• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Partisipasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Pemantauan Pemilu 1999 - 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Potret Partisipasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Pemantauan Pemilu 1999 - 2014"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

POTRET PARTISIPASI

ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL

DALAM PEMANTAUAN PEMILU

1999 - 2014

Tim Peneliti: Khoirunnisa Agustyati Veri Junaidi Ibrohim Editor: Sidik Pramono Retno Widyastuti

(3)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

POTRET PARTISIPASI ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PEMANTAUAN PEMILU 1999 - 2014 Penulis Khoirunnisa Agustyati Veri Junaidi Ibrohim Editor: Sidik Pramono Retno Widyastuti

Penata Letak dan Desain Sampul:

Wisnu Wardhana

Diterbitkan oleh:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

atas kerjasama dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Juni 2015

ISBN:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

Jln. Wolter Monginsidi No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp: +62-21-7279-9566

Fax: +62-21-720-5260, +62-21-720-4916 http://kemitraan.or.id

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Jl. Tebet Timur IV A, No.1, Tebet, Jakarta Selatan, 12820 Telp: +62-21-8300-004

Fax: +62-21-8379-5697 http://www.perludem.org/

(4)

Potret Partisipasi Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pemantauan Pemilu 1999 - 2014

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

KATA PENGANTAR

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

Dalam mendukung kerja-kerja reformasi tata pemerintahan, Kemitraan memiliki misi untuk menyebarkan, memajukan dan melembagakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan berkelanjutan melalui penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Salah satu upaya penting yang dilakukan oleh Kemitraan dalam rangka mendukung kepemiluan di Indonesia adalah dengan memberi dukungan kepada berbagai organisasi masyarakat sipil untuk membuat kajian terkait kepemiluan, guna menyediakan rekomendasi bagi reformasi sistem kepemiluan dan praktik pelaksanaan pemilihan umum.

Kemitraan percaya bahwa penguatan terhadap seluruh aktor baik Negara ataupun non-Negara dalam memajukan demokrasi harus segera dilakukan. Buku ini merupakan hasil dari kajian yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait potret partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam pemantauan sejak tahun 1999 hingga tahun 2014, yang berisi urgensi pemantauan pemilu, sejarah organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pemilu, perkembangan pemantauan masa kini, hingga tantangan dan peluang masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam pemantauan pemilu.

Kemitraan menyampaikan ucapan selamat kepada tim Perludem atas terselesaikannya kajian ini, dan kami ucapkan terima kasih atas review dan masukan para editor dalam proses penyempurnaan buku potret partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam pemantauan pemilu. Kemitraan juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) yang telah memberikan dukungan terus-menerus dalam memajukan demokrasi di Asia Tenggara. Kemitraan berharap dengan adanya buku ini, dapat memperkaya diskusi dan pemahaman kita tentang sejarah, proses dan peranan organisasi masyarakat sipil dalam berpartisipasi memantau pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden di tanah air, dan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait dalam persiapan pelaksanaan pemilu selanjutnya yang lebih baik di tanah air.

Jakarta, Juni 2015

(5)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

KATA PENGANTAR

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

“Jalan Panjang Aktivitas Pemantauan Pemilu”

Setiap penyelenggaraan pemilu, pada hakikatnya tentu saja merupakan kesempatan untuk memilih, dan memperbaiki pemerintahan. Muara dari semua itu adalah hadirnya organisasi negara yang dihasilkan oleh pemilu yang lebih menjanjikan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa kecuali.

Indonesia sebagai negara yang demokrasinya sedang tumbuh dan mekar, tentu saja mempunyai sejarah yang cukup kelam dalam pahatan pemerintahan orde baru. Nilai dan prinsip luhur pemilu sebagai ajang untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi siapa saja untuk berpartispasi dalam pemerintahan terasa dipermainkan oleh rezim orde baru. Kita tentu masih ingat, bagaimana pemilu di masa orde baru hanyalah ajang rutinitas pelengkap formalitas belaka.

Setiap penyelenggaraan pemilu berjalan dengan suasana yang tidak seimbang, tidak jujur, dan jauh dari prinsip dasar pemilu. Bahkan, dalam banyak guyonan, Kalau mengingat pemilu di zaman orde baru, sebelum pemilu itu selesai, sebanarnya hasilnya sudah diketahui. Kondisi ini pululah yang sedikit banyaknya menyumbang penyebab rezim otoriter dan serba tertutup selama lebih dari 30 tahun.

Keadaan ini kemudian yang melahirkan banyak perlawanan, yang puncaknya terjadi pada akhir tahun 90-an. Salah satu tuntutan yang paling tajam disampaikan kala itu adalah, bagaimana menciptakan suatu proses pemilu yang lebih terbuka, jujur, adil, dan jauh dari segala praktik manipulasi. Banyak kelompok perlawanan yang muncul untuk menghentikan praktik manipulasi dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Salah satu organisasi pemantau pemilu yang muncul misalnya, Komite Independen Pemantau Pemiilu (KIPP), memang mengakui salah satu keinginan besar untuk ikut terlibat aktif dalam mengawal pemilu 1997 untuk memastikan rezim orde baru tidak berkuasa kembali.

Masa transisi pascaruntuhnya orde baru kemudian memicu banyak partispasi masyarakat untuk turut serta dalam melakukan pemantauan pemilu. Pemilu 1999 sebagai pemilu percepatan sebagai salah satu tuntututan reformasi, melahirkan harapan baru bagi publik. Banyak aktivitas pemantauan pemilu digagas. Semua elemen ingin terlibat. Beberapa organisasi yang muncul misalnya KIPP, UNFREL, Forum Rektor, CETRO, JPPR merupakan bentuk besarnya harapan publik, bahwa rezim otoriter telah runtuh, dan lahirlah rezim reformasi, yang menjanjikan perbaikan.

(6)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Dalam perkembangannya, setelah Pemilu 1999, menuju Pemilu 2004, aktivitas pemantauan pemilu mulai terasa menurun. Banyak faktor yang menyebabkan kenapa aktivitas pemantauan mengalami kemerosotan. Beberapa hal yang disebut dalam tulisan Potret Partispasi Organisasi Masyrakat Sipil Dalam Pemantauan Pemilu 1999-2014 ini adalah persoalan harapan besar pada Pemilu 1999 yang tak kunjung terwujud. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik pascaruntuhnya rezim orde baru dirasa agak lambat muncul kepermukaan.

Selain itu, persoalan keterbatasan sumber daya untuk melaksanakan pemantau pemilu juga menjadi tantangan terbesar di dalam aktivitas pemantauan pemilu oleh organisasi masyarakat sipil. Beberapa hal inilah kemudian yang coba diulas oleh Khoirunnisa dan kawan-kawan dalam kajian ini. Pertama, menurut saya, organisasi masyarakat sipil butuh banyak referensi dan dokumentasi terkait dengan aktivitas panjang pemantauan pemilu yang sudah dilakukan sejak lama, bahkan sejak sebelum reformasi. Dan kajian ini diharapkan dapat menjadi satu dari sekian kebutuhan terhadap referensi itu. Kedua, kajian ini juga coba menjawab bagaimana menghadapi tantangan aktivitas pemantauan pemilu, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai milik keseluruhan masyarakat bisa dikawal dengan baik. Saya mengucapkan selamat kepada Khorunnisa, Veri Junaidi, dan Ibrohim, yang telah menyelesaikan kajian ini, yang tentu sangat bermanfaat dalam khazanah dan referensi aktivitas pemantauan pemilu.

Selain itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Kemitraan, The Partnership For Governance Reform yang telah membantu dalam pelaksanaan kajian ini. Akhirnya, atas nama Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saya ucapkan selamat kepada para penulis, dan selamat membaca kepada seluruh pegiat pemilu, masyarakat, penyelenggara pemilu, dan siapapun yang menginginkan penyelenggaraan pemilu Indonesia yang lebih baik.

Jakarta, Juni 2015

Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perludem

(7)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

TENTANG

KEMITRAAN BAGI PEMBARUAN TATA PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Kemitraan atau Partnership adalah organisasi multi pemangku kepentingan yang didirikan untuk mendorong pembaruan tata pemerintahan. Kemitraan bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan mitra pembangunan internasional di Indonesia untuk mendorong pembaruan di tingkat nasional dan lokal/ daerah. Kemitraan berupaya merangkul pemerintah eksekutif, legislatif dan yudikatif, beserta masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-sama mempromosikan tata pemerintahan yang baik di Indonesia yang berkelanjutan. Karena kepemilikan nasionalnya, Kemitraan berada dalam posisi yang unik untuk memprakarsai program-program yang membutuhkan kehadiran mitra-mitra dari kalangan pihak berwenang di Indonesia.

Kemitraan pertama kali didirikan pada tahun 2000 setelah Pemilu bebas dan adil di Indonesia pada tahun 1999. Pemilu tersebut melahirkan pemerintahan yang lebih kredibel setelah Indonesia selama beberapa dasawarsa berada di bawah kekuasaan rezim otoriter Soeharto. Kemitraan awalnya didirikan sebagai sebuah program yang didanai oleh multi donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP).

