• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Etos Kerja

1. Pengertian Etos Kerja

Keberhasilan suatu organisasi baik besar maupun kecil bukan semata-mata ditentukan oleh sumber daya alam yang tersedia, akan tetapi banyak ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang berperan merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan organisasi (Manullang, 2005). Manajemen sumber daya manusia yang dilaksanakan dengan baik akan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam usaha mencapai sasaran organisasi atau perusahaan (Triton, 2005).

Setiap organisasi yag selalu ingin maju, akan melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap organisasi harus memiliki etos kerja. Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu.

Etos kerja berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak hanya dimiliki individu tetapi juga dimiliki oleh masyarakat.

Menurut Tasmara (1995), etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta cara memandang, mengekspresikan, meyakini dan memberikan makna pada suatu yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal. Sedangkan menurut Anoraga dan Suryanti (2001) etos kerja diartikan sebagai pandangan dan sikap suatu bangsa atau

(2)

umat terhadap kerja. Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja.

Etos kerja menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus mendefinisikan kerja sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yng imperatif dari diri maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang bersifat sakral. Identitas diri yang terkadung dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius (agama).

Berpijak pada pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka etos kerja memiliki unsur penilaian individu, dan dapat ditegaskan bahwa etos kerja dapat memberikan penilaian terhadap kinerja karyawan.

Menurut Anoraga (2001) etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.

(3)

Dalam situs resmi kementerian KUKM, etos kerja diartikan sebagai sikap mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada Webster's Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai; Earnestness or fervor in working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Dari rumusan ini kita dapat melihat bagaimana etos kerja dipandang dari sisi praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya peningkatan produktivitas.

Dalam rumusan Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi etos kerja dan budaya. Sinamo (2005) memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses sejati dan otentik.

Melalui berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.

(4)

2. Aspek-Aspek Etos Kerja

Seseorang dalam bekerja melibatkan kemampuan yang dimilikinya, serta dipengaruhi oleh nilai-nilai harapan, dan nilai-nilai yang berbeda, oleh karena itu antara satu orang dengan orang yang lain akan menunjukan menunjukan cara kerja yang berbeda-beda. Seseorang yang yang memiliki etos tinggi diasumsikan memiliki kecerdasan spiritual yang lebih baik daripada seseorang dengan etos kerja rendah. Tinggi rendahnya etos kerja dapat diketahui dengan berbagai indikator.

Menurut Moehadjir (2000) etos kerja yang tinggi akan nampak dalam bentuk seperti kerja dengan rasa puas, tidak mudah lesu, saling membantu, kerja tambahan dikerjakan tanpa mengeluh, kekurangan alat dan biaya serta keahlian diterima dengan penuh perhatian, sebaliknya seseorang dengan etos kerja rendah diasumsikan akan mudah putus asa dalam bekerja, kurang disiplin, cepat mengeluh dan tidak bekerjasama.

Mustansyir (1993) mengutip pendapat Myrdal tentang tiga belas aspek manusia industri, antara lain :

a. Efisien

b. Ketekunan atau kerajinan c. Keteraturan

d. Ketepatan waktu e. Kejujuran f. Sederhana

(5)

h. Kegesitan dalam memanfaatkan waktu dan kesempatan-kesempatan yang muncul

i. Pandai memanfaatkan peluang dalam menghadapi perubahan dunia j. Melaksankan usaha secara energik

k. Integritas dan percaya pada diri sendiri l. Sikap menjalin kerjasama

m. Mau memandang jauh ke depan

Cherington (Hadipranata, 2000) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja seseorang dapat dilihat dari tiga indikator, antara lain:

a. Kerja sebagai kewajiban moral dan religius untuk mengisi kehidupannya.

