• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah Komprehensif | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Naskah Komprehensif | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia"

Copied!
678
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

NASKAH KOMPREHENSIF

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Latar Belakang, Proses, dan

Hasil Pembahasan, 1999-2002

(3)
(4)

iii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002 NASKAH KOMPREHENSIF

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Buku V Pemilihan Umum

(EDISI REVISI)

Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif

Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002

Penerbit:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

2010

(5)

iv

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002 Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif

Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,

Buku VII Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial

Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi;

Edisi Pertama, Juli 2008 Edisi Revisi, Juli 2010 xxxii + 644 halaman; 15 x 21 cm.

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang All right reserved

Hak Penerbitan©Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK Cetakan Revisi, Agustus 2010

ISBN 978-602-8308-29-8 978-602-8308-36-6

Penerbit:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat PO Box 999 JKT 10000

(6)

v

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002 Tim Penyusun

Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945

Pengarah:

Mohammad Mahfud MD Achmad Sodiki M. Arsyad Sanusi Muhammad Alim

Harjono Maria Farida Indrati

A. Fadlil Sumadi M. Akil Mochtar

Hamdan Zoelva

Narasumber:

Harun Kamil Jakob Tobing Slamet Efendy Yusuf

Soetjipno Lukman Hakim Saifuddin

Soedijarto M. Hatta Mustafa

Amidhan G. Seto Harianto Valina Singka Subekti

Katin Subyantoro Patrialis Akbar

T.M. Nurlif Soetjipto Ali Masykur Musa

JE. Sahetapy Pataniari Siahaan

Andi Mattalatta Happy Bone Zulkarnaen

Antonius Rahail

A. M. Luthi

Zain Badjeber Asnawi Latief Ahmad Zacky Siradj Ali Hardi Kiaidemak

I Ketut Astawa Frans FH. Matrutty

Fuad Bawazier Rully Chairul Azwar Agun Gunandjar Sudarsa

Baharuddin Aritonang

Achmad Haidz Zawawi

Theo L. Sambuaga Soewarno Hendi Tjaswadi

Ida Fauziah

Pelaksana:

Pengarah: Janedjri M. Gafar

Penanggungjawab: Noor Sidharta

Koordinator: Roiqul-Umam Ahmad, Heru Setiawan

Penulis: Nalom Kurniawan, Budi H. Wibowo. Sekretaris: Sri Handayani

(7)

vi

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Buku ini terdiri dari 10 judul yang merupakan satu kesatuan:

Buku I

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945

Buku II

Sendi-sendi/Fundamen Negara

Buku III

Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan

Buku IV

Kekuasaan Pemerintahan Negara

Buku V Pemilihan Umum

Buku VI Kekuasaan Kehakiman

Buku VII

Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial

Buku VIII

Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama

Buku IX

Pendidikan dan Kebudayaan

Buku X

(8)

vii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

DARI PENERBIT EDISI REVISI

Penerbitan buku Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999–2002 edisi revisi yang terdiri atas 10 buku ini merupakan hasil kerjasama Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstituti (MK) dan Forum Konstitusi (FK), sebuah perhimpunan yang beranggotakan para perumus rancangan perubahan UUD 1945 (anggota Panitia Ad Hoc III/I Badan Pekerja MPR).

Buku edisi revisi ini diterbitkan dengan tujuan untuk men dokumentasikan proses perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR pada 1999–2002. Isi buku ini secara komprehensif memuat latar belakang, proses, dan ha sil pembahasan dalam perubahan UUD 1945 sejak Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat. Pada edisi revisi ini juga telah ditambahkan beberapa materi baru yang bersumber dari berbagai macam Risalah Rapat MPR RI yang tidak terdapat pada buku edisi sebelumnya, di antaranya Rapat Tim Kecil, Rapat Lobi, Rapat Tim Perumus, Rapat Sinkronisasi, Rapat Finalisasi, Rapat Konsultasi, Rapat Uji Sahih, Rapat Pre Review

dan Rapat Review. Selain itu, pada penerbitan edisi revisi ini, materi kutipan yang dicantumkan merujuk kepada naskah otentik Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 1999-2002 yang terdiri atas 17 jilid dan diterbitkan Sekretariat Jenderal MPR RI pada 2008 dan 2009.

(9)

viii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara mengingat di dalam buku ini dapat diketahui maksud dan tujuan para perumus rancangan perubahan UUD 1945 (original intent) sebagai salah satu metode penafsiran konstitusi. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi dan penafsir resmi konstitusi.

Selain itu, penerbitan buku edisi revisi ini juga diharapkan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua kalangan, khususnya bagi siapa saja yang melakukan pengkajian/penelitian tentang perubahan konstitusi yang terjadi pada 1999-2002. Oleh sebab itu, guna memperkaya isi buku edisi revisi ini, juga dimuat sejarah perumusan dan perdebatan topik-topik UUD 1945 sejak zaman Hindia Belanda, BPUPK, PPKI, Konstitusi RIS, UUDS 1950, Konstituante, hingga menjelang datangnya era reformasi.

Untuk memudahkan dan mempercepat pembaca memahami dan mendapatkan materi yang diinginkan, buku edisi revisi ini tetap disusun dengan sistematika per topik UUD 1945. Lebih dari itu, penyusunan buku edisi revisi ini yang melibatkan para perumus rancangan perubahan UUD 1945 (anggota PAH III/I BP MPR) sebagai narasumber memberikan nilai kesahihan dan akuntabilitas yang tinggi.

Buku edisi revisi ini dapat terbit atas dukungan dan kerja keras berbagai pihak. Untuk itu, atas nama penerbit, kami menyampaikan terima kasih kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Bapak Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H. yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan dalam penyelesaian program ini. Demikian juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para hakim konstitusi yang telah memberikan dukungan dan perhatian sepenuhnya.

(10)

ix

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

dengan tekun menulis naskah buku ini, kami sampaikan terima kasih. Semoga semua kerja keras dan pengabdian itu menjadi amal baik yang bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Akhir kata, semoga buku edisi revisi ini bermanfaat bagi upaya kolektif kita menegakkan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta sekaligus mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penerbitan ini.

Jakarta, 5 Juli 2010 Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi,

(11)
(12)

xi

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

SAMBUTAN

FORUM KONSTITUSI

Puji syukur senantiasa kami ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas petunjuk dan kekuatan yang dianugerahkanNya, sehingga edisi revisi buku NASKAH KOMPREHENSIF PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, dapat diterbitkan pada tahun 2010. Buku Naskah Komprehensif tersebut merupakan hasil kerjasama antara Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan Forum Konstitusi serta terdiri atas sepuluh buku yang masing-masing mengangkat tema tertentu.

(13)

xii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Rapat Sinkronisasi, Rapat Finalisasi, Rapat Konsultasi, Rapat

Review dan Preview, juga yang berasal dari Kegiatan Uji Sahih. Selain itu, pada penerbitan edisi revisi ini, materi kutipan yang dicantumkan merujuk kepada naskah otentik Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 1999-2002 yang terdiri atas tujuh belas jilid yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI pada tahun 2008 dan tahun 2009.

