• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Gender dan Jenis Kelamin

Pada umumnya, masyarakat menganggap bahwa gender merupakan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai refleksi dari perbedaan jenis kelamin, bahkan pada masyarakat tertentu, gender dianggap sebagai kodrat Tuhan. Pengertian seperti ini sangat keliru, namun telah berkembang dan mengakar dalam budaya masyarakat. Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin.

Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Fakih (1999) dalam Qoriah (2008) mendefinisikan jenis kelamin sebagai pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat secara permanen pada diri seseorang yang tidak dapat dipertukarkan. Begitu pula yang dikemukakan oleh Mosse (1993) bahwa jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Handayani (2008) bahwa laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ reproduksi, sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.

Mosse (1993) menjelaskan bahwa jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang disebut dengan gender.

Istilah gender merupakan penafsiran yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari proses pembentukan struktur sosial dan kultural (Hadiprakoso, 2005). Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Fakih (1999) dalam Qoriah (2008) yakni gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum

(2)

laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Begitu pula yang dikemukakan oleh Mugniesyah (2002) bahwa konsep gender adalah perbedaan sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh sistem nilai budaya dan struktur sosial. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat di atas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu.

Holzner (1997) dalam Saptari (1997) menyatakan bahwa ideologi gender ialah segala aturan, nilai-nilai stereotipe yang mengatur hubungan antara wanita dan pria, melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria, sedangkan feminin merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita. Feminitas dan maskulinitas berkaitan dengan stereotipe peran gender. Lebih lanjut Mosse (1996) menjelaskan bahwa peran gender dapat berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran juga dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani, 2008).

(3)

2.1.2. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender bisa berakar dari ketimpangan hubungan gender tradisional (misalnya akses perempuan terhadap lahan) atau muncul dalam bentuk baru (masalah segregasi gender dalam industri modern) (Nainggolan, 2005). Kesenjangan peran gender merupakan kontruksi sosial yang secara sistematis terbentuk melalui budaya dan pendidikan, dan telah berjalan dalam waktu yang lama sehingga ketidakadilan gender dianggap sebagai hal biasa saja. Anggapan seperti ini bukan hanya milik laki-laki, sebagian besar perempuan juga berpikir demikian.

Fakih (2003) dalam Nainggolan (2005) menyatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequlities). Diperkuat dengan pendapat Hadiprakoso (2005), jika secara biologis perempuan dapat hamil lalu melahirkan sehingga perempuan memiliki peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak, sesungguhnya tidak menjadi masalah dan tidak perlu digugat. Namun persoalannya perbedaan peran gender tersebut telah terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga terbentuk anggapan bahwa peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus dan merawat anak. Perbedaan peran tersebut menghasilkan ketidakadilan gender.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) kemudian menjelaskan bahwa ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai korban dari sistem. Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah mempersepsi, memberi nilai serta dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan beberapa bentuk ketidakadilan gender sebagai berikut:

2.1.2.1. Marginalisasi Perempuan

Bentuk manifestasi ketidakadilan gender adalah proses merginalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi

(4)

ilmu pengetahuan. Nainggolan (2005) menyebutkan terdapat beberapa contoh marginalisasi perempuan antara lain:

a. Marginalisasi dalam Negara

Dalam praktik kehidupan bernegara pemimpin birokrasi jarang diberikan kepada perempuan, walaupun dalam pernyataannya dikatakan bahwa pimpinan birokrasi itu dapat dijabat perempuan. Akibat marginalisasi terjadi proses domestifikasi, sehingga pekerjaan perempuan di sektor publik dianggap ketidaknormalan, sekedar mencari pekerjaan tambahan. Selain itu marginalisasi juga menyebabkan perempuan menjadi obyek, seperti obyek alat kontrasepsi.

b. Marginalisasi dalam Masyarakat

Dalam proses pembangunan, perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut serta mengambil keputusan. Pendapat perempuan jarang didengarkan. Perempuan diberi tugas melaksanakan pekerjaan hasil keputusan laki-laki.

c. Marginalisasi dalam Organisasi atau tempat kerja

Penerimaan kerja dalam suatu lembaga/organisasi, diutamakan untuk laki-laki dengan alasan perempuan kurang produktif (misalnya cuti hamil dan sakit karena haid). Apabila ada lowongan jabatan pimpinan, pihak laki-laki lebih mendapat prioritas, sementara perempuan disingkirkan dari jabatan kepemimpinan sekalipun ia mampu melaksanakannya.

d. Marginalisasi dalam Keluarga

Perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami, sekalipun suami tidak bisa memimpin. Walaupun yang menyediakan makan ibu, tetapi bapak dan anak laki-laki yang didahulukan. Ibu dan anak perempuan juga membereskan semuanya, seperti mencuci piring, membersihkan meja makan, dan lain sebagainya. Apabila keuangan terbatas, pilihan yang harus sekolah adalah anak laki-laki, walaupun anak perempuannya lebih pandai. Istri dinyatakan “berdosa” bila tidak tersedia melayani kebutuhan seks suami, walaupun ia sangat penat karena bekerja, dan lain sebagainya.

