• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban dan Hak-Hak Non Muslim (Tinjauan Terhadap Teori Politik Ibn Taimiyyah) Oleh: Samsul Hadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kewajiban dan Hak-Hak Non Muslim (Tinjauan Terhadap Teori Politik Ibn Taimiyyah) Oleh: Samsul Hadi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Samsul Hadi •••• Abstrak

Persoalan politik secara umum berkaitan dengan persoalan pemerintahan. Ketika berbicara pemerintahan, persoalan yang penting yang tidak bisa dihindarkan adalah persoalan keadilan. Karena salah satu tugas dari pemerintahan adalah untuk mewujudkan keadilan. Persoalan keadilan sangat erat kaitannya dengan persoalan kewajiban, hak, dan tanggungjawab. Keadilan tidak semata-mata harus didasarkan kepada kondisi yang sama-rata bagi semua warga negara.

Menurut Ibn Taimiyyah keadilan yang harus direalisasikan terhadap non muslim yang berada di negara muslim tidak harus sama-rata dengan apa yang diterima oleh orang Islam. Dalam persoalan tertentu kewajiban dan hak-hak non muslim berbeda dengan kewajiban dan hak-hak warga negara muslim. Non muslim tidak diperbolehkan menjadi pemimpin bagi umat Islam serta tidak boleh memegang jabatan yang mengurusi persoalan umat Islam. Non muslim (ahl az-zimmah) diberikan kewajiban membayar jizyah kepada pemerintahan muslim sebaliknya mereka mendapatkan perlindungan terhadap jiwa dan harta serta toleransi dalam beragama.

Kata Kunci:Kewajiban, hak, non muslim, politik A. Pendahuluan

Persoalan keadilan merupakan persoalan yang penting bagi setiap masyarakat bahkan dalam suatu negara. Suatu tindakan disebut adil bukan semata-mata ketika dapat diwujudkan sesuatu yang sama-rata bagi semua orang. Keadilan sangat erat hubunganya dengan persoalan kewajiban, hak, dan tanggung jawab. Secara sederhana suatu tindakan dikatakan sebagai tindakan yang adil apabila tindakan itu merupakan tuntutan untuk melakukan kewajiban bagi orang yang wajib, pemberian hak kepada orang yang berhak dan pemberian hukuman atau sanksi sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Apabila hal tersebut tidak terealisir maka tindakan tersebut bukan suatu tindakan yang adil, tetapi suatu ketidakadilan atau kedhaliman. Ketika suatu ketidakadilan terjadi dalam masyarakat atau negara, maka kehidupan masyarakat atau negara tidak akan tenteram.

Salah satu pemikiran Ibn Taimiyyah dalam rangka mewujudkan suatu keadilan dalam negara adalah penolakannya terhadap sikap nepotis,

(2)

suatu sikap yang mengutamakan hubungan kekeluargaan dan kedekatan. Ibn Taimiyyah menolak pengangkatan pejabat atau pegawai yang didasarkan pada sikap nepotis tersebut. Pengangkatan pejabat atau pegawai haruslah didasarkan kepada kemampuan dan keahlian (profesionalisme).

Pengangkatan pejabat atau pegawai yang semata-mata didasarkan kepada sikap nepotis tersebut bertentangan dengan norma-norma agama, sebagaimana pendapatnya yang terdapat dalam kitāb Majmū’at al-Fatāwā yang didasarkan kepada hadis Nabi Muyammad SAW, “Barang siapa yang mempercayakan suatu urusan pada seseorang yang didasarkan kepada faktor kekeluargaan padahal terdapat orang yang lebih baik, maka sungguh dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mu’minin”.1

Dia juga mengutip perkataan ‘Umar ibn al-Khattab, bahwa barang siapa yang menyerahkan urusan orang Islam kepada seseorang dengan didasarkan pada faktor cinta dan karena kedekatan, maka sungguh dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslimin.2

Pengangkatan pejabat atau pegawai yang didasarkan pada sikap nepotis tersebut jelas bertentangan dengan prinsip keadilan, karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang, sehingga mereka bisa bersaing dan dapat diketahui siapa yang lebih baik, lebih memiliki kemampuan dan keahlian.

Menurutnya, suatu bangsa akan mendapatkan kebahagian dan kemulyaan apabila pemerintahannya (pemimpinnya) merupakan pemerintahan yang adil. Sebaliknya, suatu bangsa akan jauh dari kebahagian dan kemuliaan apabila pemerintahannya merupakan pemerintahan yang tidak adil atau dhalim. Suatu keadilan akan menghasilkan suatu kemuliaan sedangkan kedhaliman akan menghasilkan suatu bahaya dan kesusahan. Bahkan seandainya-pun pemerintahan tersebut bukan pemerintahan muslim, tetapi pemerintahan orang-orang non muslim (kafir), sebagaimana kata-katanya, “Allah SWT. akan menolong suatu pemerintahan (daulat) yang adil meskipun pemerintahnya orang kafir, tetapi tidak akan menolong suatu pemerintahan yang dhalim meskipun pemerintahan tersebut adalah pemerintahan orang mu’min”.3

Karena pentingnya pelaksanaan keadilan bagi suatu pemerintahan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kertenteraman bangsa, maka seseorang yang duduk dalam pemerintahan (pemimpin) harus memiliki suatu kekuatan, selain sikap amanah. Dalam bidang militer, dia harus memiliki keberanian secara mental dan fisik dalm berperang, dalam bidang

1Ibn Taimiyyah, Majmū’at al-Fatāwā, juz. 28 (Riyād: Dār al-Wafā li at-Tibā’at wa

an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1997), p. 138.

2Ibid. 3Ibid., p. 39.

(3)

hukum, dia harus memiliki pengetahuan tentang keadilan dan adanya kemampuan untuk merealisasikannya.4

Berangkat dari pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah tentang keadilan tersebut, maka penulis dalam tulisan ini membahas tentang bagaimana keadilan diterapkan terhadap warga negara non muslim dalam negara muslim (mayoritas muslim). Apakah mereka berhak untuk menjadi pemimpin (pemegang urusan) bagi warga negara muslim? Apakah kewajiban dan hak-hak mereka sama dengan kewajiban dan hak-hak warga negara yang beragama Islam?

B. Riwayat Hidup dan Landasan Pemikiran Keagamaan Ibn Taimiyyah

1. Riwayat Hidup

Ibn Taimiyyah adalah seorang ulama yang hidup pada Abad Pertengahan. Nama lengkapnya adalah Taqi al-Dīn Abū al-’Abbās Abd al- Halīm. Dia lahir di sebuah kota yang disebut Harran dekat Damaskus pada tanggal 10 Rabi’u al-Awwal 661 H./22 Januari 1263 M. dan meninggal dunia pada tanggal 20 Dzu al-Qa’dah 728H/26 September 1328 M.

Kota Harran adalah sebuah kota yang terletak di sebelah utara Irak. Kota Harran sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kota yang menjadi pusat perkembangan filsafat dan merupakan tempat tinggal para filosof. Kota ini juga merupakan pusat agama Sabi’in.5

Ibn Taimiyyah berasal dari keluarga besar Taimiyyah, suatu keluarga yang terpandang dan dihormati oleh masyarakat karena merupakan keluarga yang terpelajar dan kedalaman ilmu agama. Bapaknya Abd al-Halim (627-682 H.) adalah seorang guru Ilmu Tafsir dan Hadits sekaligus sebagai khatib dan imam besar di Damaskus. Abd al-Halim juga seorang Direktur pada sebuah madrasah Dār al-Hadīts as-Sukhriyyah, suatu lembaga pendidikan yang menganut Mazhab Hanbali. Di sini pula Ibn Taimiyyah mendapatkan pendidikan agama6 sehingga dia dianggap sebagai salah satu tokoh Mazhab Hanbali.

4 Ibid., p. 142. 5

Muhammad Abū Zahrah, Ibn Taimiyyah Hayātuh wa ‘Aşruh, Ārā’uh wa Fiqhuh (Beirut: Dār al-’Arabī, t.t.), p. 17. Mohammad ben Cheneb, “ Ibn Taimiyya", dalam Encyclopaedia of Islam 1913-1936, vol. III, cet. I (New York: E.J. Brill, 1993), pp. 421-422.

6

Abd al-’Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jil II, cet. I (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), p. 628. Lihat juga Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fiqh Islam (Jakarta: Inis, 1991), p. 8.

