• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pelatihan Kecerdasan Adversitas terhadap Motivasi Berprestasi pada Siswa Kelas X di SMA Negeri 8 Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Pelatihan Kecerdasan Adversitas terhadap Motivasi Berprestasi pada Siswa Kelas X di SMA Negeri 8 Surakarta"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh:

Redydian Adhitya Nugraha G 0106081

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

iv

dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, sepanjang pengamatan dan pengetahuan saya

juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh

orang lain, kecuali yang secara tertulis dipergunakan dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi

pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut derajat kesarjanaan saya.

Surakarta, Desember 2011

(3)

v

“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia” (Q. S. Al-Ikhlas : 4)

“Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta” (Munawir Yusuf)

Winner never quit and quitter never Win

(4)

vi

Sebuah karya ini kupersembahkan untuk orang-orang

yang selalu ada di hati.

Berkat doa, dorongan, dukungan, dan arahan merekalah

Karya ini terselesaikan sebagai bentuk karya terindah

dari tetesan limpahan Rahmat Illahi.

Persembahan untuk :

1. Papa Mama tercinta untuk seluruh doa dan kasih sayang

Yang tak pernah padam di setiap hela nafasnya.

2. Kakak-kakak dan adeku tersayang yang memberikan motivasi besar

Dalam

hidupku.

3. Mahardika Supratiwi yang telah memberikan

(5)

vii

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, dan

hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I

Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul

“Pengaruh Pelatihan Kecerdasan Adversitas Terhadap Motivasi Berprestasi pada

Siswa Kelas X di SMA Negeri 8 Surakarta”.

Peneliti menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari

bimbingan, arahan, bantuan, dorongan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu

peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas

Kedoteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dra. Suci Murti Karini, M.Si., dan Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si., selaku

dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah meluangkan waktu

disela-sela kesibukannya untuk memberikan arahan, bimbingan, dan masukan yang

sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

4. Dra. Salmah Lilik, M.Si., dan Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., sebagai Penguji I

dan Penguji II yang telah bersedia memberikan kritik, saran, serta masukan yang

(6)

viii

pengalaman berharga, dan bantuan demi kemajuan pendidikan peneliti.

6. Dra. AD. Gayatri, M.Pd., MM., dan Hindarso, S.Pd., M.Pd., selaku Kepala

Sekolah dan Wakasek Kurikulum SMA Negeri 8 Surakarta beserta seluruh staff

yang terkait di dalamnya yang telah memberikan ijin dalam melakukan penelitian

di SMA Negeri 8 Surakarta.

7. Kedua orang tuaku, Drs. Munawir Yusuf, M.Psi. dan Dra. Mugiarti Chaeri yang

telah memberikan cinta, kasih sayang, dan doa tanpa henti di setiap nafas yang

indah dalam mengarungi kehidupan peneliti.

8. Kakak-kakakku dan adiku tersayang, Iryadefrid A’rof Nugroho, SE., dan Anggun

Setya GS, S.Sos., beserta istri Lucinda Darmani, S.Si., dan Nadhifia Iryadini RA

yang telah memberikan semangat, dukungan, arahan, dan doa dalam setiap

langkah penyelesaian penyusunan skripsi ini.

9. Keluarga besar Drs. Mardiyono, M.Si dan Dra. Nur Hidayati, M.Pd., yang tak

lelah memotivasi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Mahardika Supratiwi, S.Psi., terima kasih atas waktu yang sangat bermanfaat dan

bernilai dalam kehidupan peneliti.

11. Teman-teman team pelatihan (Prehaten, Burhan, Gendig, Farah, dan Dika) yang

bersedia meluangkan waktunya untuk membantu dalam pelatihan.

12. Sahabat “Perguruan Singa Laut” (Chandra, Nandes, Eli, Sobri, dan Mahar) atas

(7)

ix dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini.

Mudah-mudahan segala bantuan dan doa yang telah diberikan mendapatkan

balasan dari Allah SWT dengan pahala yang berlimpah. Akhir kata, semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Amien.

Surakarta, Desember 2011

Penulis

(8)

x G0106081

ABSTRAK

Setiap pelajar memiliki tujuan yang sama yaitu sukses di dalam belajarnya. Dalam meraih kesuksesan terdapat hambatan-hambatan yang harus dilalui, diantaranya adalah rasa malas, suasana belajar tidak kondusif, tidak menyukai mata pelajaran tertentu, dan lain sebagainya. Siswa dituntut untuk berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi berkaitan dengan hambatan-hambatan tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan siswa inilah merupakan usaha konkret untuk meraih keberhasilan. Seseorang yang mampu mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan memiliki kecerdasan adversitas yang tinggi. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas yang tinggi adalah individu yang optimis, berpikir dan bertindak secara tepat, mampu memotivasi diri sendiri, berani mengambil resiko, dan berorientasi pada masa depan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan kecerdasan adversitas terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas X di SMA Negeri 8 Surakarta.

Penelitian ini menggunakan teknik matching dengan membandingkan skor motivasi berprestasi subyek antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen dalam penelitian ini diberikan perlakuan berupa pelatihan kecerdasan adversitas selama dua kali pertemuan dengan waktu 240 menit. Pelatihan diberikan oleh dua fasilitator dan tiga ko-fasilitator dengan metode presentasi dan tayangan video serta materi pelatihan yang telah disusun oleh peneliti dalam modul. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan Skala Motivasi Berprestasi dengan nilai validitas 0,391 sampai 0,844 dan nilai reliabilitas 0,952.

Berdasarkan uji hipotesis dengan uji Independent Sample T Test didapatkan nilai t hitung lebih besar daripada t tabel (3,447 > 2,035) dan P value kurang dari 0,05 (0,002 < 0,05) dan uji hipotesis dengan uji Paired Sample T Test didapatkan nilai t hitung lebih besar daripada t tabel (3,241 > 2,120) dan P value kurang dari 0,05 (0,005 < 0,05) sehingga pelatihan kecerdasan adversitas memiliki pengaruh dalam meningkatkan motivasi berprestasi pada siswa kelas X di SMA Negeri 8 Surakarta.

(9)

xi G0106081

ABSTRACT

Each student has the same goal which is successful in his studies. In reaching for success there are barriers that must be traversed, among them is a lazy, not conducive learning ambience, not like a particular subject, and so on. Students are required to attempt to resolve the problems encountered with regard to the barriers. The efforts undertaken this is concrete student's efforts to achieve success. Someone who is able to transform obstacles into success opportunities have a higher intelligence adversitas. Individuals who have the intelligence of a high adversity is the individual who is optimistic, think and act in a timely, unable to motivate themselves, dare to take risks, and future-oriented. This research aims to determine the influence of adversity intelligence training against an accomplished student motivation in class X in SMA Negeri 8 Surakarta.

This research uses the technique of matching by comparing scores between the subjects group motivation accomplished control and experimental groups. Group experiment in this study were given preferential treatment in the form of training of intelligence adversity during a meeting with twice the time 240 minutes. Training provided by the two facilitators and three cofacilitator with method presentation and video footage as well as training materials have been compiled by researchers in the module. Data retrieval is performed using the Achievement Motivation Scale with the value of the validity 0,391 to 0,844 and reliability value 0,952.

Based on the hypothesis test by Independent Sample T Test obtained value t count bigger than t table (3.447> 2.035) and P values less than 0.05 (0.002 <0.05) and hypotheses test by Paired Sample T Test obtained value of t count bigger than t table (3.241> 2.120) and P values less than 0.05 (0.005 <0.05) so that adversity intelligence training has an influence in improving student achievement motivation in class X in SMA Negeri 8 Surakarta.