Buku Naskah Komprehensif terbitan tahun 2008 disusun atas dasar Risalah Rapat-rapat MPR yang meliputi Risalah Rapat Paripurna MPR, Risalah Rapat Pleno Badan Pekerja MPR, Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc, dan Risalah Rapat Pleno Komisi. Risalah Rapat-rapat tersebut dibuat segera setelah setiap rapat selesai dengan ketentuan bahwa apabila dalam waktu 3 X 24 jam tidak ada keberatan atau koreksi dari anggota MPR maka Risalah tersebut dinyatakan sah. Risalah Rapat-rapat tersebut dibuat dengan melakukan transkrip dari kaset rekaman rapat-rapat, sehingga relatif lengkap dan otentik.

(14)

xiii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Dalam melaksanakan revisi tersebut ditemukan beberapa hambatan karena ternyata terdapat beberapa rekaman yang tidak jelas suara rekamannya dan terdapat pula yang suaranya sama sekali tidak terdengar, bahkan terdapat kaset rekaman yang hilang. Dengan demikian dalam rangka revisi Buku Naskah Komprehensif terbitan tahun 2008, apabila tidak ditemukan sumber kutipan pada 17 buku Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetapi terdapat dalam buku Naskah Komprehensif terbitan tahun 2008 maka kutipan tersebut tetap dimuat dengan bersumber pada Risalah rapat yang bersangkutan.

Dalam buku ini diungkapkan perdebatan pemikiran para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan tanggapan masyarakat, pengamat, dan akademisi mengenai perubahan Undang-Undang Dasar, baik melalui media massa, maupun dalam seminar dan perbincangan akademik. Dari pengamatan dan pengalaman kami selama ini selaku anggota PAH III tahun 1999 dan/atau anggota PAH I tahun 2000 - 2002, ternyata banyak aspek yang belum diketahui publik tentang latar belakang, proses, serta mekanisme pembahasan dalam perubahan UUD 1945 tahun 1999–2002, termasuk ruang lingkup perdebatan dan kedalaman diskusi yang berkembang di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Melalui penyebaran informasi yang meliputi segenap data dan fakta sekitar perubahan UUD 1945, yang berlangsung dalam empat tahapan sejak tahun 1999 hingga tahun 2002, diharapkan pemahaman masyarakat semakin mendalam dan karena itu dapat mendorong keterlibatan yang lebih luas dalam upaya menegakkan UUD 1945 dan Pancasila.

(15)

xiv

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

tiga buku, yaitu tentang: Pelaksanaan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Naskah Komprehensif Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan Konstitusi Ditinjau dari Berbagai Aspek. Melalui Nota Kesepahaman tersebut, Mahkamah Konstitusi dan Forum Konstitusi secara nyata berikhtiar untuk mewujudkan kesadaran dan ketaatan berkonstitusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan Forum Konstitusi menyadari sepenuhnya bahwa betapa pentingnya untuk memahami apa maksud yang sesungguhnya di balik lahirnya pasal-pasal pada perubahan Undang-Undang Dasar. Apalagi disadari pula bahwa sangat sulit untuk membaca tumpukan risalah yang ribuan lembar halamannya dengan pembahasan setiap pasal yang tersebar di beberapa buku, karena risalah tersebut adalah himpunan notulen dari seluruh rapat dalam rangka pembahasan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(16)

xv

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

1945 sebagai konsekuensi dari dinamika masyarakat senantiasa dimungkinkan, namun tetap harus melalui ketentuan Pasal 37 UUD 1945.

Forum Konstitusi adalah sebuah forum tempat berkumpulnya para anggota Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR tahun 1999 dan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, periode 2000-2002, yang merancang perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002. Forum ini bertujuan tercapainya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sadar dan taat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diberkahi Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kegiatan rutinnya, Forum Konstitusi mengamati dan mendiskusikan setiap perkembangan implementasi konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, melakukan sosialisasi dan pemasyarakatan undang-undang dasar baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan lembaga Negara dan instansi Pemerintah.

(17)

xvi

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Terima kasih kami sampaikan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi dan para Hakim Konstitusi, Sekretaris Jenderal, serta seluruh jajarannya atas kerjasama dalam menyusun dan menerbitkan buku ini, serta kepada seluruh tim penulis yang telah bekerja keras, meluangkan waktu dan pengorbanan lainnya dalam menyusun buku ini.

Jakarta, 7 Juli 2010

Harun Kamil, S.H. Ahmad Zacky Siradj

(18)

xvii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002 MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

PENGANTAR

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI

Saya menyambut dengan gembira penerbitan Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 Edisi Revisi ini. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa saya menyambut gembira penerbitan buku ini.

Pertama, buku ini mampu memotret secara utuh dan lengkap pembahasan perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat tahap perubahan sejak 1999 sampai dengan 2002. Sehingga dengan membaca buku ini, pembaca akan segera dapat memahami suasana kebatinan yang menjadi latar belakang ilosois, sosiologis, politis dan yuridis perumusan butir-butir ketentuan dalam UUD.

(19)

nilai-xviii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

nilai konstitusi ke dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Keistimewaan Buku

Pada 2008 lalu, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Sebagai sebuah karya, buku tersebut secara substansial memiliki keistimewaan tersendiri, yang menurut sepengetahuan saya, tidak dijumpai pada buku-buku yang lain, bahkan buku yang juga membahas perdebatan dalam perdebatan dan pembahasan perumusan UUD.

Buku tersebut menjadi sebuah karya yang sangat penting dalam pendokumentasian sejarah konstitusi Indonesia. Sebagaimana saya tuliskan di paragraf awal pengantar ini, buku tersebut mampu memotret secara utuh dan lengkap pembahasan perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat tahap perubahan sejak 1999 sampai dengan 2002. Buku tersebut memberikan gambaran yang gamblang tentang mengapa, bagaimana, dan untuk apa suatu butir ketentuan perubahan dimasukkan ke dalam UUD 1945 hasil perubahan.

Sejauh yang saya tahu, penerbitan buku tersebut pada awalnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kepentingan internal Mahkamah Konstitusi yakni dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan sesuai kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945. Buku tersebut menjadi semacam pegangan normatif para hakim konstitusi untuk memahami secara tepat mengenai prinsip, ide, dan gagasan serta spirit yang terkandung dalam UUD 1945 hasil perubahan yang telah dilakukan pada 1999-2002. Dengan kata lain, dari buku inilah original intent dari UUD 1945 dapat digali.

(20)

xix

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

yang muncul dalam dinamika yang terjadi selama proses pembahasan perubahan konstitusi. Dengan demikian tidak terdapat kesulitan pula untuk memahami esensi, makna dan manfaat dari adanya butir ketentuan-ketentuan baru dalam UUD 1945. Namun dalam perkembangannya, maksud penerbitan buku ini tidak saja dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan internal MK saja, tetapi juga ditujukan untuk masyarakat luas.

Gagasan Penerbitan Buku

Apabila dilakukan penelusuran, gagasan penerbitan buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002

pada dasarnya dilatarbelakangi oleh beberapa hal berikut.

Pertama, kelangkaan buku yang berisi tentang pembahasan dan perdebatan secara komprehensif dalam rapat-rapat atau sidang-sidang para pembentuk konstitusi. Kedua, kebutuhan Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh data dan dokumen pembahasan perubahan UUD 1945 yang tersusun secara sistematis dan komprehensif. Ketiga, kesadaran akan pentingnya menyediakan informasi yang akurat dan sistematis bagi para penyelenggara negara dan warga masyarakat untuk memahami dan melaksanakan Konstitusi.

