• Tidak ada hasil yang ditemukan

REHABILITASI KAWASAN HUTAN BEKAS KEBAKAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REHABILITASI KAWASAN HUTAN BEKAS KEBAKAR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

REHABILITASI KAWASAN HUTAN BEKAS KEBAKARAN I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kebakaran hutan di Indonesia terjadi setiap tahun. Kebakaran-kebakaran besar terjadi tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998, melanda puluhan ribu sampai jutaan hektar hutan. Pada tahun 1997 kebakaran hutan mencapai 263.991 ha dan pada awal tahun 1998 seluas 507.239 ha.

Menurut peruntukannya, hutan yang terbakar terdiri dari:

1. Hutan konservasi (hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, taman hutan raya);

2. Hutan lindung;

3. Hutan produksi;

4. Hutan penelitian;

5. Hutan kota.

Menurut tipe hutannya, hutan yang terbakar terdiri dari:

6. Hutan rawa/hutan rawa gambut,

7. Hutan lahan kering.

Menurut keadaan vegetasinya hutan yang terbakar terdiri dari:

8. Hutan alam utuh (virgin forest);

9. Hutan alam bekas tebang pilih (LOA);

10. Hutan tanaman;

11. Semak/belukar;

12. Padang alang-alang.

(2)

dan jenis pohon, tipe kebakaran dan lamanya terkena pemanasan. Berdasarkan pengalaman di Kalimantan Timur 15 tahun setelah terjadi kebakaran, pada hutan yang terbakar sedang dan berat pada kebakaran hutan tahun 1982/1983 belum terdapat permudaan alam dari jenis-jenis pohon klimaks. Oleh karena itu rehabilitasi hutan yang terbakar sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan; sesuai dengan peruntukan hutan tersebut.

Dalam merehabilitasi hutan yang terbakar perlu mempertimbangkan berbagai faktor sebagai berikut:

13. Macam peruntukan hutan (hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan sebagainya). Cara rehabilitasi dan jenis pohon yang ditanam harus disesuaikan dengan peruntukan hutan tersebut.

14. Tipe hutan (hutan rawa/gambut, hutan lahan kering) dan bentuk hutan sebelum terbakar (hutan alam, hutan tanaman).

15. Tingkat kerusakan hutan (tingkat kematian pohon) yang terbakar (rusak ringan, sedang, berat, sangat berat). Cara rehabilitasinya perlu disesuaikan dengan tingkat kerusakannya.

16. Pengelola hutan yang bersangkutan (pengusaha HPH, HTI, pengelola hutan lindung, hutan konservasi), yang akan berperan sebagai pelaksana rehabilitasi.

17. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat setempat

(ketersediaan tenaga kerja, mata pencaharian, peran hutan bagi masyarakat setempat).

B. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan rehabilitasi hutan yang terbakar adalah untuk:

1. Mengembalikan fungsi hutan yang terbakar sesuai dengan peruntukannya.

2. Menyerap tenaga kerja yang tersedia di pedesaan sekitar hutan yang terbakar.

3. Mencegah terbakarnya kembali kawasan hutan yang bersangkutan.

(3)

Sasaran lokasi rehabilitasi adalah kawasan hutan yang terbakar, baik yang sudah lama atau yang baru terbakar. Dalam penentuan sasaran lokasi perlu dipertimbangkan ketersediaan tenaga kerja di pedesaan sekitar hutan yang terbakar. Areal hutan yang direhabilitasi adalah hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi serta hutan lainnya (hutan penelitian, hutan pendidikan, hutan kota, dan lain sebagainya).

II. Persyaratan Kegiatan dan Standar Keberhasilan A. Persyaratan Kegiatan

1. Persyaratan Ekologis

a. Jenis pohon yang dipilih adalah jenis lokal atau jenis lain yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh setempat, diutamakan yang tahan kebakaran.

b. Jenis pohon yang dipilih disesuaikan dengan fungsi hutannya.

c. Komposisi jenis pohon pada hutan yang dibentuk

melalui cara rehabilitasi harus diupayakan sesuai dengan komposisi jenis asalnya (hutan alam, hutan tanaman).

2. Persyaratan Ekonomi

a. Jenis pohon yang dipilih untuk rehabilitasi hutan produksi disesuaikan dengan kelas perusahaan/tujuan pengusahaannya.

b. Sebagian jenis pohon untuk rehabilitasi adalah berupa jenis pohon penghasil hasil hutan non kayu.

c. Kebakaran hutan yang terjadi menimbulkan dampak ekonomi yang paling parah terhadap masyarakat sekitar hutan.

3. Persyaratan Sosial

a. Cukup tersedia tenaga kerja di sekitar hutan yang akan direhabilitasi.