(5)

e. Marginalisasi dalam Diri Sendiri

Dalam diri perempuan sendiri ada perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri, karena tidak percaya diri.

2.1.2.2. Subordinasi Terhadap Perempuan

Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai lelaki.

2.1.2.3. Stereotype

Stereotype adalah pelabelan negatif terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu, biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yag kuat, rasional, jantan, dan perkasa sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotipe yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan lelaki dan perempuan. Oleh karena perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri.

2.1.2.4. Beban Kerja Ganda

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik

(6)

menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu, perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah.

2.1.2.5. Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang bersumber dari anggapan gender disebut sebagai “gender-related violence”, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) menyatakan bahwa ketidakadilan gender dapat bersifat:

1. Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

2. Tidak langsung, seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu.

3. Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma, atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI (2002) mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi

(7)

penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

2.1.3. Analisis Gender

Analisis Gender adalah kerangka kerja yang dipergunakan untuk mempertimbangkan dampak suatu program pembangunan yang mungkin terjadi terhadap laki-laki dan perempuan, serta terhadap hubungan ekonomi dan sosial di antara mereka (Handayani, 2008). Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan RI (2002) menyatakan bahwa analisis gender mencakup kegiatan-kegiatan yang dibangun secara sistemik untuk mengidentifikasikan dan memahami pembagian kerja/peran antara perempuan dan laki-laki; akses dan kontrol yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki atas sumber-sumber daya serta hasil kinerja mereka; pola relasi sosial diantara perempuan dan laki-laki yang asimetris, dan dampak kebijakan, program, proyek, kegiatan-kegiatan pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki. Analisis gender memperhitungkan pula bagaimana faktor-faktor lain seperti kelas sosial, ras, suku, ekonomi-politik makro atau faktor-faktor lainnya berinteraksi dengan gender untuk menghasilkan keadaan yang diskriminatif. Analisis gender biasanya dilakukan pada tingkat mikro seperti keluarga, kelompok-kelompok kecil atau komunitas, dan pada semua sektor. Hadiprakoso (2005) menyatakan bahwa analisis gender merupakan analisis sosial (mencakup ekonomi, budaya, dan lain sebagainya) yang melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dari segi kondisi/situasi dan kedudukan/posisi di dalam keluarga dan masyarakat.

Secara garis besar terdapat tiga kategori alat yang dapat digunakan untuk menganalisis situasi dan posisi gender di dalam masyarakat dan keluarga (Handayani, 2008). Melalui teknik analisis gender berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungan dapat teridentifikasi. Ketiga teknik analisis gender tersebut adalah: (1) Kerangka Analisis Harvard, (2) Kerangka Analisis Moser, dan (3) Kerangka Pemberdayaan. Ketiga alat analisis gender tersebut secara singkat dijelaskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

(8)

Tabel 1. Matriks Alat Analisis Gender dan Pembangunan Tiga Kategori Utama Alat Analisis Gender

Kerangka Harvard* Kerangka Moser** Kerangka Pemberdayaan*** • Pembagian Kerja:

produktif, reproduktif, dan sosial budaya.

• Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat. • Faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam masyarakat. • Pembagian peran produktif, reproduktif, dan sosial budaya.

• Kebutuhan praktis (menyangkut kondisi). • Kebutuhan strategis

(menyangkut posisi)

• Penguasaan (kontrol). • Partisipasi aktif dalam

pengambilan keputusan. • Penyadaran. • Akses terhadap sumberdaya dan manfaat. • Kesejahteraan Alat ini dapat digunakan

untuk analisa sebelum membuat perencanaan program pembangunan.

Alat ini dapat digunakan

untuk perencanaan program/proyek

pembangunan.

Alat untuk melihat tahapan pemberdayaan (semakin bertahap ke arah dari kesejahteraan sampai ke penguasaan. Menggambarkan adanya pemerataan dan peningkatan perempuan. Sumber: Wigna, 2002

2.1.3.1 Kerangka Analisis Harvard

Kerangka analisis Harvard memadai untuk menggali data yang berguna pada tahap analisa situasi. Data yang dikumpulkan dapat bersifat umum maupun sangat rinci tergantung kebutuhan. Kerangka analisis ini juga mudah diadaptasi untuk beragam situasi. Selain itu kerangka merupakan alat baru untuk meningkatkan kesadaran gender dan alat latihan yang efektif untuk menganalisis situasi hubungan gender di dalam komunitas (masyarakat) atau suatu organisasi pembangunan. Kerangka analisis Harvard terdiri dari tiga komponen utama yaitu: 1. Pembagian Kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan laki-laki dan perempuan). 2. Profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses, dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan.