Maksud pembentukan Kemitraan pada awalnya adalah untuk menciptakan sebuah platform multi-stakeholder yang akan menjadi pendukung utama bagi masyarakat Indonesia dalam menjelajahi proses pembaruan tata pemerintahan yang kompleks, memakan waktu yang lama dan seringkali sulit mereformasi pemerintahan. Kemitraan menjadi sebuah badan hukum independen pada tahun 2003 dan terdaftar sebagai sebuah perkumpulan perdata nirlaba, sambil tetap mempertahankan statusnya sebagai proyek UNDP sampai dengan Desember 2009.

Selama sebelas tahun terakhir, Kemitraan telah berkembang dari sebuah proyek UNDP menjadi sebuah lembaga yang terpercaya, mandiri dan terkemuka Indonesia.

Kemitraan memiliki misi untuk menyebarkan, memajukan dan melembagakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan bersih antara pemerintah, masyarakat sipil dan bisnis, dengan memperhatikan/ mempertimbangkan hak asasi manusia, kesetaraan gender, kelestarian lingkungan dan terpinggirkan.

Kami adalah efektif dalam misi kami ketika:

• Pemangku kepentingan kami berusaha untuk melanjutkan pengembangan pro-gram bersama kami dan merekomendasikan kami kepada orang lain.

(8)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

• Inovasi dan upaya kami berubah menjadi tata kelola pemerintahan yang ebih baik dalam pemerintah maupun masyarakat Indonesia.

• Pengaruh kami melahirkan peningkatan reformasi pemerintahan dari semua tingkatan pemerintah.

Belajar dari proses reformasi yang tidak mudah di Indonesia, yang terkadang mendapat tentangan dari kepentingan pribadi dan golongan, serta terdorong oleh tantangan untuk menunjukkan jalan perubahan yang benar, Kemitraan telah menemukan pendekatan yang unik dalam pembaruan tata pemerintahan: membangun kapasitas dari dalam sambil pada saat yang sama memberikan tekanan dari luar – pendekatan pembaruan multi-aspek kami. Pelaksanaannya melibatkan kerja pada beberapa segi secara bersama-sama mendorong pembaruan dari dalam lembaga-lembaga pemerintah, memberdayakan masyarakat sipil untuk mengadvokasi pembaruan, dan memberdayakan komunitas untuk menuntut perencanaan pembangunan serta layanan-layanan publik yang berdasarkan kebutuhan.

Selama 11 tahun keberadaannya, Kemitraan telah mengakumulasi pengalaman dalam mengelola hibah sampai sejumlah USD 90 juta dari berbagai Negara mitra pembangunan termasuk Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Jepang, Korea, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat, dan dari lembaga-lembaga internasional termasuk Bank Pembangunan Asia, Komisi Eropa, Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/ IOM), UNDP, dan Bank Dunia serta dari sektor swasta termasuk AXIS dan Siemens.

Sejak tahun 2000, Kemitraan telah bekerja di 33 provinsi di Indonesia melalui kerjasama dengan 19 instansi pemerintah pusat, 29 instansi pemerintah daerah, 162 organisasi masyarakat sipil, 11 organisasi media, 33 lembaga penelitian dan universitas, sembilan lembaga negara independen dan lima lembaga swasta. Kemitraan juga telah bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional seperti: TIRI-Making Integrity Work, Nordic Consulting Group (NGC), UNDP, UNODC, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia dalam pelaksanaan proyek, dan telah bekerja sama dengan Chemonics, Coffey International, GRM International, RTI dan ARD dalam perancangan dan pengembangan program.

Berkat kepercayaan para pemangku kepentingan, termasuk dari komunitas, sektor, LSM dan lembaga-lembaga pemerintah, Kemitraan dapat melaksanakan program-programnya dengan sukses. Kemitraan juga berhasil memfasilitasi pembaruan kebijakan publik (penyusunan peraturan perundang-undangan atau revisi/ amandemen terhadap undang-undang dan peraturan yang sudah ada), reformasi birokrasi, pembaruan dalam bidang peradilan dan demokratisasi, UU

(9)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

anti-korupsi, strategi-strategi nasional dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, menciptakan Indeks Tata Pemerintahan, mendorong dan memfasilitasi tata pemerintahan dalam sektor lingkungan hidup dan ekonomi, serta mendorong kesetaraan gender.

Kemitraan diatur oleh dua badan: Teman Serikat dan Dewan Eksekutif. Teman Serikat adalah badan pengambil keputusan tertinggi di dalam Kemitraan. Mereka berperan dalam menetapkan keseluruhan agenda strategis Kemitraan, menyetujui laporan tahunan, menjamin agar urusan dan aset-aset Kemitraan dikelola dengan baik, dan mengangkat Direktur Eksekutif. Direktur Eksekutif mengimplementasikan rencana kerja tahunan Kemitraan dan memimpin keseluruhan staf. Mereka juga mengembangkan visi bersama Kemitraan dan mengkomunikasikan visi ini kepada mitra-mitra di pemerintah, non-pemerintah dan komunitas internasional demi untuk membangun konstituen pembaruan tata pemerintahan.

Kemitraan:

Jl. Wolter Monginsidi No.3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110

Phone: 62 21 727 99 566 Fax: 62 21 7205260

(10)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

TENTANG

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Latar Belakang

Demokrasi memang bukan satu tatanan yang sempurna untuk mengatur peri kehidupun manusia. Namun sejarah di manapun telah membuktikan, bahwa demokrasi sebagai model kehidupan bernegara memiliki peluang paling kecil dalam menistakan kemanusiaan. Oleh karena itu, meskipun dalam berbagai dokumentasi negara ini tidak banyak ditemukan kata demokrasi, para pendiri negara sejak zaman pergerakan berusaha keras menerapkan prinsip-prinsip negara demokrasi bagi Indonesia.

Tiada negara demokrasi tanpa pemilihan umum (pemilu), sebab pemilu merupakan instrumen pokok dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Sesungguhnya, pemilu tidak saja sebagai arena untuk mengekspresikan kebebasan rakyat dalam memilih pemimpinnya, tetapi juga arena untuk menilai dan menghukum para pemimpin yang tampil di hadapan rakyat. Namun, pengalaman di berbagai tempat dan negara menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu seringkali hanya berupa kegiatan prosedural politik belaka, sehingga proses dan hasilnya menyimpang dari tujuan pemilu sekaligus mencederai nilai-nilai demokrasi.

Kenyataan tersebut mengharuskan dilakukannya usaha yang tak henti untuk membangun dan memperbaiki sistem pemilu yang fair, yakni pemilu yang mampu menampung kebebasan rakyat dan menjaga kedaulatan rakyat. Para penyelenggara pemilu dituntut memahami filosofi pemilu, memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis penyelenggaraan pemilu, serta konsisten menjalankan peraturan pemilu, agar proses pemilu berjalan sesuai dengan tujuannya. Selanjutnya, hasil pemilu, yakni para pemimpin yang terpilih, perlu didorong dan diberdayakan terus-menerus agar dapat menjalankan fungsinya secara maksimal; mereka juga perlu dikontrol agar tidak meyalahgunakan kedaulatan rakyat yang diberikan kepadanya.

Menyadari bahwa kondisi-kondisi tersebut membutuhkan partisipasi setiap warga negara, maka para mantan Pengawas Pemilu 2004 berhimpun dalam wadah yang bernama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, disingkat Perludem agar dapat secara efektif terlibat dalam proses membangun negara demokrasi dan melaksanakan pemilu yang fair. Nilai-nilai moral pengawas pemilu yang tertanam selama menjalankan tugas-tugas pengawasan pemilu, serta pengetahuan dan keterampilan tentang pelaksanaan dan pengawasan pemilu, merupakan modal bagi Perludem untuk memaksimalkan partisipasinya.

(11)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Visi

Terwujudnya negara demokrasi dan terselenggarakannya pemilu yang mampu menampung kebebasan rakyat dan menjaga kedaulatan rakyat.

Misi

1. Menguatkan kapasitas Perludem untuk menjadi lembaga yang transparan, akuntabel, dan demokratis.

2. Meningkatkan kapasitas personil perludem untuk menjadi pegiat pemilu yang berintegritas dan berkompeten.

3. Mengembangkan pusat riset, data, dan informasi kepemiluan di indonesia 4. Membangun sistem pemilu yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi

5. Meningkatkan kapasitas pembuat kebijakan, penyelenggara, peserta dan pemilih agar memahami filosofi tujuan pemilu dan demokrasi serta memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis penyelenggaraan pemilu.

6. Memantau penyelenggaraan pemilu agar tetap sesuai dengan peraturan dan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis

7. Memperluas jaringan kelembagaan untuk memperkuat nilai – nilai pemilu yang demokratis.

Kegiatan

1. Pengkajian: mengkaji peraturan, mekanisme dan prosedur pemilu/pilkada; mengkaji pelaksanaan pemilu/pilkada; memetakan kekuatan dan kelemahan peraturan pemilu/pilkada; menggambarkan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pemilu/pilkada; mengajukan rekomendasi perbaikan sistem dan peraturan pemilu/pilkada; dll.