(10)

xii

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi Berprestasi ... 15

(11)

xiii

B. Pelatihan Kecerdasan Adversity ... 28

1. Pelatihan ... 28

2. Kecerdasan Adversitas ... 37

3. Pelatihan Kecerdasan Adversitas ... 46

C. Pengaruh Pelatihan Kecerdasan Adversitasterhadap Motivasi Berprestasi pada Siswa Kelas X di SMA Negeri 8 Surakarta .. 48

D. Kerangka Pemikiran ... 52

E. Hipotesis ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 53

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 53

1. Motivasi Berprestasi ... 53

2. Pelatihan Kecerdasan Adversitas ... 53

C. Desain Penelitian ... 57

D. Populasi, Sampel, dan Sampling ... 61

E. Teknik Pengumpulan Data ... 62

F. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 65

1. Skala ... 65

2. Modul ... 65

(12)

xiv

2. Persiapan Administrasi ... 69

3. Persiapan Alat Ukur ... 69

4. Persiapan Eksperimen ... 72

5. Pelaksanaan Uji Coba ... 74

6. Perhitungan Validitas dan Reliabilitas ... 76

7. Penyusunan Alat Ukur ... 78

B. Pelaksanaan Penelitian 1. Pelaksanaan Pengambilan Data Pretest ... 81

2. Penentuan Subyek Penelitian ... 82

3. Pelaksanaan Eksperimen ... 84

4. Pelaksanaan Pengambilan Data Postest ... 90

C. Hasil Penelitian 1. Hasil Analisis Kuantitatif ... 91

2. Hasil Analisis Kualitatif ... 102

D. Pembahasan ... 125

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 133

B. Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 136

(13)

xv

Tabel 2 Aspek dan Kriteria Evaluasi Proses ... 55

Tabel 3 Blueprint (Kisi-kisi) Skala Motivasi Berprestasi ... 49

Tabel 4 Distribusi Skala Motivasi Berprestasi ... 71

Tabel 5 Nilai Tes Evaluasi Materi Uji Coba Modul ... 75

Tabel 6 Nilai Pemahaman Materi Uji Coba Modul ... 76

Tabel 7 Distribusi Skala Motivasi Berprestasi Setelah Uji Coba ... 78

Tabel 8 Hasil Uji Reliabilitas Alpha Cronbach ... 79

Tabel 9 Distribusi Aitem Skala Motivasi Berprestasi untuk Penelitian ... 80

Tabel 10 Subyek Kelompok Kontrol ... 83

Tabel 11 Subyek Kelompok Eksperimen ... 83

Tabel 12 Deskripsi Hasil Penelitian ... 92

Tabel 13 Hasil Uji Normalitas ... 94

Tabel 14 Hasil Uji Homogenitas ... 95

Tabel 15 Uji Independent Sample T Test ... 96

Tabel 16 Uji Paired Sample T Test Kelompok Eksperimen ... 98

Tabel 17 Uji Paired Sample T Test Kelompok Kontrol ... 99

(14)

xvi

Gambar 2 Siklus Experiential Learning ... 33

Gambar 3 Bagan Kerangka Pemikiran ... 52

Gambar 4 Desain Penelitian Non Randomized Control Group

Pretest-Postest Design ... 58

Gambar 5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 59

Gambar 6 Rata-rata Skor Motivasi Berprestasi Kelompok Eksperimen

dan Kelompok Kontrol ... 93

Gambar 7 Skor Motivasi Berprestasi Subyek Kelompok Eksperimen

Sebelum (pretest) dan Sesudah (postest) Pelatihan ... 102

Gambar 8 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE1Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 103

Gambar 9 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE2 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 105

Gambar 10 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE3 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 106

Gambar 11 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE4 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 107

Gambar 12 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE5 Sebelum dan

(15)

xvii

Sesudah Pelatihan ... 111

Gambar 15 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE8 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 113

Gambar 16 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE9 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 114

Gambar 17 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE10 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 115

Gambar 18 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE11 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 117

Gambar 19 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE12 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 118

Gambar 20 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE13 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 119

Gambar 21 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE14 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 120

Gambar 22 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE15 Sebelum dan

Sesudah Pelatihan ... 121

Gambar 23 Skor Motivasi Berprestasi pada Subyek KE16 Sebelum dan

(16)

xviii

Pretest dan Postest Pelatihan Pada Kelompok Eksperimen

(17)

xix

Lampiran B Skala untuk Try Out dan Penelitian ... ... 144

Lampiran C Penjelasan Pelatihan ... 158

Lampiran D Evaluasi Proses dan Hasil Pelatihan ... 162

Lampiran E Modul Pelatihan Kecerdasan Adversitas ... 166

Lampiran F Tabulasi Try Out, Pretest, Postest, dan Pengkategorian Tingkat Motivasi Berprestasi ... 179

Lampiran G Uji Validitas, Reliabilitas, dan Hipotesis ... 192

Lampiran H Dokumentasi Penelitian ... 201

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bersamaan dengan lajunya arus reformasi dalam dunia pendidikan,

berbagai upaya pembenahan sistem pendidikan dan perangkatnya di Indonesia

terus dilakukan, akibatnya muncul beberapa peraturan pendidikan untuk saling

melengkapi dan penyempurnaan peraturan-peraturan dengan kebutuhan saat ini.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

mengamanatkan bahwa pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab. Amanat tersebut diselenggarakan melalui suatu sistem pendidikan nasional

secara menyeluruh dalam segenap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tersebut terus menerus dilakukan

tetapi berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang

berarti. Sebagai contoh, Pemerintah telah menaikkan standar nilai kelulusan SMA

dari tahun ke tahun dengan maksud untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Namun tetap saja pada kenyataannya setiap tahun angka ketidaklulusan siswa

(19)

masih tergolong tinggi. Motivasi berprestasi siswa menjadi salah satu bidikan

peneliti untuk meneliti sajauh mana pengaruhnya terhadap keberhasilan siswa

dalam dunia pendidikan, terutama untuk sekolah menengah atas.

Motivasi berprestasi merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam

proses pendidikan maupun dalam proses melaksanakan tugas dalam kehidupan

sehari-hari. Motivasi berprestasi dapat dilihat sebagai kondisi internal atau

eksternal yang mempengaruhi bangkitnya, arahnya, serta tetap berlangsungnya

suatu kegiatan atau tingkah laku (Martin dan Briggs, 1986). Motivasi berprestasi

seseorang dapat dilihat atau disimpulkan dari adanya usaha yang ajeg, adanya

kecenderungan untuk bekerja terus meskipun sudah tidak berada di bawah

pengawasan, atau adanya kesediaan mempertahankan kegiatan secara sukarela

kearah penyelesaian suatu tugas. Motivasi acapkali dikaitkan dengan prestasi,

yaitu sebagai faktor yang menjadi penyebab keberhasilan atau kegagalan

seseorang dalam melaksanakan tugas.

Weiner (1985) seorang ahli psikologi dari Amerika Serikat

mengemukakan bahwa hal-hal yang menyebabkan kegagalan atau kesuksesan

adalah : (1) usaha, (2) kemampuan, (3) orang lain, (4) emosi, (5) tingkat kesulitan

tugas, dan (6) keberuntungan. Berkaitan dengan usaha dan kemampuan, Bandura

(1982) mengemukakan bahwa bila seseorang memiliki rasa yang kuat tentang

kemampuan dirinya (self efficacy), maka akan mendesak usaha yang lebih besar

untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menantang daripada orang yang memiliki

keraguan diri akan kemampuannya. Adanya perasaan mampu (untuk berprestasi)

(20)

aspek percaya diri, yaitu bahwa ia akan merasa yakin dengan kemampuannya

untuk dapat mencapai suatu prestasi tertentu.

Studi mengenai motivasi mencakup daerah yang sangat luas. Namun

demikian, menurut Martin dan Briggs (1986) cara penglihatannya dapat dilakukan

dari dua segi, yaitu melihat motivasi sebagai faktor internal atau sebagai faktor

eksternal. Tinjauan internal melihat motivasi terutama dari segi perspektif

individu. Pusat perhatiaannya terletak pada usaha untuk memahami bagaimana

motivasi dipengaruhi oleh cara individu memberikan arti kepada sebab-sebab

keberhasilan maupun kegagalannya, atau bagaimana motivasi dipengaruhi oleh

pengharapan (expectancy) terhadap hasil yang akan diperolehnya. Studi mengenai

motivasi sebagai faktor internal muncul dalam bentuk topik-topik yang bervariasi,

seperti minat (interest), hasrat ingin tahu (curiousity), harga diri (self-esteem),

kecemasan (anxiety), motivasi untuk berprestasi (achievement motivation),

atribusi (attribution), tingkat aspirasi (levels of aspirations), teori penguatan

(reinforcement theory), letak pengendalian (locus of control), motif berkuasa

(power motives), ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helpessness),

penilaian terhadap kefeektifan diri sendiri (self efficacy), dan pengharapan

(expectancy).

