BAB III
PPAT SELAKU PEJABAT YANG BERWENANG MEMBUAT AKTA PERALIHAN DAN PENDAFTARAN AKTA PERALIHAN
HAK ATAS TANAH
A. Tentang PPAT 1. Pengertian PPAT
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mulai dikenal sejak berlakunya UUPA. Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai ketentuan pelaksana dari UUPA tersebut dimana dalam ketentuan tersebut diperkenalkan PPAT sebagai pejabat yang berfungsi membuat akta yang bermaksud memindahkan/ mengalihkan hak atas tanah. Selanjutnya ketentuan yang mengatur tentang PPAT ini telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PJPPAT). dimana dalam Pasal 1 ditegaskan apa yang dimaksud dengan PPAT yaitu: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. A.P.Parlindungan menyatakan, PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah tetapi tidak digaji oleh pemerintah dan mempunyai kekuasaan umum artinya akta-akta yang diterbitkan merupakan akta otentik.68. Effendi Perangin menyatakan, PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada
68 A.P.Parlindungan,Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform Bagian I (Bandung:
perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan hak atas tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggugan.69 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 1 disebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggugan pada Pasal 1 disebutkan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari pengertian diatas yang menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang artinya sebagai organ Negara, akan tetapi PPAT sebagai pejabat umum bukan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dan bukan sebagai Pegawai Pemerintah atau Pegawai Negeri. Walaupun PPAT diangkat oleh Pejabat yang berwenang, akan tetapi PPAT bukan pegawai negeri karena jabatan sebagai PPAT bukan jabatan yang digaji. PPAT tidak menerima gaji dari pemerintah, melainkan PPAT menerima honor atau pembayaran dari yang memakai jasanya. Pejabat Umum tidak dapat disamakan dengan Pejabat Tata Usaha Negara karena kewenangan yang dimiliki oleh seorang Pejabat Umum adalah berasal dari kewenangan atribusi, yaitu kewenangan yang
69
melekat pada suatu jabatan. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat Tata Usaha Negara berasal dari kewenangan delegasi dan mandat dari atasannya.70
Selain PPAT sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, ada juga Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus. Adapun yang dimaksud dengan PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 1 Perka BPN Nomor 1 Tahun 2006 sebagai Peraturan Pelaksana PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT.
2. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT.
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan PPAT Sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapat limpahan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia71. Sedangkan menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT menyebutkan PPAT, PPAT Sementara dan PPAT Khusus diangkat dan diberhentikan Menteri. Untuk dapat diangkat menjadi PPAT
70 M.Philipus Hadjon et,al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2001), hal. 132.
harus memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur pada Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT yaitu :
1. Berkewarga-negaraan Indonesia;
2. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi kepolisian setempat;
4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5. Sehat jasmani dan rohani;
6. Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi; 7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/
Badan Pertanahan Nasional.
Sebelum dapat mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerjasama dengan organisasi profesi PPAT. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi pendidikan dan pelatihan pertama dan khusus. Pendidikan dan pelatihan pertama diselenggarakan sebagai salah satu persyaratan untuk mengikuti ujian pengisian formasi PPAT dalam rangka pengangkatan PPAT pertama kali, sedangkan pendidikan dan pelatihan khusus diselenggarakan untuk memberikan pemahaman atau pengetahuan lanjutan dalam rangka pembuatan akta tertentu yang berkaitan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan.
diselenggarakan oleh BPN RI yang penyelenggaraannya bekerjasama dengan organisasi profesi PPAT. Keputusan pengangkatan sebagai PPAT akan diberikan kepada yang bersangkutan setelah selesai pelaksanaan pembekalan teknis pertanahan. Selanjutnya untuk keperluan pelantikan dan pengangkatan sumpah sebagai PPAT, calon PPAT tersebut wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat mengenai pengangkatannya sebagai PPAT dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pengangkatan yang bersangkutan sebagai PPAT. Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut.
Dalam jangka waktu 1 bulan setelah pengambilan sumpah jabatan, PPAT yang bersangkutan wajib:
a. Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan;
b. Melaksanakan jabatannya secara nyata. 3. Fungsi dan Tugas PPAT.
Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.72
Adapun tugas pokok PPATdiatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT disebutkan PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagaian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Sedangkan perbuatan hukum dimaksud adalah ;
a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah;
d. pemasukan kedalam perusahaan; e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggugan;
h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggugan.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut diatas PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai segala perbuatan hukum yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi jabatannya. PPAT
hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.73
PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat Hukum tetapi dilarang merangkap jabatan sebagai Pengacara atau Advokad, Pegawai Negeri atau Pegawai BUMN/BUMD sebagaimana diatur dalam Pasal 7 PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT. Seorang PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah-tanah yang terletak di daerah kerjanya.74 Daerah kerja PPAT diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT yang menyebutkan :
1. daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya;
2. daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dapat menunjuk pejabat-pejabat tertentu sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus yaitu :
1. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;
2. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi Negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangaan dari Depertemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
Dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT. ditetapkan bahwa PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena :
a. Meninggal dunia atau;
b. Telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun atau;
c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai notaris dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT atau;
d. Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2) menetapkan : PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT, apabila tidak lagi memegang jabatannya, atau diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
B. Pendaftaran Tanah.
1. Pengertian Pendaftaran Tanah.
Perkembangan pendaftaran tanah di Indonesian diawali sejak adanya
tanggal 2 April 1834 (Stb 1834 no 27)75 dan berdasar ketentuan inilah pendaftaran tanah dengan balik nama mulai diaktifkan. Pendaftan ini hanya berlaku atas peralihan tanah yang tuduk pada hukum perdata Belanda (BW). Dan saat ini dengan berlakunya UUPA pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat penting demi kepastian hak-hak seseorang atas tanah dan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi yang akurat dan terjamin.
Menurut A.P.Parindungan, pendaftaran tanah berasal dari katacadastre(bahasa Belanda kadaster) yaitu suatu istilah teknis untuk suatu rekaman, yang mewujudkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Pengertian lebih tegas, cadastre berarti alat yang tepat untuk memberikan uraian dan identifikasi dari lahan dan juga untuk continues recording dari hak atas tanah76.