Terkait dengan kelangkaan buku, meskipun ada, tetapi sangat jarang ditemui buku yang disusun untuk membahas dan mengulas perdebatan dalam perumusan UUD. Sepengetahuan saya, buku paling anyar yang mengulas perdebatan dalam perumusan UUD adalah buku karya RM. A. B. Kusuma

berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, itupun diterbitkan pada 2004 silam yang kemudian direvisi pada 2009. Setelah itu, hampir tidak dijumpai lagi buku sejenis dengan judul-judul baru, sebelum kemudian Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 diterbitkan.

(21)

xx

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

buku-buku jenis itu. Tetapi yang jelas, kelangkaan buku jenis itu kurang menguntungkan bagi masyarakat untuk mendapatkan bacaan-bacaan yang bermanfaat menambah wawasan dan pemahaman mengenai latar belakang perumusan butir-butir ketentuan dalam UUD.

Dalam perkembangannya, kelangkaan buku yang membahas dan mengulas perdebatan dalam perumusan UUD juga dirasakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi. Meskipun sebenarnya data dan dokumen pembahasan perubahan UUD 1945 sudah ada tetapi karena tidak tersusun secara sistematis dan komprehensif, maka keadaan itu kurang menunjang kelancaran fungsi Mahkamah Konstitusi. Bagi para hakim konstitusi yang dituntut untuk memahami aspek original intent perumusan butir-butir ketentuan UUD 1945 sebagai salah satu metode penafsiran Konstitusi maka kehadiran buku yang menyediakan informasi dan data secara sistematis dan komprehensif mengenai perdebatan dalam perumusan UUD akan bermanfaat dan banyak membantu.

(22)

xxi

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Kesahihan Informasi

Kesahihan informasi yang disampaikan oleh Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 tidak perlu diragukan. Sebab, sumber utama penulisan buku tersebut adalah risalah-risalah rapat Panitia Ad Hoc (PAH) III dan I Badan Pekerja (BP) MPR serta sidang-sidang MPR selama proses perubahan UUD 1945 sejak 1999-2002. Risalah adalah dokumen tertulis yang menggambarkan secara apa adanya mengenai suasana rapat dengan segala dinamikanya. Dalam hal ini, risalah yang dijadikan sumber adalah risalah-risalah yang telah disusun dan diterbitkan secara resmi oleh Sekretariat Jenderal MPR sehingga otensitasnya terjamin.

Namun demikian, untuk mencapai tingkat otensitas dan kesahihan yang lebih tinggi lagi, proses penyusunan dan penulisan buku tersebut dibantu oleh informasi yang didapatkan dari narasumber. Narasumber di sini adalah mereka yang terlibat langsung dalam proses perumusan perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, sangat tepat langkah ’’menggandeng” Forum Konstitusi (FK) sebagai narasumber sekaligus mitra bestari (reviewer).

(23)

xxii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Penyempurnaan Buku

Dalam perkembangan berikutnya, ternyata Sekretariat Jenderal MPR melakukan langkah-langkah penyempurnaan terhadap risalah-risalah rapat Panitia Ad Hoc (PAH) III dan I Badan Pekerja (BP) MPR serta sidang-sidang MPR selama proses perubahan UUD 1945 sejak 1999-2002, yang telah diterbitkan sebelumnya. Penyempurnaan risalah tersebut secara otomatis mengakibatkan perubahan yang cukup signiikan terhadap isi Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 baik pada kutipan maupun penambahan materi-materi yang lain. Berdasarkan hal tersebut, maka revisi terhadap isi buku tersebut adalah sebuah keniscayaan. Sebab, sebuah buku akan kehilangan atau setidaknya berkurang kadar keotentikannya sebagai sumber informasi manakala sumber utama penulisannya juga mengalami perubahan-perubahan. Atas alasan tersebut, saya menyambut baik gagasan untuk melakukan penyempurnaan Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002.

Setelah melewati proses pembahasan, revisi atau penyempurnaan terhadap buku tersebut akhirnya dapat diselesaikan. Selesainya rangkaian proses penyempurnaan Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 tersebut ditandai dengan diterbitkannya buku tersebut dalam edisi revisi.

(24)

xxiii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

FK sebagai narasumber. Dengan demikian, kehadiran buku ini menjadi sangat signiikan untuk dikatakan sebagai hasil sebuah proses revisi dan penyempurnaan.

Sebagaimana sudah saya kemukan di awal, sekali lagi, saya menyambut baik dan gembira terhadap penerbitan Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar, Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 Edisi Revisi ini. Harapan saya sederhana dan tidak jauh berbeda dengan harapan-harapan pada buku edisi sebelumnya, yaitu agar kehadiran buku ini bermanfaat bagi banyak kalangan dan semakin memperkaya khazanah sejarah ketatanegaraan Indonesia, khususnya sejarah konstitusi.

Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada FK yang ikut bekerja keras serta menyumbangkan waktu dan pikiran dalam proses penyusunan buku edisi revisi ini. Demikian juga, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim pelaksana proses penyempurnaan buku yang telah dengan cermat dan tekun turut menyumbangkan andil besar dalam penulisan naskah buku ini.

Meskipun buku ini merupakan hasil proses revisi atau penyempurnaan, akan tetapi bukan berarti buku ini akan tampil dalam kondisi yang sempurna. Tidak ada di dunia ini yang dapat tampil dengan sempurna, kecuali Sang Pemilik Kesempurnaan. “Tak ada gading yang tak retak”, kata pepatah yang diwariskan oleh leluhur kita. Untuk itu, saya menyadari bahwa meskipun telah diupayakan untuk ditampilkan sebaik mungkin, akan tetapi buku ini tetap masih mungkin menyimpan berbagai kekurangan di antara kelebihan dan keunggulannya. Oleh karena ini, saya mohon permakluman atas kekurangan-kekurangan yang masih ada dalam buku edisi revisi ini. Selanjutnya, perbaikan dan penyempurnaan lanjutan terhadap buku ini pada masa-masa mendatang masih terbuka lebar untuk dilakukan.

(25)

xxiv

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Pembahasan 1999-2002 Edisi Revisi maka seluruh kalangan masyarakat yang menginginkan dan membutuhkan pengetahuan dan informasi dari buku ini, baik untuk kepentingan kegiatan penyelenggaraan negara maupun untuk kepentingan ilmiah-akademis, akan segera terpenuhi.

Semoga bersama dengan segenap pembacanya, buku ini memiliki peran strategis untuk meretas sebuah jalan baru menuju terwujudnya tatanan negara hukum yang lebih demokratis, aman, damai, adil dan sejahtera. Selamat membaca.