(9)

2.1.3.2 Kerangka Analisis Moser

Teknik analisis Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender, dengan menggunakan perdekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan, anti kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap peranan majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta identifikasi kebutuhan gender praktis-strategis.

Alat analisis gender yang dipakai oleh Moser adalah pembagian peran: produktif, reproduktif, dan sosial budaya; pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Peran atau kegiatan produktif adalah kegiatan yang menyumbang pendapatan keluarga dalam bentuk uang atau barang, misalnya bertani, berkebun, beternak, berdagang, kerajinan tangan, dsb. Kegiatan reproduktif adalah kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga, misalnya melahirkan dan mengasuh anak, pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci, mengambil air, mencari bahan bakar, dsb. Kegiatan sosial adalah kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga, tetapi yang menyangkut kegiatan masyarakat, misalnya berorganisasi dalam kelompok tani, koperasi, PKK, LKMD, kelompok simpan pinjam, dan partisipasi dalam kelompok agama dan sosial budaya. Pembagian peran dan kebutuhan praktis gender menggambarkan akses perempuan terhadap program sedangkan kebutuhan strategis gender menggambarkan kontrol perempuan terhadap program.

2.1.3.3 Kerangka Analisis Pemberdayaan

Pembangunan perempuan merupakan upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai pemerataan/persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada setiap tingkat proses pembangunan. Teknik analisis pemberdayaan atau teknik analisis Longwe sering dipakai untuk peningkatan pemberdayaan perempuan khususnya dalam pembangunan. Tingkatan proses pembangunan tersebut secara hierarkhis diawali dengan (1) tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), (3) tingkat penyadaran, (4) tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan), dan (5) tingkat penguasaan (kontrol).

(10)

Wigna (2002) menyatakan bahwa pemahaman akses (peluang) dan kontrol (penguasaan) perlu tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut, sedangkan kontrol (penguasaan) diartikan sebagai kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai akses terhadap sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol atas sumberdaya tersebut, dan sebaliknya. Dicontohkan Wigna bahwa seorang buruh yang menggarap tanah milik orang lain atau seorang anak yang disekolahkan orangtuanya di sekolah unggulan berarti memiliki akses, sementara seorang tuan tanah yang memanfaatkan lahannya atau seorang ayah yang memutuskan sekolah mana yang akan dimasuki anaknya ataupun seorang ibu yang memutuskan apa saja yang boleh dimakan oleh anggota keluarganya.

2.1.4. Pemberdayaan Perempuan Berdasarkan Analisis Gender

Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) bahwa pemberdayaan merupakan bentuk tindakan kolektif yang berfokus pada upaya menolong anggota masyarakat (khususnya golongan yang tidak beruntung/tertindas baik oleh kemiskinan maupun diskriminasi kelas sosial, gender) yang memiliki kesamaan minat untuk bekerjasama, mengidentifikasi kebutuhan bersama, dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan. Lebih lanjut, Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya.

Konsep pemberdayaan perempuan menurut Zothraa Nadaa (1999) dalam Riana (2003) adalah suatu kondisi atau langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kemitrasejajaran antara pria dan wanita dalam pembangunan. Kemitrasejajaran dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban, yang terwujud dalam

(11)

kesempatan, kedudukan, dan peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan saling mengisi di semua bidang kehidupan (Riana, 2003). Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan perempuan bukanlah sebatas upaya menjadikan perempuan menjadi berdaya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan sebuah upaya agar perempuan memiliki kesempatan dan status yang setara dengan laki-laki dalam berbagai bidang.

Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender, tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan tingkat kemiskinan, tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan atau program pembangunan terhadap masyarakat menurut perspektif gender, Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan praktis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan (Moser 1993 dalam Wigna 2002).

Suatu program pembangunan yang berwawasan gender seharusnya berusaha untuk mengidentifikasi ataupun memperhatikan kebutuhan komunitas. Dengan menggunakan pendekatan Gender And Development, kebutuhan komunitas tadi dibedakan antara kebutuhan laki-laki dan perempuan baik bersifat praktis maupun strategis. Kebutuhan praktis berkaitan dengan kondisi (misalnya: kondisi hidup yang tidak memadai, kurangnya sumberdaya seperti pangan, air, kesehatan, pendidikan anak, pendapatan, dll), sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan posisi (misalnya: posisi yang tersubordinasi dalam komunitas atau keluarga).

Pemenuhan kebutuhan praktis melalui kegiatan pembangunan kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses tersebut melibatkan input, antara lain seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan, klinik atau program pemberian kredit. Umumnya kegiatan yang bertujuan

(12)

memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan yang ada. Kebutuhan strategis biasanya berkaitan dengan perbaikan posisi perempuan (misalnya memberdayakan perempuan agar memperoleh kesempatan lebih besar terhadap akses sumberdaya, partisipasi yang seimbang dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan) memerlukan jangka waktu relatif lebih panjang.

