingan. Dalam Nubuatan disampaikan berbagai macam pengajaan dan peringatan secara politis sebagai bentuk antisipasi dari pengalaman berikutnya. Tujuan keilahian Allah bagi bangsa Israel sebenarnya adalah anugerah. Penderitaan, ketidakadilan, dan kematian karena peperangan merupakan konsekuensi kemarahan Allah yang disebabkan oleh sikap manusia. (p.89). Alasan sebenarnya simpel, Allah ingin agar melalui nubuatan yang disampaikan oleh para nabi, bangsa Israel mau memberi respon dengan berbalik kepada Allah.

Penjelasan tentang penyebab kemarahan Allah ini dapat dilihat dari beberapa segi, antaralain: karena ketidakadilan dan kejahatan yang terjadi di Israel dan penolakan Israel secara umum terhadap keadilan dan komitmen agama.

(15)

dari manusia. Ia merancangkan satu umat yang memiliki kepercayaan monoteis, hanya menyembah kepada-Nya, bukan politeis yang beribadat kepada banyak dewa. Inilah yang sedang diusahakan oleh para nabi, yaitu agar bangsa Israel bahkan segala bangsa dapat datang dan menyembah Allah. Kemarahan Allah merupakan konsekuensi etis sebuah ketidaksetiaan kepada Allah (p.91).

Nabi-nabi merupakan pionir bagi etika monoteis di Israel. Peringatan tentang kemarahan Allah kepada orang Israel dan keluarga bangsa-bangsa secara umum sebagaimana diinterpretasikan oleh para nabi bermaksud untuk memberikan prioritas etika bagi agama dan juga bagi reformasi masyarakat.

Memang terdapat kontradiksi antara sifat Allah yang penuh kasih karunia dengan Allah yang penuh amarah dan dendam atau cemburu bahkan dapat menghancurkan kehidupan manusia. Namun natur-natur Allah yang diterangkan dalam Alkitab ini merupakan bentuk dari tindakan kasih sekaligus keadilan Allah di dalam dunia. Para ahli teologi menggunakan pendekatan untuk menjembatani PL dan PB dengan dunia kita masa kini. Memang perlu diakui bahwa terdapat kesulitan dalam menganalogikan atau menjelaskan ulang natur Allah yang penuh amarah dalam bahasa manusia. Pengalaman-pengalaman buruk, luka, menghantarkan manusia pada pertanyaan tentang kasih Allah. Ini terjadi berulang-ulang dalam kehidupan manusia tanpa studi khusus. Namun pengkajian berulang-ulang mulai menemukan bahwa fenomena “buruk” dalam kehidupan manusia bisa jadi merupakan kejadian yang Allah izinkan terjadi, bisa jadi karena faktor diri sendiri atau memang karena tindakan Iblis. Apapun itu, para ahli modern percaya bahwa semuanya ada dalam providensia Allah (p.95).

Kemarahan Allah dalam PL pun bagaimanapun telah membawa ide tentang gambaran Allah PL yang penuh dengan kekejaman. Dan ini membuat pengakuan pada ke-Allahan PL sepertinya berkurang. Pihak-pihak tertentu bahkan menolak keAllahan PL. Banyak penafsir masa kini mencoba juga untuk menafsirkan sifat Allah yang satu ini dalam kaitannya dengan pengalaman-pengalaman buruk yang dialami oleh manusia. Mungkinkah Allah yang penuh kasih itu menjadi Allah yang demikian kejam atau penuh dengan kemarahan?

(16)

sebagai satu-satunya Oknum yang pantas untuk disembah, cemburu. Amarah itu muncul karena rasa cemburu yang berasa di dalam diri Allah. Inilah hukum pertama sampai keempat dan penekanannya dalam ayat ke-5 dan ke-6 dari Keluaran 20.

103-121 Justice for Whom? Social and Environmental Ethics and The Hebrew Prophets by Hilary Marlow.

Ada berbagai isu miring seputar perkembangan dunia masa kini. Pemanasan Global yang mengakibatkan pencairan es di kutub, efek rumah kaca, dll. Sejajar dengan itu, berbagai kepedulian terhadap lingkungan dan keselamatan bumi juga mulai terus disebarluaskan. Semua orang di seluruh dunia bergumul tentang masa depan planet bumi. Tidak ketinggalan, para ahli PL juga mencoba mengkaji ulang tentang pandangan Alkitab terhadap bumi. Studi ini dilakukan dengan mengemukakan isu-isu yang umum dilihat dari segi etisnya. Ada beberapa kitab yang memang memiliki implikasi ke arah ekologi seperti Amos, Yesaya, Mikha. Semuanya mengarahkan pada hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Tepatnya, teks Alkitab mengarahkan model relasi ini dalam tiga rangkaian antara Allah, manusia dan lingkungan. Ada kaitan erat antara Allah dan ciptaan-Nya, dan hubungan yang fundamental antara budaya, alam dan masyarakat. Hubungan ini didasarkan pada keadilan dan kebenaran. Dalam masyarakat Israel kuno, keadilan sosial bersumber pada keadilan dan kebenaran (p.104). Berdasarkan bahasa aslinya, keadilan dan kebenaran ini merujuk kepada pengambilan keputusan resmi atau praktis secara sosial terutama bagi kaum marginal.

Secara ideal, keadilan dan kebenaran dalam perspektif etis tergambar dalam sikap dan tindakan raja dalam Mazmur 72. Dalam teks ini, raja meminta keadilan dan kebenaran sebagai permulaan doanya. Di dalamnya berisi kepedulian terhadap kaum miskin dan tertekan, kesuburan alam baik biotik dan abiotik. Karena itu, keadilan dan kebenaran dalam hal ini menunjukkan sebuah hubungan erat antara kerajaan sebagai institusi ilahi dalam masyarakat dan ciptaan Allah yang lebih luas.