(4)

Masa Ibn Taimiyyah merupakan suatu masa yang penuh dengan pergolakan yang melanda hampir seluruh aspek kehidupan umat Islam. Kekacauan yang dihadapi umat Islam bukan hanya dalam persoalan keagamaan atau pemikiran keagamaan saja tetapi juga menimpa sendi-sendi kemasyarakatan dan kenegaraan.7

Dari sisi kenegaraan umat Islam menghadapi perang yang besar, di Barat terjadi Perang Salib sedangkan di Timur terjadi penyerangan tentara Tatar ke Harran. Perang Salib yang terjadi berkali-kali mengakibatkan kerusakan pada tatanan dan sendi-sendi kemasyarakatan. Tidak kalah rusaknya adalah kerusakan yang diakibatkan oleh kekejaman pasukan Tatar. Mereka menghancurkan lahan-lahan pertanian, perkebunan bahkan melakukan pembantaian terhadap umat Islam tidak terkecuali wanita dan anak-anak. Peristiwa tersebut merupakan musibah kemanusiaan yang besar yang pernah terjadi sepanjang sejarah umat Islam.8

Melihat kondisi kemunduran dan kekalahan yang diderita umat Islam oleh pasukan Tatar, Ibn Taimiyyah berusaha menyadarkan umat Islam agar bangkit dan berjihad melawan pasukan Tatar. Dalam rangka berjihad melawan Tatar, Ibn Taimiyyah meminta bantuan kepada Sultan al-Malik an-Nasir Muhammad ibn al-Mansur (w. 741 H.)9

Dalam perang melawan Tatar ini Ibn Taimiyyah terjun langsung ke dalam medan pertempuran dan berhasil mengalahkan Tatar pada tahun 702 H. pada suatu peristiwa yang disebut syaqbah.10

Di kalangan umat Islam juga terjadi pengelompokan masyarakat (strata), di mana kelompok yang satu memiliki kedudukan yang tidak sama dengan kelompok yang lain, yang satu lebih tinggi dari yang lain.

Strata-strata dalam umat Islam adalah strata pertama; para penguasa yang memegang kekuasaan pemerintahan. Strata ini memiliki hak mengambil bagian dari hasil-hasil pertanian yang digarap oleh para petani dan para pekerja. Mereka memiliki harta yang melimpah, mereka mengambil pajak dari para petani dan pekerja baik secara legal maupun cara yang illegal.

Strata kedua: adalah kelompok ulama yang memiliki otoritas dalam persoalan keagamaan dan kerohanian. Kelompok ini merupakan penasihat bagi para penguasa dan merupakan wakil dari rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan masyarakat.

7

Tāhā Jābir ‘Alwānī, Ibn Taimiyyah wa Islāmiyat al-Ma’rifah (ttp: Al-Ma’had al-’Ilm lī al-Fikr al-Islāmī, 1994), pp. 18-20.

8

Ibid., pp. 21-22.

9

Muhammad ibn Ahmad ‘Abd al-Hādī, Al-’Uqūd ad-Durriyyah Min Manāqib Syaikh al-Islām Ahmad ibn Taimiyyah (Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t.), p. 119. 10

(5)

Strata ketiga; berisi kelompok petani dan pekerja. Kelompok ini melakukan pekerjaan yang keras khususnya dalam bidang pertanian karena wilayah-wilayah Islam merupakan wilayah-wilayah yang subur. Kelompok ini pulalah yang paling menderita ketika terjadi Perang Salib dan penyerangan pasukan Tatar, karena hasil pertanian mereka dirampas dan lahan-lahan pertanian dan perkebunan dirusak.11

Selain kondisi kenegaraan dan kemasyarakatan yang kacau, kondisi keagamaan umat Islam sangat memprihatinkan. Umat Islam mengalami kemunduran yang luar biasa dalam persoalan keagamaan, karena masyarakat telah terbelenggu dengan sikap taklid,12 dan menolak kegiatan ijtihad sehingga pemikiran keagamaan mengalami kemunduran.

Sikap taklid merupakan sikap yang bertentangan dengan perintah Allah, karena Allah telah menganugerahkan akal pikiran kepada manusia agar manusia senantiasa menggunakannya untuk berfikir dan bertadabbur dengan melakukan ijtihad dalam persoalan kehidupan yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan.13

Di kalangan umat Islam juga berkembang ajaran-ajaran kaum sufi yang oleh Ibn Taimiyyah dipandang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti ajaran wahdat al-wujūd Ibn ‘Arabi, bahkan ajaran-ajaran sufi mendapat dukungan dari sebagian penguasa seperti Al-Malik Baybars al-Jasyankir (w. 710 H.).14 Karena penentangannya terhadap praktik-praktik sufi tersebut, dia dimasukkan penjara pada tahun 709 H/1310 M.15

Ta’asubiyyah atau fanatisme kelompok juga kuat di kalangan masyarakat. Masing-masing pengikut mazhab menganggap mazhabnya yang paling benar dan sesuai dengan ajaran Islam, sedangkan mazhab yang lain mengajarkan ajaran yang salah. Hal ini menyebabkan umat Islam mengalami perpecahan dan semakin terpecah. Fanatisme yang terjadi telah menjauhkan umat dari sikap toleransi, menghargai dan menghormati kelompok lain yang berbeda dengan pendapatnya. Melihat kondisi umat yang seperti itu, Ibn Taimiyah melakukan kritik dan penentangan,

11

Ibn Taimiyyah, At-Tafsīr al-Kabīr, juz. I (Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t.), pp. 26-29.

12

Muhammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh (ttp: Dār al-Fikr al’Arabī, t.t.) p. 398. Kebalikan dari sikap taklid adalah sikap ittibā’ yaitu mengikuti suatu pendapat disertai dengan pengetahuan terhadap dalil-dalil dari pendapat tersebut. 13

Ibn Taimiyyah, At-Tafsīr., juz. I, p. 54.

14

Muhammad Amin, Ijtihad., pp. 16-17

15

Th.E. Homerin, “ Tentang Kitab As-Suffiyyah wa al-Fuqarā Karya Ibn Taimiyyah”, dalam Al-Hikmah, No. 12. (Bandung: Yayasan Mutahhari, Januari-Maret 1994), p. 17.

(6)

sehingga dia banyak mendapat musuh baik dari masyarakat, pimpinan agama maupun pemerintah.16

Ibn Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap berbagai pemikiran kalam yang dianggap telah keluar dari rel agama, khususnya pemikiran-pemikiran kalam yang berkiblat pada filsafat Aristoteles, yang lebih meninggikan rasio (‘aql) dibandingkan wahyu (naql). Salah satu buku yang ditulis Ibn Taimiyyah untuk menolak filsafat adalah Ar-Radd ‘Alā al-ManŃiqiyyīn.

Berbagai kritik terhadap masyarakat dalam berbagai segi kehidupan dan keagamaan bertujuan untuk menyadarkan umat Islam agar mereka meninjau amalan keagamaan mereka untuk disesuaikan dengan naş dan membangkitkan semangat umat Islam untuk berijtihad dan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber dalam peribadatan dan dalam hidup kemasyarakatan.

2. Landasan Pemikiran Ibn Taimiyyah.

Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah dalam rangka mengembalikan kondisi keagamaan dan kemasyarakatan umat Islam yang dianggap sudah sangat jauh dari tuntunan-tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah didasarkan atau mengikuti manhaj (metode) yang digunakan oleh generasi awal umat Islam yang dikenal dengan manhāj as-salaf aş-şālih.

Pemilihan untuk menggunakan manhaj salaf didasarkan kepada keyakinan dan fakta sejarah bahwa kondisi keberagamaan generasi awal kaum Muslimin atau salaf adalah kondisi yang paling baik untuk dicontoh karena generasi awal adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Menurutnya generasi yang paling baik adalah generasi ketika Nabi Muhammad s.a.w. masih hidup (generasi sahabat), kemudian generasi berikutnya (generasi tābi’īn) dan diikuti generasi berikutnya (generasi tābi’ at-tābi’īn).17

Pernyataan ini didasarkan kepada hadits Nabi Muhammad s.a.w.:

“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah generasiku kemudian generasi berikutnya kemudian generasi berikutnya lagi”.18

Secara historis dapat dilihat bahwa pada ketiga kurun waktu tersebut umat Islam relatif sangat kuat persatuannya dan kuat dalam berpegang kepada nash, baru kemudian setelah kurun waktu yang ketiga perselisihan dan perpecahan umat Islam dengan berbagai aliran dan mazhab pemikiran

16

Ibid., p. 16.

17

Ibn Taimiyyah, Majmū’at al-Fatāwā, juz. 5 (Riyād: Dār al-Wafā li at-Tibā’at wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1997), pp. 8-9. 18

(7)

mulai memuncak. Meskipun pada masa sebelumnya atau tepatnya masa sahabat juga sudah muncul perpecahan dengan munculnya kaum Khawarij pada masa Ali ibn Abi Thalib tetapi masih bersifat lokal19

.

Untuk mengetahui bagaimana landasan pemikiran keagamaan Ibn Taimiyyah, maka perlu dilakukan pembahasan tentang pandangannya tentang dalil baik dalil naql (naş) maupun dalil ‘aql (rasio).

a). Kedudukan Dalil Naql

Dalil naql adalah dalil yang didasarkan pada naşh baik berupa Qur’an maupun as-Sunnah. Pengambilan dalil dengan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam, karena petunjuk-petunjuk Islam telah diterangkan secara keseluruhan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.

Menurut Ibn Taimiyah, tidak ada cara atau jalan untuk dapat mengetahui persoalan-persoalan agama baik persoalan aqidah, peribadatan maupun hukum dan persoalan-persoalan yang bertalian dengannya kecuali dengan merujuk kepada naşh, sebab keduanya telah memberikan petunjuk dan penjelasan secara jelas.