Tinjauan kedua melihat motivasi sebagai suatu yang dapat dipengaruhi

oleh faktor-faktor dari luar. Misalnya struktur sosial sekolah, iklim sekolah, dan

besar kecilnya sekolah dapat mempengaruhi motivasi. Sekolah yang kecil

(21)

munculnya rasa tanggung jawab dan cenderung menimbulkan dampak yang lebih

bersifat pribadi.

Eccles dan Wagfield (2002) menyatakan bahwa motivasi berprestasi

memiliki hubungan dengan nilai dan ekspektansi kesuksesan. Menurut Rokeach

(1980) nilai merujuk pada kriteria untuk menentukan tingkat kebaikan,

keburukan, dan keindahan. Nilai (value) merupakan pikiran-pikiran yang dimuat

secara afektif tentang objek, ide-ide, tingkah laku, dan lainnya, yang menentukan

tingkah laku, tetapi tidak wajib untuk melakukannya. Nilai-nilai kemandirian,

keunggulan, dan semangat berprestasi perlu ditanamkan sedini mungkin sehingga

pada saat usia seseorang memasuki usia produktif mereka dapat menghasilkan

keluaran yang baik disertai sikap dan ketahanan mental yang matang.

Eccles (dalam Eccles dan Wigfield, 2002; Wigfield, dkk, 2004)

memberikan definisi ekspektansi kesuksesan (expectancy for success) sebagai

keyakinan individu tentang bagaimana mereka dapat melakukan sesuatu di masa

depan dimana keyakinan tersebut didasari oleh kemampuannya yang dimiliki.

Keyakinan seperti ini sangat penting untuk memotivasi seseorang meraih

keberhasilan. Dukungan terhadap pernyataan ini sampai sekarang dapat dilihat

dengan banyaknya buku tentang kesuksesan yang mengemukakan bahwa kunci

kesuksesan ditentukan oleh keyakinan, harapan, keinginan, motivasi, dan impian

(Elfiki, 2003; Schwartz, 1996).

Menurut Mahmud (1989) masa remaja merupakan masa yang penting bagi

perkembangan prestasi. Dimana pada masa ini, remaja dituntut untuk terus

(22)

inilah remaja membuat keputusan penting sehubungan dengan masa depan

pendidikan.

Selain mementingkan prestasi, Piaget (dalam Santrock, 2001)

menambahkan bahwa salah satu ciri pemikiran operasional formal remaja adalah

bahwa pada tahap perkembangannya, remaja memiliki pemikiran idealis. Dalam

pemikiran yang idealis ini, remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal mereka

dan orang lain dengan menggunakan standar-standar. Sementara pada masa

anak-anak lebih berpikir tentang apa yang nyata dan apa yang terbatas. Selama masa

remaja, pemikiran-pemikiran sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan.

Salah satu ciri remaja adalah menginginkan sistem nilai dan kaidah yang serasi

dengan kebutuhan atau keinginannya tidak selalu sama dengan sistem nilai dan

kaidah yang dianut oleh orang dewasa.

Haldane (dalam Sia, 2001) mengatakan bahwa prestasi adalah sebuah

pengalaman yang memberi seseorang suatu gabungan perasaan seperti perasaan

bahwa dia telah melakukan sesuatu secara baik, perasaan senang dalam

melakukan hal tersebut, perasaan bangga terhadap apa yang telah dilakukannya.

Namun, penurunan prestasi di dalam kelas dapat membuat siswa merasa rendah

diri. Spencer dan Wlodkowski (dalam Zenzen, 2002) menyatakan bahwa prestasi

yang tinggi membawa kebanggaan bagi siswa, dan sebaliknya kegagalan

mencapai prestasi yang diinginkan terkadang membawa rasa malu bagi yang

bersangkutan. Hal tersebut terlihat ketika peneliti berkesempatan mengadakan

konseling di SMA Negeri 8 Surakarta dimana pada kesempatan tersebut peneliti

(23)

keinginan bersaing dan mendapat prestasi yang terbaik selalu ada. Akan tetapi jika

prestasi para siswa tersebut menurun atau tidak sesuai target yang ditetapkan maka perasaan “down” (rendah diri) dan perasaan bahwa siswa yang bersangkutan

merupakan siswa terbodoh dalam kelas tersebut selalu muncul, padahal siswa

tersebut telah berusaha keras belajar bahkan diantaranya ada yang menambah jam

belajar.

Monte dan Lifrieri (dalam Zenzen, 2002) menyatakan bahwa setiap siswa

memiliki keinginan kuat untuk berprestasi dan memiliki kemampuan untuk

meraih prestasi tersebut. Akan tetapi saat prestasi yang diperoleh tidak sebanding

dengan usaha yang dikerahkan, para siswa cenderung merasa sia-sia dan

membuang waktu. Beberapa siswa cenderung merasa bahwa mereka tidak mampu

untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, sehingga prestasi yang diperoleh

kurang memuaskan. Hal itu membuat siswa cenderung memilih untuk

mendapatkan prestasi yang rendah daripada membuktikan bahwa mereka tidak

memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Siswa dengan tingkat inteligensi yang tinggi belum tentu menghasilkan

prestasi yang tinggi, demikian juga siswa dengan tingkat inteligensi yang rendah,

belum tentu menghasilkan prestasi yang rendah juga. Ada faktor lain yang

berpengaruh dalam menentukan keberhasilan siswa, salah satunya yaitu adanya

dorongan dari siswa itu sendiri untuk berprestasi. Dorongan untuk berpestasi

dalam diri siswa sangat dibutuhkan untuk bisa menimbulkan semangat pada diri

siswa dalam mencapai target prestasi atau standar yang diinginkan. Dorongan

(24)

diperlukan para siswa untuk bisa berprestasi sesuai dengan tuntutan yang ada. Hal

tersebut didukung dengan pendapat Gellerman (1984), yang mengatakan bahwa

pada umumnya orang yang mempunyai tingkat motivasi berprestasi tinggi

biasanya lebih gigih, realistis, dan lebih suka bertindak.

Penelitian yang dilakukan Widyaningrum dan Rachmawati (2007)

menyebutkan bahwa 150 siswa di SMAN 1 Kasihan Bantul yang memiliki

kecerdasan adversitas menunjukkan prestasi belajar yang tinggi, begitu pula

sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi tidak semata-mata bergantung

pada IQ dan EQ seseorang, tetapi juga terkait dengan daya juang seseorang

(kecerdasan adversitas). Hellen Keller dengan ketahanannya mengatasi kesulitan,

keingintahuannya serta kecerdasannya mampu membuatnya berprestasi dalam

berbagai bidang (Crow, 2000).

Hasil penelitian Mulyani (2006), menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar matematika,

dengan koefisien korelasi sebesar 0,88548 pada taraf signifikansi 1%. Penelitian

dari Averoes (2011) mengungkap bahwa motivasi berprestasi dapat meningkatkan

prestasi belajar, yang ditunjukkan dengan nilai korelasi 0,931 pada taraf

signifikansi 1%.

Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah

psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa.

Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu,

khususnya ranah rasa siswa, sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil

belajar itu ada yang bersifat intangible (tidak dapat diraba). Oleh karena itu, yang

(25)

perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat

mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai proses hasil belajar siswa, baik

yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa (Muhibbin, 2004).