(17)

dalam bentuk pengorbanan. Allah sendiri yang bertindak melawan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Tindakan Allah ini tidak jarang muncul dalam bentuk penyakit dan kehancuran. Tidak hanya bagi lingkungan manusia, tapi juga alam semesta. Untuk itu diperlukan pertobatan total. Hasil baik dari negeri akan mereka terima hanya jika mereka taat kepada Allah. Konsekuensi ketidaktaatan adalah kegagalan panen, bencana, kekeringan, hama, kerusakan, dll. konsekuensi penolakan terhadap Allah adalah kehancuran yang dahsyat (p.109). Contoh paling nyata dari hal ini adalah kejadian Sodom dan Gomora. Di tempat ini terjadi pelanggaran keramahtamahan dan kejahatan homoseksual. Kehidupan di tempat ini tidak terkontrol dan keadaan tanpa hukum. Dalam hal ini Abraham menjadi model kebenaran. Bedanya dengan kitab para nabi, kasus Sodom dan Gomora ini sepertinya memberi penekanan pada tindakan seksual yang salah di sana sementara para nabi lebih memberi pehatiannya pada sikap feodal kaum bangsawan dan tekanan yang mereka berikan kepada kaum marginal. Apapun bentuknya, tidak melakukan kebenaran dan keadilan berarti melakukan pelanggaran serius kepada Allah. Sikap dan tindakan bangsa Israel terhadap keadilan berdampak bagi kehidupan sosial dan ekologis mereka (p.111).

Keadilan ini sebenarnya berlaku bagi siapa saja. Namun karena faktor budaya, para nabi sepertinya telah menyebut istilah “Orang Kaya” sebagai konotasi negatif dan pelaku ketidakadilan sosial tetapi menyebut “orang miskin dan tertekan” sebagai orang yang patut ditolong oleh Allah. Dalam hal ini Barton menjelaskan bahwa kenabian klasik menggunakan cara retorika untuk menjelaskan tentang tindakan Allah, bahwa Allah akan bertindak adil bukan hanya kepada “orang kaya” tapi yang terutama dimaksudkan adalah kepada semua orang yang melawan Allah. Sehingga “Kaya” dalam hal ini merupakan konotasi terhadap tindakan perlawanan atau ketidaktaatan kepada Allah.

(18)

sekaligus juga memberikan kesempatan pada tanah untuk beristirahat dari kerjapaksanya.

Tentu ada perbedaan konteks antara zaman para nabi dengan kita pada saat ini meskipun keduanya mengarah pada keadilan sosial. Karena keduanya menekankan bahwa tindakan apapun yang kita lakukan akan tidak hanya bagi sesama kita manusia, namun juga bagi lingkungan sekitar kita, bumi. Jadi jika ingin antara bumi dan kita manusia terus berada dalam keadaan harmonis, hubungan ketiganya perlu terus dijaga, antara kita sesama manusia, terhadap lingkungan, terutama kepada Allah sumber segala keadilan dan kebenaran.

122-134 The Dark Side Of God In The Old Testament By John Barton

Ada beberapa kejadian tindakan Allah dalam PL yang menggambarkan Allah sebagai sosok yang kejam. Inilah yang kemudian disebut oleh para ahli sebagai sisi gelap Allah dalam PL. Barton secara khusus mengkritisi tulisan Dietrich dan Link tentang fenomena ini. Beberapa pertanyaan muncul seputar tindakan Allah dalam kedaulatan-Nya bagi dunia. Jika Dia Allah, mengapa Ia mengizinkan manusia jatuh ke dalam dosa? Mengapa Allah membedakan kasih kepada satu orang dengan yang lain? Jika Dia Allah, mengapa Dia membiarkan umat-Nya menderita? Pertanyaan-pertanyaan sejenis merujuk sebuah pertanyaan sentral tentang hakikat Allah yang adil.

Paulus memandang hal ini sebagai bagian dari kedaulatan Allah (P.123) dan menekankan pada fakta bahwa Israel memang sebenarnya tidak layak untuk mendapat bagian dalam kasih Allah apalagi keselamatannya. Kasih merupakan identitas nyata kedaulatan Allah. Israel didampuk tugas untuk menjadi simbol hubungan Allah dengan dunia. Allah menolak mereka karena dosa yang mereka lakukan. Dalam hal ini, sebagaimana Amos katakan, Israel menjadi gambaran bagi orang-orang yang terpilih namun terbukti melakukan kejahatan. Allah sebagai pemilik kedaulatan dunia dan penilik sejarah perjalanan sejarah dunia sebenarnya bebas bertindak sesuai dengan kemauannya terhadap siapa saja. Namun karena Israel merupakan bangsa yang Ia pilih dan memiliki hubungan istimewa dengan Allah, maka Allah berhak untuk mengasihi, marah, dan menghukum mereka. Semua ini dilakukan justru karena Israel memiliki hubungan istimewa dengan Allah. Kecemburuan Allah merupakan indikasi utama adanya hubungan istimewa antara Allah dan manusia.