2.1.5. Kesejahteraan dan Pembangunan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), miskin adalah tidak berharta benda atau serba kurang. World Bank (2003) menyatakan bahwa kemiskinan diukur dari pendapatan tertentu yakni dua dolar AS perhari. Sementara menurut Soekanto dalam Handayani (2009), kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidaksesuaian penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara terus-menerus dengan waktu relatif lama seiring dengan ritme kehidupan sehari-hari dan akan mempengaruhi tingkat konsumsi, kesehatan, dan proses pengambilan keputusan. Diperkuat oleh Hadiprakoso (2005) bahwa kemiskinan merupakan fenomena sosial yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi standar kebutuhan dasar sehari-hari. Supriyatna (1997) mengungkapkan bahwa suatu keadaan disebut miskin ditandai dengan kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer (mencakup pengetahuan dan ketrampilan) dan sekunder (mencakup jaringan sosial, sumber keuangan, dan sebagainya). Jika ditarik benang merah, maka dapat disimpulkan, kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana individu tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, pakaian dan rumah karena tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.

Sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah merancang berbagai program pembangunan yang bermuara pada pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat. Menurut Suharto (2005), kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti

(13)

makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Wattimena (2009) mengungkapkan bahwa tingkat kesejahteraan mengacu pada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbatasan dari kemiskinan, dsb. Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk investasi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto, 2005).

Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (2006), sebagai berikut:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

2. Kesehatan dan Gizi

Kesehatan dan gizi merupakan indikator dari kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik. Indikator tersebut meliputi angka kematian bayi dan angka harapan hidup yang menjadi indikator utama. Selain itu, aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi.

3. Pendidikan

Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antar lain ditandai dengan tingkat pendidikan. Aspek yang dapat menggambarkan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan yaitu anka melek huruf, tingkat partisipasi sekolah, dan putus sekolah.

(14)

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat, dimana tolak ukur keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan diantaranya adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja, dan pekerja anak.

5. Taraf dan Pola Konsumsi

Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya jumlah pendapatan penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Indikator distribusi pendapatan, walau didekati dengan pengeluaran, akan memberi petunjuk tercapai atau tidaknya aspek pemerataan. Dari data pengeluaran juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan non makanan.

6. Perumahan dan Lingkungan

Secara umum, kualitas rumah tinggal menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, dimana kualitas tersebut ditentukan oleh fisik rumah yang dapat terlihat dari fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fasilitas mencerminkan kesejahteraan rumah tangga tersebut diantaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, dan fasilitas tempat buang air besar.

7. Sosial Lainnya

Pembahasan mengenai aspek sosial lainnya difokuskan pada kegiatan yang mencerminkan kesejahteraan seseorang. Semakin banyaknya waktu luang untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak digunakan hanya untuk mencari nafkah.

Hakikat pembangunan adalah pengubahan dan pembaharuan, maka pembangunan merupakan proses yang dinamis dan berorientasi pada upaya tanpa akhir (Dudung, 2001). Pembangunan juga menyangkut proses bagaimana manfaat

(15)

itu diperoleh. Didukung oleh pendapat Sen dalam Prasodjo dan Wigna (2003), pembangunan seharusnya merupakan kapasitas yang berkelanjutan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Suharto (2005) menjelaskan bahwa fungsi pembangunan nasional dirumuskan ke dalam tiga tugas utama yang mesti dilakukan sebuah negara-bangsa, yakni pertumbuhan ekonomi, perawatan masyarakat, dan pengembangan manusia.

Pembangunan yang berkelanjutan hendaknya adalah program yang berperspektif gender, yakni program pembangunan yang melibatkan seluruh warga baik laki-laki maupun perempuan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Pada kenyataannya, hingga sampai saat ini, dalam implementasi program pembangunan masih terjadi bias gender terutama meminggirkan kaum perempuan dalam program. Perempuan tidak dilibatkan dalam program karena dipengaruhi oleh budaya patriakhi yang masih kental dalam masyarakat (Nainggolan, 2005).

2.1.6. Gambaran Umum PNPM-P2KP

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 pada tahun 2000, telah terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235 kota/kabupaten. Program ini telah memunculkan lebih dari 291.000 orang relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat (penduduk miskin), melalui 243.838 KSM. Dengan mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

2.1.6.1 Tujuan Umum dan Khusus PNPM-P2KP

Tujuan umum PNPM-P2TP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Adapun tujuan khusus program ini meliputi:

(16)

a. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

b. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, reperesentatif dan akuntabel.

c. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).

d. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.

e. Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya.

f. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal.

g. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.

2.1.6.2 Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip yang melandasi PNPM-P2KP

Pelaksanaan P2KP dilandasi oleh nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan yang bersifat universal, dan prinsip-prinsip-prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Sistem nilai yang mendasari P2KP adalah Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Gerakan Moral) di mana semua pelaku P2KP harus menjunjung tinggi dan melestarikan nilai-nilai kemanusian, antara lain: (1) jujur, (2) dapat dipercaya, (3) ikhlas/kerelawanan, (4) adil, (5) kesetaraan, dan (6) kesatuan dalam keragaman. Program ini harus dilandasi oleh Prinsip-Prinsip Universal Kemasyarakatan (Good Governance) dimana semua pelaku P2KP harus menjunjung tinggi, menumbuhkembangkan prinsip-prinsip tata kelola

(17)

pemerintahan yang baik, diantaranya (1) demokrasi, (2) partisipasi, (3) transparansi dan akuntabilitas, dan (4) desentralisasi.

