IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA
KONFESIONAL DALAM MENINGKATKAN
KERUKUNAN SOSIAL BERAGAMA ANTAR SISWA
DAN KESADARAN PLURALITAS AGAMA SISWA DI
SMA NEGERI I MAGELANG DAN SMA NEGERI I
MUNTILAN KABUPATEN MAGELANG TAHUN
PELAJARAN 2014-2015
TESIS
Disusun Oleh: M.MISBAHUL MUTHI, S.Ag
NIM : M113011
Tesis diajukan sebagai pelengkap persyaratan untuk gelar Magister Pendidikan Islam
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SALATIGA
PERNYATAAN KEASLIAN
“ Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis ini merupakan
hasil karya sendiri dan sepanjang pengetahuan dan keyakinan saya tidak mencantumkan tanpa pengakuan bahan-bahan yang telah di publikasikan
sebelumnya atau ditulis oleh orang lain, atau sebagian bahan yang pernah diajukan untuk gelar atau ijasah pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga atau
perguruan tinggi lainnya.”
Salatiga, 26 September 2015
Yang membuat pernyataan
Implementation of confessional Religious Education in Enhancing Social Harmony Between Students of Religion and Religious Plurality Awareness Students at SMAN I Magelang and SMA I Muntilan Magelang District Academic
Year 2014/2015
ABSTRACT
The purpose of this research is to investigate the implementation of confessional religious education in promoting social harmony among students of religion and religious plurality awareness of students in SMA and SMA I Magelang Magelang regency I Muntilan school year 2014/2015.
PRAKATA
Alhamdulillahi robbil alamin, berkat limpahan rahmat dan kenikmatan yang di berikan Allah SWT kepada penulis yaitu nikmat kekuatan, nikmat kemudahan berpikir, nkmat kesehatan jasmani dan rohani, serta nikmat kesabaran
akhirnya penulis bisa menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini membahahas tentang implementasi pendidikan agama
konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015.
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama
antar siswa dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan.
Dalam penyusunan tesis ini banyak sekali hambatan yang penulis hadapi,
berkat bantuan, bimbingan, dan kerjasama darai berbagai pihak, sehingga tesis ini penulis selesaikan. Penulis awali dengan menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Rektor IAIN Salatiga Bapak Dr.H.Rahmat Hariyadi,M.Pd, Bapak Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga Bapak Dr.H.Zakiyuddin,M.Ag, dan Bapak Dr.H.Saadi, M.Ag selaku
.Ungkapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada:
1. Istriku, Sulistyowati, S.Pd.SD yang selalu membantu dan mendoakan
penulis dalam segala hal ketika penulis menempuh pendidikan S.2 ini, sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan tesis ini.
2. Anak-anakku Husnatuzzahroh dan Muhammad Zabarjad yang senantiasa mendoakan ayahnya dalam menempuh pendidikan S.2 dan dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Muchtar Aziz dan Ibu Nok Sunantiyah yang memberikan dukungan moral dan mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan S.2 ini.
4. Keluarga Besar SMA Negeri I Magelang yang telah memberikan informasi-informasi yang penulis butuhkan dalam tesis ini.
5. Keluarga Besar SMA Negeri I Muntilan yang telah memberikan
informasi-informasi yang penulis butuhkan dalam tesis ini.
6. Ibu Nur Solekhah,S.Pd yang memberikan motivasi penulis dalam
menempuh pendidikan S.2 ini.
7. Ibu Santi Renaning Tyas,S.Pd yang membantu penulis dalam tatacara penulisan tesis ini.
Akhirnya tesis ini bisa diajukan kepada tim penguji, dan semoga tesis ini bisa
memberikan manfaat kepada kita semua.
Salatiga, 26 September 2015
DAFTAR ISI
5. Pandangan Agama-Agama Terhadap Pluralisme Agama… 50
5. Kegiatan Ekstra Kurikuler SMA Negeri I Magelang……… 58
6. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional……… 60
B. Profil SMA Negeri I Muntilan……… 63
6. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional……… 66
C. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa DanKesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Magelang……… 68
1. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa 68
2. Kesadaran Pluralitas Agama Siswa……… 87
D. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Kesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Muntilan……… 94
1. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa 94
2. Kesadaran Pluralitas Agama Siswa……… 108
Dan Pluralitas Agama Siswa Di SMA Negeri I Magelang Dan SMA Negeri I Muntilan……… 111
A. Upaya Sekolah Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial
Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas Agama Siswa……… 111 1. Upaya SMA Negeri I Magelang Dalam Meningkatkan
Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas
Agama Siswa……… 111
2. Upaya SMA Negeri I Muntilan Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas
Agama Siswa……… 112
B. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa…… 113 1. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa
di SMA Negeri I Magelang……… 113 2. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa
Di SMA Negeri I Muntilan……… 114
C. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik……… 116 1. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik
SMA Negeri I Magelang……… 116
2. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik
SMA Negeri I Muntilan……… 117
D. Upaya Siswa Dalam Menyikapi Pluralitas Agama……… 118 1. Upaya Siswa SMA Negeri I Magelang Dalam
Menyikapi Pluralitas Agama……… 118 2. Upaya Siswa SMA Negeri I Muntilan Dalam
Menyikapi Pluralitas Agama……… 120
E. Implementasi Kebijakan Sekolah Terhadap Pendidikan Agama
Konfesional……… 121
1. Implementasi Kebijakan SMA Negeri I Magelang Terhadap Pendidikan Agama Konfesional……… 121 2. Implementasi Kebijakan SMA Negeri I Muntilan Terhadap
Pendidikan Agama Konesional……… 124
F. Faktor-Faktor Pendukung Dan Penghambat Pembelajaran
Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Magelang 126 2. Faktor-Faktor Pendukung Dan Penghambat Pembelajaran
Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Muntilan 129
BAB V PENUTUP……… 131
A. Kesimpulan ……… 131
B. Saran……… 135
DAFTAR PUSTAKA……… 137
LAMPIRAN……… 139
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Magelang merupakan salah satu daerah yang penduduknya
multikultural dan plural, karena terdiri dari berbagai etnis, yakni Jawa, Arab, Tionghoa dan terdiri dari berbagai macam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Sejarah mencatat berbagai
konflik dan kerusuhan mengisyaratkan bahwa keragaman yang ada di dunia ini, apabila tidak disikapi secara jernih dan bijak maka akan
menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat.1
Untuk menjaga agar konflik dan kerusuhan tidak tidak meledak
perlu ditanamkan sikap toleransi, yakni kesiapan dan kemampuan
batin untuk kerasan bersama orang lain yang berbeda secara hakiki meskipun terdapat konflik dengan pemahaman anda tentang apa
yang baik dan jalan hidup yang layak.2 Penanaman sikap toleransi tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi melalui proses
yang sangat panjang yaitu dengan memberikan pendidikan agama.
