• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium Development Goals (MDGs) yang sering disebut Tujuan Pembangunan Milenium berkomitmen mewujudkan tujuan MDGs tersebut, sebagai perwujudan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik. Secara nasional komitmen tersebut dituangkan dalam berbagai Dokumen Perencanaan Nasional, antara lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2004 – 2025, kemudian dipertegas pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010–2014 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan (Bappenas, 2010).

Sampai tahun 2010, Indonesia telah mencapai berbagai sasaran dari Tujuan Pembangunan Milenium yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: (a) sasaran yang telah dicapai; (b) sasaran yang menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on track); dan (c) sasaran yang masih memerlukan upaya keras untuk pencapaiannya (Bappenas, 2010). Salah satu sasaran dari Tujuan Pembangunan Milenium yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 adalah keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia untuk menurunkan angka kematian balita dari 97 per 1.000 kelahiran pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada tahun 2007 dan pada

(2)

tahun 2011 telah berhasil turun sampai 32 per 1.000 kelahiran. Sehingga pada tahun 2011 dari 41 negara bagian dari Asia-Pacific, Indonesia menduduki posisi ke-17 negara yang memiliki jumlah kematian anak usia dibawah 5 tahun (SDKI, 2007; UNICEF, 2012a).

Masa lima tahun pertama merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini sangat pendek serta tidak dapat diulangi lagi, maka masa balita disebut juga sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window opportunity) dan “masa kritis” (critical period). Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Depkes RI, 2006). Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan terhadap penyakit yang dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan menjadi terganggu atau bahkan dapat menimbulkan kematian (WHO, 2008).

The United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebutkan bahwa angka kematian balita adalah salah satu indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat. Dari 6,9 juta kematian anak dibawah 5 tahun yang terjadi di tahun 2011 diseluruh dunia, hampir dua pertiga (64%) disebabkan karena penyakit menular dengan kondisi seperti pneumonia, diare, malaria, meningitis, tetanus, HIV dan campak (UNICEF, 2012b).

(3)

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain (Depkes RI, 2002). Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pneumonia merupakan penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare diantara balita. Proporsi pneumonia sebagai penyebab kematian sebesar 15,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian balita di Indonesia (Riskesdas, 2007).

Menurut Wilson (2006), pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Pneumonia juga didefenisikan sebagai proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi pada bronkus yang biasa disebut bronchopneumonia (Pusat Informasi Penyakit Infeksi, 2007).

Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa (Misnadiarly, 2008). Di Amerika Serikat misalnya pada tahun 2007 terdapat 1,2 juta orang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia dan lebih dari 52.000 orang meninggal akibat penyakit ini, di dunia setiap 20 detik seorang anak meninggal akibat pneumonia (CDC, 2012). Daerah Eropa dan Amerika Utara kejadian pneumonia 34- 40 kasus per 1.000 anak, kebanyakan kasus

(4)

pneumonia pada anak usia prasekolah yaitu, empat bulan sampai lima tahun (Ostapchuk, dkk, 2004). Menurut UNICEF pada tahun 2010 dari hasil distribusi penyebab kematian 7,6 juta balita di dunia, kontribusi terbesar adalah disebabkan oleh pneumonia yaitu sebesar 18%, yang terjadi pada postneonatal sebesar 14% dan neonatal sebesar 4% (UNICEF, 2012b). Didalam Pedoman Pengendalian ISPA tahun 2011 menyebutkan bahwa di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik). Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih dari 98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi dinegara berkembang.

Di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan sebanyak 860.000 balita meninggal dunia setiap tahunnya atau sekitar 98 anak meninggal setiap jam. Pneumonia merupakan “predator” balita nomor satu di negara berkembang. Kematian umumnya adalah pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 2007). WHO memperkirakan lebih dari 90% kematian anak disebabkan oleh penyakit infeksi pneumokokus yang terjadi di negara berkembang (PERSI, 2011). Dari 15 negara dengan jumlah tertinggi kasus baru pneumonia, Indonesia menempati posisi ke-enam dengan rincian, India (43 juta), China (21,1 juta), Pakistan (9,8 juta), Bangladesh (6,4 juta), Nigeria (6,1 juta) dan Indonesia (6,0 juta) (WHO, 2008).

