STRATEGI MENINGKATKAN PARTISIPASI PARA PIHAK
DALAM PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DI KOTA BOGOR
(Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor)
DEWANTI PRATIWI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
STRATEGI MENINGKATKAN PARTISIPASI PARA PIHAK
DALAM PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DI KOTA BOGOR
(Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor)
DEWANTI PRATIWI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
DEWANTI PRATIWI. Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak dalam Pembangunan Hutan Kota di Kota Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor). Dibimbing oleh ENDES N. DAHLAN dan TUTUT SUNARMINTO
Pesatnya pembangunan di Kota Bogor telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan seperti perubahan fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Penerapan konsep hutan kota di dalam perencanaan tata kota akan mengatasi masalah penurunan kualitas lingkungan kota. Namun, program pembangunan hutan kota tidak akan berhasil tanpa dukungan dari berbagai pihak khususnya masyarakat kota itu sendiri. Selain itu lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendidikan juga memiliki peranan yang penting dalam terciptanya program pembangunan hutan kota. Partisipasi para pihak ini akan sangat membantu pemerintah dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap hutan kota yang ada di wilayahnya serta pengaruh karakteristik sosial ekonomi terhadap tingkat persepsi masyarakat tersebut, mengetahui persepsi dan peran para pihak dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota serta menyusun strategi peningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota.
Penelitian dilakukan pada September – November 2011 dengan membagi daerah contoh menjadi tiga kategori dilihat dari tingkat ekonominya yaitu tinggi, sedang dan rendah. Lokasi sampel untuk kategori kelas ekonomi atas yaitu sekitar Taman Kencana, kelas ekonomi menengah yaitu Lapangan Sempur dan kelas ekonomi bawah yaitu sekitar Taman Peranginan. Data yang diambil terbagi menjadi dua bagian yaitu data primer (persepsi para pihak) dan data sekunder (data-data RTH Kota Bogor, kondisi wilayah dan kependudukan Kecamatan Bogor Tengah). Responden ditentukan dengan Purpossive Random Sampling berdasarkan karakteristik sosial ekonominya. Responden yang diambil sebanyak 90 orang dengan jumlah masing-masing responden 30 orang tiap kelas. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan uji non parametrik. Penyajian secara deskriptif dilakukan untuk menjelaskan gambaran dari setiap bentuk hubungan pertanyaan dengan jawaban responden. Untuk mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi responden dalam pembangunan hutan kota digunakan skala Linkert dengan membagi nilai dari skala 1 – 7. Uji statistik non parametrik menggunakan uji Chi-Kuadrat untuk menguji hubungan antar variabel dengan tingkat persepsi responden.
Hasil menunjukkan, masyarakat memiliki persepsi yang cenderung baik terhadap hutan kota. Karakteristik sosial ekonomi (tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan kelas umur) tidak berpengaruh terhadap tingkat persepsi masyarakat. Masyarakat memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelaku utama, penerima manfaat dan sekaligus sebagai pengawas kegiatan dalam program pengelolaan hutan kota dengan pola kemitraan. Pemerintah sebagai perencana, pelaksana, pemegang kekuasaan dan kebijakan serta pemrakarsa kegiatan, memiliki persepsi yang cenderung sangat baik terhadap hutan kota. Lembaga swadaya masyarakat sebagai sarana penghubung, penyadar, sekaligus sebagai alat kontrol dalam proses pembangunan serta mitra pemerintah dalam menjalankan programnya memiliki persepsi yang cenderung sangat baik terhadap hutan kota. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki peran sebagai peneliti, perencana dan mitra pemerintah memiliki persepsi yang cenderung sangat baik.
Masyarakat memiliki persepsi yang cenderung sangat baik, namun persepsi yang cenderung sangat baik ini belum diimbangi dengan tindakan partisipasi yang nyata. Masyarakat berada pada tingkatan partisipasi manipulasi dan terapi yang dideskripsikan sebagai tidak adanya partisipasi. Strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yaitu penyerahan pengelolaan pada masyarakat di tingkat RW dengan disertai sosialisasi, pengadaan jaringan sosial/forum lokal, pendampingan yang terus menerus, pelatihan-pelatihan dan pengoptimalan penggunaan tenaga kerja dan material lokal sesuai sumber daya yang tersedia. Pemerintah juga perlu merubah strategi pengelolaan yaitu pembuatan peraturan dan pedoman yang jelas mengenai hutan kota, pelibatan semua pihak (pola pengelolaan kemitraan), tukar informasi dengan pemerintah daerah lainnya, mencari bantuan dana dari para pengusaha dan bertindak tegas terhadap pihak yang melanggar peraturan tentang lingkungan.
SUMMARY
DEWANTI PRATIWI. Increase Stakeholder’s Participation in the Development of Urban Forest Strategy in Bogor City (Case study in Central Bogor subdistrict). Under supervision of ENDES N. DAHLAN and TUTUT SUNARMINTO
The rapid development in Bogor City has led to environmental degradation such as changes in the function of open area to land up. The application of the concept of urban forests in urban planning will solve issue of environmental degradation. However, the urban forest development program will not succeed without the support of all stakeholders particularly the community itself. In addition non-governmental organizations and educational institutions also have an important role in the creation of urban forest development program. Stakeholder participation will greatly assist the government in the development program and development of the urban forest. The purpose of this study was to determine the level of perception and participation of the urban forest in the region and influence of socio-economic characteristics of the level of public perception, to know the perceptions and roles of the stakeholders in the development and management of urban forests and to develop strategies for increasing the participation of stakeholders in the development and management of urban forests.
The study was conducted in September-November 2011 by dividing the sample into three categories, namely economic views of the high, medium and low. Location of the sample for high economic class is around Kencana Park, medium class is Sempur park and low class is around the Peranginan Park. The data taken was divided into two parts, namely the primary data (perceptions stakeholders) and secondary data (data open green space Bogor, the condition of the area and population of Central Bogor Subdistrict). Respondent is determined by Purpossive Random Sampling based socio-economic characteristics. Respondents are drawn as many as 90 people by the number of each respondent 30 people per class. Data analysis was performed using descriptive and non parametric test. Descriptive presentation made to explain the idea of any form of relationship with the respondent's answer the question. To determine the level of the respondent's perception and participation in the development of urban forests used Linkert scale by dividing into seven classes. Non-parametric statistical tests using Chi-Square test to test the relationship between variables in the perception of respondents.
The results showed that people tend to have a good perception of the urban forest. Socio-economic characteristics (educational level, Socio-economic level, sex and age classes) had no effect on the level of public perception. The community has a very important role as the main perpetrators, and beneficiaries as well as supervisory activities in urban forest management program with a partnership. Government as planners, implementers, and policy holders of power and initiator of activities, which tend to have very good perception of the urban forest. Non-governmental organizations as a means of connecting, making awareness, as well as a control tool in the development process as well as government partners in running the program has tended to be very good perception of the urban forest. Universities as educational institutions have a role as researchers, planners and government partners have the perception that tends to be very good.