Model penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia ada dua model, yaitu:
1Fina „Ulya, “ Racikan Kesatuan Transendental ala Ibnu „Arabi, Rumi, dan Al
-Jili “Studi Agama-agama, Volume 9, nomor 1 (Januari 2013), 142.
2
1. Model Pendidikan Agama Konfesional
Model pendidikan agama konfesional yaitu model
penyelenggaraan pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik, dan diajarkan oleh guru yang seagama.
2. Model Pendidikan Agama Non-Konfesional
Model pendidikan agama non-konfesional yaitu model
penyelenggaraan satu macam pendidikan agama.3
Selain penanaman sikap toleransi perlu juga penanaman sikap
multikulturalisme yaitu membantu pihak-pihak yang saling berbeda
untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-perbedaan dan kemajemukan yang ada, agar tercipta perdamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia.4
Kenyataan pluralitas juga ditegaskan dalam al-Qur‟an Surah
“Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sesungguhnya telah
jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak
akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
3
Muh Saerozi, Abstraksi Bahan Kuliah Perkembangan Pemikiran pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga, Semester II, 2014.
4
Ata, Ujan, & Andre, Teori Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Indeks, 2011, 15.
5
Ajaran agama Islam meluruskan dan menyempurnakan ajaran agama yang dibawa para Nabi dan Rasul. Islam disampaikan Nabi
Muhammad sebagai agama rahmatan lil „alamiin dan tidak ingin pemeluk agamanya merasa terpaksa dalam memeluk ajaran agama Islam
tersebut. Islam sangat menginginkan supaya orang-orang yang memeluk agama Islam memang betul-betul atas kesadarannya sendiri dan
mendapat hidayah dari Allah.
Ayat tersebut sekaligus mempertegas, bahwa Islam sangat menghargai pluralitas agama. Pluralitas di sini bukan menganggap
semua agama benar, tetapi menyangkut masalah-masalah sosial beragama, yakni Islam sangat menekankan kerukunan antar umat beragama dalam hal kehidupan sosial. Ayat tersebut juga menjelaskan
tentang adanya jaminan untuk menjalankan ibadah dengan aman dan tenteram. Hanya tinggal kita yang mempertanggung jawabkan nanti
dihadapan Allah SWT, dan hanya Allahlah yang berhak menentukan siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah.6
Penanaman rasa toleransi beragama dan pluralisme agama yang
paling efektif adalah melalui pendidikan, yakni memberikan pendidikan agama konfesional. Hal tersebut dipertegas lagi dengan undang-undang
nomor 20 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
6
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama.7
Pluralisme agama di Indonesia merupakan realitas empiris sosial, ia lahir bersifat sosiologis. Hal inilah yang menyebabkan pluralisme
tidak bisa dihindari. Pluralisme beragama sangat dibutuhkan dalam penanaman nilai-nilai kemanusiaan demi terciptanya kerukunan hidup, baik intern umat beragama , kerukunan antar umat beragama, maupun
kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Sebagaimana tiga prinsip dasar Kementrian Agama yang dapat dijadikan sebagai
landasan toleransi antar umat beragama di Indonesia, ketiga prinsip dasar yang dimaksud adalah: (1) Kerukunan intern umat beragama. (2) Kerukunan antar umat beragama. (3) Kerukunan antara umat beragama
dengan pemerintah.8
Islam sangat menghargai pluralitas, karena Islam ingin umat
Islam hidup damai dan berdampingan dengan penganut agama-agama lain serta toleransi terhadap agama dan budaya-budaya yang berbeda. Pendapat tersebut dibenarkan dan mendapat pengakuan dari agama lain
seperti Yahudi dan Kristen, walaupun Yahudi tidak mengakui Isa sebagai Tuhan dan Kristen tidak mengakui Muhammad sebagi Nabi,
sebagaimana pendapatnya Mutahhari ( 2004 ):
7
UU Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12.
8
“ As far as social pluralism is concerned, Islam seek for
recognize Muhammad as the true prophet and messenger of God”.9
“Sejauh Pluralisme sosial yang bersangkutan, Islam
menginginkan kedamaian dan saling toleransi antar umat beragama dan budaya yang berbeda. Di antara tiga agama Ibrahim; hanya Islam yang telah diberikan pengakuan agama Yahudi dan Kristen. Yahudi tidak mengakui Isa sebagai Tuhan atau Nabi, dan umat Kristen tidak
mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Tuhan.”
Pluralisme merupakan upaya membangun kesadaran sosial, di
mana kita berada dalam masyarakat yang plural baik dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai ragam sosial budaya.10 Pluralisme juga tidak sekedar aspek teologis saja, tetapi mencakup aspek-aspek kehidupan
yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.11 Untuk itu pendidikan agama konfesional sangat diperlukan, supaya pluralisme ini bisa menjadikan perantara penyatuan persepsi antar umat beragama, sehingga tidak akan
terjadi lagi miscommunication dan misunderstanding.
Berkaitan dengan teori kerukunan umat beragama, ada beberapa
paradigma yang erat kaitannya dengan kerukunan beragama, di antaranya inklusivisme, toleransi, dan pluralisme. Inklusivisme adalah
9
Murtadha Mutahhari, Islam and Religious Pluralism, Canada: Islamic Publishing House, 2004, 4.
10
Moh Shofan, Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konsrvatif di Tubuh Muhammadiyah, Jakarta: 2008, 87.
11Toto Suryana, “ Kon
suatu paham yang melihat bahwa kebenaran bukan hanya pada kelompoknya sendiri, melainkan terbuka dengan kelompok lain bahkan
agama yang berbeda. Cak Nur memberikan penjelasan bahwa inklusivisme merupakan satu sikap yang bertujuan untuk menumbuhkan
sikap kejiwaan yang melihat kemungkinan orang lain itu benar, karena didasari bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah.12
Selain teori kerukunan umat beragama diatas, masih ada
beberapa pemikiran dalam mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme yaitu pendapat yang menyatakan bahwa
semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan agama baru yang elemen-elemennya
diambilkan dari pelbagai agama, contohnya ajaran agama yang disampaikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Keempat, penggantian, yaitu
mengakui bahwa agamanya sendiri yang benar dengan tujuan supaya penganut agama lain masuk dalam agamanya. Kelima, agree in
disagreement (setuju dalam perbedaan).13
Pendidikan agama di sekolah-sekolah diajarkan dengan menggunakan dua cara yaitu diajarkan secara konfesional dan diajarkan
secara non konfesional, tergantung pada kebijakan di sekolah tersebut.
12 Sabara, “Potret Kerukunan Umat Beragama”,
Al-Fikr, Volume 17, Nomor 3 (2013), 83-84.
13
Ali Imron, “Kearifan Lokal Hubungan antar Umat Beragama di Kota Semarang”,
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 12, tetapi kenyataanya masih ada
sekolah-sekolah yang mengajarkan pendidikan agama non konfesional, walaupun para siswanya plural.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Implementasi Pendidikan Agama Konfesional dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar
Siswa dan Kesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang Tahun
Pelajaran 2014/2015, karena kedua SMA tersebut siswanya plural dan multikultural.