Jakarta, 7 Juli 2010

(26)

xxv

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

DAFTAR ISI

Dari Penerbit ... ix Sambutan Forum Konstitusi ... xi Pengantar Ketua Mahkamah Konstitusi ... xvii Daftar Isi ... xxv Daftar Singkatan ... xxi

BAB I

PENDAHULUAN ... 1

BAB II

SEJARAH PEMILIHAN UMUM SEBELUM

PERUBAHAN UUD 1945 ... 7

A. Pemilihan Umum dan Pengisian Jabatan Badan

Legislatif ... 7 1. Masa Awal Kemerdekaan ... 7 2. DPR dan Senat Masa Konstitusi RIS ... 10 3. Masa Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ... 11 a. DPRS (1950–1956) ... 11 b. DPR dan Konstituante Hasil Pemilu 1955 ... 12 4. Masa UUD 1945 Pasca-Dekrit Presiden

(27)

xxvi

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

6. Pemilu dan Pembentukan DPR/MPR Era

Reformasi ... 23

B. Sejarah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI .... 25 1. Presiden dan Wakil Presiden RI

Periode 1945–1967 ... 25 2. Presiden dan Wakil Presiden RI

Periode 1967–1998 ... 30 3. Presiden dan Wakil Presiden RI

Periode 1998-2004 ... 32

BAB III

PERUBAHAN UUD 1945 MENGENAI PEMILIHAN ANGGOTA MPR, DPR, DPRD, DAN DPD ... 37

A. Pembahasan Pada Masa Perubahan Pertama ... 39 B. Pembahasan pada Masa Perubahan Kedua ... 52 Rumusan Hasil Perubahan ... 121 C. Pembahasan pada Masa Perubahan Ketiga ... 121 Rumusan Hasil Perubahan ... 144 D. Pembahasan Pada Masa Perubahan Keempat ... 144 Rumusan Hasil Perubahan ... 236

BAB IV

PERUBAHAN UUD 1945 MENGENAI PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN ... 239

(28)

xxvii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002 BAB V

PERUBAHAN UUD 1945 MENGENAI

BAB PEMILU UMUM ... 507

A. Pembahasan Pada Masa Perubahan Pertama ... 507 B. Pembahasan Pada Masa Perubahan Kedua ... 509 C. Pembahasan pada Masa Perubahan Ketiga ... 567 D. Hasil Pembahasan ... 612

BAB VI

PENUTUP ... 615

(29)
(30)

xxix

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

DAFTAR SINGKATAN

AIPI : Asosiasi Ilmu Politik Indonesia AJI : Aliansi Jurnalis Independen

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

BCA : Bank Central Asia

BFO : Bijeenkomst voor Federal Overleg BP KNIP : Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia

Pusat

BP MPR : Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat

BPK : Badan Pemeriksa Keuangan

BPPN : Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPUPK : Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta DPA : Dewan Pertimbangan Agung DPD : Dewan Perwakilan Daerah DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD Tk. I : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I

DPRD Tk. II : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II

(31)

xxx

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

FISIP : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik F-KB : Fraksi Kebangkitan Bangsa

F-KKI : Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia F-PDIP : Fraksi Partai Demokrasi Indonesia F-PDKB : Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa F-PDU : Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah F-PG : Fraksi Partai Golkar

F-PPP : Fraksi Partai Persatuan Pembangunan F-TNI/Polri : Fraksi Tentara Nasional Indonesia/

Kepolisian Republik Indonesia F-UD : Fraksi Utusan Daerah

F-UG : Fraksi Utusan Golongan

G30S/PKI : Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia

GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara GNP : Gross National Product

HAM : Hak Asasi Manusia

IAIN : Institut Agama Islam Negeri

ISPI : Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia ITB : Institut Teknologi Bandung

KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KMK : Kejahatan Melawan Kemanusiaan Koalisi Ornop : Koalisi Organisasi Non-Pemerintah KODAM : Komando Daerah Militer

Konstitusi RIS : Konstitusi Republik Indonesia Serikat Kowani : Kongres Wanita Indonesia

(32)

xxxi

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

Mayjen : Mayor Jenderal

MPPI : Masyarakat Pers dan Penyiar Indonesia MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

MUI : Majelis Ulama Indonesia

NU : Nahdlatul Ulama

Orba : Orde Baru

Orla : Orde Lama

Ornop : Organisasi Non Pemerintah PAH I : Panitia Ad Hoc I

PAH II : Panitia Ad Hoc II PAH III : Panitia Ad Hoc III

Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilihan Umum PBHI : Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak

Asasi Manusia Indonesia

PBNU : Pengurus Besar Nahdatul Ulama PD : Perwakilan Daerah

Pemilu : Pemilihan Umum

PGI : Persekutuan Gereja-gereja Indonesia PHDI : Parisadha Hindu Dharma Indonesia PP Muhammadiyah : Pimpinan Pusat Muhammadiyah PPD : Panitia Pemilihan Daerah

PPKI : Pa n i t i a Pe r s i a p a n Ke m e rd e k a a n Indonesia

PWI : Persatuan Wartawan Indonesia

RAPBN : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

RDPU : Rapat Dengar Pendapat Umum RI : Republik Indonesia

(33)

xxxii

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002

RRC : Republik Rakyat Cina RUU : Rancangan Undang-Undang ST MPR : Sidang Tahunan MPR SU MPR : Sidang Umum MPR

Tap : Ketetapan

UD : Utusan Daerah

UG : Utusan Golongan

UGM : Universitas Gadjah Mada UI : Universitas Indonesia

UKI : Universitas Kristen Indonesia

UMNO : United Malay National Organization Unsri : Universitas Sriwijaya

UU : Undang-Undang

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UUD : Undang-Undang Dasar

(34)

BAB I

PENDAHULUAN

Menulis kembali jalannya pembahasan dan perdebatan perubahan Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dari tahun 1999—2002 bukanlah hal yang mudah, walaupun rentang peristiwanya belum lama berlangsung. Uraian dalam buku ini menyuguhkan secara obyektif apa yang dibahas dan bicarakan oleh para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ketika membicarakan usulan-usulan perubahan sehingga melahirkan pasal-pasal perubahan undang-undang dasar sekarang ini. Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan resmi dan otentik dari risalah sidang yang dikeluarkan oleh MPR. Keterlibatan penuh para narasumber yang merupakan pelaku sejarah perubahan yaitu para anggota Panitia Ad Hoc (PAH) III (1999) maupun para anggota PAH I (1999-2002) Badan Pekerja (BP) MPR RI yang tergabung dalam Forum Konstitusi dan berasal dari seluruh fraksi di MPR pada saat itu menjadikan nilai otentisitas buku ini lebih terjaga.

(35)

lahirnya satu pasal termasuk pasal-pasal perubahan yang ditulis dalam buku ini akan ditulis dalam sebuah buku tersendiri, yang merupakan rangkaian dari penerbitan buku ini.

Menelusuri seluruh materi pembahasan mengenai topik pemilihan umum dalam tumpukan risalah perubahan undang-undang dasar yang ribuan lembar jumlahnya bukanlah pekerjaan mudah. Karena itu, buku ini dimaksudkan untuk menjadi solusi yang memberi kemudahan bagi peminat yang hendak menelusuri berbagai sisi perdebatan serta pandangan yang berkembang saat perubahan dilakukan. Mengetahui asal usul lahirnya sebuah pasal perubahan adalah sangat penting untuk memahami Undang-Undang Dasar terutama dari sisi

original intent (maksud awal) dari para perumus perubahan Undang-Undang Dasar sebagai sebuah metode penafsiran konstitusi. Seluruh pembahasan yang tersebar dalam berbagai buku risalah mengenai pemilihan umum telah terangkum dalam buku ini. Dengan demikian, uraian dalam tulisan ini tidak lain dari sistematisasi risalah yang tersebar itu.

(36)

yang diundang secara resmi atau yang didatangi di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Untuk lebih memberikan pemahaman terhadap perkembangan ketatanegaraan kita -walaupun tidak secara langsung berkaitan dengan pembahasan dalam perubahan UUD- buku ini juga menguraikan sedikit latar belakang pengaturan maupun praktik ketatanegaraan Indonesia sebelumnya terkait dengan pemilihan umum. Hal itu dilakukan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan pengaturan dan praktik ketatanegaraan Indonesia yang juga turut mempengaruhi pandangan para anggota MPR dalam merumuskan pasal-pasal perubahan UUD.