2. Pelatihan: meningkatkan pemahaman para stakeholder pemilu/pilkada tentang filosofi pemilu/pilkada; meningkatkan pemahaman tokoh masyarakat tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu/ pilkada; meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas-petugas pemilu/pilkada; meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para pemantau pemilu/pilkada; dll.

3. Pemantauan: memonitor pelaksanaan pemilu/pilkada; mengontrol dan mengingatkan penyelenggara pemilu/pilkada agar bekerja sesuai dengan peraturan yang ada; mencatat dan mendokumentasikan kasus-kasus pelanggaran dan sengketa pemilu/pilkada; menyampaikan pelaku-pelaku kecurangan dan pelanggaran pemilu/pilkada kepada pihak yang berkompeten; dll

(12)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kemitraan ...iii

Kata Pengantar Perludem..………. ... iv

Tentang Kemitraan ...vi

Tentang Perludem ... ix

Daftar Isi ……….... ... xi

Daftar Tabel ……… ... xii

BAB I URGENSI PEMANTAUAN PEMILU A. Pemantauan dan Pengawasan Pemilu ... 1

B. Pemantauan Pemilu dalam Kacamata Internasional ... 5

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

BAB II PEMANTAUAN PEMILU A. NAMFREL, Pionir Lembaga Pemantau Regional ... 10

B. Pelembagaan Pengawas Pemilu di Indonesia ... 13

C. Pemantauan Pemilu di Indonesia ... 23

1. Lembaga Pemantau pada Masa Transisi Demokrasi ... 24

2. Lembaga Pemantau Pemilu 2004-2014 ... 28

D. Akreditasi dari Penyelenggara Pemilu ... 33

BAB III PERKEMBANGAN PEMANTAUAN PEMILU DI INDONESIA A. Perkembangan Metode Pemantauan Pemilu ... 37

B. Inovasi Pemantauan dengan Teknologi Informasi ... 48

1. Aplikasi Pemantauan MataMassa ... 48

2. Pemantauan Pemilu Melalui Media Sosial ... 51

3. Aplikasi untuk Mengenal Caleg dan Mengawal Aspirasi Publik ... 55

4. Kawalpemilu dalam Mengawal Suara Rakyat ... 56

C. Isu-isu dalam Pemantauan ... 57

BAB IV TANTANGAN DAN PELUANG MASYARAKAT SIPIL DALAM PEMANTAUAN PEMILU A. Hambatan dalam Melakukan Pemantauan Pemilu ... 74

B. Dampak Hasil Pemantauan terhadap Kualitas Demokrasi di Indonesia ... 81

(13)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perkembangan Kelembagaan Bawaslu ... 19

Tabel 2 Lembaga Pemantau Terakreditasi KPU untuk Pemilu 2014 ... 35

Tabel 3 Perkembangan Fokus Pemantauan Pemilu di Indonesia ... 46

Tabel 4 Jumlah Pemilih dan Tingkat Partisipasi dalam Pemilu 1999 – 2014 ... 48

Tabel 5 Perbandingan Strategi Distribusi Mobilisasi Pemilu ………. ... 59

Tabel 6 Kasus Pemilih Tidak Menerima Surat Pemberitahuan ... 65

Tabel 7 Kasus Perbedaan Batas Waktu Akhir Pencoblosan ... 65

Tabel 8 Daerah Yang Tidak Menerima Surat Pemberitahuan ... 66

Tabel 9 Jumlah Pemantau JPPR ... 71

(14)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

BAB I

Urgensi Pemantauan Pemilu

A.

Pemantauan dan Pengawasan Pemilu

Proses penyelenggaraan pemilu berjalan secara demokratis jika memenuhi sejumlah indikator. Pertama, sistem pemilu sesuai dengan karakteristik masyarakat dan sistem politik demokrasi yang hendak diwujudkan. Sistem ini perlu menjamin kesetaraan warga negara dalam perwakilan, baik dalam penentuan siapa yang berhak memilih maupun dalam alokasi kursi parlemen untuk setiap daerah berdasarkan jumlah penduduk.

Kedua, payung hukum seluruh tahapan proses penyelenggaraan

pemilu harus menjamin kepastian hukum yang dirumuskan berdasarkan asas pemilu yang demokratis. Ketiga, kompetisi peserta pemilu yang bebas dan adil. Keempat, penyelenggara pemilu yang profesional dan independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kelima, proses pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keenam, sistem penegakan hukum pemilu yang dilakukan secara adil dan tepat waktu. Ketujuh, partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemilu.1

Partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemilu tidak hanya bisa dilihat ketika masyarakat pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk memberikan suaranya. Namun, lebih dari itu, keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh tahapan pemilu, seperti melaporkan adanya kecurangan pemilu, memantau proses rekapitulasi penghitungan suara, mendukung salah satu kandidat, termasuk melakukan survei tentang pemilu, merupakan bagian dari bentuk partisipasi masyarakat yang penting dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Pengalaman di dunia internasional dalam pemantauan pemilu menunjukkan pentingnya kehadiran partisipasi publik untuk mengawal penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Secara subtansi, latar belakang dilakukannya pemantauan adalah untuk meminimalisir kecurangan pemilu.

1 Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, 2013, Partisipasi Warga Negara dalam Proses Penyelenggaraan Pemilu, Jakarta:

(15)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Pemilu yang bersih mengantarkan proses transisi demokrasi berjalan aman, damai, dan tentunya menjalankan prinsip free and fair.

Pemantauan itu tidak hanya menjadi agenda internasional seperti yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PPB), melalui sejumlah lembaga internasional. Pemantauan juga sudah ditunjukkan publik di dalam negeranya sendiri seperti diperlihatkan oleh The National Citizens’ Movement

for Free Elections (NAMFREL) di Filipina yang berkontribusi besar untuk

memastikan rotasi kekuasaan di negaranya berjalan baik sesuai kehendak rakyat. Kemandirian NAMFREL dan dukungan partisipasi yang begitu besar, menjadikannya sebagai lembaga berpengaruh yang tidak bisa diabaikan oleh kekuasaan di Filipina.

Oleh karena itu, penting kiranya untuk melihat bagaimana kiprah dan partisipasi pemantau pemilu di Indonesia dalam mendorong rotasi kekuasaan yang jujur dan adil. Jika NAMFREL dengan sejarah panjangnya berhasil memengaruhi pergantian kekuasaan di negaranya, beberapa pemantau di Indonesia juga berperan dalam mendorong Reformasi 1998 dan turut menggulingkan rezim Orde Baru. Selain itu, sejumlah lembaga juga turut serta memastikan pergantian kekuasaannya berjalan dengan baik melalui penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Dalam melakukan pengawasan atau pemantauan terhadap proses pemilu, terdapat sejumlah istilah yang digunakan, seperti “pemantauan”, “pengawasan”, ataupun “mediasi”. Organisasi seperti PBB lebih memilih

istilah verifikasi. Jimmy Carter dan aktor internasional lainnya lebih sering

menggunakan istilah “mediasi” terhadap pelanggaran pemilu. Istilah ini penting bagi lembaga internasional karena sejumlah negara memiliki sensitivitas terhadap keterlibatan lembaga internasional dalam pelaksanaan pemilu.

Istilah pemantauan atau pengawasan dalam pemilu penting untuk dijelaskan karena keduanya memiliki peran dan kewenangan yang berbeda. Setidaknya terdapat dua dimensi yang berbeda, yakni (1) derajat keterlibatan dalam proses pemilu dan (2) periode waktu aktivitas tersebut dilakukan. Dari derajat keterlibatan dalam proses pemilu, pemantauan lebih bersifat pasif; sementara pengawasan lebih melibatkan diri dalam proses pemilu. Secara teoritis pemantauan memiliki arti merekam dan melaporkan. Sementara pengawasan lebih jauh dari sekadar merekam proses pemilu. Dalam pengawasan setidaknya terdapat upaya intervensi untuk memperbaiki

(16)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

kesalahan atau ketidaksempurnaan dan memberikan rekomendasi terhadap proses tersebut. Berdasarkan periode waktunya, pemantauan bersifat lebih singkat dibandingkan dengan pengawasan. Pemantauan hanya terlibat pada hari pemungutan suara. Namun keduanya merupakan bagian dalam upaya kontrol terhadap proses pemilu. 2

Dalam konteks Indonesia, pemantauan pemilu dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Sementara itu dalam hal pengawasan pemilu sudah ada lembaga yang dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut yang disebut dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam buku yang berjudul “Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi” yang ditulis oleh Didik Supriyanto dan Topo Santoso, disebutkan bahwa pemantau dan pengawas pemilu sama-sama diperlukan untuk terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Perbedaan di antara keduanya antara lain, pemantau pemilu hanya memantau pelanggaran, sementara pengawas pemilu memiliki peran yang lebih luas, yaitu menyelesaikan pelanggaran dan sengketa pemilu. Oleh sebab itu hasil kerja pemantauan yang dilakukan masyarakat perlu dilaporkan kepada pengawas pemilu untuk ditindaklanjuti.