B. Rumusan Masalah
Berkenaan implementasi pendidikan agama konfesional terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi: Pertama, konteks
keberagamaan para siswa. Kedua, problematika pengajaran pendidikan agama konfesional. Ketiga, implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama siswa dan pluralisme agama
siswa.
Untuk lebih jelasnya dalam pembahasan ini, maka penulis
Magelang dan SMA I Muntilan kabupaten Magelang Tahun pelajaran
2014/2015.
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan permasalahan diatas, maka penulis bisa bisa mengemukakan permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa di SMA
Negeri I Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015?
2. Bagaimana kesadaran pluralitas beragama siswa di SMA Negeri I
Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015?
3. Apa problematika pengajaran pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten
Magelang tahun pelajaran 2014/2015?
C. Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Negeri I kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015.
b. Mengetahui kesadaran pluralitas beragama siswa di SMA Negeri I kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang
tahun pelajaran 2014/2015.
c. Mengetahui problematika pengajaran pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I kota Magelang dan SMA Negeri I muntilan
kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015. 2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritik
Secara akademis penelitian ini sebagai tambahan referensi dalam kajian pendidikan pendidikan agama Islam, khususnya tentang
pendidikan agama konfesional, dan penelitian ini juga bisa digunakan sebagai alat evaluasi sejauh mana sekolah-sekolah yang
siswanya plural menyelenggarakan pendidikan agama konfesional.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi sekolah yang para siswanya plural, hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi dalam melaksanakan
pembelajaran pendidikan agama konfesional.
2) Bagi guru yang mengajar di sekolah yang siswanya plural, hasil dari penelitian ini bisa di gunakan sebagai acuan melaksanakan
3) Bagi pengawas pendidikan agama, hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan dalam pembinaan guru agama.
4) Bagi Kementrian Agama, hasil penelitian ini dapat di pakai dalam mengevaluasi implementasi pendidikan agama konfesional
dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme beragama siswa.
D. Kajian Pustaka
Terkait dengan implementasi pendidikan agama konfesional
dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme agama siswa terdapat beberapa penelitian yang relevan, diantaranya: Penelitian tentang Politik Pendidikan Agama dalam Era
Pluralisme Telaah Historis Atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama
Konfesional di Indonesia.14 Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa
politik pendidikan agama ini bertujuan untuk menemukan pola pendidikan agama yang sedang berlangsung di Indonesia dan menemukan akar historisnya serta menemukan rumusan teoritik
pendidikan agama yang relevan dengan realitas kemajemukan. Hasil penelitian selanjutnya adalah: (1) Pendidikan agama yang sedang
berlangsung di Indonesia berpola konfesional, yakni Negara memberikan
14
legitimasi pendidikan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik sesuai agamanya. (2) Pendidikan agama mendapat ijin
untuk diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah. (3) Indonesia memerlukan kebijaksanaan pendidikan agama yang memberdayakan
kelompok keyakinan minoritas, sehingga Negara bersih dari pola dominasi atau penelantaran. Pola pemberdayaan ini diusung dari konsep pluralisme agama konfesional.
Penelitian yang lain mencermati tentang Posisi Strategis Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.15
Hasil penelitian ini menyatakan, perkembangan pendidikan Islam mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu sejak jaman sebelum kemerdekaan (zaman penjajahan) di mana pada masa itu pendidikan
agama boleh diajarkan, kemudian masa Orde Lama pendidikan agama mulai diajarkan di tingkat sekolah sampai pada masa Orde Baru sampai
sekarang pendidikan wajib diajarkan disekolah sekolah sejak dari tingkat SD sampai perguruan Tinggi. Jadi Pendidikan Islam di Indonesia berkembang karena Penguasa (Pemerintah) di Indonesia mendukung
pendidikan Islam, seandainya Penguasa (Pemerintah) tidak mendukung pendidikan Islam baik dari masa penjajahan, orde lama, orde baru tentu
Pendidikan Islam di Indonesia tidak akan mengalami perkembangan
15 Amin Haedari, “Posisi Strategis Pendidikan Agama”, dalam bukunya Nunu Ahmad
mungkin boleh jadi Pendidikan Islam tidak ada di Indonesia meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam.
Penelitian yang lain mencermati tentang konsep multikulturalisme dan pluralisme dalam pendidikan agama upaya menguniversalkan
pendidikan agama dalam ranah keIndonesiaan.16 Hasil penelitian ini menyatakan, konsep multikulturalisme dan pluralisme ini memang sudah wajar diterapkan di dunia pendidikan Indonesia, khususnya di mata
pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama dengan harus bersyaratkan pada satu hal, yaitu komitmen yang kokoh dari peserta didik sebagai
pemeluk agama ke agamanya masing-masing. Seorang multikulturalis dan pluralis dalam berinteraksi dengan beraneka ragam, suku, budaya, dan bahasa tentunya tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar
menghormati mitra dialognya, tetapi yang paling terpenting ia harus komitmen terhadap agama yang dianutnya
Penelitian yang lain mencermati tentang politik hukum kerukunan umat beragama di Indonesia sejak masa transisi politik 1998 sampai
dengan tahun 2008.17 Hasil penelitian ini menyatakan, model-model
politik hukum yang digunakan oleh setiap rezim tersebut dilakukan untuk mengukur sampai sejauh mana proses demokratisasi menyentuh persoalan
yang lebih esensial di dalam kehidupan masyarakat, yaitu persoalan
16
Muhandis Azzuhri, Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama Upaya Menguniversalkan Pendidikan Agama Dalam Ranah keIndonesiaan, Forum Tarbiyah, Volume.10, No.1, Juni (2012), 27-28.
17
kerukunan umat beragama, dan menyarankan agar pemerintah mendorong segera diterbitkanya sebuah undang-undang yang mengatur kerukunan
umat beragama yang dengannya umat beragama benar-benar memperoleh jaminan kemerdekaan di dalam melaksanakan keagamaan.
Penelitian yang lain mencermati tentang pemikiran Soren Kierkegaard tentang hakekat agama konstribusinya bagi dialog dan
kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia.18 Hasil peneltian ini menyatakan, hakekat agama sebagai wilayah paradox berhadapan dengan hidup sebagai sebuah misteri, manusia terus menerus bergulat memberi
makna kepada hidup itu baik secara bersama-sama maupun secara individu. Salah satu hal yang diandalkan manusia untuk berhadapan dengan misteri hidup itu adalah agama, karena melalui agama, manusia
berharap bisa dibantu mengatasi berbagai persoalan hidup yang tidak bisa diatasi oleh nalar. Dan agama sebagai wilayah kebenaran subyektif
memberikan berbagai kritik terhadap cara-cara tradisional manusia dalam memahami kebenaran yang semuanya bersifat obyektif.