Setiap orang memiliki penilaian dan pandangan yang berbeda tentang kerja. Ada sebagian orang yang bekerja hanya didasarkan pada keinginan untuk memenuhi kenutuhan hidupnya, namun ada juga sebagian orang yang mempunyai pandangan bahwa bekerja merupakan bentuk kepatuha terhadap Tuhan atau kewajibannya. Dasar berpijak yang dimiliki oleh seseorang ini sangat mempengaruhi prestasi seseorang dalam bekerja. Pekerjaan yang dilakukan dengan dilandasi oleh pertimbangan moral merupakan pekerjaan bermoral. Menurut Dhurkheim (Cheppy, 1988) pekerjaan bermoral mempunyai tiga komponen pokok :

1) Menghargai kedisiplinan

2) Dapat menempatkan diri dalam kelompok maupun masyarakat 3) Mengetahui alasan tertentu akan perbuatan atau tingkah lakunya

(6)

Lebih lanjut ketiga komponen tersebut merupakan kualitas-kualitas yang sejalan dengan kehidupan pada lingkungan kerjanya maupun pribadinya. Ketiga komponentersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain, namun secara bersama-sama mewujudkan keseimbangan yang baik anatara pekerja dengan lingkungan sosial kerja. Jadi dengan kata lain pekerja yang menganggap bekerja sebagai kewajiban moral akan menurut cara yang merefleksikan kesan yang secara konsisten, sadar dan bahagia dalam ntindakan-tindakannya.

Cheepy (1988) yang mengutip pendapat Wilson mengatakan bahwa yang dimaksud bertindak secara moral adalah :

1) Berdasarkan suatu penalaran dan mengkaitkan dengan kepentingan orang lain

2) Konsisten dengan logikanya

3) Mengetahui fakta dan bersedia menghadapinya

4) Menerapkan semua keterampilan yang diwujudkan dalm tindakan dan tingkah laku.

Konsep kerja menurut Cherington (Kustono, 2001) didasarkan atas pendapat bahwa orang hidup harus bekerja, memberikan layanan pada masyarakat atau orang lain. Seseorang percaya bahwa bekerja merupakan hukum alam, sehingga setiap orang harus bekerja agar bisa bertahan hidup. Selain itu seseorang yang bekerja bertujuan mengarahkan hidupnya agar mempunyai martabat, lebih dihargai dan

(7)

berguna bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Dengan demikian seseorang yang menganggap bekerja sebagai kewajiban moral akan selalu berusaha memenuhikwajibannya dalam bekerja.

b. Disiplin kerja tinggi

Disiplin merupakan sikap kejiwaan seseorang atau sekelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Ravianto, 1986). Lebih lanjut dijelasakan bahwa disiplin adalah kesadaran diri untuk mentaati nilai, norma dan aturan yang berlaku dalam lingkungannya. Berkaintan dengan pekerjaan, disiplin kerja adalah ketaatan melaksanakan aturan-aturan yang diwajibkan oleh pihak manajemen agarsetiap karyawan dapat melaksanakan pekerjaan dengan tertib. Aturan-aturan tersebut dapat berupa aturan-aturan tertulis yang disepakati bersama, atau berupa aturan-aturan tak tertulis yang merupakan kesepakatan bersama.

Seseorang memiliki disiplin kerja yang tinggi akan senantiasa patuh pada peraturan-peraturan yang ada, baik tertulis maupun tak tertulis. Kepatuhan bisa berujud kepatuhan terhadap jam kerja dan kepatuhan terhadap prosedur kerja. Seseorang dengan etos kerja tinggi cenderung lebih disiplin dibandingkan dengan seseorang dengan etos kerja yang rendah. Hal tersebut disebabkan karena mereka merasa kurnag efektif kalau tidak menepati aturan yang ada. Keyakinan akan pentingnya disiplin kerja akan membuat mereka lebih lama bertahan dalam bekerja, sehingga mereka akan lebih produktif.

(8)

Kedisiplinan berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dipegang seseorang. Meskipun sifat dari nilai adalah relatif menetap dalam diri seseorang, namun dengan menciptakan iklim kerja yang baik tidak menutup kemungkinan seseorang berubah taraf kedisiplinannya. c. Rasa bangga atas hasil karyanya

Perasaan biasanya ditafsirkan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif karena lebih banyak dipengaruhi keadaan dalam diri seseorang dan berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan berbagai taraf. Menurut Wilson yang dikutip oleh Suryabrata (1982) bahwa timbulnya hal-hal yang idak menyenagkan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang asalanya bisa berasal dari dalam atau luar individu.

