• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak memperoleh kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak memperoleh kesehatan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak memperoleh kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dijelaskan lebih lanjut dalam UU No 36 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, terjangkau serta berhak untuk memilih pelayanan yang dikehendakinya. Sedangkan kewajiban Pemerintah adalah menyediakan segala fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Adanya upaya perbaikan kualitas pelayanan kesehatan meningkatkan pula angka harapan hidup di Indonesia. Pada tahun 2004-2009 terjadi peningkatan angka harapan hidup yang semula 68,6 tahun (1999-2004) meningkat menjadi 69 tahun (Kemenkes, 2010). Proporsi penduduk lanjut usia (di atas 60 tahun) meningkat dari 16 juta jiwa (7,6%) pada tahun 2000 menjadi 18,4 juta jiwa (8,4%) pada tahun 2005. Umur Harapan Hidup orang Indonesia diperkirakan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun 2015-2020 (Maharani, 2007). Peningkatan angka harapan hidup membuat penyakit-penyakit yang berhubungan dengan lanjut usia yang seringkali disebut penyakit degeneratif meningkat pula, salah satunya adalah osteoartritis.

Osteoartritis adalah penyakit yang dicirikan dengan adanya kelainan fungsional sendi termasuk terjadinya degradasi kartilago, ligamen, inflamasi

(2)

sinovial serta perubahan struktur tulang yang bersifat progresif (Bijlsma et al., 2011). Osteoartritis merupakan penyakit arthritis yang paling umum terjadi dan salah satu penyebab utama terjadinya rasa nyeri dan kecacatan di dunia (NCGC, 2014). Pada tahun 2004 tercatat 8,5 juta orang di Amerika didiagnosis menderita osteoartritis dan pada tahun 2010 penderita sudah mencapai angka 27 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 lebih 67 juta orang Amerika menderita osteoartritis (Departement of Health and Human Services USA, 2010). Di tahun-tahun selanjutnya prevalensi osteoartritis akan meningkat seiring peningkatan orang lanjut usia, obesitas dan perubahan gaya hidup.

Prevalensi osteoartritis meningkat seiring bertambahnya usia. Di Amerika terjadi peningkatan yang signifikan pada usia 50 tahun dan mencapai 50% pada usia di atas 65 tahun bahkan 85%-90% mengalami gejala primer osteoartritis (Carlos et al., 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi kasus osteoartritis cukup tinggi yaitu 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun dan 65% pada usia >61 tahun (Handayani, 2009). Pada lanjut usia, terjadi perubahan kolagen dan penurunan sintesis proteoglikan yang menyebabkan tulang dan sendi lebih rentan terhadap tekanan dan kurang elastis sehingga rawan sendi menjadi menipis, rusak, dan menimbulkan gejala osteoartritis seperti nyeri sendi, kaku dan deformitas (Aigner, 2010).

Pada usia kurang dari 45 tahun, laki-laki akan lebih rentan terkena penyakit osteoartritis dibandingkan dengan wanita, tetapi wanita lebih rentan terkena osteoartritis pada usia lebih dari 55 tahun. Prevalensi osteoartritis pada wanita sebesar 13% lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang hanya 10% (Heidari, 2011).

(3)

Wanita akan lebih rentan terkena osteoartritis setelah mengalami menopause karena kurangnya hormon estrogen merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan osteoartritis walaupun mekanisme kerjanya belum jelas, namun estrogen dapat menurunkan endapan lemak dalam tubuh sehingga dapat memperingan tugas sendi (Foltz-Gray, 2014).

Kualitas hidup secara luas menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya. Dimensi yang diukur meliputi status fisik dan kemampuan fungsional, status psikologis, interaksi sosial, status ekonomi serta religi atau spiritual (Gutterling et al., 2007). Adanya penurunan kualitas hidup pada pasien osteoartritis dapat berhubungan dengan beberapa faktor antara lain karakteristik pasien, karakteristik penyakit, serta pola pengobatan.