Sikap mengikuti ketentuan-ketentuan baik dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah berarti menjadikan sumber yang naql sebagai sesuatu yang diikuti dan bukan menjadikannya sebagai yang harus mengikuti, sebagai imam dan bukan sebagai makmum dan sebagai suatu ketetapan hukum, bukan yang dihukumi. Menurutnya, naql yang sahih tidak mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah akal selama akal yang digunakan adalah akal yang şarīh. Aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam naşh adalah sesuai dengan akal manusia.20

Kelengkapan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam mengatur seluruh aspek kehidupan juga didasarkan kepada firman Allah SWT.:

19

Pada Masa Ali Ibn Abi Thalib terjadi Perang Şiffīn antara Ali dan pasukannya melawan Mu’awiyah dan pasukannya yang kemudian diakhiri dengan perdamaian, tahkim atau arbitrase. Akibat tahkim ini di antara pasukan Ali terdapat beberapa orang yang menyatakan keluar dari pasukan Ali mereke kemudian dikenal dengan kaum Khawarij. Orang-orang yang keluar dari pasukan Ali menganggap, bahwa perbuatan Ali merupakan perbuatan dosa besar, demikian juga Mu’awiyyah dan pasukannya telah melakukan dosa besar sehingga kedua pasukan, baik pasukan Ali maupun pasukan Muawiyah harus diperangi. Kelompok ini dikenal dengan nama kaum Khawarij. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 2 (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), p. 31.

20

Muhammad Sa’īd Ismā’il ‘Abduh,” Musykilāt Jibr wa Ikhtiyār wa Ra'yu al-Imām Ibn Taimiyah”, dalam Usbu’ al-Fiqh al-Islāmī wa Mahrajān al-al-Imām Ibn Taimiyyah (Damaskus: Al-Majlis al-A’lā li Ri’āyat al-Qānūn wa al-Adab wa al-’Ulūm al-Ijtimā’iyyah, 1380 H. ), p. 783.

(8)

“ Maka jika kamu sekalian berselisih dalam suatu persoalan, maka kembalikanlan persoalan itu kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu sekalian beriman kepada Allah dan hari akhir”.21

Ayat tersebut menunjukan, bahwa di dalam al-Quran telah terdapat aturan yang berkaitan dengan keseluruhan persoalan kehidupan manusia dan merupakan rujukan dalam menetapkan suatu ketetapan hukum.

Allah SWT. mengutus Muhammad sebagai rasul dengan membawa petunjuk dan agama yang hak dan Allah telah menyempurnakan agama itu untuk Muhammad dan umatnya serta telah menjelaskan segala persoalan yang dibutuhkan oleh umat Islam. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk menjadikan wahyu Allah yaitu al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad sebagai dasar atau asas yang harus diikuti dan menjadi imam yang harus ditaati dalam persoalan yang manusia itu mengetahuinya maupun dalam persoalan yang manusia tidak mengetahuinya. Mereka tetap harus beriman dengan lafaz naşh meskipun tidak mengetahui maknanya dan tidak boleh menjadikan selain naşh sebagai dasar dalam menetapkan ketetapan hukum .

Dalil naql yang berupa naşh ini harus diterima apa adanya. Umat Islam dilarang memberikan penilaian terhadap kebenaran nash dengan akal mereka dengan memberikan argumentasi bahwa apabila kandungan naşh itu sesuai dengan akal maka diterima, tetapi apabila kandungan naşh bertentangan dan tidak sesuai dengan akal maka harus ditolak.22

Suatu ucapan dianggap hak atau benar ketika didasarkan pada bukti yang nyata kesesuaiannya dengan dalil-dali naşh, tetapi apabila tidak ada bukti dari naşh, maka ucapan apapun tidak boleh diterima sebagai suatu hujjah.23

Dalam memahami naşh, Ibn Taimiyyah lebih cenderung tekstual dan menghindari penggunaan ta’wil, termasuk dalam memahami sifat-sifat Allah. Allah memiliki sifat sebagaimana Tuhan telah mensifati diri-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimana dan tanpa penyerupaan (bi lā takyīf wa lā tamtsīl).

Sebagai contoh adalah pemahamannya terhadap surat al-Hadīd (57) ayat 4. Ayat tersebut menyebutkan,

“ Kemudian Allah bersemayam (istawā’) di atas ‘Arasy”.24

21 Al-Nisā’ (4): 59.

22

Ibn Taimiyyah, Al-Fatāwā al-Kubrā, jil. 5 (Beirut: Dār al-Qalam, 1987), pp. 16-17.

23

Ibid.

(9)

Ibn Taimiyyah memahami ayat tersebut dengan mengikuti pendapat ulama salaf dengan menyatakan, bersemayam itu diketahui dan caranya tidak diketahui (majhūl), iman terhadap hal tersebut adalah wajib, tetapi bertanya tentang istawā adalah bid’ah.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Rabi’ah, guru Malik ibn Anas, dia mengatakan,:

“Istawā itu diketahui, caranya tidak diketahui, dari Allahlah penjelasannya, bagi Rasul menyampaikannya dan bagi kita adalah kewajiban untuk mengimaninya.25

b). Kedudukan Dalil ‘Aql

‘Aql atau akal merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi manusia. Dengan adanya akal pada manusia maka manusia berbeda dengan binatang. Akal merupakan suatu alat atau sarana yang dapat digunakan untuk memikirkan dan memberikan pertimbangan tentang sesuatu, bahkan keberadaan akal yang sehat dalam syari’at Islam merupakan syarat yang harus terpenuhi dalam kaitannya dengan sahnya suatu tindakan (amal ibadah). Dengan tidak adanya akal yang sehat manusia tidak bisa dituntut baik untuk melakukan suatu perbuatan atau dituntut meninggalkannya dan bahkan tidak bisa dituntut dengan suatu hukuman akibat perbuatan yang dilakukannya.

Akal didefinisikan sebagai suatu daya atau kekuatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai alat untuk berfikir, sebagai alat untuk mempertimbangkan dan memilih baik-buruknya sesuatu. Akal merupakan suatu potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia selain nafsu. Akal adalah suatu daya atau kekuatan pikiran (quwwat al-idrāk) atau daya pemahaman (quwwat al-ifhām).26

Seorang ahli bahasa dan gramatika Arab, Ragib al-Isfahānī mendefinisikan akal sebagai suatu kekuatan yang dipersiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Di dalam al-Qur’an dijelaskan,

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia dan tidak ada yang yang dapat memahaminya kecuali orang yang berilmu”.27

25

Ibn Taimiyyah, Majmū’at al-Fatāwā, juz. 3, p. 38 dan 164.

26

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I, jil. 1 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), p. 68. 27

(10)

Di dalam al-Qur’an juga telah disebutkan, bahwa orang yang tidak mau mempergunakan akalnya disebut dengan orang yang tuli (aş-şumm), bisu (al-bukm) dan buta (al-’umy),

“ Dan perumpamaan (seruan kepada) orang kafir adalah seperti seruan seorang penggembala kepada binatangnya yang tidak mendengar kecuali hanya sekedar panggilan dan seruan. Karena mereka adalah tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti”.28

Menurut al-Isfahānī, seseorang yang bisa disebut sebagai orang yang berakal adalah orang yang sadar dan bisa berfikir serta tidak gila. Dalam bidang hukum orang yang berakal disebut mukallaf29; orang yang diberikan beban melakukan hukum Allah baik berupa melaksanakan perintah, meninggalkan larangan ataupun memilih melakukan sesuatu atau meninggalkannya dalam persoalan hukum yang mubah.30

Dalam hadits terdapat ketentuan, bahwa seseorang tidak dituntut dengan suatu perbuatan untuk melakukannya atau meninggalkannya atau memilih, bahkan ketika seseorang itu melakukan tindakan yang menurut syara’ (hukum) merupakan suatu pelanggaran, dia tidak bisa dijatuhi suatu hukuman. Hadits tersebut adalah :

“Diangkat pena dari tiga orang; seorang bayi sehingga dia balig, seorang yang tidur sehingga bangun dan seorang yang gila sehingga sembuh.31

Kandungan hadits itu memberikan pengertian bahwa akal merupakan persoalan yang sangat penting bagi mausia, sehingga penilaian terhadap manusia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan akal yang ada pada dirinya.

Menurut Ibn Taimiyyah, lafaz ‘aql (akal) dalam bahasa yang digunakan oleh umat Islam memiliki makna yang berbeda dengan yang dipahami oleh filosof Yunani. Dalam bahasa kaum Muslimin, ‘aql berasal

28

Al-Baqarah (2): 171.

29

Mukallaf adalah orang yang dibebani dengan suatu ketentuan hukum tertentu baik dibebani untuk melakukan sesuatu yang berupa perintah maupun dibebani untuk meninggalkann sesuatu yang dilarang atau untuk memilih di antara hal-hal yang dibolehkan. Istilah lain dari mukallaf adalah al-mahkūm ’alaih. Seseorang diberikan atau dituntut dengan suatu beban (taklīf) pada dasarnya adalah karena akal dan pemahaman, karena beban (taklīf) adalah tuntutan (khiŃāb) dan tuntutan hanya dapat dilakukan terhadap orang yang berakal dan memahami. Suatu tuntutan (khiŃāb) adalah mustahil terhadap orang yang tidak berakal atau tidak bisa memahami. Muhammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh (ttp: Dār Al-Fikr al-’Arabī, t.t.), p. 327.