Tulisan ini secara khusus menguraikan tiga topik yang berbeda namun sangat berkaitan yaitu mengenai pemilihan anggota MPR, DPR, dan DPD; pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; serta bab khusus tentang pemilihan umum. Uraian dimulai dari latar belakang sejarah pengaturan dan praktik terkait ketiga topik tersebut dalam perjalanan bangsa Indonesia sejak perumusan di BPUPK maupun dalam perjalanan negara Indonesia setelah merdeka yaitu masa berlakunya UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), Undang-Undang Dasar Sementara, serta berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dektrit Presiden Juli 1959 hingga masa dimulainya perubahan undang-undang dasar ini.

(37)

Metode penulisan buku ini mengikuti urutan waktu, mekanisme, tahapan, dan tingkat pembahasan di MPR. Dimulai dari pembahasan pada periode 1999, 2000, 2001, dan terakhir 2002. Nampak jelas bahwa Perubahan Keempat 2002 tidaklah berdiri sendiri akan tetapi merupakan rangkaian pembahasan dan kristalisasi pemikiran dari proses pembahasan sebelumnya. Karena itu perubahan UUD 1945 yang terdiri dari Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 adalah satu rangkaian perubahan yang merupakan satu kesatuan. Apa yang diubah pada perubahan pertama adalah hanya terkait dengan pembatasan kekuasaan presiden dan peningkatan kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang, karena waktu yang sangat terbatas pada saat itu. Semula pasal-pasal yang belum diubah pada Perubahan Pertama akan diselesaikan seluruhnya pada perubahan kedua Agustus 2000 akan tetapi nyatanya tidak seluruhnya juga dapat diselesaikan sehingga harus dibahas kembali dan diputuskan pada 2001 yaitu pada Perubahan Ketiga. Demikian juga beberapa pasal tersisa yang belum terdapat kesepakatan pada Perubahan Ketiga dibahas kembali dan diselesaikan pada Perubahan Keempat 2002. Perubahan seluruh pasal terkait dengan topik ini diputuskan secara musyawarah mufakat.

(38)

Sedangkan pada Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945, PAH yang ditugasi membahas dan menyiapkan rancangan perubahan undang-undang dasar adalah PAH I mendapatkan alokasi waktu yang cukup panjang yaitu sekitar 12 bulan. Baik pada PAH III maupun PAH I, hasil-hasil pembahasan pada Pleno PAH yang belum ada kesepakatan dikerucutkan pada tingkat lobi antar fraksi di PAH kemudian dilanjutkan untuk dirumuskan oleh tim perumus dan sinkronisasi. Hasil tim perumus dan sinkronsasi ini disahkan kembali dalam Pleno PAH untuk dilaporkan pada tingkat pembahasan selanjutnya yaitu Pleno BP MPR untuk disahkan sebagai rancangan perubahan. Hasil Pleno BP MPR inilah yang menjadi bahan untuk dibahas kembali pada rapat paripurna MPR yang diawali dengan pemandangan umum fraksi atas pasal-pasal dan usulan perubahan yang kemudian dibahas pada tingkat sidang komisi. Pada sidang komisi inilah dilakukan pembahasan kembali atas seluruh materi usul perubahan, sedangkan terhadap pasal-pasal yang tidak dapat disepakati secara mufakat di tingkat Paripurna Komisi didiskusikan kembali dan diselesaiakan pada tingkat lobi antara fraksi yang kemudian disahkan oleh Parpurna Komisi. Hasil sidang komisi inilah yang disahkan pada tingkat Rapat Paripurna MPR yang memiliki kewenangan mengubah pasal-pasal UUD.

Seperti tertuang dalam buku ini, mengenai pemilihan anggota pemilihan anggota DPR yaitu Pasal 19 Ayat (1), pemilihan anggota DPD yaitu Pasal 22C Ayat (1), dan bab khusus tentang pemilihan umum yaitu Bab VIIB Pasal 22E disahkan pada Perubahan Ketiga tahun 2001 dengan cara musyawarah mufakat. Sedangkan Pasal 2 Ayat (1) tentang pemilihan anggota MPR disahkan pada perubahan keempat tahun 2002 dengan cara voting.

Seperti akan tergambar dalam uraian selanjutnya, dalam seluruh pembahasan perubahan undang-undang dasar ini terlibat penuh seluruh fraksi yang ada di MPR yaitu :

(39)

2. Fraksi Partai Golkar (F-PG);

3. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP);

4. Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB, yaitu dari Partai Kebangkitan Bangsa);

5. Fraksi Reformasi (F-Reformasi, terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan);

6. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB);

7. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI, yaitu gabungan dari beberapa partai politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), IPKI, PNI-MM, PKP, PP, dan PKD), 8. Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (F-PDU, yaitu gabungan

dari PNU, PKU, PP Masyumi, PDR, dan PSII); 9. Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB); 10. Fraksi Utusan Golongan (F-UG);

11. Fraksi TNI/Polri; serta

12. Fraksi Utusan Daerah (F-UD, dibentuk pada Sidang Tahunan 2001 dan baru terlibat pembahasan pada Perubahan Keempat tahun 2002).

(40)

BAB II

SejArAh PemIlIhAn UmUm

SeBelUm PerUBAhAn UUD 1945

UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengatur pengisian jabatan lembaga negara melalui mekanisme pemilihan umum. Namun, dalam praktiknya, anggota DPR/MPR dan anggota DPRD sebelum perubahan UUD 1945 dipilih melalui pemilihan umum. Sementara itu, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Bab ini akan membahas sejarah pemilihan umum dan pengisian jabatan lembaga-lembaga negara yang dalam UUD 1945 hasil perubahan diatur melalui pemilihan umum.

A.

Pemilihan Umum dan Pengisian Jabatan Badan

Legislatif

1. Masa Awal Kemerdekaan

Pembentukan lembaga legislatif di masa awal kemerdekaan diselenggarakan melalui amanat Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut.

Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

(41)

dasar Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP menjadi lembaga legislatif yang ikut menetapkan GBHN.

Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menjadi anggota KNIP, berdasarkan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945, pemerintah merencanakan untuk menyelenggarakan Pemilu pada Januari 1946. Adapun Maklumat yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta itu berbunyi sebagai berikut.

Berhoeboeng dengan oesoel Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat kepada Pemerintah, soepaja diberikan kesempatan kepada rakjat seloeas-loeasnja oentoek mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi, bahwa partai-partai itoe hendaknja memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat, Pemerintah menegaskan pendiriannja jang telah diambil beberapa waktoe jang laloe bahwa:

1. Pemerintah menjoekai timboelnja partai-partai politik, karena dengan adanja partai-partai itoelah dapat dipimpin kedjalan jang teratoer segala aliran paham jang ada dalam masjarakat.

2. Pemerintah berharap soepaja partai-partai itoe telah tersoesoen, sebeloemnja dilangsoengkan pemilihan anggata Badan-Badan Perwakilan Rakjat pada boelan Djanoeari 1946.

Namun, rencana tersebut tidak dapat terlaksana. Pada Juli 1946, KNIP mengesahkan RUU tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Indonesia Pusat menjadi undang-undang, yakni UU Nomor 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Indonesia Pusat.1 Dalam

undang-undang ini disebutkan bahwa badan penyelenggara pemilihan dari pusat sampai daerah akan dibentuk. Badan ini akan bertugas menyelenggarakan pemilihan untuk memilih 110 orang anggota KNIP. Di tingkat pusat nama badan ini adalah Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat yang disingkat

1 Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi

(42)

dengan BPS, sedangkan di daerah dinamakan dengan Cabang Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat.