Perasaan atas hasil karya merupakan perasaan harga diri yang positif, artinya perasaan ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat positif. Sebagai contoh: orang akan merasa bangga jika orang tersebut mendapat pujian, hadiah dan tanda jasa. Seorang pekerja yang mempunyai rasa bangga atas hasil karyanya cenderung akan mempertahankan hasil karyanya tersebut, karena seseorang cenderung mengulang sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya.

Perasaan bangga seseorang atas hasil karyanya berkaitan erat dengan mutu hasil karya seseorang. Kualitas yang baik atas produk yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tetapi bermanfaat juga bgi peningkatan motivasi karyawan. Seorang

(9)

karyawan yang mampu menghasilkan produk berkualitas akan berusaha mempertahankan hasil keahliaanya itu dan berusaha mengadakan perbaikan untuk hasil yang optimal. Seorang akan merasa senang dan tidak merasa keberatan untuk bekerja keras. Kekurangan alat kerja tidak membuat mereka putus asa, karena bagi mereka yang terpenting menghasilkan produk yang berkualitas, dengan mempertahankan dan berbuat sebaik-baiknya agar produk keahliannya berkualitas sehingga tidak akan menurunkan rasa bangganya.

Berdasarkan beberapa aspek-aspek diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa aspek-aspek etos kerja adalah kerja sebagai kewajiban moral, disiplin kerja tinggi dan rasa bangga atas hasil karyanya.

3. Ciri-ciri Etos Kerja

Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan. (Muharram, 2001). Adapun ciri etos kerja menurut Muharram, 2001 yaitu :

a. Memiliki jiwa kepemimpinan (Leadership)

Kepemimpinan yang dimiliki diartikan suatu kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada lingkungan. Seorang pemimpin yang tinggi adalah orang yang mempunyai personalitas yang tinggi.

(10)

b. Selalu berhitung

Di dalm bekerja selalu memperhitungkan segala resiko dan aspek, bisa berkomitmen dan disiplin pada waktu.

c. Menghargai waktu

Mampu menyusun tujuan (goal), membuat perencanan kerja, dan kemudian melakukan evaluasi atas hasil kerja dirinya

d. Tidak pernah merasa puas

Bagi orang yang memiliki sikap tidak pernah puas dapat diartikan orang yang tidak pantang menyerah, dan mudah putus asa dalam setiap masalah yang dihadapi. Memiliki semangat untuk mengambil posisi dan memainkan perannya dalam bekerja.

e. Efisien

Menjauhkan sikap yang tidak produktif dan mubazir dari hal yang dapat merugikan diri dalam setiap pekerjaan yang dilakukan

f. Memiliki jiwa wiraswasta

Adanya semangat wiraswasta yang tinggi, memikirkan segala fenomena yang terjadi disekitar lingkungan, merenungkan, dan kemudian memiliki semangta untuk mewujudkan segala renungan yang teah dilakukan dalam setiap pekerjaan.

g. Memiliki insting bersaing dan bertanding

Semangat bertanding dan insting merupakan sisi lain dari citra orang untuk bekerja. Seorang pekerja yang memiliki semangat untuk bertanding dan memiliki insting memiliki etos kerja yang tinggi.

(11)

h. Keinginan untuk mandiri

Orang yang memiliki keinginan untuk mandiri memiliki semangat untuk mandiri yang dapat melahirkan sejuta keberhasilan atas usaha yang telah dilakukan dalam bekerja.

i. Haus akan keilmuan

Seseorang yang memiliki wawasan keilmuan tidak pernah cepat menerima sesuatu sebagai taken for granted karena sifat pribadinya yang kritis dan tak pernah mau untuk berdiam diri saja. Sikap orang yang demikian juga dapat terlihat jika berhadapan dengan lingkungan maka akan kritis dan melaukan analisa terhadap lingkungan sekitar. j. Berwawasan Makro Universal

Seorang pekerja yang memiliki wawasan makro akan menjadikan pekerja itu seorang yang bijaksana, mampu membuat pertimbangan yang tepat, serta keputusan lebih mendekati tngkat presisi yang terarah dan benar. Wawasan yang luas mampu mendorong untuk lebig realistis dalam membuat perencanaan dan tindakan.

k. Memperhatikan kesehatan

Seorang pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi dapat dibuktikan dengan pemeliharaan pada kebugaran jasmani agar dapat menunjang segala aktifitas dalam bekerja.

l. Ulet dan pantang menyerah

Keuletan merupakan modal yang sangat besar didalam menghadapi segala macam tantangan atau tekanan dalam dunia kerja.