(4)

4. Persyaratan Hukum

Prioritas rehabilitasi adalah kawasan hutan negara yang telah dikukuhkan atau paling tidak sudah ditata batas.

B. Standar Keberhasilan 1. Standar Hasil

a. Standar hasil rehabilitasi buatan (penanaman) dinyatakan dalam persen tumbuh pohon, yang digolongkan ke dalam baik, sedang, jelek dan gagal. Standar hasil rehabilitasi buatan ini dibedakan menurut fungsi hutannya (standar hasil untuk hutan produksi lebih tinggi dari standar hasil untuk hutan dengan fungsi lainnya) dan penetapannya mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh Ditjen RRL (sekarang Ditjen PLPS). Tingkat keberhasilan diukur pada saat proyek akan berakhir (�1 tahun).

b. Standar hasil rehabilitasi secara alami adalah terjadinya permudaan alam minimal sebesar 40% per ha untuk tingkat semai, diukur pada saat proyek akan berakhir (�1 tahun).

2. Standar Manfaat

a. Erosi dan aliran permukaan berkurang.

b. Terserapnya tenaga kerja setempat.

c. Terhindarnya hutan dari kebakaran.

3. Standar Pengelolaan Pasca Kegiatan dan Kelembagaan

a. Setelah proyek rehabilitasi selesai, tanaman hasil

rehabilitasi dipelihara dengan baik oleh pengelola hutan setempat sehingga dapat tumbuh menjadi tingkat

pancang tiang sampai pohon.

b. Organisasi pengelolaan hutan setempat dapat

(5)

c. Oraganisai pengelolaan hutan setempat dapat

melembagakan perlindungan hutan khususnya terhadap kebakaran.

III. Implementasi Kegiatan A. Perencanaan

1. Penetapan Lokasi

Lokasi yang akan direhabilitasi adalah kawasan hutan yang mengalami kerusakan sedang sampai sangat berat. Hutan yang mengalami kerusakan sedang sampai sangat berat akan sangat terganggu fungsinya. Selain itu di lokasi tersebut harus cukup tersedia tenaga kerja, karena rehabilitasi hutan-hutan yang rusak sedang sampai berat akan memerlukan banyak tenaga kerja. Hutan yang memenuhi persyaratan tersebut perlu diidentifikasi melalui survei lapangan.

2. Penetapan Bentuk dan Rancangan Kegiatan

Rehabilitasi hutan yang terbakar dapat dilakukan dengan cara:

a. Rehabilitasi alami (permudaan alami) bagi hutan-hutan alam yang rusak ringan.

b. Penanaman pengayaan bagi hutan yang rusak sedang.

c. Penanaman dengan sistem jalur (jarak lebar) pada hutan yang terbakar berat.

d. Penanaman dengan jarak tanam rapat (close planting) bagi hutan yang rusak sangat berat. Di sini dapat diterapkan sistem surjan.

Dalam penetapan bentuk kegiatan tersebut diupayakan agar di masa depan masyarakat setempat dapat memperoleh manfaat dari hasil rehabilitasi ini, misalnya dari hasil hutan non kayu.

Rancangan fisik yang diperlukan pada rehabilitasi hutan terbakar adalah:

(6)

f. Perancangan jalur isolasi (sekat bakar, sekat bahan bakar, jalur hijau).

g. Perancangan jalan hutan/jalan trail.

h. Perancangan pola pertanaman (campuran, monokultur, sistem surjan).

i. Penentuan arah larikan dan jarak tanam.

3. Penetapan Volume dan Biaya Kegiatan

Volume kegiatan rehabilitasi tergantung pada bentuk kegiatan rehabilitasi, pembiayaan yang tersedia, kemampuan organisasi pelaksana dan ketersediaan tenaga kerja, peran serta

masyarakat dan ketersediaan bibit. Pada hutan produksi, sistem dan teknik silvikultur serta penetapan daur (umur panen) juga akan menentukan besar volume kegiatan. Di areal hutan alam yang terbakar biasanya sulit untuk memperoleh bibit jenis lokal.

Biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka rehabilitasi hutan yang terbakar terdiri dari biaya:

a. Survei/inventarisasi hutan yang terbakar

b. Penataan hutan bagi hutan belum ditata, atau penataan ulang/perbaikan bagi yang sudah ditata

c. Pengadaan bibit

d. Persiapan lahan

e. Penanaman

f. Pemeliharaan

g. Perlindungan hutan, termasuk dari ancaman kebakaran

B. Pelaksanaan Kegiatan 1. Teknis Kegiatan

(7)

a. Survei hutan yang terbakar dengan tujuan untuk mengetahui : (a) struktur dan komposisi vegetasi yang masih hidup; (b) tingkat kerusakan hutan; (c) potensi kayu dari pohon-pohon yang mati, baik yang dapat maupun yang tidak dapat dimanfaatkan. Survei

dilakukan dengan intensitas sampling 0,5–1%. Tingkat kerusakan hutan dibagi dalam 4 kelas, yaitu:

 Kerusakan ringan : persentase pohon mati dan pohon hidup merana <25%, atau pohon yang hidup sehat> 75% dari jumlah pohon total. Pohon adalah yang berdiameter 20 cm ke atas.