Penyakit osteoartritis dan kualitas hidup merupakan hal yang saling berkaitan. Keluhan utama pasien osteoartritis adalah rasa nyeri, kekakuan dan keterbatasan gerak yang mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari (NCGC, 2014). Secara tidak langsung hal tersebut akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas kerja. Menurut data National Health Survey, 27% orang dengan osteoartritis akan mengalami penurunan kualitas hidup sebesar 13% dibandingkan dengan non osteoartritis (AIHW, 2013). Pada lanjut usia prevalensi terjadinya stress diperkirakan antara 7% sampai 17% dan meningkat menjadi 20% apabila disertai dengan osteoartritis (Rosemann et al., 2007). Begitu juga pada perempuan, tingkat stress dan intensitas nyeri osteoartritis yang dirasakan akan lebih tinggi dibandingkan pada pria meskipun mendapat

(4)

pengobatan dalam jumlah yang sama (Rakel, 2011). Keparahan stress dipengaruhi oleh tingkat nyeri dan ketidakmampuan fisik (Chou, 2007).

Melihat besarnya dampak osteoartritis terhadap kualitas hidup maka diperlukan suatu pengobatan yang tepat. Selama ini pengobatan untuk osteoartritis meliputi analgetik, NSAID, kortikosteroid, suplemen dan injeksi hyaluronat (NICE, 2014). Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam proses terapi osteoartritis, yaitu untuk mengontrol nyeri dan gejala lainnya, mengatasi gangguan aktivitas sehari-hari, dan menghambat proses penyakit. Prinsip penggunaan analgetik dan NSAID pada osteoartritis adalah untuk menekan nyeri dan inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit osteoartritis, jadi lebih bersifat simptomatik. Walaupun demikian obat ini masih diperlukan karena dapat mengurangi keluhan penderita sehingga tetap dapat melakukan aktifitas sehari-hari (Dipiro et al., 2008).

Osteoartritis memang bukan penyakit yang bisa disembuhkan, namun dengan pemberian obat yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien osteoartritis. Selama ini pola pengobatan yang diberikan bermacam-macam namun untuk keefektifannya sendiri masih menjadi perdebatan contohnya saja pada pemakaian glukosamin kondroitin, beberapa pasien merasakan manfaatnya tetapi pada beberapa pasien merasa tidak ada manfaatnya (NICE, 2014). Begitu juga dengan pemakaian NSAIDs dan Inhibitor COX-2, kedua obat ini dianggap lebih efektif dibandingkan parasetamol. Namun risiko toksisitas obat NSAID lebih tinggi daripada parasetamol apabila dipakai dalam jangka panjang (Rahme et al., 2008). Padahal seperti yang kita ketahui bahwa osteoartritis

(5)

membutuhkan pengobatan dalam jangka panjang sehingga pola pengobatan yang tepat dan terkontrol sangat dibutuhkan. Dengan pengukuran kualitas hidup ini dapat diketahui pola pengobatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien (Chen et al, 2005)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian kualitas hidup pasien osteoartritis berdasarkan perbedaan karakteristik pasien dan pola pengobatan. Penelitian ini dilakukan terhadap pasien osteoartritis yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Rheumatologi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogayakarta. Pemilihan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit di Yogyakarta yang memiliki klinik khusus rheumatologi sehingga menjadi rujukan pasien osteoartritis. Diharapkannya dengan adanya penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada khususnya serta rumah sakit lainnya dalam menetapkan kebijakan pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit osteoartritis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran umum karakteristik pasien osteoartritis di Instalasi rawat jalan poliklinik rheumatologi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?

(6)

3. Apakah terdapat perbedaan kualitas hidup pasien osteoartritis berdasarkan perbedaan karakteristik pasien, seperti umur, jenis kelamin, Body Mass Index (BMI), penyakit penyerta, riwayat trauma, riwayat keluarga, dan intensitas? 4. Apakah terdapat perbedaan kualitas hidup pasien osteoartritis berdasarkan

perbedaan pola pengobatan?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup pasien osteoartritis berdasarkan perbedaan karakteristik pasien dan pola pengobatan terhadap kualitas hidup.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran umum karakteristik pasien osteoartritis di Instalasi rawat jalan poliklinik rheumatologi rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

b. Untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien osteoartritis.

c. Untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien osteoartritis berdasarkan perbedaan karakteristik pasien, seperti umur, jenis kelamin, Body Mass Index (BMI), penyakit penyerta, riwayat trauma, riwayat keluarga, dan intensitas nyeri.

d. Untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien osteoartritis berdasarkan perbedaan pola pengobatan.