Subjek penelitian yang diambil adalah siswa-siswi SMA Negeri 8

Surakarta. Penulis memilih lokasi ini karena peneliti ingin mengetahui seberapa

besar motivasi berprestasi yang dimiliki oleh siswa-siswi kelas X di SMA Negeri

8 Surakarta. Berkaitan dengan subjek penelitian adalah siswa-siswi sekolah

menengah atas, peneliti berupaya mencari informasi tentang data siswa yang

mengikuti Ujian Akhir Nasional di Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga Kota Surakarta.

Data yang diperoleh dari Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

(Disdikpora) Kota Surakarta menyebutkan dari seluruh SMA negeri dan swasta di

Kota Surakarta sebanyak 37 sekolah, hanya 16 SMA yang siswanya berhasil lulus

100%. Dalam harian Solopos tanggal 15 Mei 2011, hasil wawancara pihak

Solopos dengan Budi Setiono, Sekretaris II Panitia UN 2011 Kota Surakarta,

mengungkapkan 21 sekolah dari 37 SMA negeri dan swasta tidak berhasil lulus

100%. Sedangkan untuk kelompok SMK, dari 45 sekolah yang ada di Kota Solo,

33 sekolah lulus 100%. Untuk kategori MA, dua sekolah lulus 100% dan dua

lainnya tidak.

Dibandingkan tahun 2010, angka ketidaklulusan siswa dalam UN 2011 di

Kota Surakarta memang mengalami penurunan yang signifikan. Di kelompok

SMA/MA, tingkat kelulusan di UN 2010 tercatat hanya 91,7% dengan jumlah

siswa tidak lulus sebanyak 209 siswa. Jumlah itu merosot drastis karena di UN

tahun 2011 jumlah siswa tidak lulus 113 siswa. Namun melihat persentase

(26)

2011 ini, menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti kaitannya dengan motivasi

berprestasi siswa di sekolah tersebut.

Setiap siswa memiliki motivasi yang berbeda-beda untuk berprestasi.

Menurut Nolker dan Scoenfeldt (1988), pengukuhan (reinforcement) memiliki

peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi proses belajar. Pengukuhan

terjadi apabila pihak yang belajar dapat melihat bahwa upayanya membawa hasil

baik. Jika proses saling memperkukuh antar kegiatan belajar serta berlangsungnya

cukup lama secara lancar, siswa bersangkutan akan memperoleh motivasi belajar

dan prestasi yang kukuh. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa mekanisme ini juga

bekerja ke arah negatif. Jika siswa selama jangka waktu panjang sering

mengalami kegagalan dalam kegiatan belajarnya, maka pada dirinya timbul

perkiraan akan gagal lagi. Harapan negatif ini akan menghalangi timbulnya

motivasi belajar. Hal ini dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Gambar 1

Keberhasilan dan Kegagalan dalam Pengalaman Belajar

(Nolker dan Scoenfeldt, 1988)

(27)

Motivasi sangat penting karena siswa yang mempunyai motivasi akan

lebih berhasil ketimbang siswa yang tidak memiliki motivasi (Hamalik, 1992).

Hal ini dipertegas oleh Imron (1996) yang menyatakan bahwa motivasi belajar

memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat, dan rasa senang

dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi memiliki energi yang

banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar. Dengan kata lain siswa yang

mempunyai motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal belajarnya dan sangat

sedikit pula kesalahan dalam belajarnya.

Manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di

atas kemampuan lain, seperti yang diungkapkan oleh David C. McClelland

(Thoha, 2008). McClelland menyebutkan adanya need for Achievement disingkat

n-Ach dan motif berprestasi pada diri individu. Motif berprestasi ialah keinginan

untuk berbuat sebaik mungkin tanpa banyak dipengaruhi oleh kebanggan dan

pengaruh sosial, melainkan demi kepuasan pribadinya. Sementara n-Ach adalah

dorongan untuk meraih sukses gemilang hasil yang sebaik-baiknya menurut

standar terbaik.

Kemampuan mengatasi kesulitan / tantangan diperlukan dalam perjalanan

individu guna meraih kesuksesan. Stoltz (2000) menyatakan individu dengan

kemampuan mengatasi kesulitan rendah memiliki sikap pesimis dan mudah putus

asa, mereka cenderung berpikir bahwa setiap persoalan hidup yang dihadapi selalu

bersumber dari diri sendiri. Berbeda dengan individu yang memiliki kemampuan

mengatasi kesulitan tinggi, Stoltz (2000) menyatakan bahwa individu dengan

(28)

memandang kesulitan yang dihadapinya tidak bersifat permanen sehingga sangat

mungkin untuk ditemukan penyelesaiannya. Pada individu yang memiliki sikap

optimis masalah dipahami sebagai suatu yang dapat dibatasi sehingga tidak

meluas ke seluruh sisi kehidupan. Individu dengan kemampuan tinggi dalam

mengatasi kesulitan akan mengubah kemalangan yang dihadapinya menjadi

kesuksesan dan individu akan belajar dari kegagalan yang dialami. Hal ini juga

berlaku dalam dunia pendidikan. Dengan memiliki kemampuan mengatasi

kesulitan yang tinggi maka siswa tidak akan mudah putus asa dan merasa rendah

diri saat mengetahui bahwa prestasinya menurun atau tidak sesuai target yang

ditetapkan, bahkan kegagalan tersebut akan membuat siswa bersemangat belajar

untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi.

Mortel (2000) mengemukakan kegagalan ialah suatu proses yang perlu

dihargai. Lebih lanjut Mortel (2000) juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah

suatu pengalaman yang akan menghantar untuk mencoba berusaha lagi dengan

pendekatan yang berbeda. Seiring dengan itu Maxwell (2004), mengungkapkan

bahwa perbedaan antara individu yang berprestasi biasa dengan individu yang

prestasinya luar biasa adalah persepsinya tentang kegagalan serta bagaimana

responnya terhadap kegagalan.

Wetner (dalam Stoltz, 2000) mengatakan bahwa individu yang mengubah

kegagalannya menjadi batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau

pengalaman negatifnya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan

kemudian maju terus. Mereka mendekati segala sesuatu dengan melihat

(29)

Menurut Maxwell (2004), ada tujuh kemampuan yang dibutuhkan untuk

mengubah kegagalan menjadi batu loncatan yaitu: (l) para peraih prestasi pantang

menyerah dan tidak jemu-jemunya mencoba karena tidak mendasarkan harga

dirinya pada prestasi, (2) para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai

sementara sifatnya, (3) para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai

insiden-insiden tersendiri, (4) para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang

realistik, (5) para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada

kekuatan-kekuatannya, (6) para peraih prestasi menggunakan berbagai pendekatan dalam

meraih prestasinya, dan (7) para peraih prestasi mudah bangkit kembali.

Berdasarkan uraian di atas peneliti melihat bahwa setiap individu

membutuhkan kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi kesulitan

dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi para peserta didik. Oleh karena itu

peneliti merasa bahwa para siswa membutuhkan pelatihan yang sesuai untuk

meningkatkan kemampuan dalam menghadapi tantangan atau kesulitan-kesulitan

yang akan dihadapi, salah satunya dengan memberikan pelatihan kecerdasan

adversitas. Diharapkan, setelah dilakukan pelatihan kecerdasan adversitastersebut

siswa akan lebih memiliki kemampuan untuk menghadapi kesulitan dengan lebih

baik, lebih mampu meningkatkan motivasi berprestasi, dan dapat memperoleh

keberhasilan sesuai yang diharapkan selama ini. Oleh sebab itu, peneliti

berinisiatif mengambil judul “Pengaruh Pelatihan Kecerdasan Adversitasterhadap

(30)

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah : “Apakah ada pengaruh pelatihan kecerdasan

adversitas terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas X di SMA Negeri 8

Surakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh pelatihan kecerdasan adversitas terhadap motivasi

berprestasi pada siswa kelas X di SMA Negeri 8 Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah bagi wahana

perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan yang berkaitan

dengan motivasi berprestasi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat membangun jiwa semangat di dalam

meningkatkan kualitas individu yang berada di SMA Negeri 8 Surakarta.

b. Bagi Guru

1) Apabila penelitian ini terbukti maka guru dapat menambahkan metode

(31)

2) Sebagai bahan tambahan masukan untuk guru dalam meningkatkan

motivasi berprestasi siswa.

c. Bagi Siswa

1) Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi berprestasi

para siswa di SMA Negeri 8 Surakarta.