Berdasarkan pengalaman pada Pemilu 2004, kerja sama di antara pemantau dan pengawas ini diperlukan karena personel yang dimiliki oleh pengawas pemilu terbatas hingga di tingkat kecamatan. Tidak jarang pengawas pemilu seringkali mengalami kesulitan untuk mengawasi pemilu hingga tingkat tempat pemungutan suara. 3

Mengingat pentingnya kerja sama antara pemantau dan pengawas pemilu, maka bentuk kerja sama keduanya perlu diformulasikan dalam nota kesepahaman sehingga dapat disosialisasikan hingga tingkat bawah. Selain

pentingnya bentuk kerjasama ini, tidak dapat dinafikan jika lembaga pemantau

tetap memiliki ruang untuk melakukan aktivitas pemantauan terhadap jajaran pengawas pemilu.4

Walaupun negara telah membentuk sebuah badan pengawas pemilu, namun peran pengawasan pemilu tidak bisa hanya dilakukan oleh badan tersebut. Peran dari masyarakat tetap diperlukan dalam upaya pengawasan pemilu. Peran dan partisipasi masyarakat penting untuk mengawasi penyimpangan yang dilakukan. Selain itu peran pemantau adalah membantu penyusunan regulasi standar pengawasan, sosialisasi pengawasan, sebagai pelapor dan saksi laporan, serta mengadvokasi

2 Ibid, hal 41

3 Didik Supriyanto dan Topo Santoso dalam Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu, 2013, Jakarta:

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, hal 3

(17)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

laporan.5

Setidaknya terdapat lima sumbangan atau peran masyarakat dalam pemantauan pemilu6, yakni:

1. Memberikan keabsahan terhadap proses pemilu;

2. Meningkatkan rasa hormat dan kepercayaan terhadap HAM, khususnya hak sipil dan politik;

3. Meningkatkan kepercayaan terhadap proses pemilu; 4. Membangun kepercayaan terhadap demokrasi; dan

5. Mendukung upaya penyelesaian konflik secara damai.

Senada dengan itu, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) juga memberikan catatan soal tujuan lembaga pemantau. Terdapat tiga peran yang dilakukan dalam pemantauan untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Ketiga tujuan partisipasi itu adalah sebagai berikut:7

1. Usaha masyarakat dalam mewujudkan pemilu yang dapat berlangsung secara demokratis, sehingga hasilnya dapat diterima dan dihormati oleh semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah, terlebih oleh mayoritas warga negara yang memiliki hak pilih;

2. Pemantauan juga termasuk usaha untuk menghindari terjadinya proses pemilu dari kecurangan, manipulasi, permainan, serta rekayasa yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan kepentingan masyarakat; dan

3. Usaha untuk menghormati serta meningkatkan kepercayaan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik warga negara.

Uraian di atas cukup memperlihatkan bahwa pemantauan dan pengawasan pemilu dalam konteks di Indonesia sangat dibutuhkan sebagai satu kesatuan upaya untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pengawasan sebagai pemantauan yang dilembagakan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak bisa berjalan sendiri karena adanya keterbatasan, baik personel maupun waktu yang dimiliki. Begitu juga pemantau pemilu yang berada di luar sistem. Mereka akan sulit mendorong tindak lanjut tanpa peran pengawas pemilu yang memiliki otoritas. Oleh

5 Nur Hidayat Sardini, 2011, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta: Fajar Media Press, hal 250 6 Ibid, hal 255

7 Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi dan TAF, 2013, Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu,

(18)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

karena itu, kolaborasi antar-kedua elemen akan mampu mendorong sinergi pengawalan untuk penyelenggaraan pemilu yang demokratis.

B.

Pemantauan Pemilu dalam Kacamata Internasional

Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, jujur, dan adil merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi. Hal ini penting karena pemilu dianggap sebagai institusi politik atau proses yang dianggap paling baik untuk pergantian pemimpin di sebuah negara dengan cara yang demokratis.

Setidaknya terdapat lima alasan mendasar yang mendukung hal tersebut:

(1) Adanya deklarasi internasional yang menyatakan bahwa pemilu adalah basis dari pemerintahan yang sah. Hal ini tercantum dalam The Universal

Declaration of Human Right (UDHR) yang menyatakan bahwa keinginan

atau kehendak rakyat harus menjadi dasar dari pemerintahan yang diekspresikan melalui pemilihan umum yang jujur dan adil.

Selain UDHR terdapat juga The International Covenant on Civil and

Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa setiap warga negara

memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dapat memilih dan dipilih dalam sebuah pemilihan umum yang dijalankan secara periodik, jujur, dan adil. Setiap warga negara juga terdaftar dalam daftar pemilih serta memberikan suaranya dalam surat suara secara rahasia.

(2) Pemilihan umum berkontribusi terhadap penghargaan hak sipil lainnya. Demokrasi elektoral menjadi indikator yang paling baik dari kemajuan hak sipil dan hak asasi manusia.

(3) Pemilihan umum memiliki konsekuensi politik. Dalam sebuah negara demokratis, pemilu adalah hal yang rutin dilakukan. Dalam negara yang baru mengalami transisi demokrasi, apabila pemilunya dilaksanakan dengan sukses dapat memengaruhi performa dari pemerintahan yang terpilih dan menjadi dasar dari penerapan demokrasi di negara tersebut. (4) Pemilu, khususnya pada negara yang masih mengalami transisi demokrasi,

dapat memberikan ruang kepada warga negara untuk terlibat dalam ruang publik. Karena mendorong masyarakat untuk turut mengawasi, melakukan kajian, pendidikan pemilih, dan melakukan advokasi.

(19)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

masyarakat yang rentan pun, seperti kelompok minoritas, perempuan, pemilih dengan disabilitas, juga harus diberi peran untuk terlibat dalam ruang publik.

(5) Walaupun pemilu dapat menyebabkan pemisahan kelompok masyarakat tetapi pemilu yang kompetitif dapat mendorong pemerintahan yang efektif dan stabil.8

Pemilu menjadi penting untuk dipantau dan diawasi karena menjadi indikator dari sebuah negara demokrasi. Bjornlund dalam buku Beyond

Free and Fair mendefinisikan pemantauan pemilu internasional sebagai

pengumpulan informasi mengenai proses pemilu dan penilaian publik terhadap proses tersebut. Penilaiannya berdasarkan standar universal tentang pemilu demokratis yang dilakukan oleh organisasi asing atau internasional. Mereka berkomitmen untuk menjaga netralitas dan proses demokrasi guna menjaga kepercayaan publik dan internasional terhadap integritas dari proses pemilu tersebut atau untuk mendokumentasikan proses pemilu. Keberadaan lembaga pemantau internasional tidak terlepas dari keterlibatan negara donor. Hal ini terkait dengan agenda negara-negara tersebut untuk mendorong demokrasi di seluruh dunia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan institusi yang pada awalnya berperan dalam perkembangan standar internasional untuk demokrasi dan memberikan asistensi terhadap pemilu. Pada awalnya, keterlibatan PBB adalah pada negara-negara pascakolonial, namun kemudian sejak 1990-an semakin meluas. Sejak tahun 1990-an, PBB menerima permintaan dari lebih dari 140 negara untuk memberikan asistensi terhadap pemilu. Untuk mendorong penerapan demokrasi, 14 perwakilan negara anggota membentuk organisasi intrapemerintah yang dinamakan The International Institution for Democracy

and Electoral Assistance (The International IDEA). Tujuan dari organisasi ini

adalah sebagai sarana bertukar pengetahuan, ide, dan pengalaman di antara para akademisi, pembuat kebijakan, dan semua praktisi yang terlibat dalam seluruh aspek tata kelola pemerintahan yang demokratis. Sejak didirikan,

The International IDEA telah mengembangkan standar untuk perkembangan

demokrasi.

Selain PBB, pada tahun 1980-an Amerika Serikat mulai memfokuskan kebijakan luar negeri mereka untuk mendorong demokrasi ke mancanegara.

8 Eric C. Bjornlund, 2004, Beyond Free and Fair. Monitoring Elections and Building Democracy, John Hopkins University Press,

(20)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran paham komunisme yang muncul selama “Perang Dingin”.9 Dalam mengaplikasikan tujuan ini, Amerika

Serikat menyediakan sumber dana perhatian untuk membangun institusi demokrasi. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah AS untuk hal ini mencapai 700 juta dollar Amerika Serikat. Anggaran tersebut diberikan kepada organisasi nonpemerintah seperti The Carter Center, the Asia Foundation, the

Central European and Euroasia Law Initiative of the American Bar Association,

dan lain-lain. Organisasi pelopor yang melakukan pemantauan pemilu yang didanai dari Amerika Serikat adalah The International Republican Institute (IRI), National Democratic Institute (NDI), The Carter Center, dan International

Foundation for Electoral Systems (IFES).