Selanjutnya, Prinsip-Prinsip Universal Pembangunan Berkelanjutan (Tridaya) harus merupakan prinsip keseimbangan pembangunan, yang dalam konteks P2KP diterjemahkan sebagai keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan yang tercakup dalam konsep Tridaya, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection)

Kegiatan tersebut berorientasi pada upaya perlindungan/pemeliharaan lingkungan baik lingkungan alami maupun buatan termasuk perumahan dan permukiman, yang harus layak, terjangkau, sehat, aman, teratur, serasi dan produktif. Termasuk didalamnya adalah penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan yang kondusif dalam membangun solidaritas sosial dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

2. Pengembangan Masyarakat (Social Development)

Berorientasi pada upaya membangun solidaritas sosial dan keswadayaan masyarakat sehingga dapat tercipta masyarakat efektif secara sosial sebagai pondasi yang kokoh dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan masyarakat juga berarti upaya untuk meningkatkan potensi segenap unsur masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable groups) dan marjinal yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat;

3. Pengembangan Ekonomi (Economic Development); dalam upaya menyerasikan kesejahteraan material, maka upaya-upaya kearah peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat miskin dan atau penganggur perlu mendapat porsi khusus termasuk upaya untuk mengembangkan peluang usaha dan akses ke sumberdaya kunci untuk peningkatan pendapatan, dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan fisik dan sosial.

(18)

2.1.6.4 Sasaran PNPM-P2KP

Pada dasarnya, kelompok sasaran P2KP mencakup empat sasaran utama, yakni masyarakat, pemerintah daerah, kelompok peduli setempat dan para pihak terkait (stakeholders).

2.2. Penelitian Sebelumnya

Lu’Lu (2005) dalam penelitiannya mengenai keberhasilan P2KP di Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, melaporkan kan bahwa P2KP tidak berhasil mengentaskan kemiskinan,. Ketidakberhasilan ini ditunjukkan oleh fakta-fakta: (a) kesulitan penerima dalam mengembalikan dana pinjaman dari pemerintah karena banyak peminjam yang menunggak, (b) Pelaksanaan program bias gender, yakni perempuan tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan P2KP, sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Dengan perkataan lain, laki-laki lebih akses terhadap dana stimulan P2KP daripada perempuan. Demikian halnya dalam hal kontrol terhadap P2KP, dominan dilakukan laki-laki atau suami, bahkan pada beberapa rumah tangga, jika istri atau perempuan ingin mengambil kredit harus mendapat persetujuan dari suami terlebih dahulu. Dalam hal pemenuhan kebutuhan gender berdasarkan Teknik Analisis Moser, P2KP baru memenuhi kebutuhan praktis gender yakni peningkatan pendapatan, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan strategis gender, P2KP belum dapat memenuhinya. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa P2KP Kedung Badak tidak berhasil dalam mengentaskan kemiskinan.

Tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Lu’Lu, Nainggolan (2005) menemukan kegagalan P2KP di Kelurahan Ciseureuh, Kota Bandung, yakni dalam hal pengembalian pinjaman. Hampir seluruh anggota KSM di kelurahan tersebut menunggak cicilan pinjaman dana P2KP. Pengembalian pinjaman yang macet tentu saja tidak dapat menggambarakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, justru menambah beban yakni hutang baru yang harus segera dilunasi. Kegagalan program disebabkan oleh masih terjadinya bias gender dalam pelaksanaan P2KP di kelurahan tersebut. Budaya patriarkhi lah yang menjadi faktor utama macetnya pengembalian pinjaman. Dengan kata lain, laki-laki masih

(19)

dominan dalam pengambilan keputusan baik di dalam rumah tangga, maupun di dalam pelaksanaan program.

Hal yang hampir serupa mengenai ketidakberhasilan program pembangunan diungkapkan oleh Hardianti (2008), yang meneliti mengenai keberhasilan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini mengungkapkan bahwa P3S adalah program pemberdayaan pertanian bagi petani miskin atau buruh tani. Program inipun juga dinilai tidak berhasil dilihat berdasarkan analisis gender. P3S hanya diakses oleh petani laki-laki dikarenakan masih lekatnya budaya patriarkhi sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam program.