 Kerusakan sedang : persentase pohon yang mati dan yang hidup merana antara 25-50% (pohon yang hidup sehat 50-75%).

 Kerusakan berat : persentase pohon mati dan yang hidup merana 50-75% (pohon yang hidup sehat 25-50%).

 Kerusakan sangat berat : persentase pohon mati dan yang hidup merana > 75% (pohon) yang hidup sehat <25%).

b. Survei biofisik lapangan, untuk menetapkan jenis-jenis pohon yang akan ditanam dan tehnik rehabilitasinya.

c. Survei sosial-ekonomi masyarakat desa sekitar hutan yang terbakar untuk memperoleh gambaran mata

pencaharian, jumlah tenaga kerja, penggunaan lahan dan kemungkinan keikutsertaan penduduk dalam kegiatan rehabilitasi.

d. Penyusunan rencana kegiatan mencakup luas areal yang akan direhabilitasi, sistem rehabilitasi (permudaan alam, pengayaan, sistem jalur TPTJ, penanaman rapat, sistem surjan), pemilihan jenis pohon, pengadaan bibit,

penataan areal kerja, pencegahan kebakaran, tebang penyelamatan untuk pengurangan bahan bakar, jarak tanam.

e. Penataan hutan.

(8)

g. Penyiapan lapangan (pembersihan lahan, pengolahan tanah, pemancangan ajir dan pembuatan lubang tanam).

h. Penanaman dan pemeliharaan.

i. Perlindungan hutan, khususnya dari kebakaran.

Dalam penyiapan lahan di areal yang terbakar perlu didahului oleh tebang penyelamatan, untuk memanfaatkan pohon-pohon komersial yang mati dan hidup merana serta penebangan pohon non komersial yang mati. Penebangan pohon-pohon yang mati ini diperlukan untuk:

j. Mencegah terjadinya kebakaran hutan yang diperkirakan akan lebih hebat di musim kemarau pada tahun-tahun berikutnya, karena adanya akumulasi bahan bakar (pohon mati) yang cukup besar.

k. Mencegah kerusakan bibit yang telah ditanam karena tertimpa oleh pohon mati yang tumbang karena lapuk.

l. Mencegah kecelakaan para pekerja dan petugas karena tertimpa oleh pohon yang tumbang atau dahan lapuk yang jatuh, sewaktu melakukan penanaman,

pemeliharaan dan pemeriksaaan tanaman.

m. Memutus kontinuitas bahan bakar secara vertikal dan mempercepat pelapukan/dekomposisi pohon-pohon yang mati pada lantai hutan.

Rehabilitasi hutan bekas kebakaran tergolong kegiatan yang relatif baru. Rehabilitasi di areal demikian akan lebih sulit dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi biasa. Oleh karena itu bimbingan teknis sangat diperlukan, baik kepada pelaksana proyek maupun kepada para pekerja. Bimbingan teknis yang diberikan mencakup antara lain tehnik penebangan pohon-pohon mati sewaktu penyiapan lahan, sistem dan teknik rehabilitasi dan pencegahan kebakaran hutan.

2. Kelembagaan dan Pemasaran

Bila rehabilitasi dilaksanakan dengan sistem tumpangsari, maka para peserta tumpangsari perlu dihimpun dalam kelompok peserta, dengan anggota sekitar 10-20 orang.

(9)

efisien bila mereka dihimpun dalam kelompok. Untuk itu kepada para peserta perlu diberi motivasi tentang arti dan manfaat kelompok. Pembentukan kelompok ini juga diperlukan agar mereka dapat mengelola pohon-pohon penghasil hasil hutan non kayu. Dalam hal ini pembentukan kelompok perlu diarahkan pada kelembagaan masyarakat yang peduli pada kelestarian hutan dan pemanfaatan hasil hutan non kayu.

Bimbingan pemasaran perlu diberikan kepada para peserta tumpangsari agar mereka dapat memperoleh pendapatan (uang) secara maksimal dari hasil tumpangsarinya.

3. Pengawasan

Pengawasan yang intensif diperlukan dalam rehabilitasi hutan yang terbakar, terutama untuk mencegah kecelakaan para pekerja dan kesalahan dalam penerapan teknis kegiatan rehabilitasi. Pengawasan ini dilakukan secara intern oleh organisasi proyek, terutama oleh petugas lapangan.

