• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU 5 PENGEMBANGAN DESA rev

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BUKU 5 PENGEMBANGAN DESA rev"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN

DESA

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

(2)
(3)

Kasanah Implementasi UU Desa

(4)
(5)

PENGEMBANGAN

DESA

(6)

Pengembangan Desa

PENGARAH : Ahmad Erani Yustika (Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa)

PENANGGUNGJAWAB: Eko Sri Haryanto (Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa)

PEMBACA : Bito Wikantosa (Kepala Subdirektorat Pengembangan Kapasitas Masyarakat Desa).

Cover & Lay Out : Heru YP

Ilustrtor : Ibe Karyanto

Cetakan Pertama

– November 2015

Diterbitakan Oleh :

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan

Transmigrasi Republik Indonesia

(7)

DAFTAR ISI

Bagian 1

Desa Mandiri, Desa Membangun

Bagian 2

Badan Usaha Milik Desa :

Spirit Usaha Kolektif Desa

Bagian 3

Kerja Sama Desa :

Mengembangkan Jaringan Sosial

Dan Kemitraan

1

17

(8)

PENGANTAR

Sepantasnya kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmatNya telah diselesaikan beberapa seri penerbitan beberapa buku yang diperlukan untuk kelengkapan pelatihan yang bertujuan mengintensifkan kerja-kerja Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Salah satunya adalah penerbitan buku Pengembangan Desa Desa yang melekapi kasanah pengetahuan Implementasi Undang-undang Desa. Buku yang sekarang di tangan pembaca ini menyajikan tiga tema substansial terkait dengan pengembangan Desa. Masing-masing adalah Desa Mandiri; Desa Membangun, Badan Usaha Milik Desa: Spirit Kolektif Usaha Desa, dan Kerja Sama: Mengembangkan Jaringan Sosial dan Kemitraan.

Desa Membangun merupakan salah satu spirit Desa yang terbangun oleh azas pengakuan hak asal-usul dan kewenangan Desa yang dimandatkan UU Desa. Frasa Desa Membangun menunjukkan eksistensi Desa sebagai subyek, pelaku utama pembangunan. Keberadaan Desa sebagai subyek mendapatkan ruang gerak yang semakin nyata dalam Nawa Cita yang menjadi visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara.

Buku ini memberikan acuan yang cukup memadai untuk bisa memahami tema substansial tersebut di atas. Pembagian substansi tematik ke dalam bab-bab yang terpisah, serta penjelasan yang ringkas dengan langsung memaparkan substansi persoalan memudahkan bagi setiap pembaca.

(9)

Ahli, Pendamping Desa, dan Pendamping Lokal Desa maupun Setrawan membaca dan memahami dengan baik isi buku ini. Buku kecil ini juga bermanfaat bagi siapa pun, pegiat implementasi UU Desa, baik perangkat Desa, masyarakat Desa maupun unsur lain.

Akhir kata, terlepas dari berbagai kekurangan maupumn kelemahan yang ada, semoga buku bermanfaat menambah kasanah kepustakaan buku-buku dan bacaan sekitar implementasi UU Desa khususnya serta memperkaya perspektif pembaca dalam melakukan upaya Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Selamat belajar dan selamat menggunakan buku ini dengan bijak.

Direktur Jenderal

Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

(10)

Bagian Satu

Desa Mandiri,

(11)

PENGANTAR

A.

PARADIGMA DAN KONSEP DESA

Lahirnya Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa mengemban paradigma dan konsep baru kebijakan tata kelola Desa secara nasional. UU ini tidak lagi menempatkan Desa sebagai latar belakang Indonesia, tapi halaman depan Indonesia. UU itu juga mengembangkan prinsip keberagaman, mengedepankan azas rekognisi dan subsidiaritas dalam pengaturan Desa. Lebih daripada itu, UU Desa telah mengangkat hak dan kedaualatan Desa yang selama ini terpinggirkan. Semua itu tertangkap secara eksplisit dengan menyimak ketentuan Pasal 4 UU No.6/ 2014 mengenai tujuan pengaturan Desa.

Secara kontras, UU Desa telah memberikan landasan perspektif dalam pengaturan Desa dibanding Undang-Undang sebelumnya (UU No. 5/1979 dan UU No. 32/2004) beserta peraturan perundangan turunannya. Perbandingan antara pengaturan Desa pada UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014 dapat disimak dalam tabel 1 di bawah ini.

(12)

Tabel 1

Kerangka & Praktek Desa Sebelum UU Desa dan Desa dalam Perspektif UU Desa

ASPEK SEBELUM UU DESA DESA DALAM UU DESA

PAYUNG HUKUM  UU No.

KEDUDUKAN Sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan Kabu-paten/Kota (local state government)

Sebagai pemerintahan yarakat, campuran antara mas-yarakat yang berpemerintahan (self governing community) dan pemerintahan lokal (local state government). yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus Desa

Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang terbatas dan strategis dalam mengatur dan mengurus Desa; termasuk mengatur dan mengurus bidang urusan Desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh Pusat.

DELIVERY KE-WENANGAN DAN PROGRAM

Target Mandat

POLITIK TEMPAT Desa sebagai lokasi proyek dari Pemerin-tah Daerah/Pemerin-tah Pusat

(13)

MODEL

PEMBAN-Imposisi dan mutilasi sektoral

Fasilitasi, emansipasi, dan konsolidasi

Sumber: Sutoro Eko, dkk. Desa Membangun Indonesia (2014)

Tabel di atas menyajikan secara kontras pengaturan Desa menurut UU No. 32/2014 dengan UU No. 32/2004 beserta peraturan perundangannya masing-masing. Sangat tampak bahwa UU Desa telah menjadi langkah maju bagi pembaruan Desa. Dengan kata lain, pendamping harus benar-benar memahami visi dasar UU Desa agar visi tersebut dapat diimplementasikan dalam tugas dan tanggung jawab Pendamping Desa.

B. DESA BERDAULAT DAN MANDIRI

Visi UU Desa dapat ditangkap pula dari jalan ideologis Pemerintah seperti tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional) 2015-2019 yang dikenal dengan Trisakti. Tiga butir dalam Trisakti adalah:

1. Kedaulatan dalam politik;

2. Berdikari dalam ekonomi; dan

3. Berkepribadian dalam kebudayaan.

Pelaksanaan UU Desa secara konsisten membuka peluang dalam mewujudkan jalan ideologis di atas. Sebagai kesatuan masyarakat hukum terdasar dan terdepan, men-support visi UU Desa adalah sama dengan mengembangkan masyarakat Indonesia yang mandiri dan berkepribadian.

