• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Persepsi

Didalam kehidupan bahwa setiap manusia tidak dapat lepas dari lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Sejak manusia itu dilahirkan pada hakekatnya secara langsung telah berhubungan dengan dunia sekitarnya. Mulai saat itu pula manusia secara langsung menerima stimulus dari luar dirinya.

Persepsi secara etimologis merupakan pandangan terhadap suatu objek tertentu.(Purwo Darminta,1984:24)

Persepsi juga bisa diartikan sebagai proses, pemahaman terhadap suatu informasi yang disampaikan oleh orang lain yang saling berkomunikasi, berhubungan atau bekerja sama. Jadi setiap orang tidak terlepas dari proses persepsi.

Persepsi pada dasarnya merupakan suatu proses pemahaman terhadap apa yang terjadi dilingkungan orang yang sedang berpersepsi dan hubungan antara lingkungan dengan manusia dan tingkah lakunya. Adalah hubungan timbal balik, saling terkait dan mempengaruhi seperti yang dikemukakan oleh Sarlito Wirawan:

“Bahwa persepsi merupakan hasil hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan kemudiaan diproses dalam kesadaran (kognisi) yang mempengaruhi memori ingatan tentang pengalaman di inderakan akan mempengaruhi.”(Wirawan, 1992:37)

Persepsi merupakan hal yang penting yang dialami oleh setiap orang. Setiap orang akan menerima segala sesuatu informasi ataupun segala rangsangan

(2)

yang datang dari luar, kemudian informasi yang diterima tersebut diolah dan diproses.

Sedangkan menurut Indra Wijaya persepsi adalah: “Bagaimana tafsiran dan pemikiran seseorang terhadap semua rangsangan yang diproseskan itu akan tampak pengaruhnya dalam perilaku atau dalam sikap yang berkaitan dengan hal-hal yang dipersepsikan.”(Indra Wijaya,1989:45)

Dengan kata lain lingkungan sangat aktif berinteraksi dengan manusia yang melalui inderanya menangkap rangsangan sampai akhirnya timbul makna yang spontan yang akan ditampilkan dalam perilaku. Dengan demikian perilaku individu tidak terlepas dari persepsinya.

Persepsi seseorang terhadap suatu objek akan dipengaruhi sejauh mana pemahamannya terhadap objek. Persepsi yang belum jelas atau belum dikenal sama sekali tidak akan mungkin memberikan makna.

“Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap individu didalam memahami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan, pandangan penghayatan, perasaan dan penciuman. Sementara itu yang dimaksud dengan proses kognisi adalah prosses atau kegiatan mental yang sadar seperti berpikir, mengetahui, memahami dan kegiatan konsepsi mental seperti sikap, kepercayaan dan pengharapan yang kesemuanya merupakan penentu atau yang di pengaruhi perilaku.”(Toha,1983:138)

Persepsi akan muncul setelah seseorang atau sekelompok manusia terlebih dahulu merasakan kehadiran suatu objek dan setelah dirasakan akan menginterpretasikan obek yang dirasakan tersebut. Seperti pendapat Kimball Young (dalam Wagito,1996:89) “Persepsi merupakan suatu yang menunjukkan aktivitas merasakan, menginterpretasikan, memahami objek fisik maupun sosial.”

(3)

Adapun faktor-faktor yang terlibat dalam proses persepsi adalah: 1. Objek yang dipersepsikan

2. Orang yang sedang dipersepsikan 3. Kondisi saat persepsi itu berlangsung.

Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja, tentu ada faktor yang mempengaruhi. Faktor ini yang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu yang mungkin memberi interpretasi yang berbeda tentang apa yang dilihatnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu:

1. Diri orang yang bersangkutan. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya, ia akan dipengaruhi oleh karakteristik individu yang turut mempengaruhi seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan.

2. Sasaran persepsi tersebut. Sasaran itu mungkin berupa orang, bendaa atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Dengan kata lain gerakan, suara, tindak tanduk dan ciri-ciri orang lain dari sasaran persepsi itu turut menentukan cara pandangorang melihatnya.

3. Faktor situasi. Persepsi harus dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam pertumbuhan persepsi seseorang.(Siagian,1980:101)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan pandangan, pemahaman dan tanggapan objek tertentu terhadap objek lainnya.