Pengawasan proyek secara umum dilakukan oleh instansi pengawas fungsional.

C. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi dilakukan pada seluruh aspek kegiatan rehabilitasi, termasuk permasalahan yang dihadapi dan pencapaian hasil rehabilitasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan proyek selama proyek berlangsung. Pada saat monitoring dan evaluasi ini ditelaah permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan untuk dianalisis dan dicarikan jalan pemecahannya baik oleh petugas monitoring/evaluasi maupun bersama dengan petugas lain atau organisasi lain.

1. Kriteria dan Indikator Keberhasilan

Kriteria dan sekaligus indikator keberhasilan proyek rehabilitasi hutan yang terbakar adalah:

a. Luas areal yang direncanakan untuk direhabilitasi dapat dicapai.

(10)

Dalam jangka panjang hutan hasil rehabilitasi dapat berfungsi kembali sesuai atau mendekati keadaan asal, dicirikan oleh pertumbuhan pohon yang mencapai tahap dewasa (diameter 20 cm ke atas).

2. Frekuensi, Tahapan dan Prosedur Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi kegiatan rehabilitasi dilakukan 2 minggu sampai 1 bulan sekali. Untuk keperluan penyulaman, monitoring (pengukuran) persen tumbuh tanaman dilakukan 2-3 bulan setelah pananaman, tergantung pada jenis pohon yang ditanamnya. Monitoring pertumbuhan diulang menjelang akhir proyek, untuk mengukur tingkat keberhasilan proyek.

Tahapan monitoring dan evaluasi terdiri dari persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Pada tahap persiapan dilakukan penyusunan daftar isian yang mengacu pada rencana

operasional proyek dan penyiapan alat monitoring.

Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan prosedur berikut:

a. Petugas melakukan persiapan monitoring dan evaluasi.

b. Petugas melakukan monitoring dan evaluassi kegiatan setelah mendapat surat tugas dari Pimpro.

c. Monitoring luas areal yang direhabilitasi dilakukan dengan menggunakan alat ukur canggih atau yang sederhana, tergantung pada ketersediaan alat.

d. Monitoring pertumbuhan tanaman dilakukan dengan cara membuat petak ukur secara sistematik dengan intensitas 1%. Petak ukur berupa lingkaran atau berupa larikan (misalnya pada sistem penanaman jalur).

e. Petugas monitoring dan evaluasi melakukan pengolahan data dan pembuatan laporan.

3. Pelaporan

Jenis laporan penyelenggaraan kegiatan ini terdiri dari:

(11)

b. Laporan triwulan Pimbagpro kepada atasan langsung dan Pimpro.

c. Laporan semester dari atasan Pimbagpro kepada Dirjen yang membawahinya.

d. Laporan tahunan Pimpro kepada Dirjen yang mengendalikan kegiatan.

e. Materi laporan mencakup penyerapan tenaga kerja (HOK), dana, kerugian fisik kegiatan dan permasalahan yang terjadi serta cara pemecahan masalah yang telah dilaksanakan. Apabila kegiatan sudah memberikan hasil, laporannya juga mencakup besarnya hasil yang

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara penerimaan diri dan depresi pada gay di Surakarta.. Kata Kunci: Penerimaan diri,

Analisis sintaksis mendapati bahawa KOMP sememangnya mempunyai [uwh] yang kuat tetapi kekuatan berkenaan tidak mampu mewajibkan kata soal tersebut bergerak ke posisi

Suorakylvökoekentällä kynnetyn maan lämpötila jäi katekoekenttää alemmaksi, ja se saavutti sänkipeitteisen maan lämpötilan noin viikkoa myöhemmin kuin

Langkah-langkah pada aplikasi ANP adalah : (1) membuat konstruksi model dengan kontrol hierarki yang terdiri dari aspek-aspek yang dipertimbangkan dan alternatif

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kulit daging buah kopi fermentasi MOL sebagai ransum dalam bentuk pelet terhadap kelinci peranakan rex jantan lepas

kita harus menebak dan coba-coba dua bilangan yang apabila dijumlahkan akan. menghasilkan nilai koefesien b dan apabila dikalikan akan menghasilkan

DOS merupakan kumpulan dari beberapa perintah dalam komputer yang berperan untuk mendukung dan menyatukan kerja perangkat keras dengan perangkat lumak dalam satu sistem

S ecara garis besar sistem ko- m oditas ubijalar, ubi N agara dan ubi A labio ini terdiri dari subsistem industri pengolahan, subsistem konsum en dan subsistem distribusi/pem