(7)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi tempat penelitian dapat memberikan informasi terkait karakteristik pasien yang membutuhkan perlakuan khusus guna meningkatkan kualitas hidup, sehingga didapatkan data pendukung untuk pemberian edukasi dan menentukan intervensi yang tepat.

2. Bagi tenaga kesehatan dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik pasien dan pengobatan yang mempengaruhi kualitas hidup pasien osteoartritis. Bagi farmasis sendiri dapat meningkatkan perannya sebagai konselor yang mendukung meningkatnya kualitas hidup pasien.

3. Bagi peneliti dapat memberikan pengetahuan baru mengenai osteoartritis serta dapat mengetahui pengaruh karakteristik pasien dan pengobatan sehingga nantinya dapat digunakan sebagai pelengkap maupun pendukung penelitian-penelitian selanjutnya.

E. Tinjuan Pustaka

1. Osteoartritis a. Definisi

Osteoartritis didefinisikan sebagai penyakit akibat kelainan fungsional sendi termasuk terjadinya degradasi kartilago, ligamen, inflamasi sinovial serta perubahan struktur tulang yang bersifat progresif (Bijlsma et al., 2011). Sedangkan menurut National Clinical Guideline Centre, osteoartritis adalah penyakit yang menyerang sendi yang mengakibatkan

(8)

keterbatasan gerak dan akhirnya berdampak pada kualitas hidup pasien (NCGC, 2014).

Rasa sakit yang dirasakan oleh pasien osteoartritis sangatlah khas, sakit akan lebih terasa ketika digunakan untuk beraktivitas dan membaik saat istirahat. Pada pagi hari, setelah bangun tidur, sendi akan mengalami kekakuan akibat tidak digerakkan. Sakit pada osteoartritis terlokalisir hanya di sekitar sendi tanpa merambat ke organ lain layaknya arthritis reumatoid (Dipiro et al., 2008).

Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis primer disebut juga idiopatik, disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas kolagen sehingga mudah rusak. Sedangkan osteoartritis sekunder adalah osteoartritis yang didasari kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, mikro dan makro trauma, imobilitas yang terlalu lama serta faktor risiko lainnya, seperti obesitas dan sebagainya (Soeroso et al., 2006).

b. Epidemiologi

Osteoartritis merupakan salah satu penyebab terjadinya kondisi disabilitas pada usia lanjut. Pasien dengan osteoartritis memiliki risiko kematian lebih tinggi jika memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler, kanker dan diabetes melitus. Angka kejadiannya meningkat seiring meningkatnya angka harapan hidup, obesitas, serta kurangnya olahraga (Heidari, 2011).

Prevalensi penyakit osteoartritis ini bervariasi. Pada usia di atas 50 tahun osteoartritis akan lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan

(9)

laki-laki, peningkatan ini seiring dengan usia. Di Amerika Serikat dan di Eropa hampir semua orang mengalami degenerasi sendi setelah usia 40 tahun. Gambaran radiologis osteoartritis di Amerika Serikat ditemui pada populasi dewasa sekitar 37% dan merupakan 80% dari populasi di atas 75 tahun. Jumlah penderita osteoartritis pertahun mencapai 16 juta orang. Data di Inggris menunjukkan 52% orang dewasa mempunyai gambaran radiologis osteoartritis dan meningkat menjadi 85% setelah 55 tahun. Wanita 2 kali lebih banyak menderita osteoartritis dibanding pria, terutama osteoartritis sendi lutut pada umur kurang dari 50 tahun (Askandar et al., 2007).

c. Patogenesis

Osteoartritis adalah penyakit sendi yang muncul akibat kegagalan kartilago untuk menyerap renjatan (shock) dari gerakan fisik sehingga akan mengalami penurunan fungsi lapisan permukaan kartilago. Mekanisme tersebut melibatkan interaksi antara degradasi dan perbaikan dari kartilago, tulang rawan, dan cairan sinovium (Kalunian et al., 2014). Untuk mengatasi kegagalan kartilago tersebut maka kartilago, tulang rawan dan cairan sinovium akan membentuk suatu pertahanan berupa pembentukan osteofit, subkhondral sklerosis, dan lesi sumsum tulang (Kranokutsky et al., 2008). Mekanisme pertahanan yang dibentuk akan memicu sekresi sitokin dan mediator inflamasi. Pada pasien osteoartritis ditemukan terjadi peningkatan kadar sitokin inflamasi seperti interleukin 1b (IL-1b) dan tumor nekrosis faktor-a (TNF-a) yang pada gilirannya akan menurunkan sintesis kolagen dan meningkatkan katabolik dan mediator inflamasi lainnya seperti IL-8,