Dalam menjalankan misi pemantauan internasional tersebut, terdapat sejumlah prinsip yang dijalankan dalam pemantauan pemilu. Penerapan prinsip ini perlu dilakukan untuk memastikan agar tujuan dari pemantauan bisa tercapai tanpa harus mengganggu atau terkesan turut campur atas penyelenggaraan pemilu di suatu negara. Prinsip pemantauan ini juga berlaku secara universal sebagai satu pedoman bagi pemantau, baik internasional, nasional, maupun lokal. Hal ini dilakukan agar penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil bisa tercapai. Adapun prinsip-prinsip internasional dalam pemantauan pemilu adalah sebagai berikut:10

a. Mematuhi seluruh peraturan dan perundang-undangan di negara yang dipantau. Bagi pemantau internasional yang akan memantau pemilu di sebuah negara, mereka harus mengikuti seluruh peraturan dan undang-undang yang ada di negara yang akan dipantau. Secara umum negara yang akan dipantau akan memberikan akreditasi kepada lembaga pemantau yang memiliki legalitas dan memberikan akses kepada lembaga tersebut untuk memantau pemilu di negara yang bersangkutan.

b. Imparsial dan netralitas. Setiap pemantau harus bersikap obyektif terhadap seluruh proses dan hasil pemilu. Mereka tidak boleh memihak kepada partai politik tertentu atau kandidat. Lembaga pemantau harus menyandarkan pekerjaannya kepada integritas proses dan hasil pemilu.

c. Noninterference. Pemantau pemilu harus menghormati kondisi lokal di negara yang dipantau. Sebagai pemantau, mereka tidak boleh

melakukan koreksi atau menyatakan bahwa kebijakan yang diterapkan di sebuah negara, terutama yang berhubungan dengan pemilu, adalah salah atau tidak sesuai dengan prinsip internasional yang berlaku. Hal

9 Ibid, hal 23 10 Ibid, hal 132-135

(21)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

ini penting karena sejumlah negara terkadang cukup sensitif dengan kehadiran pemantau internasional di pemilu. Negara yang dipantau khawatir akan adanya intervensi dari pihak asing.

d. Obyektif, transparan, dan akurat. Pemantau harus memaparkan hasil temuannya secara obyektif, dan harus bebas nilai. Hal-hal yang akan disampaikannya harus berdasarkan fakta dan data lapangan sehingga data yang dicatat tersebut haruslah data yang akurat.

e. Tidak memiliki konflik kepentingan. Lembaga pemantau pemilu tidak

diperkenankan memiliki kepentingan tertentu. Lembaga pemantau hanya bertindak sesuai dengan tujuannya untuk melakukan pemantauan. Seorang pemantau harus berkomitmen penuh untuk membawa misi pemantauan.

f. Menjaga hubungan baik dengan penyelenggara pemilu pada negara yang dipantau. Lembaga pemantau harus dapat menjaga hubungan baik dengan penyelenggara pemilu pada negara yang dipantau. Menghormati peraturan yang berlaku, peran, dan kewenangan dari penyelenggara pemilu setempat. Beberapa hal yang perlu dihindari adalah tidak mengumumkan hasil pemilu tanpa ada persetujuan dari penyelenggara pemilu setempat.

g. Public comment. Pemantau pun perlu menghindari memberikan komentar pribadi kepada publik melalui media.

h. Menjaga kekompakan dengan tim pemantau dan juga sesama pemantau. Agar kegiatan pemantauan dapat berjalan dengan lancar, tim pemantauan harus menjaga kesolidan tim pemantau. Untuk itu setiap pemantau harus berpartisipasi dalam briefing yang diberikan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti instruksi dari ketua tim, mematuhi kerangka kerja, dan juga mematuhi peraturan dari lembaga pemantau.

C.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini setidaknya menjawab dua pertanyaan, yakni: pertama, bagaimana potret pemantauan pemilu yang dilakukan oleh (organisasi) masyarakat sipil dan kedua, bagaimana tantangan dan peluang masyarakat sipil dalam melakukan pemantauan pemilu ke depannya.

(22)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Dalam melakukan riset ini, tim peneliti menghimpun informasi dari sejumlah orang yang turut terlibat dalam pemantauan pemilu sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014. Untuk mendapatkan informasi dan data yang dibutuhkan, tim peneliti melakukan kegiatan Focus Group Discussion (FGD), studi dokumen, dan wawancara terhadap sejumlah narasumber.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah ketidakmampuan tim peneliti menjangkau seluruh organisasi pemantau yang terlibat dalam pemantauan pemilu sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014. Dalam hal ini peneliti mengakui bahwa masih banyak organisasi pemantau pemilu yang memiliki kontribusi besar dalam pemantauan pemilu di Indonesia namun di luar pokok bahasan dari riset ini.

(23)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

BAB II

PeMAntAUAn PeMIlU

A.

nAMFRel, Pionir lembaga Pemantau Regional

11

Munculnya lembaga pemantau internasional tidak hanya digagas oleh organisasi internasional seperti PBB ataupun menjadi agenda kebijakan luar negeri seperti Amerika Serikat. Organisasi pemantau juga muncul di negara berkembang. National Citizen’s Movement for Free and Fair Election (NAMFREL) merupakan organisasi pemantauan pemilu yang menjadi pioner terbentuknya organisasi pemantau pemilu di Asia.

Awal mula terbentuknya NAMFREL di Filipina (1983) adalah pasca-terbunuhnya pemimpin oposisi Benigno Aquino. Sebanyak 17 orang berkumpul di rumah seorang pengusaha yang bernama Mariano (Mars) Quesada untuk mendiskusikan krisis politik yang terjadi di Filipina. Fokus dari pertemuan itu adalah kekhawatiran akan terjadinya kekerasan sebagai alternatif perlawanan dari pemerintahan Ferdinand Marcos. Untuk itulah mereka bersepakat untuk mendirikan organisasi ini untuk mengembalikan demokrasi di Filipina melalui pemilu yang jujur dan adil. Hal ini menjadi fokus mereka karena pelanggaran pemilu seperti jual-beli suara, kekerasan, dan intimidasi banyak terjadi pada masa pemerintahan Marcos.

Pada awalnya banyak yang curiga dengan keberadaan NAMFREL karena diasosiasikan dengan Central Intelligence Agency (CIA), badan intelejen

pemerintah federal Amerika Serikat. Namun NAMFREL dapat membuktikan bahwa mereka bukanlah seperti yang dimaksud dengan melakukan aktivitas yang profesional dan nonpartisan. Dalam diskusi yang dilakukan di rumah

Mars Quesada; Jose Consepsion, salah satu pengusaha berpengaruh yang

turut hadir dalam diskusi tersebut, terpilih menjadi Ketua NAMFREL dan Quesada terpilih menjadi Sekretaris Jenderal.

Setelah enam bulan, untuk mengantisipasi pemilu legislatif pada bulan

Mei 1984, Consepsion dan Quesada melakukan perjalanan ke seluruh penjuru

Filipina untuk mendorong dilakukannya pemantauan pemilu dan

(24)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

merekrut relawan. Hal ini mendorong orang tertarik dengan NAMFREL, sehingga banyak yang mendaftarkan diri menjadi relawan, memberikan

bantuan finansial dan juga logistik. Selain itu, lembaga ini juga mendapat

dukungan kuat dari Gereja Katolik yang kemudian menjadi penyangga dari organisasi ini. Pendeta-pendeta mulai menyebarkan melalui khotbah pentingnya menjaga pemilu dan demokrasi. Selain itu, dari gereja-gereja mulai dikumpulkan sumbangan pendanaan untuk keberlangsungan organisasi ini.

Untuk mendorong pemilu yang jujur dan adil, sejumlah kerja dan advokasi dilakukan oleh NAMFREL, di antaranya adalah mendorong penataan pemutakhiran daftar pemilih, mencetak surat suara dengan kertas yang tidak dapat dicurangi, menggunakan tinta sebagai tanda agar pemilih tidak dapat memilih lebih dari satu kali, mendorong agar proses pemilu dapat berjalan dengan lebih terbuka seperti memberikan perlindungan terhadap kandidat yang berasal dari partai oposisi, serta mendorong akses yang adil kepada media. Selain advokasi, agar NAMFREL dapat memiliki akses untuk memantau di TPS, NAMFREL meminta akreditasi kepada penyelenggara pemilu secara resmi. Akreditasi ini bertujuan supaya NAMFREL memiliki pengakuan dan bukti bahwa organisasi tersebut telah memiliki pengalaman internasional dan memiliki jaminan reputasi dari dewan pengurusnya. Dari sinilah NAMFREL berhasil mendapatkan akreditasi sebagai pemantau pemilu dan dapat mengakses TPS pada hari pemungutan suara.

Selain memantau TPS pada hari pemungutan suara, NAMFREL juga melakukan hitung cepat untuk dibandingkan dengan hasil pemilu yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu. Dari hasil hitung cepat yang dilakukan oleh NAMFREL terlihat bahwa kandidat oposisi memenangkan 16 dari 21 kursi di Metro Manila. Karena hasil hitung cepat menunjukkan bahwa pihak oposisi memenangi lebih banyak kursi, pemerintah dan penyelenggara pemilu menuduh NAMFREL bertindak partisan dan menerima dana dari pihak asing. Setelah Pemilu 1984, penyelenggara pemilu mencabut akreditasi pemantauan NAMFREL sehingga para relawan pemantau tidak lagi mendapatkan akses untuk memantau di TPS.

