BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pada umumnya pembangunan diartikan sebagai upaya meningkatkan kapasitas produksi untuk mencapai total output yang lebih besar dari kesejahteraan yang lebih tinggi bagi seluruh rakyat. Pembangunan merupakan
tuntutan bagi masyarakat untuk mencapai kemajuan, karena penduduk makin bertambah jumlah dan kebutuhannya seiring dengan perkembangan kemajuan
peradaban manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pembangunan nasional hendaknya terlaksana secara menyeluruh, yang meliputi segala aspek kehidupan masyarakat, agar mampu menopang pertumbuhan
ekonomi serta memberi dampak positif terhadap kesejahteraan sosial. Untuk menghindari terjadinya ketimpangan pembangunan, maka dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sangat penting menjaga stabilitas
antara pembangunan fisik dan pembangunan sosial, hal ini berlaku juga pada pembangunan lintas sektor dan pembangunan antar wilayah.
Salah satu tujuan pembangunan bangsa terdapat dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke 4 (empat) yakni mensejahterakan masyarakat. Selain bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, pembangunan yang dilakukan
harus berorientasi pada kelestarian dan keseimbangan alam. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) demi mewujudkan kesejahteraan
pembangunan telah menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan. Berbagai
kerusakan lingkungan tersebut pada akhirnya juga dapat menggangu keberhasilan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, paradigma pembangunan tersebut
mengalami perubahan mendasar terutama setelah diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development-UNCED) tahun 1992, di Rio de Janeiro, Brasil. Hasil konferensi tersebut telah disepakati semua negara di dunia bahwa pembangunan parsial hanya menekankan pada pembangunan
ekonomi diganti oleh Paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk mengintegrasikan aspek ekonomi dan pembangunan sosial sebagai proteksi dan meningkatkan
kualitas lingkungan alam dan sosial (Iskandar, 2009).
Dengan kata lain KTT di Rio de Janeiro memfokuskan pada pembangunan tiga jalur yaitu tiga P (profit, people, planet) yang harus melandasi program
pembangunan. Dalam memahami konsep pembangunan berkelanjutan kajian geografi dalam hal ini geografi lingkungan tentu dapat memberikan kemudahan
bagi siapa saja. Geografi lingkungan merupakan unsur dalam disiplin geografi yang fokus mengkaji lingkungan fisikal dan lingkungan sosial suatu wilayah secara spesifik dan komprehensif (Arjana, 2013). Keberadaan geografi lingkungan
tak terlepas dari masalah lingkungan, khsususnya hubungan antara pertumbuhan penduduk, konsumsi sumberdaya, dan peningkatan intensitas masalah akibat
manusia atau intergrasi geografi manusia dan fisik dalam memahami perubahan
lingkungan global. Geografi lingkungan menggunakan pendekatan holistik. Geografi lingkungan melibatkan beberapa aspek hubungan timbal balik antara
manusia dan lingkungan. Untuk memahami masalah-masalah lingkungan tidak mungkin tanpa pemahaman proses ekonomi, budaya, demografi yang mengarah pada konsumsi sumberdaya yang meningkat dan generasi yang merosot,
kebanyakan proses tersebut kompleks.
Dilain sisi keseriusan pemerintah dalam hal pembangunan yang berorientasi
pada kelestarian dan keseimbangan alam dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Upaya ini dilakukan agar lingkungan dan Sumber Daya Alam
(SDA) selalu terjaga untuk bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.
Dalam struktur pembangunan daerah, suatu kawasan pesisir dinilai strategis secara ekonomi jika memiliki potensi sentrifugal di dalam menggerakkan
perekonomian suatu daerah. Dalam pengertian, dinamika perkembangannya sangat menentukan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya,
menentukan pertumbuhan wilayah-wilayah di sekelilingnya secara lintas pelaku tidak sebatas kehidupan ekonomi kelompok masyarakat tertentu.
Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan merupakan
kebijakan penting Departemen Kelautan dan Perikanan. Kebijakan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah pesisir dan laut secara ekologis dan
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pesisir memiliki arti strategis
karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya.
dilain sisi kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang
besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, pariwisata dan lain-lain.Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan
dan lautan yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya ekosistem hutan mangrove (Rahmawaty, 2006). Ekosistem mangrove merupakan hutan yang hidup di atas rawa-rawa berair payau yang berada pada garis pantai dan dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Ekosistem mangrove memberi manfaat penting bagi lingkungan sosial-ekonomi masyarakat, serta mangrove memiliki keindahan tersendiri dan juga menjadi tempat hidup berbagai macam hewan. Mangrove juga
mempunyai peranan di dalam melindungi daerah pantai. Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan, pantai
(perairan dangkal), serta wisata alam.
Selama ini meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, namun
pola pemanfaatan yang sifatnya merusak dan mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut masih saja terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh tidak
adalah kegiatan berwawasan lingkungan yang mengutamakan aspek konservasi
alam, budaya masyarakat lokal, pemberdayaaan, sosial ekonomi pembelajaran dan pendidikan (Tuwo, 2011).