Proporsi kematian balita akibat pneumonia di Indonesia mencapai 30 %. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2002a). Menurut Survei Demografi Kesehatan

(5)

Indonesia, prevalensi Pneumonia Balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2 % pada tahun 2007.

Berdasarkan data profil Kesehatan Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2010 diperoleh jumlah kasus pneumonia yang meningkat secara bermakna. Untuk tahun 2007 jumlah kasus pneumonia pada balita sebanyak 477.420 kasus (21,52%), tahun 2008 sebanyak 392.923 kasus (18,81%), tahun 2009 sebanyak 390.319 kasus (22,18%), tahun 2010 sebanyak 499.259 kasus (23%), dan tahun 2011 sebanyak 480.033 kasus (20,59%). Case Fatality Rate (CFR) pneumonia paling tinggi di antara 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit yaitu tahun 2006 sebesar 2,92%, selanjutnya pada tahun 2007 sebesar 3,8%, pada tahun 2009 sebesar 6,63% dan pada tahun 2010 sebesar 7,60%. Insiden pneumonia balita tertinggi (>4%) pada tahun 2005 ada di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bangka Belitung, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah (Bulletin Jendela Epidemiologi, 2010).

Pada tahun 2011 dari 33 provinsi di Indonesia, Sumatera Utara merupakan provinsi yang menduduki posisi ke-7 tertinggi dengan 16.688 jumlah kasus pneumonia pada balita. Dengan jumlah kematian balita akibat pneumonia sebanyak 56 kasus (CFR sebesar 3,35‰) (Profil Kesehatan RI, 2012).

Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor Risiko pneumonia. Faktor Risiko yang teridentifikasi meliputi: status gizi, berat lahir rendah, kurangnya pemberian ASI Eksklusif, imunisasi campak dan kepadatan rumah (WHO-UNICEF, 2006). Berdasarkan hasil penelitian di beberapa Negara dan di Indonesia

(6)

dan berdasarkan publikasi ilmiah, dilaporkan bahwa faktor Risiko yang dapat meningkatkan insiden pneumonia balita yaitu umur kurang dari 2 bulan, jenis kelamin laki-laki, status gizi kurang, berat badan lahir rendah, pemberian ASI tidak memadai, membedung anak (menyelimuti anak) berlebihan, defisiensi vitamin A dan pemberian makanan terlalu dini (Alimul, A. H., 2008).

Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang bervariasi. Menurut Prayudhy (2007), faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita adalah sosial ekonomi, dimana besar Risiko balita dari keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah untuk terkena pneumonia adalah 1,75 kali lebih besar dibandingkan dari keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi. Faktor lingkungan yang terdiri dari kepadatan rumah, ventilasi rumah, dan letak dapur. Besarnya Risiko balita yang tinggal di rumah padat untuk terkena pneumonia 1,71 kali lebih besar dibandingkan yang tinggal di rumah tidak padat. Untuk ventilasi rumah yang buruk, balita akan beRisiko terkena pneumonia 1,78 kali lebih besar dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi rumah baik. Sedangkan untuk letak dapur, dimana besarnya Risiko balita yang kamar tidurnya menyatu atau dekat dengan dapur untuk terkena pneumonia adalah 1,91 kali lebih besar dibandingkan yang jauh dari dapur. Sedangkan menurut Heda Melinda, Enny Harliany dan Nia Adriani (2010), faktor Risiko terjadinya morbiditas pneumonia berat pada balita adalah kurangnya sinar matahari yang masuk kedalam rumah dan balita tidak mendapat ASI secara Eksklusif. Pada tahun 2011, Evi Risa, Hammad dan Ferliansyah menyatakan bahwa pengetahuan ibu yang tidak baik tentang pencegahan terjadinya pneumonia pada