(14)

dan mengurus dirinya. Pada dasarnya, Desa bahkan memiliki tradisi permusyawaratan dimana keterbukaan dan partisipasi menjadi pilar dalam pengambilan keputusan. Pemilihan kepala desa secara langsung telah menjadi tradisi desa dalam berdemokrasi.

KEDUA, kemandirian ekonomi Desa merupakan aspek penting dari UU Desa. Melalui UU Desa, kemandirian ekonomi dirintis melalui pengelolaan aset Desa yang dipayungi oleh kewenangan berdasar hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.

KETIGA,pengakuan terhadap hak asal usul Desa (rekognisi) dalam UU Desa memberi jalan bagi perjumpaan kreatif antara tradisi budaya lokal dengan inovasi-inovasi baru. Artinya, segala sesuatu yang berasal dari luar dikembangkan dengan cara atau tradisi yang berkembang di Desa. Semua itu merupakan fase paling mendasar dalam pembentukan identitas budaya tanpa terpangkas dari dinamika perkembangan dunia kontemporer.

(15)

1.

DESA MEMBANGUN

A. MEMBANGUN DESA

Konsep pembangunan di Indonesia sejatinya berkait dengan konsep developmentalisme yang dikembangkan negara-negara barat dan dipraktekkan di Indonesia pada masa Orde Baru. Istilah ini sering dipakai untuk menunjuk perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan rekayasa sosial. Dalam konteks pemerintahan Orde Baru, implementasi konsep pembangunan meletakkan Desa sebagai obyek pembangunan, yaitu pihak yang hanya menerima ‘manfaat’ pembangunan; bukan pihak yang menyelenggarakan pembangunan berdasar kebutuhan dan kepentingan Desa.

(16)

Implementasi cara pandang pembangunan di atas cukup lama, 30 tahun lebih dan akibatnya masih bisa dirasakan sampai saat ini. Setidaknya akibat yang menonjol adalah dua gejala berikut.

PERTAMA adalah mental ketergantungan Desa pada program-program pembangunan dari pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi, maupun pusat. Kemandirian dan inisiatif baik Pemerintah Desa maupun masyarakat Desa tidak terasah dengan baik.

KEDUA, dengan datangnya program dari pusat, Desa tidak lagi dipandang sebagai sumber penghidupan, melainkan hanya ‘asal kehidupan’ atau kampung halaman yang sewaktu-waktu dapat ditinggalkan. Ditinggalkan ke mana? Ke Kota, tempat yang dianggap sebagai pusat lapangan kerja atau sumber penghidupan.

Sebab pelaku pembangunan sesungguhnya adalah pemerintah (Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat) dan Desa hanya menjadi lokasi pembangunan, yang berlangsung adalah ‘membangun Desa’; Desa menjadi objek pembangunan atau yang dibangun.

B. DESA MEMBANGUN

UU No. 6/2014 tentang Desa membalik perspektif di atas. menempatkan desa sebagai subyek pembangunan. Pembalikan itu dapat ditemukan melalui pengakuan atas hak asal usul Desa (rekognisi) dan kewenangan lokal berskala Desa (subsidiaritas) yang menjadi dua asas utama pengaturan Desa.

(17)

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang wajib melibatkan unsur-unsur masyarakat Desa. Semua itu merupakan kondisi yang berkebalikan dari praktek pembangunan yang diterapkan dalam perspektif yang dipaparkan sebelumnya. Tujuan yang diharapkan dari pola tersebut adalah.

PERTAMA masyarakat dan Pemerintah Desa mampu mengembangkan inisiatif pembangunan, kemampuan membaca masalah dan kebutuhan Desa, serta menindaklanjutinya secara sistematis dan operasional dalam program-program pembangunan Desa.

KEDUAmasyarakat Desa dan Pemerintah Desa memiliki kemampuan mengevaluasi dan mengelola potensi dan aset Desa sebagai sumber ekonomi Desa yang bermanfaat bagi masyarakat Desa.

KETIGA, Desa menjadi subjek pembangunan yang tidak lagi tergantung pada program dari luar Desa. Desa akan semakin mandiri dan berdaya, sehingga masyarakatnya juga tidak perlu terpesona oleh kesan-kesan kemudahan hidup di Kota yang sampai saat ini terus menarik laju urbanisasi.

KEEMPAT, dengan berkembangnya kapasitas Pemerintah dan

masyarakat Desa, beban atau tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/ Kota, Provinsi, dan Pusat dalam tugas-tugas pembangunan langsung Desa, semakin berkurang. Artinya, Pemerintah dapat mengerahkan kelebihan energinya untuk urusan-urusan yang lebih strategis.

Cara pandang yang dikembangkan dari UU Desa di ataslah yang disebut sebagai Desa Membangun, atau dalam skala yang lebih luas dan nasional, dengan kemandirian dan kapasitasnya, Desa Membangun Indonesia. Itu semua, bukan ikhwal yang mustahil. Perbandingan antara dua perspektif tersebut dapat disimak di tabel 2 berikut.

Tabel 2

(18)

“Membangun Desa” dan “Desa Membangun”

ITEM/ISU MEMBANGUN DESA DESA MEMBANGUN

Pintu Masuk Kawasan perdesaan Desa Isu Terkait Jaringan rural-urban, market,

pertumbuhan, infrastruktur, kawasan, sektoral, dll.

Kemandirian, kearifan lokal, modal sosial, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, gerakan lokal, pemberdayaan, dll. Skema

kelem-bagaan

Pemda melakukan peren-canaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi.

Regulasi menetapkan kewenangan skala Desa, melembagakan perenca-naan Desa, alokasi dana, dan kontrol lokal

Pemegang ke-wenangan

Pemerintah Daerah Desa (Pemerintah Desa dan masyarakat Desa)

Tujuan Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kes-ejahteraan

1. Menjadikan Desa sebagai basis penghidupan dan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan;

2. Menjadikan Desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta Deesa yang mandiri Peran

Pemerin-tah Daerah

Merencanakan, membiayai, dan melaksanakan

Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas Desa

Peran Desa Berpartisipasi dalam peren-canaan dalam perenperen-canaan dan pengambilan keputusan

(19)

Hasil  Infastruktur lintas-Desa yang lebih baik

 Tumbuhnya kota-kota kecil sebagai pusat pertumbuhan dan penghubung transasksi ekonomi Desa-Kota

 Terbangunnya kawasan hutan, pertanian kolektif, industri, wisata, dll.

 Pemerintah Desa menjadi ujung depan penyeleng-garaan pelayanan publik bagi warga

(20)

2.

TANTANGAN DAN STRATEGI MEWUJUDKAN

DESA MANDIRI

A.

TANTANGAN

Tantangan implementasi UU Desa dan mewujudkan Desa mandiri dapat disimak dari optimisme dan kekhawatiran para pengamat terhadap pelaksanaan UU Desa sepanjang tahun 2015 ini – tahun pertama implementasi UU No. 6/2014. Tantangan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA terkait kekhawatiran yang berpangkal pada persoalan Dana Desa yang dikelola desa. Meski semua masih berjalan, ada kekhawatiran terjadi penyelewengan anggaran publik yang massif di Desa-desa. Akar masalahnya ada pada kapasitas pemerintah desa yang masih lemah.Prasangka ini, di satu sisi memang harus diterima sebagai cermin kewaspadaan dan pelecut motivasi, khususnya bagi Pemerintah Desa dan Pendamping Desa.

KEDUA merubah sikap pasif masyarakat Desa dalam urusan pemerintahan ke arah sikap aktif dan kritis. Singkatnya merangsang partisipasi masyarakat Desa. Pengawasan terhadap penggunaan Dana Desa dan APBDesa secara keseluruhan hanya akan efektif apabila dilakukan secara langsung oleh masyarakat Desa. Merekalah yang mesti menjadi evaluator utama untuk menjadi penyeimbang kemungkinan terjadinya penyelewengan penggunaan anggaran publik oleh Pemerintah Desa.

(21)

terpaku pada persoalan Dana Desa. Sementara aspek strategis terkait visi kemandirian Desa dan visi Desa membangun justru tidak mendapat perhatian yang cukup.

Semua itu menjadi tantangan pertama bagi mewujudkan Desa mandiri, atau secara umum dalam upaya implementasi UU Desa. Peran pendamping, kapasitasnya, pemahaman, dan penguasaan wawasan terkait UU Desa beserta peraturan perundangan turunannya menjadi kunci utama dalam menunjukkan bahwa kemandirian Desa yang dicita-citakan oleh UU Desa adalah mungkin.

B. STRATEGI & LANGKAH MENUJU DESA MANDIRI

(22)

PERTAMA, membangun kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di desa yang kritis dan dinamis. Proses pembentukan wadah dan organisasi masyarakat sipil biasanya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang mengancam hak publik. Meski demikian, keduanya adalah modal penting bagi desa untuk membangun kedaulatan dan titik awal terciptanya komunitas warga desa yang akan menjadi kekuatan penyeimbang atas munculnya kebijakan publik yang tidak responsif pada kepentingan masyarakat.

Bagaimana agar wadah dan organisasi kemasyarakatan desa tersebut memiliki peran membangun desa yang mandiri? Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah desa di masa depan? Langkah-langkahnya kurang-lebih:

1. Melakukan assessment dan pemetaan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa. Tujuan lagkah ini adalah untuk memetakan berapa dan apa saja organisasi kemasyarakatan desa yang masih aktif dan pasif. Dengan demikian akan tampak organisasi kemasyarakatan desa yang masih ada struktur organisasinya tapi sudah tidak ada lagi pengurusnya. Atau masih ada pengurusnya namun tidak memiliki program dan kegiatan yang jelas. Tujuan selanjutnya adalah agar Desa memiliki gudang data tentang apa saja masalah dan potensi yang dimiliki organisasi kemasyarakatan desa sehingga memungkinkan menjadi mitra strategis Pemerintah Desa dalam menjalankan mandat pembangunan.

2. Menyelenggarakan program/kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas organisasi kemasyarakatan Desa.

Bentuk kegiatan untuk penguatan kapasitas misalnya pelatihan managemen organisasi, mendorong restrukturisasi/peremajaan pengurus organisasi, ataupun pemberian bantuan desa untuk organisasi kemasyarakatan desa.

(23)

mereka ke dalam arena perumusan dan pengambilan kebijakan desa. Melalui cara ini, Pemerintah Desa telah mengedepankan prinsip penghormatan, partisipasi dan emansipasi warga dalam pembangunan. Dari sinilah nanti akan lahir proses check and balancies dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

KEDUA, memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi dinamis antara organisasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Selain terhadap organisasi kemasyarakatn, penguatan kapasitas juga harus dilakukan terhadap Pemerintah Desa. Seperti tantangan yang dikemukakan di atas, yaitu kapasitas Pemerintah Desa dalam tata kelola keuangan Desa. Namun penguatan kapasitas tersebut juga harus dibarengi dengan mengembangkan interaksi yang dinamis anatara Pemerintah Desa dengan organisasi masyarakat. Maksud interaksi dinamis adalah bahwa seluruh proses berdesa, urusan publik, dan kebijakan-kebijakan di Desa mesti dilakukan dengan melibatkan masyarakat Desa.

KETIGA, membangun sistem perencanaan danpenganggaran desa yang responsif dan partisipatif. Menuju sebuah desa mandiri dan berdaulat tentu membutuhkan sistem perencanaan yang terarah di ditopang partisipasi warga yang baik. Secara skematik pembelajaran penerapan sistem tersebut sebagai berikut: (i) melalui Musrenbang desa Pemerintah Desa mempertemukan visi dan misi kepala desa terpilih dengan aspirasi dan kebutuhan prioritas masyarakat lalu memasukannya secara konsisten dalam dokumen perencanaan (RPJM Desa dan RKP Desa); (ii) Pemerintah Desa membahas dan memastikan ide atau usulan program mandiri pangan (pengadaan bibit, dll) masuk dalam dokumen anggaran (RAPBDesa dan APBDesa); (iii) pemerintah desa memastikan pelaksanaan kegiatan belanja anggaran seperti pengadaan bibit, warga menanam, hingga memastikan tanaman yang ditanam benar-benar tumbuh baik.

(24)

APB Desa).

Mewujudkan Desa mandiri bukan pekerjaan yang mudah, namun bukan mustahil untuk dilakukan dan terwujud. Bagi pendamping tentu ini bukan tugas sederhana. Akan tetapi, kita harus percaya dan awas dengan kondisi aktual Desa, yaitu bahwa dalam derasnya arus pembangunan Desa selama ini, selalu ada kearifan dan inovasi-inovasi Desa yang membuat Desa memiliki peluang untuk bertahan, sejahtera, dan mandiri. Bagi pendamping di Desa-desa, inovasi-inovasi Desa itu sangat penting untuk digali dan tidak boleh luput dari perhatian.

3. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

Dalam upaya untuk mewujudkan Desa Mandiri seperti yang dicita citakan, tentunya harus dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat desa sebagai pelaku utamanya. Scenario kebijakan dari Kemendesa PDTT dalam mengembangkan pemberdayaan masyarakat dengan melalui strategi 3 (tiga) daya : Pertama). Pengembangan lumbung ekonomi rakyat, Kedua). Penguatan jaring komunitas wiradesa, dan Ketiga). Pengembangan lingkar budaya Desa.

Rumusan strategi 3 (tiga) daya tersebut dimaknai operasionalisasinya sebagai berikut:

a. Lumbung Ekonomi Rakyat adalah pengembangan ekonomi masyarakat Desa sesuai potensi ekonomi desa baik atas prakarsa masyarakat Desa dan/atau prakarsa Pemerintah Desa yang dilakukan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat Desa.

b. Jaring Komunitas Wiradesa adalah penguatan kapasitas masyarakat Desa dalam hal pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, dan kesadaran dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan penyelenggaraan pemerintahan Desa.

(25)

Tentunya strategi 3 daya ini bagi pendamping bisa menjadi kerangka dan persfektif dalam pengembangan pemberdayaan masyarakat dalam mendukung dan mewujudkan Desa Mandiri. Tentunya strategi ini harus diselaraskan dengan kearifan dan inovasi-inovasi Desa untuk mengebangkan desa mandiri.

PENUTUP

Tulisan ini mungkin belum berhasil menyajikan cara atau tips-tips sederhana dan jitu bagaimana membangun desa mandiri. Pemahaman dan strategi yang telah dipaparkan di tiga bab di atas setidaknya telah menunjukkan langkah-langkah yang perlu dilakukan sekongkrit mungkin.

(26)

Bagian 2

BADAN USAHA MILIK DESA:

(27)

PENGANTAR

A. Makna BUM Desa

UU No. 6/20014 tentang Desa menjadi prioritas penting bagi Pemerintahan Jokowi-JK dengan menempatkan posisi Desa sebagai “kekuatan besar” yang akan memberikan kontribusi terhadap misi Indonesia yang berdaulat, sejahtera, dan bermartabat. Prioritas tersebut tercermin dalam Nawacita, khususnya Cita ketiga. Prioritas posisi Desa tersebut membutuhkan komitmen pengawalan implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan untuk mencapai Desa yang maju, kuat, mandiri, dan demokratis. Salah satu wujud komitmen tersebut ialah pengaturan tentang BUM Desa melalui Permendesa No. 4/2015 sebagai pelaksanaan amanat UU Desa.

BUM Desa dapat dimaknai sebagai:

1. Salah satu strategi kebijakan membangun Indonesia dari pinggiran melaluipengembangan usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif. Kemendesa PDTT mengembangkan konsep Lumbung Ekonomi Rakyat. Dimana Lumbung Ekonomi Rakyat adalah pengembangan ekonomi masyarakat Desa sesuai potensi ekonomi desa baik atas prakarsa masyarakat Desa dan/atau prakarsa Pemerintah Desa yang dilakukan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat Desa.

2. Salah satu strategi kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia di Desa.

(28)

B. BUM DESA Dan Tradisi Berdesa

Konsepsi Tradisi Berdesa merupakan salah satu gagasan fundamental yang mengiringi pendirian BUM Desa. Tradisi Berdesa sejajar dengan kekayaan modal sosial dan modal politik serta berpengaruh terhadap daya tahan dan keberlanjutan BUM Desa.

Inti gagasan dari Tradisi Berdesa dalam pendirian BUM Desa adalah: 1. BUM Desa membutuhkan modal sosial (kerja sama,

solidaritas, kepercayaan, dan sejenisnya) untuk pengembangan usaha yang menjangkau jejaring sosial yang lebih inklusif dan lebih luas.

2. BUM Desa berkembang dalam politik inklusif melalui praksis Musyawarah Desa sebagai forum tertinggi untuk pengembangan usaha ekonomi Desa yang digerakkan oleh BUM Desa.

3. BUM Desa merupakan salah satu bentuk usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif antara pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Usaha ekonomi Desa kolektif yang dilakukan oleh BUM Desa mengandung unsur bisnis sosial dan bisnis ekonomi.

4. BUM Desa merupakan badan usaha yang dimandatkan oleh UU Desa sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.

5. BUM Desa menjadi arena pembelajaran bagi warga Desa dalam menempa kapasitas manajerial, kewirausahaan, tata kelola Desa yang baik, kepemimpinan, kepercayaan dan aksi kolektif.

(29)

C. BUM DESA DAN ASAS UTAMA UU DESA: “REKOGNISI-SUBSIDIARITAS”

Kementerian Desa PDTT telah menerbitkan Peraturan Menteri Desa PDTT No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Definisi Kewenangan Lokal Berskala Desa dalam Pasal 1 angka 4 Permendesa PDTT No. 1/2015 tersebut adalah:

“Kewenangan lokal berskala Desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang

telah dijalankan oleh Desa atau mampu danefektif dijalankan

oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan

prakarsa masyarakat Desa”.

Permendesa PDTT tersebut di atas merupakan pendasaran bagi BUM Desa untuk dimasukkan sebagai salah satu bentuk kewenangan lokal berskala Desa. Oleh karenanya, berkaitan dengan keberadaan-faktual BUM Desa sebagai bagian dari Kewenangan Lokal Berskala Desa, Kemendesa PDTT telah memasukkan pendirian dan pengelolaan BUM Desa ke dalam Kewenangan Lokal Berskala Desa bidang pengembangan ekonomi lokal Desa (vide Pasal 12 huruf mPermendesa PDTT No. 1/2015).

Adapun penetapan BUM Desa dikategorikan ke dalam Kewenangan Lokal Berskala Desa di bidang pemerintahan Desa (vide Pasal 8 huruf l Permendesa PDTT No. 1/2015). Halini dimaksudkan agar pendirian, penetapan dan pengelolaan BUM Desa didasarkan pada Asas Rekognisi dan Asas Subsidiaritas.

(30)

Dalam jalur teknokratik, pembentukan dan pengembangan BUM Desa dimasukkan ke dalam RPJM Desa bidangpelaksanaan pembangunan Desa, khususnya untuk rencana kegiatan pengembangan usaha ekonomi produktif. Penyusunan RPJM Desa paralel dengan Perbup/ walikota dan Perdes tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa

yang didalamnya terdapat pendirian, penetapan dan pengembangan BUM Desa. Dengan demikian, BUM Desa dijalankan berdasar Asas Rekognisi-Subsidiaritas dan sinkron dengan aspek teknokratik dalam pembangunan Desa (RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa).

1. MENGAWALI PENDIRIAN DAN PEMBENTUKAN BUM DESA

A. Pembentukan Dan Pendirian BUM DESA

Pada prinsipnya, pendirian BUM Desa merupakan salah satu pilihan Desa dalam gerakan usaha ekonomi Desa [vide Pasal 87 ayat (1) UU Desa, Pasal 132 ayat (1) PP No. 43/2014, dan Pasal 4 Permendesa PDTT No. 4/2015]. Frasa “dapat mendirikan BUM Desa” dalam peraturan perundang-undangan tentang Desa tersebut menunjukkan pengakuan dan penghormatan terhadap prakarsa Desa dalam gerakan usaha ekonomi. Dari ketentuan tersebut, Pendirian BUM Desa didasarkan atas prakarsa Desa yang mempertimbangkan:

a) inisiatif Pemerintah Desa dan/atau masyarakat Desa;

b) potensi usaha ekonomi Desa;

c) sumberdaya alam di Desa;

d) sumberdaya manusia yang mampu mengelola BUM Desa; dan

(31)

Dalam aras sistem hukum, prakarsa Desa tersebut memerlukan legitimasi yuridis dalam bentuk Perbup/walikota tentang Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Di dalam Peraturan Bupati tersebut dicantumkan rumusan pasal (secara normatif) tentang:

a) pendirian dan pengelolaan BUM Desa ke dalam ketentuan tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa bidang pengembangan ekonomi lokal Desa;

b) penetapan BUM Desa ke dalam ketentuan tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa di bidang pemerintahan Desa.

Langkah prosedural selanjutnya adalah penerbitan Perdes tentang

Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa yang mengembangkan isi Perbup/Walikota tersebut dengan memasukkan pendirian, penetapan, dan pengelolaan BUM Desa.

(32)

Gambar

(33)

B. Langkah Pelembagaan BUM Desa

Proses pelembagaan pelembagaaan BUM Desa harus dilakukan secara partisipatif. Tujuannya agar pendirian BUM Desa benar-benar seirama dengan denyut nadi usaha ekonomi Desa dan demokratisasi Desa. Langkah-langkah pelembagaan tersebut adalah sebagai berikut.

PERTAMA, sosialisasi tentang BUM Desa. Inisiatif sosialisasi kepada masyarakat Desa dapat dilakukan oleh Pemerintah Desa, BPD, PLD (Pendamping Lokal Desa) baik secara langsung maupun bekerjasama dengan (i) Pendamping Desa yang berkedudukan di kecamatan, (ii) Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat yang berkedudukan di Kabupaten, dan (iii) Pendamping Pihak Ketiga (LSM, Perguruan Tinggi, Organisasi Kemasyarakatan).

Langkah sosialisasi ini bertujuan agar masyarakat Desa dan kelembagaan Desa memahami tentang apa BUM Desa, tujuan pendirian, manfaat pendirian dan lain sebagainya. Keseluruhan Pendamping perlu melakukan upaya inovatif-progresif untuk meyakinkan masyarakat bahwa BUM Desa akan memberikan manfaat kepada Desa.

Perumusan hasil sosialisasi yang memuat pembelajaran dari BUM Desa dan kondisi internal-eksternal Desa dapat dibantu oleh para Pendamping. Substansi sosialisasi selanjutnya menjadi rekomendasi pada pelaksanaan Musyawarah Desa yang mengagendakan pendirian/ pembentukan BUM Desa. Rekomendasi dari sosialisasi dapat menjadi masukan untuk:

• Rencana Pemetaan Aspirasi/Kebutuhan Masyarakat tentang BUM Desa oleh BPD dan nantinya akan menjadi Pandangan Resmi BPD terkait BUM Desa; dan

• Bahan Pembahasan tentang BUM Desa yang disiapkan oleh Pemerintah Desa dan akan disampaikan oleh Kepala Desa kepada BPD.

(34)

BPD untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Musyawarah Desa diselenggarakan oleh BPD yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa.

Pendirian atau pembentukan BUM Desa merupakan hal yang bersifat strategis. Pelaksanaan tahapan Musyawarah Desa dapat dielaborasi kaitannya dengan pendirian/ pembentukan BUM Desa secara partisipatif, demokratis, transparan dan akuntabel dengan berdasarkan kepada hak dan kewajiban masyarakat.

Salah satu tahapan dalam Musyawarah Desa yang penting adalah Rencana Pemetaan Aspirasi/Kebutuhan Masyarakat tentang BUM Desa oleh BPD. AnggotaBPD dapat bekerjasama dengan para Pendamping untuk melakukan Kajian Kelayakan Usaha pada tingkat sederhana yakni:

a) menemukan potensi Desa yang dapat dikembangkan melalui pengelolaan usaha/bisnis.

b) mengenali kebutuhan sebagian besar warga Desa dan masyarakat luar Desa.

c) merumuskan bersama dengan warga Desa untuk menentukan rancangan alternatif tentang unit usaha dan klasifikasi jenis usaha. Unit usaha yang diajukan dapat berbadan hukum (PT dan LKM) maupun tidak berbadan hukum.

d) klasifikasi jenis usaha pada lokasi Desa yang baru memulai usaha ekonomi Desa secara kolektif, disarankan untuk merancang alternatif unit usaha BUM Desa dengan tipe pelayanan atau bisnis sosial dan bisnis penyewaan. Kedua tipe unit usaha BUM Desa ini relatif minim laba namun minim resiko kerugian bagi BUM Desa.

(35)

susunan kepengurusan BUM Desa selanjutnya ditetapkan dalam Keputusan Kepala Desa. Susunan kepengurusan organisasi pengelola BUM Desa terdiri dari Penasihat, Pelaksana Operasional dan Pengawas. Penamaan susunan kepengurusan dapat menggunakan penyebutan nama setempat yang dilandasi semangat kekeluargaan dan kegotongroyonan.

f) modal usaha BUM Desa. Modal awal BUM Desa bersumber dari APB Desa. Modal BUM Desa terdiri atas penyertaan modal Desa dan penyertaan modal masyarakat Desa.

g) rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BUM Desa (AD/ART) dibahas dalam Musyawarah Desa dan hasil naskah AD/ART itu diputuskan oleh Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (5) PP No. 47/2015. AD/ART tersebut dibahas dalam Musyawarah Desa agar prakarsa masyarakat Desa tetap mendasari substansi AD/ART.

h) pokok bahasan opsional tentang rencana investasi Desa yang dilakukan oleh pihak luar dan nantinya dapat dikelola oleh BUM Desa.

(36)

TRANSFORMASI BUM DESA

A. Pengembangan Kerjasama Ekonomi Antar Desa Menuju BUM

Desa Bersama

Pada prinsipnya, BUM Desa Bersama didirikan dalam rangka kerja sama antar-Desa dan pelayanan usaha antar-Desa. Jalur implementasinya adalah melalui Musyawarah antar-Desa yang difasilitasi oleh BKAD (Badan Kerjasama Antar-Desa) untuk mengagendakan pendirian/pembentukan BUM Desa Bersama di tingkat kecamatan atau kawasan perdesaan.

Hasil kesepakatan dalam Musyawarah antar-Desa tentang pengelolaan aset ekonomi antar desa, dijadikan pertimbangan dalam penetapan BUM Desa Bersama melalui Peraturan Bersama Kepala Desa tentang Pendirian BUM Desa Bersama.

B. Bank Kredit Desa sebagai Unit Usaha BUM Desa

Isu kebijakan saat ini juga berkembang dengan kewenangan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terhadap eksistensi dan transformasi BKD (Bank Kredit Desa) menjadi BUM Desa. BUM Desa merupakan institusi Desa yang ditetapkan melalui Perdes.

Di lain pihak, BKD dengan status BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh WNI, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI, Pemda, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya. Dengan demikian, Desa tidak secara eksplisit dapat menjadi pemegang saham BKD dengan status BPR.

(37)

PENUTUP

Kebijakan BUM Desa pasca terbitnya UU Desa, PP No. 43/2014, PP No. 47/2015 dan Permendesa PDTT, menghadapi tantangan yang kompleks. Produk kebijakan BUM Desa terdahulu mengalami proses transformasi yang didasarkan Agenda Nawa Cita, Asas Rekognisi-Subsidiaritas dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Pendirian BUM Desa dalam paradigma Desa Membangun kini menghadapi tantangan berupa Musyawarah Desa sebagai instrumen demokratisasi Desa yang mengiringi Tradisi Berdesa (hidup bermasyarakat dan bernegara di Desa). Proses pendirian/pembentukan BUM Desa sedapat mungkin menghindari government driven yang mudah membuat BUM Desa “layu sebelum berkembang”. Di lain pihak, tantangan bagi BUM Desa saat ini adalah melakukan transformasi agenda government driven itu ke dalam praksis Kewenangan Lokal Berskala Desa baik pada basis lokus Desa maupun Kawasan Perdesaan. Salah satu agenda pendirian/ pembentukan BUM Desa Bersama pada basis lokus Kawasan Perdesaan (“Membangun Desa”), sedangkan BKD (Bank Kredit Desa) menghadapi persoalan transformasi dari bentuk BPR menuju LKM (Lembaga Keuangan Mikro) yang berpeluang menjadi Unit Usaha BUM Desa yang berbadan hukum.

Keseluruhan agenda kebijakan gerakan usaha ekonomi Desa ini membutuhkan Tradisi Berdesa agar pelaksanaannya nanti di lapangan tetap mengakui, menghormati, dan memulyakan Desa di Indonesia.

(38)

Bagian Tiga

KERJA SAMA:

(39)

PENGANTAR

Sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial (social being) adalah saling tergantung dan saling membutuhkan. Sifat dasar ini juga berlaku pada masyarakat. Setiap kesatuan masyarakat tidak dapat hidup terisolir, ia selalu terhubung dan membutuhkan masyarakat lain. Sifat dasar tersebut lebih nyata lagi di zaman mutkahir.

Dalam lingkup Desa dan masyarakat Desa, sifat saling membutuhkan tersebut tampil dalam berbagai bentuk. Misal dalam perdagangan, pertukaran tenaga atau lapangan kerja, konsumsi air di sebuah Desa yang sumbernya terletak di Desa lain, gotong-royong, dan lain sebagainya. Di banyak daerah, sifat saling membutuhkan antar Desa dapat terjalin dan diperkuat oleh faktor kekerabatan atau adat istiadat yang sama. Singkatnya, sifat saling membutuhkan dan sifat saling terhubung antar masyarakat merupakan kenyataan dasar yang menandai kehidupan masyarakat manusia, sejak dulu hingga sekarang.

Kenyataan tersebut menjadi salah satu latar belakang pengaturan kerja sama Desa dalam UU No. 6/2014. Visi pengaturan tersebut adalah bahwa Desa harus mengembangkan sifat saling membutuhkan dan keterhubungan di atas menjadi kerja sama (cooperation atau kooperasi) yang berpijak pada aturan legal-konstitusional agar Desa mampu mewujudkan kesejahteraan warganya sekaligus menjadi basis sosio-budaya dan ekonomi nasional yang kokoh. Sifat saling membutuhkan dan saling terhubung hanya akan melahirkan nilai lebih bila ditingkatkan menjadi kerja sama.

(40)

Pertama untuk mengetahui pola-pola interaksi sosial, politik, dan ekonomi yang ada di Desa sekaligus yang menghubungkan satu Desa dengan Desa lain.

Kedua untuk memudahkan Pendamping dalam mendorong

terlaksananya kerja sama antar-Desa maupun dengan pihak ketiga ketika dibutuhkan.

Ketiga untuk membantu mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat desa, berdasar atas kekuatan sosial-budaya dan potensi ekonomi yang dimiliki masyarakat Desa itu sendiri. Persoalan tersebut seperti terbatasnya peluang kerja, struktur sumber daya ekonomi yang kurang beragam, keterbatasan pendidikan, keterampilan, peralatan dan modal. Sejumlah keterbatasan-keterbataan tersebut di atas sejatinya dapat diatasi dengan pemanfaatan jaringan sosial yang terkembang menjadi kerja sama.

(41)

1.

DASAR BERPIKIR DALAM MENGEMBANGKAN

JARINGAN DAN KERJASAMA

A. Kerja Sama Desa: Amanat UU Desa

Kerja sama diatur di Pasal 91-93 UU Desa. Ketentuan Pasal 1 mengatur bahwa “Desa dapat mengadakan kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga”. Ketentuan tersebut menginformasikan bahwa sifat kerja sama sesungguhnya opsional, atau pilihan. Pengertiannya, sejauh kerja sama tersebut dibutuhkan maka kerja sama dapat dilakukan, baik dengan Desa lain maupun dengan pihak ketiga.

Sebagaimana ketentuan di Pasal 92 ayat (1), kerja sama antar-Desa meliputi beberapa bidang:

a. Pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing;

b. Kegiatan kemasyarakatn, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa;

c. Bidang keamanan dan ketertiban.

Dilihat dari sudut pandang normatif, kerja sama Desa dilindungi dan menjadi jalan keluar dari permasalahan keterbatasan sumber daya Desa yang ditawarkan oleh UU Desa.

Dengan kewenangannya, Desa memiliki kesempatan yang sangat luas untuk meletakkan penyelenggaraan kerja sama dalam tata nilai sosio-kultural dan kebiasaan masyarakat Desa. Tujuan adaptasi sesuai kewenangan lokal tersebut adalah agar kerja sama dilakukan atas dasar konstruksi tata kultural yang ada di masyarakat. Sehingga kerja sama dengan pihak lain (baik Desa lain maupun Pihak Ketiga) sinambung baik dengan kebutuhan yang perlu dikerjasamakan sekaligus dengan tata kultural masyarakat Desa itu sendiri.

(42)

seutuhnya melibatkan partisipasi masyarakat atau warga Desa. Sebab itu kerja sama terlebih dahulu harus disepakati di dalam Desa melalui musyawarah Desa, sebelum dibicarakan dan disepakati dalam musyawarah antar-Desa yang dilaksanakan oleh Badan Kerja Sama Antar Desa. Kerja sama antar-Desa juga harus memiliki pijakan legalnya, yakni melalui Peraturan Desa tentang Kerjasama Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.

Mekanisme yang sama (musyawarah Desa) juga harus dilalui dalam penyelenggaraan kerja sama Desa dengan Pihak Ketiga. Dalam hubungannya dengan Pihak Ketiga, pelaksanaan kerja sama diatur dengan Perjanjian Bersama (Pasal 143 ayat (3) PP No. 43/2014).

Isi Peraturan Bersama Kepala Desa dan Perjanjian Bersama, menurut ketentuan Pasal 143 ayat (4) PP No. 43/2014, setidaknya memuat:

a. Ruang lingkup kerja sama

b. Bidang kerja sama

c. Tata cara dan ketentuan pelaksanaan kerja sama

d. Jangka waktu

e. Hak dan kewajiban

f. Pendanaan

g. Tata cara perubahan, penundaan, dan pembatalan, dan

h. Penyelesaian perselisihan.

(43)

B. Dasar Pengembangan Jaringan Dan Kerja Sama Desa

Mengapa kerja sama penting dilakukan? Dan mengapa sebaiknya kerja sama dikembangkan dari pola jaringan sosial yang sudah ada? Dua pertanyaan tersebut setidaknya yang harus dijawab di bagian ini.

Pertamadan yang paling mendasar adalah fakta bahwa potensi alam, sumber daya manusia, dan modal sosial Desa tidak selalu sama antara satu Desa dengan Desa yang lain. Pada saat yang sama hubungan masyarakat antar beberapa Desa tersebut bisa telah terjalin dengan baik, atau sebaliknya, terdapat gejala-gejala perselisihan atau konflik.

Sebagai ilustrasi, yang kami singgung di bab sebelumnya, sebuah sungai yang melintasi beberapa Desa dan digunakan untuk berbagai keperluan seperti irigasi, mandi-cuci-kakus, atau bahkan untuk konsumsi. Apabila di bagian hulu sungai itu dimanfaatkan untuk irigasi atau untuk mencuci, bagian aliran yang lebih rendah akan mendapatkan air yang kotor. Padahal masyarakat di situ membutuhkan air tersebut untuk keperluan konsumsi. Hubungan antara masyarakat Desa di dua Desa (atau lebih) tersebut dapat digunakan sebagai titik mula untuk membangun kerja sama.

Kedua, Desa-Desa kedepan sudah harus mampu menciptakan

kemandirian khususnya dalam sistem pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, energi, pendidikan dan kesehatan. Desa tidak dituntut untuk memenuhi secara mandiri kebutuhan energi apabila di Desa tersebut tidak ada potensi energi. Maksud dari sistem pemenuhan kebutuhan daar adalah cara atau mekanisme yang yang dikembangkan oleh kebiasaan dan jaringan sosial yang telah terbangun di Desa untuk memenuhi kebutuhan itu, yaitu melalui kerja sama atau kemitraan. Di sinilah makna sifat saling membutuhkan antar masyarakat.

Ketiga, tuntutan pengelolaan sumber daya alam semakin diarahkan pada penyesuaian tata kelola dengan prinsip-prinsip keberlanjutan

(44)

1. Keberlanjutan ekologi, dimana pemanfaatan sumber daya alam dilakukan dengan tidak merusak lingkungan dan senangtiasa memperhatikan daya dukung ekologinya.

2. Keberlanjutan sosial ekonomi yang mengacu pada kesejahteraan masyarakat pedesaan.

3. Keberlanjutan komunitas masyarakat pedesaan yang mengacu pada terjaminnya peran masyarakat dalam pembangunan, dan jaminan akses komunitas pada sumber daya alam,

4. Keberlanjutan institusi yakni yang mencakup institusi politik, institusi sosial-ekonomi dan institusi pengelola sumber daya.

Keempat, program-program pembangunan seringkali menciptakan ketergantungan masyarakat Desa atau Desa pada penyelenggara program. Kerja sama dan jaringan sosial dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas masyarakat lintas Desa dalam memperkuat kemandirannya sebagai subjek pembangunan. Melalui kerja sama, posisi Desa (dalam hal ini Pemerintah Desa dan masyarakat Desa) dituntut untuk memikirkan secara serius kebutuhan dan kepentingannya untuk dibicarakan atau dinegosiasikan dengan Desa lain.

Dasar pemikiran selanjutnya terkait dengan keberadaan Pendamping Desa yang dimulai tahun 2015 ini. Keberadaan Pendamping Desa adalah untuk melanjutkan dan meningkatkan visi kerja program PPK (Program Pengembangan Kecamatan, 1998-2008) dan PNPM MPd (2009-2014). Perbedaan mendasar dalam program Pendampingan Desa adalah prinsip partisipatif dan keaktoran masyarakat Desa dalam penyelenggaraan program pembangunan Desa seperti digariskan oleh UU No. 6/2014 tentang Desa. Pendamping dituntut untuk memahami secara komprehensif karakteristik sosial-budaya, sosial-politik, dan sosial-ekonomi masyarakat Desa yang ia dampingi. Dalam konteks kerja sama Desa, prinsip tersebut juga harus diperhatikan.

(45)

desa yang harus senantiasa dijaga dan dikembangkan untuk memajukan pembangunan di desa.

2.

PRINSIP & LANGKAH PENGEMBANGAN

JARINGAN SOSIAL DAN KERJASAMA

A. Prinsip Pengembangan Jaringan Sosial Dan Kerja Sama

Tugas Pendamping setelah memahami jaringan sosial adalah mengembangkannya sebagai modal bagi kerja sama dan Pembangunan Desa. Dalam pengembangan tersebut, prinsip-prinsip berikut ini harus diperhatikan oleh Pendamping:

• Pendamping harus meyakini, mengakui dan menghargai bahwa setiap individu atau lembaga memiliki potensi yang merupakan modal dasar dalam mewujudkan visi pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

• Modal dasar tersebut perlu dikembangkan dan ditingkatkan mutunya, serta dipadukan lewat proses dialog dan musyawarah dalam wadah jaringan.

• Musyawarah dan dialog adalah roh dari pendampingan desa.

• Pendamping desa harus senangtiasa menciptakan peluang dengan mengembangkan sistem dan mekanisme, agar potensi jaringan sosial yang terbentuk senantiasa diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

B. Langkah Pengambangan Jaringan Sosial

Langkah-langkah pengembangan jaringan sosial dimulai dari identifikasi jaringan sosial itu sendiri. Secara keseluruhan langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

(46)

mengidentifikasi kelompok-kelompok sosial dan potensi perannya masing-masing dalam proses pembangunan dan pemberdayaan desa.

Kedua.Melakukan pendekatan terhadap kelompok-kelompok sosial di perdesaan dengan membangun dialog yang baik. Dialog dilakukan dalam rangka memahami realitas pedesaan untuk merangsang kehendak kerja sama masayarakat Desa setempat. Dialog dilakukan sebaik mungkin dengan prinsip sikap dasar:

a. Menghargai hak-hak dari lawan komunikasi, bukan saling meniadakan.

b. Memiliki kepekaan terhadap realitas yang dihadapi oleh masyarakat Desa untuk membantu Pendamping menemukan potensi dasar dari kelompok sosial tersebut.

c. Kerendahan hati, yaitu kemauan yang tinggi untuk belajar dari orang lain dan menyampaikan pandangan tanpa sikap menggurui.

d.

Membangun kepercayaan

bahwa manusia pada dasarnya diciptakan sebagai subjek. Karena itu manusia mempunyai tanggungjawab mengelola alam semesta untuk mewujudkan kesejahteraan.

e. Rasa empati terhadap sesamanya dan alam semesta untuk membangun rasa percaya diri lawan dialog.

f. Bersedia mendengarkan orang lain dan memahami diri sendiri, untuk menumbuhkan optimisme lawan dialog.

(47)

Keempat. Menyusun rencana kerja dan program bersama yang didasarkan atas kemampuan dan potensi masing-masing kelompok sosial.

Kelima. Melakukan diskusi aksi-refleksi. Diskusi aksi-refleksi ini diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas dan sinergisitas dari jaringan sosial yang terbentuk.

C. Langkah Identiikasi Kebutuhan Kerja Sama

Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pendamping desa dalam mengembangkan kerjasama, antara lain :

Pertama. Pendamping desa membantu Pemerintah Desa dalam mengidentifikasi potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di desa. Analisis terhadap potensi ini menjadi modal dasar dalam membangun kerjasama dengan pihak luar desa.

Kedua. Pendamping desa bersama-sama dengan pemerintah desa mengidentifikasi kebutuhan kerja sama sekaligus mengidentifikasi Desa lain atau Pihak Ketiga yang mungkin menjadi mitra kerja sama.

Ketiga. Pendamping desa bersama-sama dengan pemerintah Desa menganalisis dan menentukan jenis-jenis kegiatan dan program-program yang perlu dikerjasamakan dengan pihak luar dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan rasa aman warga desa.

Keempat. Pendamping desa mendorong penyelenggaraan musyawarah Desa untuk membicarakan perlunya kerja sama, sesuai dengan mekanisme yang berlaku mengenai musyawarah Desa menurut Permendesa PDT Transmigrasi No. 2/2015.

(48)

PENUTUP

Wawasan umum dalam empat bagian yang diuraikan dalam tulisan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan mekanisme legal yang dibicarakan dalam seri bacaan sebelumnya. Dalam hal ini, Pendamping Desa harus faham betul mengenai mekanisme permusyawaratan Desa serta tata aturan penetapan Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa.

(49)

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Gambar

Tabel 1
Tabel di atas menyajikan secara kontras pengaturan Desa

Referensi

Dokumen terkait

6.2 Pengaruh Jenis Operasi Terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak yang melakukan Operasi di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober- Desember 2015. 50

Berdasarkan hasil penelitian atas pelayanan Teller terhadap kepuasan nasabah yang telah di bahas pada Bab empat, maka yang menjadi saran kepada Bank BNI Kantor

Untuk remaja khusunya para pelajar agar membatasi dirinya dalam penggunaan handphone, karena segala sesuatu yang berlebihan tidak baik akibatnya tidak baik dan

20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah terletak pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan anak di mana usia anak 6-8 tahun merupakan usia transisi dari masa anak-anak yang

'DULKDVLODQDOLVLVVWDWLVWLNNDUDNWHU MXPODK FLQFLQ SHPEXOXK ODWHNV MXPODK WDQDPDQ WHUSLOLK XQWXN LQWHQVLWDV VHOHNVL DGDODKSURJHQLGHQJDQEDWDV² SHPEXOXKGDQXQWXNLQWHQVLWDVVHOHNVL DGDODK

Untuk mengenali karakter geokimia daerah kajian dilakukan dengan membandingkan sedimen aluvial yang mempunyai fenomena geologi plaser yang sama, terdapat di daerah Ketapang (diluar

Pos Indonesia (persero) penempatan pada bank lain, efek-efek, piutang, pinjaman Qord}, pembiayaan mudh{arabah, dan musya>rakah, penyertaan salam dan kewajiban komitmen