Oleh karenanya pendaftaran tanah itu adalah merupakan rekaman data fisik dan data yuridis yang dibuat dalam bentuk peta dan daftar bidang-bidang tanah tertentu, yang dilaksanakan secara objektif dan etiket baik oleh pelaksana administrasi Negara.
Bahwa dengan berlakunya UUPA, mengenai pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA menyatakan :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah,
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
75Irawan Soerodjo,Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia(Surabaya: Arloka,2003),
hal.59.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan mayarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria;
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran dimaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Untuk melaksanakan amanat yang ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) diatas Pemerintah telah menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pendaftaran tanah dimaksud yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraruran Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
2. Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) Nomor 3 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Ketetapan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1999 tentang PPAT.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT).
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
undang-undang yang memuat dasar-dasar pokok dibidang agraria yang merupakan landasan bagi usaha pembaharuan agraria untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk mensejahterakan masyarakat.
2. Tujuan Pendaftaran
Bahwa tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA tersebut yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan. Sehingga dengan mendaftarkan kepemilikan hak atas bidang tanah, maka pemilik atas tanah tersebut mempunyai kepastian, kekuatan dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan Pendaftaran tanah bertujuan :
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, Satuan Rumah Susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar;
Oleh karenanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu ;
a. Bahwa diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
b. Di zaman informasi ini maka Kantor Pertanahan sebagai kantor di depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, baik untuk Pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan Negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat mewujudkan sesuatu yang diperlukan terkait tanah. Informasi tersebut dapat bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat memberikan informasi apa saja yang diperlukan atas bidang tanah dan bangunan yang ada.
c. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal wajar.77
Pendaftaran Hak dan Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah ini sebagai mana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA tersebut merupakan sebagian tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Dibidang ini, Pendaftaran Hak dan Pendaftaran Peralihan Hak dapat dibedakan 2 tugas yaitu :
1. Pendaftaran Hak atas Tanah, yaitu pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah;
2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek pendaftaran yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang meliputi kegiatan :
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi ;
1. Pembuatan peta dasar pendaftaran; 2. Penetapan batas bidang-bidang tanah;
3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran;
4. Pembuatan daftar tanah; 5. Pembuatan surat ukur;
b. Pembuktian hak dan pembukuannya, kegiatannya meliputi : 1. Pembuktian hak baru;
2. Pembuktian hak lama; 3. Pembukuan hak; c. Penerbitan sertifikat;
d. Penyajian data fisik dan data yuridis; e. Penyimpanan daftar dan dokumen.
kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematis maka pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Dalam kenyataannya masih banyak tanah-tanah yang belum terdaftar antara lain disebabkan kurangnya kesadaran hukum masyarakat serta birokrasi yang masih panjang dan memerlukan biaya yang relatif membebani masyarakat.
Pemeliharaan data pendaftaran adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi;
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, kegiatannya meliputi : 1. Pemindahan hak;
4. Peralihan hak melalui penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi;
5. Pembebanan hak;
6. Penolakan pendaftaran dan pembebanan hak.
b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, yang kegiatannya meliputi;
1. Perpanjangan jangka waktu atas hak tanah;
2. Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah; 3. Pembagian hak bersama;
4. Hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas Satuan Rumah Susun; 5. Peralihan dan hapusnya hak tanggungan;
6. Perubahan data pendaftaran tanah berdasar putusan atau penetapan pengadilan;
7. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama. 3. Sistim dan Publikasi Pendaftaran Tanah.
tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga setiap Negara mencari jalan keluar sendiri-sendiri.78
Menurut asas iktikad baik, orang yang memperoleh sesuatu hak dengan iktikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beriktikad baik dan guna melindungi orang yang beriktikad baik inilah maka perlu daftar umum yang mempunyai kekuatan bukti. Sistim pendaftarannya disebut sistim positif. Lain halnya dengan asas nemo plus yuris, orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya dimana pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun. Oleh karena itu daftar umum tidak mempunyai kekuatan bukti. Sistim pendaftaran tanahnya disebut sistim negatif.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Dengan azas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak yang berkepentingan khususnya pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Dengan azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
78 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya (Jakarta: Sinar Grafika,
jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan hukum pendaftaran tanah tersebut. Dengan azas mutakhir dimaksudkan adalah dengan mempergunakan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaannya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir, untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan yang terjadi dikemudian hari sehingga diharapkan yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan. Dengan azas terbuka dimaksudkan dimana masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data-data yang benar setiap saat.
Dalam hukum pertanahan dikenal dua sistim pendaftaran tanah, yaitu ;
1. Registration of Titles. Dalam sistim ini setiap pendaftaran hak harus dibuktikan dengan suatu akta tetapi dalam penyelenggaraan pendaftaran bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang didaftarkan.
Bukti bahwa sistem pendaftaran hak dalam UUPA menganut sistim pendaftaran hak adalah dapat diketahui dari adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti.
Dalam pendaftaran tanah terdapat tiga (3)stelselpendaftaran tanah yaitu : 1. Sistim Negatif.
Ciri utama dalam sistim negatif ini adalah bahwa pendaftaran tanah yang dilakukan oleh pemegang hak tidak memberikan jaminan kepadanya sebagai pemilik hak atas tanah dan oleh karenanya nama yang terdaftar dalam buku tanah dapat dibantah walaupun ia beretikad baik. Sistim ini dianut di negeri Belanda, Hindia Belanda, Negara Bagian Amerika Serikat dan Prancis. Dalam sistim ini bahwa pendaftaran tidak memberikan jaminan bahwa nama yang tercantum dalam daftar dan sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim apabila terjadi sengketa hak.