Penelitian yang lain mencermati tentang kerukunan intern umat
beragama di kota Gerbang Salam melacak peran forum komunikasi ormas Islam (Fokus Pamekasan).19 Hasil dari penelitian ini menyatakan, bahwa kabupaten Pamekasan dilihat dari sisi keberagamaan masyarakatnya,
18
Hipolitus Kristoforus Kewuel, Pemikiran Soren Kierkegaard Tentang Agama: Kontribusinya Bagi Dialog dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, Disertasi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 2012.
19
termasuk masyarakat majemuk atau plural. Kemajemukan agama di kota Gerbang Salam ini (Pamekasan) ditandai dengan eksisnya semua agama
resmi seperti: Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Khong Hucu. Namun demikian, kemajemukan pemeluk agama ini tidak menjadikan
Pamekasan menjadi kota konflik antar pemeluk agama. Kerukunan ini dikarenakan keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh agama dalam menciptakan suasana kondusif dalam bingkai kehidupan rukun antar
maupun intern umat beragama. Keterlibatan Fokus Pamekasan ini memberikan kantribusi nyata terhadap penciptaan kerukunan umat
beragama di Pamekasan.
Penelitian yang lain mencermatai tentang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Periode 1973-1983.20 Hasil dari penelitian ini menyatakan, bahwa: (1) eksistensi fungsional kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terimbas pararel oleh pasang surut pemikiran
keagamaan dan perjuangan idiologis para elit nasionalis islami dalam forum-forum legislatif yang demokratis yang dijamin secara legal konstitusional. (2) eksistensi fungsional kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa juga dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya kalangan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. (3)
Kerukunan hidup beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berprasyarat keterbukaan yang didukung oleh sosialisasi studi
20
agama sebagai pilar ilmiah. (4) Pemecahan masalah internal diserahkan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
bersangkutan.
Penelitian yang lain, mencermati tentang Islam Radikal dan
Pluralisme Agama.21 Hasil dari penelitian ini menyatakan, bahwa konstruksi para aktivis Hizb-al-Tahrir (HT) dan majelis Mujahidin (MM) dapat diklasifikasikan pada dua kategori yaitu teologis dan politis. Secara
teologis, Kristen dan Yahudi dikonstruksi sebagai dua agama yang berupaya menghancurkan Islam, melalui kekerasan fisik dan kultural
simbolik. Penolakan aktivis HT dan MM terhadap gagasan pluralisme agama didasarkan pada konsep monopoli kebenaran Islam. Keduanya juga dinilai sebagai agama yang melakukan penyimpangan teologis. Secara
politis, orang-orang Yahudi dan Kristen dinilai berupaya menghancurkan akidah Islam, di antaranya melalui penyebaran gagasan pluralisme agama.
Liberalisme pemikiran yang saat ini melanda para pemikir muslim, juga perlu diwaspadai sebagai hasil kerja Yahudi dan Kristen untuk melakukan hegemoni politik atas dunia Islam. Para aktivis menolak semua ide Barat
dengan tujuan mengahiri dominasi teologis politik barat, tetapi mereka menerima sains dan teknologi barat.
Penelitian yang lain mencermati tentang pola pendidikan pluralisme agama (studi di desa Wayame kecamatan Teluk Ambon kota
21
Ambon).22 Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa yang menjadi pola pendidikan pluralisme agama di desa Wayame yaitu dialog antar umat
beragama biasa dilakukan di rumah ibadah, seperti masjid, dan gereja, membentuk mekanisme lokal yang biasa disebut tim 20 atau tim rujuk
sosial. Pada saat konflik, tim ini bertugas untuk menjaga keamanan desa sekaligus menghadang isu atau informasi yang berbaur konflik. Dalam hal ini lewat pendekatan pendidikan-pendidikan, baik secara internal
(Islam-Kristen) maupun secara eksternal. Secara internal, masing-masing pemeluk agama melakukan pendidikan kepada pengikutnya berdasarkan
nilai-nilai toleransi. Secara eksternal pendidikan dilakukan secara umum dalam arti pembinaan dilakukan dengan menggabungkan dua komunitas.
Penelitian yang lain lagi mencermati tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 12.a dan Peningkatan
Sikap Keberagamaan Siswa Muslim SMP Kanisius dan SMP
Smaratungga Ampel Boyolali.23 Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa SMP non Muslim Ampel Boyolali berbeda dalam menyikapi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 12.a, ada yang secara terbuka
memberikan pendidikan agama Islam bagi siswa Muslim, ada juga yang memberikan pelajaran religiusitas, yakni pelajaran yang membahas
tentang pentingnya menjalankan ajaran agama secara umum.
22
La musni, Pola Pendidikan Pluralisme Agama (Studi di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon Kota Ambon), Tesis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2014.
23
Dari 10 penelitian yang sudah ada di atas, penulis mengelompokkan menjadi 6 kelompok. Pertama, penelitiannya
Muhandis Azzuhri mencermati tentang kewajaran penerapan konsep multikulturalisme dan pluralisme dalam pendidikan agama di Indonesia.
Kedua, penelitiannya Muh Saerozi mencermati tentang proses legalisasi pendidikan agama di sekolah. Ketiga, penelitiannya Amin Haedari mencermati tentang kemajuan pendidikan Islam sejak sebelum
kemerdekaan, orde lama, sampai orde baru. Keempat penelitiannya Abdi Kurnia, Hipolitus Kristoforus Kewuel, Nor Hasan, dan La Musni
mencermati tentang kerukunan umat beragama. Kelima, penelitiannya Mohammad Damami mencermati tentang kerukunan antar umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keenam,
penelitiannya Umi Sumbulah dan Hidayatul Mualimah mencermati tentang pluralisme agama.
Dengan demikian beberapa deskripsi penelitian di atas berbeda dengan tema yang penulis angkat yakni implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa
dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran
2014/2015.
Menurut Penulis, peneltian ini sangat perlu dilakukan karena tidak semua sekolah-sekolah favorit yang para siswanya plural
dilaksanakan di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan
kabupaten Magelang.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan model penelitian lapangan (field research), yaitu melakukan penelitian terhadap objek
yang dituju untuk mendapatkan data yang benar dan akurat tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan
kerukunan sosial beragama antar siswa dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan
Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015.
Penelitian ini bersifat kualitatif, yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau lesan dari subjek yang
diamati.24 Dengan kata lain penelitian ini disebut deskriptif kualitatif yaitu penulis menganalisis dan mendeskripsikan penelitian secara obyektif dan sedetil mungkin guna memperoleh hasil yang akurat dan
bisa dipertanggung jawabkan.
24
2. Model dan Pendekatan Penulisan
Penelitian ini berada pada bidang kajian implementasi pendidikan
agama konfesional di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015, artinya
berupaya mencari jawaban bagaimana pemahaman pluralisme para siswanya di dua sekolah tersebut, dan apa problematika pengajaran
pendidikan agama konfesional tersebut.