(12)

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja

Menurut Panji Anoraga (2006) faktor yang mempengaruhi Etos Kerja ada tujuh yaitu:

1) Agama

Agama adalah pondasi dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu karena akan mempengaruhi pola hidup bagi penganutnya. Tingkah laku seseorang akan berdasarkan dengan ajaran agama yang dianut. Kualitas kerja juga dipengaruhi oleh kualitas agamanya.

2) Budaya

Etos kerja ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang ada dan tumbuh pada masyarakat yang bersangkutan. Etos kerja juga berpegang teguh pada moral etik dan tuhan.

3) Sosial politik

Struktur politik yang ada tergantung pada tinggi rendahnya etos kerja yang ada di masyarakat yang didasarai oleh kesadaran dan tanggung jawab pada Negara.

4) Kondisi lingkungan/ geografis

Etos kerja juga berhubungan dengan kondisi lingkungan, dalam lingkungan geografis ini terdapat banyak manfaat dan dapat dikelola yang nantinya akan mengangkat perekonomian dan lapangan pekerja baru bagi lingkungannya.

5) Pendidikan

Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan adanya pendidikan yang merata sehingga akan meningkatkan kualitas keterampilannya sebagai pelaku ekonomi.

(13)

6) Struktur ekonomi

Struktur ekonomi akan memberikan semangat kerja keras karena untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan primer dan sekunder sehingga mereka bekerja keras yang nantinya akan menikmati dari hasil kerja keras yang telah dilakukan sebelumnya. 7) Motivasi intrinsik

Orang yang mempunyai motivasi tinggi juga harus didasari dengan etos kerja tinggi karena etos kerja berhubungan dengan sikap dan nilai nilai yang diyakini kebenarannya. Motivasi ini harus sudah tertanam tidak hanya dalam diri sendiri tetapi dari luar juga.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja mempunyai ciri-ciri memiliki jiwa kepemimpinan, selalu berhitung, menghargai waktu, tidak pernah merasa puas, efisien, memiliki jiwa wiraswasta, memiliki insting bersaing dan bertanding, keinginan untuk mandiri, haus akan keilmuan, berwawasan makro-universal, memperhatikan kesehatan, ulet dan pantang menyerah.

B. Kontrak Psikologis

1. Pengertian Kontrak Psikologis

Kontrak psikologis yaitu suatu kumpulan harapan-harapan tidak tertulis yang ada dalam diri setiap individu dalam organisasi (tanpa memandang hirarki jabatan) yang selalu ada sepanjang individu tersebut ada dalam organisasi tersebut.

(14)

Kunci dari kontrak psikologis adalah mutualitas diantara individu dengan individu, maupun individu dengan organisasi, mutualitas ini muncul dan hanya terjadi jika masing-masing dari pihak yang berkepentingan memiliki tujuan yang ingin dicapainya dan mereka yakin bisa mencapainya, dan untuk menyeimbangkan kontrak psikologis tersebut kedua belah pihak yang berkepentingan harus merasa bahwa mutualitas ini akan menghasilkan sesuatu yang bernilai (Anoraga, 2009).

Menurut Amstrong dan Wood (dalam Conway dan Briner, 2005), kontrak psikologis sebagai kontrak informal tidak tertulis yang terdiri dari ekspektasi karyawan dan atasannya mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal-balik, sedangkan menurut Rousseau dan Tijoriwala, dkk (dalam Subagyo, 2012) kontrak psikologis merupakan suatu kepercayaan mengenai pemahaman terhadap janji-janji yang dibuat dan menawarkan pertimbangan-pertimbangan dalam perubahan yang mengikat antara pekerja dengan organisasi dalam rangka menyusun sebuah kewajiban timbal-balik.