Tudingan tersebut akhirnya disanggah oleh NAMFREL dan kemudian mereka melakukan lobi agar bisa mendapatkan kembali akreditasi sebagai lembaga pemantau. Hal ini diikuti dengan menghimpun dana dari para relawan dan juga gereja-gereja. Pada awal tahun 1985 sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat mengunjungi Manila untuk mendorong dijalankannya pemilu

(25)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

yang jujur dan adil dengan memberikan dukungan moral kepada NAMFREL. Dari sinilah akreditasi kembali didapatkan NAMFREL setelah ketuanya Jose

Consepsion berjanji di bawah sumpah bahwa NAMFREL tidak mendapatkan

dana dari luar negeri.

Pada akhir Oktober 1985, Filipina dikejutkan dengan pengumuman bahwa Marcos akan maju kembali dalam pemilu presiden. Kali ini Marcos

bersaing dengan Corazon Aquino yang merupakan istri dari Benigno Aquino.

Untuk mengawasi jalannya pemilu presiden, NAMFREL mengerahkan hampir 500.000 relawan untuk memantau TPS di hampir seluruh wilayah negara. Untuk merespons dan melaporkan pelanggaran pemilu, NAMFREL menyewa helikopter agar dapat langsung tiba pada sumber masalah. Selain itu, NAMFREL juga melakukan hitung cepat untuk mengetahui hasil pemilu. Para relawan mengumpulkan data hasil pemilu dari TPS dan mengirimkannya ke perwakilan provinsi. Dari perwakilan provinsi, data tersebut dibawa ke kantor pusat NAMFREL yang berada di De Lasalle University di Manila.

Penyelenggara pemilu pada saat itu meminta agar relawan NAMFREL

mendapatkan verifikasi hasil penghitungan secara resmi dari penyelenggara

pemilu di tingkat provinsi. Namun para relawan tidak mengikuti anjuran tersebut dan langsung mengirimkan hasil penghitungan suara. Hasil hitung cepat NAMFREL berhasil mengumpulkan 7,7 juta suara pemilih atau sekitar dua pertiga dari keseluruhan suara. Hasil dari hitung cepat ini menunjukkan

bahwa Corazon Aquino mendapatkan suara terbanyak. Sementara hasil dari

penghitungan penyelenggara pemilu menunjukkan Aquino dan Marcos mendapatkan suara yang imbang.

Proses yang dilakukan penyelenggara pemilu dalam menghitung suara hasil pemilu presiden berjalan dengan lambat. Hal ini memunculkan spekulasi dari NAMFREL dan juga pengamat bahwa lambatnya proses penghitungan ini disengaja agar dapat memenangkan Marcos sebagai presiden serta menutupi kecurangan yang terjadi selama pemilu presiden. Penghitungan suara yang lama ini mendorong protes dari sejumlah penyelenggara pemilu dengan melakukan pengunduran diri. Pada 14 Februari, penyelenggara pemilu mengumumkan hasil pemilu yang menunjukkan bahwa Marcos memenangi pemilu presiden.

Walaupun hasil hitung cepat yang dilakukan oleh NAMFREL bukanlah hasil pemilu yang sah, namun NAMFREL dapat meyakinkan warga negara

(26)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

presiden karena hasil hitung cepat itu dilakukan di hampir seluruh TPS yang ada di Manila dan hampir dari setengah pemilih telah memilih Aquino sebagai presiden.

Setelah penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas mengumumkan Marcos sebagai pemenang pemilu, Menteri Pertahanan Filipina Juan Ponco Enrile dan sejumlah anggota militer melakukan kudeta terhadap pemerintah.

Marcos diminta untuk mengundurkan diri sebagai presiden dan Corazon

Aquino dilantik menjadi Presiden Filipina. Setelah mundur dari presiden, Marcos mengasingkan diri ke Hawaii.

Hasil pemilu presiden di Filipina dan keterlibatan NAMFREL untuk menjaga pemilu berjalan jujur dan adil merupakan capaian yang besar dalam gelombang demokrasi ketiga. Pascapemilu presiden di Filipina, sejumlah petinggi NAMFREL menduduki posisi sebagai pejabat negara. Hal ini menjadikan organisasi ini bias, namun di sisi lain NAMFREL tetap melakukan kegiatan untuk mendorong terlaksananya pemilu yang jujur dan adil. NAMFREL kemudian menjadi payung lebih dari 100 organisasi keagamaan, perkumpulan profesional, kelompok buruh dan juga kelompok masyarakat sipil lainnya yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mendorong pemilu yang jujur dan adil.

Keberhasilan NAMFREL dalam mendorong reformasi pemilu di Filipina mendorong negara lain untuk membentuk organisasi pemantauan yang serupa dengan NAMFREL. Banyak aktivis yang berasal dari negara yang mengalami transisi demokrasi belajar dari keberhasilan NAMFREL. Bekerjasama dengan NDI, NAMFREL berkeliling ke sejumlah negara demokrasi untuk berbagi pengalaman dalam mendorong pemilu yang jujur dan adil. Indonesia termasuk salah satu negara yang belajar dari NAMFREL.

B.

Pelembagaan Pengawas Pemilu di Indonesia

Pengawasan pemilu perlu dilakukan di setiap tahapan pemilu untuk menjaga proses dan hasil pemilu. Dalam sejarah kepemiluan di Indonesia, pengawasan pemilu bukanlah hal baru. Pengawasan pemilu sudah dimulai sejak tahun 1980 dengan didirikannya Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak) yang diketuai oleh Jaksa Agung. Panwaslak Pemilu ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan

(27)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum (Undang-Undang Nomor 2/1980).

Lembaga pengawas pemilu itu lahir atas tuntutan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) setelah pelaksanaan Pemilu 1977. Saat itu pemilu diwarnai berbagai bentuk pelanggaran dan kecurangan. Pelanggaran tersebut terakumulasi sejak Pemilu 1971 di mana terjadi manipulasi penghitungan suara oleh para petugas pemilu.12

Kedudukan Panwaslak Pemilu yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/1980 tersebut merupakan subordinat dari Panitia Pemilihan. Desain kelembagaan itu tegas disebutkan dalam Pasal 4b Undang-Undang Nomor 2/1980 yang berbunyi sebagai berikut:

Pada Panitia Pemilihan Indonesia, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II dan Panitia Pemungutan Suara dibentuk Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum, yaitu Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II dan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan

Klausul “Pada Panitia Pemilihan Indonesia….” tegas menunjukkan bahwa Panwaslak Pemilu merupakan subordinat dari Panitia Pemilihan. Panwaslak dibentuk sebagai bagian dalam kelembagaan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).

Desain Panwaslak tidak konsisten dengan latar belakang kelahirannya. Panwaslak yang dibentuk sebagai respons atas manipulasi petugas pemilu justru berada di bawah kelembagaan PPI dan jajarannya. Panwaslak yang tugasnya mengawasi pelaksanaan pemilu justru bertanggung jawab kepada ketua PPI sesuai tingkatannya. Terlihat bahwa pembentukan Panwaslak sekadar untuk meredam suasana politik atas tuntutan PPP dan PDI.

Panwaslak sebagai bentuk akomodasi politik tertera tegas dalam Pasal 4b huruf a Undang-Undang Nomor 2/1980. Ketua dan wakil Panwaslak dijabat oleh pejabat Pemerintah. Sedangkan anggota Panwaslak dijabat oleh unsur Pemerintah, PPP, PDI, Golongan Karya (Golkar) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 menegaskan bahwa anggota Panwaslak Pemilu Pusat, Panwaslak Pemilu

12 Didik Supriyanto, 2007, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, DRSP, dan

(28)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Daerah Tingkat I, Panwaslak Pemilu Daerah Tingkat II, dan Panwaslak Pemilu Kecamatan yang anggotanya berasal dari unsur Pemerintah, PPP, PDI, Golkar dan ABRI masing-masing maksimal 3 orang.

Keberadaan Panwaslak semakin tidak jelas mengingat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tidak mengatur rinci ruang lingkup tugas pengawasan, tugas dan kewenangan Panwaslak, mekanisme dan prosedur penanganan pelanggaran, serta pengisian anggota dan penentuan Panwaslak Pemilu. Rincian itu diserahkan pengaturan lanjutannya dalam peraturan pemerintah yang justru tidak jelas. Peraturan pemerintah ini hanya mengatur tentang pengisian anggota Panwaslak Pemilu dan penentuan pimpinannya.

Peraturan pemerintah itu menentukan Ketua Panwaslak Pemilu Pusat dijabat oleh Jaksa Agung. Sedangkan wakil ketua dijabat merangkap anggota masing-masing berasal dari pejabat Departemen Dalam Negeri (Depdagri), ABRI, Golkar, PPP, dan PDI. Struktur ini berlaku hingga struktur di bawahnya. Panwaslak Pemilu Daerah I diketuai Kepala Kejaksaan Tinggi dengan lima wakil ketua masing-masing berasal dari Pemda Tingkat I, Kodam/Korem, DPD I Golkar, DPD PPP, dan DPD PDI. Panwaslak Pemilu Daerah II diketuai oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang didampingi lima wakil ketua, yakni dari Pemda

Tingkat II, Kodim, DPD II Golkar, DPC PPP, dan DPC PDI. Sedangkan Panwaslak

Pemilu Kecamatan diketuai pejabat kecamatan yang didampingi staf Koramil dan wakil-wakil dari Golkar, PPP, dan PDI.