Public perceptions tend to be very good, but this perception is not matched with the real real action participation. Community participation is at the level of manipulation and therapy that were described as non-participation. Strategy to increase community participation is to delivery of public management at the local level, accompanied by socialization, social networking procurement / local forums, ongoing mentoring, training and optimizing the use of local labor and materials according to the available resources. The government also needs to change management strategy such as making rules and clear guidelines regarding the urban forest, involving all stakeholders (partnership management scheme), exchange information with other local governments, seeking financial help from employers and act decisively against those who violate environmental regulations.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak dalam Pembangunan Hutan Kota di Kota Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor)” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai Karya Ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
Dewanti Pratiwi E34070083
Judul Skripsi : Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak dalam Pembangunan Hutan Kota di Kota Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)
Nama : Dewanti Pratiwi
NIM : E34070083
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Ir. Endes N Dahlan MS Dr. Ir. Tutut Sunarminto M. Si NIP : 19501226 198003 1 002 NIP : 19640228 199002 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP : 19580915 198403 1 003
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak dalam Pembangunan Hutan Kota (Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perencana dan pengambil keputusan dalam mengembangkan program hutan kota di Kota Bogor serta dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan kota di Kota Bogor.
Pada kesempatan kali ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Dr. Ir. Tutut Sunarminto, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan. Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini sehingga besar harapan adanya kritik dan saran yang dapat membangun bagi penulisan selanjutnya
Bogor, Maret 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Subang, 08 Desember 1989 sebagai anak kedua dari pasangan Unaryo dan Timyati. Pendidikan formal yang ditempuh penulis, yaitu pendidikan Sekolah Dasar di SDN Jatibarang II Kabupaten Indramayu, lulus pada tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Jatitujuh Kabupaten Majalengka, lulus pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Majalengka, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi S1 di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif di berbagai kepanitiaan dan organisasi mahasiswa, salah satunya yaitu Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Penulis aktif sebagai anggota Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE “Tapak”) HIMAKOVA (2008-2011).
Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di KPH Cikeong-CA Gunung Burangrang, Jawa Barat (2009), Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi (2010). Selain itu juga penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur (2011).
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak dalam Pembangunan Hutan Kota di Kota Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor) ” dibimbing oleh Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Dr. Ir. Tutut Sunarminto, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku pembimbing pertama dan Dr. Ir. Tutut Sunarminto, M.Si. selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan arahan, motivasi dan bimbingan selama penelitian serta penyusunan dan penulisan skripsi.
2. Ir. Edhi Sandra, M. Si selaku ketua sidang dan Dr. Ir. Nining Puspaningsih, M. Si selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan atas arahan dan masukannya.
3. Semua Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dan mengajarkan banyak ilmu kepada penulis.
4. Ayahanda Unaryo, Ibunda Timyati, Kakakku Lingga Dwi Jayati dan adikku Putri Rizqi Zulhiyati atas doa, kasih sayang, dukungan dan pengorbanan, baik moril maupun materil.
5. Keluarga kecilku: Ardi Chandra Yunianto dan Kenzie Byantoro Prawiandra yang selalu memberikan semangat, cinta dan kasih sayang.
6. Rekan satu pembimbing, Neina Febrianti dan Rakhmi Walidaini atas semangat, kerjasama dan kebersamaanya dalam perjuangan menyelesaikan skripsi.
7. Novia Indriati, Seruni Diah Kertawiji, Kasliyanti Islamiyah, Rani Nurfitriani, Choirunnisa W. Desyanti atas pertemanan, semangat, kerjasama, bantuan dan dukungannya.
8. Keluarga Besar KSHE 44 “KOAK” yang memberi warna selama perkuliahan, organisasi dan penelitian.
9. Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kota Bogor dan Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Bogor atas data-data dan informasi yang diberikan.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
RIWAYAT HIDUP ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan... 3
1.3 Manfaat... 3
1.4 Kerangka Pemikiraan ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Persepsi... 6
2.1.1 Pengertian persepsi ... 6
2.1.2 Faktor-faktor persepsi ... 6
2.1.3 Persepsi masyarakat terhadap hutan kota ... 7
2.2 Partisipasi ... 9
2.2.1 Pengertian partisipasi ... 9
2.2.2 Faktor-faktor partisipasi ... 9
2.2.3 Tingkat-tingkat partisipasi ... 10
2.3 Peran Para Pihak... 12
2.4 Strategi ... 14
2.4.1 Strategi meningkatkan partisipasi ... 14
2.4.2 Strategi pembangunan hutan kota ... 15
2.5 Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Hutan Kota ... 16
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 20
3.1 Letak dan Luas ... 20
3.3 Kependudukan ... 21
3.4 Penggunaan Lahan ... 22
BAB IV METODE PENELITIAN ... 23
4.1 Lokasi dan Waktu... 23
4.2 Alat dan Objek ... 23
4.3 Metode Penelitian ... 24
4.3.1 Jenis dan metode pengambilan data ... 24
4.3.2 Metode analisis data ... 25
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
5.1 Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Hutan Kota ... 27
5.1.1 Persepsi masyarakat ... 27
5.1.2 Partisipasi dan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kota .. 32
5.2 Persepsi dan Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Kota ... 35
5.2.1 Persepsi dan peran pemerintah ... 37
5.2.2 Persepsi dan peran lembaga swadaya masyarakat ... 41
5.2.3 Persepsi dan peran perguruan tinggi ... 43
5.3 Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak ... 44
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 49
6.1 Kesimpulan... 49
6.2 Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 54
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Tangga partisipasi Arnstein ... 10
2. Tipologi dan karakteristik partisipasi ... 11
3. Wilayah Kecamatan Bogor Tengah ... 20
4. Tata guna lahan Kecamatan Bogor Tengah tahun 2007 ... 22
5. Jenis data yang dikumpulkan ... 24
6. Banyaknya responden berdasarkan tingkat persepsi ... 27
7. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan kota ... 35
8. Daftar kegiatan Dinas Pertamanan Kota Bogor tahun 2011 ... 38
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Kerangka pemikiran ... 5
2. Organisasi pengelolaan dan pengembangan hutan kota ... 17
3. Struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor ... 19
4. Peta lokasi penelitian ... 23
5. Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi ... 28
6. Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan ... 29
7. Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan jenis kelamin ... 30
8. Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan kelas umur ... 31
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Kuesioner masyarakat ... 55
2. Kuesioner LSM dan perguruan tinggi ... 57
3. Kuesioner pengelola ... 59
4. Data parameter persepsi dan partisipasi responden ... 61
5. Perhitungan chi square persepsi berdasarkan tingkat ekonomi ... 64
6. Perhitungan chi square persepsi berdasarkan tingkat pendidikan ... 66
7. Perhitungan chi square persepsi berdasarkan jenis kelamin ... 68
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota adalah suatu pusat pemukiman penduduk yang besar dan luas. Kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Sebuah kota memililki fungsi majemuk, yaitu sebagai pusat populasi, perdagangan, pemerintahan, industri, maupun pusat budaya (Irwan 2008).