Kotler (dalam Conway dan Briner, 2005) menjelaskan bahwa kontrak psikologis merupakan sebuah kontrak yang bersifat implisit antara seorang individu dan organisasinya yang menspesifikkan pada apa yang masing-masing harapkan satu sama lain untuk saling memberi dan menerima dalam suatu hubungan kerja.

Agyris (dalam Ayu, 2014) berargumen bahwa kontrak Psikologis dapat mendorong karyawan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi

(15)

dengan meminimalisir keluhan untuk memperoleh rasa aman dalam pekerjaan serta gaji yang lebih tinggi.

Isakson (dalam Conway dan Briner, 2005) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai persepsi terhadap harapan dan tanggung jawab yang bersifat timbal balik dalam perjanjian tenaga kerja.

Guest dan Conway (2005) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai persepsi terhadap hubungan dua pihak, karyawan dan perusahaan.

Sedangkan Menurut Herriot dan Pemberton (dalam Conway dan Briner, 2005) kontrak psikologis merupakan persepsi organisasi dan individu tentang kewajiban masing-masing pihak yang terbentuk secara tidak langsung dalam hubungan kerja.

Lebih jelasnya, Morrison and Robinson (dalam Conway dan Briner, 2005) mengemukakan bahwa kontrak psikologis mengacu pada keyakinan-keyakinan karyawan mengenai kewajiban-kewajiban yang bersifat timbal balik antara karyawan dan organisasinya, di mana kewajiban tersebut didasarkan pada janji-janji yang dipersepsikan dan tidak disadari dengan penting oleh agen-agen yang ada pada organisasi.

Menurut Rousseau (1995), kontrak psikologis timbul saat karyawan meyakini bahwa kewajibannya kepada perusahaan akan sebanding dengan haknya yang akan diberikan oleh perusahaan. Inti dari kontrak psikologis adalah keyakinan karyawan bahwa perusahaan/ organisasi akan menepati janji dan komitmen mereka. Adanya pelanggaran kontrak psikologis menimbulkan berbagai reaksi negatif karyawan.

(16)

Rousseau (dalam Conway dan Briner, 2005) mengemukakan beberapa hal mengenai kontrak psikologis:

a. Keyakinan yang mendasari kontrak psikologis

Definisi awal mengenai kontrak psikologis menekankan pada keyakinan tentang harapan dan kewajiban Schein, (dalam Rousseau, 1989) sedangkan definisi belakangan ini menekankan pada keyakinan tentang janji-janji (Rousseau, 1989).

Penggunaan istilah janji lebih jelas secara konseptual bila dibandingkan dengan harapan maupun kewajiban. Selain itu, istilah janji pun lebih berkaitan dengan ide kontrak. Untuk alasan ini, Conway dan Briner (2005) menggunakan istilah janji sebagai keyakinan utama dalam kontrak psikologis.

Dengan kata lain, istilah janji juga mengacu pada kewajiban dan harapan. Kewajiban dan harapan tersebut timbul dari janji-janji. Selain itu, janji dapat dilihat sebagai bagian dari kontrak psikologis. b. Sifat implisit pada kontrak psikologis

Pada awalnya, beberapa ahli seperti Kotler (1973) dan Schein (1980) menjelaskan bahwa kontrak psikologis bersifat implisit. Dewasa ini, para ahli menganggap bahwa kontrak psikologis mengandung janji baik itu yang bersifat eksplisit maupun implisit (dalam Conway dan Briner, 2005).

Janji yang bersifat eksplisit muncul dari persetujuan verbal atau tertulis yang dibuat oleh organisasi atau agen dari organisasi. Contoh sebuah janji yang bersifat eksplisit yaitu karyawan akan dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi oleh manajer apabila mencapai target yang

(17)

ditentukan. Janji tersebut dikatakan oleh agen organisasi secara verbal kepada karyawannya.

Di sisi lain, janji yang bersifat implisit muncul ketika karyawan telah melakukan upaya maksimal demi kepentingan organisasinya (Conway dan Briner, 2005). Kontrak psikologis muncul ketika karyawan meyakini bahwa janji perusahaan kepada karyawan akan sebanding dengan janji karyawan kepada organisasi (Rousseau, dalam Conway dan Briner, 2005).