(10)

Il-6, prostaglandin E2, dan nitrat oksida (NO). Peningkatan mediator inflamasi inilah yang berkaitan erat dengan munculnya osteoartritis (Kranokutsky et al., 2008).

d. Faktor Risiko

Osteoartritis tidak bisa kalau hanya dipandang sebagai suatu penyakit saja, tetapi harus dilihat dari berbagai sisi karena banyak faktor yang berhubungan terhadap munculnya penyakit ini. Secara garis besar faktor-faktor tersebut sebagai berikut (Dipiro et al, 2008):

a). Faktor Genetik

Faktor genetik dipercaya berperan dalam perkembangan osteoartritis meskipun sampai saat ini masih belum jelas gen apa yang terlibat. Angka kejadiannya pun cukup tinggi diperkirakan 40-60% terjadinya osteoartritis lutut, pinggul, dan tangan disebabkan karena genetik (NCGC, 2014). Wanita akan memiliki risiko 10 kali lipat dibanding pria, dan risikonya menjadi dua kali lipat apabila orang tuanya memiliki riwayat osteoartritis (Dipiro et al., 2008)

b) Faktor Usia

Dari semua faktor risiko timbulnya osteoartritis, umur menjadi faktor yang paling berperan. Prevalensi dan beratnya derajat penyakit semakin bertambah seiring dengan peningkatan usia. Pada usia anak-anak hampir tidak dijumpai kasus osteoartritis, jarang pada usia di bawah 40 tahun, dan sering pada umur di atas 60 tahun. Hal ini disebabkan karena ada

(11)

keterkaitan antara umur dengan penurunan kekuatan kolagen dan proteoglikan pada kartilago sendi.

c) Faktor Jenis Kelamin

Pada usia kurang dari 45 tahun, laki-laki lebih rentan terkena penyakit osteoartritis dibandingkan dengan wanita, tetapi wanita lebih rentan terkena osteoartritis pada usia lebih dari 55 tahun. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50 – 80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan.

d) Faktor Obesitas

Secara statistik perempuan memiliki body mass index (BMI) diatas rata-rata dimana kategori BMI pada perempuan Asia menurut jurnal American Clinical Nutrition adalah antara 24 sampai dengan 26,9kg/m2. BMI di atas rata-rata mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak pada sendi sehingga meningkatkan tekanan mekanik pada sendi penahan beban tubuh, khususnya lutut.

e) Faktor biomekanik

Faktor biomekanik berkaitan dengan terjadinya trauma, deformitas sendi dan penggunaan sendi yang berlebihan (Salter&Lee, 2012). Pekerjaan berat maupun pemakaian suatu sendi yang terus menerus akan meningkatkan risiko terjadinya osteoartritis. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan sendi yang cidera sehingga akan meningkatkan tekanan pada sendi.

(12)

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien osteoartritis dimulai dengan dasar diagnosis dari anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, temuan radiografi, penilaian sendi yang terkena. Tujuan utama dalam penatalaksanaan osteoartritis adalah untuk mengurangi nyeri, memperbaiki mobilitas, dan meminimalkan disabilitas (Dipiro et al, 2008).

Pada penderita osteoartritis ringan, proteksi sendi dan pengobatan menggunakan analgesik sudah cukup; tetapi untuk pasien dengan osteoartritis berat, gabungan terapi non-farmakologi dan suplemen analgesik dan/atau obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) akan lebih sesuai. Secara umum terapi yang diberikan dibedakan menjadi dua golongan yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi (Charlish, 2009).

1) Terapi Non Farmakologi

a) Edukasi dan pemberian informasi

Pertama-tama penderita osteoartritis harus mengerti dulu apa yang terjadi pada sendinya, mengapa timbul rasa sakit dan apa yang perlu dilakukan, sehingga pengobatan osteoartritis dapat berhasil. Pasien osteoartritis harus berusaha agar tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari, latihan dan tidak menjadi beban bagi orang di sekitarnya, karena itu edukasi sangatlah penting dalam penanganan penyakit osteoartritis ini.

b) Olahraga

Olahraga biasanya disarankan untuk menurunkan nyeri, meningkatkan fungsional sendi dan mengurangi keterbatasan fisik. Olahraga yang