2) Membantu, mendorong siswa mencapai pengembangan diri,

menumbuhkan rasa percaya diri, menghilangkan rasa takut dalam

melaksanakan tugas dan mengerjakan ujian bagi siswa SMA Negeri 8

Surakarta.

d. Bagi Peneliti Lain

1) Sebagai masukan bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian

di masa yang akan datang.

2) Memberikan informasi terkait tentang pelatihan kecerdasan adversitas

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Motivasi Berprestasi

1. Pengertian Motivasi Berprestasi

Konsep motivasi berprestasi adalah bentuk yang lebih spesifik dari motif.

Motif menurut Suryabrata (2004) adalah keadaan dalam pribadi orang yang

mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai

sesuatu tujuan. Nashar (2004) mengemukakan motif ialah sesuatu yang

mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu. Freud (dalam Nashar,

2004) mengungkapkan bahwa motif merupakan energi dasar yang terdapat

dalam diri seseorang.

Motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan atau

menggerakkan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani

untuk berbuat. Chaplin (2002) istilah motivasi secara umum diartikan sebagai

variabel yang ikut campur tangan yang menimbulkan faktor-faktor tertentu untuk

membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku

menuju satu sasaran.

Atkinson (1996) mendefinisikan motivasi sebagai faktor-faktor yang

menguatkan perilaku dan memberikan arahannya. Woolfolk (2004) berpendapat,

motivasi merupakan suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku

tertentu, memberi arah, dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut.

(33)

McClelland (1987), menggunakan istilah n-Ach (need for achievement)

atau motivasi berprestasi yaitu kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi.

Motivasi berprestasi ditemukan pada pikiran yang berhubungan dengan

melakukan sesuatu yang baik, lebih baik dari sebelumnya dan lebih efisien.

Motivasi berprestasi dalam perilaku individu ada dua kecenderungan yaitu:

(a) Individu yang cenderung mengejar atau mendekati kesuksesan (tendency to

approach success), dan (b) Individu yang berusaha untuk menghindari kegagalan

(tendency to avoid failure). Dalam perilaku tampak individu yang tinggi motivasi

berprestasinya akan memperlihatkan perilaku individu yang cenderung mengejar

atau mendekati kesuksesan dan individu dengan motivasi berprestasi rendah akan

menonjolkan usaha untuk menghindari kegagalan atau ketakutan akan kegagalan

(Atkinson, 1996).

Motivasi berprestasi adalah motif yang mendorong individu dalam

mencapai sukses dan tujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan beberapa

ukuran keberhasilan, yaitu dengan membandingkan prestasi. Selanjutnya, As’ad

(1991) menyatakan bahwa motivasi berprestasi adalah kebutuhan untuk berbuat

lebih baik dari orang lain, yang mendorong individu untuk menyelesaikan tugas

lebih sukses, untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Gage dan Berliner (1992) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah

motivasi untuk sukses, untuk menjadi yang terbaik dalam sesuatu hal. Hollyforde

dan Whiddet (2003) menyatakan basis dari motivasi berprestasi adalah kekuatan

untuk mencapai kesuksesan. Tentunya setiap individu memiliki definisi tentang

(34)

tujuannya, semakin seseorang tersebut memiliki kepuasan dan pengalaman dalam

pencapaiannya, sebab itu mereka akan berjuang untuk melakukan dan

mendapatkan hal tersebut di masa yang akan datang.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa motivasi

berprestasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk mencapai suatu

kesuksesan dengan selalu berusaha mengatasi segala rintangan yang menghambat

pencapaian tujuannya.

2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi

Setiap individu mempunyai aspek-aspek dalam motivasi berprestasi yang

berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya, ada individu yang

memiliki motivasi untuk berprestasi tinggi ada pula individu yang memiliki

motivasi untuk berprestasi rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Murray

(1990), aspek-aspek motivasi berprestasi adalah:

a. Mempunyai perasaan yang kuat untuk mencapai tujuan dengan hasil yang

sebaik-baiknya.

b. Memiliki tanggung jawab pribadi yang besar, mampu bertanggung jawab

terhadap dirinya sendiri dan menentukan masa depannya, sehingga apa yang

dicita-citakan berhasil.

c. Mempergunakan umpan balik untuk mentukan tindakan yang lebih efektif

guna mencapai prestasi, kegagalan-kegagalan yang dialami tidak membuatnya

(35)

d. Cenderung mengambil resiko “sedang” dalam arti tindakan-tindakannya

sesuai dengan batas kemampuan yang dimilikinya.

e. Cenderung bertindak secara kreatif dan inovatif.

f. Menyukai hal-hal baru yang penuh tantangan.

Lebih lanjut, McClelland (1987) menerangkan enam aspek motivasi

berprestasi yaitu sebagai berikut:

a. Mempunyai tanggung jawab pribadi atas segala perbuatannya

Individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi cenderung untuk

melakukan sendiri apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Mereka

akan berusaha untuk menyelesaikannya dan tidak akan meninggalkan tugas

tersebut walaupun semakin sulit sebelum menyelesaikannya. Individu ini juga

mempunyai pandangan bahwa apapun hasil yang didapatkan adalah karena

usahanya sendiri sehingga ia tidak akan menyalahkan orang lain apabila terjadi

kegagalan.

b. Memperhatikan umpan balik atas perbuatan atau tugas yang dilakukannya

Individu akan memaknakan umpan balik sebagai suatu masukan yang

penting, dimana ia dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya dalam

melakukan suatu hal tertentu sehingga informasi tersebut dapat menjadi

pedoman bagi perbuatannya di kemudian hari. Hal ini membuat individu

dengan motivasi berprestasi tinggi mempunyai keterbukaan tentang umpan

(36)

c. Resiko pemilihan tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan menetapkan tujuan

prestasi yang realistis, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Mereka

lebih suka bekerja dengan tantangan moderat yang menjanjikan kesuksesan,

tidak suka melakukan pekerjaan yang mudah dimana tidak ada tantangan

sehingga ada kepuasan untuk kebutuhan berprestasinya. Apabila menemui

tugas yang sukar dapat dikerjakan dengan membagi tugas menjadi beberapa

bagian yang tiap bagian tersebut akan lebih mudah untuk diselesaikan.

d. Tekun dan ulet dalam bekerja

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau

tekun dalam mengerjakan tugas walaupun tugas tersebut menjadi semakin sulit.

Mereka akan menetapkan tujuan yang realistis yang sesuai dengan

kemampuan, berusaha dengan keras mencapai tujuan dan akan mengatur

dirinya agar dapat mencapai tujuan tersebut secara efektif. Sekalipun menemui

kesulitan, ia akan memandang kesulitan tersebut sebagai suatu tantangan dan

merasa yakin dapat mengatasinya dengan kerja keras dan pantang mundur.

e. Dalam melakukan tugas penuh dengan pertimbangan dan perhitungan

Sebelum melakukan suatu hal, individu cenderung membuat

perencanaan secara matang dan mempersiapkan terlebih dahulu hal-hal yang

diperlukan agar apa yang akan dilakukannya berhasil dengan baik sesuai

rencana. Disamping itu individu juga mampu mengadakan antisipasi bencana

(37)

f. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara yang kreatif

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi senang bekerja dalam

situasi dimana ia dapat mengontrol hasilnya. Individu berusaha mencari cara

untuk mengerjakan suatu hal dengan lebih baik, suka melakukan pekerjaan

yang tidak biasa atau unik sifatnya serta senang bertindak kreatif dengan

mencari cara untuk menyelesaikan tugas seefisien dan seefektif mungkin.