(19)

perang, penjajahan dan pembuangan karena kehangatan murka-Nya memang menimbulkan pertanyaan, khususnya bagi para pemikir masa kini. Kekejaman Allah yang meminta Israel untuk memusnahkan para musuh mereka juga menimbulkan pertanyaan. Mereka menganggap tindakan nyata-nyata Allah sebagai efek dari kemarahan-Nya ini merupakan sisi gelap dari pribadi Allah dalam PL. Ini juga yang menjadi alasan banyak teolog untuk memilih mengabaikan figur Allah PL. Von Rad memandang hal ini sebagai bukti keesklusivan Allah (p.125). Barton meniliknya dari rasa cemburu yang dimiliki oleh Allah dan menekankan bahwa perasaan cemburu ini timbul karena begitu besarnya kasih yang Allah miliki bagi Israel (p.125). Allah yang penuh kasih ini juga bahkan tidak segan-segan membalas dendam karena tangisan umat Israel dalam PL akibat ketidakadilan yang menimpa mereka. Memang sedikit membingungkan, Allah menurut pelapor seolah menjadi sosok yang serba tidak konsisten. Maksudnya, ketika Allah cemburu kepada Israel, Ia membiarkan Israel masuk dalam penderitaan hebat sampai mereka “merengek” kepada Allah. Lalu Allah datang membela mereka dan menghancurkan bangsa yang sudah memperlakukan Israel dengan buruk. Pertanyaannya, mengapa Allah tidak sejak awal saja mendidik mereka dengan “cara lain” tanpa perlu melibatkan bangsa lain? Atau jika Israel memang ditentukan untuk menjadi saksi Allah bagi bangsa lain, dan jika mereka gagal, dan mengadu kepada Allah, mengapa Allah harus menghukum bangsa Israel. Bukankah kegagalan itu terletak pada bangsa Israel. Allah dalam satu waktu meminta bangsa Israel untuk menjadi saksi, di lain waktu memaksa bangsa Israel untuk memusnahkan bangsa lain. Apa yang sesungguhnya Allah inginkan dari bangsa Israel? Kesetiaan mungkin?

(20)

Allah, namun Allah siap masuk untuk terlibat langsung di dalamnya. Bukan karena Ia tidak mampu, namun karena Ia mau terlibat dalam sejarah hidup manusia. Inilah gambaran Allah yang monoteistik. Allah yang sama namun dengan sisi yang berbeda. Allah yang menciptakan semua kebaikan namun juga menciptakan setan, bapa dari segala kejahatan. Dalam banyak kasus, Allah jugalah yang kemudian dituduh dan diminta pertanggungjawaban atas semua kesulitan yang menimpa kehidupan manusia. Karena Allahlah pencipta segala sesuatunya, pemilik ide utama penciptaan dunia. Sulit dimengerti oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi, seperti yang dikutip Barton dalam tulisan Luther bahwa kita tidak bisa berharap untuk mengerti jalan Allah yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Bagaimanapun, kita terbatas. Dua sisi Allah ini membawa kita kepada pemahaman bahwa Allah yang tadinya bisa demikian kejam, pada suatu waktu dapat menjadi Allah yang begitu baik bagi manusia. Ia bersama manusia melewati penderitaan yang ada dan merancangkan kebaikan bagi manusia. Kemahakuasaan-Nya ini sering muncul dalam tindakan yang tidak terprediksi oleh manusia (p. 129).

(21)

Allah bagi para filsuf. (p.130). Keterbatasan Allah, kelemahan hati-Nya ini justru bukti betapa Ia begitu mengasihi Israel, umat-Nya. Kekuatan kasih terletak pada mengampuni, dan ini terjadi berkali-kali dalam perjalanan sejarah Israel.

Barton dalam tema ini secara khusus memberikan evaluasinya terhadap tulisan Dietrich dan Link tentang “Sisi Gelap Allah dalam PL”. Sepertinya judul ini memang menyudutkan Allah. Namun faktanya, bukan hanya dunia luar, Kristenpun bertanya tentang hal ini. Barton memberi penilaian positifnya bagi kedua penulis tersebut. Sebenarnya mereka sedang mengupayakan sebuah proyek apologetis bagi iman Kristen, bahwa Allah bertindak dalam cara yang seimbang. Tindakan Allah ini menunjukkan bahwa Ia bukanlah Tuhan yang pasif terhadap perjalanan hidup manusia. Selain itu, sebenarnya, bukan Allah yang memiliki keterbatasan, namun manusialah yang terbatas dalam upayanya menggambarkan Allah. Pengetahuan terbaik kita bagi Barton adalah dengan mengakui bahwa seberapa pun usaha kita, kita tetaplah tidak tahu apa-apa atau sangat terbatas tahu tentang Allah. Allah bukanlah Allah yang begitu mengkuatirkan penilaian manusia terhadap tindakan-Nya, karena apapun yang Dia lakukan dalam sejarah hidup manusia, Dia tetaplah Allah.

135-148 The Ethics Of Friendship In Wisdom Literature By Graham Davies

(22)

dengan konteks seksual, contoh ini terlihat jelas dalam Yesaya 5:1. Tapi perlu diketahui juga konteks ini sesuai dengan realita sosial di Israel dan peribahasa etis mereka. Kedua, kata re’a yang berarti sesama, teman, atau sahabat. Jika dipadukan dengan kata-kata lain, kata ini memiliki arti yang juga berhubungan dengan idiom seks namun sifatnya lebih lemah ketimbang ohev. Secara umum kata ini lebih mengarah kepada kedekatan secara struktural bukan personal, sifatnya lebih ke asosiasi ketimbang persahaban pribadi.

Dalam Kitab-kitab kebijaksanaan, tema tentang “persahabatan” mendapat perhatian lebih. Amsal contohnya, banyak sekali memuat materi tentang persahabatan. Dimulai dengan pengertian sahabat karib, sebuah komparasi tentang kriteria seorang sahabat yang baik dan buruk, karakteristik sahabat, pentingnya persahabatan, dll. Terdapat beberapa kriteria menarik yang ditampilkan Amsal tentang persahabatan, antara lain: persahabatan itu terjalin karena rasa ketertarikan antara satu orang terhadap orang lain, bukan karena adanya motivasi apapun. Bersahabat boleh terjalin dengan semua orang tapi dengan motivasi yang murni. Dalam kitab Amsal, kata yang dipergunakan tidak hanya ohev atau re’a melainkan alluf yang memiliki arti “sahabat dekat”. Namun perlu dicatat bahwa tidak ada bukti keagamaan yang secara khusus mencatat tentang fenomena “persahabatan”. Ini menyangkut relasi sesama tanpa perlu adanya bukti otentik berupa surat resmi dari suatu badan organisasi layaknya perusahaan pada masa Amsal. Jika ingin melihat tentang karakteristik ideal bagi persahabatan, mari cek Amsal.