Kelemahan sistim negatif ini adalah :
a. Tidak memberikan kepastian hukum pada buku tanah; b. Peranan yang passif dari pejabat balik nama;
c. Mekanisme yang sulit serta sukar dimengerti oleh orang biasa; 2. Sistim Positif;
artinya mempunyai kekuatan pembuktian yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam hal ini pendaftaran berfungsi sebagai jaminan yang sempurna dalam arti nama yang tercantum dalam buku tanah tidak dapat dibantah kebenarannya sekalipun nantinya orang tersebut bukan pemiliknya. Mengingat hal yang demikian inilah maka pendaftaran hak dan peralihannya selalu memerlukan pemeriksaan yang sangat teliti dan seksama sebelum pekerjaan pendaftaran dilakukan. Pegawai pendaftaran harus bekerja secara aktif serta harus mempunyai peralatan yang lengkap serta memakan waktu relatif lama untuk mengerjakannya. Hal ini dapat dimaklumi karena pendaftaran hak tersebut mempunyai fungsi pendaftaran dan mempunyai kekuatan hukum mutlak dengan demikian pengadilan dalam hal ini mempunyai wewenang dibawah kekuasaan administratif. Sistim ini dipergunakan di Australia, Singapura, Indonesia, Jerman dan Swiss. Adapun kelemahan sistim ini adalah;
a. Peranan yang aktif dari pejabat balik nama memerlukan waktu lama; b. Pemilik yang berhak dapat kehilangan hak diluar perbuatan dan
kesalahannya;
c. Apa yang menjadi wewenang pengadilan negeri diletakkan dibawah kekuasaan administratif.
setiap hak-hak atas tanah dalam buku tanah dan dalam salinan buku tanah kemudian barulah diterbitkan sertifikat hak kepada pemilik tanah dan sertifikat yang telah diterbitkan tersebut berlaku sebagi alat pembuktian yang sempurna sehingga setiap orang pemegang sertifikat tidak dapat diganggu gugat lagi, oleh karena sifat demikianlah maka sistim torrens sama dengan sistim positif.
Beberapa ahli Agraria Indonesia menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Negara ini menganut system Torrens79.
Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menganut sistim publikasi positif, tetapi menganut sistim publikasi negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c, Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 32 ayat 2 UUPA. UUPA menganut sistim negatif yang yang mengandung unsur positif karena Negara tetap tidak menjamin kebenaran data-data yang tertera dalam sertifikat yang telah diterbitkan didalam sistim publikasi positif yang seharusnya mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah didaftar itu menjamin kebenaran data yang didaftarkannya, dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum dimasukkan dalam daftar-daftar sehingga pemerintah menjamin kebenaran data-data80 , oleh karenanya Indonesia bukan menganut sistim publikasi negatif murni,
karena sistim publikasi negatif murni tidak akan menggunakan sistim pendaftaran hak (registrationof titles) dimana dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, bukan aktanya yang didaftar melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Adapun pengertian negatif adalah kemungkinan sertifikat yang dimiliki seseorang dapat dirobah, sedangkan unsur positif mengandung arti bahwa Kantor Pertanahan Nasional akan berusaha semaksimal mungkin agar terhindar dari kekeliruan. Adapun cara yang dilakukan yaitu dalam pembuatan sertifikat tanah ada pengumuman, dalam menentukan luas batas tanah dengan mengikut sertakan tetangga (contradictore delimitatie) dalam pendaftran hak atas tanah. Ini berarti bahwa Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan, namun demikian sertifikat hak-hak atas tanah dapat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat sepanjang tidak ada gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Dalam hal ini meskipun sistim publikasinya negatif, namun ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan, pemeliharaannya dan penerbitan sertifikat serta kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilakukan dengan seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
dan data yurudis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yurudis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan Satuan Rumah Susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan Satuan Rumah Susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta bahan-bahan yang membebaninya.
Data fisik tersebut dapat diperoleh dengan cara petugas pendaftaran datang kelokasi pengukuran dan kemudian menetapkan tanda batas dengan mengikut sertakan tetangga.
Persesuaian data fisik dan data yuridis dimaksud tidak berarti tanda bukti hak atas tanah tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, sebab disini akan dibuktikan lagi unsur etikad baik, dalam hal ini maka hakimlah yang memutuskan bukti mana yang sah, hal ini mengandung arti bahwa sertifikat sebagai bukti yang kuat.
Dengan demikian pendaftaran tanah itu adalah pendaftaran akta (registration of deeds) dan pendaftaran haknya (registration of titles). Dalam kaitan dengan pendaftaran peralihan hak, Mhd.Yamin menyatakan81, pendaftaran tanah dalam balik nama (continous recording) merupakan kegiatan dari pendaftaran Akta dan
BAB IV
PROBLEMATIKA HUKUM PERALIHAN HAK MILIK (LEVERING) ATAS TANAH DARI PENJUAL KE PEMBELI
A. Masalah Hukum Saat Beralihnya(Levering)Hak Atas Tanah Berdasar Jual Beli
1. Problema Hukum Saat Beralihnya Hak Atas Tanah Dalam Jual Beli.
Pengalihan atau penyerahan (levering) adalah cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan dengan cara mengalihkan hak milik atas suatu kebendaan dari pemilik yang lama kepemilik yang baru. Khusus mengenai tanah dalam UUPA Pasal 20 ayat (2) disebutkan bahwa Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dan Pasal 28 ayat (3) disebutkan Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta Pasal 35 ayat (3) disebutkan Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain sifat hak atas tanah itu walau dibatasi oleh ketentuan Pasal 6 UUPA, dapat dialihkan kepada orang lain dengan sifat hak yang sama, tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika terjadi perpindahan tangan.82 Dalam Pasal 26 UUPA yang menyatakan jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam pasal ini disebutkan beberapa perbuatan hukum yang langsung secara sengaja dimaksudkan untuk mengalihkan hak milik kepada
orang lain yaitu jual beli, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan pemberian menurut adat (mengingat kita berada dalam suasana hukum adat dengan hak milik baru ini)83. Dalam tabel berikut dikemukakan istilah-istilah yang terdapat dalam UUPA yang menunjukkan arti peralihan hak atas tanah dari seorang kepada orang lain.
Tabel 1
Pasal yang Mengatur Istilah Dialihkan (Levering) Dalam UUPA
No Pasal Istilah yang dipergunakan
1.
”Hak Milik, demikian pula setiapPeralihannya---” ”Jual-beli---dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untukmemindahkan hak milik---” ”Setiap Jual-beli---untuk memindahkan hak milik kepada orang asing---” ”Hak Milik Hapus---karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya---” ”Hak Guna Usaha dapatberalih dan dialihkan---” ”Orang yang mempunyai HGU---wajib melepaskan ataumengalihkan hakitu---” ”Jika Hak Guna Usaha----tidak dilepaskan ataudialihkan ---”
”Hak Guna Usaha---demikian juga setiapperalihannya ---”
”Hak Guna Bangunan dapatberalih dan dialihkan---” ”Orang---wajib melepaskan ataumengalihkan hak itu---”
”Hak Guna Bangunan---demikian juga setiapperalihan ---”
”Pendaftaran----HGB---serta sahnya peralihan hak
tersebut---”---Hak Pakai hanya dapatdialihkan---” ”Hak Pakai---hanya dapatdialihkan----” Sumber : Data Bahan Hukum Pimer.
