• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peramalan Curah Hujan di Kota Medan dengan Menggunakan Metode SeasonalARIMA dan Metode Dekomposisi Chapter III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peramalan Curah Hujan di Kota Medan dengan Menggunakan Metode SeasonalARIMA dan Metode Dekomposisi Chapter III IV"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peramalan curah hujan di Kota Medan menggunakan data curah hujan dari tahun 2004 sampai tahun 2015 dengan total data berjumlah 144 data yang terdiri dari 12 periode per musim.

Tabel 3.1 Data Curah Hujan Kota Medan Tahun 2004 – Tahun 2015 Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

2004 103 108 288 170 179 228 317 441 547 460 192 221 2005 423 46 95 86 319 189 192 123 223 177 157 314 2006 10 132 122 223 300 252 110 148 387 272 147 347 2007 168 9 62 277 347 99 243 222 374 251 380 296 2008 163 135 188 215 224 119 154 283 263 420 225 169 2009 252 180 512 264 385 61 258 253 372 285 217 115 2010 171 84 269 80 302 164 196 329 166 194 442 152 2011 183 64 376 205 219 128 205 233 164 475 211 235 2012 181 102 202 172 470 88 317 185 288 432 275 222 2013 158 267 116 174 157 125 91 421 374 509 243 499 2014 20 33 129 140 326 62 161 206 266 322 184 299 2015 353 154 144 254 250 86 161 199 234 345 499 124

(2)

0 Maximum 547.0000 Minimum 9.000000 Std. Dev. 116.9603 Skewness 0.639225 Kurtosis 2.904014

Jarque-Bera 8.218236 Probability 0.016422

Gambar 3.1 Histogram Data Curah Hujan di Kota Medan

Selama periode Januari 2004 sampai Desember 2013 untuk jumlah curah hujan tertinggi adalah 547 dan untuk jumlah curah hujan terendah adalah 9. Rata-rata jumlah curah hujan selama periode yaitu 231,69 seperti terlihat pada Gambar (4.1).

3.1 Pengolahan Data dengan Metode Seasonal ARIMA

Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemeriksaan kestasioneran data, jika data telah stasioner dilanjutkan dengan proses identifikasi model-model yang cocok untuk data input, dan dari model-model tersebut ditentukan model terbaik untuk digunakan dalam peramalan. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software Minitab 17.

3.1.1 Pemeriksaan Kestasioneran Data

Gambar 3.2 Plot Data Curah Hujan di Kota Medan

120

(3)

Pemeriksaan kestasioneran data dapat dilakukan secara visual dengan menggunakan plot data. Berdasarkan Gambar (3.2) terlihat bahwa adanya fluktuasi yang beraturan yang mengindikasikan kemungkinan adanya faktor musiman di dalamnya. Terlihat juga plot data telah stasioner pada rata-rata dan juga variansnya karena pola data bergerak secara fluktuatif di sekitar nilai rata-rata. Untuk memastikan apakah data sudah stasioner secara statistik dilakukan uji Augmented Dickey-Fuller.

Tabel 3.2 Tabel Uji Augmented Dickey-Fuller Data Curah Hujan t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9,592308 0,0000 Test critical values: 1% level -3,486064

5% level -2,885863 10% level -2,579818

Tabel (3.2) memperlihatkan bahwa dengan taraf signifikansi sebesar 5% diperoleh nilai Augmented Dicky-Fuller yang lebih kecil dibandingkan nilai kritisnya 9,592308 > 2,885863 maka � ditolak sehingga dapat diartikan bahwa data sudah stasioner dan dapat dilanjutkan ke langkah selanjutnya.

3.1.2 Proses Identifikasi Model

Setelah memastikan bahwa data telah stasioner, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi model berdasarkan plot ACF dan PACF. Model yang tepat akan memberikan peramalan yang lebih akurat. Menurut Gaynor dan Kirkpatrick (1994), model Seasonal ARIMA dapat dipilih dengan kriteria sebagai berikut: a. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan

dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model non seasonal MA(�= 1 atau �= 2).

b. Jika ACF terpotong (cut off) setelah lag musiman �, lag non musiman tidak signifikan dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model non seasonal MA(� = 1).