Perkembangan kota yang ditandai dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik sebagai penunjang aktivitas penduduk kota merupakan simbol kemajuan peradaban manusia yang cenderung memenuhi tuntutan zaman. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan besarnya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota mengakibatkan semakin hilangnya ruang hijau di perkotaan. Penurunan jumlah ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif yang akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan timbulnya beberapa permasalahan lingkungan seperti hilangnya pemandangan, suhu kota meningkat dan pencemaran udara yang akan mengancam kesehatan manusia dan dapat menurunkan produktivitas masyarakat kota. Dahlan (2004) menyatakan bahwa penurunan kualitas lingkungan kota akan menimbulkan berbagai ancaman seperti pencemaran lingkungan, meningkatnya suhu udara kota, kebisingan, sampah, banjir dan intrusi air laut.
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang memiliki perkembangan cukup pesat. Kota Bogor juga menjadi kota yang menampung kegiatan yang sudah jenuh di Kota Jakarta, sehingga menjadi salah satu kota penyangga yang penting. Posisinya yang strategis sebagai salah satu penyangga ibukota serta kondisi alamnya yang masih relatif nyaman dibanding kota penyangga lainnya, menjadikan Kota Bogor pilihan bagi penduduk, baik yang datang dari sekitar Bogor maupun perantau dari daerah lainnya. Pesatnya pembangunan di Kota Bogor telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan seperti perubahan fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Berdasarkan data tata guna lahan dari tahun 1983 – 2003 perubahan lahan pemukiman di Kota Bogor mengalami
peningkatan sebesar 11,3% sedangkan untuk lahan bervegetasi tinggi (hutan), tanaman semusim, perkebunan dan tubuh air justru jumlah lahannya semakin berkurang. Jumlah lahan bervegetasi di Kota Bogor mengalami penurunan luas sebesar 32,73% (Tursilowati et al., 2004). Hal ini berdampak pada perubahan iklim mikro terutama peningkatan suhu udara dan penurunan kelembaban udara. Berdasarkan data iklim dari tahun 1970 – 2003, Tursilowati et al. (2004) menyatakan bahwa Kota Bogor mengalami kenaikan suhu udara (24 – 28 0C) sebesar 29,56% dengan suhu tertinggi yang mengalami kenaikan yaitu suhu 27 – 28 0C.
Penerapan konsep hutan kota di dalam perencanaan tata kota akan mengatasi masalah penurunan kualitas lingkungan kota. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dahlan (2004) bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi lingkungan kota yang terus menurun kualitasnya adalah dengan membangun Kota Kebun Bernuansa Hutan Kota. Konsep dasarnya adalah memaksimalkan keberadaan dan fungsi hutan dan taman serta berbagai bentuk penghijauan kota lainnya untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada.
Program pembangunan hutan kota harus direncanakan sebaik mungkin agar pada akhirnya hutan kota tersebut dapat memberikan manfaat yang nyata bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Namun, program pembangunan hutan kota tidak akan berhasil tanpa dukungan dari berbagai pihak khususnya masyarakat kota itu sendiri. Hal ini sejalan menurut pernyataan Dahlan (1992) yang juga menyatakan bahwa masalah hutan kota yang paling mendasar hingga saat ini adalah dukungan dari berbagai pihak, salah satunya masyarakat. Dukungan masyarakat kota akan sangat berarti bagi kelangsungan program hutan kota, salah satu caranya melalui ikut serta dalam menghijaukan lingkungan sekitar dan turut memeliharanya.
Kusumaatmadja (1993) diacu dalam Surata (1993) menyatakan bahwa hal yang paling mendasar dalam menangani lingkungan adalah membangun persepsi lingkungan di kalangan masyarakat. Masyarakat perlu mengenal tentang hutan kota, memahami pentingnya hutan kota, sehingga mereka memiliki persepsi yang baik dan dapat berpartisipasi dalam membangun dan memelihara kawasan hutan kota. Mengingat bahwa peran serta masyarakat merupakan kunci pokok
keberhasilan dalam pengembangan hutan kota. Lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendidikan juga memiliki peranan yang penting dalam terciptanya program pembangunan hutan kota. Partisipasi para pihak ini akan sangat membantu pemerintah dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota. Untuk itu diperlukan strategi untuk meningkatan partisipasi para pihak dalam pembangunan hutan kota sehingga pemerintah dapat mengoptimalkan partisipasi berbagai pihak dengan sebaik mungkin untuk membantu pengelolaan hutan kota yang ada.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian adalah untuk:
a. Mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap hutan kota yang ada di wilayahnya serta pengaruh karakteristik sosial ekonomi terhadap tingkat persepsi masyarakat tersebut.
b. Mengetahui persepsi dan peran para pihak dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota
c. Menyusun strategi peningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota.
1.3 Manfaat
Manfaat penelitian adalah :
a. Memberikan masukan berupa strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan kota di Kota Bogor yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para perencana dan pengambil keputusan dalam mengembangkan program hutan kota di Kota Bogor.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya atau studi yang berkaitan dengan hutan kota.
1.4 Kerangka Pemikiran
Kota merupakan pusat dari berbagai aktifitas seperti pusat pemerintahan, pusat pemukiman, pendidikan, perdagangan, industri, maupun pusat budaya. Demi memenuhi tuntutannya sebagai pusat berbagai kegiatan, perkembangan kota yang terus menerus pun tidak dapat lagi dihindari. Perkembangan yang ditandai dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana penunjang aktivitas
menyebabkan pemanfaatan kota untuk ruang terbuka hijau semakin berkurang. Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan perkotaan yang semakin berkurang.
Kualitas lingkungan perkotaan yang semakin menurun, menuntut untuk segera dilakukan berbagai perbaikan guna mengatasi permasalahan tersebut. Hutan kota merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan kualitas lingkungan di perkotaan. Hutan kota yang memiliki berbagai fungsi ekologis, sangat dibutuhkan oleh kota-kota yang kualitas lingkungannya sudah semakin buruk. Namun permasalahan yang ada sekarang yaitu bagaimana membangun dan mengembangkan hutan kota yang baik agar peranannya untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan dapat dirasakan. Karena pada kenyataannya kondisi aktual dan faktual hutan kota dan ruang terbuka hijau justru mendapat banyak rintangan untuk menerapkannya secara sesuai.
Kondisi aktual dan faktual yang ada justru menunjukkan bahwasanya hutan kota yang ada mengalami penurunan luas akibat alih fungsi lahan, selain itu lemahnya dukungan masyarakat dan lembaga pengelola hutan kota itu sendiri. Untuk membangun dan mengembangkan hutan kota yang baik, diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak esensial seperti masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi dan tentunya pemerintah itu sendiri. Dari pihak-pihak esensial ini sendiri dapat digali mengenai persepsi mereka sendiri terhadap hutan kota, kemampuan yang dimiliki serta kebijakan dalam pembangunan dan pengembangan hutan kota. Dari informasi-informasi ini, dapat dilihat kekurangan dan kelebihan dari pihak-pihak tersebut, sehingga dapat disusun suatu strategi pembangunan dan pengembangan hutan kota agar partisipasi para pihak ini dapat ditingkatkan dan diselaraskan dengan baik. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran. Penurunan kualitas lingkungan kota
Kebutuhan terhadap hutan kota
Bagaimana membangun dan mengembangkan hutan kota?
Kondisi aktual dan faktual hutan kota dan ruang terbuka hijau di Kota Bogor
Lemahnya dukungan masyarakat Lemahnya lembaga pengelola RTH Penurunan luas
akibat alih fungsi lahan
Masyarakat LSM
Variabel-variabel esensial dalam membangun dan mengembangkan hutan kota di Kota Bogor
Strategi meningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan hutan kota
Pemerintah Karakteristik Persepsi Motivasi Partisipasi Persepsi Kemampuan yang dimiliki Perepsi Kemampuan yang dimiliki Kebijakan Perguruan tinggi Persepsi Kemampuan yang dimiliki
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi
2.1.1 pengertian persepsi
Menurut Salim dan Salim (1991) dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, mendefinisikan persepsi sebagai pandangan dari seseorang atau banyak orang akan hal atau peristiwa yang didapat atau diterima, atau dapat diartikan sebagai proses diketahuinya suatu hal pada seseorang melalui pancaindera yang dimiliki. Persepsi terhadap lingkungan mencakup aspek yang lebih luas, tidak sekedar persepsi sensoris individual seperti yang dilihat dan didengar, melainkan mencakup pula kesadaran dan pemahaman manusia terhadap lingkungan.
Menurut Surata (1993) persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kartini (1984) yang menyatakan bahwa persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya. Dengan demikian persepsi bisa mempengaruhi orang dalam menentukan sikap dan tindakannya sehingga orang akan ikut berpartisipasi di dalam proses pembangunan.
2.1.2 Faktor-faktor persepsi
Menurut Kayam (1985) diacu dalam Purwanto (1998) menyatakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor dalam individu (internal) dan faktor luar individu (eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indera dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh kelompok, pengalaman masa lalu dan perbedaan latar belakang sosial budaya.
Krench dan Crutchfield (1963) diacu dalam Fuad (2003) menyatakan bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
a. Faktor Struktural
Faktor-faktor yang terdapat dalam situasi fisik seperti gerakan, perubahan, frekuensi, intensitas dan peristiwa-peristiwa neural yang dihasilkan oleh sistem syaraf individu.
b. Faktor Fungsional
Faktor yang terdapat dalam diri individu seperti kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan sifat-sifat lain dari individu.
Menurut Mauludin (1994) faktor pendidikan dapat dijadikan faktor penduga persepsi paling baik dibandingkan faktor-faktor lainnya seperti umur, jenis kelamin dan pekerjaan. Faktor pendidikan dalam pengaruhnya terhadap persepsi juga telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (1998) menyatakan bahwa tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang cukup erat terhadap persepsi masyarakat. Hubungan tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka persentase nilai persepsi semakin besar. Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan Kurniasih (2004) bahwa tingkat pendidikan dan komposisi umur berdasarkan angkatan kerja memiliki hubungan yang lebih dekat terhadap tingkat persepsi dibandingkan dengan pendidikan, pekerjaan dan jarak tempat tinggal dari pusat kota. Sedangkan menurut Zakih (1997) menyatakan bahwa media massa merupakan sumber yang efektif dalam menyebarkan informasi. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan antara informasi dengan tingkat persepsi bahwa semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat tingkat persepsi juga semakin tinggi.
2.1.3 Persepsi masyarakat terhadap hutan kota
Menurut PP No. 63 Tahun 2002 Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Hutan kota diperlukan untuk memelihara kualitas hidup masyarakat perkotaan (Dwivedi et al. 2009). Banyak manfaat yang diberikan dengan adanya hutan dalam suatu lingkungan kota. Hutan Kota juga memiliki beberapa peranan penting yaitu menghasilkan oksigen, mengurangi polusi, meredam kebisingan, melestarikan air tanah, menambah keindahan sebagai sarana rekreasi, penyerap partikel timbal dan pelestarian plasma nutfah.
Penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap hutan kota sebelumnya telah dilakukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwanto (1998) di Kelurahan Cengkareng Barat, Jakarta Barat menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki persepsi yang tinggi terhadap lingkungan hijau di pemukiman. Persepsi yang tinggi dapat dilihat dari kemampuannya dalam menilai manfaat atau fungsi pepohonan dan tanaman lain yang ada di pemukiman, serta dukungan dalam pengelolaannya. Namun pada kenyataannya persepsi masyarakat tersebut tidak menunjukkan hubungan dengan perilakunya. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang lebih berpengaruh dari pada persepsi yaitu tingkat pendapatan dan keterbatasan lahan.
Mauludin (1994) juga melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap hutan kota yang dilakukan di Kecamatan Bogor Timur dan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat memiliki persepsi yang tinggi terhadap hutan kota. Persepsi yang positif terhadap hutan kota diwujudkan dalam bentuk kesukaan masyarakat terhadap tanaman dengan tujuan menciptakan kesejukan, kenyamanan, indah dan asri. Sedangkan menurut Fuad (2003) yang melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap hutan kota di Kabupaten Serang menyatakan bahwa persepsi masyarakat Kabupaten Serang terhadap hutan kota tergolong sedang. Djatmiko (2008) menyatakan bahwa persepsi masyarakat dari RW.013, RW.002 dan RW.020 Kelurahan Kayuringin Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan memiliki tingkat persepsi yang sama dan tergolong tingkat persepsi yang tinggi terhadap hutan kota. Tingginya tingkat persepsi masyarakat tersebut menjadi potensi keberhasilan program pengembangan dan pengelolaan hutan kota di Bekasi.
Hasil penelitian Zakih (1997) yang membandingkan persepsi masyarakat kota modern dengan masyarakat kampung kota terhadap hutan kota di Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan menyatakan bahwa masyarakat kota modern memiliki persepsi yang tinggi terhadap hutan kota, sedangkan masyarakat kampung kota memiliki persepsi yang masih tergolong rendah terhadap hutan kota. Namun, kedua golongan masyarakat tersebut menginginkan keberadaan hutan kota di Jakarta terus digalakkan dan dilestarikan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kurniasih (2004) di Kota Cilegon yang menyatakan bahwa
meskipun masyarakat kota Cilegon memiliki persepsi yang masih tergolong sedang terhadap hutan kota, namun mereka mendukung penyelenggaraan pembangunan hutan kota.
2.2 Partisipasi
2.2.1 Pengertian partisipasi
Menurut Suharto dan Iryanto (1989) diacu dalam Rahmawaty et al. (2006) pengertian partisipasi adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Dengan demikian dapat dikatakan partisipasi tersebut sama dengan peranserta. Menurut PP No.69 Tahun 1996 Tentang Penataan Ruang peranserta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Canter (1977) mendefinisikan peranserta masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggungjawab.
2.2.2 Faktor-faktor partisipasi
Menurut pendapat Sastropoetro (1986) diacu dalam Siahaan (2010) ada 5 (lima) unsur penting yang menentukan gagalnya dan berhasilnya partisipasi, yaitu: 1. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif atau berhasil
2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran
3. Kesadaran yang didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan
4. Enthousiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain 5. Adanya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan bersama
Selain itu Sastropoetro (1986) menjelaskan bahwa ada 5 (lima) hal yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat, yaitu :
1. Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, pendidikan, sosial dan rasa percaya pada diri sendiri.
2. Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama
3. Kecenderungan untuk menyalahartikan motivasi, tujuan dan kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah kepada timbulnya persepsi
yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti halnya terjadi di beberapa negara
4. Kesediannya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan
5. Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan
2.2.3 Tingkat-tingkat partisipasi
Arstein (1969) menggambarkan delapan tingkatan partisipasi yang setiap tingkatannya menggambarkan peningkatan pengaruh masyarakat dalam menentukan produk akhir pembangunan. Delapan tingkatan tersebut dari yang terendah hingga tertinggi adalah manipulasi, terapi, informasi, konsultasi, penentraman, kemitraan, pelimpahan kekuasaan dan kontrol masyarakat. Tabel 1 menggambarkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat yang dapat dikelompokkan dalam tiga level yaitu tidak ada partisipasi, partisipasi semu dan partisipasi aktif.
Tabel 1 Tangga partisipasi Arnstein
Tingkatan terendah adalah manipulasi dan terapi yang dideskripsikan sebagai tidak adanya partisipasi. Pada tingkatan ini tidak ada partisipasi dari masyarakat dalam merencanakan maupun melaksanakan program. Pemegang kekuasaan mendikte masyarakat, tidak ada dialog diantara mereka.
Tingkatan tiga, empat dan lima merupakan peningkatan pada level partisipasi semu yang memungkinkan masyarakat yang semula tidak didengarkan menjadi didengarkan dan memiliki suara. Ada tindakan dari masyarakat untuk mulai terlibat dalam partisipasi. Namun pada tingkatan ini, tidak ada jaminan bahwa suara mereka akan didengarkan oleh pemegang kekuasaan.
8 Kontrol masyarakat Partisipasi aktif 7 Pelimpahan kekuasaan 6 Kemitraan 5 Penentraman Partisipasi semu 4 Konsultasi 3 Informasi
2 Terapi Tidak ada partisipasi 1 Manipulasi
Pada tingkatan partisipasi aktif, masyarakat dapat bermitra dengan pemegang kekuasaan yang memungkinkan mereka bernegoisasi. Jika tingkat partisipasi diperdalam hingga level tertinggi yaitu kontrol masyarakat, masyarakat memiliki kekuasaan penuh untuk membuat keputusan. Tingkatan partisipasi masyarakat dapat diidentifikasikan dengan mengkaji darimana asal partisipasi apakah dari pemerintah, masyarakat ataukah bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat.
Huda (2008) menyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove dapat dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pada tahapan perencanaan, pelaksanaan awal, adopsi program/persetujuan, implementasi/pelaksanaan serta tahapan pemantauan dan evaluasi. Secara tipologi, Pretty (1995) mengklasifikasikan partisipasi atas tujuh karakteristik (Tabel 2).
Tabel 2 Tipologi dan karakteristik partisipasi
Tipologi Karakteristik
Partisipasi pasif Masyarakat berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka terima dari pihak luar tentang apa yang terjadi di lingkungan mereka
Partisipasi informasi Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan ekstraktif yang diajukan pihak luar (misalnya peneliti dengan menggunakan kuesioner), di mana hasil temuan tidak dimiliki,dipengaruhi, dan diperiksa akurasinya oleh masyarakat
Partisipasi konsultasi Masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi dengan pihak luar, di mana pihak luar tersebut mengidentifikasi masalah dan sekaligus mencarikan solusinya serta memodifikasi penemuan berdasarkan respons masyarakat Partisipasi intensif
material
Masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumber daya, misalnya tenaga kerja dan lahan untuk ditukar dengan insentif material, namun partisipasi masyarakat terhenti seiring berakhirnya imbalan insentif tersebut
Partisipasi fungsional Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok dan melibatkan pihak luar dalam rangka menentukan tujuan awal program/kegiatan , di mana pada umumnya pihak luar terlibat setelah keputusan rencana utama dibuat
Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam melakukan analisis kolektif dalam perumusan kegiatan aksi melalui metode interdisiplin dan proses pembelajaran terstruktur, di mana masyarakat mengawasi keputusan lokal dan berkepentingan dalam menjaga serta sekaligus memperbaiki struktur dan kegiatan yang dilakukan
Partisipasi mobilisasi swadaya
Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif dan tidak terikat dalam menentukan masa depan, di mana pihak luar hanya diminta bantuan dan nasihat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya
2.3 Peran Para Pihak
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan baik pada tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan disebutkan peran dari masing-masing pihak yang terlibat dalam pengelolaan RTH. Peran masyarakat, swasta dan badan hukum dalam penyediaan RTH publik meliputi penyediaan lahan, pembangunan dan pemeliharaan RTH. Peran dalam penyediaan RTH ini dapat berupa:
a. Pengalihan hak kepemilikan lahan dari lahan privat menjadi RTH publik (hibah)
b. Menyerahkan penggunaan lahan privat untuk digunakan sebagai RTH publik c. Membiayai pembangunan RTH publik
d. Membiayai pemeliharaan RTH publik e. Mengawasi pemanfaatan RTH publik
f. Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH publik dalam peningkatan kualitas dan keamanan lingkungan, sarana interaksi sosial serta mitigasi bencana.
Peran masyarakat pada RTH privat meliputi:
a. Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH dalam peningkatan kualitas lingkungan
b. Turut serta dalam meningkatkan kualitas lingkungan di perumahan dalam hal penanaman tanaman, pembuatan sumur resapan (bagi daerah yang memungkinkan) dan pengelolaan sampah
c. Mengisi seoptimal mungkin lahan pekarangan dan lahan kosong lainnya dengan berbagai jenis tanaman, baik ditanam langsung maupun ditanam dalam pot
d. Turut serta secara aktif dalam komunitas masyarakat pecinta RTH.
Organisasi non pemerintah atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta akses masyarakat ke sumber daya. Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi non-pemerintah antara lain:
a. Membentuk sistem mediasi dan fasilitasi antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau
b. Menyelenggarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan pendapat atau kepentingan antara pihak yang terlibat
c. Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan penjelasan mengenai proses kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta mengenai proses pengajuan keluhan dan penyelesaian konflik yang terjadi d. Mendorong dan/atau menfasilitasi proses pembelajaran masyarakat untuk
memecahkan masalah yang berhubungan dengan penyusunan RTH perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat dan/atau yang terkait dalam pembangunan ruang terbuka hijau, maupun dengan proses diskusi dan seminar
e. Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang memungkinkan masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses pemanfaatan ruang secara proporsional, adil dan bertanggung jawab. Dengan membentuk badan atau lembaga bersama antara pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta untuk aktif melakukan mediasi
f. Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa pengecualian.
Dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif dengan peran sebagai berikut (White et al. 1994):
a. Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif.
b. Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya yang bias mengakomodasi aspirasi masyarakat.
c. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis.
d. Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok masyarakat yang berhasil.
e. Menegakkan hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan lokal, maka pemerintah perlu mendelegasikan kepada kelompok masyarakat. Tetapi pemerintah harus siap memberikan bantuan dalam penegakan hukum, jika masyarakat membutuhkannya. Hal ini berarti bahwa instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas pengelolaan partisipatif oleh masyarakat.
f. Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku kepentingan.
g. Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan, keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat. 2.4 Strategi
2.4.1 Strategi meningkatkan partisipasi
Beberapa penelitian mengenai peningkatkan partisipasi masyarakat telah dilakukan. Kristianto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Jalan menyebutkan bahwa strategi peningkatan partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan kinerja fasilitator dengan menambah jumlah fasilitator atau menjaga mutu fasilitator,
2. Pemerintah harus memberikan dana-dana stimulus pembangunan yang berkelanjutan,
3. Pemerintah perlu secara terbuka dan akuntabel memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga infrastruktur yang dibangun merupakan keperluan masyarakat secara mayoritas,
4. Pemberian pendidikan nonformal kepada masyarakat sebagai upaya penguatan modal sosial dengan meningkatkan pelibatan masyarakat dalam kegiatan, berangsur mengurangi peran fasilitator dalam ikut mengambil keputusan, serta meningkatkan intensitas kegiatan kepada masyarakat,
5. Memperkuat keberadaan jaringan sosial yang berupa organisiasi-organisasi kemasyarakatan.
2.4.2 Strategi pembangunan hutan kota
Fakultas Kehutanan IPB (1987) menyatakan bahwa strategi yang harus dilakukan dalam pengembangan hutan kota meliputi beberapa aspek, yaitu:
1. Peraturan Perundangan, terdiri dari:
a. Peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa setiap daerah perkotaan mempunyai Rencana Umum Tata Ruang
b. Peraturan Daerah yang mewajibkan kepada setiap Pengusaha untuk mengalokasikan lahan Ruang Terbuka Hijau
c. Peraturan Daerah yang mewajibkan warga perkotaan untuk menanam, memelihara pohon/vegetasi berkayu pada lokasi-lokasi tertentu, serta harus melaporkan dan meminta ijin apabila akan menebangnya.
d. Peraturan Daerah yang mengatur tentang tata cara mendirikan bangunan, membuat sumur dan membuang air limbah
2. Organisasi
Pembentukan organisasi yang menangani hutan kota yang meliputi Perencanaan dan Pengendalian dibawah koordinasi Bappeda Kota/Kabupaten serta pelaksana dibawah tanggung jawab Walikota/Bupati dengan Tim Pembina dibawah koordinasi Bappeda Provinsi.
3. Pendanaan
Perumusan sistem pendanaan dengan sumber-sumber yang jelas, yang dapat digali dari masyarakat dan anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah untuk pembangunan hutan kota.
4. Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat harus dilakukan progran penyuluhan terpadu meliputi:
a. Memasukkan masalah lingkungan termasuk lingkungan perkotaan dan hutan kota ke dalam bagian kurikulum pendidikan
b. Membuat leaflet dan poster tentang pentingnya hutan kota, agar dimengerti dan dipahami oleh masyarakat luas
c. Melaksanakan penyuluhan melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat tentang masalah lingkungan perkotaan dan hutan kota.
5. Penelitian
Pelaksanaaan penelitian meliputi:
a. Pemilihan jenis dan pengadaan bibit untuk masing-masing bentuk dan tipe hutan kota
b. Teknik pembuatan dan pemeliharaan tanaman c. Sistem manajemen hutan kota.
2.5 Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Hutan Kota
Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan fungsinya terpelihara sepanjang masa dengan melibatkan tiga unsur, yaitu: individu, masyarakat dan Pemerintah Kota/Kabupaten. Pemerintah Kota/Kabupaten harus membuat perencanaan hutan kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik masyarakat dan individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu kota harus dibuat perencanaannya oleh pemerintah, kemudian jika lahan itu milik pemerintah pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, tetapi jika lahan milik masyarakat dilaksankan oleh masyarakat dan jika lahan itu milik individu masyarakat maka pelaksanaannya oleh individu masyarakat dengan bimbingan teknis dari pemerintah supaya benar pelaksanaannya (Fakuara 1986) .
Pembentukan organisasi yang menangani hutan kota meliputi perencanaan dan pengendalian di bawah koordinasi Bappeda Tk.II serta pelaksana dibawah tanggung jawab Walikota/Bupati dengan tim pembina di bawah koordinasi Bappeda Tk.I (Fakultas Kehutanan IPB 1987). Secara umum organisasi pengelolaan dan pengembangan hutan kota dapat didekati dengan Gambar 2.
Gambar 2 Organisasi pengelolaan dan pengembangan hutan kota (Dahlan 2004). Sedikitnya ada lima instansi yang merupakan pihak yang berperan dalam penyelenggaraan hutan kota di Kota Bogor yaitu (Abdurahman 2005):
1. Bappeda Kota Bogor yang berperan dalam perencanaan alokasi ruang,
2. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI sebagai pengelola Kebun Raya Bogor,
3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam sebagai pengelola Hutan Penelitian Darmaga dan Arboretum Gunung Batu,
Penanggung Jawab Kepala Wilayah (Walikota/Bupati)
Pelaksana
Dinas Kehutanan Dinas Pertamanan Dinas Tata Kota Dinas Perkebunan Dinas Pertanian Perusahaan Negara Dinas Kebersihan Swasta
Dinas Perkebunan Kampus/Sekolah Perorangan, dll
Perencana Bappeda Tk.II
4. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor sebagai pengelola jalur hijau, taman kota, kuburan dan Taman Makam Pahlawan,
5. Badan Penelitian In Vitro (Balittro) sebagai pengelola Kebun Percobaan Cimanggu.
Bappeda Kota Bogor berperan dalam perencanaan alokasi ruang yang diwujudkan dalam kewenangannya menyusun produk perencanaan tata ruang yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah yang didalamnya memuat kebijakan mengenai keberadaan lahan hutan kota yang dinyatakan sebagai lahan yang tidak dapat dialih fungsikan menjadi peruntukkan lainnya. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam dan Balittro dalam penyelenggaraan hutan kota di Kota Bogor berperan sebagai pengelola hutan kota. Dinas Kebersihan dan Pertamanan merupakan salah satu perangkat daerah yang memiliki peran penting dalam penyelenggaraan hutan kota di Kota Bogor, karena pengelolaan hutan kota dalam bentuk jalur, taman dan lain-lain dilimpahkan kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Bagian yang berperan dalam kegiatan penyelenggaraan hutan kota yaitu bidang pertamanan dengan seksi pembangunan dan penataan taman serta seksi pemeliharaan taman. Struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2009)
Gambar 3 Struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor.
Kepala dinas Sekretariat Sub bagian umum dan kepegawaian Sub bagian keuangan Sub bagian perencanaan dan pelaporan Kelompok jabatan fungsional Bidang kebersihan Seksi Penyapuan Seksi Pengangkutan Bidang penerangan jalan umum dan dekorasi kota
Seksi pembangunan PJU
dan dekorasi kota
Seksi pemeliharaan PJU dan dekorasi kota Bidang pertamanan Seksi pembangunan dan penataan taman Seksi pemeliharaan taman Bidang pembinaan pengelolaan sampah Seksi pengembangan teknologi penanggulangan sampah Seksi pengembangan kemitraan
UPTD Pemakaman UPTD Pengolahan air limbah
UPTD Pengolahan sampah
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Letak dan Luas
Wilayah Kecamatan Bogor Tengah mempunyai luas wilayah sebesar 8,13 km2, terdiri dari sebelas Kelurahan, 98 RW dan 431 RT. Rincian wilayah Kecamatan Bogor Tengah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Wilayah Kecamatan Bogor Tengah
No Kelurahan Luas (km2) RW RT 1 Gudang 0,32 12 52 2 Paledang 1,78 13 58 3 Pabaton 0,63 5 17 4 Cibogor 0,44 6 28 5 Babakan 1,22 7 31 6 Sempur 0,63 7 32 7 Tegallega 1,23 9 52 8 Babakan Pasar 0,46 10 39 9 Panaragan 0,27 7 34 10 Kebon Kalapa 0,74 12 43 11 Ciwaringin 0,46 10 45
Sumber : Bappeda Kota Bogor (2009)
Wilayah Kecamatan Bogor Tengah sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kedung Jaya dan Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal, sebelah Timur berbatasan dengan Jl. TOL Jagorawi dan Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur dan Kelurahan Sukasari, sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cisadane dan Kelurahan Menteng Kecamatan Bogor Barat serta sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Bondongan dan Kelurahan Empang Kecamatan Bogor Selatan.
3.2 Keadaan Fisik Wilayah
Temperatur rata- rata wilayah Kota Bogor berada pada suhu 26 ºC, dengan temperatur tertinggi sekitar 34,4 ºC dan kelembaban udara rata-rata lebih dari 70%. Suhu terendah di Kota Bogor adalah 21,8 0C, yang sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin di Bulan Desember sampai Januari ini dipengaruhi oleh angin muson. Sementara Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi oleh Angin Muson Barat dengan arah mata angin 6% terhadap arah Barat. Curah
hujan rata-rata tahunan di Kecamatan Bogor Tengah berkisar antara 4.000 sampai 4.500 mm/tahun.
Aspek topografi wilayah Kota Bogor pada dasarnya bervariasi antara datar dan berbukit (antara 0 ─ 200 mdpl sampai dengan >300 mdpl). Wilayah Kecamatan Bogor Tengah berada pada ketinggian >200 mdpl dengan rincian 317,33 ha berada pada ketinggian 201-250 mdpl, 491,27 ha berada pada ketinggian 251-300 mdpl dan 4,40 pada ketinggian diatas 300 mdpl.
Kemiringan lereng di Kota Bogor berkisar 0 ─ 2% sampai dengan > 40%. Sebagian besar wilayah Kecamatan Bogor Tengah berada dalam kemiringan lereng yang landai. Kemiringan lereng wilayah Bogor Tengah adalah 0 ─ 2% (datar) seluas 125,44 ha, 2 ─ 15% (landai) seluas 560,47 ha, 15 ─ 25% (agak curam) seluas 0 ha, 25 ─ 40% (curam) seluas 117,54 ha, dan > 40% (sangat curam) seluas 9,55 ha.
Secara umum, Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil pelapukan endapan, yang tentunya baik untuk vegetasi. Untuk wilayah Kecamatan Bogor Tengah ditutupi oleh lapisan kipas aluvial, endapan, tufa, lanau breksi tufan dan capili.
3.3 Kependudukan
Berdasarkan hasil pemetaan kependudukan, jumlah penduduk Kecamatan Bogor Tengah Tahun 2009 adalah 112.425 Jiwa dengan perincian Kelurahan Gudang 7.714 jiwa, Kelurahan Paledang 13.888 jiwa, Kelurahan Pabaton 3.153 jiwa, Kelurahan Cibogor 7.861 jiwa, Kelurahan Babakan 11.274 jiwa, Kelurahan Sempur 9.354 jiwa, Kelurahan Tegallega 19.409 jiwa, Kelurahan Babakan Pasar 10.168 jiwa, Kelurahan Panaragan 7.514 jiwa, Kelurahan Ciwaringin 10.759 jiwa dan Kelurahan Kebon Kalapa 11.331 jiwa. Kepadatan penduduk per Km2 yaitu 13.828 jiwa.
Kecamatan Bogor Tengah memiliki kepadatan penduduk paling tinggi di Kota Bogor. Kepadatan yang tinggi tersebut disebabkan karena wilayah Kecamatan Bogor Tengah merupakan pusat aktivitas pemerintahan,
perekonomian dan pariwisata serta terdapatnya sarana dan prasarana yang mendukung sehingga banyak masyarakat bermukim di wilayah ini.
3.4 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang dominan di Kecamatan Bogor tengah adalah perumahan. Meskipun kecamatan ini sudah bersifat kota namun masih terdapat penggunaan lahan yang bersifat tegalan dan persawahan. Penggunaan lahan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan luasnya. Seiring dengan perkembangan kota yang cukup pesat, penggunaan lahan untuk perdagangan dan jasa serta perkantoran akan mengalami kenaikan yang cukup pesat, begitu pula dengan penggunaan lahan untuk perumahan. Tata guna lahan Kecamatan Bogor Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Tata guna lahan Kecamatan Bogor Tengah tahun 2007
Jenis Luas (Ha) Persentase (%)
Kawasan terbangun
Pemukiman 405,6 51,92
Perumahan/komplek 41,47 5,31
Komplek Militer 9,65 1,24
Perdagangan dan jasa 40,93 5,24
Terminal 2,37 0,3
Lapangan olahraga 5,4 0,69
Taman 48,99 6,27
TPU 1,61 0,21
Kawasan non terbangun
Hutan kota 72,12 9,23
Ruang Terbuka Hijau 34,89 4,47
Kebun 21,4 2,74 Tanah kosong 68,85 8,81 Semak 8,8 1,13 Situ 1,43 0,18 Kolam 0,02 0 Sungai 17,68 2,26 Jumlah 781,39 100
Sumber: Bappeda Kota Bogor (2007)
Berdasarkan data tahun 2007, luas lahan terbangun di Kecamatan Bogor Tengah meliputi 71,18% luas wilayah atau sekitar 556,2 hektar. Luas lahan tidak terbangun berjumlah 28,82% atau sekitar 225,19 hektar. Lahan yang dikategorikan belum terbangun tersebut meliputi penggunaan kebun, sungai dan tanah kosong.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada daerah dengan kepadatan penduduk paling tinggi di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Tengah dengan lokasi sampel yaitu sekitar Taman Kencana, Lapangan Sempur dan sekitar Taman Peranginan. Waktu studi mengenai strategi meningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan hutan kota di Kota Bogor dilaksanakan selama dua bulan, September sampai bulan November 2011. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 4.2 Alat dan Obyek
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Kuisioner, sebagai alat bantu untuk pengambilan data primer b. Kamera, sebagai alat untuk mendokumentasikan penelitian
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah responden pada daerah sampel yang terpilih dengan teknik sampling yang digunakan.
4.3 Metode Penelitian
4.3.1 Jenis dan metode pengambilan data
Data yang diambil terbagi menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diambil melalui wawancara langsung dengan responden sedangkan data sekunder mengenai kondisi wilayah dan kependudukan diperoleh dari Kantor Kecamatan dan data mengenai ruang terbuka hijau dan rencana strategis taman kota diperoleh dari Dinas Pertamanan Kota Bogor. Jenis dan metode pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Jenis data yang dikumpulkan
No Jenis Data Sumber Metode 1 Primer
a. Persepsi Responden Wawancara b. Partisipasi Responden Wawancara 1 c. Karakteristik responden - Jenis kelamin - Umur - Pendidikan - Pekerjaan Responden Wawancara 2 Sekunder
a. Kondisi wilayah Monografi kecamatan b. Kependudukan
c. Rencana strategis taman kota Dinas Pertamanan Kota Bogor d. Data ruang terbuka hijau Kota
Bogor
Pengambilan data primer tentang persepsi masyarakat dilakukan melalui wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Responden ditentukan dengan cara pengambilan contoh acak bertujuan (Purpossive Random Sampling) yaitu pengambilan contoh secara acak dengan keadaan/tujuan yang kita kehendaki. Responden ditentukan berdasarkan karakteristik sosial ekonominya dengan membagi daerah contoh menjadi tiga kategori dilihat dari tingkat ekonominya yaitu tinggi, sedang dan rendah. Kawasan sekitar Taman Peranginan termasuk tingkat ekonomi rendah, Lapangan Sempur termasuk tingkat ekonomi menengah dan sekitar Taman Kencana termasuk
tingkat ekonomi tinggi. Penggolongan tingkat ekonomi didasarkan pada daya listrik yang dimiliki setiap rumah. Rumah dengan daya listrik < 900 Watt dikategorikan kelas rendah, daya listrik 900 – 2200 Watt dikategorikan kelas sedang dan daya listrik >2200 Watt dikategorikan sebagai kelas tinggi.
Responden yang diambil sebanyak 90 orang dengan jumlah masing-masing responden 30 orang tiap kelas. Hal ini didasarkan pada Singarimbun dan Effendi (1989) yang menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisa data dengan statistik, jumlah sampel terkecil adalah sebanyak 30 orang.
Pengambilan data untuk persepsi dan peran pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi dilakukan dengan metode wawancara dengan pihak yang terkait. Data untuk persepsi dan pemerintah diambil dari Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Bogor dengan melakukan wawancara terhadap Kepala Bidang Pertamanan dan Kepala Seksi Pembangunan dan Penataan Taman. Data untuk lembaga swadaya masyarakat diambil dari seluruh lembaga yang bergerak di bidang lingkungan. Data untuk perguruan tinggi diambil dari perguruan tinggi dengan jurusan dalam bidang lingkungan dengan melakukan wawancara dengan tenaga pengajar.
4.3.2 Metode analisis data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan uji non parametrik. Penyajian secara deskriptif dilakukan untuk menjelaskan gambaran dari setiap bentuk hubungan pertanyaan dengan jawaban responden.
Untuk mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi responden dalam pembangunan hutan kota, tanggapan yang diberikan diberikan nilai (score). Penentuan nilai untuk setiap tanggapan dilakukan dengan menggunakan Skala Linkert. Nilai tanggapan berkisar dari satu sampai tujuh dengan kategori Sangat Buruk (nilai 1), Buruk (nilai 2), Agak Buruk (nilai 3), Sedang (nilai 4), Agak Baik (nilai 5), Baik (nilai 6) dan Sangat Baik (nilai 7).
Sedangkan uji statistik non parametrik menggunakan uji Chi-Kuadrat untuk menguji hubungan antar variabel dengan tingkat persepsi masyarakat. Perhitungan dalam uji ini menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
x2 : Nilai Chi-Kuadrat A : Nilai amatan H : Nilai harapan
Hipotesis yang dipakai untuk menguji hubungan antar variabel dengan tingkat persepsi responden yaitu :
a. H0 = Tidak terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi
responden
b. H1 = Terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi responden
Kemudian nilai dibandingkan dengan pada tingkat kepercayaan 95% dan 99% dengan derajat bebas tertentu. Kriteria keputusan untuk uji nyata ini adalah sebagai berikut:
a. Apabila nilai maka terima H1, yang berarti terdapat hubungan
antara variabel dengan tingkat persepsi responden
b. Apabila nilai maka terima H0, yang berarti tidak terdapat
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Hutan Kota 5.1.1 Persepsi masyarakat
Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya (Kartini 1984). Persepsi masyarakat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan program pengelolaan hutan kota. Jika tidak ada faktor lain yang berpengaruh, persepsi yang rendah atau negatif akan menghambat jalannya pelaksanaan pengelolaan, sedangkan persepsi yang tinggi atau positif merupakan dukungan dalam menciptakan dan memelihara hutan kota yang sudah ada.
Hasil perhitungan dari sembilan puluh responden menunjukkan bahwa rata-rata nilai persepsi masyarakat Kota Bogor khususnya Kecamatan Bogor Tengah terhadap hutan kota tergolong dalam tingkat persepsi yang cenderung baik dengan nilai rata-rata responden untuk tingkat persepsi yaitu 5,88 dari skala 7. Komposisi tingkat persepsi masyarakat terhadap hutan kota disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Banyaknya responden berdasarkan tingkat persepsi
Tingkat persepsi Jumlah Persentase (%)
Cenderung sedang 1 1,11
Cenderung agak baik 18 20
Cenderung baik 66 73,33
Baik 3 3,33
Cenderung sangat baik 2 2,22
Total 90 100,00
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi yang tinggi terhadap hutan kota. Persepsi yang tinggi ini ditunjukkan dengan 73,33% responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik yaitu sebanyak 66 orang dari 90 responden.
Perhitungan skala Linkert pada persepsi masyarakat dapat untuk setiap tingkatan ekonomi menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi masyarakat berada pada tingkat yang sama yaitu tingkat persepsi yang cenderung baik.
Persepsi masyarakat Kota Bogor pada tingkat ekonomi rendah cenderung sangat baik. Hal ini dapat ditunjukkan dengan 63,33% dari 30 responden tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 26,67% memiliki tingkat persepsi yang cenderung agak baik, 6,67% yang memiliki tingkat persepsi yang cenderung sangat baik dan 3,33% dengan tingkat persepsi yang cenderung sedang. Hal tersebut juga tidak berbeda pada masyarakat dengan tingkat ekonomi atas, 86,67% dari 30 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 10% cenderung agak baik dan 3,33% baik. Persepsi masyarakat pada tingkat ekonomi menengah, sebagian besar masyarakat hanya memiliki persepsi pada tingkat yang cenderung baik. Masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah, 70% dari 30 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 23,33% cenderung agak baik dan 6,67% baik. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 5).
Gambar 5 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi. Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel tingkat ekonomi memiliki nilai X2hitung sebesar 11,515, dimana nilai X2hitung tersebut lebih kecil
daripada nilai X2tabelnya yang sebesar 15,507. Nilai signifikasi pada hasil uji
Chi-Square untuk variabel tingkat ekonomi memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95%, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H0 yang