(7)

balita akan meningkatkan Risiko kejadian pneumonia pada anak. Susi Hartati (2011), menyatakan di Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta, faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita yaitu usia, riwayat pemberian ASI, status gizi, riwayat imunisasi campak dan imunisasi DPT. Sebuah penelitian Hospital-Based yang dilakukan oleh Shah, et al (1996), dilakukan pada 400 anak dibawah usia 5 tahun untuk mengidentifikasi faktor Risiko pneumonia berat. Faktor Risiko yang muncul dan signifikan yaitu usia muda, imunisasi dan berbagi kamar tidur, pendidikan orang tua, pencemaran lingkungan, penghentian pemberian ASI pada bayi muda, kekurangan gizi, tidak berespon terhadap pengobatan dini dan pemanfaatan obat non-allophatic. Koreksi faktor-faktor ini mungkin dapat mengurangi kematian akibat ISPA. Penelitian yang dilakukan oleh Tiewsoh, et al. (2009) pada 200 anak usia 2-60 bulan yang dirawat dengan pneumonia berat sesuai criteria dari WHO di rumah sakit di India didapatkan faktor Risiko yang terkait dengan kegagalan pengobatan dan memerlukan perubahan antibiotik serta lamanya hari rawat di rumah sakit adalah kepadatan rumah dan tidak mendapatkan ASI Eksklusif.

Melihat banyaknya faktor Risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dan tingginya angka kematian akibat pneumonia pada balita, maka strategi penanggulangan pneumonia penting dilakukan oleh setiap Negara untuk mendukung tercapainya tujuan keempat dari MDGs tahun 2015 yaitu mengurangi kematian balita 2/3 dari angka kematian tahun 1990.

Survei pendahuluan yang dilakukan, pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu ditangani di Kabupaten Karo, khususnya pneumonia

(8)

yang terjadi pada balita. Dimana Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang digolongkan kedalam penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan menduduki posisi pertama yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Kabupaten Karo. Jumlah kasus pneumonia pada balita yang terjadi di Kabupaten Karo adalah 283 kasus yang menyebar di 17 kecamatan (Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, 2012). Dari jumlah seluruh kasus tersebut 96 kasus tercatat sebagai pasien rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Melihat masih tingginya kasus pneumonia di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam upaya menurunkan kasus pneumonia adalah dengan melihat faktor Risiko terjadinya pneumonia. Dengan diketahuinya faktor Risiko tersebut diharapkan perencanaan pencegahan dan penanggulangan penyakit pneumonia pada balita dapat lebih efektif.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan kasus pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe yang masih tinggi, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis faktor Risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013

(9)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT, status pemberian vitamin A, status gizi balita, pemberian ASI eksklusif, berat badan lahir, riwayat Asma) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

2. Menganalisis pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

3. Menganalisis pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

4. Menganalisis pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

5. Menganalisis faktor Risiko yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Ada pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT, status

(10)

lahir, riwayat Asma), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

2. Ada pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

3. Ada pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

4. Ada pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian menjadi acuan sebagai sumber informasi mengenai kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo sehingga memberikan masukan kepada Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo untuk dapat disusun langkah nyata menurunkan serta menanggulangi kasus pneumonia pada balita.

2. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

sehingga penurunan debit banjir di hilir waduk akan lebih besar atau. perubahan antara inflow dan outflow hidrograf

a) Lingkungan perumahan merupakan bagian dari kawasan perkotaan sehingga dalam perencanaannya harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen

Penulis dalam pendekatan yang di gunakan adalah melalui pendekatan empirik yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk menemukan fakta yang sebenarnya yang terjadi, untuk

• Bilangan yang mengisi field type (lihat halaman 7) selalu lebih besar dari 1518 • Panjang maksimum frame Ethernet adalah 1518 bytesY.  Bila isi field type/length merupakan

Although you may not be too interested in what the member’s profile page looks like, you also get details on the user’s time zone setting, the number of status messages that user

Purwanto, 2002 Elemen-elemen utama yang signifikan pada jalur pedestriandi penggal jalan ahmadyani, womosobo Mendapatkan alternative solusi konflik kepentingan di jalur

 Post-traumatic stress disorder: terjadi pada individu- individu yang mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis.  Kemudian mengalami kembali kejadian melalui mimpi buruk,

Sampai saat ini Kabupaten Kebumen, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, hanya mengeluarkan brosur, booklet, kalender serta buku panduan sebagai media