Ekowisata merupakan mata pencaharian alternative bagi masyarakat pesisir yang dapat menambah pendapatan mereka. Selain itu dalam pengelolaan ekowisata dan strategi konservasi hutan mangrove, keterlibatan para stakeholders
sangat berperan penting. Proyek ekowisata dapat berhasil jika stakeholders melaksanakan peran mereka dalam pengelolaan ekowisata maupun konservasi
hutan mangrove (Satyanarayanadkk, 2012). Salah satu daerah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata yaitu ekosistem mangrove yang berada di Kota Langsa tepatnya di Desa Kuala Langsa.
Desa Kuala langsa adalah wilayah perairan yang memiliki ekosistem mangrove dengan luas kurang lebih 5.100 Ha akan tetapi 3500 Ha terdegradasi. Pada umumnya kerusakan hutan mangrove diakibatkan oleh penebangan liar
hutan bakau oleh masyarakat untuk kebutuhan dan industri dapur arang serta banyak areal berubah fungsi menjadi tambak masyarakat yang tidak produktif dan
terbengkalai (DinasKelautan, Perikanan, dan Pertanian Kota Langsa, 2013). Upaya konservasi kemudian dilakukan oleh pemerintah Kota Langsa untuk menyelamatkan hutan mangrove yang masih ada dengan tujuan mempertahankan
keberadaannya dan melestarikan hutan mangrove tersebut. Salah satu upaya konservasi tersebut dilakukan dengan membuat ekowisata mangrove yang mana
tetapi, permasalahan yang muncul saat ini ekosistem mangrove di Kuala Langsa
merupakan kawasan hutan lindung telah dimanfaatkan sebagai salah satu kawasan wisata yang dikelola oleh masyarakat sekitar termasuk pemuda, pengelolaan yang
tidak jelas serta tidak ada tindak perawatan terhadap objek wisata ini menjadi salah satu permasalahan, tidak adanya kelembagaan yang legal dalam kegiatan pengelolaan wisata alam di lokasi tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan
terjadinya degradasi hutan mangrove dan mempengaruhi status kawasan hutan mangrove tersebut. Selain itu juga tempat wisata ini belum didukung dengan
sarana dan prasarana yang memadai yang bisa membuat wisatawan merasa aman dan nyaman dalam kegiatan wisatanya.
Obyek ekowisata mangrove Kuala Langsa merupakan salah satu kawasan
wisata yang berpotensi untuk memberikan konstribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat. Ekowisata mangrove Kuala Langsa dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah akan tetapi saat ini pemerintah belum mengelola kawasan
ini secara serius. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka diperlukan upaya pengelolaan yang komprehensif dan terpadu dalam pengembangan ekowisata
sehingga menjamin keberlanjutan pembangunan ekowisata mangrove Kuala Langsa.
Partisipasi masyarakat, dalam hal ini khusus pemuda, dalam pembangunan
strategi pengentasan kemiskinan dan perencanaan pembangunan nasional di tujuh
region di dunia. Studi tersebut mengindikasikan bahwa meskipun banyak strategi pengentasan kemiskinan nasional telah menyinggung kebutuhan kaum muda,
seringkali strategi ini terbatas dalam menganalisis situasi kaum muda dan banyak rencana pembangunan nasional kurang mempertimbangkan kebutuhan,realitas, rintangan, prioritas, dan peluang kaum muda (Sitti 2014 dalam Fanzikri, 2015).
Partisipasi pemuda sangat diharapkan dalam proses pembangunan yang bermuara pada pencapaian tujuan negara tersebut. Pemuda dituntut untuk turut
serta dalam pembangunan bangsa, baik bagi pemuda yang tinggal di wilayah perkotaan maupun pemuda yang tinggal di wilayah perdesaan. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan pemuda untuk tidak peduli terhadap pembangunan
bangsa di tengah hedonisme dan arus modernitas yang semakin hari semakin menguat. Pembangunan yang adil dan merata dari kota hingga pelosok desa menjadi tujuan dari bangsa ini. Oleh karenanya, pemuda di seluruh pelosok negeri
harus bersinergi dan berpartisipasi dalam pembangunan. Aksi nyata ini bisa dimulai dengan berpartisipasi dalam pembangunan di daerah tempat pemuda
bermukim.
Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini mengkaji partisipasi pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove ditinjau dari perspektif
geografi lingkungan. Berbagai penelitian yang telah dilakukan peneliti terdahulu menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi akan berkorelasi
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk partisipasi pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa Kota Langsa?
2. Bagaimana strategi dan kebijakan partisipasi pemuda dalam
pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa Kota Langsa di tinjau dari perspektif geografi lingkungan?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis bentuk-bentuk partisipasi pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa, Kota Langsa. 2. Untuk merumuskan strategi dan kebijakan partisipasi pemuda dalam
pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa, Kota Langsa ditinjau dari perspektif geografi lingkungan.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang
konsep partisipasi pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa Kota Langsa.
(stakeholder) dalam implementasi program pembangunan daerah yang
berbasis pada partisipasi pemuda dan pengembangan ekowisata mangrove. 3. Sebagai bahan informasi dan gambaran umum bagi pemerintah daerah
tentang partisipasi pemuda yang mempengaruhi pengembangan ekowisata di Kota Langsa.
4. Bagi peneliti lain, dapat digunakan menjadi sebagai bahan referensi ilmiah