Kitab Ayub memuat tentang contoh nyata kasus dalam persahabatan. Namun perlu diperhatikn bahwa sahabat-sahabat Ayub yang datang menghampiri dia bukanlah sahabat dalam arti ohev namun re’a. Mereka bukan sahabat dalam arti personal namun lebih mengarah kepada kolega. Mereka memang datang dari jauh untuk menyatakan simpati atas penderitaan Ayub dan kemudian menghakimi dia karena kemalangannya tersebut berdasarkan teologi mereka yang salah. Kedatangan mereka hanya sejenis kunjungan protokoler.

(23)

Literatur ini menyebutkan secara lebih spesifik tentang karakteristik sahabat agar disukai dan kesetiaan (motivasi tradisional), kebutuhan untuk diperhatikan dan takut akan Allah (karib). Perhatian merupakan elemen penting dalam persahabatan yang juga disebut sebagai “peraturan dalam bersahabat”. Perlu juga hati-hati dalam memilih sahabat. Hal ini dilakukan dengan tes. Karena jika salah memilih, sahabat ini kadang bisa berbalik arah menjadi musuh, di sinilah kesetiaan teruji. Selain itu, Bin Sira meletakkan dasar yang baik bagi hubungan persahabatan Kristen masa kini yaitu dengan meletakkan kekuatan spiritual melalui takut akan Allah sebagai karakteristik utama persahabatan.

Literatur-literatur kebijaksanaan kuno di sekitarnya pada waktu itu juga memiliki perhatian khusus terhadap tema ini. Masih tentang pengertian sahabat, kriteria sahabat yang baik atau buruk, pandangan-pandangan skeptis tentang persahabatan, dan ditutup dengan bagaimana cara menjalin persahabatan. Sayangnya, literature ini tidak memuat tema paralelnya dengan beberapa buku sebelumnya, tidak menyentuh tentang pentingnya takut akan Tuhan dan perlunya perhatian dalam persahabatan.

152-168 What Makes The Strange Women Of Proverbs 1-9 Strange? By Daniel J. Estes Pasal 1-9 dari Amsal ini disebut sebagai “Dongeng tentang dua perempuan” karena menampilkan dua kontras antara dua perempuan yaitu perempuan bijaksana dan perempuan asing. Keduanya sama-sama memanggil orang muda namun dengan tujuan yang berbeda. Anehnya, Amsal justru menampilkan riwayat “Perempuan Asing” lebih banyak dari pada “Perempuan Bijaksana”.

(24)

(p.155). Jika demikian, pertanyaan saya bagaimana cara membedakan mereka secara fisik? Bukankah dalam PB ada penggambaran fisik tentang perempuan sundal? Jika “perempuan asing” yang dimaksud adalah perempuan sundal. Seharusnya, ada perbedaan penampilan dan gaya antara kedua jenis wanita ini. Namun dalam artikel ini, Estes kurang jelas mendeskripsikan karakteristik “Perempuan Asing” ini secara fisik. Yang jelas adalah bahwa “perempuan asing” menolak segala jenis norma yang berlaku dalam masyarakat bahkan membawa orang yang mengikutinya kepada bahaya kemiskinan, aib, dan kebinasaan. Perempuan ini dianggap sebagai jerat, racun, ataupun penyesat. (p. 153-155). Tidak hanya berbanding terbalik dengan “Perempuan Bijaksana”, ia juga berbanding terbalik dengan “Pengajaran Hikmat” dan juga dengan “TUHAN”. Semua ini terlihat dari hasilnya akhirnya, “Perempuan asing” membawa kepada kematian tapi “Perempuan Bijaksana, Kitab Hikmat dan TUHAN” menghantar kepada “Kehidupan”, kepada Tuhan sendiri.

(25)

bahwa wanita ini bukan pelacur namun seorang pezinah dan ia berperan dalan menggagalkan orang-orang muda kepada jalan kebijaksanaan. Mereka berdua menolak penafsiran alegori dalam interpretasinya tentang hal ini namun terlalu berat sebelah dalam pembahasannya tentang ‘perempuan asing’ dan agaknya telah mengabaikan ‘perempuan bijaksana’. (P.157-159).

Kaum feminis memberi penilaian yang berbeda dari sebelumnya mereka menganggap bahwa pandangan itu lebih bersifat metafora. Mereka menilai bahwa teks ini ditulis dari sudut pandang patriakal sehingga menghasilkan nada negatif tentang tata laku pria dan wanita. Pikiran tentang perilaku wanita terhadap nature seksnya atau juga hasrat seksnya yang kuat dipandang negatif oleh kaum partriakal. Walau sebenarnya ini sah-sah saja, dan tidak berarti juga bahwa ia dapat membawa orang lain dalam kehancuran. Jadi pikiran kaum patriakallah atau budaya pada masa itu yang membuat perempuan ini terkesan ‘asing atau janggal’. Toh, sah-sah sajakan kalau perempuan yang lebih aktif? Kalau bahasa anak muda zaman sekarang, “Tidak ada salahnya perempuan menyatakan perasaannya lebih dulu, kalau terlambat malah disambar orang”. (P.159-161).

Jika dipandang sebagai prosa, Amsal 1-9 ini merupakan karya yang menarik. Namun tidak semua orang dari membawa sebuah karya seni ini dalam cara yang benar sehingga menghasilkan kesalahpahaman. Karya seni berupa puisi, sajak, lirik lagu, pantun, penuh dengan gambaran, idiom, pencitraan. Dan dalam sebuah karya, penggunaan kata-kata apapun sah-sah saja dan bermakna konotasi, sehingga tidak dapat diterjemahkan langsung secara harfiah layaknya sebuah buku laporan. Dan tulisan tentang ‘perempuan asing’ dalam Amsal 1-9 inipun tidak dapat dipandang negatif sepenuhnya jika dinilai dari sisi seni.