Tabel tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana UUPA itu sendiri mengatur dan mengistilahkan pengalihan hak-hak atas tanah dari seorang kepada orang lain. Tabel tersebut menunjukkan bahwa UUPA mempergunakan istilah ”Peralihan hak”, ”Memindahkan hak”, ”penyerahan” (hanya satu pasal). Mhd.Yamin Lubis menyatakan84untuk memudahkan pemahaman praktisnya, maka ”peralihan hak atas tanah” dapat ditafsirkan sebagai suatu perbuatan hukum yang dikuatkan dengan akta otentik yang diperbuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang mengakibatkan beralihnya pemegang hak atas tanah kepada pihak lain. Sementara ”pemindahan hak atas tanah” adalah perbuatan hukum yang dikuatkan selain dengan akta PPAT, seperti Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang, akta otentik mengenai penyerahan hak dan ganti rugi dan juga tukar guling yang dibuat oleh Notaris, Surat Keterangan Ahli Waris, dan putusan pengadilan yang mengakibatkan berpindahnya pemegang hak kepada pihak lain. Istilah-istilah itu sebenarnya mempunyai makna yang sama yaitu peralihan hak atas tanah atau berpindahnya hak atas tanah dari seorang pemilik semula kepada orang lain yang menjadi pemilik baru. Sebagaimana di kemukakan oleh Mhd Yamin Lubis, bahwa sebenarnya istilah peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah tidak ada perbedaan yang tegas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997. Terkadang dapat dikesankan bahwa peralihan hak dan pemindahan hak diartikan sama, terkadang peralihan hak bagian dari pemindahan hak dan sebaliknya. Misalnya
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pada Pasal 37 diberi judul pemindahan hak, sedangkan dalam isi pasalnya disebutkan peralihan hak.85
Hak atas tanah yang dimiliki seseorang dapat dialihkan kepada orang lain. Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada orang lain dikarenakan suatu perbuatan hukum misalnya karena jual beli.
Berdasar Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Dari ketentuan tersebut diatas disyaratkan bahwa setiap peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya bisa didaftar apabila perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah tersebut dibuat dalam suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan kata lain diharuskannya peralihan hak atas tanah atau perbuatan
levering atas tanah itu harus dibuat dengan akta PPAT hanyalah agar dapat didaftarkan balik namanya atas nama pembeli. Oleh karenanya ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut tidak mengatur tentang bagaimana tata cara pengalihan atau penyerahan (levering) atas tanah yang dijual tersebut sehingga menjadi probematika hukum kapan momentum beralihnya hak atas tanah yang dijual dari penjual kepada pembeli.
Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah apakah perjanjian jual beli atas tanah itu juga harus dibuat dalam akta yang dibuat oleh PPAT? Atau apakah hanya pengalihannya saja (leveringnya) yang dibuat dalam akta PPAT?. Karena sebagaimana dipahami dalam teori hukum perjanjian menurut KUHPerdata bahwa perjanjian jual beli itu terdiri dari dua tahapan yaitu tahap obligatoir dan tahap
zakelijke dimana tahap obligatoir itu adalah tahap lahirnya hak dan kewajiban diantara penjual dan pembeli tahap mana dilahirkan sejak tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga. Namum pada tahap itu belumlah beralih hak milik atas barang yang dijual selama belum dilakukan penyerahan atau
levering. Pada saat dilakukannya penyerahan inilah hak milik atas barang itu beralih kepada pembeli dimana tahap ini disebut sebagai tahapzakelijke.
Untuk menjawab pertanyaan diatas maka dalam perjanjian jual beli tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut maka sesungguhnya sudah terjawab oleh peraturan pemerintah tersebut yaitu dari kata ”melalui jual beli” yang berarti perjanjian jual beli sebagai alas hak (titel) peralihan hak milik tersebut harus dibuat dalam akta PPAT. Selain itu dari hasil penelitian atas dokumen ”Akta Jual Beli” yang dibuat oleh PPAT, jelas kelihatan bahwa dalam akta jual beli itu memuat kata-kata seperti :
Tanah (NIB):---dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) Nomor Objek Pajak (NOP) :---terletak di :---Jual Beli ini meliputi pula :---segala sesuatu yang terdapat dan didirikan serta ditanam---dstnya
Selanjutnya semua yang diuraikan diatas dalam akta ini disebut ”Objek Jual
Beli”;---Pihak Pertama dan Beli”;---Pihak Kedua menerangkan bahwa :---a. Jual beli ini dilakukan dengan harga Rp---b. Pihak Pertama mengaku telah menerima sepenuhnya uang tersebut diatas dari Pihak Kedua dan untuk penerimaan uang tersebut akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimaan yang sah
(kwitansi);---Kata-kata dalam Akta Jual Beli tersebut yang menyebutkan”Pihak Pertama menerangkan dengan ini menjual kepada Pihak Kedua dan Pihak Kedua
menerangkan dengan ini membeli dari Pihak Pertama” memperlihatkan bahwa antara Pihak Penjual dan Pihak Pembeli telah terjadi kesepakatan jual beli tanah dimaksud yaitu kesepakatan mengenai tanah sebagai objek jual beli dan harganya. Oleh karenanya perjanjian jual beli tanah dibuat dalam akta PPAT. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT maka dipenuhi syarat terang, yaitu perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum yang gelap atau perbuatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan kata-kata yang tercantum dalam akta PPAT tersebut yang menyebutkan “Pihak Pertama mengaku telah menerima sepenuhnya uang tersebut diatas dari Pihak Kedua dan untuk penerimaan uang
tersebut akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimaan yang sah (kwitansi)”,
Sebagimana dalam pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu kapan hak milik atas tanah yang dijual itu beralih kepada pembeli, sebenarnya UUPA tidak secara tegas mengaturnya. Sebab Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut diatas hanya menekankan kepada pendaftaran dimana agar dapat didaftar peralihan hak atas tanah berdasar jual beli, maka peralihan haknya itu haruslah dibuat dengan akta PPAT. Namun demikian walaupun ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut penekanannya kepada pendaftaran, tetapi terkandung juga makna bahwa peralihan hak atas tanah itu terjadi antara penjual dengan pembeli adalah saat dibuatnya akta PPAT dalam hal ini Akta Jual Belinya (AJB). Hal ini terbukti dari hasil penelitian penulis atas Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT, bahwa didalam akta jual beli yang dibuat PPAT tersebut selalu terdapat kata-kata yang dimuat dalam pasal yang menyebut:
”mulai hari ini objek jual beli yang diuraikan dalam akta ini telah menjadi
milik Pihak Kedua dan karenanya segala keuntungan yang didapat dari, dan
segala kerugian/beban atas objek jual beli tersebut diatas menjadi hak/beban
pihak Kedua”
PPAT. Namun perlu ditegaskan bahwa hal ini berlaku bagi tanah yang sudah terdaftar atau yang sudah bersertifikat sehingga dengan dibuatnya akta PPAT tersebut dapat dilakukan balik nama pada sertifikat tanahnya dan dicatat buku tanah di Kantor Pertanahan. Dengan kata lain akta PPAT membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Oleh karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru.86 Dengan demikian dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT yang didalamnya memuat kata-kata”mulai hari ini objek jual beli yang diuraikan dalam akta ini telah menjadi milik Pihak Kedua dan
karenanya segala keuntungan yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas
objek jual beli tersebut diatas menjadi hak/beban pihak Kedua” , adalah menunjukkan bahwa telah terlaksana penyerahan (levering) secara yuridis yang dalam konteks hukum disebutjuridische levering.