30

Abd al-’Aziz Dahlan, Ensiklopedi., cet. I, jil. 1, p. 69.

31

(11)

dari kata ‘aqala, ya’qilu, ‘aqlan. Penggunaan arti ‘aql dapat dilihat dalam al-Qur’an, antara lain:

“Dan mereka berkata, “sekiranya kami mendengarkan (pernyataan itu) dan memikirkan (ya’qilu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”.32

Penggunaan kata ‘aql pada ayat tersebut bermakna memikirkan dan memahami. Yang dimaksud dengan ‘aql adalah al-garīzah (insting) yang dijadikan oleh Allah pada diri manusia yang dengan al-garīzah tersebut manusia bisa berfikir dan memahami.33

Adapun ‘aql menurut folosof Yunani adalah suatu jauhar (substansi) yang berdiri sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW dan al-Qur’an. Alam makhluk bagi mereka adalah alam jasmani yaitu akal dan jiwa (nafs), dan kadang Alam Jabarūt disamakan juga dengan akal, Alam Malakūt (malaikat) disamakan dengan jiwa, demikian juga jasmani adalah alam malaikat.34

Dalam kaitannya dengan persoalan dasar-dasar agama—uşūl ad-dīn— Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa dasar-dasar agama hanya bisa diperoleh dari sumber yang berasal dari dalil naql (naş) yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.35

Prinsip dasar Ibn Taimiyyah adalah bahwa sumber pengetahuan dalam agama adalah wahyu. Apa-apa yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah merupakan sumber yang autentik dan merupakan petunjuk yang jelas. Sedangkan akal menduduki kedudukan di bawah naşh, sehingga tidak boleh ketentuan akal itu berselisih dengan naşh.36

Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah mengkritik dan menolak pandangan yang menempatkan akal/ra’yu di atas naşh ataupun memaknai dan memahami ajaran agama berdasarkan ra’yu dan tidak berdasarkan pada naşh.

Kritik yang dilakukan Ibn Taimiyyah terhadap para rasionalis (ahl al-’aqli/ ahl ar-ra’yi) antara lain dialamatkan kepada para mutakallimin (ahli ilmu kalam atau teologi) dan kepada para folosof Muslim. Menurutnya, mereka telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang jauh dari ketentuan-ketentuan agama. Kritik yang keras

32 Al-Mulk (67): 10.

33

Ibn Taimiyyah, Al-Furqān Bain Auliyā’ ar-Rahmān wa Auliyā’ asy-Syaitān, cet. I (Beirut: Dār al-Kitāb al-’Arabī, 1995), p. 113.

34

Ibid., p. 113.

35

Ibn Taimiyyah, Majmū’at., juz. 6, p. 259.

36

Muhammad Umaruddin, ”Ibn Taimiyyah as a Thinker and Reformer”, dalam Usbū’.’, pp. 721-722.

(12)

antara lain kepada kaum Mu’tazilah yang rasionalistik,37 mereka adalah kaum rasionalis (al-mazhab al-’aqlī).

Para teolog Mu’tazilah menggunakan apa yang mereka peroleh dari akal dan mereka memutuskan dengan kebebasan akal dan cara-cara akal dalam memahami persoalan-persoalan agama termasuk dalam persoalan akidah.38

Menurut Ibn Taimiyyah, semua apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah termasuk yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan, kita wajib menerimanya sesuai dengan pemahaman bahasa dan yang disepakati ulama salaf. Dan apa yang tidak ada dalam keduanya, maka harus dicari apa maksudnya, jika maksudnya benar sesuai dengan keduanya maka diterima tetapi apabila maksudnya salah wajib ditolak. Dengan kata lain, menerima semua sifat Allah yang Allah sendiri mensifati diri-Nya atau sesuai dengan sifat yang diberikan oleh Rasul-Nya dengan suatu keyakinan bahwa tidak ada apapun yang menyerupai Allah (laisa kamitslihī syai’un) dan tidak ada seorangpun yang menyamainya (wa lam yakun lahū kufuwan ahad).39

Demikian juga dia mengkritik Mazhab Jahmiyyah. Menurutnya mazhab Jahmiyyah adalah suatu mazhab yang berlebih-lebihan dalam tanzīh (mensucikan) terhadap sifat Allah bahkan sampai pada batas ta’Ńīl (meniadakan). Kaum Jahmiyyah disifati oleh Ibn Taimiyyah dengan sifat kekafiran, sebagaimana ucapannya bahwa hakikat pendapat kaum Jahmiyyah Mu’at}t}ilah adalah ucapan Fir’aun dan sungguh telah mengingkari pencipta dan meniadakan kalam Tuhan dan agama Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Fir’aun. Fir’aun menolak atau inkar, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa atau bahwa Musa memiliki Tuhan di atas langit. Pengingkaran ini bertujuan meniadakan peribadatan dan ketaatan kepada Tuhan dan menolak menjadikan Tuhan sebagai Zat yang harus disembah dan ditaati. Ibn Taimiyyah juga berhujjah bahwa orang yang menafikan sebagian dari sifat Allah yang Allah sendiri telah mansifati diri-Nya seperti sifat marah (gadab), cinta (ridā) dan benci (bugd) dan sebagainya serta menyangka bahwa sifat-sifat itu adalah sifat yang terdapat

37

Mu’tazilah adalah suatu aliran teologi/ilmu kalam yang dipelopori olah Wasil ibn Ata’ (700-749 M.), suatu aliran teologi yang menjadikan akal sebagai dasar yang kuat dalam memaknai ajaran agama termasuk dalam persoalan ketuhanan (akidah), contohnya adalah pendapat mereka tentang sifat Tuhan. Menurut Mu’tazilah Tuhan tidak memiliki sifat, tetapi hanya memiliki essensi. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986 ), pp. 37-39.

38

Muhammad Ibrāhīm Dikrūrī, “Al-'Aql wa Majāluh 'ind Ibn Taimiyyah”, dalam Usbū’., p. 920. 39

(13)

pada jism (badan) dan penyerupaan (tasybīh) adalah suatu pendapat yang keliru yang diadopsi dari pemikiran filosof. 40

Ibn Taimiyyah membedakan para teolog, ahli hadits, dan para sufi. Menurutnya para teolog membangun mazhabnya berdasarkan akal/ra’yu, para ahli hadits membangun mazhabnya berdasarkan hadits Nabi SAW, sedangkan para sufi membangun mazhabnya berdasarkan iradat (kehendak). Menurut Ibn Taimiyyah, mazhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mazhab yang berdiri di tengah-tengah berbagai mazhab. Dalam memahami sifat-sifat Allah, mazhab ini berada di tengah-tengah antara mazhab yang tasybīh (menyerupakan41) dan mazhab yang ta’Ńīl (meniadakan) yang dilakukan Jahmiyyah.

Dalam hal yang berkaitan dengan perbuatan Allah, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah berada di antara mazhab Qadariyyah yang menganggap bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan bertindak (free will dan free act) dan Mazhab Jabariyyah yang menganggap bahwa manusia itu hanya melakukan apa saja yang dikehendaki Tuhan, manusia berbuat karena kehendak Tuhan, manusia tidak memiliki kehendak (Fatalisme).

Dalam persoalan dosa besar, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah berada di antara Mazhab Murji’ah, Mazhab Wa’idiyyah dan Mazhab Qadariyyah. Dan dalam persoalan keimanan dan keagamaan berada di antara Mu’tazilah, Murji’ah dan Jahmiyyah. Sedangkan dalam persoalan kedudukan sahabat, berada di antara Syi’ah Rafidah dan Khawarij.42

Selain terhadap para mutakallimin yang lebih meninggikan akal dibandingkan naşh (naql), kritik Ibn Taimiyyah juga diarahkan kepada para filosof. Salah satu buku yang ditulis Ibn Taimiyyah dalam menolak argumentasi kaum filosof adalah Ar-Radd ‘Alā al-ManŃiqiyyīn.

Menurut sebagian filosof, ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi adalah salah satu bentuk dari perintah yang hanya bersifat lahiriyyah (adh-dhāhir). Ajaran-ajaran tersebut sama sekali tidak membawa kepada pengertian yang sebenarnya, yang hakiki. Demikian juga para nabi tidak menjelaskan hakekat suatu persoalan dalam mengetahui Allah dan hari akhir, tetapi para nabi hanya membawa berita-berita yang mereka khayalkan supaya mereka dapat mengambil kemanfaatan keduniaan, bukan untuk menyampaikan suatu kebenaran. Para nabi dengan ajaran

40 Ibid., p. 921.

41

Tasybīh artinya menyerupakan, menyamakan. Mazhab yang mendasarkan pemikirannya pada tasybīh, mereka mensifati Allah dengan sifat yang anthrophomorphis (sama seperti makhluk). Mazhab yang seperti ini sering diarahkan kepada Mazhab ad-Dhāhiriyyah)

42

Henri Luis,” An-Nasy’at ’Ilmiyyah ‘ind Ibn Timiyyah wa Takwīnuh al-Fikriyyah”, dalam Usbū’., p. 843.