(26)

ketaatan kepada Allah. Yang lain menyatakan bahwa dasar etika PL adalah menjadi serupa dengan Allah. Seseorang dikatakan jahat karena dia tidak mau bertindak seperti Allah, ia mau melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya sendiri. Kedua orang perempuan dalam teks ini mengasihi dan setia kepada pria muda. Dengan bujukan atau rayuannya mereka mengajak pria muda untuk berhubungan dengan mereka, hanya bedanya, ajakan untuk berhubungan seks di luar pernikahan yang membuat salah satu perempuan dianggap asing.

Estes memberi kesimpulan pada artikelnya bahwa Amsal 1-9 bukan hanya sekedar “Dongeng tentang Dua Perempuan” melainkan cerita tentang sistem etika yang tergambar melalui kedua perempuan ini. Lalu apa yang membuat perempuan lain terkesan ‘asing atau aneh atau jalang’? Kebodohannya ini terdapat pada keteguhannya untuk tetap berdiri sendiri dengan menolak Allah sebagai dasar kehidupan etis.

Artikel ini menarik karena memuat penafsiran ahli dari berbagai sudut pandang. Semuanya sepertinya sama benarnya, tergantung dari sudut mana kita berdiri saat ini.

170-186 Does God Behave Unethically In The Book Of Job? By Katharine J. Dell

Artikel ini dibuat sebagai tanggapan atas kebanyakan pertanyaan yang sebenarnya bukan hanya terjadi pada Ayub namun juga bagi kehidupan seluruh umat manusia di zaman sekarang. Tentang mengapa Allah mengizinkan orang percaya atau orang benar untuk masuk dalam penderitaan. Menurut Dell, setidaknya ada dua jenis istilah hukum yaitu “Hukum Alam” dan “Hukum Yang Disingkapkan/ Diwahyukan”. Hukum Alam merupakan hukum yang berlaku di alam semesta dan Allah sebagai pencipta bertindak sebagai pemrakarsa dan pemelihara hukum tersebut. Hukum ada di dunia ini untuk menopang keberlangsungan dunia juga dalam sikap dan kehidupan sosial manusia. Hukum ini merupakan indikator adanya hubungan antara Allah sebagai pencipta dengan dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya termasuk manusia. Dalam hukum ada peraturan dan keadilan. Jika seseorang ingin merasa aman dalam suatu lingkungan, maka ia harus taat pada peraturan yang berlaku. Allah adalah pencipta alam semesta termasuk lingkungan tempat tinggal manusia. Jadi, jika manusia ingin tetap merasa aman, nyaman, dan diperlakukan adil dalam lingkungan, mereka harus taat pada peraturan yang sudah Allah buat.

(27)

tentang suatu bangsa yang memiliki hubungan spesial dengan Allah. Allah menginginkan sebuah hubungan yang mendalam dengan mereka, dan hubungan ini dimulai dengan janji. Allah pertamakali menyatakan diri dengan cara khusus kepada Abraham, dari sinilah peristiwa-peristiwa penyataan diri Allah terus berlangsung. Namun ada batasan yang jelas antara manusia dan Allah yang timbul karena dosa. Batasan yang ada antara Allah dan manusia ini menjadi terlihat semakin jelas melalui adanya peraturan-peraturan dalam hubungan mereka, Allah dan Israel. Inilah hukum yang diwahyukan.

Di lain pihak, banyak kejadian justru menunjukkan bahwa Allah telah bersikap kurang adil berdasarkan hukum kepada orang-orang yang sebenarnya layak disebut sebagai orang benar. Ayub merupakan contoh kasusnya. Dell mengangkat isu tentang Ayub mewakili begitu banyak kejadian yang ada dalam dunia ini. Setiap orang baik yang awam maupun teologis sering mengaitkan penderitaan atau penyakit dengan dosa. PL juga memberi begitu banyak gambaran tentang hal ini. Kebanyakan penyakit dan penderitaan yang terjadi itu erat kaitannya dengan hukuman Allah atas dosa manusia. Kusta muncul sebagai akibat dari dosa. Penderitaan karena kekalahan dalam perang terjadi karena dosa. Dan penderitaan merupakan indikator utama bentuk ketidaktaatan manusia kepada hukum atau peraturan yang Allah berikan. Tapi Ayub berbeda. Lebih dari itu, pengalaman Ayub membuktikan bahwa betapa dalam dan luasnya sifat Allah yang tidak dapat diselidiki oleh manusia. Lagi-lagi, Allah tetaplah Allah yang penuh dengan misteri, dan ini merupakan bagian yang paling menyenangkan untuk dikaji walaupun hasil akhirnya tetap membingungkan.

Diskusi tentang Ayub membawa kepada pemikiran tentang sikap Allah, benarkah Allah sudah bertindak secara etis atau sebaliknya pada Ayub? Tentang sifat Allah, etis atau tidak etis dalam kehidupan Ayub. Untuk meneliti hal ini setidaknya kitab Ayub telah dibagi dalam tiga garis besar: pengantar, kata-kata Allah, dan respon Ayub terhadap percakapannya dengan Allah.