Menurut pandangan Syah (2001), individu yang memiliki motivasi

berprestasi terdapat aspek-aspek:

a. Ingin menyaingi atau mengungguli orang lain.

b. Berupaya untuk meningkatkan harga diri melalui penyaluran

bakat/kemampuan secara sukses.

c. Ingin mengusai.

d. Memanipulasi dan mengatur lingkungannya agar dapat menunjang pencapain

prestasi.

e. Ada kebutuhan yang besar untuk bisa mandiri dan mencapai standar tinggi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti sependapat dengan

McClelland (1987) tentang aspek-aspeknya, antara lain menyenangi tugas atas

tanggung jawab pribadi, menyenangi umpan balik atas perbuatan yang dilakukan,

menyenangi tugas yang penuh tantangan, tekun dan ulet dalam bekerja,

melaksanakan tugas penuh dengan pertimbangan dan perhitungan, keberhasilan

tugas merupakan faktor yang penting bagi dirinya. Peneliti sependapat

dikarenakan aspek-aspek tersebut cocok untuk diterapkan untuk kalangan pelajar

(38)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

Perbuatan manusia selalu didorong oleh faktor-faktor yang mendorong

dirinya untuk melakukan perbuatan atau tingkah laku tertentu untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Tidak ada manusia yang mengerjakan suatu aktifitas atau

pekerjaan tertentu kalau tidak ada tujuan yang ingin dicapainya. Faktor pendorong

itu disebut motif sehingga masing-masing akvifitas atau pekerjaan yang dilakukan

oleh manusia akan selalu didasari oleh suatu motif tertentu.

Motivasi berprestasi sebagai pendorong individu untuk mengatasi

tantangan, rintangan dalam mencapai tujuan-tujuannya dipengaruhi oleh banyak

faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi menurut

Mc.Clelland (1987) diantaranya yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor internal

1) Keadaan jasmani. Keadaan jasmani baik yang bersifat bawaan atau bukan

bersifat bawaan, antara lain bentuk wajah, tinggi badan, warna kulit dan

sebagainya. Cacat fisik yang dimiliki individu akan dapat menghambat

dirinya untuk mempunyai motif berprestasi yang tinggi.

2) Usia. Kesadaran akan usia yang semakin bertambah menjadi suatu

pendorong seseorang untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. Dalam hal

ini bahwa orang yang berusia lebih tua akan semakin banyak

berpengalaman dalam kehidupan dan mempunyai suatu kiat-kiat tertentu

untuk menghindari kegagalan dan tidak akan melakukan kegagalan yang

(39)

3) Inteligensi. Inteligensi akan mempengaruhi motif berprestasi seseorang,

semakin tinggi tingkat inteligensi akan semakin tinggi pula motif

berprestasinya.

4) Kepribadian. Tiap-tiap individu mempunyai sifat-sifat kepribadian yang

berbeda antara individu yang satu dengan yang lain..

5) Minat. Individu yang mempunyai minat untuk belajar, berkompetisi dan

tidak mengharapkan kegagalan akan mempunyai motif berprestasi yang

tinggi.

6) Citra Diri yaitu gambaran seseorang mengenai dirinya. Seseorang yang

mempunyai citra diri positif akan tampak percaya diri, aktif dan berani

dalam menghadapi sesuatu. Sebaliknya seseorang yang memiliki citra diri

negatif akan tampak ragu-ragu, kurang percaya diri dan kurang berani

dalam menghadapi sesuatu meskipun sebenarnya memiliki kemampuan.

Dilihat dari ciri-ciri yang ada maka individu yang mempunyai citra diri

positif akan memiliki motivasi berprestasi lebih tinggi daripada individu

yang memiliki citra diri negatif.

7) Keberhasilan yang pernah dicapai. Keberhasilan dalam mencapai tujuan

yang telah ditentukan memiliki arti bahwa individu mampu mengatasi

kesulitan dan tantangan yang dihadapi keberhasilan ini akan

menumbuhkan kepercayaan pada diri serta penghargaan atas usaha yang

dilakukannya, dalam pandangan yang positif pada dirinya akan

(40)

8) Tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh pada

kebutuhan-kebutuhannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi akan menuntut timbal balik yang nyata, misalnya: mempunyai

aspirasi yang realistik pada dirinya. Individu yang berpendidikan tinggi

akan lebih banyak menuntut peranan bagi dirinya dibandingkan dengan

individu yang berpendidikan rendah.

b. Faktor Eksternal

1) Lingkungan Keluarga. Terbentuknya motivasi berprestasi bersumber dari

cara-cara orang tua mendidik dan mengasuh anak. Orang tua yang

mendidik anaknya untuk berusaha menentukan sendiri apa yang sebaiknya

dilakukan dan mampu mengerjakan tugas-tugasnya tanpa bantuan orang

lain, disertai dengan sikap orang tua yang selalu menghargai setiap prestasi

yang telah dicapai anak, akan menumbuhkan motivasi berprestasi yang

tinggi pada anak. Latihan yang diberikan oleh orang tua untuk percaya

pada diri sendiri dapat membantu timbulnya motivasi berprestasi, sesuai

dengan perkembangannya.

2) Lingkungan Masyarakat. Yaitu tempat individu hidup dan bergaul,

kegiatan masyarakat, budaya, tradisi, nilai hidup dan pola hidup yang

dianut masyarakat lingkungannya. Semua itu dapat mempengaruhi

motivasi berprestasi individu. Motivasi berprestasi berkembang karena

pengaruh kebudayaan dan lingkungan yang mementingkan kebebasan

pada anggota. Motivasi berprestasi berkembang karena pengaruh

(41)

kebebasan pada anggota keluarganya. Orang tua umumnya mengasuh

anak-anaknya sesuai dengan pola hidup yang dianut dilingkungannya.

Haditono (1984) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi bukanlah

aspek genetik sehingga pembentukan sangat ditentukan oleh berbagai faktor dari

luar yang terus berkembang sebagai suatu pengalaman yang mempengaruhi

individu, faktor dari luar yang dimaksud dapat berasal dari keluarga, sekolah, dan

lain-lain. Individu yang dibesarkan pada keluarga yang sangat mengahargai

prestasi sehingga dalam kehidupannya kelak pencapaian sebuah prestasi dalam

berbagai hal adalah sesuatu yang memang harus dia capai. Sebaliknya apabila

dalam keluaga tidak ada penghargaan yang diberikan jika ia menunjukkan suatu

prestasi, maka motivasi berprestasi yang bersangkutanpun tidak akan optimal.

Nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat juga mempengaruhi tinggi

rendahnya motivasi berprestasi seseorang. Masyarakat yang menjunjung tinggi

keadilan dengan memberikan penghargaan maupun hukuman secara adil kepada

anggotanya akan memunculkan pengertian bahwa hanya perilaku-perilaku yang

positiflah yang dihargai, sedangkan perilaku-perilaku yang negatif akan mendapat

sanksi. Pada akhirnya individu yang mengerti akan ketentuan dalam kehidupan

masyarakat akan senantiasa berusaha melakukan suatu tindakan positif dengan

penuh semangat sehingga dapat menambah motivasi berprestasi yang dimiliki

(Ancok, 1995).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi

seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari dalam diri

(42)

dalam antara lain keadaan jasmani, usia, inteligensi, kepribadian, minat, rasa

aman, tingkat pendidikan. Sedangkan faktor dari luar dapat dipengaruhi dari

lingkungan keluarga dan masyarakat.

4. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Motivasi Berprestasi

McClelland (1987) mengemukakan beberapa ciri individu yang memiliki

motivasi berprestasi, yaitu :

a. Pemilihan tingkat kesulitan tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung memilih tugas

dengan tingkat kesulitan menengah (moderate task difficulty), sementara

individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung memilih tugas dengan

tingkat kesulitan yang sangat tinggi atau rendah. Banyak studi empiris

menunjukkan bahwa subjek dengan kebutuhan berprestasi tinggi lebih

memilih tugas dengan tingkat kesulitan menengah, karena individu

berkesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melakukan sesuatu

dengan lebih baik.

b. Ketahanan atau ketekunan (persistence) dalam mengerjakan tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau

tekun dalam mengerjakan berbagai tugas, tidak mudah menyerah ketika

mengalami kegagalan dan cenderung untuk terus mencoba menyelesaikan

tugas, sementara individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung

(43)

berprestasi rendah terbatas pada rasa takut akan kegagalan dan menghindari

tugas dengan kesulitan menengah.

c. Harapan terhadap umpan balik (feedback)

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu mengharapkan

umpan balik (feedback) atau tugas yang sudah dilakukan, bersifat konkret atau

nyata mengenai seberapa baik hasil kerja yang telah dilakukan. Individu

dengan motivasi berprestasi rendah tidak mengharapkan umpan balik atas

tugas yang sudah dilakukan. Bagi individu dengan motivasi berprestasi tinggi,

umpan balik yang bersifat materi seperti uang, bukan merupakan pendorong

untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, namun digunakan sebagai

pengukur keberhasilan.

d. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kinerjanya

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki tanggung jawab

pribadi atas pekerjaan yang dilakukan.

e. Kemampuan dalam melakukan inovasi (innovativeness)

Inovatif dapat diartikan mampu melakukan sesuatu lebih baik dengan

cara berbeda dari biasanya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan

menyelesaikan tugas dengan lebih baik, menyelesaikan tugas dengan cara

berbeda dari biasanya, menghindari hal-hal rutin, aktif mencari informasi

untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu, serta

cenderung menyukai hal-hal yang sifatnya menantang daripada individu yang

(44)

Selanjutnya Hertinjung (2000) menunjukkan bahwa individu dengan motif

berprestasi tinggi selalu ingin mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya, selalu

ingin mencoba lagi sesuatu yang belum berhasil mereka kerjakan, ingin

mendapatkan prestasi yang lebih baik dari prestasi sebelumnya, ingin

menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari orang lain, dan memiliki tanggung

jawab tugas yang dilakukan.

Johnson, Schwitzgebel, dan Kalb (dalam Djaali, 2011) mengatakan bahwa

individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki karakteristik sebagai

berikut:

a. Menyukai situasi atau tugas yang menuntut tanggung jawab pribadi atas

hasil-hasilnya dan bukan atas dasar untung-untungan, nasib, atau kebetulan.

b. Memilih tujuan yang realistis tetapi menantang dari tujuan yang terlalu mudah

dicapai atau terlalu besar risikonya.

c. Mencari situasi atau pekerjaan dimana ia memperoleh umpan balik dengan

segera dan nyata untuk menentukan baik atau tidaknya hasil pekerjaannya.

d. Senang bekerja sendiri dan bersaing untuk mengungguli orang lain.

e. Mampu menangguhkan pemuasan keinginannya demi masa depan yang lebih

baik.

f. Tidak tergugah untuk sekedar mendapat uang, status, atau keuntungan lainnya,

ia akan mencarinya apabila hal-hal tersebut merupakan lambang prestasi,

suatu ukuran keberhasilan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa ciri-ciri individu yang

(45)

cermat, tahan atau tekun (persistence) dalam mengerjakan tugas, selalu

memerlukan umpan balik yang segera untuk melihat keberhasilan dan kegagalan,

memiliki tanggung jawab personal yang tinggi terhadap kinerjanya, dan berani

melakukan inovasi yang berbeda untuk sesuatu yang lebih baik.

B. Pelatihan Kecerdasan Adversitas

1. Pelatihan

a. Pengertian Pelatihan

Pelatihan menurut As'ad (dalam Sutrisno, 2009) adalah usaha yang

terencana untuk diselenggarakan agar dicapai penguasaan akan keterampilan,

pengetahuan, dan sikap yang relevan terhadap pekerjaan atau kehidupannya.

Sedangkan Sikula (dalam Sumantri, 2000) mengartikan bahwa pelatihan adalah

proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang

sistematis dan terorganisir.

Altalib (1991) mengungkapkan bahwa pelatihan merupakan satu sistem

untuk memperoleh kemahiran yang saling relevan dan mengaplikasikannya secara

berkesinambungan untuk menambahkan dan meningkatkan tingkat kemahiran.

Pelatihan yang baik adalah suatu proses menambahkan ideologi dan keterlibatan

secara progresif, serta mewujudkan kemajuan yang senantiasa bertambah dari

bahan latihan.

Pelatihan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), adalah proses

(46)

mengambil jalur tindakan tertentu dan membantu peserta memperbaiki prestasi

dalam kegiatannya terutama mengenai pengertian dan keterampilan.

Uraian teori pelatihan dari beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

pengertian pelatihan adalah suatu proses pembelajaran yang terencana secara

sistematis untuk mencapai tujuan tertentu, dimana tujuan tersebut adalah untuk

meningkatkan keahlian, pengetahuan, dan keterampilan sehingga dapat membantu

dalam meningkatkan kinerja.

b. Metode Pelatihan

Beberapa metode pelatihan yang telah dikemukakan oleh Pfeiffer &

Ballew (1988), antara lain :

1) Case study

Case study (studi kasus) dapat digunakan secara efektif dalam

membantu peserta untuk menerapkan pembelajaran pada situasi kehidupan

sebenarnya. Studi kasus memberikan situasi masalah kepada peserta dan

menanyakan apa yang akan dilakukan peserta terhadap situasi masalah

tersebut. Pada metode ini, peserta diminta untuk mengidentifikasi

masalah-masalah dan merekomendasi pemecahan masalah-masalahnya.

2) Communication activities

Ciri-ciri communication activities adalah adanya kegiatan mendengar

aktif, dimana peserta atau interviewer mengulang-ulang perkataan yang

diucapkan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengklarifikasi apakah peserta

(47)

ketrampilan mendengar peserta yang mempraktekkannya. Bentuk

communication activities adalah komunikasi satu arah dan komunikasi dua

arah.

3) Group task activities

Persaingan tugas seperti model building dapat digunakan untuk

mengeksplorasi keberfungsian aspek interpersonal dalam kelompok

persaingan. Kegiatan ini dapat dirancang untuk membandingkan pengaruh

persaingan dengan kolaborasi. Kegiatan dirancang untuk mengetahui tingkat

kolaborasi tiap kelompok yang bersaing secara aktif.

4) Guide imagery

Guide imagery dapat digunakan ketika trainer menginginkan peserta

untuk fokus pada masalah tertentu atau mengidentifikasi situasi. Guide

imagery membantu seseorang untuk menghasilkan gambar, suara, dan situasi.

5) Role play

Permainan peran bertujuan untuk memberikan pengalaman dalam

berlatih keterampilan dan membahas serta mengidentifikasi perilaku yang efektif

dan tidak efektif. Kegiatan role play dapat mengarahkan peserta untuk

mengubah perilaku atau sikap, dan memungkinkan peserta mendapatkan

pengalaman emosional yang tidak terduga ketika bermain peran. Role play

dapat mensimulasikan situasi kehidupan nyata memungkinkan bagi peserta

(48)

6) Simulations and Games

Simulasi dan games dapat membantu peserta untuk menguji beberapa

insting dan perasaan peserta untuk mengamati perbedaan antara bagaimana

pikiran peserta dan bagaimana sebenarnya perilaku peserta pada situasi

tersebut.

Sikula (dalam Mangkunegara, 2009) mengemukakan beberapa metode

yang dapat digunakan dalam pelatihan, antara lain :

1) Metode demontrasi dan contoh

Metode demontrasi melibatkan penguraian dan memeragakan sesuatu

melalui contoh-contoh. Metode ini merupakan metode pelatihan yang sangat

efektif karena lebih mudah menunjukkan kepada peserta cara mengerjakan

suatu tugas. Metode ini biasanya dikombinasikan dengan alat bantu belajar,

seperti gambar-gambar, teks materi, ceramah, dan diskusi.