(14)

yang mereka bawa berkeinginan agar manusia meyakini persoalan-persoanan yang pada dasarnya bukan hal yang sebenarnya. Perbuatan para nabi tersebut merupakan kedustaan yang dianggapnya untuk kemaslahatan manusia.43

Bahkan di kalangan para filosof terdapat anggapan bahwa para filosof adalah orang-orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih mulia dibandingkan para nabi. Para filosof lebih mengetahui hakekat yang bersifat ‘aqliyyah dan ‘ilmiyyah dibandingkan pengetahuan yang dimiliki para nabi, baik Nabi Musa, Isa maupun Muhammad termasuk nabi-nabi yang lainnya.44

Menurut Ibn Taimiyyah, tuduhan-tuduhan yang dikatakan para filosof kepada para nabi adalah suatu kesalahan, mereka terlalu mengagungkan akal dan merendahkan wahyu, padahal sebenarnya mereka tidak memahami kebenaran wahyu yang dibawa oleh para nabi. Para filosof sama sekali tidak bisa memahami persoalan ketuhanan, hal ini yang menjadikan mereka lebih sesat dari pada orang-orang Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani)45

Lebih tegas lagi Ibn Taimiyyah mengatakan, bahwa para filosof khususnya mereka yang beragama Islam, di dalam beragama tidak betul-betul ikhlas, mereka hanya mangamalkan Islam secara lahiriyah dan dalam hatinya menolak. Salah satu pendapat filosof Muslim yang jauh dari ajaran Islam adalah pendapat yang mengatakan, bahwa kebangkitan jiwa adalah persoalan yang mustahil sebagaimana juga mustahilnya kebangkitan badan/jasad pada hari akhir.46

Dalam kitab yang berjudul Syarh Hadīts an-Nuzūl, Ibn Taimiyyah menjelaskan tentang pandangan-pandangan yang secara jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang dilakukan oleh para filosof. Pendapat tersebut antara lain bahwa Allah tidak mengetahui persoalan-persolan yang rinci, tidak bisa membedakan antara Musa, Isa dan Muhammad. Malaikat Jibril menurut mereka adalah hayalan yang dihayalkan oleh Nabi Muhammad SAW atau Malaikat Jibril adalah akal aktif (al-’aql al-fa’āl).

Para nabi adalah para pembohong, mereka tidak mengajarkan kebenaran. Lebih jauh lagi sebagaian filosof memandang bahwa para tokoh filsafat lebih utama dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW.47

43

Ibn Taimiyyah, Ar-Radd ‘Alā al-ManŃiqiyyīn, cet. VI (Riyād: Maktabat al-Ma'ārif, 1984), p. 442. 44 Ibid., p. 183. 45 Ibid., p. 294. 46 Ibid., p. 458. 47

Ibn Taimiyyah, Syarh Hadīts an-Nuzūl, (ttp.: Mansyūrāt al-Maktab al-Islāmī, 1969), pp. 164-165.

(15)

Sesatnya filosof Muslim tidak bisa dilepaskan dari filsafat itu sendiri yang berasal dari Yunani. Orang-orang Yunani adalah orang-orang musyrik, mereka adalah orang-orang kafir, penyembah bintang dan berhala-berhala. Mereka lebih buruk dibandingkan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, sekalipun setelah kedatangan Islam. Demikian juga Aritoteles dan sahabat-sahabatnya adalah para penyembah berhala dan bintang. Penyembahan berhala dan bintang merupakan agama yang dianut di Yunani sebelum datangnya Nabi Isa a.s. dan Aristoteles hidup sekitar 300 tahun sebelum kedatangan Nabi Isa a.s.48

Metode berfikir yang terkenal yang biasa dipakai oleh para filosof dan merupakan warisan dari pemikiran Aristoteles terkenal dengan Logika Aristotelian adalah sillogisme, suatu logika berfikir di mana suatu kesimpulan atau konklusi diperoleh dengan cara berangkat dari persolan yang bersifat kulliyyah (premis mayor) menuju kepada yang juz’iyyah (bagian-bagian/premis minor). Suatu kebenaran dapat diperoleh dengan cara berangkat dari persoalan yang kullī.

Menurut Ibn Taimiyyah, pernyataan yang didasarkan kepada sillogisme Aristoteles tersebut adalah salah, suatu kesimpulan atau hakekat kebenaran yang berangkat dari kullī adalah hanya angan-angan dan tidak dapat diwujudkan dalam kenyataan, padahal kebenaran harus berada dalam kenyataan bukan dalam angan-angan. Kata-kata Ibn Taimiyyah dalam menolak sillogisme ini adalah al-haqīqat fī al-a’yān lā fī al-azhān”.

Teori Aristoteles yang demikian sama sekali tidak memberikan faidah ilmu (pengetahuan) terhadap yang juz’ī karena seharusnya sesuatu yang kullī adalah yang merupakan kesimpulan dari yang juz’ī, ketika juz’ī-juz’īnya sudah benar maka dapat dibuat suatu kesimpulan secara kullī. Pertanyaan siapa manusia tidak dapat dimengerti tanpa mengetahui lebih dahulu individu-individu yang merupakan juz’ī dari manusia. Pengetahuan yang berangkat dari persoalan yang kullī tidak bisa dijadikan dasar untuk mengetahui hal-hal yang juz’ī.49

Kritik dan penolakan terhadap pandangan yang mengutamakan akal dari pada naşh dan menempatkan akal di atas naşh, termasuk mengutamakan akal sebagai sumber dalam menafsirkan naşh ataupun dalam menetapkan suatu ketentuan hukum yang dilakukan Ibn Taimiyyah dikuatkan oleh muridnya Ibn Qayyim Al-Jauziyyah50

48 Ibid., p. 182 dan p. 283.

49

Ibid., p. 476.

50

Ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah salah satu murid Ibn Taimiyyah yang banyak mewarisi metode dan pemikiran yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah. Murid yang lainnya antara lain Ibn Abd al-Hādī, Ibn Katsīr dan Ibn Rajab. Ibn Qayyim dalam berfatwa atau mengeluarkan pendapatnya seringkali hanya mengatakan, “Ini adalah pilihan guru kami

(16)

Menurut Ibn Qayyim, bahwa berfatwa dalam agama Allah dengan menggunakan akal atau ra’yu yang bertentangan dengan naşh, ataupun menggunakan ra’yu yang tidak didukung oleh naşh adalah suatu metode dan jalan yang keliru dalam memahami agama dan harus ditinggalkan, karena tidakan tersebut merupakan tindakan yang dilarang. Mendasarkan pendapat pada akal semata-mata berarti tidak mengikuti cara yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut merupakan pemahaman yang didasarkan kepada hawa nafsu.51

Meninggalkan segala sandaran kepada sumber yang bukan berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah menuju kepada sumber al-Qur'an dan as-Sunnah merupakan kewajiban dan konsekuensi dari keimanan. Apabila tetap dengan sumber selain keduanya berarti imannya telah hilang, karena menjadikan selain keduanya sebagai pegangan berarti telah berhukum kepada selain Allah, ini berarti tindakan Ńāgūt. Akibat yang ditimbulkan

sebagai hasil pemahaman yang disandarkan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah lebih baik dan lebih benar.52

Dalam memperkuat penolakan terhadap dalil-dalil ra’yu, Ibn Qayyim menjelaskan pedapat-pendapat ulama salaf, antara lain Abu Bakar

aş-Şiddīq, Umar, dan Abdullāh ibn Mas’ūd.

Abu Bakar aş-Şiddīq ketika berkomentar tentang pendapat ataupun fatwa yang didasarkan pada ra’yu/akal, berkata,

“Bumi mana saja akan menenggelamkanku dan langit akan menimpaku apabila aku berkata tentang ayat al-Qur’an dengan ra’yu atau dengan sesuatu yang aku tidak tahu”.

Ibn Sīrin pernah berkomentar tentang Abu Bakar bahwa tidak ada seseorang yang lebih jauh dari apa yang dia tidak tahu kecuali Abu Bakar, kemudian Umar. Abu Bakar apabila dihadapkan pada sesuatu yang harus ditetapkan hukumnya kemudian dia tidak mendapatkan sumbernya pada al-Qur’an dan as-Sunnah, dia baru mau berijtihad dengan menggunakan ra’yunya, tetapi kemudian dia berkata,

Abu ‘Abbas Ibn Taimiyyah”. Perkataan itu mengandung makna bahwa pendapat gurunya adalah termasuk pendapatnya juga. Sa’id Abd al-’Azīm, Ibn Taimiyyah, Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi,(terj) Faisal Saleh dkk ), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), pp. 18-20.