(28)

terhadap kesempurnaan ciptaan-Nya pun masih dapat dipertanyakan atau diuji ulang. Ayub sepertinya telah menjadi “Kelinci Percobaan” karena kebenarannya itu. Iblis mengasung ide tentang “Keberadaan Materi” dan “Ketiadaan”. Ayub bisa dinilai taat karena ia memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan bahkan diimpikan sebagai manusia pada umumnya. Namun kondisi ini bisa saja berbalik jika keadaan juga berbalik. Kesalehan bisa jadi menjadi bentuk penyangkalan atau penolakan total jika keadaan berbalik. Ide Iblis ini bukan merupakan ide yang aneh, ini sangat manusiawi. Ide Iblis ini muncul berdasarkan ide umum yang dimiliki oleh manusia pada umumnya yaitu bahwa ketaatan seseorang dilakukan atas dasar upah atau imbalan dikemudian hari. Ada hal yang perlu diinterpretasikan ulang dari berbagai analisis tentang dialog “kesepakatan” yang Allah buat dengan Iblis. Ayub sendiri sepertinya telah tidak mengetahui samasekali tentang kesepakatannya ini. Peristiwa yang ia alami secara psikologis seharusnya telah melahirkan guncangan hebat, kekecewaan penyangkalan dan berakhir pada penolakan terhadap lingkungan sekitarnya. Lingkungan terdekat yang Ayub miliki sepertinya adalah Allah sendiri. Kejadian-kejadian buruk beruntun yang Ayub alami merupakan serangkaian bentuk pengujian yang dilakukan oleh Iblis dan terjadi atas seizin Allah.

(29)

Buber, kekuatan Allah tidak ada kaitannya dengan standar manusia tentang keadilan. Kekuatan Allah merupakan ide utama dalam firman yang Allah sampaikan sedangkan keadilan merupakan bagian dari kekuatan Allah itu. Bagaimanapun juga, pada akhirnya Ayub dapat menang dari permasalahan ini tanpa perlu menyangkal Allah. Bertanya, tidak salah.

Manusia dalam hal ini juga perlu mengakui bahwa pengetahuan Allah memang melebihi apapun yang ada dalam dunia ini. Manusia bisa saja mengemukakan semua idenya tentang Allah, tapi ini masih sangat terbatas. Teman-teman Ayub dapat pula memberikan pendapatnya tentang pengalaman Ayub dan menjadi salah paham dengan keadaannya. Ayub boleh mempertanyakan tentang keadilan Allah, dan berdebat dengan teman-temannya tentang Allah. Tapi semuanya terbatas. Ayub bisa jadi salah paham terhadap Allah karena penderitaannya. Ayub mungkin berpikir bahwa Allah telah bertindak tidak etis pada dirinya, tidak adil, atau kejam. Tapi pengalamannya berdialog dengan Allah membuka matanya dan kini ia menjadi lebih bijaksana dari sebelumnya. Pengalaman penderitaannya ini membawanya lebih mengenal Allah. Mengenal dirinya sendiri juga, mengetahui keterbatasannya. Ayub yang sedemikian saleh saja masih terbatas dalam penguraiannya, pendeskripsianya tentang Allah, bagaimana dengan kita? Berapa kali kita pernah salah paham terhadap tindakan Allah?

187-207 Snakes and Ladders: Levels Of Biblical Law. By Philip Jenson

Permainan ini sedikit janggal jika dihubungkan dengan Teologi, namun memiliki relevansi etisnya bagi judul yang dibahas oleh Jenson. Biasanya dimainkan oleh anak-anak dari kalangan Hindu. Intinya, jika anak-anak melakukan hal yang benar maka ia akan masuk Nirwana, namun jika tidak, maka mereka akan turun tingkat (kasta). Permainan ini merupakan refleksi kepercayaan Hindu dalam lingkaran kelahiran, kematian, dan reinkarnasi. Terdapat dimensi moral yang penting dalam permainan ini bagi diskusi hukum dan etika.

Jenson menegaskan bahwa ada perbedaan level dalam Hukum dan etika. Hal ini terlihat juga dalam kata-kata Yesus tentang hukum yang terpenting. Ada hukum yang berlaku secara umum, lebih spesifik, dan berlaku sesuai dengan kebudayaan Israel.

(30)

sebagai buku sejarah dan dasar pengkanonan. Ada berbagai representasi lain tentang kitab Ulangan. Lebih dari itu, kitab ini merupakan penggambaran akan kesadaran tentang keberadaan Taurat sebagai suatu kesatuan secara utuh.

Ada tiga tingkatan hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Israel dan oleh Jenson digambarkan dalam segitiga. Level tertinggi adalah “Hukum” Shema (Ul 5-11), ini merupakan ketentuan umum berupa panggilan untuk mengkonfirmasi ulang perjanjian. Shema berisi tentang konfesi terhadap “Ketuhanan Allah”, sebagai satu-satunya Tuhan dan perintah untuk mengasihi Allah. Hukum ini menekankan ikatan yang ada antara Allah dan Israel, bukan hanya ketaatan namun juga ikatan emosional di antara mereka. Hal ini juga perlu untuk menghindarkan Israel dari penyembahan berhala. Sifatnya mutlak. Dalam keadaan khusus, hukum ini dapat lebih bersifat spesifik (Ul 12-26). Inilah level kedua dari hukum. Hukum ini dikenal dengan istilah “Kesepuluh Hukum”. Menurut beberapa ahli, sepertinya penulisan hukum ini telah mengalami modifikasi dengan kebudayaan setempat. Dan tingkatan ketiga dari hukum ini adalah ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan. Sikap hukum ini lebih relevan, aktif dan diasosiasikan secara langsung dengan daratan Israel. Kumpulan hukum ini penting untuk memberi batasan pada cara bersikap dan bertindak di kalangan orang Israel. Adalah penting untuk tidak melanggar hukum, karena jika melanggar akan berakibat kematian namun jika taat akan mendatangkan kesuburan dalam hidup dan berkat Allah.

Ketiga hukum ini berhubungan satu sama lain, dan hubungan ini terjalin berdasarkan struktur perjanjian, isi, tingkatan hukum dan skala prioritasnya, sikap batin dan otoritas ilahinya. Dari sini dapat dilihat bahwa pemilihan, kasih dan penyelamatan Israel ini juga terjadi semata-mata karena anugerah Allah.