(4)

d. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, lag musiman tidak signifikan, maka diperoleh model

non seasonal AR(�= 1 atau �= 2).

e. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down) dan PACF terpotong (cut off) setelah lag musiman �, lag non musiman tidak signifikan, maka diperoleh model seasonal AR(�= 1).

f. Jika ACF perlahan-lahan menghilang (dies down), PACF terpotong (cut off) setelah lag musiman �, dan non musiman terpotong (cut off) setelah lag 1 atau 2, maka diperoleh model non seasonal dan seasonal AR(� = 1 atau �= 2;

�= 1).

Jika ACF dan PACF perlahan-lahan menghilang (dies down), maka diperoleh model campuran (ARMA).

Gambar 3.3 Plot ACF Data Curah Hujan

Pada Gambar (3.3) plot ACF menunjukkan cut off (terpotong) pada lag musiman (lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan secara kuat adanya proses SMA (Seasonal Moving Average).

30

Autocorrelation Function for Curah Hujan

(5)

Gambar 3.4 Plot PACF Data Curah Hujan

Terlihat juga pada Gambar (3.4), plot PACF menunjukkan cut off pada lag musiman (lag ke-12 dan lag ke-24). Hal ini mengindikasikan adanya proses SAR (Seasonal Autoregressive).

Dari Gambar (3.3) dan Gambar (3.4), dapat dilihat bahwa beberapa kriteria di bawah ini terpenuhi, yaitu:

a. Plot ACF dan PACF menunjukkan cut off pada lag musiman. Hal ini mengindikasikan adanya proses SMA(1) dan SAR(1).

b. Plot ACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2, sedangkan plot PACF lag non musiman menunjukkan cut off setelah lag ke-2. Hal ini mengindikasikan adanya proses MA(2), AR(2), atau gabungan keduanya yaitu ARMA(2,2).

Berdasarkan dua kriteria yang terpenuhi di atas, maka diperoleh beberapa model yang dinyatakan dalam notasi ARIMA(�,�,�)(�,�,�)� sebagai berikut: 1. ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12

2. ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12

3. ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12

(6)

3.1.3 Estimasi Parameter dan Pengujian Model

Setelah beberapa model sementara diperoleh, langkah selanjutnya adalah mengestimasi parameter dari model-model sementara, lalu dilakukan pengujian terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang terdiri dari uji asumsi keberartian koefisien, uji asumsi white noise, dan diakhiri dengan memilih model yang memiliki nilai MSE terkecil. Setelah model-model terpilih diestimasi nilai parameternya, selanjutnya diuji apakah model tersebut sesuai dengan data.

3.1.3.1 Estimasi Parameter dan Uji Keberartian Koefisien

Pengujian terhadap parameter hasil estimasi tersebut yang salah satunya adalah uji asumsi keberartian koefisien dengan hipotesis sebagai berikut:

��: koefisien tidak berarti

�1: koefisien berarti

dengan �= 0,05 dan kriteria uji yaitu tolak � jika p-value <� yang artinya koefisien berarti.

Hasil estimasi parameter beserta nilai p-value untuk menguji keberartian koefisien model adalah sebagai berikut:

1. Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12

Tabel 3.3 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12

Berdasarkan Tabel (3.3) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 yaitu

1 = 0,989; �1 = 0,8652; dan �= 2,417.

Dengan menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:

(1− �1�12)

� = �+ (1− �1�12)��

Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,

(1−0,989�12)� = 2,417 + (1−0,8652�12)�

Type Coef SE Coef T P

(7)

Berdasarkan Tabel (3.3) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter SMA(12) lebih kecil dari � sehingga �0 ditolak. Jadi, model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 memenuhi asumsi keberartian koefisien.

2. Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12

Tabel 3.4 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12

Berdasarkan Tabel (3.4) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 yaitu ∅1 =−0,0112; ∅2 = 0,1257; �1 = 0,9906;

�1 = 0,8796; dan �= 2,014. Dengan menggunakan operator backshift,

model umum ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:

(1− ∅1� − ∅2�2)(1− �1�12)� = �+ (1− �1�12)�

Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,

(1 + 0,0112� −0,1257�2)(1−0,9906�12)� = 2,014 + (1−0,8796�12)�

Berdasarkan Tabel (3.4) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter AR(1) dan AR(2) lebih besar dari � sehingga �0 diterima. Jadi, model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien.

3. Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12

Tabel 3.5 Penaksiran Parameter Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12

Type Coef SE Coef T P

AR 1 (∅) -0,0112 0,0966 -0,12 0,908 AR 2 (∅) 0,1257 0,0959 1,31 0,192 SAR 12 (�) 0,9906 0,0234 42,32 0,000 SMA 12 (�) 0,8796 0,0773 11,38 0,000 Constant (�) 2,014 1,453 1,39 0,168

Type Coef SE Coef T P

(8)

Berdasarkan Tabel (3.5) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12 yaitu �1 = 0,9899; �1 = 0,001; �2 =−0,0875;

�1 = 0,8765 dan � = 2,397. Dengan menggunakan operator backshift,

model umum ARIMA(0,0,2)(0,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:

(1− �1�12)

� = �+ (1− �1� − �2�2)(1− �1�12)��

Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,

(1−0,9899�12)� = 2,397 + (1−0,001�+ 0,0875�2)(1−0,8765�12)�

Berdasarkan Tabel (3.5) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter MA(1) dan MA(2) lebih besar dari � sehingga �0 diterima. Jadi, model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12 tidak memenuhi asumsi keberartian koefisien.

4. Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12

Tabel 3.6 Penaksiran Parameter Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12

Berdasarkan Tabel (3.6) diperoleh hasil penaksiran parameter model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 yaitu ∅1 = −1,2263;∅2 = −0,5816; �1 = 0,985;

�1 =−1,3029 ; �2 =−0,7709 ; �1 = 0,852 dan �= 9,908. Dengan

menggunakan operator backshift, model umum ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 dapat dinyatakan oleh:

(1− ∅1� − ∅2�2)(1− �

1�12)�� =�+ (1− �1� − �2�2)(1− �1�12)��

Dengan mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang telah diperoleh,

(1 + 1,2263�+ 0,5816�2)(1−0,985�12)�

= 9,908 + (1 + 1,3029�+ 0,7709�2)(1−0,852�12)�

Type Coef SE Coef T P

AR 1 (∅) -1,2263 0,2551 -4,81 0,000 AR 2 (∅) -0,5816 0,2179 -2,67 0,009 SAR 12 (�) 0,9850 0.0288 34,17 0,000

(9)

Berdasarkan Tabel (3.6) dapat dilihat bahwa nilai p-value untuk parameter AR(1), AR(2), SAR(1), MA(1), MA(2), dan SMA(12) lebih kecil dari

sehingga �0 ditolak. Jadi, model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 memenuhi asumsi keberartian koefisien.

3.1.3.2 Uji Asumsi White Noise

Uji asumsi white noise terdiri dari 2 tahap yaitu uji keacakan residu dan uji kenormalan residu. Di bawah ini adalah plot ACF residu dan nilai statistik Ljung-Box masing-masing model untuk menguji keacakan residu serta plot probabilitas residu masing-masing model untuk menguji kenormalan residu.

1. ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12

Gambar 3.5 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12

Dari Gambar (3.5) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada Tabel (3.7).

Tabel 3.7 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

ACF of Residuals for Curah Hujan

(10)

Dari Tabel (3.7) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12 bersifat acak.

Gambar 3.6 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,0)(1,0,1)12

Gambar (3.6) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.

2. ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12

Gambar 3.7 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 400

(response is Curah Hujan)

30

ACF of Residuals for Curah Hujan

(11)

Dari Gambar (3.7) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.8 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 12,4 18,1 29,9 41,1

DF 7 19 31 43

P-Value 0,089 0,517 0,521 0,554

Dari Tabel (3.8) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12 bersifat acak.

Gambar 3.8 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,0)(1,0,1)12

Gambar (3.8) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.

400

(12)

3. ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12

Gambar 3.9 Plot ACF Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12

Dari Gambar (3.9) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.9 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 12,3 17,7 29,2 41,0

DF 7 19 31 43

P-Value 0,092 0,539 0,561 0,556

Dari Tabel (3.9) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12 bersifat acak.

30

ACF of Residuals for Curah Hujan

(13)

Gambar 3.10 Plot Probabilitas Residu ARIMA(0,0,2)(1,0,1)12

Gambar (3.10) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.

4. ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12

Gambar 3.11 Plot ACF Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12

Dari Gambar (3.11) terlihat tidak terdapat lag yang keluar dari garis batas menunjukkan bahwa residu bersifat acak. Untuk memastikan bahwa residu

400

(response is Curah Hujan)

30

ACF of Residuals for Curah Hujan

(14)

bersifat acak dapat menggunakan statistik Q Box-Pierce seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.10 Nilai Q Box-Pierce Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 7,0 12,0 23,0 33,7

DF 5 17 29 41

P-Value 0,224 0,803 0,776 0,784

Dari Tabel (3.10) terlihat bahwa nilai p-value untuk setiap lag yang diuji lebih besar dari � maka �0 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa residu dari model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 bersifat acak.