Latar belakang pembentukan dan susunan serta struktur organisasi Panwaslak menjadikannya tidak dapat mengontrol pelaksanaan pemilu. Keanggotaan Panwaslak didominasi oleh aparat pemerintah yang merupakan pendukung Golkar.13 Fungsi pengawasan justru diselewengkan untuk

kepentingan pemenangan Golkar. Dua langkah pemenangan yang dilakukan yakni: pertama, Panwaslak Pemilu melegalkan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan Golkar, dan kedua, Panwaslak melakukan diskriminasi dalam menjalankan fungsi penegakan hukum pemilu karena hanya mengusut kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu non-Golkar.14

Kelembagaan Panwaslak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 (Undang-Undang Nomor 1

13 Syamsuddin Haris, 1998, Struktur, Proses dan Fungsi Pemilihan Umum: Catatan Pendahuluan dalam Menggugat Pemilihan

Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor, hal 11-12 dalam Didik Supriyanto, Ibid, hal 43

14 Alexander Irwan dan Edriana, Pemilu: Pelanggaran Asas Luber, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dalam Didik Supriyanto, Ibid, hal

(29)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Tahun 1985) tidak mengalami perkembangan. Fungsi, susunan, dan struktur organisasi tetap seperti sebelumnya.

Kondisi kelembagaan pengawas pemilu tidak mengalami perkembangan hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999). Nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) kemudian diganti menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) dalam Pemilu 1999, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999.

Hubungan antara Panwaslu di berbagai tingkatan bersifat koordinatif dan informatif, bukan hirarkis dan subordinatif. Adapun keanggotaan Panwaslu Pusat, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota terdiri atas unsur hakim, perguruan tinggi, dan masyarakat. Sedangkan anggota Panwaslu Kecamatan terdiri atas unsur perguruan tinggi dan masyarakat.

Panwaslu dibentuk dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut: (1) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu; (2) menyelesaikan sengketa atas perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu; dan (3) menindaklanjuti temuan, sengketa dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak hukum.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 memerintahkan kepada MA (dengan konsultasi kepada KPU) untuk mengatur hubungan kerja di antara Panwaslu di berbagai tingkatan dengan KPU dan PPI, PPD I, PPD II, dan PPK. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum (PP No. 33/1999), memberikan kewenangan dan kewajiban kepada Panwaslu untuk melakukan pemeriksaan terhadap keabsahan alasan keberatan KPU, PPI, PPD I, dan PPD II membubuhkan tanda tangan pada Berita Acara Pemungutan Suara.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan tidak efektif dalam penegakan hukum peraturan pemilu. Hal itu terlihat dari laporan pertanggungjawaban Panwaslu. Panwaslu 1999 sekadar menyampaikan peringatan tertulis, rekomendasi, meneruskan temuan kepada instansi penegak hukum atau bertindak sebagai mediator jika diminta.15

Terdapat empat faktor yang menyebabkan ketidakefektifan Panwas Pemilu 1999 dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum peraturan pemilu. Pertama, tugas dan wewenang Panwaslu tidak memadai;16 kedua,

15 Ibid hal 51 16 Ibid

(30)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

sumberdaya manusia (SDM) kurang siap17; ketiga, software dan hardware

kurang memadai18; keempat, terbatasnya akses informasi.19

Saat pelaksanaan Pemilu 2004, dibentuk pengawas pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa: untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia

Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.” Pembentukan

Panwaslu dibentuk oleh KPU, sedangkan Panwaslu Provinsi dibentuk oleh Panwaslu. Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwaslu Provinsi, sedangkan Panwaslu Kecamatan dibentuk Panwaslu Kabupaten/Kota.

Pertanggungjawaban Panwaslu disesuaikan dengan kelembagaan yang membentuk. Panwaslu bertanggung jawab kepada KPU, sedangkan Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan bertanggung jawab kepada Panwaslu yang membentuknya.

Adapun tugas dan kewenangan Panwaslu menurut Undang-Undang Nomor 12/2003 adalah sebagai berikut: a) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu; b) menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu; c) menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu; dan d) meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

Keanggotaan Panwaslu paling banyak 9 orang, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 7 orang, sedangkan Panwaslu Kecamatan paling banyak 5 orang. Keanggotaan pengawas pemilu berasal dari unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers. Panitia pengawas pemilu ini bersifat ad hoc yang dibentuk sebelum pendaftaran pemilih dimulai dan berakhir selambat-lambatnya satu bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu berakhir

Seiring perjalanan waktu, lembaga pengawasan pemilu terus bertransformasi hingga Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014 lembaga tersebut bernama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Akan tetapi idealnya pengawasan pemilu tidak hanya dilakukan oleh sebuah lembaga yang diformalkan, masyarakat juga memiliki ruang untuk memantau jalannya seluruh tahapan pemilu.

Pengawasan pemilu di Indonesia diatur oleh undang-undang pemilu yang pelaksanaannya dilakukan oleh Bawaslu beserta seluruh jajarannya

17 Ibid 18 Ibid 19 Ibid

(31)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

hingga tingkat desa/kelurahan. Untuk Pemilu 2014, pengawasan pemilu diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Sebelumnya pengawas pemilu mengalami tranformasi sejak tahun 1980.

Berikut adalah tabel yang menggambarkan transformasi lembaga pengawas pemilu.

(32)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

tabel 1 Perk emb angan K elemb agaan Bawaslu n o. topik 1980 1985 1999 2004 2009 2014 1. Dasar Pembentukan Undang- Undang Nomor 2/1980 Undang- Undang Nomor 1/1985 Undang- Undang Nomor 3/1999 Undang- Undang Nomor 12/2003 Undang- Undang Nomor 22/2007 Undang- Undang Nomor 15/2011

2. Nama Kelemb agaan Panwaslak Panwaslak Panwaslu Panwaslu Bawaslu Bawaslu 3. Sifat Kelemb agaan Subor dinat dari P anitia

Pemilihan Indonesia (PPI)

Subor

dinat

dari P

anitia

Pemilihan Indonesia (PPI)

Ad hoc Ad hoc • Bawaslu: tetap • Panwaslu: ad hoc •

Bawaslu dan Bawaslu provinsi: tetap

• Panwaslu kab/k ota: ad hoc 4. Pembentukan Dibentuk PPI Dibentuk PPI Dibentuk PPI •

Panwaslu oleh KPU

Panwaslu Prov oleh Panwaslu

Bawaslu diseleksi KPU dan dipilih DPR Diseleksi oleh tim seleksi dan dipilih DPR

(33)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Panwaslu kab/ kota oleh Panwaslu Prov

Panwaslu Prov oleh Panwaslu

Panwaslu kab/ kota oleh Panwaslu Prov

5. Per tanggung jawab an / laporan Kep ada

PPI sesuai tingkatannya

Kep

ada

PPI sesuai tingkatannya

Kep

ada

PPI sesuai tingkatannya

• Panwaslu kep ada KPU • Panwaslu prov k ep ada Panwaslu • Panwaslu kab/k ota kep ada Panwaslu prov Laporan kep ada Pr esiden,

DPR, dan KPU (meny

esuaikan dengan tingkatannya) Laporan kep ada Pr esiden,

DPR, dan KPU (meny

esuaikan dengan tingkatannya) 6. Keanggotaan • Ketua: J aksa Agung • W akil: Pejab at • Ketua: J aksa Agung • W akil: Pejab at • Panwaslu Pusat/Pr ov/ Kab/K ota: unsur hakim,

Kepolisian, kejaksaan, per

guruan

tinggi, t

ok

oh

WNI dan non p

ar

tisan

(tidak menjadi anggota p

ar

tai

WNI dan non p

ar

tisan

(tidak menjadi anggota p

ar

(34)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Dep

ar

temen

Dalam Negeri

Anggota: unsur pemerintah, PPP

, PDI, Golkar Dep ar temen Dalam Negeri •

Anggota: unsur pemerintah, PPP

, PDI,

Golkar

per

guruan

tinggi, dan masyarakat. sedangkan

Panwascam: unsur per

guruan

tinggi dan masyarakat. masyarakat, dan per

s

politik dalam jangka wak

tu 5

tahun)

politik dalam jangka wak

tu 5

tahun)

7.

Hubungan Antar Panwaslu

--Koor dinatif dan infor matif ,

bukan hierarkis dan subor

dinatif --Hierarkis 8. Kew enangan

Mengawasi pelaksanaan pemilu

Tetap • Mengawasi tahap an • Meny elesai kan sengk eta dalam peny e lenggaraan pemilu • Menindak -lanjuti • Mengawasi tahap an •

Menerima laporan pelanggaran

• Meny elesai kan sengk eta dalam peny e lenggaraan • Pengawasan •

Menerima dan meneruskan laporan pe langgaran

Pengawasan baik pencegahan maupun penindakan

• Meny elesai kan sengk eta pemilu

(35)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

temuan pelanggaran

pemilu

Meneruskan temuan laporan

Menerima dan meneruskan laporan

9. Kesekr etari atan --Dib antu sekr etariat

yang tata kerjanya ditetapkan KPU

Ter dap at sekr etariat yang ber tanggung jawab k ep ada Bawaslu Ter dap at Sekr etaris Jenderal Sumber

: Diolah dari berb

(36)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

C.