(13)

dimaksud bukan berupa olahraga yang berat tetapi cukup aerobic walking, home quadriceps exercise, strengthening and home exercise, aerobic exercise, dan aerobik disertai diet (NICE, 2014). Berdasarkan penelitian Angela Acettura (2012) bahwa olahraga misalnya dengan cara naik turun tangga dapat meningkatkan performance fisik para penderita osteoartritis.

c) Penurunan Berat Badan

Kelebihan berat badan dapat meningkatkan beban biomekanik pada sendi penyangga berat. Pengurangan berat badan dikaitkan dengan pengurangan simptom dan kecacatan. Meskipun penurunan hanya 2,5 Kg sudah dapat menurunkan tekanan biomekanik pada sendi penyangga beban. Diet yang sehat dan olahraga akan sangat membantu dalam pengendalian berat badan. (NCGC, 2014).

d) Nutrasetikal

Nutrasetikal adalah makanan atau suplemen makanan yang memiliki manfaat untuk kesehatan. Biasanya yang digunakan adalah glukosamamin (Sulfat dan hidroklorida) yang tersedia dalam berbagai kombinasi, kekuatan, dan variasi. Suplemen yang mengandung glukosamin dan kondroitin ini merangsang sintesis proteoglikan dari tulang rawan artikular dan memiliki profil keamanan yang sangat baik serta memiliki efek analgesik dibandingkan dengan plasebo (NICE, 2014).

(14)

2) Terapi Farmakologi a) Parasetamol

Parasetamol merupakan pilihan utama untuk pengobatan osteoartritis, meskipun keefektifannya masih kurang dibandingkan dengan NSAID. Oleh karena itu, jika parasetamol tidak memberikan respon bisa diberikan NSAID. Parasetamol memiliki efek samping yang lebih ringan dibanding NSAID.

Parasetamol merupakan obat yang tergolong murah harganya, serta aman dalam penggunaan. Parasetamol memiliki risiko kecil untuk perdarahan lambung dibanding NSAID. Dalam dosis besar (>4 gr) parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati (Charlish, 2009).

b) NSAID

NSAID berperan untuk mengurangi peradangan pada pembungkus sendi, mengurangi pembengkakan, dan meredakan nyeri dan kekakuan. Prinsip mekanisme NSAID sebagai analgetik adalah blokade sintesa prostaglandin melalui hambatan cyclooxygenase (Enzim COX-1 dan COX-2) dengan mengganggu lingkaran cyclooxygenase. Blokade COX-1 (NSAID non spesifik) tidak diharapkan karena mengakibatkan tukak lambung dan meningkatnya risiko pendarahan karena adanya hambatan agregasi platelet. Oleh karena itu NSAID sebaiknya diminum bersama makanan atau susu untuk mengurangi efek samping terhadap lambung (Charlish, 2009).

(15)

c) Injeksi Kortikosteroid

Obat ini dapat digunakan pada keadaan sendi yang meradang dan bengkak. Dokter akan menyuntikan obat ini setelah mengeluarkan terlebih dahulu cairan berlebihan dari sendi yang bengkak, fungsinya sebagai anti radang. Penggunaan obat ini juga harus hati-hati maksimal 3 kali dalam setahun, karena kalau terlalu sering malah berakibat kerusakan pada sendi itu sendiri (steroid artropati) (Charlish, 2009).

d) Injeksi Asam Hyaluronat

Asam hyaluronat sebenarnya ditemukan di dalam sendi. Di dalam sendi asam hyaluronat ini akan membantu pergerakan sendi sehingga sendi dapat bergerak dengan smooth. Namun pada osteoartritis, asam hyaluronat ini menjadi sedikit dan tidak mampu lagi melumasi sendi sehingga sendi tidak terproteksi. Oleh karena itu, perlu diberikan injeksi hyaluronat dari luar untuk meningkatkan proteksi (ARA, 2014).

Injeksi asam hyaluronat diberikan pada pasien yang tidak lagi toleransi terhadap pemberian obat anti nyeri dan anti inflamasi yang lainnya (Dipiro et al., 2008). Obat ini diberikan dalam bentuk garamnya (sodium hyaluronat) melalui injeksi intra-artrikular pada sendi lutut jika osteoartritis tidak responsif dengan terapi yang lain (ARA, 2014).