Program pembangunan lain yang dinilai tidak berhasil berdasarkan Analisis Gender adalah pada penelitian Qoriah (2008) mengenai Program Desa Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan, masih terjadi bias gender yang terlihat dalam pembagian kelompok afinitas yang didominasi oleh laki-laki. Hampir serupa dengan dua kasus sebelumnya, Program Desa Mandiri Pangan dapat dinilai tidak berhasil jika dilihat dari segi analisis gender. Program tersebut hanya sekadar memenuhi kebutuhan praktis gender, yakni mengatasi kerawanan pangan pada masyarakat miskin, tetapi belum memenuhi kebutuhan strategis gender yakni menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan bermasyarakat.

2.3. Kerangka Pemikiran

Gender berbeda dengan jenis kelamin. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dibentuk oleh faktor sosial, maupun budaya sehingga lahirlah anggapan tentang peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi jenis kelamin pada laki-laki dan perempuan mengakibatkan munculnya perbedaan peran sosial diantara keduanya. Perbedaan peran sosial ini terbentuk melalui proses yang sangat panjang sehingga umumnya masyarakat menganggapnya sebagai kodrat Tuhan, seperti misalnya, perempuan memiliki sel telur sehingga perempuan bisa melahirkan, maka tak

(20)

heran jika perempuan memiliki sikap penyayang, lemah lembut, mampu merawat anak. Anggapan seperti ini melalui proses yang sangat panjang dan terjadi terus-menerus sehingga menjadi kebudayaan masyarakat tertentu. Pemahaman yang keliru mengenai perbedaan peran sosial inilah yang disebut dengan ideologi gender yang tinggi yakni membeda-bedakan peran sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik. Kemiskinan bagi Indonesia masih merupakan isu penting yang sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu, pemerintah gencar mengeluarkan berbagai program pembangunan yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan, salah satunya adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). P2KP dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program P2KP dinilai berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, sehingga pada tahun 2008 program tersebut bergabung ke dalam Program PNPM Mandiri yakni sebuah program terpadu yang khusus menangani permasalahan kemiskinan. P2KP yang saat ini lebih dikenal sebagai Program PNPM-P2KP tidak hanya bergerak di wilayah perkotaan saja, tetapi juga mulai merambah ke kelurahan-kelurahan di wilayah kabupaten.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang semakin menurun, yakni dari 79,4 juta orang (BPS, 2000) menjadi 32,5 juta orang pada tahun 2009 (BPS, 2009), menunjukkan bahwa program pembangunan pengentasan kemiskinan dinilai berhasil dalam pelaksanaannya. Sayangnya, keberhasilan program ini hanya dilihat secara general saja, artinya program pengentasan kemiskinan dikatakan berhasil jika program tersebut mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Misalnya PNPM-P2KP, program ini dikatakan berhasil dilihat dari semakin banyaknya pemanfaat atau munculnya KSM-KSM baru serta lancarnya pengembalian pinjaman dana usaha yang diberikan selama satu periode.

Mengacu pada salah satu tujuan khusus yang ada dalam Pedoman Umum Pelaksanaan PNPM-P2KP, disebutkan bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi kelompok perempuan dalam upaya pengentasan

(21)

kemiskinan, sehingga dapat disimpulkan bahwa PNPM-P2KP merupakan program pemberdayaan perempuan. Artinya, dalam setiap pelaksanaan program, peran perempuan sama pentingnya dengan laki-laki. Sayangnya, sampai saat ini peran perempuan dinilai masih rendah dibanding laki-laki. Sejauhmana keterlibatan perempuan dalam Program PNPM-P2KP dapat dianalisis dengan menggunakan alat analisis gender yakni akses dan kontrol terhadap pelaksanaan program PNPM-P2KP baik dalam tataran keorganisasian (KSM) maupun sasaran program (individu).

Tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi anggota KSM dan mendapat pinjaman dari Program PNPM-P2KP diduga memiliki hubungan dengan pengembalian pinjaman, yakni jika tingkat pendidikan tinggi maka tingkat pengembalian pinjaman juga tinggi. Besarnya pinjaman menggambarkan nominal uang yang diterima oleh anggota KSM setiap periode. Besarnya pinjaman diduga berhubungan dengan pengembalian pinjaman, yakni jika nominal dana pinjaman kecil, maka pengembalian pinjaman lebih lancar dibanding dengan anggota yang mendapat pinjaman lebih besar. Kemudian besarnya pinjaman juga diduga berhubungan dengan ideologi gender yang dimiliki oleh anggota KSM, yaitu jika nominal pinjaman kecil, maka kontrol laki-laki terhadap besarnya pinjaman kecil , dan sebaliknya jika nilai nominal pinjaman besar, maka kontrol laki-laki terhadap besarnya pinjaman besar.

Pengembalian pinjaman diduga berhubungan dengan pemberdayaan perempuan yang menjadi kunci keberhasilan Program PNPM-P2KP. Pemberdayaan perempuan diukur dengan menggunakan analisis gender berupa pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Jika pengembalian lancar diduga kebutuhan praktis gender telah terpenuhi. Hal ini berarti dengan kemampuan mengembalikan pinjaman, menggambarkan usaha yang dimiliki oleh anggota KSM berhasil atau berkembang. Dengan berkembangnya usaha yang dimiliki diduga akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan strategis gender yakni kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan terutama dalam pengambilan keputusan pengembangan usaha.

