• Tidak ada hasil yang ditemukan

FOLKLOR DAN PERANANNYA DALAM MENUMBUHKEMBANGKAN WAWASAN MULTIKULTURAL SISWA SEKOLAH DASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FOLKLOR DAN PERANANNYA DALAM MENUMBUHKEMBANGKAN WAWASAN MULTIKULTURAL SISWA SEKOLAH DASAR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

230 Sutaryanto zut4ryanto@gmail.com

Apri Kartikasari H.S. yoe.distira21@gmail.com

IKIP PGRI MADIUN

ABSTRACT

Folklore is an ancientculture that have known according hereditary. Folklore can be know as legend, myth, fairy tale or speech history. Folklore contains the messages to be delivered to the publicsuch as in the form of meaning and function, value and norm as well as local wisdom. Folklore can be used as improving insight into multicultural to elementary school students. An insight into multicultural can be applied in contextual, by using “local wisdom” to build an understanding, respecting the differences of culture value, etnicity,tribes of the nation based on the environment. Folklore can be used for building insight into multicultural by using folklore as learning media and source of learning for elementary school students.

Key words: Folklore, An insight into multicultural, elementary school students

PENDAHULUAN

Pendidikan selalu dikatakan sebagai hal yang sangat penting dalam pembangunan manusia, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Namun kenyataan membuktikan bahwa pendidikan tidak pernah menjadi tema besar dalam arti yang sebenarnya. Kurangnya perhatian dalam pendidikan tercermin antara lain minimnya alokasi anggaran pendidikan oleh negara, keluarga, dan pribadi. Sistem pendidikan belum menunjukkan keberhasilan untuk menumbuhkan kesadaran sebagai bangsa, di mana wawasan kebangsaan dan semangat multikultural cenderung semakin menurun dari waktu kewaktu.

Proses mewujudkan Indonesia yang lebih baik dapat dijalankan antara lain dengan melakukan proses revitalisasi nilai-nilai budaya dan kebangsaan yang kita miliki. Pendidikan karakter dan pekerti bangsa merupakan salah satu strategi yang diusulkan dengan mendasarkan pada semangat kemajemukan budaya bangsa. Kita tidak perlu jauh-jauh menengok pada nilai-nilai budaya luar karena strategi baru dapat kita gali dan kembangkan dari nilai-nilai yang ada pada budaya Indonesia. Bahkan bangsa kita telah memiliki simbol yang telah disepakati bersama, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap

(2)

heterogenitas etnik, budaya, agama, ras, dan gender, namun menuntut adanya persatuan dan kesatuan bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol persatuan harus dapat berfungsi sebagai roh penggerak perilaku manusia. Kearifan-kearifan yang terkandung dalam ragam nilai-nilai budaya Indonesia dapat menjadi

pedoman dalam

menumbuhkembangkan wawasan multikultural. Cukup banyak tulisan tentang aspek sosial budaya yang dapat dijadikan referensi untuk penyusunan strategi kebudayaan dan

pedoman dalam

menumbuhkembangkan wawasan multikultural. Antara lain melalui folklor.

Folklor dapat digali melalui berbagai kearifan budaya lokal tentang nilai kebijakan, kejujuran, keadilan, kebersamaan, dan lain-lain. Salah satu wujud produk folklor adalah cerita rakyat. Hal tersebut sebagaimana yang telah dirintis dan dibukukan oleh James Danajaya (1984) dalam “Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain”. Folklor yang berupa cerita rakyat dapat terus digali dalam upaya mengidentifikasi berbagai dongeng, legenda, mitos yang dapat memberikan gambaran wawasan multikultural bagi siswa.

Sartini (dalam Pramono, 2013: 54-55) menyatakan bahwa fungsi kearifan budaya lokal sebagai berikut: (1) untuk konservasi dan pelestari sumber daya alam; (2) untuk pengembangan sumber daya manusia;

(3) untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan; (5) bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal/ kerabat; (6) bermakna etika dan moral; dan (7) bermakna politik. Berdasarkan hal tersebut folklor menempati salah satu posisi fundamental yang cukup mampu

dijadikan sarana

penumbuhkembangan wawasan multikultural, dalam hal ini dimaksud adalah para siswa usia sekolah dasar.

Dibutuhkan suatu upaya yang sungguh-sungguh dan dilakukan secara terus menerus yang melibatkan seluruh komponen bangsa untuk menumbuh- kembangkan wawasan multikultural. Upaya dalam menumbuhkembangkan wawasan multikultural akan lebih baik dimulai sejak dini yaitu pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Siswa usia sekolah dasar adalah bagian dari komunal yang dianggap sebagai usia dini dalam proses pembentukan karakter positif (good character) mengingat sekolah dasar adalah pendidikan formal pertama yang diwajibkan dalam proses pendidikan di Indonesia. Sehingga dalam penulisan ini akan dibahas tentang folklor dan peranannya dalam menumbuhkembangkan wawasan multikultural siswa sekolah dasar.