(4)

B. Rumah Tahanan Negara

B.1. Pengertian Rumah Tahanan Negara

Dalam penegakan hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia di Indonesia, maka peranan Rumah Tahanan Negara sangatlah penting.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan menegaskan bahwa: “Rumah Tahanan Negara adalah Unit pelaksana teknis tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan”.

Rumah Tahanan Negara dibentuk oleh Menteri ditiap Kabupaten dan kotamadya yang juga berperan sebagai pelaksana azas pengayomam yang merupakan tempat untuk mencapai tujuan pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi.

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana.

Pada prinsipnya tidak ada lagi penjara karena perkembangan Rumah Tahanan dari sistem kepenjaraan menjadi sistem Pemasyarakatan. Ketika dijatuhi vonis dan ditetapkan melanggar hukum, maka pemulihan yang harus dilakukan harus berada dilingkungan yang layak. Sehingga narapidana menjalaninya bukan lagi seperti orang yang dihukum (dipenjarakan). Rumah Tahanan Negara harus dibuat menjadi tempat yang memiliki nilai, sehingga ketika narapidana kembali

(5)

kemasyarakat akan bisa mematuhi nilai dan norma hukum serta tidak melakukan pelanggaran kembali.

Rumah Tahanan Negara sekarang ini berkembang dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan melalui program pembinaan, agar para narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak lagi mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat dan dapat menjalankan serta mengembangkan fungsi sosialnya dimasyarakat melalui peran aktif mereka dalam pembangunan.

Disisi lain perlu disampaikan bahwa selain wadah pelayanan dan perawatan tahanan, banyak Rumah Tahanan Negara yang digunakan sebagai wadah pembinaan narapidana. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan jumlah unit pelaksanaan teknis pemasyarakatan.

B.2. Petugas Pemasyarakatan

Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari lembaga pemasyarakatan ataupun rumah tahanan negara untuk kembali kemasyarakat sangatlah penting. Berhasil tidaknya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat terhadap hukum tergantung pada petugas-petugas negara yang diserahi tugas untuk menjalankan sistem pemasyarakatan.

Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental yang baik dan sehat harus memiliki 5 aspek yaitu:

1. Berpikir realitas

(6)

3. Mampu membina hubungan sosial dengan orang lain 4. Mempunyai visi dan misi yang jelas

5. Mampu mengendalikan emosi

Petugas Rumah Tahanan Negara harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk sistem pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi perangai narapidana. Petugas-petugas yang dimaksud dalam uraian tersebut melakukan peranan sesuai dengan kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan dan berusaha menciptakan bentuk kerjasama yang baik untuk membantu menyelenggarakan “proses pemasyarakatan” sedemikian rupa dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

C. Narapidana

C.1. Pengertian Narapidana

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum (UU No.12 Tahun 1995).

Narapidana yang diterima atau masuk kedalam Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara wajib dilapor yang prosesnya meliputi:

b. Pencatatan yang terdiri atas: 1. Putusan pengadilan 2. Jati diri

(7)

c. Pemeriksaan kesehatan d. Pembuatan pasphoto e. Pengambilan sidik jari

f. Pembuatan berita acara serah terima terpidana

C.2. Hak dan Kewajiban Narapidana Setiap narapidana mempunyai hak, yaitu:

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya 2. Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5. Menyampaikan keluhan

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

11. Mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas

13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(8)

Pelaksanaan hak yang pertama sampai dengan yang keempat dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai narapidana, dengan demikian pelaksanaannya dalam batas-batas yang diizinkan.

Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh warga binaan yaitu bahwa setiap narapida wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kewajiban warga binaan ditetapkan pada Undang-undang tentang Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu:

1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

D. Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan D.1. Sistem Kepenjaraan

a. Zaman Kompeni Belanda

Pada zaman ini para narapidana dimasukkan kedalam bui dan diperlakukan tidak manusiawi seperti:

1. mencap dengan besi panas 2. memukul dengan rotan

3. kerja paksa dalam pekerjaan umum sambil dirantai b. Zaman pemerintahan Belanda

Para narapidana masih diperlakukan sama seperti zaman sebelumnya dan masih disiksa dengan kerja paksa dan porsi makan yang sangat sedikit.