(22)

Jadi untuk melihat sejauhmana Program PNPM-P2KP dapat memberdayakan perempuan, digunakan Analisis Gender dari Moser (1985) yakni melihat keberhasilan program dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender dilihat dari sejaumana program tersebut mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek perempuan seperti sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan strategis gender dilihat dari sejauhmana program mampu menyetarakan status perempuan dan laki-laki dalam perkembangan usahanya serta dalam rumah tangganya sebagai dampak dari keikutsertaannya dalam program. Kebutuhan strategis gender juga dilihat melalui pengalokasian pengambilan keputusan suami dan istri dalam rumah tangga.

(23)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP, 2010.

Keterangan: : ada hubungan dan diuji menggunakan uji statistik. : ada hubungan dan tidak diuji menggunakan uji statistik.

Tingkat Pendidikan Pinjaman Bergulir PNPM-P2KP • Tingkat Akses • Tingkat Pengembalian Pinjaman Tingkat Besarnya Pinjaman Tingkat Relasi Gender Tingkat Pemberdayaan Perempuan • Pemenuhan Kebutuhan Praktis • Pemenuhan Kebutuhan Strategis

(24)

2.4 . Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, diajukan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan yang nyata antara ideologi gender dengan akses terhadap program;

2. Terdapat hubungan yang nyata antara ideologi gender dengan pengembalian pinjaman;

3. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan individu dengan akses terhadap program;

4. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan individu dengan pengembalian pinjaman;

5. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan ideologi gender;

6. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan akses terhadap program;

7. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan pengembalian pinjaman;

8. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan pemberdayaan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender;

9. Terdapat hubungan yang nyata antara akses terhadap program dengan pemberdayaan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender; dan

10. Terdapat hubungan yang nyata antara pengembalian pinjaman dengan pemberdayaan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender.

(25)

2.5. Definisi Operasional

Untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti konsep/variabel menjadi konkrit untuk diukur, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut:

2.5.1. Tingkat Relasi Gender

Tingkat relasi gender adalah pola hubungan antara laki-laki dan perempuan terhadap kegiatan dan peran gender dalam rumah tangga responden. Tingkat relasi gender dilihat dari 13 sifat, kegiatan, dan peran responden, yang dapat merujuk pada relasi gender tidak setara atau setara. Tingkat relasi gender yang tidak setara menunjukkan masih terjadi perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, begitupula sebaliknya.

Ideologi gender dapat diukur dari pernyataan berdasarkan aktivitas menurut Kerangka Analisis Moser sebagai berikut:

a. Kegiatan Reproduktif

1. Perempuan mengasuh anak;

2. Perempuan tidak boleh memimpin laki-laki;

3. Perempuan tidak boleh mengatur keuangan keluarga; 4. Perempuan tidak boleh memutuskan masalah keluarga; 5. Perempuan tidak boleh menentukan pendidikan anak; b. Kegiatan Produktif

6. Perempuan tidak boleh menjadi kepala keluarga; 7. Perempuan tidak boleh mencari nafkah/bekerja; 8. Perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah;

9. Perempuan tidak boleh berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki; 10. Perempuan tidak boleh berpenghasilan lebih tinggi daripada laki-laki; c. Kegiatan Sosial Kemasyarakatan

11. Perempuan tidak boleh ikut serta dalam kegiatan publik/organisasi; 12. Perempuan tidak boleh menyampaikan pendapat; dan

(26)

1. Setuju = Skor 1 = Membedakan

2. Tidak Setuju = Skor 2 = Tidak Membedakan. Pengukuran:

a. Skor 13 ≤ n ≤ 19 = ideologi gender tradisional. b. Skor 20 ≤ n ≤ 26 = ideologi gender egalitarian.

2.5.2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal respoden yang dibedakan menjadi:

1. ≤ SMP = skor 1 = rendah 2. > SMP = skor 2 = tinggi

2.5.3. Tingkat Besarnya Pinjaman

Tingkat besarnya pinjaman adalah besarnya dana pinjaman (dalam rupiah) yang diterima oleh responden setiap satu kali periode pinjaman.

1. Rp 500.000,- = skor 1 = rendah 2. Rp 1.000.000,- = skor 2 = tinggi

2.5.4. Pinjaman Dana Program PNPM-P2KP

Pinjaman dana Program PNPM-P2KP adalah program pinjaman dana bergulir yang dilihat dari tingkat akses terhadap program serta tingkat pengembalian pinjaman.

2.5.4.1 Tingkat Akses Terhadap Program

Tingkat Akses terhadap program adalah sejauhmana responden mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam mengikuti program PNPM-P2KP.