PEMBAHASAN a. Hakikat Folklor

Secara etimologi kata “foklor” adalah pengindonesiaan kata bahasa

(3)

Inggris folklore. Kata ini adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.

Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama atau kepercayaan yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebiasaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama mereka. Di samping itu, mereka menunjukkan identitas kelompok mereka sendiri (Dundes, 1965:2). Jadi

folk adalah sinonim dari kolektif,

yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Sedangkan lore adalah kebiasaan folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam

bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device). Folklor merupakan cermin diri dan kebiasan manusia secara kolektif, maka dengan mengungkap folklor sama halnya mencari jati diri manusia.

Barnouw (1982:241) juga menyatakan bahwa meneliti folklor akan sampai pada “the enjoyment of

life”. Hal itu berarti bahwa satu

kenikmatan hidup d antaranya adalah mempelajari folklor. Folklor memiliki ruang lingkup yang sangat luas seiring dengan banyaknya domain yang menjadi bagian dari perkembangan budaya itu sendiri. Bruvand dalam Danandjaja (1997:21-22) menyatakan, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu:

1) Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam bentuk ini antara lain:

a) Bahasa rakyat (folk spech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan title kebangsawanan.

b) Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah dan pemeo.

c) Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki

d) Puisi rakyat seperti pantun gurindam dan syair

e) Cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng. f) Nyanyian rakyat

(4)

2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya seperti takhayul terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib.

3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan

lisan, walaupun cara

pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok yaitu bentuk folklor yang tergolong material dan bukan material.

Khusus untuk folklor yang berbentuk cerita rakyat, jenisnya terbagi menjadi mitos (myth), legenda (folktale/ legend), dan fabel (fable). Umumnya, ketiga jenis tersebut banyak diajarkan pada siswa usia sekolah dasar dalam rangka penanaman karakter positif (good

character) sejak dini. Hal ini sebagaimana pendapat Pandey & Pandey (2014: 30) yang menyatakan bahwa, “The folktales help children to

appreciate their children their traditional values.”

Keseluruhan jenis folklor baik folklor lisan, folklor sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan, memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Menurut Dundes fungsi lain dari folklor, yaitu: (1) untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif, (2) sebagai alat

pembenaran suatu masyarakat, (3) memberikan arahan kepada masyarakat agar dapat mencela orang lain, (4) sebagai alat memprotes ketidakadilan, (5) sebagai alat yang menyenangkan dan memberi hiburan. Bascom(1965:3-20) menambahkan, folklor memiliki empat fungsi, yaitu (1) sebagaisistem proyeksi (proyective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan (pedagogical device), dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Dalam pembahasan ini akan difokuskan pada peran folklol sebagai alat pendidikan (pedagogical device) untuk menumbuhkembangkanwawasan multikultural siswa sekolah dasar.

b. Wawasan Multikultural

Secara etimologi

multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti plural, dan “kultural” yang berarti budaya, sedangkan “isme” berarti paham atau aliran. Jadi multikulturalisme secara sederhana adalah paham atau aliran tentang budaya yang plural.

Gagasan multikultural ini muncul pada tahun 1960-an pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah

(5)

mengurangi praktik-praktik diskriminasi di tempat publik, rumah, tempat kerja, dan lembaga pendidikan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selanjutnya gagasan multikulturalisme berkembang ke arah dunia pendidikan dan dikenal

dengan pembelajaran

multikulturalisme.

Menurut James A. Bank (2001), pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Selain itu Arifudin (2007) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan.

Istilah pendidikan mengacu pada pemberian wawasan kepada siswa melalui proses pembelajaran. Pembelajaran multikultural ini diterapkan di lingkungan sekolah untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang keberagama. Melalui pembelajaran berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Pembelajaran

multikulturalisme adalah kebijakan dalam mengakui, menerima, dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan budaya, gender, ras, dan kelas sosial. Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya pengotak-ngotakan pada diri siswa. Sehingga ketika siswa sudah dewasa dan berada di tengah-tengan masyarakat akan memiliki kesadaran akan keberagaman budaya dan diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai kearifan lokaldan tumbuh rasa saling menghargai keberagaman yang ada di Indonesia.

c. Folklor Digunakan dalam Menumbuhkembangkan

Wawasan Multikultural Siswa Sekolah Dasar

Salah satu upaya dalam menumbuhkembangkan wawasan siswayaitu melalui pemanfaatan media dan sumber belajar yang baik. Folklor di satu sisi dapat digunakan sebagai media pendidikan dan disisi lain dapat digunakan sebagai sumber pendidikan siswa.Folklor sebagai media pendidikan mengacu pada pemanfaatan bentuk folklor sebagai sarana mengajarkan pelajaran kepada siswa, sedangkan folklor sebagai sumber pendidikan mengacu pada pemanfaatan isi folklor sebagai bahan pelajaran kepada siswa.