51

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwāqi’īn, cet. I, juz. I (Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t. ), p. 37. 52

(17)

”Ini adalah pendapatku, jika benar maka dari Allah dan apabila salah maka dari diriku sendiri dan aku memohon ampunan dari Allah”.53

Umar ibn al-Khattab juga tidak menerima pendapat yang didasarkan kepada ra’yu apabila di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sudah ada ketentuan hukumnya, sebagaimana perkataannnya, bahwa ra’yu yang benar adalah ra’yu Nabi Muhammad s.a.w. karena Allah SWT. telah memberikan pengertian kepadanya, akan tetapi ra’yu yang berasal dari Umar dan sahabat yang lain adalah hanya berstatus zannī (persangkaan/tidak pasti). Suatu ketika Umar berkata,

”Sunnah adalah apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya, janganlah kamu menjadikan kesalahan akal/ra’yu sebagai sunnah bagi umat”.54

Demikian juga Abdullāh ibn Mas’ūd tidak menyukai pendapat yang didasarkan pada ra’yu atau akal semata, sehingga menurutnya,

”Tidak datang kepadamu suatu tahun kecuali tahun itu lebih buruk dari tahun yang sebelumnya, tetapi saya tidak mengatakan, bahwa suatu pemerintahan lebih baik dari pemerintahan yang lainnya atau bahwa suatu tahun lebih subur dari tahun yang lainnya, akan tetapi para ahli agamamu pergi sehingga kamu tidak mendapatkan orang yang menjadi penerusnya. Kemudian datanglah suatu kaum yang selalu mengkiaskan perkara dengan menggunakan ra’yu mereka”.

Dia juga pernah berkata,

”Jauhilah olehmu bertanya dengan pertanyaan bagaimana pendapatmu, bagaimana pendapatmu, maka sesungguhnya celaka orang yang sebelum kamu karena selalu bertanya bagaimana pendapatmu, bagaimana pendapatmu. Dan janganlah kamu menghujjahkan sesuatu karena telapak kaki yang telah kuat akan tergelincir. Dan apabila kamu ditanya tentang sesuatu yang kamu tidak tahu, jawablah,” saya tidak tahu”, karena jawaban seperti itu adalah sepertiga ilmu”.55

C. Pentingnya Pemerintahan bagi Umat Islam

Persoalan politik atau pemerintahan merupakan persoalan yang penting dalam Islam. Tugas dan fungsi dari pemerintahan adalah

53

Ibn Qayyim, I’lām., p. 43

54

Ibid.

55

(18)

mengatur kehidupan masyarakat agar masyarakat hidup secara teratur, tenteram, dan damai, hidup dengan aman dan jauh dari ketakutan serta tercipta keadilan.

Di dalam al-Qur’an keberadaan pemerintahan secara tegas dinyatakan dalam ayat berikut’

”Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin-pemimpin kamu”. 56

Ayat ini mengandung perintah kepada umat Islam untuk mendirikan suatu pemerintahan dan untuk taat kepada pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin dilakukan setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menunjukan pentingnya pemerintahan dalam Islam.

Ûlī al-amri dalam ayat di atas memiliki pengertian orang yang memegang suatu urusan dan melaksanakannya. Ûlī al-amri disebut orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk mengatur urusan manusia.

Menurut Ibn Taimiyyah, ūlī al-amri memiliki dua arti yaitu ulama dan umara. Apabila keduanya baik maka kehidupan manusia akan baik, tetapi apabila keduanya rusak maka urusan manusia akan rusak.57

Dalam sejarah umat Islam, kita melihat bahwa para sahabat memperhatikan persoalan kepemimpinan dengan sungguh-sungguh. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. meninggal dunia, para sahabat tidak langsung menguburkannya tetapi menunggu diangkatnya seorang pemimpin baru sebagai pengganti dari Nabi, karena tanpa adanya pemimpin, maka umat akan mengalami perpecahan disebabkan tidak adanya orang yang memimpin.

Menurut Ibn Taimiyyah, persoalan pemerintahan termasuk kewajiban agama yang besar. Menurutnya urusan agama dan kehidupan umat manusia di dunia tidak bisa berjalan dengan baik apabila tidak ada orang-orang yang bertugas sebagai pemimpin. Kehidupan manusia tidak akan sempurna kemaslahatannya kecuali dia harus hidup bersama orang lain, bermasyarakat, karena masing-masing membutuhkan kepada yang lainnya, sehingga dalam suatu masyarakat diperlukan dan diharuskan adanya seorang pemimpin yang mengatur hubungan dan urusan mereka.

Karena pentingnya seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang berisi suatu perintah apabila ada tiga orang melakukan perjalanan agar mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin rombongan.58

56

Al-Nisā’ (4): 59.

57

Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah fī al-Islām (ttp: tnp, t.t.), p. 285.

58 Muhammad Muhyi ad-Dīn ‘abd al-Hamīd, Sunan Abī Dāwud, juz. III, (ttp: Dār

(19)

Pentingnya kedudukan seorang pemimpin dalam suatu masyarakat juga tidak bisa dilepaskan dari perintah Allah yang mewajibkan kepada manusia untuk amar ma’ruf dan nahi munkar. Pelaksanaan perintah tersebut tidak bisa sempurna tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan. Demikian juga adanya kewajiban jihad, berbuat adil, dan penegakan hukum tidak bisa secara baik direalisasikan tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan. Seorang pemimpin digambarkan sebagai sosok pelindung yang dijadikan oleh Allah di permukaan bumi. Karena pentingnya pemerintahan tersebut, maka menurut Ibn Taimiyyah, "enam puluh tahun dipimpin oleh pemimpin yang jahat (fajir) lebih baik dari pada satu malam tanpa adanya pemimpin.59

Menurut Imam al-Māwardī, kedudukan seorang pemimpin atau pemerintahan sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Pemimpin menduduki tempat sebagai wakil dari tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan manusia. Karena pentingnya seorang pemimpin, maka hukum mengangkat seorang pemimpin adalah suatu kewajiban.60

Menurut al-Māwardī, kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin bisa dilihat dari dua sisi:

1. Kewajiban secara ‘aqli, karena secara logika keberadaan pemimpin atau pemerintahan akan mewujudkan kedamaian dan menghindarkan perbuatan-perbuatan yang dhalim serta menyelesaikan perselisihan dan persengketaan. Tanpa adanya pemimpin, kehidupan manusia menjadi tidak terurus.

2. Kewajiban secara agama, karena seorang pemimpin bertugas dan berkewajiban menegakkan persoalan berdasarkan syari’at. Hal ini didasarkan kepada perintah untuk metaati Allah, mentaati Rasul-Nya dan mentaati ūlī al-amri61

.

Menurut Imam al-Māwardī, kewajiban menegakkan pemerintahan atau menghangkat seorang pemimpin adalah kewajban yang bersifat kifāyah, artinya ketika telah ada seorang yang memegang pemerintahan dan merupakan ahlinya, kewajiban tersebut sudah gugur. Tetapi apabila tidak ada seorang-pun yang menjadi pemimpin, maka merupakan suatu kesalahan dan berdosa.62

59 Ibn Taimiyyah, Majmū’at., juz. 8, p. 216.

60

Al-Māwardī, Al-Ahkām as-SulŃāniyyah wa al-Wilāyat ad-Dīniyyah, cet. III (Mesir: Syirkah Maktabah wa MaŃba’ah MuşŃafā al-Bābī al-Hālī wa Aulāduh, 1973), p. 5.

61

An-Nisā’ (4): 59.

62

(20)

Pendapat tentang pentingnya suatu pemerintahan juga disepakati oleh al-Maudūdī63. Menurutnya persoalan pemerintahan merupakan persoalan yang penting bagi umat Islam. Karena pentingnya pemerintahan, maka Islam memberikan prinsip-prinsip dalam pemerintahan:

1. Islam merupakan suatu ideologi yang sempurna (kāffah) di mana aturan-aturannya mencakup seluruh aspek kehidupan

2. Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan dasar bagi kehidupan umat Islam.

3. Hukum Islam didasarkan pada al-Qur’an dan As-Sunnah.

4. Komitmen dalam memegang tujuan untuk menegakkan kerajaan Allah swt. Dengan penerapan hukum Allah akan mengantarkan kepada keberhasilan, kekuasaan dan kesejahteraan bagi masyarakat Islam di dunia sampai akhirat.

5. Kemunduran kaum Muslimin adalah sebagai akibat pelanggaran terhadap hukum Allah.

6. Ilmu dan teknologi harus diperkuat dan dipergunakan dalam kerangka Islam untuk menghindari westernisasi dan sekularisasi.64

D. Pengangkatam Pemimpin Non Muslim

Larangan pengangkatan seorang pemimpin non muslim bagi umat Islam biasanya didasarkan kepada ayat:

”Wahai orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang-orang-orang Nasrani sebagai pemimpin (auliā).65 “Wahai orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin (auliā)66.

serta ayat;

”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai pemimpin (auliā)67.

63

Nama lengkapnya adalah Abū al-A’lā al-Maudūdī, lahir tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India Tengah dan meninggal 23 September di New York. Dia adalah seorang muslim modernis yang berjuang untuk mendirikan sebuah negara Islam di Pakistan. John L. Esposito, The Oxford Enciclopaedia of the Modern Islamic World, vol. 3 (New York: Oxford University Press, 1995), p. 72. 64

Esposito , Ancaman Islam, Mitos atau Realitas (Bandung: Mizan, 1998), p.136.