Pengukuran: 1. Tinggi = skor 1 2. Rendah = skor 2

(27)

2.5.4.2 Tingkat Pengembalian Pinjaman

Tingkat Pengembalian pinjaman adalah besarnya dana yang dapat dikembalikan oleh responden dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan lamanya PNPM-P2KP berjalan, biasanya dalam satu periode yakni selama 10 bulan.

Pengukuran:

1. Tidak terlunasi/Macet = skor 1 2. Terlunasi = skor 2

2.5.5. Pemberdayaan Perempuan

Pemberdayaan Perempuan adalah sejauhmana Program PNPM-P2KP dapat memberdayakan perempuan dilihat dari pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender.

2.5.7.1 Kebutuhan Praktis Gender

Kebutuhan praktis gender adalah terpenuhinya kebutuhan mendasar responden setelah mengikuti program yang diukur dari pernyatan berikut:

1. Makan lebih dari dua kali dalam sehari; 2. Mengkonsumsi makanan bergizi; 3. Berobat ke dokter atau rumah sakit; 4. Memperbaiki kerusakan dalam rumah; 5. Memiliki MCK sendiri;

6. Memiliki modal usaha; 7. Melunasi iuran sekolah anak; 8. Melunasi hutang/tagihan; 9. Berkembangnya Usaha; dan

10. Meningkatnya keeratan organisasi/KSM. Pengukuran:

1. Tidak = skor 1 2. Ya = skor 2

Pengukuran kebutuhan praktis gender: 1. Skor 10 ≤ n ≤ 15 = skor 1 = tidak terpenuhi 2. Skor 16 ≤ n ≤ 20 = skor 2 = terpenuhi

(28)

2.5.7.2. Kebutuhan Strategis Gender

Kebutuhan strategis gender adalah perubahan peranan dan status responden dalam perkembangan usaha dan rumah tangganya setelah mengikuti program. Kebutuhan strategis gender dapat diukur berdasarkan pengambilan keputusan dalam hal:

1. Menentukan frekuensi makan sehari-hari; 2. Menentukan menu makan sehari-hari; 3. Menentukan besarnya biaya untuk makan;

4. Menentukan besarnya biaya untuk belanja bulanan;

5. Menentukan berobat dimana ketika ada keluarga yang sakit; 6. Menentukan pengurusan anak;

7. Menentukan pendidikan/sekolah anak; 8. Menentukan uang saku/jajan anak; 9. Menentukan komoditi/jenis usaha;

10. Menentukan besarnya uang yang digunakan untuk melunasi hutang/tagihan; 11. Menentukan ikut KSM;

12. Menentukan pengelolaan dana pinjaman; 13. Menentukan siapa yang menjalankan usaha; 14. Menentukan usaha akan lanjut atau berhenti; dan 15. Menentukan dana investasi/tabungan.

Pengukuran: 1. Suami = skor 1 2. Istri = skor 2

Total skor adalah:

1. Skor sama dengan 15 = skor 1 = tetap

2. Skor 16 ≤ n ≤ 22 = skor 2 = kurang berubah 3. Skor 23 ≤ n ≤ 30 = skor 3 = berubah

Pertanyaan dalam pemenuhan kebutuhan strategis ini ditujukan kepada responden sebelum dan sesudah mengikuti program untuk melihat apakah terjadi perubahan peranan dan status perempuan. Jadi ada selisih antara total skor sebelum dan sesudah mengikuti program, maka program berhasil dalam memenuhi kebutuhan strategis gender, begitupun sebaliknya.

Gambar

Tabel 1. Matriks Alat Analisis Gender dan Pembangunan  Tiga Kategori Utama Alat Analisis Gender
Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Perempuan Melalui Program  PNPM-P2KP, 2010

Referensi

Dokumen terkait

ini, ekstrak air buah pepaya muda tidak menyebabkan perubahan pada jumlah leukosit secara umum yang melebihi nilai rujukan dalam waktu 24 jam. Adapun peningkatan lekosit yang

Perkembangan lebih lanjut, sesuai dengan re-strukturisasi yang terjadi di Perusahaan Umum Listrik Negara, nama PERUM LISTRIK NEGARA pun berubah menjadi Badan

Paket Pekerjaan : Pemeliharaan Rumah Dinas Dokter Spesialis, Asrama Putra dan Asrama Putri.. Sumber Dana :

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sistem berbasis kasus untuk penanganan mahasiswa bermasalah, dengan studi kasus jurusan Teknik

Dari hasil kegiatan yang telah dilakukan oleh penelitii terlihat dari keterampilan motorik halus melipat anak yang telah didominasi oleh anak dengan kemampuan melipat

Pada hutan primer cadangan karbon terbesar berada pada biomassa pohon, sementara pada hutan bekas tebangan umur 2 tahun komponen penyusun cadangan karbon terbesar

Kehamilan dan persalinan membawa risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih besar pada remaja dibandingkan pada wanita yang berusia lebih dari 20 tahun. Remaja putri yang

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana menghitung dan membuat aplikasi perhitungan kalori harian bagi penderita diabetes melitus dengan menggunakan