1. Folklor sebagai Media

Pendidikan dalam

Menumbuhkembangkan Wawasan Multikultural

(6)

Folklor dapat digunakan sebagai media pendidikan untuk menyampaikan pelajaran kepada murid guna mempermudah proses belajar-mengajar. Penggunaan folklor sebagai media pendidikan bisa dimanfaatkan dalam berbagai disiplin ilmu, yang tentu saja pemilihan folklor yang digunakan harus tepat dengan materi pelajaran yang akan disampaikan. Penggunaan folklor banyak membantu guru supaya siswa lebih memahami apa yang disampaikan oleh guru.

Dalam hal ini folklor dimanfaatkan sebagai alat bantu yang dapat mewakili pemberian informasi secara jelas dan menarik dari pembawa pesan (guru) kepada penerima pesan (siswa) sehingga tujuan komunikasi pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Fungsi media pendidikan berperan sebagai alat bantu yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan individu untuk terlibat dalam proses pembelajaran.

Selain berguna sebagai alat atau cara penyampaian informasi secara lebih mudah untuk dimengerti siswa sekolah dasar, pendidikan penggunaan folklor sebagai media juga berperan sebagai salah satu langkah dalam melestarikan budaya lokal yang ada. Hal ini dirasakan perlu pada saat sekarang ini karena banyak dari generasi muda bangsa Indonesia yang sudah melupakan budaya yang merupakan warisan leluhur nenek moyangnya dan

kebanggaan identitasnya. Dengan demikian forklor sebagai media pendidikan dapat berperan dalam menumbuhkembangkan wawasan multikultural siswa sekolah dasar.

Dengan membiasakan diri menyampaikan pelajaran melalui media folklor, maka siswa akan mengingat bahwa ada ungkapan adat atau daerah yang dia tidak pernah tahu dan bahkan mungkin dia tidak pernah mendengarnya. Hal ini juga merupakan upaya pelestarian folklor sebagai bagian dari kebudayaan baik perlindungan, pemanfaatan maupun pengembangan folklor di masa mendatang. Berikut ini merupakan salah satu contoh peran folklor sebagai media pendidikan dalam menumbuhkembangkan wawasan multikultural siswa sekolah dasar:

Seperti yang telah penulis lakukan di dalam penelitian sebelumnya yang berjudul “Peran

Folklor dalam

Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Siswa Kelas Tinggi di SDN Dawu 2 Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi”, hal itu dapat dilakukan guru

dengan mengemas folklor

menjadilembaran cerita rakyat dan para siswa mengidentifikasi folklor yang berbentuk cerita rakyat tersebut. Menurut Kartodirdjo (1992:35) cerita rakyat adalah bagian dari studi sejarah lisan yang memiliki fungsiutama menjembatani dalam memberikan atas rangkaian cerita sejarah yang kosong dengan memberikan fakta lisan berupa kisah cerita rakyat, dengan demikian cerita

(7)

rakyat dapat memberikan bantuan atas perspektif sejarah. Perspektif sejarah ini memiliki tiga dimensi yaitu (1) aspek masa lampau dan (2) aspek masa kini serta (3) aspek masa yang akan datang. Berdasarkan sudut pandang sejarah terhadap proses penciptaan cerita rakyat, Waluyo (1995:3) menjelaskan bahwa

kenyataan sejarah yang

melatarbelakangi proses penciptaan cerita rakyat juga mempunyai peranan yang penting dalam memberikan makna cerita tersebut.

Cerita rakyat senantiasa memotret zaman tertentu dan akan menjadi refleksi zaman tertentu. Jadi kaidah penafsiran cerita rakyat yang mengacu pada kenyataan sejarah, sosial budaya akan lebih konkret dan mendekati makna sebenarnya dari cerita rakyat yang dimaksud. Sehingga dengan mengidentifikasi cerita rakyat tersebut siswa akan tumbuh kesadaran akan keberagaman budaya dan diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai kearifan budaya yang sangat beragam, menjadi dasar pendidikan manusia Indonesia untuk memiliki kecerdasan secara utuh, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan kepribadian, sehingga secara

keseluruhan dapat

menumbuhkembangkan rasa saling menghargai kearifan lokal yang ada di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence J. Saha dan Aly (2005) yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,

toleransi, pemahaman, dan

pengetahuan yang

mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap.