BPS dibentuk dan diangkat oleh Presiden, berkedudukan di Yogyakarta, dengan tugas pokok melakukan pembaharuan keanggotaan KNIP. Anggota BPS terdiri atas 10 orang, termasuk seorang merangkap ketua dan seorang lagi merangkap wakil ketua. Keanggotaan BPS ini merupakan perwakilan dari partai politik dan wakil dari daerah. Anggota BPS dilantik oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 16 September 1946.2

Dalam rangka mendukung kinerja BPS, pemerintah membentuk Kantor Pemilihan dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1946. Kantor Pemilihan ini bertugas melaksanakan administrasi pemilihan, menyelenggarakan rapat-rapat BPS, menyusun laporan pelaksanaan pemilihan, mencetak barang-barang keperluan BPS, membuat pengumuman-pengumuman, dan mengurus pengarsipan. Kantor Pemilihan dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua BPS.3

Tugas dari Cabang BPS adalah memimpin dan mengawasi pemilihan (pendaftaran) pemilih di wilayahnya dan menyelenggarakan pemilihan anggota KNIP. Jumlah anggotanya bisa berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tetapi strukturnya sama dengan BPS di pusat, yaitu seorang ketua, seorang wakil ketua, dan beberapa anggota. Ketua dan wakil ketua juga merangkap anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau gubernur.

Untuk mendukung tugas Cabang BPS, dibentuklah Cabang Kantor Pemilihan yang tugasnya mirip dengan tugas Kantor Pemilihan di pusat, yaitu mengadministrasikan penyelenggaraan pemilihan di daerah masing-masing.

2 Kesepuluh anggota BPS itu adalah Soepeno dari PSI (Ketua merangkap anggota),

Mr. Soejono Hadinoto Brotokoesoemo dari Partai Kedaulatan Rakyat Indonesia (Wakil Ketua merangkap anggota), Boerhanoeddin Harahap dari Masjumi, Sjamsoedin Soetan Makmoer dari PNI, R.A.J. Djoepri Nitimihardjo dari Partai Katolik, Soetomo dari Badan Kongres Pemuda RI, Moechasim Hadiprabowo dari Daerah Sunda Kecil, A. Tahya dari Maluku, Manai Sophiaan dari Sulawesi, dan Goesti Abdoel Moeis dari Kalimantan. http:// www.kpu.go.id/

(43)

Di bawah Cabang BPS adalah Komisi yang bertugas membantu Cabang BPS, khususnya dalam menetapkan pemilih di wilayah masing-masing. Wilayah kerja Komisi ialah daerah kawedanaan (untuk di Jawa), karesidenan (untuk Sumatra), atau provinsi (untuk Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Sunda Kecil). Anggotanya merupakan wakil-wakil dari perkumpulan politik, ekonomi, sosial, dan laskar rakyat. Tiap perkumpulan mempunyai seorang wakil di Komisi.

Pada 1948 BPS beserta semua organ di bawahnya, baik di pusat maupun di daerah, dibubarkan melalui Penetapan Presiden No. 28 Tahun 1948. Pembubaran tersebut merupakan konsekuensi dari tidak digunakannya lagi UU No. 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Susunan KNIP.

Perkembangan selanjutnya, diberlakukan UU Nomor 27 tahun 1948 tentang Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemilihan anggota-anggotanya.4 Undang-undang ini

menyebutkan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum dari tingkat pusat sampai daerah. Dalam rangka melaksanakan Pemilu tersebut, di tingkat pusat dibentuk Kantor Pemilihan Pusat (KPP), di tingkat provinsi dibentuk Kantor Pemilihan, di kabupaten diadakan Cabang Kantor Pemilihan, dan di kecamatan didirikan Kantor Pemungutan Suara. Semuanya untuk menyelenggarakan pemilu yang memilih anggota DPR, sedangkan untuk memilih anggota DPRD diatur tersendiri yang pelaksanaannya tidak bersamaan dengan pemilihan anggota DPR.

2. DPR dan Senat Masa Konstitusi RIS

Hingga Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949, pemilihan umum belum dapat dijalankan. Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat

4 Robert J. Bone Jr, “Organization of the Indonesian Elections”, The American Political

(44)

(RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS terdiri atas dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Pasal 98 UUD RIS, DPR RIS terdiri atas 150 anggota. Jumlah ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 dan 109, terdiri atas 50 anggota dari RI dan 100 anggota dari daerah-daerah bagian selebihnya menurut perbandingan jumlah jiwa daerah bagian yang bersangkutan. Dalam Pasal 100 ditentukan pula bahwa dari seluruh jumlah anggota DPR RIS akan terdiri atas sekurang-kurangnya 9 (sembilan), 6 (enam), dan 3 (tiga) anggota berturut-turut yang mewakili golongan kecil Tionghoa, Eropa dan Arab. Setiap daerah bagian bebas menentukan cara pemilihan wakil-wakilnya untuk DPR; apakah dengan pemilihan ataukah penunjukan.5 Namun, pada praktiknya,

anggota-anggota DPR RIS yang ada berjumlah 146 orang.

Sementara itu, mengenai Senat RIS, menurut Pasal 80 UUD RIS, senator-senator Indonesia mewakili daerah-daerah bagian. Setiap senator ditunjuk oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang diwakilinya, dipilih dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi (Pasal 81). Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS.

3. Masa Undang-Undang Dasar Sementara 1950

a. DPRS (1950–1956)

Pada 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1950, LN No. 56/1950). UUDS ini diadopsi dari UUD RIS yang mengalami perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat menjadi negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat. Dalam rapat

(45)

itu dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan; (a) membubarkan secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi dan; (b) membentuk NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

UUDS 1950 mengatur bahwa sebelum terbentuknya DPR yang akan dipilih lewat Pemilu, kewenangan legislatif akan diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Pengisian keanggotaan DPRS tidak dilakukan lewat pemilu. Sesuai dengan Pasal 77 UUDS 1950, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari BP KNP RI, dan 13 anggota dari DPA. Anggota-anggota ini kemudian mengelompokkan diri dalam berbagai fraksi berdasarkan asal organisasi yang diwakili.

Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS 1950 juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS 1950 memasukkan pula ketentuan bahwa Presiden dapat membubarkan DPRS kalau dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi.

Pada Desember 1953, ditetapkan Undang-Undang No. 37 Tahun 1953 yang mengatur bahwa kekosongan jabatan anggota DPRS karena meninggal dunia atau pengunduran diri akan diisi atas dasar pengangkatan oleh presiden. Jika anggota itu adalah anggota partai, partai yang bersangkutan mengajukan seorang calon penggantinya kepada presiden. Jika anggota itu dari kalangan independen, presiden memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memilih calon penggantinya.6

b. DPR dan Konstituante Hasil Pemilu 1955

UUDS 1950 mengamanatkan diselenggarakannya Pemilu untuk mengisi keanggotaan DPR dan lembaga khusus yang bertugas menyempurnakan konstitusi, yaitu Konstituante.

(46)

Mekanisme pemilihan anggota DPR disebutkan dalam Pasal 56 UUDS 1950 adalah sebagai berikut.

Dewan Perwakilan Rakjat mewakili seluruh rakjat Indonesia dan terdiri sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 300.000 djiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunjai seorang wakil; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam ajat kedua pasal 58.