Pemantauan Pemilu di Indonesia

Sejarah pengawasan pemilu di Indonesia tidak terlepas dari politik negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Pengawas pemilu awalnya dibentuk sebagai upaya melegitimasi hasil pemilihan dengan membentuk kelembagaan pengawas yang diduduki oleh representasi negara. Tidak heran jika keberadaan pengawas pemilu saat itu digunakan sekadar melengkapi upaya untuk menunjukkan bahwa telah terjadi pemilu yang demokratis.

Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan posisi negara dalam pengawasan, maka peran serta masyarakat diperlukan dalam berpartisipasi dalam pengawasan. Kehadiran pemantauan masyarakat untuk memastikan penyelenggaraan pemilu berlangsung jujur dan adil. Sejarah kehadiran Panwaslak yang jauh dari prinsip imparsial dan netralitas, tidak obyektif, dan

terlibat konflik kepentingan, meyakinkan perlunya pelibatan masyarakat yang

obyektif, kritis, imparsial, dan netral dalam pemantauan pemilu.

Pelibatan masyarakat yang turut serta dalam pemantauan pemilu merupakan bentuk dari hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hak warga negara untuk berpartisipasi lebih aktif, tidak hanya saat pemungutan suara tetapi juga berpartisipasi untuk mengawasi seluruh tahapan dalam pemilu. Hal ini penting dilakukan guna menjaga proses dan hasil pemilu sesuai dengan kehendak rakyat yang sebenarnya, bukan hasil pemilu semu karena telah termanipulasi proses maupun hasilnya.

Kondisi ini yang kemudian melatarbelakangi lahirnya lembaga-lembaga pemantau pemilu. Masing-masing lembaga-lembaga pemantau memiliki sejarahnya dan tujuan pembentukannya. Namun memang, awal mulanya lembaga pemantau ini hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim penguasa yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan kekuasaan negara.

Beberapa lembaga pemantau muncul sebagai respons atas keberadaan rezim Orde Baru dan lainnya terus berkembang mengikuti perkembangan demokrasi yang terus berbenah. Awal mulanya, lembaga-lembaga ini lahir pada masa transisi demokrasi yang dimaknai dengan transisi kekuasaan, yakni jatuhnya rezim hingga perubahan konstitusi. Selanjutnya lembaga pemantau masih terus berkembang hingga sekarang.

(37)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

Adapun kelembagaan pemantau yang terpotret adalah sebagai berikut:

1. lembaga Pemantau pada Masa transisi Demokrasi

a. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)

Dorongan untuk membentuk sebuah lembaga pemantau pemilu di Indonesia muncul menjelang pemilu yang diadakan pada Mei 1997. Pada pemilu di bawah rezim pemerintahan Soeharto banyak terjadi kecurangan dan pelanggaran. Apalagi pemerintah pada saat itu memiliki kontrol yang sangat kuat terhadap lembaga penyelenggara pemilu yang anggotanya pun merupakan bagian dari pemerintah. Untuk merespons dan mendorong diselenggarakannya pemilu yang bersih, jujur, dan adil; para aktivis, jurnalis, akademisi, intelektual, dan juga pengacara membentuk Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

KIPP merupakan organisasi pemantauan yang dibentuk dan terinspirasi pembentukan NAMFREL yang ada di Filipina20. Pada Februari

1995, Rustam Ibrahim yang pada saat itu menjadi Ketua Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) hadir dalam konferensi pemantauan pemilu se-Asia yang diselenggarakan oleh NAMFREL dan NDI di Manila. Sekembalinya dari Manila dibentuklah KIPP. Komite Independen Pemantau Pemilu belajar banyak dari NAMFREL karena kondisi politik Indonesia yang hampir sama dengan Manila pada saat itu.

Setelah berdiri, KIPP mengundang perwakilan dari NAMFREL untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai pemantauan pemilu. Namun menjelang pertemuan tersebut, perwakilan dari NAMFREL batal datang ke Indonesia dengan alasan hilangnya paspor. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa hal ini merupakan bagian dari rekayasa yang dilakukan pemerintah.

Kehadiran KIPP merupakan respons atas kondisi politik saat itu di mana penyelenggaraan pemilu banyak terjadi kecurangan seperti manipulasi suara, intimidasi, dan media yang tidak berimbang. Pada saat itu KIPP menjadi organisasi pertama yang melakukan pemantauan pemilu. KIPP pertama kali diketuai oleh Goenawan Mohamad yang pada saat itu merupakan editor majalah Tempo. Majalah Tempo

(38)

Kemitraan bagi Pembaruan T

ata Pemerintahan Indonesia

adalah salah satu media yang cukup kritis kepada pemerintah hingga pemerintah sempat membredel majalah ini pada tahun 1994.

Dalam menjalankan kerja pemantauan pemilu, sejumlah rintangan dihadapi oleh KIPP, mengingat pada saat itu sulit untuk membuat gerakan yang kritis terhadap pemerintah. Puncaknya adalah terjadinya Tragedi 27 Juli 1996. Pada saat itu Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati adalah Ketua PDI yang terpilih langsung dari para kader partai. Biasanya ketua partai politik merupakan orang yang sudah disetujui oleh Soeharto untuk menjadi ketua partai politik. Karena Megawati bukan orang yang dipilih oleh Soeharto, maka pemerintah pada saat itu menyatakan bahwa kepemimpinan Megawati di PDI tidak sah. Hal ini mendorong para pendukung Megawati melakukan protes yang berujung kerusuhan. Kerusuhan yang dikenal dengan Tragedi 27 Juli ini mendorong pemerintah semakin menutup segala aktivitas yang dianggap menjadi oposisi terhadap pemerintah. Hal yang sama juga ditujukan pada aktivitas yang dilakukan oleh KIPP.

Kondisi inilah yang menyebabkan minimnya keterlibatan lebih dalam dari anggota KIPP dalam menggerakkan roda organisasi dengan risiko yang dihadapi. Hanya sebagian orang yang berani menyatakan dirinya sebagai anggota KIPP. Untuk menghindari jangkauan pemerintah, KIPP menyelenggarakan rapat besar dan training anggotanya di Bangkok.21

Sejumlah aktivitas yang dilakukan di Indonesia seperti perekrutan dan pelatihan relawan di daerah dihentikan pemerintah. Belajar dari pengalaman NAMFREL di Filipina yang juga memiliki kondisi politik yang sama dengan Indonesia, KIPP sudah memetakan segala kemungkinan yang akan terjadi jika kegiatan mereka dihentikan pemerintah.

Ray Rangkuti, salah satu aktivis KIPP, menyatakan bahwa terbentuknya organisasi ini diinspirasi oleh keberhasilan NAMFREL sebagai lembaga pemantau di Indonesia. Inisiatif dibentuknya lembaga KIPP pada saat itu adalah adanya dorongan dari masyarakat sipil untuk menjatuhkan rezim Orde Baru agar tidak berkuasa lagi pada Pemilu 1997. Karena itu metode pemantauan yang dilakukan tidak berdasarkan prinsip internasional pemantauan, tetapi lebih mencatat pelanggaran yang dilakukan oleh Golkar, ABRI, dan birokrasi.

Pada saat itu KIPP merekrut relawan dari 17 provinsi dan 60 kabupaten/kota. Rekomendasi yang diberikan KIPP pada saat itu adalah

Gambar

tabel 1  Perkembangan Kelembagaan Bawaslu no.topik198019851999200420092014 1.

Referensi

Dokumen terkait

lain (1) untuk memetakan dan menganalisis tata kelola kelembagaan BUM Desa Mardi Gemi melalui unit usaha Pasar Ekologis Argo Wijil; (2) untuk meningkatkan kapasitas pengelola BUM

Alat ini terdiri dari Rangkaian Pengatur Arus Konstan untuk menghasilkan arus yang sesuai dengan kapasitas baterai dan relatif tidak berubah sehingga mampu digunakan sebagai alat

Masalah lingkungan hidup yang paling mendesak pada saat ini di Indonesia adalah pencemaran air. Oleh karena itu, program pemeliharaan lingkungan hidup oleh perusahaan Jepang

Syarat penerima BLT DD selain secara garis besar disebutkan dalam PMK Nomor 40/PMK.07/2020, juga disebutkan dalam lampiran Permendes PDTT Nomor 6 Tahun 2020

Kebijakan Pemerintah Pusat dalam program visi dan misi Nawa Cita lewat Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Kota Jayapura dalam program

Sistem pembelajaran dalam latihan PSHT khususnya cabang lamongan menggunakan berbagai metode yang dilakukan sesuai dengan materi yang diajarkan pada saat itu dan

Tindak tutur komisif sendiri merukapan salah satu bagian dari tindak tutur ilokusi sebagai data yang akan digunakan oleh penulis dalam analisis ini adalah film

• Pendekatan Proaktif: aktif merangkul kebutuhan untuk berperilaku dengan cara yang bertanggung jawab sosial. – Manajer pergi keluar dari jalan mereka untuk belajar tentang