Adapun metodologi penulisan, penulis menggunakan pendekatan sosilogi agama, yaitu melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunakan sebagai sarana
meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya dan
masyarakat luas umumnya.25 Agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, karena fungsi agama dalam
masyarakat antara lain sebagai kontrol sosial yaitu agama sebagai pengawasan sosial kepada individu maupun kelompok dan sebagai pemupuk solidaritas yaitu agama mengajarkan kepada penganutnya
untuk membantu dan memupuk rasa solidaritas di antara sesama manusia.26
25
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, .Yogyakarta: Kanisius, 2000, 9-10.
26Wahyuni, “ Peranan Agama Dalam Perubahan Sosial “ Al-Fikr
Menyimak pada permasalahan penelitian ini yang berupaya mencari jawaban tentang implementasi pendidikan agama konfesional
di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015, maka penulis menggunakan
pendekatan sosiologis yaitu penulis berinteraksi sosial dengan siswa. Pendekatan ini penulis lakukan agar siswa yang beragama non-muslim tidak merasa diteliti sehingga lebih terbuka dalam memberikan
jawaban.
3. Lokasi Penelitian
Kota Magelang memiliki SMA Negeri sejumlah lima sekolah, tetapi yang paling favorit adalah SMA Negeri I, karena SMA Negeri I
merupakan sekolah RSBI walaupun istilah RSBI sekarang sudah dihapus, namun penghpusan status tersebut tidak mempengaruhi
prestasi SMA Negeri I kota Magelang tersebut, sehingga peminatnya semakin banyak.Berdasar survey awal penulis pada hari sabtu 14 Maret 2015 para siswanya plural walaupun mayoritas muslim, tetapi siswa
muslim tetap menghormati siswa non-Muslim.
Begitu juga pada SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang,
mana para siswanya plural walaupun mayoritas muslim, tetapi mereka
tampak berteman dengan baik, saling menghargai satu sama lain.
4. Sumber Data
Untuk menghasilkan penelitian yang valid dan akurat, penulis
mencari sumber data primer, yaitu dengan cara observasi, interview, dan dokumentasi data di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I
Muntilan kabupaten Magelang.
Selain sumber data primer tersebut, supaya penelitian ini lebih sempurna, penulis juga memanfaatkan sumber data sekunder dan
tersier, yaitu berupa disertasi, tesis, skripsi, dan jurnal, sebagaimana yang penulis cantumkan dalam kajian pustaka diatas.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data pada penelitian ini, penulis
menggunakan cara atau teknik sebagai berikut:
a. Observasi
Dengan metode ini, penulis akan mengambil dan
mengumpulkan data yang dibutuhkan dan berkaitan dengan judul penelitian dengan cara mengamati pembelajaran pendidikan
guru agama di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I
Muntilan kabupaten Magelang.
b. Interview
Metode ini, penulis gunakan untuk mendapatkan data-data
yang dibutuhkan dengan cara wawancara terhadap beberapa siswa yang mewakili kelompok agama masing-masing dan mewancarai
masing-masing guru agama.
c. Dokumentasi Data
Dokumentasi data yang penulis gunakan yaitu dengan
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dan berkaitan dengan implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan
kesadaran pluralisme agama siswa, baik berupa foto-foto tulisan, hasil dari wawancara dan observasi, serta data-data
pendukung lainnya. 6. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang penulis lakukan, yaitu mengolah
data-data yang penulis peroleh dari hasil observasi, interview, maupun dokumentasi data. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran yang
valid, penulis menganalisa data yang sudah masuk.
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun
kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah di pahami oleh diri
sendiri maupun orang lain.27 Untuk mendapatkan data yang valid, penulis melakukan analisa data dengan melalui tiga fase, yakni:
a. Melakukan penyaringan dan pemilihan data yang diperoleh
dengan memisahkan data yang diperlukan dan tidak diperlukan oleh peneliti, yakni tentang implementasi
pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme agama siswa.
b. Menyajikan data dengan cara mendeskripsikan data-data yang sudah disaring dan dipilih.
c. Menarik kesimpulan dari data-data yang sudah disaring dan disajikan, dimulai dari hal-hal yang sifatnya khusus kemudian
dijabarkan menjadi sebuah gambaran yang sifatnya umum.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan proposal tesis ini sebagai berikut:
27
BAB I Pendahuluan. Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II. Pada bab ini lebih banyak memberikan tekanan pada
kajian atau landasan teoritis dalam menunjang permasalahan yang berisikan konsep tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran
pluralisme agama siswa.
BAB III. Pada bab ini akan dikemukakan tentang gambaran umum SMA Negeri I Magelaang dan SMA Negeri I Muntilan
Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015.
BAB IV. Pada bab ini berisi pemaparan data beserta analisis
deskriptif tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerikunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme
agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015.
BAB V. Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian,
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional 1. Pengertian Pendidikan Agama Konfesional
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlah mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.28
Pendidikan agama konfesional adalah pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh guru yang seagama.29
Pendidikan agar bisa terarah dan mencapai tujuan harus memperhatikan proses-proses pembelajaran yang harus dilaksanakan, sebagaimana pendapatnya Florence Beetlestone:
a. Konsep (concept) – generalisasi yang membantu mengklasifikasikan dan mengorganisasikan pengetahuan dan
pengalaman serta untuk memprediksi.
b. Sikap (attitude) – ekspresi nilai-nilai dan kualitas personal yang menentukan tingkah laku dalam berbagai situasi.
28
UU No 20 Tahun 2003, op.cit, bab I pasal I.
29Op.cit
c. Skil (skill) – kapasitas atau kompetensi untuk melaksanakan sebuah tugas atau aktifitas.
d. Pengetahuan (Knowledge) – informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah tugas atau untuk memahami sebuah
konsep.30
Proses-proses pembelajaran Florence Beetlestone tersebut sejalan dengan proses-proses pembelajarannya R.S.Peters,
yakni:
a. Training (Latihan)
Consider, first of all, the learning of skills. This presents it self preeminently as a task to the learner.
Pertimbangan pertama, membekali pengetahuan keterampilan sangat dibutuhkan, sekarang ini pelajar dituntut untuk ungggul.
b. Instruction and learning by experience (Instruksi dan pemberian pengetahuan berdasarkan pengalaman)
Knowing what things are and that certain things are the case is a matter of developing a conceptual scheme that has to be fitted to phenomena.
Membangun pengetahuan dengan contoh benda secara nyata merupakan konsep sang sangat cocok.
c. Teaching and the learning of principles (Mengajar dan belajar merupakan prinsip)
If the knowledge of the human race had ended with Aristotle this account of knowledge and of the methods necessary to acquire it might be sufficient.
Pengetahuan umat manusia sebagaimana pada akhir masa arestoteles untuk memperoleh pengetahuan yang cukup harus menggunakan metode yang tepat.
d. The transmission of critical thought (Transmisi dari pikiran kritis)
Societies can persist in which bodies of knowledge with principles immanent in them can be handed on without any systematic attempt to explain and justify them or to deal honestly with phenomena that do not fit.