(9)

c. Zaman pemerintahan Jepang

Pada zaman pemerintahan Jepang, para narapidana cenderung dijadikan budak kerja dan hasil yang diperoleh diperuntukkan kepada Jepang.

d. Masa perang kemerdekaan

Pada masa ini penjara sudah berada pada kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia dan dipimpin pertama sekali oleh Prof. Noto Suranto,SH. Dan peraturan pemerintah No.2/1945 berlaku dengan peraturan penjara Stb.708/1077 yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa ini para narapidana tidak mendapat penyiksaan lagi dan diperlakukan lebih manusiawi dan sudah mulai beralih pada sistem pemasyarakatan.

D.2. Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini secara konseptual dan historis sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Pembinaan narapidana menurut sistem kepenjaraan terkesan sebagai lembaga pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku, sedangkan dalam sistem pemasyarakatan asas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang dipandang sebagai pribadi dan warga negara serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan melainkan dengan pembinaan yang terarah.

Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai pelembagaan

(10)

respons masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan pola pembinaan yang berorientasi pada masyarakat, yaitu pembinaan yang dilakukan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan, sehingga dapat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Sahardjo Merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, yaitu:

“orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara, tobat tidak akan dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan pembinaan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan terpidana kehilangan kemerdekaan, negara telah mengambil kemerdekaan dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kedalam masyarakat” (Harsono, 1995:1)

Dalam Konperensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali di Lembang pada tanggal 27 April 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut:

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan padanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna pada masyarakat.Bekal hidup tersebut tidak hanya berupa finansial dan material, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga negara yang baik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara

(11)

perawatan dan penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkannya kemerdekaan.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat dari pada

sebelum ia masuk lembaga. Karena itu harus diadakan pemisahan antara: a. Yang residivis dan yang bukan

b. Yang telah melakukan tindak pidana yang berat dan ringan c. Macam tindak pidana yang dibuat

d. Dewasa, dewasa muda dan anak nakal e. Orang terpidana dan orang tahanan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan pada masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Menurut sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “kultural”. Secara bertahap mereka akan dibimbing ditengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja. Pekerjaan harus suatu pekerjaan di masyarakat yang

(12)

ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan.

7. Didikan dan bimbingan harus berdasar pada Pancasila. Pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas-asas yang tercantum dalam Pancasila, kepada narapidana harus diberikan kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, jiwa bermusyawarah untuk bermufakat positif.

8. Tiap orang adalah manusia dan diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. Perlu diusahakan agar narapidana mendapat mata pencaharian untuk keluarga dengan jalan menyediakan/memberikan pekerjaan upah

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhahan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada ditengah-tengah kota ketempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.

Sistem yang baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem Pemasyarakatan” yang juga merupakan tujuan dari pidana penjara. Didalam pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem

(13)

pemasyarakatan narapidana hanya dibatasi kemerdekaan bergeraknya saja sedangkan hak-hak kemanusiaannya tetap dihargai.

D.3. Pola Pembinaan Dalam Sistem Pemasyarakatan

Pembinaan narapidana merupakan suatu cara perlakuan terhadap narapidana yang dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan dalam usaha mencapai tujuan, yaitu agar sekembalinya narapidana dapat berperilaku sebagai anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi dirinya, masyarakat serta negara.

Menurut Suparlan (1983:95) dalam kamus istilah Kesejahteraan Sosial mengartikan bahwa: “pembinaan adalah segala usaha dan kegiatan mengenai perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, penyusunan program, koordinasi pelaksanaan dan pengawasan sesuatu pekerjaan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dengan hasil yang semaksimal mungkin”.

Sedangkan menurut Mangunhardjuna (1986:12) pembinaan adalah: “suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki dengan tujuan membantu orang-orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif”.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembinaan narapidana juga mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik.

Maka yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana agar membangkitkan kembali rasa percaya dirinya dan dapat mengembangkan fungsi

(14)

sosialnya dengan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat. Jadi pembinaan sangat memerlukan dukungan dan keikutsertaan dari masyarakat. Bantuan tersebut dapat dilihat dari sikap positif masyarakat untuk menerima mereka kembali di masyarakat.

Berdasarkan UU No.12 tahun 1995 pembinaan narapidana dilaksanakan dengan sistem:

1. Pengayoman

Pengayoman adalah perlakuan terhadap narapidana dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh narapidana, juga memberikan bekal hidup kepada narapidana agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.

2. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan

Persamaan Perlakuan dan Pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada narapidana tanpa membeda-bedakan orang. 3. Pendidikan dan Pembimbingan

Pendidikan dan Pembimbingan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pembimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, ketrampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

4. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia

Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia adalah sebagai orang yang tersesat, narapidana harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

(15)

Kehilangan Kemerdekaan Merupakan Satu-satunya Penderitaan adalah narapidana yang harus berada dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan untuk jangka waktu tertentu sehingga Negara mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya.

6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu

Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu adalah bahwa walaupun narapidana berada dalam Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan kedalam Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

D.3.1. Wujud Pembinaan

Wujud pembinaan narapidana meliputi: 1. Pendidikan umum

2. Pendidikan keterampilan

3. Pendidikan mental, spiritual dan agama

4. Sosial budaya, kunjungan keluarga, seni musik dan lain-lain 5. Kegiatan rekreasi (olah raga, hiburan segar,dan membaca).

(16)

Pembinaan yang dilakukan diluar Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara disebut asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana yang telah berlangsung selama dua pertiga dari masa pidananya dan memenuhi syarat-syarat tertentu dengan membaurkan mereka kedalam kehidupan masyarakat.

D.3.2. Proses Pembinaan

Empat tahap proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan:

1. Tahap pertama : Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap narapidana untuk mengetahui hal ikhwal yang bersangkutan.

2. Tahap kedua : Bilamana proses pembinaan telah berjalan selama-lamanya sepertiga dari masa pidananya dan menurut Dewan pembina Pemasyarakatan sudah terdapat kemajuan(insyaf, disipiln dan patuh terhadap peraturan tata tertib), maka yang bersangkutan ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan dengan sistem keamanan yang medium(medium security), dengan kebebasan yang lebi banyak.

3. Tahap ketiga : bilamana proses pembinaan terhadap narapidana telah berlangsung selama setengah dari masa pidananya dan menurut dewan pembina pemasyarakatan telah terdapat cukup kemajuan, baik secara fisik, mental maupun keterampilannya, maka dapat diadakan asimilasi dengan masyarakat luas.

4. Tahap keempat : bilamana proses pembinaannya telah berlangsung selama dua pertiga dari masa pidananya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat, atas usul dari dewan pembina pemasyarakatan.

(17)

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana di dalam kehidupan masyarakat. Untuk memperoleh asimilasi narapidana harus telah menjalani ½ (setengah) dari masa pidana dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan. Untuk memperoleh pembebasan bersyarat narapidana harus telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Cuti menjelang bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana luar lembaga pemasyarakatan, bagi terpidanan yang tidak dapat diberikan pelepasan bersyarat karena masa hukuman atau masa pidananya pendek, untuk dapat diberikan CMB narapidana harus telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilanberkekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan cuti terakhir paling lam aenam bulan. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidanayang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana.

D.3.3. Tujuan Pembinaan

Secara umum tujuan pembinaan adalah: a. Memantapkan iman (ketahanan mental)

b. Membina mereka agar segera mampu berintegrasi secara wajar dalam kehidupan berkelompok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan

(18)

kehidupan yang lebih luas(masyarakat), setelah selesai menjalani pidana.

Sedangkan secara khusus pembinaan bertujuan untuk:

a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya.

b. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum dengan tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

d. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan narapidana berusaha kearah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami konflik sosial, sebagai suatu cara baru untuk menjadi seseorang, merupakan usaha yang dilakukan untuk mencapai sistem pemasyarakatan.

D.4. Sasaran Pemasyarakatan Sasaran pemasyarakatan: 1. Sasaran khusus

Sasaran pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan, yang meliputi:

(19)

b. Kualitas intelektual

c. Kualitas sikap dan perilaku

d. Kualitas profesionalisme/keterampilan e. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani 2. Sasaran umum

Sasaran umum ini pada dasarnya juga merupakan indikator-indikator yang secara umum digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana keberhasilan dari pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Indikator-indikator tersebut antara lain:

a. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan keamanan

b. Isi LAPAS lebih rendah dari pada kapasitas(pemerataan isi LAPAS)

c. Meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya melalui prose asimilasi dan integrasi

d. Semakin menurunnya dari tahunke tahun jumlah residivis

e. Semakin banyaknya jenis intitusi UPT pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis/golongan warga binaan pemasyarakatan.

f. Secara bertahap perbandingan banyaknya napi yang bekerja di bidang industri dan pemeliharaan adalah 70 : 30

(20)

g. Prosentase kematian dan sakit narapidana/tahanan lebih sedikit atau sama dengan angka kematian dan sakit dari anggota masyarakat

h. Biaya perawatan narapidana dan tahanan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia pada umumnya

i. LAPAS dan RUTAN adalah instansi terbersihdi lingkungannya masing-masing

j. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam LAPAS dan sebaliknya semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultur penjara dan LAPAS.