65 Al-Mā’idah (5): 51. 66 Al-Nisā’ (4): 144. 67 Al-Mumtahanah (60): 1.

(21)

Menurut Ibn Jarīr aŃ-łabarī, bahwa surat al-Mā’idah (5) : 51 turun berkaitan dengan perjanjian antara ‘Ubādah ibn Şāmit dan Abdullāh ibn Salūl dengan orang Yahudi, di mana ‘Ubādah memutuskan hubungan tersebut, sementara Abdullāh ibn Salūl tetap berpegang dengan perjanjian tersebut setelah jelas permusuhan mereka (orang Yahudi) kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah telah mengabarkan bahwa siapa saja yang menjadikan wali atau pemimpin orang Yahudi dan memegang janjinya, sesungguhnya dia termasuk golongan Yahudi.68

Menurut Ibn Taimiyyah, ayat tersebut merupakan larangan bagi umat Islam untuk menjadikan orang non muslim termasuk Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin atau pemegang urusan umat Islam. Menurutnya menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin sama kedudukannya dengan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Hal itu merupakan suatu tindakan yang dilarang dalam agama.69

Keharusan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang pemimpin dari kalangan umat Islam sendiri tidak disetujui oleh Rasyīd Ridā. Menurutnya larangan menjadikan non muslim menjadi pemimpin bagi umat Islam adalah ketika dalam kondisi permusuhan dan peperangan. Larangan dalam ayat tersebut bukan larangan yang berlaku mutlak, tetapi dikhususkan dalam keadaan permusuhan dan peperangan. Ketika kondisi sudah berubah, tidak ada permusuhan dan peperangan, dalam keadaan damai, larangan tersebut sudah tidak berlaku.70

Selain syarat pemimpin adalah Muslim, syarat yang lain adalah kuat dan amanah. Kuat yang dimaksud Ibn Taimiyyah adalah kekuatan yang sesuai dengan tugas-tugasnya. Seorang pemimpin perang harus kuat badan dan hatinya serta memiliki kemampuan memanah, memukul, naik kuda, lari dan lain-lain. Kekuatan seorang hakim adalah ilmunya dalam bidang hukum dan keadilan sesuai yang ditunjukan oleh naşh dan kekuatan untuk menjalankan hukum-hukum.

Sedangkan amanah adalah rasa takut pada Allah, sehingga dia tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit dan meninggalkan rasa takut pada manusia.71 Hal ini didasarkan pada firman Allah:

”Maka janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku dan janganlah kamu menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang

68

Ibn Jarīr aŃ-łabarī, Jāmī’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jil IV, cet. III (Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1999), p. 615.

69

Ibn Taimiyyah, Majmū’at., juz. 28, p. 112.

70

Rasyīd Ridā, Al-Manār., juz. VI, pp. 425-426.

71

(22)

sedikit. Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir.72

Syarat yang diajukan oleh Ibn Taimyyah, bahwa seorang pemimpin harus kuat dan amanah, menurutnya merupakan suatu syarat yang sulit. Umar ibn al-KhaŃŃāb pernah berdo’a kepada Allah; “ Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu tentang kekuatan orang yang fājir (jelek/jahat) dan kelemahan orang yang tsiqat (dapat dipercaya)".

Menurut Ibn Taimiyyah, dalam setiap persoalan harus disesuaikan dengan ahlinya. Apabila ada dua orang, yang satu besar amanahnya sedangkan yang lain besar kekuatannya, maka dipilih mana yang paling bermanfaat dan paling sedikit madharatnya bagi suatu pekerjaan atau tugas.73

Suatu ketika Imam Ahmad ditanya tentang dua orang yang pantas untuk menjadi pemimpin dalam perang, yang satu kuat tetapi fājir sedangkan yang lainnya lemah tetapi şālih. Ahmad menjawab,

"Adapun orang yang fājir tetapi kuat, maka kekuatannya untuk umat Islam dan kefajirannya untuk dirinya sendiri. Adapun orang yang şālih tetapi lemah, maka kelemahannya untuk umat sedangkan kesalihannya untuk dirinya sendiri."

Pemilihan seperti itu, menurut Ibn Taimiyyah, pernah juga dilakukan oleh Nabi kepada Khālid ibn al-Wālid untuk menjadi panglima perang melawan orang-orang musyrik, padahal Khālid adalah seorang sahabat yang kadang-kadang melakukan sesuatu yang disetujui oleh Nabi dan kadang-kadang melakukan sesuatu yang tidak disetujui. Tetapi karena yang dijadikan pertimbangan adalah keberanian, kekuatan dan kemahiran di dalam perang, maka Nabi memilih Khālid sebagai panglima perang.74

E. Kewajiban dan Hak-hak non Muslim

Secara umum non muslim yang hidup di negara Islam dibagi menjadi dua non muslim yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan muslim dan non muslim yang tunduk kepada pemerintahan muslim. Kelompok yang kedua biasanya disebut dengan Ahl zimmah. Ahl al-zimmah atau kaum zimmī adalah orang-orang yang mendapat jaminan dari

72 Al-Mā’idah (5): 44. 73 Ibid., p. 43. 74 Ibid., p. 143.

(23)

Allah dan Rasul-Nya serta kaum Muslimin untuk hidup dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan hukum Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Hak-haknya dijamin oleh negara sesuai ketentuan syari’at Islam75

Menurut Bertrand Russel, konsep ahl al-zimmah yang ada dalam syari'at Islam merupakan konsep toleransi yang pada hakekatnya menjadi sumber kekuatan orang Islam klasik dalam mengendalikan orang-orang non muslim di negara-negara Islam.76

Menurut Ahmad asy-Syarbāsyī, ahl al-zimmah adalah orang-orang Ahl al-Kitab yang mengadakan perjanjian untuk hidup bersama-sama dengan orang Islam. Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani dan bagi mereka dikenakan jizyah untuk melindungi dan membela mereka serta adanya kebebasan bagi mereka dalam menjalankan agama. Gambaran yang diberikan oleh umat Islam dalam bertoleransi dengan ahl al-zimmah adalah apa yang menjadi hak mereka juga menjadi hak kita dan kewajiban mereka adalah juga kewajiban kita.77

Islam sangat menekankan berbuat baik dan adil terhadap sesama manusia termasuk kepada orang-orang yang menganut agama yang berbeda sehingga mendorong umat Islam untuk berbuat baik dan bergaul dengan mereka dan tidak menghina agama mereka78

Menurut Ibn Taimiyyah, umat Islam diwajibkan berbuat adil dan berbuat baik terhadap ahl al-zimmah serta melarang mereka melakukan tindakan kedhaliman. Hal ini didasarkan kepada perintah Nabi untuk tidak memasuki rumah mereka tanpa izin, dan dilarang menerima buah-buahan yang merupakan hak mereka serta larangan berbuat aniaya dengan menyakiti mereka atau merusak hak-hak ataupun memaksakan sesuatu yang mereka tidak mampu dan larangan mengambil sesuatu dari mereka kecuali dengan cara yang baik.79

Menurut Ibn Taimiyyah, orang-orang yang termasuk dalam ahl al-zimmah adalah orang Yahudi dan Nasrani (Ahl al-Kitab) serta Majusi. Mereka menjadi ahl al-zimmah apabila tunduk kepada hukum Islam dan membayar jizyah, tetapi apabila mereka menolak, mereka boleh diperangi.80

Orang-orang Majusi diberi kewajiban mambayar jizyah bukan berarti mereka adalah Ahl al-Kitab. Perlakuan yang sama pada mereka dengan Ahl

75

Abdul ‘Aziz Dahlan, Ensiklopedi, jilid 6, p. 2020.

76

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), p. 9.

77

Ahmad ay-Syarbāsyī, Yas’alūnak fī ad-Dīn wa al-Hayāat, juz. V, cet. I (Beirut: Dār al-Jill, 1977), p. 282.

78

Ibid., pp. 282-283.

79

Ibn Taimiyyah, Majmū’at., juz. 28, p. 356.

80

(24)

al-Kitab dikhususkan dalam persoalan jizyah, karena sembelihan mereka haram, demikian juga perempuan mereka haram utuk dinikahi oleh umat Islam, sebagaimana hadits Nabi,:

“Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti perlakuan terhadap Ahl al-Kitab, kecuali memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka “.81

Menurut Ibn Taimiyyah, berdasarkan pendapat Imam Ahmad, bahwa orang-orang Majusi tidak memiliki kitab, tidak mengganti dan tidak diganti, tidak dihapus (mansūkh) dan tidak tetap. Tetapi apabila mereka memiliki kitab kemudian diangkat olah Allah, maka mereka adalah umat yang memiliki syubhat al-kitāb dan hal ini menjadikan mereka terpelihara darahnya dengan membayar jizyah sebagaimana yang diterapkan bagi Ahl al-Kitab, Yahudi atau Nasrani.82

Orang-orang Şābi’īn dan orang-orang kafir atau musyrik tidak termasuk ahl al-zimmah. Perjanjian yang dilakukan umat Islam dengan mereka adalah dalam hal perjanjian keamanan83

dan mereka tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah.84 Sedangkan terhadap orang-orang murtad tidak boleh dibuat perjanjian keamanan, tetapi mereka harus diperangi.85

Berkaitan dengan berapa besar jizyah yang harus dibayar oleh ahl al-zimmah kepada pemerintahan Islam, tidaklah ditentukan dalam syari’at, seperti tidak ditetapkannya besarnya kharāj (pajak). Besar-kecilnya jizyah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kemaslahatan dan berdasarkan persetujuan serta kemampuan dari ahl al-zimmah.86

Pendapat Ibn Taimiyyah ini berbeda dengan pendapat para ulama sebelumnya dalam masalah jumlah jizyah yang harus dibayarkan oleh ahl al-zimmah. Imam as-Syafi’i menetapkan jizyah bagi orang fakir satu dinar, bagi orang yang menengah dua dinar dan bagi orang kaya empat dinar. Tetapi jizyah yang paling sedikit yang harus dibayarkan adalah satu dinar, sedangkan jumlah paling banyak tergantung persetujuan dan kerelaan ahl al-zimmah

Sahabat-sahabat Imam Malik menetapkan, bahwa jizyah yang paling banyak adalah empat dinar bagi orang yang memiliki emas, bagi orang

81

Mālik ibn Anas, Al-MuwaŃŃa’, (ttp:tnp, t.t), bab Zakat, hadits nomor 43, p. 178. 82

Ibn Taimiyyah, Majmū’at, juz. 32, pp. 119-120.