Gambar 3.12 Plot Probabilitas Residu ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12

Gambar (3.12) memperlihatkan residu mengikuti garis diagonal, yang berarti residu berdistribusi normal. Karena residu bersifat acak dan berdistribusi normal, maka residu memenuhi asumsi white noise.

3.1.4 Pemilihan Model Terbaik

Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai MSE dari setiap model untuk menentukan model terbaik yang akan digunakan dalam peramalan. Berikut adalah tabel dari setiap model yang teridentifikasi:

400

(15)

Tabel 3.11 Nilai MSE Model ARIMA

Model DF

Nilai

SSE MSE

ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� 117 1.251.989 10.701 ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� 115 1.227.498 10.674 ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� 115 1.233.590 10.727 ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� 113 1.186.131 10.497

Pada Tabel (3.11) terlihat nilai MSE terkecil dimiliki oleh model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 yaitu sebesar 10.497. Di bawah ini adalah rangkuman diagnosis model Seasonal ARIMA yang telah diuji.

Tabel 3.12 Rangkuman Diagnosis Model Seasonal ARIMA

Model

Keberartian Koefisien

White Noise

Acak Normal MSE ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� Ya Ya Ya 10.701 ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� Tidak Ya Ya 10.674 ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� Tidak Ya Ya 10.727 ARIMA(�,�,�)(�,�,�)�� Ya Ya Ya 10.497

Berdasarkan Tabel (3.12), model yang memenuhi semua tahapan diagnosis yaitu memenuhi asumsi keberartian koefisien, asumsi white noise, dan memiliki nilai MSE terkecil di antara semua model yang teridentifikasi adalah model

ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12. Jadi, model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 dipilih sebagai model yang digunakan untuk peramalan.

3.1.5 Peramalan dengan Model Seasonal ARIMA Terpilih untuk Evaluasi Setelah model terbaik dari beberapa model dugaan sementara dipilih, selanjutnya dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode Januari 2014 – Desember 2015. Model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12 yang diperoleh akan digunakan untuk peramalan yaitu:

(1 + 1,226�+ 0,582�2)(1−0,985�12)�

(16)

Hasil peramalan ini (Lampiran 1) akan dibandingkan dengan hasil peramalan dari metode Dekomposisi untuk evaluasi.

3.2 Pengolahan Data dengan Metode Dekomposisi

Tahapan yang akan dilakukan pada bagian ini dimulai dengan pemisahan (Dekomposisi) data dengan menghitung indeks musiman dan menentukan garis trend yang tepat. Metode yang akan digunakan adalah metode Dekomposisi rata-rata bergerak secara aditif dan multiplikatif sehingga ada dua model yang dihasilkan pada tahap ini. Model terbaik akan digunakan untuk peramalan.

3.2.1 Menghitung Indeks Musiman

Sebelum masuk ke dalam proses menghitung indeks musiman, terlebih dahulu dihitung rata-rata bergerak sepanjang musiman data. Pada penelitian ini data memiliki musiman sepanjang 12 periode. Jadi, rata-rata musiman dihitung merata-ratakan 12 data berurutan dan hasilnya diletakkan pada periode tengahnya. Hasil perhitungan rata-rata bergerak dan rasio antara data aktual dengan rata-rata bergerak dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 3.13 Indeks Musiman

Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni

2004 - - - -

2005 152,158 17,191 39,405 40,171 167,454 100,755 2006 5,393 73,915 67,528 114,751 148,331 125,114 2007 84,956 4,309 28,837 129,489 163,551 42,749 2008 69,608 59,536 81,093 96,593 94,648 53,184 2009 95,454 66,0147 189,513 94,539 143,657 22,818 2010 79,844 40,191 124,923 40,370 158,461 78,344 2011 82,743 28,839 175,769 95,906 92,340 58,738 2012 79,328 42,947 86,509 70,539 195,629 35,833 2013 69,808 128,675 51,064 74,253 65,213 52,503 Rata2 Medial 80,249 46,948 89,470 83,850 138,349 60,301

Faktor Penyesuaian

1,026 1,026 1,026 1,026 1,026 1,026

Indeks

(17)

Lanjutan Tabel (3.13)

Tahun Juli Agustus September Oktober November Desember Total 2004 116,902 148,069 186,902 166,315 71,221 78,578