2) Simulasi

Simulasi adalah suatu situasi atau peristiwa menciptakan bentuk realitas

atau imitasi dari realitas. Simulasi merupakan pelengkap sebagai teknik

duplikat yang mendekati kondisi nyata pada pekerjaan. Metode simulasi yang

populer adalah permainan bisnis (bussiness games).

3) Metode konferensi

Metode konferensi merupakan suatu pertemuan formal tempat terjadinya

diskusi atau konsultasi tentang sesuatu yang penting. Konferensi menekankan

adanya diskusi kelompok kecil, materi pelajaran yang terorganisasi, dan

(49)

4) Metode studi kasus

Metode studi kasus adalah uraian tertulis atau lisan tentang masalah

yang ada atau keadaan selama waktu tertentu yang nyata maupun secara

hipotesis. Pada metode ini, peserta diminta untuk mengidentifikasi

masalah-masalah dan merekomendasi pemecahan masalah-masalahnya.

5) Metode role play

Peserta diberi penjelasan mengenai suatu kesan atau peran yang harus

mereka mainkan. Selama bermain peran, dua orang atau lebih peserta

diberikan bagian-bagian untuk bermain. Peranan peserta adalah menjelaskan

situasi dan masing-masing peran mereka yang harus mereka perankan dalam

konteks hipotesis tersebut.

6) Metode pelatihan lainnya

Contohnya adalah seminar, menggunakan kartu-kartu, alat bantu audio

visual seperti tape, film, dan video tape.

Pendekatan pelatihan dalam penelitian ini melalui pengalaman atau biasa

disebut dengan experiential learning, yaitu peserta praktek secara langsung

mengenai materi pengalaman sehingga peserta dapat memahaminya langsung dan

mendapatkan pengalaman yang menginternalisasi.

Experiential learning

Belajar melalui pengalaman (experiential learning) terjadi jika seseorang

melakukan kegiatan, melihat kembali lalu melakukan analisis dari informasi yang

bermanfaat, dan menempatkan hasil belajar melalui perubahan perilaku. Proses ini

(50)

sebagai perubahan perilaku, suatu hasil dari pengalaman atau masukan, yang

merupakan tujuan umum dari suatu pelatihan. Pelatihan terstruktur akan

menghasilkan suatu kerangka kerja yang dapat difasilitasi seperti gambar di

bawah ini :

Gambar 2

Siklus Experiential Learning Pfeiffer & Ballew (1988)

Belajar melalui pengalaman (experiential learning) menurut Pfeiffer &

Ballew (1988) terdiri dari lima tahapan sesuai dengan gambar siklus di atas, yaitu:

a. Experiencing, tahap awal dalam pelatihan yaitu menghasilkan pengalaman

terstruktur. Ini adalah langkah yang sering dikaitkan dengan "permainan" atau

hal-hal yang menyenangkan. Jelas, jika proses berhenti setelah tahap ini, tidak

ada kesempatan untuk mempelajari semua yang tersisa, maka fasilitator belum

menyelesaikan tugasnya. Hampir setiap kegiatan yang melibatkan penilaian

diri atau interaksi interpersonal dapat digunakan sebagai bagian dari

pembelajaran pengalaman. Contoh kegiatan yang terdapat dalam tahap ini

(51)

bermain peran, transaksi, pemecahan masalah atau berbagi informasi,

memberi dan menerima umpan balik, keterbukaan diri, fantasi, memilih,

berkomunikasi secara verbal atau nonverbal, menganalisis materi kasus,

negosiasi atau tawar-menawar, perencanaan, bersaing atau bekerja sama, dan

menghadapi.

b. Publishing, tahap kedua dari siklus ini kira-kira analog dengan penginputan

data, istilah-istilah dalam pengolahan data. Peserta pelatihan telah mengalami

dan mengikuti suatu kegiatan dan sekarang mereka mungkin siap untuk

berbagi tentang apa yang mereka lihat dan atau apa yang mereka rasakan

selama acara tersebut. Langkah ini melibatkan mencari tahu apa yang terjadi

di dalam dan pada individu-individu, pada kognitif, afektif, dan tingkat

perilaku, sementara kegiatan ini terus berlanjut.

c. Processing, tahap ini dapat dianggap sebagai titik tumpu atau langkah penting

dalam pengalaman belajar. Ini adalah pemeriksaan sistematis pengalaman

umum dimiliki oleh orang yang terlibat yaitu peserta pelatihan. Ini adalah

dinamika kelompok yaitu tahap siklus di mana para peserta pada dasarnya

merekonstruksi pola dan interaksi aktivitas dari pengumuman laporan individu

(individual report). Tahap ini merupakan bagian dari siklus yang kritis,

fasilitator perlu merencanakan dengan hati-hati bagaimana pengolahan akan

dilakukan dan terfokus ke langkah berikutnya yaitu generalisasi.

d. Generalization, jika belajar adalah untuk mentransfer ke dunia "nyata",

penting bagi para peserta untuk dapat memperkirakan pengalaman dari

(52)

dilakukan pada saat ini dalam pengalaman terstruktur, dari kenyataan di dalam

kegiatan dengan realitas kehidupan sehari-hari.

e. Applying, tahap akhir dari siklus experiential learning adalah tujuan yang

terstruktur dari seluruh pengalaman yang telah dirancang. Pertanyaan penting

di sini adalah "Sekarang apa?" Fasilitator membantu peserta pelatihan untuk

menerapkan generalisasi dengan situasi aktual di mana diri mereka terlibat.

Berdasarkan uraian diatas, metode yang digunakan peneliti dalam

pelatihan ini sesuai dengan metode pelatihan yang telah dikemukakan oleh

Pfeiffer & Ballew (1988) antara lain: studi kasus, communication activities, group

task activities, guide imagery, role play, simulasi dan games, demonstrasi dan

contoh serta konferensi dikarenakan metode ini dapat dipahami dengan mudah

oleh peserta pelatihan dan memudahkan peneliti untuk mengembangkannya.

c. Evaluasi Program Pelatihan

Goldstein dan Buxton (dalam Mangkunegara, 2009) berpendapat bahwa

evaluasi pelatihan dapat didasarkan pada kriteria dan rancangan percobaan.

Kriteria dalam evaluasi pelatihan merupakan kriteria yang dapat digunakan

sebagai pedoman dari ukuran kesuksesan pelatihan. Kirkpatrick (dalam Rigio,

2003) mengemukakan bahwa ada empat tipe kriteria untuk mengevaluasi

efektivitas pelatihan, yaitu :

1) Kriteria reaksi

Kriteria reaksi merupakan ukuran reaksi dari subyek pelatihan,

Gambar

Gambar 1  Keberhasilan dan Kegagalan dalam Pengalaman Belajar
Tabel 2 Aspek Dan Kriteria Evaluasi Proses
Gambar 5  Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Tabel 4  Distribusi Skala Motivasi Berprestasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pond and Maner (1974) menyatakan, jumlah anak babi sekelahiran ( litter size ) yang tinggi dengan bobot lahir yang rendah juga akan mempengaruhi mortalitas anak babi

Analisis unsur mineral dalam tubuh dapat dilakukan menggunakan berbagai metode yang disesuaikan dengan matriks cuplikan yang akan dianalisis.. Unsur mineral kelumit dalam tubuh

Fenomena pemanfaatan masyarakat pribumi, dalam hal ini mantri dan dokter djawa, dalam vaksinasi cacar pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Jawa membuktikan bahwa dalam

Tetapi jika nilai B terlalu besar maka proses perhitungan pada Aljabar Linear akan memakan waktu yang lama.

Peluang bisnis dan tanggung jawab sosial berjalan beriringan. Perusahaan harus bertindak secara bertanggung jawab dalam hal bisnis mereka dan lingkungan alam di mana

Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor lainnya Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor lainnya Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor lainnya Dummy krisis

Segi psikologi novel Assalamualaikum Beijing dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi siswa SMA, yakni mengangkat kisah perjuangan hijrah dan melawan penyakit yang

Menurut Hansen, dkk (2006:153-164) dalam Sitorus (2016) ada dua tahap yang harus dilakukan untuk melakukan perhitungan harga pokok produksi menggunakan sistem