2. Kualitas Hidup a. Definisi

Tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara tepat meskipun sudah banyak ahli yang mengemukakan. Karena bagaimanapun kualitas hidup

(16)

itu menggambarkan bagaimana persepsi individu. Kualitas hidup dapat diartikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka dalam kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal serta hubungannya dengan tujuan, harapan, dan hal-hal lain yang menjadi perhatian individu. Definisi kualitas hidup berdasarkan WHO menekankan adanya persepsi dari individu ini dapat dihubungani oleh budaya dan sistem nilai dimana invidu itu tinggal (Fallowfield, 2009)

Menurut WHO Quality of Life-BREF (dalam Rapley, 2003) terdapat empat dimensi mengenai kualitas hidup yang meliputi:

1) Dimensi kesehatan fisik, mencakup aktivitas sehari-hari; ketergantungan pada obat-obatan; energi dan kelelahan; mobilitas; sakit; dan ketidaknyamanan; tidur dan istirahat; kapasitas kerja.

2) Dimensi kesejahteraan psikologis, mencangkup bodily image dan appearance; perasaan negatif; perasaan positif; self esteem; spiritual/ agama/ keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi. 3) Dimensi hubungan sosial, mencakup relasi personal, dukungan sosial,

aktivitas seksual.

4) Dimensi hubungan dengan lingkungan, mencakup sumber finansial, kebebasan, keamanan, dan keselamatan fisik; perawatan kesehatan dan sosial termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun keterampilan; partisipasi dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan

(17)

kegiatan yang menyenangkan di waktu luang; lingkungan fisik terutama polusi/ kebisingan/ lalu lintas/ iklim; serta transportasi.

b. Instrumen Pengukur

Secara garis besar instrumen untuk mengukur kualitas hidup dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu instrumen umum (generic scale) dan instrumen khusus (specific scale).

a) Instrumen Umum (Generic Scale)

Instrumen umum ialah instrumen yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup secara umum pada penderita dengan penyakit kronik. Instrumen ini digunakan untuk menilai secara umum mengenai kemampuan fungsional, ketidakmampuan dan kekhawatiran yang timbul akibat penyakit yang diderita. Contoh instrumen generik antara lain Medical Outcome Study (MOS) Short Form-36, Quality of Well-Being Scale, dan Sickness Impact Profile (SIP).

Keuntungan dari instrumen generik adalah nilai pasien yang diperoleh nanti dapat dibandingkan dengan nilai populasi lain dan atau populasi kontrol manusia sehat, sedangkan kerugiannya adalah bahwa instrumen ini tidak dirancang untuk mengidentifikasi dimensi spesifik dari suatu penyakit yang mana penting dalam penegakan perubahan status klinis pasien (Gutterling et al., 2007).

b) Instrumen Khusus (Specific Scale)

Instrumen spesifik digunakan pada penyakit tertentu agar memberikan hasil yang lebih rinci berdasarkan luaran dari kondisi kesehatan atau

(18)

penyakit tertentu. Keuntungan dari instrumen ini adalah memberikan spesifitas dan sensivitas yang lebih besar dibandingkan instrumen generik (Gutterling et al., 2007)

Secara umum ada empat manfaat utama dari penilaian kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (Health Related Quality of Life) yaitu: 1. Penilaian pengobatan dalam uji klinis

2. Studi tentang populasi penderita dalam mengevaluasi kualitas hidup penderita sehubungan dengan beban penyakit yang diderita.

3. Evalusi biaya untuk menentukan sumber daya yang paling baik dalam perawatan kesehatan.

4. Memenuhi terapi yang paling tepat dalam perawatan penderita secara individual.

Contoh Health Related of Quality of Life yang spesifik misalnya kuesionier Arthritis Impact Measurement Scales Short Form (AIMS2 SF) yang digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita arthritis (Ali et al., 2000).

3. Arthritis Impact Measurement Scale 2 Short Form (AIMS2-SF)

Kuesionier spesifik yang dapat menilai HRQoL dari pasien dengan osteoartritis telah berkembang dari waktu ke waktu. Kuisionier Arthritis Impact Measurement Scales Short Form (AIMS2-SF) merupakan kuesionier spesifik untuk menilai kualitas hidup penderita arthritis. Menurut Meenan et al (1997), kuesionier AIMS2 SF di desain untuk mengukur kualitas hidup dan outcome penderita osteoartritis dalam berbagai aspek kualitas hidup

(19)

dengan skala pengukuran yang spesifik dan mampu menggambarkan kualitas hidup penderita arthritis secara keseluruhan.