Namun hal ini masih menimbulkan problema hukum karena sekalipun hak milik atas tanah yang dijual itu telah berpindah ke pembeli saat dibuatnya akta PPAT dalam arti telah dilakukan penyerahan secara yuridis (juridische levering), tetapi sertifikat tanah itu sebagai bukti hak masih tercatat didalam sertifikat itu atas nama penjual dan dalam buku tanah di Kantor Badan Pertanahan masih tercatat atas nama penjual selaku pemilik lama. Peralihan nama di sertifikat itu ke nama penjual baru terlaksana setelah dilakukan pendaftarannya di BPN, dan terjadilah balik nama
menjadi atas nama pembeli. Namun bagaimana nantinya kekuatan hukum peralihan hak yang demikian sekiranya Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran peralihan hak itu karena sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Kepala Kantor Pertanahan dapat menolak pendaftaran peralihan hak apabila terdapat syarat-syarat pendaftaran tidak dipenuhi. Namun jika hak atas tanah yang dijual itu merupakan tanah yang belum terdaftar maka saat peralihan haknya yaitu saat dibuatnya akta tidak ada menimbulkan persoalan hukum, karena justru dengan akta PPAT yang bersangkutan dijadikan alat bukti bagi pembeli dalam pendaftaran pertama hak tersebut kepada nama pembeli.
menurut konsep KUHPerdata yang secara tegas membedakan tahapan perjanjian jual belinya dengan peralihan hak milik yang memerlukan suatu perbuatan hukum berupa
leveringatau penyerahan. Dalam Pasal 1459 KUHPerdata secara tegas menyebutkan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616”.
Ketentuan yang secara tegas seperti itu tidak ada ditemukan dalam ketentuan UUPA. Dalam praktek jual beli tanah sekarang ini sering terjadi sebelum dilakukannya atau dibuatnya akta jual beli oleh PPAT, para pihak penjual dan pembeli terlebih dahulu melakukan perjanjian pengikatan jual beli yang sering disebut PPJB, tetapi biar bagaimanapun agar peralihan hak atas tanah itu terjadi dan agar tanah yang dijual itu menjadi milik pembeli maka PPJB tersebut dikemudian hari harus di tingkatkan atau ditindaklanjuti dengan membuat akta jual beli yang dibuat dalam akta PPAT.
selama belum dilakukan pendaftarannya di BPN yang berwenang mencatat balik nama dalam buku tanah di BPN.
Dalam hal yang demikian Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan proses terjadinya peralihan hak milik atas tanah yang sudah dibukukan adalah sebagai berikut:
a. Fase pertama : Fase yang mendahului akta PPAT. b. Fase kedua ; Akta PPAT
c. Fase ketiga : Pendaftaran dan pemberian sertifikat.87
Jika dibandingkan dengan sebelum berlakunya UUPA tentang saat beralihnya hak atas tanah karena perjanjian jual beli, dimana peralihan hak atas tanah diatur dalam Ordonansi Balik Nama (overschrijvings ordonantie) yang dimuat dalam Stb.1834 Nomor 27. Peralihan hak berdasar Ordonansi balik nama (overschrijvings ordonantie) ini dilakukan untuk tanah-tanah dengan Hak Barat dan tunduk kepada ketentuan BW dan pendaftarannya dilakukan berdasar Ordonansi Balik Nama (overschrijvings ordonantie). Yang diperjual-belikan menurut ketentuan hukum barat ini adalah apa yang disebut ”tanah-tanah hak Barat”, yaitu tanah-tanah hak eigemdom,erfpaht, opstal dan lain-lain.88. Menurut ketentuan pasal 20 Ordonansi Balik Nama (overschrijvings ordonantie), maka jual beli tidak lagi merupakan salah satu sebab dari peralihan hak, jual beli hanya merupakan salah satu dasar hukum
(titel,causa) dari penyerahan, sedang peralihan hak baru terjadi setelah pendaftaran dilakukan.89
Dalam sistim hukum BW hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 616 dan 620 KUHPerdata, dimana penyerahan yuridis itu dilakukan dihadapan notaris yang membuat aktanya, akta penyerahan mana disebut ”transport acte” (akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada pejabat yang disebut ”penyimpan hipotheek”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran itu hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli.90
Sedangkan untuk tanah-tanah dengan hak adat, sebagaimana telah dikemukakan bahwa jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama lamanya pada waktu pihak pembeli membayar harga tanah tersebut kepada penjual meskipun harga baru dibayar sebagian, dan dengan demikian sejak saat itulah hak atas tanah itu beralih dari si penjual kepada pembeli, artinya hak milik atas tanah tersebut sudah beralih kepada pembeli sejak saat terjadinya jual beli tersebut. Oleh karenanya jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak atas tanah itu harus dilakukan dihadapan Kepala Adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak
tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui umum. Dan tunai berarti pembayaran dilakukan secara kontan atau setidak-tidaknya pembayaran sebagian hal mana dianggap sebagai tunai. Perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak.