2005 98,293 76,437 132,672 103,914 86,382 174,283 2006 53,877 68,098 186,881 134,598 71,158 164,846 2007 106,891 97,833 157,529 101,244 156,539 127,312 2008 72,244 128,296 117,236 167,109 88,091 62,864 2009 98,161 98,796 149,949 125,091 102,118 55,938 2010 92,271 154,158 78,394 87,915 191,273 67,807 2011 91,179 103,709 71,982 222,656 100,198 101,51 2012 129,652 76,262 112,353 173,377 110,294 99,440

2013 34,844 - - - - -

Rata2

Medial 91,227 104,200 133,574 138,807 102,121 100,336 1.169,4 Faktor

Penyesuaian 1,026 1,026 1,026 1,026 1,026 1,026 Indeks

Musiman

(%) 93,612 106,924 137,065 142,435 104,789 102,959 1.200

Tabel (3.13) adalah tabel indeks musiman. Untuk rata-rata bergerak bulan Juli 2004 dihitung dari jumlah total curah hujan bulan Januari hingga Desember, data awal dibagi 12. Untuk rata-rata bergerak bulan Agustus dihitung dari jumlah total curah hujan bulan Februari 2004 hingga januari 2005 dibagi 12, dan seterusnya.

Rasio ini kemudian disusun sesuai dengan periodenya masing-masing yaitu pada bulan yang sama di tiap tahun dan dihitung rata-rata medialnya (rata-rata dari data yang telah dikeluarkan nilai terbesar dan terkecil) untuk setiap periode yang bersesuaian. Rata-rata medial ini kemudian dikali dengan faktor penyesuaian agar jumlah rata-rata medial untuk semua periode menjadi � (panjang musiman).

Seasonal factor atau seasonal index atau indeks musiman dihitung dari

mencari rata-rata median dari data rasio original indeks dengan rata-rata bergerak pada bulan yang sama di tiap tahun selain nilai yang tertinggi dan yang terendah. Kemudian dihitung dengan penyesuaian dari rata-rata medial sehingga jumlahnya sama dengan 1.200.

3.2.2 Pencocokan Trend

(18)

trend linier (Lampiran 4). Dari data yang telah dideseasonalized dilakukan proyeksi dengan menggunakan regresi sederhana hingga mendapatkan hasil persamaan garis trend. Terlebih dahulu menghitung nilai � dan � dalam persamaan garis trend sebagai berikut:

�=� ∑ ��� − ∑ � ∑ �� � ∑ �2(∑ �)2 =

120(1.713.968,591)−7.260(27.837,270)

120(583.220)−(7.260)2 = 0,207

�=∑ �� � − �

∑ �

� =

27.837,270

120 −(0,207)

7.260

120 = 219,451

sehingga diperoleh persamaan garis trend:

�� = 219,451 + 0,207�

3.2.3 Peramalan dengan Metode Dekomposisi untuk Evaluasi

Selanjutnya dilakukan peramalan untuk data input 2 musim terakhir yaitu periode Januari 2014 – Desember 2015. Pada periode � akan dilakukan proyeksi dengan terlebih dahulu melakukan coding secara berurutan sesuai urutan proyeksi. Hasil prediksi diperoleh dari mengalikan persamaan trend � dengan indeks musimannya. Hasil peramalan ini (Lampiran 2) akan dibandingkan dengan hasil peramalan dari metode Seasonal ARIMA untuk evaluasi.

3.3 Evaluasi Hasil Peramalan Metode Seasonal ARIMA dan Metode Dekomposisi

Kriteria keakuratan hasil peramalan dengan menggunakan kedua model tersebut dalam penelitian ini adalah dengan menghitung nilai Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Digunakan MAPE karena MAPE mengenal secara pasti signifikansi hubungan diantara data hasil ramalan dengan data aktual melalui persentase dari data aktual dan indikator positif atau negatif pada error diabaikan. Jika MAPE lebih kecil berarti metode tersebut lebih akurat. Model peramalan dikatakan baik jika nilai MAPE kurang dari 20%.

(19)

masing-masing metode yaitu 18,051% dan 26,559% (Lampiran 5 dan Lampiran 6). Nilai MAPE yang dihasilkan metode Seasonal ARIMA lebih kecil dibandingkan MAPE

metode Dekomposisi. Sehingga peramalan dengan menggunakan metode Seasonal ARIMA lebih baik dibandingkan dengan menggunakan jaringan saraf

tiruan metode Dekomposisi.