30
Budaya bisa bertahan dalam kerangka ilmu pengetahuan harus dengan prinsip yang bisa memegang teguh kebudayaan tersebut walaupun terhadap fenomena yang tidak pas.
e. Conversation and „the whole man‟ (Dialog dan Manusia seutuhnya)
What then of the processes which lead to the development of an educated man in the full sense of a man whose knowledge and understanding is not confined to one form of thought or awareness?.31
Proses-proses untuk perkembangan pendidikan tidak hanya dengan model formal saja tetapi bisa dari berbagai sumber dan dari siapa saja.
Agama yaitu ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya.32
Menurut Carl Jung agama itu penjelmaan tata cara yang
diperkembang manusia untuk tata hidup disebabkan ketakutan-ketakutan dan kekecewaan-kekecewaan yang membenam kedalam
bawah sadar (religion represents the method mankind has developed to live with those fears and frustrations which have been built into
our subconscious).33
31
R.S.Peters, The Concept of Education, International Library of The Philosophy of Education, London: Taylor & Francis e-Library, volume 17, 2010, 1-15.
32
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka: 1991,12.
33Joesoef Sou‟yb,
Menurut kamus bahasa arab agama yaitu:
Agama yaitu ketetapan Tuhan yang mengajak kepada orang-orang yang berakal untuk melaksanakan apa-apa yang berasal dari
Rasul.
Agama mempunyai dua dimensi, yakni dimensi kolektif dan individual. Artinya ada pandangan-pandangan yang kebenarannya
diterima secara kolektif, diyakini oleh sejumlah orang, oleh sekelompok orang, ada pula yang hanya diikuti oleh satu orang saja.
Pada awalnya agama ini bersifat individual apalagi jika ini mengenai hal-hal yang tidak empiris atau dunia gaib, tetapi melalui proses komunikasi, pandangan-pandangan yang semula hanya diyakini oleh
satu orang ini kemudian diterima oleh banyak orang, dan menjadi milik suatu kolektivitas atau kumpulan individu.35
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
35Heddy Shri Ahimsa Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.36
Konfesional berasal dari kata confess.37 yaitu pengakuan iman penganut agama. Pendidikan agama konfesional yaitu pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan
sekurang-kuranganya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.38
2. Sejarah Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalami peningkatan dan kemajuan, misalnya pada masa sebelum
kemerdekaan, pada abad XIII budaya pendidikan sudah mulai ditransfer dalam bentuk pondok pesantren, karena pada masa itu
tradisi pendidikan keagamaan antara Hindu, Budha, Islam hampir sama. Sekitar abad XVIII, semangat mempelajari agama semakin berkembang, hal ini dibuktikan dengan banyaknya generasi muda
Islam dari lulusan pesantren yang melanjutkan belajar ke Timur Tengah dan sepulang dari Timur Tengah mereka mengembangkan
model pendidikan pesantren menjadi madrasah dengan mengadopsi sistem pendidikan sekolah Belanda, karena mereka menganggap
36
Peraturan Pemerintah RI No 55 tahun 2007, bab I pasal I.
37Op.cit
, Kamus Inggris Indonesia, cetakan XXI, Jakarta; Gramedia, 1995,137.
38
bahwa kurikulum sekolah Belanda sekuler sedangkan Madrasah masih terpusat pada pendidikan agama, untuk itu mereka mengadopsi
kurikulum sekolah Belanda dan dipadukan dengan kurikulum pesantren, sehingga lahirlah sekolah yang di dalamnya terdapat
kurikulum agama dan kurikulum umum.
Pada masa Orde Lama perkembangan madrasah tidak lepas dari Departemen Agama yang berdiri pada 3 Januari 1946, di mana
Departemen ini dengan gigihnya memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia yaitu: [1] Memberikan pengajaran agama di
sekolah negeri maupun swasta, [2] Memberikan pelajaran umum di madrasah, [3] Mendirikan PGA dan PHIN. Selain itu pengakuan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi dikuatkan dengan UU
No 12 Tahun 1954, yaitu mengatur tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran sekolah, khususnya pasal 10 ayat 2 tentang madrasah
mendapat pengakuan Menteri Agama, karena belajar di Madrasah sudah memenuhi kewajiban belajar.
Sejak PKI dengan G 30 S PKI dibubarkan yang menandai
lahirnya Orde Baru, madrasah juga mengalami kemajuan, walaupun awalnya mengembalikan madrasah di bawah pengawasan Depdikbud
dari Depag, namun akhirnya mendapat pengakuan dengan dikeluarkanya pasal 4 TAP MPRS No XXVII/MPRS/1966 yang memuat tentang isi pendidikan yaitu dasar dan tujuan pendidikan
memperkuat keyakinan beragama, [2] Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan
sehat.
Pengakuan Madrasah juga dikuatkan UU No 2 tahun 1989
tentang Pendidikan Nasional, bahwa tujuan pendidikan Nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agama yang dianutnya dan selanjutnya dikuatkan lagi dengan
kurikulum tahun 1994, pada kurikulum ini pendidikan agama juga ditempatkan pada seluruh jenjang pendidikan yakni mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi.
Dengan bergulirnya reformasi (1998) pendidikan agama (Islam) semakin diakui oleh pemerintah dibuktikan dengan diterapkannya
Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 terutama pasal 12 ayat
a: “Setiap peserta didik pada tiap-tiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama juga”.
Sekaligus Undang-undang ini mengubur bagian dari Undang-undang
No 2 tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1990 tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang salah satu agama, umpamanya Islam mengajarkan pendidikan agama yang
katholik bagi siswa yang beragama katholik dan sebaginya. Serta dipertegas lagi dengan pasal 37 ayat 1 yang berbunyi Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama.39 Dengan demikian perkembangan pendidikan Islam mengalami
kenaikan signifikan, yaitu sejak zaman sebelum kemerdekaan (zaman penjajahan) di mana pada masa itu pendidikan agama boleh diajarkan, kemudian pada masa Orde lama pendidikan agama mulai
diajarkan ditingkat sekolah sampai pada masa Orde Baru sampai sekarang pendidikan agama wajib diajarkan di sekolah-sekolah sejak
tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Jadi pendidikan agama khususnya Islam di Indonesia berkembang karena penguasa (pemerintah) di Indonesia mendukung pendidikan agama khususnya
Islam.
B. Kerukunan Sosial Umat Beragama
1. Pengertian Kerukunan Sosial Umat Beragama
Kerukunan menurut istilah adalah hidup bersama dalam
masyarakat dengan kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran.40
39
Op.cit, Abstraksi bahan Kuliah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga, Semester II, 2014.