Sebagai contoh, karyawan berkeyakinan bahwa organisasi akan menyediakan keamanan kerja dan memenuhi kebutuhan karyawan apabila karyawan bekerja dengan maksimal untuk kepentingan organisasi atau perusahaannya.

c. Sifat subjektif pada kontrak psikologis

Kontrak psikologis bersifat subjektif. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi individu mengenai keyakinan terhadap janji kedua belah pihak.

Menurut Macneil (dalam Conway dan Briner, 2005), setiap orang memiliki keterbatasan dalam memproses stimulus atau informasi yang diterima oleh otaknya (proses kognisi).

d. Kontrak psikologis bersifat timbal balik

Menurut Rousseau (dalam Conway dan Briner, 2005), kontrak psikologis merujuk pada perjanjian yang bersifat timbal balik antara dua pihak antara karyawan dan agen dari organisasi. Masalah timbal

(18)

balik ini penting, jika asumsi timbal balik tidak sah, maka akan menjadi sulit untuk menganggap kontrak psikologis sebagai suatu kontrak.

Pada dasarnya kontrak berhubungan dengan teori pertukaran. Konsep pertukaran ini terjadi manakala individu merasa berkewajiban untuk membalas terhadap yang lainnya apabila diyakini telah memberikan kontribusi kepada salah satu pihak.

e. Pihak-pihak dalam kontrak psikologis

Menurut Rousseau (dalam Conway dan Briner, 2005), definisi kontrak psikologis mengacu pada dua pihak yang melakukan kontrak, yaitu karyawan dan organisasi atau pemberi kerja. Pada pihak karyawan, pengukuran mengenai kontrak psikologis dapat dengan mudah diidentifikasi namun permasalahannya terletak pada siapa yang mewakili pihak organisasi, apakah manajer lini, direktur, ataukah Human Resource Development (HRD).

Berdasarkan teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa Kontrak psikologis merupakan sekumpulan perjanjian dan komitmen yang tidak tertulis namun ada dalam perjanjian antar dua belah pihak atau lebih. Hubungan ini menitikberatkan pada hubungan timbal balik antara karyawan dengan perusahaan. Walaupun tidak tertulis secara jelas, tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kontrak ini memainkan peran yang cukup besar dalam mengontrol dan memprediksi perilaku karyawan dalam perusahaan.

(19)

2. Faktor-Faktor Kontrak Psikologis

Kontrak psikologis berkembang sesuai lingkungan yang dinamis. Perkembangan kontrak psikologis merupakan hasil dari interaksi antara individu dengan organisasinya. Individu dibentuk oleh situasi dan situasi juga membentuk situasi. Sehingga kontrak psikologis adalah unik untuk individu.

Rousseau (1989) mengemukakan beberapa faktor dalam kontrak psikologis dari proses interaksionalnya sebagai berikut:

a. Transactional: Menunjukkan kerjasama yang terbatas durasinya

dengan kinerja yang ditentukan secara karakteristik sehingga mudah untuk terjadinya pergantian kontrak, hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat komitmen organisasi dan lemahnya integrasi dalam organisasi sehingga menyebabkan seringnya terjadi perpindahan karyawan.

Faktor transactional ini meliputi sub faktor : 1) Rendahnya integrasi atau identifikasi.

2) Sikap membatasi kontribusi terhadap organisasi. 3) Rendahnya komitmen.

4) Membatasi kefleksibelan atau ruang gerak.

b. Relational: Kerjasama lebih bersifat terbuka dengan kinerja ditentukan secara bebas, komitmen yang tinggi dan integrasi anggota organisasinya kuat.

Faktor relational ini meliputi sub faktor :

1) Menjalin hubungan dengan lebih terbuka, terjalinnya kebersamaan. 2) Menimbulkan loyalitas yang tinggi.

(20)

3) Menyangkut emosi yang menimbulkan motivasi berprestasi. 4) Terciptanya keamanan kerja.

c. Hybrid atau keseimbangan, mengutamakan untuk menyatukan

peraturan relational dan transactional.

Faktor Hybrid atau keseimbangan ini meliputi sub faktor: 1) Kesempatan untuk pengembangan karir.