E. Kerangka Pemikiran

Kejahatan merupakan suatu kenyataan sosial yang terjadi didalam masyarakat yang sudah ada sejak manusia itu ada, yang memang sudah menjadi fenomena. Tindakan koreksi terhadap pelaku tindak pidana harus dilakukan dengan memasyarakatkan kembali para pelaku tindak pidana.

Penempatan para pelaku tindak pidana di Rumah Tahanan harus bertujuan untuk mengintegrasikan narapidana kedalam masyarakat.

Pemasyarakatan merupakan bagian paling akhir dari sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan terakhir sudah seharusnya terdapat harapan dan tujuan. Harapan dan tujuan tersebut berupa pembinaan dari Rumah Tahanan. Pada prinsipnya di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana haruslah berfungsi untuk membina yaitu bagaimana agar narapidana setelah keluar dari Rumah Tahanan

(21)

menjadi baik, dapat diterima masyarakat, mempunyai keterampilan hidup yang dibutuhkan, keseimbangan mental dan fisik, sebagaimana masyarakat pada umumnya. Serta dapat menjalankan dan mengembangkan fungsi sosialnya dimasyarakat dengan sebaik-baiknya.

Segala bentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuan diatas yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi pola pembinaan dan keterampilan tidak terlepas dari keikutsertaan narapidana dalam melaksanakan dan menilai pembinaan yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pemahaman serta tanggapan narapidana terhadap kegiatan tersebut. Maka persepsi narapidana sangat memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan.

Bagan berikut ini akan menunjukkan kerangka pemikiran secara skematis, yaitu:

Bagan 2.1. Kerangka Pemikiran

Pola

Narapidana Persepsi Pengetahuan Pemahaman Tanggapan

(22)

F. Defenisi Konsep dan Defenisi Opersional F.1. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau istilah yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1998:33).

Untuk lebih mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang digunakan, maka dibatasi konsep yang akan digunakan sebagai berikut:

1. Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderaan. Dalam penelitian ini persepsi didefenisikan sebagai pengetahuan, pemahaman dan tanggapan narapidana terhadap pola pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas II-B Sidikalang.

2. Pola Pembinaan adalah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki pribadi, budi pekerti, membangkitkan harga diri pada diri sendiri dan orang lain. Serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.

3. Narapidana yaitu terpidana yang menjalani hilang kemerdekaan. 4. Rumah Tahanan Negara adalah unit pelaksana teknis tempat

tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan.

(23)

F.2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah:

1. Pengetahuan narapidana tentang jenis-jenis pembinaan 2. Pemahaman narapidana terhadap tujuan pembinaan 3. Tanggapan narapidana terhadap pelaksanaan pembinaan

4. Tanggapan narapidana terhadap sarana dan prasarana Rumah Tahanan Negara klas II-B Sidikalang.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan teknik catat dalam penelitian ini yaitu, dengan mencatat kalimat yang mengandung sentaku no setsuzokushi aruiwa dan soretomo yang terdapat pada novel Norwei no

(5) Dalam hal data yang disampaikan oleh produsen data telah sesuai dengan prinsip Satu Data Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, perangkat daerah

Atribut-atribut yang memberikan kontribusi terbesar pada setiap dimensi adalah atribut yang perlu ditangani dengan baik untuk keberhasilan pengelolaan terum- bu

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

Dalam penelitian ini akan digunakan fungsi kernel RBF karena dapat memetakan data input secara nonlinear ke dimensi yang lebih tinggi sehingga diharapkan dapat menangani

Dari banyaknya perawatan yang dilakukan disebuah klinik kecantikan terkadang fasilitas yang ada dijadikan multifungsi atau digunakan untuk segala aktivitas yang

3 Penelitian ini menggunakan pengukuran kelelahan kerja dengan metode objektif dan subjektif.Metode objektif menggunakan alat waktu reaksi (reaction timer) dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Analisis Laporan Keuangan untuk Meningkatkan Kinerja Keuangan Perusahaan. Metode dalam penelitian ini penulis menggunakan