2. Mekanisme Pengalihan dan Keabsahan Akta Jual Beli sebagai Momentum Peralihan Hak.
Prosedur pengalihan hak atas tanah berdasar jual beli diawali dengan datangnya para pihak penjual dan pembeli menghadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan menyatakan maksudnya untuk mengadakan jual beli. Selanjutnya PPAT tersebut meminta sertifikat hak atas tanah yang akan dijual belikan, bukti identitas dan berkas kelengkapan lainnya dari para pihak. Dengan kata lain PPAT yang akan membuat akta pengalihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah tersebut dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari pihak penjual dan pembeli. Sehubungan dengan objek hak atas tanah yang dialihkan, PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen ;
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan.
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar :
baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
ii. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut.
Setelah akta jual beli selesai dibuat oleh PPAT maka selanjutnya dengan dihadiri oleh Penjual dan Pembeli dan 2 (dua) orang saksi, PPAT selanjutnya membacakan isi akta kepada para pihak serta saksi-saksi dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud dari pembuatan akta jual beli serta prosedur pendaftaran yang harus dilakukan. Pada saat akta dibacakan, para pihak dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang tidak dimengerti.
Setelah akta jual beli selesai dibacakan dan dijelaskan serta tidak ada pihak yang berkeberatan terhadap isi akta tersebut, maka dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi dihadapan PPAT, Penjual dan Pembeli menandatangani akta jual beli dan dengan disaksikan oleh PPAT tersebut. Selanjutnya PPAT dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditanda-tanganinya akta yang bersangkutan, wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar perubahan datanya, setelah itu nama Penjual yang tertera di sertifikat akan dicoret oleh pihak Kantor Pertanahan dan selanjutnya diganti dengan nama Pembeli.
Secara keseluruhan akta jual beli memuat keterangan mengenai : 1. Para pihak yaitu Penjual dan Pembeli dan saksi-saksi; 2. Keterangan bahwa mereka telah melakukan jual beli;
3. Keterangan mengenai objek jual beli yaitu status tanah, luasnya, letaknya, batas-batasnya beserta turutan yang mengikuti tanah tersebut;
5. Syarat-syarat mengenai jual beli yang dituangkan dalam pasal-pasal dalam akta jual beli tersebut.
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, serta peraturan yang berkaitan dengan perpajakan. Untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan tabel tentang dasar hukum pembuatan akta jual beli.
TABEL 2
Dasar Hukum Pembuatan Akta PPAT
No Peraturan Tentang
PP Nomor 24 tahun 1997 PP Nomor 37 tahun 1998
PMNA/Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997
Perka BPN Nomor 1 tahun 2006 Perka BPN 8/2012
UU Nomor 28 tahun 2009 UU Nomor 21 Tahun 1997 UU Nomor 20 Tahun 2000 PP Nomor 48 Tahun 1994
PP Nomor 71 Tahun 2008
Pendaftaran Tanah
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT)
Ketentuan Pelakanaan PP Nomor 24 tahun 1997
Ketentuan Pelakanaan PP Nomor 37 tahun 1998 tentang PJPPAT
Perubahan atas PMNA/KaBPN 3/1997 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bea Perolehan Hak Atas Tanah (UU BPHTB),
Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 ttg BPHTB
Pembayaran Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
Perubahan ketiga atas PP Nomor 48 Tahun 1994
Sumber : Data Bahan Hukum Primer.
Berdasar ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka terkait dengan syarat formil tentang tata cara pembuatan akta PPAT, terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh PPAT sebagai berikut:
(4) dan (5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
b. Penyiapan dan pembuatan akta dilakukan oleh PPAT sendiri dan harus dilakukan dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 96 Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 tentang Ketentuan Pelakanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan mengenai bentuk akta telah mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012. Inti dari Peraturan Kepala BPN Nomor 8 /2012 tersebut khususnya tentang pembuatan akta pada Pasal 96 yaitu menghilangkan ketentuan dari Pasal 96 ayat 2 dan menambah ayat 4 dan ayat 5 dari Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 96 ayat 2 yang telah dihapus tersebut yang isinya adalah ”Pembuatan akta sebagaimana yang dimakud pada pasal 95 ayat 1 dan 2 harus dilakukan
dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana yang
dimakud ayat 1 yang disediakan”.
oleh Pemerintah dan bukan menjadi wewenang PPAT dalam menjalankan jabatannya. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dalam pasal 96 ayat 4 (ayat yang ditambah) menyebutkan ”Penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus”. Dengan demikian pembuatan Akta Jual Beli sudah dibuat oleh masing-masing PPAT dan tidak lagi mempergunakan formulir baku yang disediakan untuk itu dimana hal ini dimaksudkan guna meningkatkan pelayanan pertanahan. Namun demikian bukanlah berarti bahwa PPAT dapat sesukanya membuat Akta dimaksud, karena sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 96 ayat (5) (ayat yang ditambah) yang menyebutkan; ”Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
Sedangkan menurut ketentuan Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PPAT diberi keleluasaan untuk menyiapkan dan membuat akta PPAT sendiri, akan tetapi bentuk dan formatnya harus mengikuti ketentuan yang diatur oleh BPN sebagaimana terlampir pada Lampiran Ia Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012. Dengan demikian PPAT diberi kewenangan untuk membuat sendiri akta tersebut dan tidak harus membeli bangko yang disediakan oleh BPN, yang kadangkala bisa menghambat pekerjaan PPAT misalnya karena blangko sedang kosong.