2) Persyaratan kinerja yang dinamis.

Rousseau (1989), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kontrak psikologis sebagai berikut:

a. Pengupahan.

b. Relativitas keamanan kerja.

c. Kesempatan yang baik untuk promosi. d. Persaingan versus perlakuan jujur. e. Pengembangan karir.

f. Motivasi berprestasi. g. Komunikasi yang terbuka. h. Lingkungan kerja.

Arnold (dalam Conway dan Briner, 2005) dalam penelitiannya mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kontrak psikologis sebagai berikut:

a. Keamanan setiap saat.

b. Gaji adil sesuai kinerja yang baik. c. Struktur, skenario dapat diramalkan. d. Karir dimanajemeni oleh organisasi. e. Waktu dan penghargaan diusahakan.

(21)

f. Pendapatan dihubungkan dengan pengalaman atau status.

g. Menawarkan prospek karir dan mendukung hasil yang maksimal atau prestasi yang tinggi.

h. Saling mempercayai.

Berdasarkan pemaparan di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi kontrak psikologis diantaranya transactional, relational, dan hybrid atau keseimbangan.

3. Aspek-Aspek Kontrak Psikologis

Aspek kontrak psikologis mengacu pada keyakinan tentang janji-janji seorang karyawan kepada organisasi dan hal-hal yang dijanji-janjikan organisasi kepada karyawannya.

Conway dan Briner (2005) menekankan bahwa aspek kontrak psikologis mengacu pada keyakinan tentang janji-janji organisasi kepada karyawannya atas kontribusi mereka terhadap organisasi. Seperti upah, kesempatan promosi, pelatihan, peningkatan kesejahteraan.

Menurut De Vos (dalam Rousseu, 1989) kontrak psikologis mencakup aspek hubungan kerja baik yang dilakukan perusahaan kepada karyawan maupun karyawan kepada perusahaan. Organisasi berjanji kepada karyawannya dalam hal :

1) Pengembangan karir

Menawarkan kemungkinan untuk pengembangan dan promosi dalam organisasi (seperti kemungkinan untuk pengembangan, diangkat menjadi pegawai tetap, peluang promosi).

(22)

2) job konten (Penawaran Pekerjaan)

Penawaran pekerjaan, penawaran menantang, konten pekerjaan yang menarik, seperti kerja di mana karyawan dapat menggunakan kapasitas mereka.

3) Lingkungan sosial

Lingkungan sosialnya menawarkan lingkungan kerja dan menyenangkan seperti baik komunikasi antar rekan kerja, kerjasama yang baik dalam kelompok baik terhadap atasan maupun sesama rekan kerja.

4) Keuangan

Kompensasi penawaran ganti rugi yang tepat, seperti: remunerasi sepadan dengan pekerjaan, kondisi kerja yang memiliki konsekuensi pajak yang menguntungkan.

5) Keseimbangan dengan pribadi karyawan

Keseimbangan dengan pribadi karyawan penawaran menghormati dan pemahaman untuk situasi pribadi karyawan. Misalnya: fleksibilitas dalam jam kerja, pemahaman tentang keadaan pribadi.

Sedangkan janji karyawan yang merupakan wujud timbal balik adalah sebagai berikut:

a. Usaha dan performance kinerja

Kesediaan untuk bekerja lebih baik untuk kemajuan organisasi. Dengan cara meningkatkan prestasi kerja, bekerja baik secara kuantitatif dan kualitatif, dapat bekerja sama dengann baik terhadap pimpinan dan rekan kerja.

(23)

b. Keluwesan

Kesediaan untuk menjadi fleksibel dalam melaksanakan pekerjaan yang perlu dilakukan seperti bekerja lembur, membawa pulang kerja.

c. Loyalitas

Kesediaan untuk terus bekerja lebih lama untuk organisasi dengan cara tidak menerima setiap tawaran pekerjaan yang datang bersama, bekerja untuk organisasi selama beberapa tahun setidaknya. d. Berperilaku Lebih Baik

Kesediaan untuk bertingkah laku lebih baik terhadap organisasi. Seperti tidak membongkar rahasia dan informasi penting perusahaan, jujur berurusan dengan sumber daya dan anggaran.