(31)

Namun kembali lagi, berulang-ulang, manusia adalah makhluk yang terbatas. Untuk tetap berjalan dalam batasan dan berlaku sesuai atau bertahan tanpa melanggar batasan yang ditentukan dalam hukum, terbatas. Hukum yang ada di antara mereka merupakan identitas, indikator adanya hubungan antara keduanya. Ikatan yang terjadi antara Allah dan umat perjanjian-Nya dapat bertahan akhirnya tetap merupakan anugerah Allah.

211-230 FamilyValues In The Second Temple Period. By Charlotte Hempel

Keluarga merupakan elemen penting dalam susunan masyarakat Israel. Bagi pelaksanaan etika, keluarga merupakan tempat belajar etika. Tidak hanya bagi orang-orang Yahudi pasca pembuangan, namun makna penting keluarga ini telah ada bahkan sejak Israel kuno. Pentingnya makna keluarga ini dibahas dalam beberapa sumber.

Dalam artikelnya, Hempel lebih memusatkan perhatiannya pada hubungan antara Ezra-Nehemia dengan dokumen Damsyik tentang keluarga. Dokumen-dokumen ini berlatarbelakang sama yaitu Palestina, tepatnya pada masa pembuangan. Pembahasan berfokus pada satu kota yaitu Yerusalem sebagai kota yang penting bagi umat Yahudi. Ada pembagian kelas dalam masyarakat Yahudi, antara lain, golongan imam, Lewi, anak-anak lelaki di Israel dan kaum proselit. Namun sayangnya, bentuk rumah tangga yang dipimpin oleh imam dan kaum Lewi sama saja dengan sistem kepemimpinan pada umumnya. Kedua dokumen ini menegaskan bahwa imam bukanlah manusia yang sempurna, ada orang-orang lain yang mungkin lebih dari mereka. Beberapa tindakan seperti pernikahan di antara para imam dengan orang asing justru menjadi model yang buruk dalam rumah tangga Israel karena itu mereka juga harus dikeluarkan dari susunan ini. Karena itu baik buku Ezra-Nehemia dan Damsyik menyarankan sebuah kesadaran sosial dari orang-orang yang cukup mampu terhadap kalangan yang kurang beruntung dalam wilayah Yehuda. Selain itu, dalam masyarakat Israel kebersamaan merupakan hal yang sangat penting. Keluarga mengontrol aktifitas yang dilakukan oleh individu, dan ini penting dalam tujuan untuk menjaga kekudusan sebagai umat Allah. Hal ini diakui bukan hanya dalam teks Alkitab, tapi juga teks-teks lain di luarnya.

(32)

tinggi ketimbang yang menikah. Ada perubahan-perubahan penting dalam perkembangan sejarah sistem kekeluargaan di kalangan Yahudi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan konteks di antara mereka. Siverstev membantu dalam mengelompokkan perkembangan sejarah kekerabatan dalam masyarakat Israel. Periode 538 SM- 63 SM, kehidupan keluarga terfokus pada sistem patriakal di mana individu dalam keluarga harus memahami Taurat. Tahun 63 SM – abad 2-3 M, keluarga tetap penting namun sistem mulai berubah ke arah kelompok pemuridan.

Ada berbagai penggambaran yang muncul tentang pola kehidupan berkeluarga yang terjadi sejak masa kuno bahkan sampai ke zaman Romawi dari banyak dokumen. Ada hukum-hukum atau peraturan-peraturan penting juga yang terdapat dalam masyarakat Israel dan sekitarnya. Dokumen Laut Mati memberikan gambaran yang cukup jelas juga tentang pola kehidupan masyarakat pada masa itu. Sumber D juga membahas tentang hal ini, mulai dari pola hubungan laki-laki dan perempuan, sistem pernikahan, metode pengajaran kepada anak-anak, dll. Dokumen Damsyik juga menggambarkan tentang tata cara atau etika yang berlaku dalam komunitas ini.

Wrigth membahas juga dalam salah satu materinya tentang keluarga, namun dalam jangkauan yang lebih besar yaitu masyarakat. Ia menyinggung bahwa keluarga dalam PL itu penting tidak hanya dalam kaitannya secara sosial, politik, keagamaan, namun juga secara ekonomi. Keluarga ini mendapat perlindungan secara hukum. Terdapat pembagian juga dalam bukunya tentang siapa saja yang dapat disebut keluarga. Yang menarik adalah, siapapun dia, jika tinggal dalam satu rumah dapat juga disebut sebagai keluarga. Dalam hal peran, seperti buku-buku lain pada umumnya, keluarga berperan sebagai tempat pengajaran, peribadatan dan perlindungan (2012:188-200).

231- 254 Ethical Stance As An Authorial Issue In The Targums By Carol A. Dray

(33)

Allah atau penulis Alkitab dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak memperkenalkan tentang siapa diri mereka selaku penulis, tapi menyebut tulisan mereka sebagai firman Allah. Tidak mempunyai tujuan khusus yang mengarah ke etika namun memiliki perhatian besar pada pengajaran dan liturgi.

Dalam kaitannya dengan teks Alkitab, Targum ini tidak hanya membuat teks Alkitab itu menjadi lebih jelas, namun juga membuatnya menjadi lebih mudah dipahami. Targum ini berperan penting bagi kehidupan ber-Synagoge masa itu. Targum menjembatani kebingungan yang ada antara teks Alkitab dan versi Aram-nya. Lebih dari itu, yang mengherankan bahwa orang zaman dulu bahkan telah merepresentasikan kitab dengan sangat baik. Memperjelas hal-hal yang tidak jelas yang muncul dalam Alkitab. Pertanyaan pelapor, mengapa gereja-gereja masa kini tidak memakai Targum sebagai salah satu bahan penting untuk Hermeneutik? Bukankah konteks asli akan lebih mudah ditemui dalam buku ini?