Kuesionier Arthritis Impact Measurement Scales Short Form (AIMS2-SF) terdiri dari 24 pertanyaan yang mencerminkan 4 domain atau bidang, yaitu :

1. Skala fisik, meliputi kemampuan bergerak, berjalan, fungsi tangan dan jari, fungsi lutut serta kemampuan perawatan diri.

2. Skala gejala, meliputi intensitas nyeri.

3. Skala suasana hati, meliputi kemampuan menghadapi stress dan mood. 4. Skala sosial meliputi aktivitas sosial.

Saat ini, AIMS2-SF dalam bahasa Indonesia sudah ada dan telah di validasi. Menurut Ismail (2010), kuesionier AIMS2-SF memiliki 24 pertanyaan yang valid dengan nilai r sebesar 0,914, reabilitas kuesionier dikatakan baik jika nilai r lebih dari 0,7 dan sangat baik jika di atas 0,8. Hal ini menunjukan bahwa pertanyaan-pertanyaan pada kuisionier AIMS2-SF tersebut reliabel dan dapat digunakan secara berulang (Dahlan, 2010). Ketersedian AIMS2-SF dalam berbagai bahasa akan memungkinkan dokter dan tenaga kesehatan yang lain untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi pasiennya.

4. Instrumen Penilaian Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah

(20)

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut Smeltzer & Bare (2002), jenis pengukuran nyeri adalah sebagai berikut :

a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang di rasakan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (AHCPR, 1992).

Gambar 1. Verbal Descriptor Scale (VDS)

b. Skala Identitas Nyeri Numeriks

Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala 0 tidak ada nyeri yang

(21)

dirasakan, 1 sampai 3 nyeri ringan, 4 sampai 6 nyeri sedang, 7 sampai 10 nyeri berat. Skala biasanya digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik (Shakel et al., 2012)

Gambar 2. Numerical Rating Scale (NRS)

c. Visual Analogue Scale (VAS)

Visual Analogue Scale (VAS) adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter & Perry, 2005).

Gambar 3. Visual Analogue Scale (VAS)

5. Visual Analogue Scale (VAS)

Visual Analog Scale (VAS) merupakan alat ukur sederhana untuk mengukur atau memperkirakan derajat (intensitas nyeri) secara subjektif. Alat ukur ini awalnya digunakan dalam pemeriksaan psikologi sejak abad ke-20.

(22)

Sekitar tahun 70-an Huskisson mempopulerkan alat ukur ini dalam aplikasi klinis. VAS berupa garis lurus sepanjang 10 cm. Garis ini mempresentasikan gambaran intensitas nyeri yang harus ditunjukan oleh pasien. Pasien diminta untuk memberi tanda di sepanjang garis tersebut sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya. Kemudian diukur jari dari batas kiri sampai pada tanda yang diberikan pasien dalam mm, dan itulah skor yang menunjukan level intensitas nyeri. Skor tersebut selanjutnya dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti Face Pain Rating Scale karena responnya yang lebih terbatas.

Keuntungan VAS (Visual Analogue Scale)

VAS merupakan metode pengukuran intensitas nyeri yang sensitif, murah dan mudah dibuat. VAS memiliki keakuratan yang baik untuk mengukur rasa nyeri akibat osteoartritis yang kronik (Shakel et al., 2012). Menurut William dan Hoggart (2005) VAS sebagai alat ukur yang valid, dapat dipercaya, dan sesuai skala untuk digunakan dalam praktik klinis.

Kekurangan VAS (Visual Analogue Scale)

VAS memerlukan pengukuran yang teliti untuk memberikan penilaian. Pasien harus hadir saat dilakukan pengukuran, serta secara visual dan kognitif mampu melakukan pengukuran. VAS sangat tergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Sehingga edukasi/ penjelasan terapis tentang VAS terhadap pasien sangat dibutuhkan (Iscan, 2010)

(23)