3.4 Peramalan Curah Hujan

Tahap terakhir pada penelitian ini adalah melakukan peramalan curah hujan dengan metode yang terpilih yaitu model Seasonal ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12. Berikut adalah peramalan curah hujan di Kota Medan periode Januari 2017 – Desember 2018.

Tabel 3.14 Peramalan Curah Hujan Kota Medan Tahun 2017 – Tahun 2018 Periode

(t)

Ramalan (��)

Pembulatan

Januari 2017 186,902 187

Februari 2017 149,468 150

Maret 2017 220,146 220

April 2017 194,157 194

Mei 2017 276,630 277

Juni 2017 150,100 150

Juli 2017 203,555 204

Agustus 2017 276,591 277

September 2017 291,863 292

Oktober 2017 358,284 358

November 2017 253,290 253

(20)

Lanjutan Tabel (3.14)

Periode (t)

Ramalan (��)

Pembulatan

Januari 2018 187,678 188

Februari 2018 150,767 151

Maret 2018 220,337 220

April 2018 194,820 195

Mei 2018 275,985 276

Juni 2018 151,391 151

Juli 2018 204,037 204

Agustus 2018 275,965 276

September 2018 291,031 291

Oktober 2018 356,438 356

November 2018 253,027 253

(21)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Curah hujan berpola musiman sehingga metode Seasonal ARIMA dan metode dekomposisi dapat digunakan untuk meramalkan curah hujan di Kota Medan dengan jumlah periode per musimnya adalah 12 bulan.

2. Dari pengolahan data dengan metode Seasonal ARIMA, diperoleh model yang paling sesuai dengan data yaitu model ARIMA(2,0,2)(1,0,1)12:

(1 + 1,226�+ 0,582�2)(1−0,985�12)�

= 9,908 + (1 + 1,303�+ 0,778�2)(1−0,852�12)�

dengan nilai MSE sebesar 10.497.

3. Dari pengolahan data dengan metode dekomposisi, diperoleh persamaan garis trend:

�� = 219,451 + 0,207�

4. Dari evaluasi hasil peramalan, diperoleh nilai MAPE sebesar 18,051% untuk metode Seasonal ARIMA dan sebesar 26,559% untuk metode dekomposisi. Nilai MAPE metode Seasonal ARIMA lebih kecil dari metode dekomposisi dan berada di bawah 20%, sehingga dalam penelitian ini metode Seasonal ARIMA jauh lebih baik dibandingkan metode dekomposisi dalam meramalkan curah hujan di Kota Medan.

4.2 Saran

1. Model ARIMA yang lain perlu diteliti untuk mendapatkan nilai error ramalan yang lebih kecil.

Gambar

Tabel 3.1 Data Curah Hujan Kota Medan Tahun 2004 – Tahun 2015
Gambar 3.2 Plot Data Curah Hujan di Kota Medan
Tabel 3.2 Tabel Uji Augmented Dickey-Fuller Data Curah Hujan
Gambar 3.3 Plot ACF Data Curah Hujan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian atau pengumpulan data mengenai peramalan jumlah curah hujan di kota Medan pada tahun 2010 berdasarkan data tahun 2007-2008 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

Berdasarkan metode fuzzy time series Chen dengan penentuan interval berbasis rata-rata, peramalan curah hujan Kota Samarinda berdasarkan data bulan Januari 2011-Mei 2016 diperoleh

Penerapan Fuzzy Sugeno dalam memprediksi curah hujan bulanan pada 36 sampel yatu data dari Januari 2011 sampai dengan Desember 2013 menghasilkan nilai (AFER) sebesar

Dengan demikian, dapat disimpulkan data curah hujan bulanan Sungai Ipuh tidak mengandung pola musiman sehingga untuk melakukan peramalan pada penelitian ini dapat digunakan model

Hingga saat ini, belum banyak evaluasi terhadap hasil ramalan curah hujan melalui perbadingan dari beberapa metode peramalan dan tidak adanya jaminan bahwa metode peramalan

Hasil peramalan untuk beberapa tahun ke depan menggunakan model Holt-Winter musiman perkalian menunjukkan trend meningkat, yakni curah hujan bulanan di Kota Ambon untuk empat tahun

Dengan cara yang sama, nilai – nilai koefisien autokorelasi data curah hujan dapat diperoleh seperti pada lampiran.. 3.2 Analisa Data

Peramalan curah hujan dengan menggunakan data curah hujan, kelembaban udara dari tahun 2003 -2012 dengan menggunakan metode fungsi transfer single input menghasikan ramalan curah hujan