Namum demikian adalah menjadi tanggungjawab PPAT yang membuat akta bilamana akta itu sendiri memuat kesalahan, karena atas kesalahan PPAT dalam pembuatan suatu akta bisa berakibat Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta PPAT, bila mana akta tersebut tidak sesuai dengan Pasal 51-55 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 96 ayat (5) Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012 yang menyebutkan; ”kepala kantor pertanahan menolak pendaftaran akta pejabat pembuat akta tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
blanko akta PPAT, maka PPAT tidak diberi kewenangan untuk membuat akta sendiri. Untuk mengatasi hal kekosongan blangko tersebut, BPN dengan suratnya nomor 640/1884 tertanggal 31 juli 2003 telah memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN dalam menghadapi keadaan mendesak seperti dalam menghadapi kelangkaan dan kekurangan blangko akta PPAT, dengan membuat fotocopy blanko akta sebagai ganti blangko akta yang dicetak, dengan syarat pada halaman pertama setiap fotocopy blanko akta itu dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap halaman.91
Segala ketentuan proses yang berhubungan dengan peralihan hak agar dapat dilakukannya pendaftaran tanah maupun perubahannya menjadi tanggung sepenuhnya oleh PPAT yang bersangkutan. Sedangkan BPN dalam posisi pasif dan hanya melaksanakan proses apa yang diminta oleh PPAT yang terlebih dahulu melakukan penyamaan pada data yang tercantum pada buku tanah yang telah terdaftar. Dalam hal izin pemindahan hak diperlukan maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta pemindahan hak yang bersangkutan dibuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
91 Bambang .Oyong,2013, “Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Dalam Kajian Tugas
c. Sebelum dibuat akta pemindahan hak atas tanah, maka calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan :
1. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
3. Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimakud diatas tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absente tersebut menjadi objek landreform;
4. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud tidak benar, dan PPAT wajib menjelaskan kepada calon penerima hak maksud dan isi pernyataan sebagimana dimaksud diatas. Hal ini ditegakan dalam Pasal 99 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
keberatan kepada pemegang hak serta dokumen lain yang membuktikan adanya sengketa tersebut, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 100 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kelapa BPN Nomor 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
e. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 101 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
f. Pembuatan akta PPAT harus dilakukan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akte, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang besrangkutan (Pasal 101 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku; (Pasal 101 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
h. PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri suami atau istri, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis kesamping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang besrangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain; (Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT.
i. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditanda tanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dikumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar; (Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
j. Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya sebagaimana dimakud diatas kepada para pihak yang bersangkutan; (Pasal 40 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak; (Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas yang sifatnya sangat normatif, dalam kenyataannya menyulitkan bagi PPAT dalam menghadapi masyarakat yang pada prinsipnya tidak ingin dipersulit dan bertele-tele dalam proses pembuatan akta jual beli, maka PPAT melakukan penafsiran terhadap peraturan yang ada untuk melayani kliennya, oleh karenanya dalam hal yang demikian PPAT didalam menjalankan tugasnya melayani klien yang disisi lain klien membutuhkan pelayanan yang tidak peduli dengan peraturan yang mengikat PPAT sehingga dengan demikian terjadi rasionalisasi antara kebutuhan PPAT dengan kliennya, artinya dalam usaha menjaga kelangsungan pekerjaannya, PPAT membutuhkan klien sementara klien sering tidak mau direpotkan oleh persyaratan-persyaratan teknis yang disyaratkan secara hukum.92 Untuk memudahkan pemahaman tentang pembuatan akta PPAT dan ketentuan yang mengaturnya di gambarkan dalam tabel berikut :
TABEL 3
PELAKSANAAN PEMBUATAN AJB OLEH PPAT DAN DASAR HUKUMNYA
PPAT wajib memeriksakan Sertifikat Asli di BPN Harus ada izin pemindahan hak, untuk tanah yang dalam Sertifikatnya dicantumkan keharusan izin dari Instansi yg berwenang dan Hak Pakai atas tanah Negara
Pembeli harus membuat Pernyataan Harus di hadiri para pihak atau kuasanya
Psl 97 PMNA No
92 J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
VI
VII
VIII
VIII
Disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi
PPAT wajib membacakan Akta dan menjelaskan kepada para Pihak
Akta PPAT dibuat 2 lembar asli, 1 disimpan oleh PPAT dan 1 untuk BPN untuk Pendaftaran dan untuk para pihak diberikan Salinannya
AJB disiapkan oleh PPT, tetapi bentuknya harus sesuai dengan yg ditentukan dalam lampiran 1a.Bentuk Akta Jual Beli Perka BPN No 8/2012
Psl 101 ayat 2
Sumber : Data Bahan Hukum Primer.
Disamping syarat formil yang telah dikemukakan diatas, maka dalam pembuatan akta PPAT tentang peralihan hak atas tanah, maka masih harus dipenuhi syarat materil. Syarat materil sangat menentukan sah tidaknya jual beli tanah tersebut dimana syarat materil tersebut adalah :
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang dibelinya atau memenuhi syarat sebagai subjek hak milik;
berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual;93
c. Dalam hal penjual sudah berkeluarga dan ada persekutuan harta, maka suami istri harus hadir dan bertindak sebagai penjual, seandainya suami atau istri tidak dapat hadir, maka harus dibuat surat bukti tertulis dan sah yang menyatakan bahwa suami istri menyetujui penjualan tanah tersebut. Dalam hal penjual berada dibawah perwalian atau pengampuan maka yang bertindak sebagai penjual adalah wali atau pengampunya;
d. Bila jual beli tersebut menggunakan kuasa menjual, maka PPAT tersebut harus memastikan bahwa orang yang hadir dihadapannya adalah benar kuasa si penjual dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum jual beli tersebut; e. Tanah yang bersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak dalam keadaan
sengketa.
Jika salah satu syarat materil ini tidak dipenuhi dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah, atau tanah yang diperjual-belikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjual belikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum, artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.94
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pembuatan Akta PPATdalam hal ini Akta Jual Beli (AJB) atas Tanah dengan keluarnya Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 Tentng Pendaftaran Tanah, tidak lagi mempergunakan blangko AJB yang dikeluarkan oleh BPN melainkan penyiapan dan pembuatan akta tersebut dilakukan oleh masing-masing PPAT tetapi bentuk aktanya dan tata cara pengisian tetap harus sesuai dengan bentuk yang ditetapkan dalam Lampiran 1a Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012 dengan konsekwensi Kepala Kantor Pertanahan akan menolak pendaftaran akta PPAT yang tidak sesuai dengan bentuk yang dimuat dalam Lampiran Ia Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012.