 Validitas

Sebuah penelitian menemukan bahwa Visual Analogue Scale (VAS) lebih baik untuk menilai fascial pain daripada penelitian numerik dan sensitivitas VAS setara dengan NRS-11 (Numeric Rating Scale). Sedangkan dalam penelitian lain terhadap 25 responden yang menderita Low Back Pain, disimpulkan bahwa VAS dan SDS (Sematic Differential Scale) memiliki korelasi yang kuat dan keduanya reliabel dan valid untuk mengukur Low Back Pain (Wibowo, 2008)

F. Landasan Teori

Osteoartritis merupakan penyakit arthritis yang paling umum terjadi dan salah satu penyebab utama terjadinya rasa nyeri dan kecacatan di dunia. Keluhan utama pasien osteoartritis adalah rasa nyeri, kekakuan dan keterbatasan gerak yang mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari (NCGC, 2014). Secara tidak langsung hal tersebut akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas kerja. Menurut data National Health Survey, 27% orang dengan osteoartritis akan mengalami penurunan kualitas hidup sebesar 13% dibandingkan dengan non osteoartritis (AIHW, 2013).

Kualitas hidup secara umum menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya. Secara garis besar, kualitas hidup dipengaruhi oleh berbagai faktor. antara lain karakteristik pasien, misalnya umur, jenis kelamin, Body Mass Index (BMI), penyakit penyerta, riwayat trauma, riwayat keluarga osteoartritis, intensitas nyeri dan durasi osteoartritis. Pengukuran kualitas hidup pada penelitian

(24)

ini menggunakan instrument khusus yaitu kuesionier AIMS2-SF (Arthritis Impact Measurement Scale 2 Short Form). Kuesionier ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan tervalidasi.

Kualitas hidup pasien osteoartritis juga dapat dipengaruhi oleh pola pengobatan yang digunakan. Pola pengobatan tersebut akan menimbulkan keuntungan klinik berupa berkurang atau hilangnya tanda dan gejala. Selama ini pengobatan untuk osteoartritis meliputi analgetik, NSAID, kortikosteroid, suplemen dan injeksi hyaluronat (NICE, 2014). Pemilihan pola pengobatan yang tepat akan mempengaruhi kualitas hidup pasien osteoartritis.

G. Kerangka Konsep A. B. C. D. E.

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik Pasien :

1. Umur

2. Jenis Kelamin

3. Body Mass Index (BMI) 4. Penyakit penyerta 5. Trauma

6. Riwayat Keluarga

Osteoarthritis Kualitas Hidup versi

AIMS2 SF Domain: 1. Fisik 2. Gejala 3. Suasana hati 4. Sosial Pola Pengobatan

Jenis obat atau terapi yang digunakan

Derajat nyeri Nyeri yang dialami

(25)

H. Hipotesis

Berdasarkan uraian dalam landasan teori, dapat dirumuskan hipotesis : 1. Adanya perbedaan kualitas hidup pada pasien osteoartritis berdasarkan

karakteristik pasien, seperti umur, jenis kelamin, Body Mass Index (BMI), penyakit penyerta, riwayat trauma, riwayat keluarga osteoartritis, dan intensitas nyeri .

2. Adanya perbedaan kualitas hidup pada pasien osteoartritis berdasarkan pola pengobatan yang ada di Poliklinik Rheumatologi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Gambar

Gambar 1. Verbal Descriptor Scale (VDS)
Gambar 2. Numerical Rating Scale (NRS)
Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perkembangannya, santri memiliki pengertian lebih luas, yaitu sebagai berikut : Santri adalah kelompok yang taat menjalankan rukun Islam serta sangat

Pertama, terdapat 2 (dua) jenis program pen- didikan yang dapat dilaksanakan bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan istimewa, yaitu: 1) Program Percepatan,

Analisis kesejajaran lokal urutan nukleotida menunjukkan bahwa cDNA PerL dari kedelai kultivar Lumut memiliki nilai kemiripan yang tinggi terhadap DNA Per dari A.

Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan, pemberitaan akan kenaikan harga secar mulut ke mulut atau melalui media sosial juga berdampak pada terjadinya

Rusia merupakan negara adidaya energi yang menggunakan sumber daya sebagai dasar pembangunan ekonomi dan sebagai instrumen untuk melaksanakan kebijakan dalam dan

Pengertian budaya sangat luas dan kompleks, berikut dikemukakan beberapa unsur budaya yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian suatu

PENAKSIR RASIO DAN PRODUK YANG EFISIEN UNTUK RATA-RATA POPULASI PADA SAMPLING ACAK SISTEMATIK1.

[r]