40
Kerukunan hidup antar agama, dan konsekuensinya antar umat beragama, berkaitan erat dengan dua hal: [1] Berkaitan dengan
doktrin Islam tentang hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara Islam dengan agama-agama lain. [2] Berkaitan dengan
pengalaman historis manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan agama-agama yang dianut oleh umat manusia.41
2. Sejarah Pembinaan Kerukunan Sosial Umat Beragama di Indonesia
Pada masa Orde Lama, dalam membangun kerukunan umat
beragama dengan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sesuai aslinya, meskipun mendapat penentangan karena pemerintah Orde lama juga mengembangkan politik Demokrasi Terpimpin dan
Nasakom. Pada masa Orde Baru, untuk mempertahankan kerukunan umat beragama dan keutuhan bangsa tetap mempertahankan
Pancasila dan UUD 1945 sesuai aslinya dan mengganti Demokrasi Terpimpin dengan Demokrasi Pancasila untuk semua Ormas dan Orpol serta menghilangkan Nasakom. Pada era reformasi untuk
menjaga keutuhan bangsa dan kerukunan umat beragama dengan tetap mempertahankan Pancasila sesuai aslinya dan
mengamandemen beberapa pasal dalam UUD 1945. Pada masa
41Azyumardi Azra, “ Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama:
reformasi ini selaku penanggung jawab dalam membina kerukunan umat beragama adalah Kementrian Agama.42
Pada era Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni hingga Menteri Agama Suryadarma Ali, kebijakan pembinaan kerukunan
umat beragama yang bersifat normatif dan akademik tetap diteruskan, dengan mengembangkan wawasan multikultural umat beragama. Pengembangan wawasan multikultural ini secara teknis
dilakukan melalui penekanan pada pendidikan agama dari SD sampai Perguruan Tinggi. 43
Selain dengan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sesuai aslinya serta penekanan pada pendidikan agama, usaha lain dalam membina kerukunan umat beragama yakni dengan pemberdayaan
forum kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah. Dari aspek kebijakan yang paling normatif, Menteri Agama alm. Mukti
Ali dikenal sebagai motor penggerak kerukunan umat beragama dengan mengedepankan konsep setuju dalam perbedaan. Kemudian dilanjutkan Menteri Agama alm. Ratu Perwira Negara dengan
mengedepankan konsep trilogi kerukunan umat beragama, yakni kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama,
dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Pada masa Menteri Agama Munawir Sjadzali, konsep trilogi kerukunan umat
42
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama RI, Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta; Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2013, xiv-xx.
43
beragama dilanjutkan dengan istilah tri kondial atau tiga kondisi ideal, yakni kondisi bangsa sangat ideal apabila trilogi kerukunan
umat beragama terwujud. Pada masa Menteri Agama Tarmizi Taher, Kementrian Agama lebih memfokuskan pada kebijakan
pengembangan Bingkai Teologi Kerukunan, yakni mengedepankan perlunya titik temu konsep ajaran semua agama yang bisa dijadikan landasan kerukunan umat beragama. Kebijakan ini terus
dikembangkan oleh Menteri-menteri Agama selanjutnya sampai pada masa Menteri Agama Suryadarma Ali.44
Kerukunan umat beragama di Indonesia selama ini dalam kondisi baik walaupun ada beberapa permasalahan, tetapi permasalahn tersebut bisa diatasi, karena masyarakat Indonesia pada umumnya
masih tetap menghargai sesama manusia, menyukai hidup rukun, damai, toleran, gotong royong, bersatu, santun dan menghargai
adanya pluralitas paham keagamaan, meskipun masih ada beberapa penyimpangan budaya, dan itu semua menjadi kewaspadaan umat beragama jangan sampai terprovokasi.
44Atho‟ Mudhzar, “Memelihara kerukunan Umat Beragama: Jalan Landai atau
C. Pluralisme Agama
1. Pengertian Pluralisme
Peter salim memberikan definisi pluralism yaitu: [1] Sifat, keadaan jamak. [2] Keadaan di mana kelompok yang besar dan
kelompok yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan. [3] Penganut atau pendukung pluralisme. [4] Teori filsafat yang
mengatakan bahwa kenyataan terdiri dari dua unsur atau lebih. [5] Suatu sistem di mana seseorang memegang dua jabatan atau lebih
sekligus, terutama yang menguntungkan.45
Alwi Sihab mendefinisikan, bahwa pluralisme disimpulkan menjadi empat yaitu: [1] Pluralisme tidak semata menunjuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan melainkan terlibat aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. [2] Pluralisme berbeda
dengan kosmopolitanisme yaitu menunjuk suatu relitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi tetapi tidak ada interaksi sosial. [3] Pluralisme berbeda dengan
paham relativisme yakni paham yang menganggap semua agama sama. [4] Pluralisme agama bukan sinkretisme yaitu menciptakan
suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian
45
komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.46
Dalam kerangka pluralitas agama, mereka yang berbeda-beda syariat akan selamat jika mereka beriman kepada Allah Tuhan Yang
Maha Esa, beriman kepada hari akhir, dan beramal shaleh sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an Surah Al-Maidah ayat 69.
صنلاو نوئبصلاو اوداى نيذلاو اونماء نيذلا نا
“ Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
2. Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme agama menurut definisi John Hick yaitu:
“Religious pluralism is emphatically not a form of relativism. That would be a fundamental misunderstanding of critical realist principle, which requires criteria for distinguishing between perception and delusion. In contrast to this, for relativism anything goes”.48
Pluralisme agama adalah rasa empati bukan relativisme. Pluralisme beragama membangun pokok-pokok kesalahpahaman dari prinsip-prinsip realita kritis yang mana memerlukan criteria untuk membedakan antara persepsi dan khayalan. Dalam perbedaan ini, relativisme di hilangkan.
46
Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, Bandung: Mizan, 1999, 41-42.
47
Al-Qur‟anul Karim, Surah 5 : 69
48
Masyarakat di Negara-negara maju pluralisme agama sangat prinsip, mereka saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, misalnya di Amerika. Madeline Albright dan David Gergen
berpendapat:
“Religious pluralism in free society requires both respect for individual difference and support for actions that contribute to the well-being of all; the absence of the first leads to repression and of the second to anarchy. The challenge for democracy is to ensure that exercise of personal freedom does not detract from-but in fact adds to-an overall sense of national unity. Amarica‟s great achievement is that we have generally been able to do this”.49
Pluralisme agama dalam masyarakat bebas sangat menhormati terhadap perbedaan individu dan mendukung aktifitas dengan memberikan kontribusi demi kebaikan semua. Tak adanya yang pertama atau yang kedua, maka yang timbul adalah peneindasan dan anarki. Tantangan untuk demokrasi adalah menjamin kemerdekaan individu. Tetapi fakta yang ada adalah saling melengkapi serta mengerti bahwa itu semua bagian dari kesatuan bangsa. Amerika Negara besar yang berprestasi membangun pluralisme ini.
Tidak kalah dengan Amerika, bangsa Indonesia adalah bangsa
yang masyarakatnya sangat majemuk dan plural. Indonesia juga sudah menerapkan pluralisme agama tersebut walaupun masih ada
pro dan kontra mengenai masalah pluralisme beragama ini. Penerapan pluralisme agama ini di antaranya melalui pelaksanaan pendidikan agama konfesional di sekolah-sekolah yang siswanya
plural.
Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan, pluralisme
agama adalah toleransi terhadap agama lain dengan cara berinteraksi
49
sosial di dalam masyarakat dengan prinsip “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”.
Adapun pluralisme agama menurut penulis yaitu menghormati dan menghargai terhadap pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Islam sendiri menghargai pluralitas agama, karena tidak ada paksaan dalam menganut agama sebagaimana dalam Surah
al-Baqarah ayat 256. Menurut M.Quraish Shihab tafsir ayat tersebut
menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam
menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang sudah memilih satu akidah, misalnya akidah Islam, dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban
melaksanakan perintah-perintahnya. Dia terancam sanksi bila
melanggar ketetapannya. Ayat ini menggunakan kata (
دشر
) rusydyang mengandung makna jalan lurus. Kata ini pada akhirnya
bermakna ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu. Ini bertolak belakang dengan
(
يغلا
) al-ghayy, yang terjemahannya adalah jalan sesat. Jikademikian, yang menelusuri jalan lurus itu pada akhirnya melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan.50
50
Yang enggan memeluk agama ini pada hakekatnya terbawa oleh
rayuan thaghut, kata (
توغاط
) thaghut terambil dari akar kata yangberarti melampaui batas. Barang siapa yang ingkar dan menolak ajakan thaghut, meraka adalah orang-orang yang memiliki pegangan yang kukuh pada buhul tali yang amat kuat. Berpegang teguh pada
buhul tali yang amat kuat disertai dengan upaya sungguh-sungguh,
bukan sekedar berpegang, sebagaimana dipahami dari kata (
كسمتسا
)istamsaka, yang menggunakan huruf-huruf sin dan ta bukan (
كسم
)masaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat, dilanjutkan dengan
pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang berpegang itu
amat kuat, materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan materi tali itu tidak akan putus.51
Kesungguhan untuk memegang gantungan itu disebabkan ayunan thaghut cukup kuat sehingga diperlukan kesungguhan dan kekuatan.
Kata (
ةورع
) „urwah yang diatas diterjemahkan dengan gantungantali adalah tempat tangan memegang tali, seperti yang digunakan
pada pada timba guna mengambil air dari sumur. Ini memberi kesan bahwa yang berpegang dengan gantungan itu bagaikan menurunkan
timba untuk mendapatkan air kehidupan.52
Manusia membutuhkan air (H2O), yang merupakan gabungan
dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen untuk kelangsungan
51Ibid
, 670.
52
hidup jasmaninya. Sedang untuk kebutuhan rohani manusia membutuhkan air kehidupan yang merupakan syahadatain, yakni
gabungan dari kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan kepada kerasulan Nabi Muhammad.
Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman. Betapapun sulitnya keadaan, walaupun ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa karena
dia berpegang dengan kukuh pada seutas tali yang amat kukuh, bahkan seandainya ia terjerumus masuk ke dalam jurang itu, ia masih
dapat naik karena ia tetap berpegang pada tali yang menghubungkannya dengan dengan sesuatu yang diatas, bagaikan timba yang dipegang ujungnya.53
Tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama: Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian, maka
agama-Nya dinamai Islam yakni damai. Tidak ada paksaan dalam agama menurut Surah al-Baqarah ayat 256 tersebut dipertegas lagi dalam Surah al-Maidah ayat 48:
“…Kalau Allah menghendaki , niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang
53Ibid
, 671.
54
telah di berikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombak berbuat
kebajikan…”
Maksud tidak ada paksaan dalam agama dalam tafsir yang lain
adalah janganlah kamu memaksa seseorang siapapun untuk memasuki agama Islam, karena agama Islam itu sudah jelas dan
terang. Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata sehingga seseorang tidak perlu dipaksa supaya masuk Islam. Namun sudah jelas orang yang ditunjukkan kepada Islam, dilapangkan hatinya, dan
disinari mata hatinya oleh Allah, maka ia akan masuk kedalamnya secara terang benderang. Adapun orang yang buta hatinya, tuli
pendengarannya, dan buta penglihatannya, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memeluk Islam.55
Faqih Imani menafsirkan, bahwa memeluk suatu agama tidak boleh dilakukan dengan paksaan atau kekerasan. Ayat 256 ini juga merupakan jawaban yang tegas bagi mereka yang membayangkan
bahwa Islam menggunakan kekerasan dan telah berkembang dan menyebar berkat kekuatan pedang dan semangat mati syahid. Ayat
ini ditutup dengan kalimat Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Sebagai isyarat bahwa masalah keimanan dan kekafiran
bukanlah sesuatu yang bisa dipenuhi hanya dengan berpura-pura,
55
karena Allah mendengar semua ucapan mereka, baik secara sembunyi maupun terbuka.56
3. Sejarah dan Perkembangan Pluralisme Agama
Pluralisme agama muncul pada abad 18 atau pada masa pencerahan (Enlightement) Eropa, yaitu masa permulaan bangkitnya pemikiran modern, karena pada masa itu diwarnai dengan wacana
baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada kekuatan rasionalitas, di mana akal dibebaskan dari kungkungan-kungkungan
gereja. Pergolakan-pergolakan tersebut muncul sebagai reaksi akibat konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja. Reaksi-reaksi tersebut melahirkan pahan liberalism, yaitu
paham mengutamakan kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.57
Pemikir Muslim kontemporer Muhammad Legenhausen berpendapat: Paham liberalisme pada di Eropa pada abad 18 muncul dan didorong oleh kondisi masyarakat yang carut marut akibat
memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sectarian yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah antar
ras, sekte, dan mazhab pada masa reformasi keagamaan58.
56
Allamah Kamal Fqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya Al-Qur‟an, Jakarta: Al-Huda, 2006, 36. 57
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005, 16.
58
Berawal dari paham liberalisme ini lahirlah pluralisme, tetapi pluralisme pada abad 18 ini hanya terbatas pada masyarakat Kristen
Eropa yang plural dengan keragaman sekte, baru pada abad 20 berkembang mencakup komunitas-komunitas di dunia. Meskipun
konsep pluralisme telah mewarnai pemikiran Eropa pada saat itu, namun beberapa sekte Kristen ternyata masih melakukan diskriminasi dari gereja seperti yang dialami sekte Mormon yang
tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox sampai pada akhir abad 19.59
Akibat situasi yang demikian itu munculah protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908) dan adanya doktrin bahwa di luar gereja tidak aman, sehingga Vatikan
mengadakan konsili atau yang dikenal dengan Konsili Vatikan II (Vatikan Council II) pada awal tahun 60-an abad 20, yang
menghasilkan doktrin keselamatan umum bahkan bagi agama-agama selain Kristen.60
Selain klaim dari agama Nasrani di atas paham pluralime juga
telah di klaim agama Yahudi, misalnya tokoh yahudi bernama Moses Mendelsohn ( 1729-1786), dia menggugat kebenaran eksklusif
agama Yahudi. Menurut Mendelsohn: ajaran agama Yahudi mengakui bahwa seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah
59Ibid,
18
60