83 Ibid., juz. 28, p. 228. 84 Ibid., juz. 19, p. 14. 85 Ibid., juz. 28, p. 228. 86 Ibid., pp. 136-137.

(25)

yang fakir (ahl al-waraq) empat puluh dirham. Apabila terdapat orang yang tidak memiliki kemampuan, kepadanya diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.

Sahabat-sahabat Abu Hanifah menetapkan jizyah empat puluh delapan dirham bagi orang yang kaya, di bawahnya dua puluh empat dirham bagi golongan menengah dan dua belas dirham bagi orang miskin. Sedangkan penentuan kaya atau miskin tergantung wilayah masing-masing.

Sedangkan menurut Imam Ahmad, orang fakir harus membayar dua belas dirham, orang yang menengah wajib membayar dua puluh empat dirham, sedangkan untuk orang yang kaya adalah empat puluh delapan dirham.87

F. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam persoalan kepemimpinan, umat Islam dilarang mengangkat non muslim menjadi pimpinan bagi umat Islam serta larangan mengangkat non muslim menjadi pejabat yang mengurusi urusan umat Islam. Orang-orang non muslim dalam hal ini Ahl al-zimmah mendapatkan perlindungan terhadap jiwa dan harta mereka serta kebebasan beragama. Dalam persoalan kewajiban, kalau umat Islam diberikan kewajiban membayar zakat, maka kepada mereka diberikan kewajiban membayar jizyah sesuai dengan kesepakatan dan kemampuan mereka.

87

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ahkām ahl az-Zimmah, cet. I ( Damsyiq: MaŃba’ah Jamī’ah, 1961), p. 26.

(26)

Daftar Pustaka

‘Abduh, Muhammad Sa’īd Ismā’il,” Musykilāt al-Jibr wa al-Ikhtiyār wa Ra'yu al-Imām Ibn Taimiyah”, dalam Usbu’ al-Fiqh al-Islāmī wa Mahrajān al-Imām Ibn Taimiyyah, Damaskus: Al-Majlis al-A’lā li Ri’āyat al-Qānūn wa al-Adab wa al-’Ulūm al-Ijtimā’iyyah, 1380 H. ‘Alwānī, Tāhā Jābir, Ibn Taimiyyah wa Islāmiyat al-Ma’rifah, ttp:

Al-Ma’had al-’Ilm lī al-Fikr al-Islāmī, 1994.

Amin , Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fiqh Islam, Jakarta: Inis, 1991.

Anas Mālik ibn, Al-MuwaŃŃa’, ttp:tnp, t.t.

Al-’Azīm, Sa’id Abd, Ibn Taimiyyah, Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi,(terj) Faisal Saleh dkk ), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Cheneb ,Mohammad ben, “ Ibn Taimiyya", dalam Encyclopaedia of Islam

1913-1936, vol. III, cet. I, New York: E.J. Brill, 1993.

Dahlan , Abd al-’Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, jil II, cet. I, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Dikrūrī, Muhammad Ibrāhīm, “Al-'Aql wa Majāluh 'ind Ibn Taimiyyah”, dalam Usbū’ al-Fiqh al-Islāmī wa Mahrajān al-Imām Ibn Taimiyyah, Damaskus: Al-Majlis A’lā li Ri’āyat Qānūn wa Adab wa al-’Ulūm al-Ijtimā’iyyah, 1380 H.

Esposito, John L., The Oxford Enciclopaedia of the Modern Islamic World, vol. 3, New York: Oxford University Press, 1995.

______, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas, Bandung: Mizan, 1998.

Al-Hādī, Muhammad ibn Ahmad ‘Abd, Al-’Uqūd ad-Durriyyah Min Manāqib Syaikh Islām Ahmad ibn Taimiyyah, Beirut: Dār kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

Al-Hamīd, Muhammad Muhyi ad-Dīn ‘abd, Sunan Abī Dāwud, juz. III, ttp: Dār Ihyā’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, t.t.

Homerin, Th.E., “ Tentang Kitab As-Suffiyyah wa al-Fuqarā Karya Ibn Taimiyyah”, dalam Al-Hikmah, No. 12. Bandung: Yayasan Mutahhari, Januari-Maret 1994.

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, I’lām Muwāqi’īn, cet. I, juz. I, Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t.

(27)

______,Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, Ahkām ahl az-Zimmah, cet. I, Damsyiq: MaŃba’ah Jamī’ah, 1961.

Luis, Henri,” An-Nasy’at ’Ilmiyyah ‘ind Ibn Timiyyah wa Takwīnuh al-Fikriyyah”, dalam Usbū al-Fiqh al-Islāmī wa Mahrajān al-Imām Ibn Taimiyyah, Damaskus: Al-Majlis A’lā li Ri’āyat Qānūn wa al-Adab wa al-’Ulūm al-Ijtimā’iyyah, 1380 H.

Al-Māwardī, Al-Ahkām as-SulŃāniyyah wa al-Wilāyat ad-Dīniyyah, cet. III, Mesir: Syirkah Maktabah wa MaŃba’ah MuşŃafā al-Bābī al-Hālī wa Aulāduh, 1973.

Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. 2, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

An-Nawāwi, Şahīh Muslim, vol. IV., Beirut; Dār al-Fikr, 1972.

AŃ-łabarī, Ibn Jarīr, Jāmī’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jil IV, cet. III, Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1999.

Rasyīd Ridā, Al-Manār., juz. VI, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995.

Asy-Syarbāsyī, Ahmad, Yas’alūnak fī ad-Dīn wa al-Hayāat, juz. V, cet. I, Beirut: Dār al-Jill, 1977.

Taimiyyah, Ibn, Ar-Radd ‘Alā ManŃiqiyyīn, cet. VI, Riyād: Maktabat al-Ma'ārif, 1984.

______, Syarh Hadīts an-Nuzūl, ttp.: Mansyūrāt al-Maktab al-Islāmī, 1969. ______, Al-Hisbah fī al-Islām, ttp: tnp, t.t.

______, Majmū’at al-Fatāwā, Riyād: Dār al-Wafā li at-Tibā’at wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1997.

______, At-Tafsīr al-Kabīr, juz. I, Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t. ______, Al-Furqān Bain Auliyā’ ar-Rahmān wa Auliyā’ asy-Syaitān, cet. I,

Beirut: Dār al-Kitāb al-’Arabī, 1995.

______, Al-Fatāwā al-Kubrā, jil. 5, Beirut: Dār al-Qalam, 1987.

Umaruddin, Muhammad, ”Ibn Taimiyyah as a Thinker and Reformer”, dalam Usbū’.. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986.

Zahrah ,Muhammad Abū ,, Ibn Taimiyyah Hayātuh wa ‘Aşruh, Ārā’uh wa Fiqhuh, Beirut: Dār al-’Arabī, t.t.

(28)

_______, Abū Uşūl al-Fiqh, ttp: Dār al-Fikr al’Arabī, t.t.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan Faktor- Faktor pembentuk sikap yang berhubungan dengan sikap petani terhadap program PUAP

` Berdasarkan beberapa metode yang telah dijelaskan diatas penulis mengajukan metode deteksi eksudat pada retina dengan penyakit diabetes secara segmentasi menggunakan

Ilmu le!ih utama ari harta, karena ilmu akan men*agamu sementara harta malah engkau yang harus men*aganya#!. Ilmu le!ih utama ari harta karena i akherat nanti pemilik harta

tiga makna Perjamuan Kudus yaitu makna me- nyangkut masa lalu, kini dan yang akan datang. Mak- na masa lalu berarti bahwa Perjamuan Kudus meru- pakan peringatan pengorbanan

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu mukjizat kerasulannya. Al- Qur‟an merupakan

Bonding Performance of Tropical Fast-Growing Wood Species-Bondability of Six Indonesian Wood Species in Relation with Density and Wettability.. Faculty of Agriculture, Shizuoka

Sistem pengelolaan air limbah domestic di Kabupaten Pulau Morotai belum tertata / dikelolah dengan benar, pengelolaan limbah rumah tangga black water masih dilakukan

24 MAHMUD AZIS Jambur P.Matinggi, 07 Juli 1985 Jambur Padang Matinggi Wiraswasta S1 LULUS 25 NELLI JUNITA Huta Siantar, 21 Juni 1978 Mompang Julu Wiraswasta SMU LULUS 26 RAFIKAH