e. Kecersediaan

Kesediaan untuk menjaga status ketersediaan pada tingkat yang dapat diterima, seperti: mengambil pelatihan yang tersedia, bersedia mengikuti jenjang pendalaman pendidikan dann ketrampilan jika dibutuhkan perusahaan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek dari kontrak psikologis adalah janji-janji organisasi kepada karyawannya dan juga sebaliknya seperti mengenai pengembangan karir, penawaran pekerjaan, lingkungan sosial di tempat kerja, keuangan dan keseimbangan dengan pribadi karyawan, agar terjalin hubungan kerja yang baik antara perusahaan kepada karyawan maupun karyawan kepada perusahaan.

(24)

C. Karyawan Kontrak

Karyawan kontrak menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 2003 adalah karyawan yang terikat dalam hubungan kerja secara terbatas dengan perusahaan atas dasar perjanjian kerja untuk jangka jangka waktu tertent (PKWT). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) mendefinisikan karyawan kontrak sebagai sebagai pegawai (buruh dan sebagainya) yang bekerja berdasarkan kontrak kerja (dalam waktu tertentu).

Menurut pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13/2000, definisi dan ketentuan yang berlaku untuk karyawan kontrak adalah :

1. Karyawan kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk jangka waktu tertentu saja, waktunya terbatas maksimal hanya 3 tahun.

2. Hubungan kerja antara perusahan dan karyawan kontrak dituangkan dalam “Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu”.

3. Perusahaan tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan .

4. Status karyawan kontrak hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan akan selesaidalam wakt tertentu, yaitu :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiaannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan

e. Untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tidak dapat diberlakukan status karyawan kontrak.

(25)

5. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

6. Jika setelah kontrak kemudian perusahaan menetapkan yang bersangkutanmenjadi karyawan tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa kerja.

Menurut pendapat Herawati (2010:1) “Kontrak dan outsourcing adalah bentuk hubungan kerja yang termasuk dalam kategori precarious work, istilah yang biasanya dipakai secara internasional untuk menunjukkan situasi hubungan kerja yang tidak tetap, waktu tertentu, kerja lepas, tidak terjamin/ tidak aman dan tidak pasti”. Sedangkan menurut Jehani (2010:5) “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pemberi kerja/pengusaha yang memuat syaratsyarat kerja, hak dan kewajiban para pihak mulai dari saat hubungan kerja itu terjadi hingga berakhirnya hubungan kerja”

(26)

Kontrak Psikologis 1. Pengembangan Karir 2. Penawaran Pekerjaan 3. Lingkungan Sosial 4. Keuangan 5. Keseimbangan dengan Pribadi Karyawan 6. Usaha dan Performance

Kinerja 7. Keluwesan 8. Loyalitas

9. Berperilaku lebih baik 10. Ketersediaan

Rousseau, D. M. (1989) D. Kerangka Berfikir

Gambar 1. Kerangka Pemikira

E. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat pengaruh kontrak psikologis terhadap etos kerja pada karyawan kontrak di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Etos Kerja

1. Kerja sebagai kewajiban moral dan religius untuk mengisi kehidupannya 2. Disiplin kerja tinggi

3. Rasa bangga atas hasil karyanya

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikira

Referensi

Dokumen terkait

Mengaplikasikan Kemudian penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wawasan pengetahuan dalam mengembangkan teori-teori yang berkaitan dengan manajemen dakwah yang

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Tradisi lokal masyarakat Bali sering menjadi inspirasi para pengarang untuk menulis karya sastra.Tiga prosa karya Oka Rusmini dalam kajian ini berlatar kehidupan

Melihat dari ketentuan penggunaan aplikasi GO-JEK saat ini bahwa secara keseluruhan isi dalam aplikasi tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

MOHAMMAD TRI HIDAYAT OUTMAN ARDY

Guan Hanqing menggunakan cerita Dong Hai Xiao Fu yang telah lama tersebar di kalangan rakyat sebagai karangan dasar dan menambahkan pengalamannya dalam kehidupan masyarakat Dinasti

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian metode drill bermedia flash card terhadap peningkatan pengetahuan dan praktik cuci