Selain itu Zuriah (2010) juga menjelaskan bahwatujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap (attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap responsive terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi konflik.

Selain di atas seorang guru juga dapatmengemas cerita rakyat dalam bentuk tontonan (film) dengan bantuan teknologi infomasi. Guru kemudian menyuruh siswanya menonton cerita rakyat tersebut. Setelah menonton, murid diminta untuk menyampaikan hal apa saja yang bisa ia ungkapkan setelah menonton cerita tersebut. Dengan mampu mengemas sebuah cerita rakyat dan mengajak siswanya menonton sebuah cerita rakyat tersebut, seorang guru telah menggunakan sebuah folklor dalam menyampaikan informasi atau materi yang ingin disampaikannya kepada siswanya. Contoh ini bisa digunakan sebagai media dalam pelajaran pendidikan Bahasa Indonesia, PKn atau mata pelajaran lainnya. Folklor dalam pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual berupa film dimungkinkan

(8)

akan menarik minat belajar siswa serta sangat menyenangkan bagi siswa, selain itu guru juga mudah dalam menyampaikannya. Karena siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembalajaran berlangsung. Sehingga melalui kajian-kajian tentang nilai-nilai kearifan lokal dalam sebuah cerita rakyat maka nilai-nilai yang tercermin didalamnya akan meningkatkan eksistensi dan kebanggaan sebagai suatu kelompok budaya, untuk saling peduli satu dengan yang lain dengan ragam kesenian, tempat dan bengunan bernilai sejarah dan budaya yang tinggi dan masih banyak lagi.

2. Folklor sebagai Sumber

Pendidikan dalam

Menumbuhkembangkan Wawasan Multikultural

Folklor sebagai sumber

pendidikan mengacu pada

pemanfaatan isi folklor sebagai bahan pelajaran kepada siswa. Banyak pelajaran yang bisa diambil darinilai folklor dan bisa dijadikan bahan pembelajaran dalam pranata sekolah dan pranata keluarga dalam mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari. Folklor memiliki nilai budaya sebagai peninggalan leluhur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Folklor mengandung

pesan-pesan yang hendak

disampaikan kepada masyarakat baik berupa makna dan fungsi, nilai dan norma maupun kearifan lokal.

Dengan demikian wawasan multikultural siswa dapat dikembangkan dengan mempelajari kearifan lokal yang terkandung di dalam folklor. Hal ini sesuai dengan pendapat Amirin (2012) yang menyatakan bahwa Pendekatan pendidikan multikultural seyogyanya diterapkan secara kontekstual, dengan menggunakan “kearifan lokal” membangun pemahaman dan saling menghargai perbedaan nilai budaya dan asal-usul etnisitas dan atau suku bangsa sesuai dengan keadaan setempat. Wawasan multikultural mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one home

nation), akan mengidentifikasikan

perkembangan sikap seseorang dalam kaitan dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat lokal sampai dengan global.

Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. The local wisdom is the

community’s wisdom or local genius deriving from the lofty value of cultural tradition in order to manage the community’s socialorder or social life. Kearifan lokal merupakan nilai

budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. The local wisdom isthe

value of local culture having been applied to wisely manage the community’s social order and social life.

(9)

Berdasarkan uraian di atas, kearifan lokal adalah pengetahuan asli (indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local genius) suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapai kemajuan komunitas baik dalam penciptaan kedamaian maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal itu mungkin berupa pengetahuan lokal, keterampilan lokal, kecerdasan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, norma-etika lokal, dan adat-istiadat lokal. Sehingga kearifan lokal sebagai

kandungan folklor dapat

menumbuhkembangkan wawasan multikultural bagi siswa sekolah dasar melalui desain pembelajaran yang dapat dilakukan oleh seorang guru.

Kearifan lokal yang terkandung di dalam folklor juga dapat dimanfaatkan untuk pendidikan karakter bagi siswa sekolah dasar melalui proses pembelajaran yang berbasis budaya bangsa. Oleh sebab itu, wawasan yang berkenaan dengan folklor dapat dijadikan basis pengenalan wawasan multikultural demi keberlangsungan eksistensi seni, budaya, bahasa, dan sastra daerah, khususnya bagi siswa sekolah dasar.