Kemudian Tata Cara Pengisian Akta Jual Beli diatur dalam Lampiran Ib Peraturan Kepala BPN Nomor 8/2012 sebagai berikut:95
1. Akta dibuat dalam bentuk asli sebanyak 2 (dua) rangkap, yang bermeterai cukup yang masing-masing ditandatangani para Pihak, para Saksi, dan PPAT. 2. Setiap rangkap akta terdiri dari beberapa formulir akta yang disusun dan diberi
penomoran halaman dimulai dari halaman pertama dan halaman seterusnya sesuai keperluan.
3. Pada setiap halaman akta diberi paraf oleh PPAT, para pihak dan para saksi di bagian pojok kanan bawah halaman akta PPAT.
4. Dalam pembuatan Akta PPAT, untuk menjaga keakuratan data, agar dihindari adanya perbaikan/ pencoretan/ penggantian/ penambahan (renvoi).
5. Kata/ frasa/ kalimat yang tidak diperlukan, tidak dicantumkan dalam akta. 6. Dalam hal terjadi (apabila diperlukan) :
a. Perbaikan/penggantian kata/frasa/kalimat yang salah, dicoret dan diberi paraf oleh para penandatangan akta;
b. Penambahan kata/frasa/kalimat dilakukan di :
1) Ruang kosong lembaran akta dengan diberi paraf oleh para penendatangan akta;
2) Lembar kertas yang ditambahkan pada akta, mencantumkan nomor akta di setiap halaman yang ditambahkan dan diberi paraf oleh para penandatangan akta.
7. Dalam hal objek jual beli tersebut merupakan harta bersama, maka suami istri berhak memindahtangankan tetapi saling memerlukan persetujuan. Persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis dan dilekatkan pada akta yang disimpan oleh PPAT atau bilamana suami dan istri bersama-sama menghadap PPAT, maka cukup lembar persetujuan ditandatangani dan setiap halaman akta diparaf oleh suami dan istri.
8. Spesifikasi sampul akta :
a. Jenis kertas sampul adalah kertas dengan jenis karton (contoh : BW/BC/TIK), 150 S.D.250 gram;
b. Ukuran kertas sampul 29.7 cm x 42 cm (A3); c. Sampul berwarna putih;
d. Sampul depan diberikan kop PPAT dan ditulis judul ”AKTA JUAL BELI”; e. Penulisan judul akta dengan hurufBookman Old Style, ukuran 28 dan warna
hitam; dan
f. Tinta yang dipergunakan berwarna hitam dan tidak mudah luntur. 9. Spesifikasi formulir akta :
a. Jenis kertas HVS 80 s.d. 100 gram; b. Ukuran kertas 29.7 m x 24 cm (A3); c. Warna putih;
d. Setiap halaman formulir akta diketik dengan huruf Bookman Old Style, ukuran 12 dan warna hitam;
e. Setiap lembar formulir akta diketik bolak-balik tiap halaman; dan f. Tinta yang dipergunakan berwarna hitam dan tidak mudah luntur. 10. Penjilidan akta :
a. Akta PPAT dijilid dan dijahit dengan benang warna putih dan disimpul ditengah;
b. 1 (satu) rangkap Lembar Pertama akta yang disimpan oleh PPAT, dijilid dan dijahit tanpa sampul, dan tidak ditempel teraan cap jabatan PPAT;
c. 1 (satu) rangkap Lembar Kedua akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan, dijilid dan dijahit dengan sampul, dan ditempel teraan cap jabatan PPAT di tengah sisi kiri; dan
Dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan PPAT berwenang menolak untuk membuat akta jual beli jika :
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan kabupaten/kota; atau
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
1. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak didaerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau
d. Salah satu para pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;
e. Untuk jual beli yang akan dilakukan belum diperoleh izin pejabat atau intansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Objek jual beli yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan/atau data yuridisnya;
g. Tidak dipenuhinya peraturan perundang-undangan yang berlaku;
karena harganya belum lunas atau karena sertifikatnya belum balik nama sedangkan kedua belah pihak sudah setuju melakukan transaksi jual beli atas tanah tersebut.
Sebagimana kedudukan perjanjian pengikatan jual beli tersebut sebagai perjanjian pendahuluan maka perjanjian pengikatan jual beli tersebut berfungi untuk memperkuat perjanjian jual beli yang akan dilakukan nantinya. Perjanjian pengikatan jual beli dapat digunakan untuk memperkuat atau mempertegas perjanjian utamanya yaitu jual belinya kelak.
Namum yang menjadi problema hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah apakah hak milik atas tanah yang menjadi objek perjanjian itu telah beralih kepada pembeli?. Karena dalam praktek yang terjadi di masyarakat tanah yang dijual itu telah diserahkan oleh penjual dan oleh karenanya telah dikuasai oleh pembeli dan sertifikat hak milik atas tanah itupun telah diserahkan oleh penjual kepada pembeli, apalagi dalam perjanjian pengikatan jual beli itu memuat klausula pemberian kuasa. Adapun klausula pemberian kuasa ini sesuai dengan hasil penelitian penulis di kantor PPAT pada umumnya berbunyi sebagai berikut :
“Pihak pertama menerangkan dengan ini sekarang, akan tetapi untuk nantinya manakala semua syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang diharuskan
untuk melakukan jual beli telah terpenuhi, maka pihak pertama dengan ini
memberikan kuasa kepada pihak kedua dan---baik
bersama-sama maupun masing-masing, dengan hak untuk memindahkan kuasa
ini kepada pihak lain, dikuasakan untuk melaksanakan jual beli secara formal
penukaran nama Sertifikat atas tanah tersebut ke atas nama Pihak Kedua atau
pihak lain yang ditunjuk oleh Pihak Kedua, sedangkan harganya telah
termasuk dalam harga yang dimaksudkan dalam surat perikatan
ini;---
Sebagaimana Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah, dimana dalam intruksi itu disebutkan :
a. Melarang camat dan kepala desa atau pejabat yang setingkat dengan itu, untuk membuat/menguatkan pembuatan surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak ata tanah;
b. Kuasa mutlak yang dimaksud dalam dictum pertama adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa;
c. Kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya;
d. Melarang pejabat-pejabat agraria untuk melayani penyelesaian status hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai bahan pembuktian pemindahan hak atas tanah.