Perlu diakui bahwa ada begitu banyak pertanyaan yang muncul seputar isi Alkitab. Mulai dari rangkaian kejadian, tokoh-tokoh Alkitab yang dianggap sebagai orang-orang ideal namun mempunyai kesaksian kurang baik, tindakan Allah dalam sejarah manusia yang kadang dinilai tidak pada tempatnya atau bahkan terkesan tidak konsisten, otoritas para mengarang, menghadirkan banyak sekali pertanyaan. Akibatnya, iman Kristenpun acapkali dipertanyakan, bukan hanya oleh kaum non- Kristen, bahkan oleh umat Nasrani sendiri. Dan butuh waktu panjang dan penjelasan yang njelimet, ditambah lagi dengan begitu banyaknya versi tafsiran. Bisa jadi karena terbatasnya ruang dalam penulisan Alkitab, sistem pengeditan, atau bahkan ide bahwa satu kalimat tulisan penulis saja sudah bisa menjelaskan tentang sebuah keadaan tanpa perlu adanya penjelasan lebih lanjut, atau juga dengan alasan bahwa para penulis yang Allah pakai dalam menulis kitab ini memang menulis secara organis sesuai dengan kapasitas mereka pribadi.

(34)

nyaris hancur karena terlalu tua?”

256-270 Death and Justice: Shifting Paradigms In The Hebrew Bible And Early Judaism By Ed Noort

Apa hubungan antara Allah dengan kematian? Sejak zaman Israel kuno ide tentang kematian ini juga sudah dipikirkan. Barth melihat bahwa dalam kitab Ibrani, kehidupan dipandang sebagai kebebasan, kesehatan, dan batas-batas sosial sementara kematian dipandang sebagai keadaan terpenjara, tertekan dan sakit. Eebrhart menekankan bahwa Allah memegang semua kendali dunia termasuk dunia di bawahnya, alam maut tanpa menjadikan-Nya sosok yang jahat. Berkat Allah itu juga berlaku tidak hanya pada masa hidup manusia, namun juga sesudah manusia itu meninggal. Berdasarkan pertanyaan ini juga studi ini dilakukan oleh Noort. Noort membagi jawaban untuk pertanyaan ini menjadi dua sisi:

(35)

leluhur atau pemimpin mereka?

Studi kedua tentang pertanyaan itu kelihatan lebih mengena dengan pertanyaan. Studi ini berlangsung di sekitar komunitas Qumran. Mereka umumnya mengaitkan antara kematian dengan daging, kulit dan otot. Kematian dianggap sebagai kutukan dan kebangkitan dianggap sebagai berkat. Berkat ini diperoleh sebagai akibat dari iman, ketaatan kepada Taurat, dan kebenaran. Karena itu, berdasarkan kitab Yehezkiel 37, kebangkitan dari kematian merupakan keputusan pribadi. Kitab Henok juga memberi penekanan tentang penghakiman terakhir pasca kematian setiap manusia. Dalam buku para Pelihat, kaum post-mortem juga memberi penekanan yang sama tentang penghakiman terakhir. Kehidupan setelah kematian merupakan satu perhelatan tentang penghakiman semasa hidup di dunia. Kitab Daniel dan Henok memberi penekanan khusus tentang kebangkitan orang mati dan penghukuman ini dan biasa disebut sebagai kitab “Apokaliptik”. Kitab-kitab kebijaksanaan juga menyinggung tentang fakta dan makna kematian ini. Kematian ini akan menghampiri semua orang dan keadilan justru akan berakhir di masa setelah kematian ini. Setiap orang benar memiliki keyakinan untuk diselamatkan oleh Allah dari kekuatan Sheol. Namun keadilan pasca kematian ini memiliki kaitan erat dengan kehidupan manusia semasa di dunia. Saat seseorang meninggal, ia akan masuk ke dalam sebuah tempat di mana orang-orang benar menanti bersama-sama sampai kepada penghakiman terakhir.

Allah adalah penguasa alam semesta. Karena itu, pada hari penghakiman terakhirpun, Allah sendirilah yang akan bertindak sebagai Hakim yang adil bagi dunia. Dan ide ini sebenarnya sudah ada bahkan sejak sebelum pembuangan Israel. Lalu apa gunanya kita masih tetap berhubungan dengan roh-roh leluhur yang melayang-layang tidak jelas di udara atau alam bawah tanah yang hanya bisa berkuasa untuk alam “lain” jika kita dapat langsung berhubungan dengan Allah yang adalah penguasa dari segala sesuatu?

(36)

menjawab banyak pertanyaan yang selama ini ada dalam benak pelapor tentang PL. Yang sering mempertanyakan dan suka berrimajinasi tentang PL, jangan pernah melewatkan buku ini.

KEPUSTAKAAN

Blommendaal, J. (2012). Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Wright, Chritopher J.J (2012). Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta :

BPK Gunung Mulia.

Sosipater, Karel. (2010). Etika Perjanjian Lama. Jakarta : Suara Harapan Bangsa. Zuck, Roy B. (2005). Teologi Kitab-kitab Yosua, Hakim-hakim, dan Rut oleh Thomas L.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol biji alpukat sangrai ( Persea americana Mill.) memiliki aktivitas penghambatan

Pada %aktu otot berkontraksi kalsium berperan dalam interaksi protein di dalam otot yaitu aktin dan miosin. Bila darah kalsium kurang dari normal oto tidak bisa mengendur

Proses pengumpulan informasi dilakukan secara faktual dan dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat mengatasi masalah

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala berkat, rahmat, kemudahan serta bimbingan-Nya selama menyusun skripsi yang berjudul “Hubungan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab IV, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, variasi yang dimunculkan guru Bahasa

Keberhasilan implementasi menurut Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan ( content of policy ) dan lingkungan implementasi ( context

Katuk ( Sauropus androgynus L Merr) mengandung senyawa fitosterol yang diharapkan dapat menurunkan kolesterol. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah fitosterol yang