PENUTUP

Folklor dapat dijadikan bahan pembelajaran dalam pranata sekolah dan pranata keluarga dalam mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari. Folklor memiliki nilai budaya sebagai

peninggalan leluhur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Folklor mengandung

pesan-pesan yang hendak

disampaikan kepada masyarakat baik berupa makna dan fungsi, nilai dan norma maupun kearifan lokal. Wawasan multikultural siswa dapat dikembangkan dengan mempelajari kearifan lokal yang terkandung di dalam folklor.

Salah satu upaya dalam menumbuhkembangkan wawasan siswa yaitu melalui pemanfaatan media dan sumber belajar yang baik. Folklor di satu sisi dapat digunakan sebagai media pendidikan dan disisi lain dapat digunakan sebagai sumber pendidikan siswa. Folklor sebagai media pendidikan mengacu pada pemanfaatan bentuk folklor sebagai sarana mengajarkan pelajaran kepada siswa, sedangkan folklor sebagai sumber pendidikan mengacu pada pemanfaatan isi folklor sebagai bahan pelajaran kepada siswa. Penggunaan folklor sebagai media dan sumber belajar berperan sebagai salah satu langkah dalam melestarikan budaya lokal yang ada. Fungsi media dan suber belajar berperan sebagai alat bantu yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan individu untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Dengan demikian siswa lebih mudah dalam mempelajari kearifan lokal yang terkandung dalam folklor yang dapat menumbuhkembangkan wawasan multikultural siswa.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Aly, Abdullah.(2005).“Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”. Maka-lah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu, 8 Januari 2005.

Amirin, Tatang M..2012.Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural

Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal Di Indonesia. Yogyakarta: Jurnal

Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012, diakses tgl 28 Februari 2016, 10.10 WIB.

(http://solider.or.id/sites/default/files/jurnal%20pembangunan%20pendidik

an_0.pdf)

Arifudin, Iis.2007. Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah. Yogyakarta: INSANIA (Vol. 12|No. 2|Mei-Ags 2007|220-233)

Banks, J.A & Banks, C.A.M. (Eds). (2001). Handbook of Research on

Multicultural Education. New York: MacMillan.

Barnouw, Victor. 1982. “Recreation, Folklor, and the Arts” dalam An

Introduction to Anthropology; Ethnology. Ontario: The Dorsey Press.

Bascom, William. 1965. Four Functions of Folklore. Englewood Cliffts: NJ

Prentice.

Danajaya, James.1984.Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT. Grafiti Pers.

Danandjaja, James. (1997). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan

lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Dundes, Alan. 1965. Interpreting Folklore. Bloomington: Indiana University Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi

Sejarah.Jakarta. Garamedia.

Pramono, Agung. (2013). “Implementasi Kearifan Lokal dalam Pendidikan

Karakter di Pendidikan Dasar: Studi Karakter Nasionalisme Tokoh Karna dalam Tripama Karangan KGPAA Mangkunegara IV.” Dalam Proceeding

International Seminar on: Local Wisdom and Character Education for Elementary School Students, 52-61. Madiun: IKIP PGRI Madiun Press. Satianingsih (http://digilib.unipasby.ac.id/download.php?id=1069) di akses tgl 28

(11)

Waluyo, Herman J. 1995. “Cerita Rakyat dari Berbagai Daerah” (Makalah Seminar Nasional Sumbangan Cerita Rakyat dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra, 21 Juli 2008). Solo: UNS.

Zuriah, Nurul. (2010). Model Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan

Multikultural Berbasis Kearifan Lokal dalam Fenomena Sosial Pasca Reformasi di Perguruan Tinggi. Laporan penelitian Hibah Doktor – DP2M

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan antara siswa satu dengan siswa lainnya tidaklah sama. Oleh karena itu seorang guru tidak diperbolehkan menuntut seorang siswa sebagaimana siswa lain karena itu perbuatan

hubungan rekan kerja nilai r hitung > r tabel sehingga pertanyaan-. pertanyaan tersebut

Terkait dengan tafsir ilmi, Quraish Shihab tidak menampik bahwa sementara pihak dari kaum muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan al-Qur’an, atau

bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan penjualan Obligasi Negara RiteI, dipandang periu melakukan perubahan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan

menunjukkan bahwa dengan melalui pembelajaran kooperatif model jigsaw memberikan dampak yang positif terhadap meningkatnya hasil belajar siswa dalam memecahkan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) di Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara adalah

Hambatan yang ditemukan dari pelak- sanaan kegiatan pelatihan adalah perlu di- upayakan keseragaman dan kesepakatan an- taranggota kelompok dalam pembagian tu- gas pada

Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana kerja penggunaan dana otonomi ldiusus bagian Kabupaten/Kota untuk jangka waktu 1 (satu) tahun nierupakan bagian yang tidak terpisahkan