Akan tetapi, Pasal 57 UUDS 1950 menyebutkan sebagai berikut.

Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga-negara Indonesia jang memenuhi sjarat-sjarat dan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.

Namun, mengenai ketentuan tugas dan mekanisme pemilihan anggota Konstituante termaktub dalam Pasal 134 dan 135 UUDS 1950 yang berbunyi,

Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnja menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia jang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini.

Sementara itu, Pasal 135 UUDS 1950 berbunyi sebagai berikut.

1. Konstituante terdiri dari sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 150.000 djiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunjai seorang wakil.

2. Anggauta-anggauta Konstituante dipilih oleh warga-negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan tjara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.

3. Ketentuan-ketentuan dalam pasal 58 berlaku buat konstituante dengan pengertian bahwa djumlah-djumlah wakil itu dua kali lipat.

(47)

dan Anggota DPR. Kehadiran UU ini sekaligus menggantikan UU Nomor 27 Tahun 1948 dengan segala konsekuensinya.

Salah satu konsekuensinya adalah meleburnya kantor-kantor badan penyelenggara pemilihan umum disesuaikan dengan UU Nomor 7 Tahun 1953. Undang-undang ini diundangkan pada 7 April 1953 dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 19 Tahun 1953. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 138 yang menyebutkan sebagai berikut.

Sedjak berlakunja undang-undang ini kantor-kantor badan-badan penjelenggara Pemilihan jang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang, Nr. 27 tahun 1948, masing-masing disesuaikan mendjadi kantor badan penjelenggara pemilihan, jang dibentuk menurut undang-undang ini.

Dalam rangka melaksanakan ketentuan ini, dibuatlah Instruksi Menteri Kehakiman No. JB 2/9/3 tanggal 7 Juli 1953. Isi instruksi tersebut yang pertama ialah Kantor Pemilihan Pusat (KPP), Kantor Pemilihan (KP), dan Kantor Pemungutan Suara (KPS) yang sudah ada secara berturut-turut akan diganti dengan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan (PP), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).

Anggota PPI sekurang-kurangnya lima orang dan sebanyak-banyaknya sembilan orang, dua di antaranya juga menjadi ketua dan wakil ketua. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk masa kerja empat tahun. Di pundak PPI inilah, Pemilu 1955 sebagai pemilu pertama di Indonesia dilaksanakan.

Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil, serta demokratis. Pemilu 1955 mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu itu diikuti oleh 172 kontestan yang terdiri dari partai politik dan calon perorangan. Sistem pemilihan yang digunakan dalam Pemilu 1955 ini adalah proporsional yang tidak murni dengan 16 daerah pemilihan.

(48)

enam kursi tidak ada pemilihan, sehingga kursi yang dipilih hanya 514.

4. Masa UUD 1945 Pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959

a. DPR Hasil Pemilu 1955

Pada 1959 Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Republik Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. DPR hasil Pemilu 1955 dalam sidangnya secara aklamasi menyatakan kesediaan untuk bekerja terus berdasarkan UUD 1945.

Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres No. 1 Tahun 1959 yang menetapkan bahwa sementara DPR menurut UUD 1945 belum tersusun, DPR yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953 menjalankan tugas DPR menurut UUD 1945. Anggota DPR ini dilantik oleh Presiden pada 23 Juli 1959. Sejumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah.7

Meskipun telah dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia II, Pemilu tidak segera bisa dilaksanakan. Yang terjadi kemudian ialah Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 pada 4 Juni 1960 setelah menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat Presiden.8

b. DPR-GR (1960-1966)

DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan berdasarkan Penpres No. 3 Tahun 1960 tanggal 5 Maret 1960 tentang pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Setelah membubarkan DPR, Presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan

7 Anonim, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta:

Sekretariat DPR-GR, 1970), hlm. 219-220.

8 Daniel S. Lev, “Partai-Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer

dan Demokrasi Terpimpin,” dalam Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.

(49)

DPR-Gotong Royong (DPR-GR). Istilah ”Gotong Royong” ditambahkan di belakang nama DPR untuk menekankan kehendak Presiden bahwa DPR harus menempuh cara kerja yang lain daripada DPR di masa Demokrasi Liberal. Presiden mengharapkan adanya kerja sama atas dasar bantu-membantu antara Pemerintah dan DPR.

Penetapan ini mulai diberlakukan pada 24 Juni 1960. Pasal 1 Penpres No. 4 Tahun 1960 menentukan sebagai berikut.

Sementara DPR belum tersusun menurut UU sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 (1) UUD, maka susunan DPR yang dimaksud dalam Penpres No. 1 tahun 1959 diperbarui dengan menyusun DPRGR yang menjalankan tugas dan pekerjaan DPR menurut UUD 1945.

Sementara itu komposisi keanggotaan DPR-GR diatur dalam Pasal 2 Penpres No. 4 yang berbunyi sebagai berikut.

DPR-GR yang dimaksud Pada Pasal 1 terdiri atas wakil-wakil dari golongan-golongan politik dan dari golongan-golongan karya dan seorang wakil Irian Barat.9

Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR-GR berjumlah 283 orang, semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keputusan Presiden No. 156 Tahun 1960. Selain itu, Presiden mengangkat Ketua DPR-GR sebagai menteri koordinator dan Wakil Ketua DPR-GR sebagai pejabat yang berkedudukan setingkat menteri.10

Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR terus berlanjut tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun.

c. Pembentukan MPRS

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden

9 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),

hlm. 123.

(50)

mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur pembentukan MPRS sebagai berikut.

1) MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.

2) Jumlah anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.

3) Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.

4) MPRS mempunyai seorang ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat oleh Presiden.

Anggota MPRS diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960. Anggota MPRS berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.11

d. DPR-GR 1966-1971

Pada 2 Mei 1966, saat DPR-GR memulai masa persidangan keempat untuk masa sidang 1965-1966, ribuan mahasiswa memenuhi gedung dan ruangan sidang. Seorang anggota DPR-GR Dahlan Ranuwihardjo mengemukakan dalam sidang agar DPR-GR benar-benar membawakan aspirasi rakyat dengan menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Menurut Dahlan, sesuai jiwa UUD 1945, DPR tidak berdiri di bawah melainkan berdampingan dengan Presiden sehingga konsekuensi logisnya pimpinan DPR-GR hendaknya dipilih oleh anggota-anggota DPR-GR sendiri. Konsekuensi lanjutannya adalah bahwa Pimpinan DPR-GR tidak perlu menjadi anggota kabinet dengan diberikan pangkat menteri.

Setelah mendengar pendapat golongan-golongan mengenai usul anggota Dahlan Ranuwihardjo tersebut, sidang GR pada 2 Mei 1966 memutuskan bahwa pimpinan DPR-GR demisioner dan mengangkat caretaker pimpinan DPR-GR.

(51)

Selanjutnya, dalam sidang pleno terbuka DPR-GR pada 17 Mei 1966 dipilih pimpinan DPR-GR yang baru. Sementara itu, komposisi anggota DPR-GR yang lama masih tetap dipertahankan.12

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan Perundangan Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR menjalankan fungsinya kembali sebagai lembaga legislatif sesuai dengan UUD 1945.

5. Pemilu dan Pembentukan DPR/MPR Masa Orde Baru

Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa dengan Ketetapan MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967 tersebut juga memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengemban amanat sebagai Pejabat Presiden sampai dilaksanakannya Pemilihan Umum. Hal itu termaktub dalam Pasal 4 TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 yang menyebutkan sebagai berikut.

Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, pengemban Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Dengan berdasarkan pada Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967 tersebut, Soeharto bertindak sebagai Pejabat Presiden menggantikan Soekarno sampai terpilihnya Presiden baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari Tap MPRS XI/ MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan selambat-lambatnya pada 5

(52)

Juli 1968. Di samping mengenai ketentuan waktu pelaksanaan Pemilu, juga ditetapkan perlu segera dibentuknya segenap perangkat pelaksanaan Pemilihan Umum. Pasal 2 menyebutkan sebagai berikut.

Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Susunan MPR, DPR, dan DPRD sudah harus selesai diundangkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan ketetapan ini.

Dalam perkembangannya ternyata ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 TAP MPRS XI/MPRS/1966 ini tidak bisa dilaksanakan. Langkah selanjutnya ialah mengubah Ketetapan tersebut dengan Ketetapan MPRS XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Atas Ketetapan MPRS XI/MPRS/1966 yang mengamanatkan Pemilu harus diselenggarakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1971.13

Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan pada 5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Undang-undang yang disusun oleh Pemerintah dan DPR-GR guna menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 1971 adalah Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Penyelenggara Pemilu sesuai dengan amanat UU No. 15 Tahun 1969 adalah Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dibentuk oleh Presiden. Kemudian, Presiden menetapkan pembentukan dan anggota LPU dengan Keppres No. 3 Tahun 1970.

Menurut Pasal 8 Ayat 7 UU No. 15 Tahun 1969, LPU merupakan lembaga yang bersifat permanen, yang terdiri atas tiga unsur, yaitu dewan pimpinan, dewan/anggota-anggota pertimbangan, dan sekretariat. Keppres No. 07/M 1970 menetapkan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud sebagai

13 Di samping memuat perubahan diktum Pasal 1 TAP MPRS XI/MPRS/1966 juga

(53)

ketua LPU. Mereka dilantik oleh Presiden Soeharto pada 17 Januari 1970 di Istana Negara.

Hal yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Namun, pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, hal ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accord, tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus accord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut.

Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan

kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar. 14

Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD disebutkan bahwa tidak seluruh anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 460 orang yang terdiri atas 360 orang anggota dipilih melalui pemilihan umum dan 100 orang anggota diangkat; 75 orang

14 Bintan R Saragih. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta:

(54)

mewakili Golongan Karya ABRI dan 25 dari Golongan Karya bukan ABRI. Ketentuan ini berlangsung hingga tahun 1997.

Mengenai keanggotaan MPR, dalam Undang-Undang yang sama disebutkan bahwa MPR berjumlah 920 orang, yang terdiri atas 460 orang anggota DPR, 130 orang Utusan Daerah yang dipilih oleh DPRD I, 123 orang Utusan Partai Politik dan Golongan Karya menurut imbangan hasil pemilihan umum DPR, 207 orang diangkat oleh Presiden mewakili Golongan Karya ABRI dan bukan ABRI. Sementara partai-partai politik yang tidak memperoleh kursi dalam DPR mendapatkan sedikitnya satu kursi dalam MPR.15

Setelah Pemilu 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan enam tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977. Setelah itu selalu terjadwal sekali dalam lima tahun.

Persiapan formal Pemilu 1977 dimulai pada 1975 ketika pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Organisasi Partai Politik dan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Hasilnya adalah UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Kedua parpol adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam (NU, PSII, Perti dan Parmusi) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terbentuk dari gabungan tiga partai nasionalis (PNI, IPKI dan MURBA) serta dua partai Kristen. Dua partai politik dan satu Golongan Karya itulah yang pada akhirnya diperbolehkan untuk mengikuti Pemilu sejak tahun 1977. Pemilu tetap dilaksanakan menggunakan UU No. 16 tahun 1969. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Badan penyelenggara Pemilu untuk Pemilu 1977 relatif sama dengan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) pada Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 komposisi keanggotaan MPR mengalami perubahan karena Indonesia mengalami penambahan satu provinsi dengan masuknya Timor Timur ke dalam NKRI pada 1976. Provinsi baru ini mendapatkan lima kursi sehingga

15 Sekretariat Negara Republik Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka (1965–1973).

(55)

jumlah Utusan Daerah bertambah menjadi 135 orang. Hal ini dikompensasikan dengan pengurangan jumlah kursi untuk utusan partai politik dan Golongan Karya menurut perimbangan hasil Pemilu DPR menjadi 118 kursi.

Pada Pemilu 1982, untuk DPR, jumlah anggota DPR yang diangkat bertambah 100 orang sebagaimana diatur dalam UU No. 16 tahun 1969. Sementara itu, komposisi keanggotaan MPR masih tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969.

Setelah Pemilu 1987, komposisi keanggotaan DPR/MPR berubah lagi. Perubahan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawartan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975. Menyangkut keanggotaan MPR ditetapkan dalam Pasal 3 bahwa jumlah anggota MPR adalah dua kali lipat jumlah anggota DPR. Tambahan untuk anggota MPR sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 4 adalah sebagai berikut.

a. Utusan Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2);

b. Utusan Organisasi peserta Pemilihan Umum diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Organisasi peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan dengan mengambil nama-nama yang tercantum dalam daftar calon tetap untuk Pemilihan Umum keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat yang telah disahkan; Utusan golongan karya ABRI ditetapkan oleh Presiden atas usul Panglima Angkatan Bersenjata;

c. Utusan Golongan-golongan ditetapkan oleh Presiden baik atas usul organisasi golonpn-golongan maupun atas prakarsa Presiden.”

(56)

golongan karya ABRI. Sedangkan Pasal 10 menyebutkan jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 orang; terdiri atas 400 orang dipilih dalam Pemilu dan 100 orang diangkat. Anggota golongan karya ABRI yang diangkat ditetapkan oleh Presiden asal usul Panglima Angkatan Bersenjata (Pasal 11).

Utusan Golongan tidak membentuk fraksi tersendiri, tetapi bergabung ke dalam tiga fraksi, yaitu Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia. Akan tetapi, pada pembentukan DPR/MPR setelah Pemilu 1992, 100 orang anggota Utusan Golongan yang diangkat Presiden menggabungkan diri ke dalam Fraksi Karya Pembangunan. Model rekrutmen anggota DPR/MPR seperti ini bertahan hingga tahun 1997.

6. Pe m i l u d a n Pe m b e n t u k a n D PR / M PR E ra Reformasi

Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, jabatan Presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Sebagai respons terhadap kondisi politik saat itu, dilaksanakan Sidang Istimewa MPR 1998. Salah satu hasil dari SI MPR tersebut adalah Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Ketetapan tersebut di antaranya mengamanatkan penyelenggaraan pemilihan umum selambat-lambatnya Juni 1999.

(57)

(1) Pemilihan umum yang dimaksud dalam Ketetapan ini diikuti oleh partai-partai politik yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.

Pada

Referensi

Dokumen terkait

Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai

Dengan demikian Mahkamah memutuskan bahwa permohonan para Pemohon dikabulkan dan menyatakan Pasal 14 ayat (1) sepanjang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR”

Menimbang bahwa, berdasarkan pertim–bangan-pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah

Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun

Pemohon berpendapat bahwa hak-hak konstitusional yang secara tidak langsung diberikan oleh norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, itu

Pasal 143 ayat (5) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ―Rancangan Undang-Undang yang telah

Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut