• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

7

Dalam bab II ini di paparkan tetang, Kajian Teori, Mata Pelajaran Matematika, Keaktifan Belajar Siswa, Hasil Belajar, Pengertian Belajar, Faktor Yang Mempengerahuhi hasil belajar, Jenis Hasil Belajar, Hasil Belajar Matematika, Pengertia Hasil Belajar. Beberapa hal itu akan dijelaskan di bawah ini.

2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran

Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan pembelajar yang direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara sistematis agar pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien. Komalasari (2013:3) selanjutnya menurut Syah (2010:215) bahwa pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan seseorang agara orang lain belajar senada dengan pendapat Sumarjhono (2013: 13) berpendapat bahwa pembelajaran merupakan pembelajaran sebagai pengetahuan peristiwa yang berada diluar dari pengetahuan siswa.

Arifin (2011:10) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan sistemik yang bersifat interaktif dan komunikatif antara pendidik “guru” dengan siswa, sumber belajar, dan lingkungan untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya tindakan belajar siswa. Menurut Sanjaya (2011:13-14) Pembelajaran merupakan suatu sistem yang kompleks yang keberhasilannya dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek produk dan aspek proses. Keberhasilan pembelajaran dilihat dari sisi produk adalah keberhasilan siswa mengenai hasil yang diperoleh dengan mengabaikan proses pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran dilihat dari sisi hasil memang mudah dilihat dan ditentukan kriteriannya, akan tetapi hal ini dapat mengurangi makna proses pembelajaran sebagai proses yang mengandung nilai-nilai pendidikan.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas mengenai pengertian pembelajaran dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses tranfer ilmu dua arah,

(2)

antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi yang merupakan suatau usaha untuk membuat siswa belajar atau suatu kegiatan belajar dalam rangka untuk membelajarkan siswa.

2.1.2 Belajar

Slameto (2010: 2) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan selanjutnya menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:7) menyatakan bahwa belajar merupakan tindakan dan perilaku yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar lebih lanjut menurut Sardiman, AM, (2014:23) mengungkapkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku, dan terjadi karena hasil pengalaman. Sejalan dengan itu, Iskandar (2012:102) mengatakan bahwa belajar merupakan usaha yang dilakukan seseorang melalui interaksi dengan lingkungannya untuk merubah perilakunya kemudian menurut Kurniawan (2014: 4) mengatakan belajar itu sebagai proses aktif internal individu dimana melalui pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan menyebabkan terjadinya perubahn tingkah laku yang relatif permanen. Sedangkan, menurut Djamarah (2011:13) mengatakan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.

Bloom (Suprijono, 2012:6), mengatakan bahwa hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Domain kognitif meliputi: knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk, bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain afektif meliputi: receiving (sikap menerima), responding (memberikan respon), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Sedangkan domain psikomotor meliputi

(3)

keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial dan intelektual. Sedangkan menurut Nana Sudjana (2010: 3) berpendapat bahwa hakikat hasil belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai definisi hasil belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah segala upaya yang menyangkut aktivitas proses berpikir yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diukur dengan teknik tes dan non-tes.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar

Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Munadi dalam Rusman (2012:124), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain meliputi faktor internal dan faktor eksternal.

1) Faktor Internal a) Faktor Fisiologis

Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi pelajaran. b) Faktor Psikologis

Setiap individu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya.Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta didik.

2) Faktor Eksternal a) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi hasil belajar.Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat berpengaruh dan akan sangat berbeda

(4)

pada pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk bernafas lega.

b) Faktor Instrumental

Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan.Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan.Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru.Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan atau pemilihan metode atau model pembelajaran di dalam kelas.

Menurut pedoman penilaian hasil belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP,2006) terdiri dari Sembilan prinsip, yaitu Valid atau sahih yang berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai dengan pengukuran kompetensi, Objektif, Transparan, Adil, Terpadu, Menyeluruh dan berkesinambungan, Sistematis, Akuntabel, dan Beracuan kriteria yang ditetapkan serta berlaku dalam mencapai kompetensi dan indicator yang ditetapkan.

Berdasarkan kajian teoritis tersebut dapat disintesiskan bahwa hasil belajar adalah suatu hasil perubahan pada aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik yang dimiliki oleh siswa setelah mengalami kegiatan pembelajaran serta penelitian.

Jenis-Jenis Hasil Belajar

Bloom dalam Sudjana (2006:22) membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah efektif, dan ranah psikomotorik.

1) Ranah kognitif

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan dan ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah pemahaman, yang dapat dibedakan kedalam tiga kategori, yakni a)

(5)

pemahaman terjemahan, b) pemahaman penafsiran, dan c) pemahaman ekstrapolasi.

Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongrit atau situasi khusus. Analisis adalah usaha memilih integritas menjadi unsure-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya atau susunanya. Penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian itu kedalam bentuk menyeluruh disebut sintesis. Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materil, dan lain-lain. 2) Ranah afekif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Penilaian hasil belajar afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Para guru lebih banyak menilai ranah kognitif semata. Jenis hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatianya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. 3) Ranah psikomotorik

Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Bloom dalam Purwanto (2010:43) membagi ranah kognitif menjadi enam yaitu pengetahuan hafalan, pemahaman atau kompreshensi, penerapan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada saat menentukan jenis hasil belajar atau tingkat kemampuan berpikir yang akan dinilai, penyusun tes dapat berpedoman pada tujuan instruksional yang akan dinilai atau pada tujuan evaluasi itu sendiri.

2.2 Matematika

2.2.1 Pengertian Matematika

Kata matematika berasal dari kata latin mathematika yang mulanya diambil Dari Bahasa Yunani Yaitu Matematic yang berarti mempelajari. Kata itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematika berhubungan pula dengan kata lain yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi berdasarkan asal katanya maka

(6)

kata matematika berarti Ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir bernalar (Suwangsih, 2006:3). Adji (2006:34) mengemukakan bahwa matematika adalah bahasa, sebab matematika merupakan bahasa simbol yang berlaku secara universal dan sangat padat makna dan pengertian.

Uno, (2009:109) mengatakan bahwa matematika adalah suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang berdasarkan unsur logika, dan intuisi, analisis dan kontruksi, generalisasi dan individualitas, dan mempunyai cabang-cabang ilmu antara lain aritmatika, aljabar, geometri, dan analisis. Karso, dkk (2009:1.4) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika di SD merupakan satu kajian yang selalu menarik untuk dikemukakan. karena adanya perbedaan karakteristik khususnya antara hakikat anak dan hakikat matematika yang disebabkan karena anak masih berada pada tahapan (pra konkret).

Berdasarkan uraian pengertian matematika dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenaranya.

Konsep pembelajaran matematika di SD yang telah dikemukakan di atas, sesuai dengan ciri-ciri pembelajaran matematika di SD menurut Suwangsih (2006: 25 – 26) sebagai berikut:

1. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral. Metode spiral ini melambangkan adanya keterkaitan antar materi satu dengan yang lainnya. Topik sebelumnya dapat menjadi prasyarat untuk memahami topik berikutnya atau sebaliknya.

2. Pembelajaran matematika diajarkan secara bertahap. Materi pembelajaran matematika diajarkan secara bertahap yang dimulai dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih kompleks.

3. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif, sedangkan matematika merupakan ilmu deduktif. Namun, karena sesuai tahap

(7)

perkembangan siswa maka pembelajaran matematika di SD digunakan pendekatan induktif.

4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.

5. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna. Konsep matematika tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya siswalah yang harus mengonstruksi konsep tersebut.

Berdasarkan uraian pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika di SD hendaknya merujuk pada pemberian pembelajaran yang bermakna melalui konstruksi konsep-konsep yang saling berkaitan hingga adanya reinvention (penemuan kembali). Meskipun penemuan ini bukan hal baru bagi individu yang telah mengetahui sebelumnya, namun bagi siswa penemuan tersebut merupakan sesuatu yang baru.

Tujuan pembelajaran yang selanjutnya juga diungkapkan dalam standar kompetensi lulusan untuk tingaktan Sekolah Dasar yang terdapat dalam Permendiknas No 23 tahun 2006, yaitu:

1. Memahami konsep operasi hitung dan sifat-sifatnya, bilangan bulat dan pecahan, serta penerapannya ketika memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

2. Paham terhadap konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, kecepatan, waktu, debit, serta pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pemahaman tentang konsep koordinat guna menentukan letak benda dan penggunaannya dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. 4. Pemahaman terhadap konsep pengumpulan data, penyajian data dengan

menggunakan table, grafik (diagram) dan gambar, urutan data, rentang data, rarata hitung, modus, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

5. Mempunyai sikap untuk menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan sehari.

(8)

6. Mempunyai kemampuan dalam berfikir kritis, logis, dan kreatif.

Berdasarkan pada tujuan matematika diatas, belajar matematika lebih menekankan pada bagaimana manusia dalam hidup bermasyarakat dilingkungannya, sadar akan nilai-nilai sosial yang menyusunnya, dimana manusia dituntut untuk mampu berkomunikasi, bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, sehingga manusia dituntut untuk terampil berfikir tinggi terampil menganalisis, mengavaluasi, sampai mencipta sebuah solusi dalam memecahkan masalah yang dihadapinya sehari-hari.

Pencapaian tujuan matematika tergantung pada tuntutan kompetensi, baik standar kompetensi maupun kompetensi dasar. Adapun perilaku yang akan diukur meliputi perilaku kognitif, afektif dan psikomotor, ditandai dengan penggunaan kata operasional seperti mengidentifikasi, menceriterakan dan menunjukkan. (Wardani, Naniek Sulistya dan Slameto, 2012:20).

2.3 Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur pada kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih. Keberhasilan kerjasama sangat dipengaruhi oleh keterlibatan setiap anggota kelompok itu sendiri (Saur,2014:89) selanjutnya menurut Isjoni (2010) menyatakan bahwa konsep pembelajaran kooperatif pada intinya menempatkan pengetahuan yang dipunyai siswa yaitu hasil dari aktivitas yang dilakukan, bukan pengajaran yang diterima secara pasif

Isjoni (2011:22) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif berasal dari kata “kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Sedangkan menurut Agus Suprijono (2009:54) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru.

(9)

Trianto (2007:42) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tidak hanya sekedar belajar kelompok saja tapi pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan beberapa jumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda-beda dimana dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu guna mecapai tujuan dalam pembelajaran tertentu. Selanjutnya Wina (2013:242) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen).Tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut: 1) untuk meningkatkan partisipasi siswa,2)untuk memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, 3) memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berdeda latar belakangnya (Trianto, 2007:42).

Hasil pembelajaran kooperatif dapat bermanfaat bagi siswa yang prestasinya rendah yang berusaha memperoleh pengetahuan dari pada kelompok siswa yang prestasinya tinggi yang tidak berpikir untuk memperolehnya. Siswa yang lemah belajar dengan konsep yang menantang melalui interaksi dengan siswa yang pintar dengan mendorong keberhasilan mereka serta menimbulkan perjuangan didalam kelas.

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif oleh (Trianto, 2009:66-67) adalah sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

(10)

Berdasarkan enam fase sintaks pembelajaran kooperatif di atas, maka pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.

2.3.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips

Model pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips menurut Lie (2008:63) adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang masing-masing anggota kelompoknya mendapat kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan serta pemikiran anggota kelompok lain. Pengertian

(11)

kancing menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sebuah benda kecil yang biasa dilekatkan di baju lebih lanjut Lie (2008, h. 63) menyatakan bahwa dalam kegiatan kancing gemerincing, masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain. Dalam banyak kelompok, sering ada anggota yang terlalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya, juga ada anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan. Dalam situasi seperti ini pemerataan tanggung jawab dalam kelompok bisa tidak tercapai karena anggota yang pasif akan terlalu menggantungkan diri pada rekannya yang dominan.

Supri Wahyudi utomo (2007:49) menyatakan: Model pembelajaran talking chips merupakan salah satu model pembelajaran yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok-kelompok dalam suatu kelompok. Di dalam Talking Chips siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil sekitar 4-6 orang perkelompok-kelompok.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe talking chips adalah pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil yang setiap anggotanya mendapatkan beberapa kancing sebagai kartu berbicara untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk berperan serta dan berkontribusi pada kelompoknya masing-masing, sehingga dapat mengatasi hambatan pemerataan dalam kelompok dan membuat siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Model pembelajaran kooperatif talking chips adalah pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-5 orang, masing masing anggota kelompok membawa sejumlah kartu yang berfungsi untuk menandai apabila mereka telah berpendapat dengan memasukkan kartu tersebut ke atas meja.

Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif talking chips Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif talking chips menurut Widyantini (2008:6) adalah sebagai berikut: (1)Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa.(2)Guru menyampaikan

(12)

tujuan pembelajaran dan mengkouminaksikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa. (3) Menyajikan informasi. (4) Guru menyajikan informasi kepada siswa.(5) Mengkoordinasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar. (6) Guru mengelompokan siswa.(7) Membimbing kelompok belajar.(8)Guru memfasilitasi kerja siswa untuk materi pembelajaran kelompok-kelompok belajar. (9) Evalusasi. (10) Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah disampaikan. (11) Memberi penghargaan. (12) Guru memberi penghargaan hasil belajar individu dan kelompok.

Langkah - langkah pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips Lie (2008:63) mengembangkan langkah-langkah yang harus dilakukan pada pelaksanaan pembelajaran Talking Chips adalah sebagai berikut:

1) Pengelompokan siswa pada suatu kelas menjadi kelompok-kelompok kecil.

2) Membentuk kelompok kecil yang beranggotakan empat sampai enam orang agar interaksi pada suatu kelompok lebih aktif dan bejalan lebih baik.

3) Menyiapkan benda-benda kecil sebagai tanda untuk anggota kelompok. Satu benda berfungsi sebagai tiket untuk memberi pendapat atau sanggahan terhadap suatu permasalahan materi ajar.

4) Membagikan benda kecil atau tiket kepada setiap anggota kelompok. 5) Memulai proses belajar mengajar

6) Memberikan kesempatan pada salah satu kelompok siswa untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas.

7) Melakukan evaluasi pada setiap siswa dan kelompok untuk menentukan nilai setiap individu dan nilai kelompok.

Pembelajaran kooperatif tipe talking chips masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain dalam kelompoknya. Keunggulan lain dari model ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Banyak kelompok kooperatif yang lain sering ada anggota yang selalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya, ada juga anggota yang pasif dan

(13)

pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok bisa tidak tercapai karena anggota yang pasif akan selalu menggantungkan diri pada rekannya yang dominan.

Tabel 2.2 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips Fase

Fase-1 Tingkah Laku Guru

Fase-1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran (atau indikator hasil belajar), guru memotivasi siswa, guru mengaitkan pelajaran sekarang dengan yang terdahulu

Fase-2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bacaan Fase-3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompokkelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa cara membentuk kelompok belajar, guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar (setiap kelompok beranggotakan 4-5 orang dan harus heterogen terutama jenis kelamin dan kemampuan siswa, dan setiap anggota diberi tanggung jawab untuk mempelajari atau mengerjakan tugas), guru menjelaskan tentang penggunaan media kancing sebagai salah satu tiket untuk berpendapat di dalam kelompoknya masing-masing.

Fase-4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat siswa mengerjakan tugas. Fase-5

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau meminta siswa mempresentasikan hasil kerjanya, kemudian dilanjutkan dengan diskusi.

Fase-6

Memberikan penghargaan

Guru memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi untuk menghargai upaya dan hasil belajar siswa baik secara individu maupun kelompok.

Sumber: ( http://van-alexander69.blogspot.co.id/2012/01/kooperatif-learningkancing-gemerincing.html) Diakses pada 11 Maret 2017, pukul 21.27 WIB

Berdasarkan uraian di atas, maka sebelum proses pembelajaran dilakukan seorang guru perlu merencanakan proses pembelajaran dengan menentukan teknik yang akan digunakan, dengan teknik talking chips guru harus memperhatikan

(14)

beberapa langkah di atas yang harus dilakukan dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe talking chips.

Menurut Isjoni, (2010: 36-37) keunggulan yang diperoleh model pembelajaran talking chips yaitu:

1) Saling ketergantungan yang positif

2) Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu 3) Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas 4) Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan

5) Terjalin hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dsan guru

6) Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.

Sedangkan kelemahan dalam model pembelajaran talking chips diantaranya: Tidak semua konsep dapat mengungkapkan model talking chips, disinilah tingkat profesionalitas seorang guru dap dinilai. Seorang guru yang profesional tentu dapat memilih metode dan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran. Pengelolaan waktu saat persiapan dan pelaksanaan perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, terutama dalam proses pembentukan pengetahuan siswa. Pembelajaran model talking chips adalah model pembelajaran yang menarik namun cukup sulit dalam pelaksanaannya, karena memerlukan persiapan yang cukup sulit.

Selain itu dalam pelaksanaannya guru dituntut untuk dapat mengawasi setiap siswa yang ada di kelas. Hal ini cukup sulit dilakukan terutama jika jumlah siswa dalam kelas terlalu banyak.

2.4 Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian yang memperkuat peneliti untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe talking chips adalah:

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2015) dalam penelitianya yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Teknik Talking Chips Untuk Meningkatkan

(15)

Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa SD”. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh tentang keaktifan dan prestasi belajar matematika siswa, pada siklus I diketahui bahwa persentase siswa yang tergolong pada katagori cukup aktif mencapai 81,82% (27 orang) dan hanya 18,18% (6 orang) yang berada pada katagori aktif. Untuk prestasi belajar siswa, dari 33 siswa terdapat 69,70% (23 orang) yang berada pada katagori tuntas dan 30,30% (10 orang) pada katagori tidak tuntas. Sedangkan ketuntasan belajar klasikal siswa pada siklus I hanya mencapai 69,70%. Perbaikan yang dilakukan pada siklus II ternyata mampu meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa. Pada siklus II persentase siswa yang berada pada katagori aktif meningkat menjadi 45,45% (15 orang) dan untuk prestasi belajar siswa yang berada pada katagori tuntas meningkat menjadi 72,72% (24 orang). Ketuntasan belajar klasikal siswa juga mengalami peningkatan menjadi 79,39% namun masih belum memenuhi indikator keberhasilan. penyempurnaan tindakan yang telah dilaksanakan ternyata dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar matematika siswa. Hal ini dilihat dari meningkatnya persentase siswa yang berada pada katagori aktif 72,73% (24 orang). Sedangkan persentase siswa yang berada pada katagori tuntas meningkat menjadi 81,82% (27 orang). Ketuntasan belajar klasikal siswa pada siklus III mencapai 81,82% dan sudah memenuhi indikator keberhasilan. Berdasarkan analisis data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran tipe Talking Chips mampu meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar matematika siswa SD. Oleh karena itu, penelitian dikatakan berhasil.

Penelitian yang dilakukan oleh Yacob Hariyanto(2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Metode Pembelajaran Tipe Talking Chips Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Kompetensi Dasar Memahami Model Atom Bahan Semi Konduktor Di Smk Negeri 1 Jetis Mojokerto”. Berdasarkan hasil data respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips diambil dengan menggunakan instrumen angket respon siswa. Angket respon siswa diberikan setelah seluruh kegiatan pembelajaran selesai dan dilengkapi dengan lima pilihan

(16)

jawaban. Berdasarkan hasil analisis didapatkan data rata-rata nilai rating untuk respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips sebesar 82,36% dan rata-rata nilai rating untuk Respon siswa terhadap Penyampaian materi menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips sebesar 79,72% sehingga total rata-rata nilai rating pada respon siswa sebesar 81,04% dan dikategorikan sangat baik. Oleh karena itu, penelitian dikatakan berhasil.

Penelitian yang dilakukan oleh Arie dkk dalam penelitiannya yang berjudul “Remediasi Miskonsepsi Siswa Menggunakan Model Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing Pada Gerak Parabola Di SMA”. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa terdapat penurunan jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi. Penurunan jumlah siswa yang mengalami 6 miskonsepsi paling besar adalah pada konsep menentukan posisi benda pada saat kecepatan benda tegak lurus terhadap percepatannya sesuai dengan gambar yang disajikan, yaitu dari 28 siswa (90,3%) yang mengalami miskonsepsi sebelum diremediasi menggunakan model kooperatif tipe kancing gemerincing menjadi 10 siswa (32,2%) yang masih mengalami miskonsepsi setelah dilakukan remediasi. Penurunan jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi terkecil terjadi pada konsep menentukan arah perpindahan benda berdasarkan posisi pengamat, yaitu dari 30 siswa (96,7%) yang mengalami miskonsepsi sebelum diremediasi menjadi 26 siswa (83,8%) yang masih mengalami miskonsepsi setelah dilakukan remediasi. Diperoleh rata-rata persentase siswa sebelum remediasi menggunakan model kooperatif tipe kancing gemerincing sebesar 92,4% , sedangkan setelah diremediasi sebesar 57,3%. jadi besar penurunan rata-rata persentase miskonsepsi siswa sebesar 35,1%.

Demikian maka model kooperatif tipe kancing gemerincing efektif untuk meremediasi 7 miskonsepsi siswa pada materi gerak parabola di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Semparuk. Beberapa penelitian diatas, maka dapat dijelaskan bahwa inti dari penelitian tersebut yaitu menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe talking chips dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar. Peningkatan keaktifan dan hasil belajar dapat dilihat dari setiap siklus yang semakin meningkat. Oleh karena

(17)

itu, batasan dari penelitian ini yaitu menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe talking chips.

2.5 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 2.6 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian pada landasan teori dan kerangka berpikir sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah Implementasi model pembelajaran kooperatif tipe talking chips dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD N 2 Mojotengah.

Tindakan Kondisi Awal Siklus I Menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips Siswa Hasil Belajar Matematika Rendah Guru Belum Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips.

Melalui model pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD N 2 Mojotengah

Kondisi Akhir Siklus II Menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips

Gambar

Tabel 2.2 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips Fase
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Efek hutang dan ekuitas yang dibeli dan dimiliki untuk diperdagangkan dalam waktu dekat diklasifikasi sebagai efek untuk diperdagangkan dan diakui sebesar nilai wajarnya, dengan

uraian singat m'ng'nai

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kedelai

Penyusun mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat melaksanakan dan menyelesaikan laporan

Ditahap ini, penyusun mencoba untuk membuat sebuah aplikasi dengan pemrograman Visual Basic yang dapat meng capture citra dari webcam dan menyimpannya menjadi

1. Jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh anak adalah pencurian, narkoba, pengeroyokan, dan kecelakaan lalu lintas. Kejahatan yang dilakukan anak

Pentingnya kerjasama dalam kelompok juga diungkapkan oleh Mulyaningrum (2012) dalam hasil penelitiannya yang menemukan bahwa kerjasama yang terjalin baik akan

Hubungan FDR dengan CAR dalam jangka pendek yaitu hubungan yang signifikan negatif, sedangkan dalam jangka panjang terdapat hubungan (pengaruh) signifikan positif antara FDR