• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tablet

2.1.1 Pengertian Tablet

Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995).

Komposisi utama dari tablet adalah zat berkhasiat yang terkandung di dalamnya, sedangkan bahan tambahan yang sering digunakan dalam pembuatan tablet yaitu bahan pengisi, bahan penghancur, bahan penyalut, bahan pengikat, bahan pemberi rasa dan bahan tambahan lainnya (Ansel, 1989).

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet dapat berbeda-beda ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancur, dan aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Umumnya tablet digunakan pada pemberian obat secara oral (Ansel, 1989).

(2)

2.1.2 Komponen Tablet

Untuk membuat tablet diperlukan bahan tambahan berupa: a. Bahan pengisi (diluent)

Bahan pengisi adalah suatu zat inert secara farmakologis yang ditambahkan ke dalam suatu formulasi sediaan tablet, bertujuan untuk penyesuaian bobot dan ukuran tablet sesuai dengan yang dipersyaratkan, untuk membantu kemudahan dalam pembuatan tablet, dan meningkatkan mutu sediaan tablet. Berikut ini beberapa zat pengisi yang sering digunakan: laktosa, laktosa anhidrat, laktosa semprot kering, fast flo lactose (FFL), starch 1500, dan mikrokristalin selulosa (Siregar, 2010).

b. Bahan pengikat (binder)

Bahan pengikat ditambahkan ke dalam formulasi tablet untuk menambah kohesivitas serbuk sehingga memberi ikatan yang penting untuk membentuk granul yang dibawah pengempaan akan membentuk suatu massa kohesif atau kompak yang disebut tablet. Beberapa jenis pengikat yang sering digunakan: pati 5-10%, pati pragelatinisasi 0,5%, starch 1500, gelatin 2-10%, sukrosa 50-75%, akasia 10-25%, polivinilpirolidon 3-15% (Siregar, 2010).

c. Bahan penghancur (disintegrator)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet dapat hancur dalam saluran cerna. Zat-zat yang digunakan seperti: amilum kering, gelatin, agar-agar, natrium alginat. d. Bahan pelicin (lubricant)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet tidak lekat pada cetakan. Zat-zat yang digunakan seperti: talcum, magnesii stearat, asam stearat. Dalam pembuatan

(3)

tablet, zat berkhasiat dan bahan tambahan, kecuali bahan pelicin dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak mengisi cetakan dengan baik. Dengan dibuat granul akan terjadi free flowing, mengisi cetakan secara tetap dan dapat dihindari tablet menjadi capping (retak) (Anief, 1987).

2.1.3 Syarat-Syarat Tablet

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV dan sumber-sumber lainnya, tablet harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Keseragaman bobot dan keseragaman kandungan

Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot jika zat aktif merupakan bagian terbesar dari tablet dan cukup mewakili keseragaman kandungan. Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang cukup dari keseragaman kandungan jika zat aktif merupakan bagian terkecil dari tablet atau jika tablet bersalut gula. Oleh karena itu, umumnya farmakope mensyaratkan tablet bersalut dan tablet mengandung zat aktif 50 mg atau kurang dan bobot zat aktif lebih kecil dari 50 % bobot sediaan, harus memenuhi syarat uji keseragaman kandungan yang pengujiannya dilakukan pada tiap tablet (Syamsuni, 2007).

2. Uji kekerasan

Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan gaya kompresi yang diberikan. Bila tekanan ditambahkan, maka kekerasan tablet meningkat sedangkan ketebalan tablet berkurang. Selain itu metode granulasi juga menentukan kekerasan tablet.

(4)

Umumnya kekuatan tablet berkisar 4 - 8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan. Alat yang digunakan untuk uji ini adalah hardness tester, alat ini diharapkan dapat mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan tablet (Lachman, 1994).

3. Uji keregasan

Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur keregasannya. Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat Roche friabilator. Sebelum tablet dimasukkan ke alat friabilator, tablet ditimbang terlebih dahulu. Kemudian tablet dimasukkan ke dalam alat, lalu alat dioperasikan selama empat menit atau 100 kali putaran. Tablet ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat mula-mula. Selisih berat dihitung sebagai keregasan tablet. Persyaratan keregasan harus lebih kecil dari 0,8% (Ansel, 1989).

4. Waktu hancur

Waktu hancur penting dilakukan jika tablet diberikan peroral, kecuali tablet yang harus dikunyah sebelum ditelan. Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang ditetapkan pada masing-masing monografi. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna.

Pada pengujian waktu hancur, tablet dinyatakan hancur jika tidak ada bagian tablet yang tertinggal di atas kasa, kecuali fragmen yang berasal

(5)

dari zat penyalut. Kecuali dinyatakan lain, waktu yang diperlukan untuk menghancurkan keenam tablet tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak bersalut dan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet bersalut (Syamsuni, 2007).

5. Disolusi

Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantung pada pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat (Syamsuni, 2007).

6. Penetapan kadar zat aktif

Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi (Syamsuni, 2007).

2.2 Antipsikosis

Antipsikosis (major transquillizers) merupakan obat-obatan yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berfikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan epilepsi dan agresi

(6)

dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti impian dan pikiran khayali (halusinasi), menormalkan perilaku yang tidak normal, digunakan pada psikosis penyakit jiwa tanpa keinsafan sakit oleh pasien misalnya penyakit schizofrenia (gila) dan mania-depresif (Tjay, 2007).

Antipsikosis digunakan untuk pengobatan psikosis akut maupun kronik. Ciri terpenting obat ini ialah: (1) Menenangkan penderita psikosis agresif, hiperaktif atau yang sedang mengalami jiwa labil. (2) Dosis besar tidak dapat menyebabkan koma atau anastesia artinya masih mudah dibangunkan. (3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang menetap atau pulih kembali. (4) Tidak menimbulkan ketergantungan psikik dan fisik (Munaf, 1994).

Psikosis didefinisikan sebagai gangguan jiwa yang sangat merusak akal budi dan pengertian (insight), timbulnya pandangan yang tidak realistis atau bizar (aneh), memepengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya si penderita. Gejala psikotis mencakum waham (pikiran khayali), halusinasi dan gangguan berfikir formil (tak dapat berfikir riil), yang sering kali disebabkan oleh schizofrenia. Psikosis dapat diobati dengan antipsikotika (Tjay, 2007).

(7)

2.3 Klorpromazin HCl

2.3.1 Struktur Klorpromazin HCl

Rumus struktur:

Gambar 1. Rumus struktur Klorpromazin HCl

Menurut Dirjen POM (1995), klorpromazin HCl memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul : C17H19CIN2S

Nama Kimia : 2-klor-N-(dimetil-amiropropil)-fenotiazin Nama Umum : Klorpromazin HCl

Pemerian : Putih atau agak kream putih, tidak berbau. Warna menjadi gelap karna pengaruh cahaya.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam kloroform, tidak larut dalam eter dan dalam benzena. Persyaratan : Pada sediaan tablet Klorpromazin HCl mengandung

Klorpromazin HCl, C17H19CIN2S, tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

(8)

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tahan cahaya. Indikasi : Sebagai antipsikosis

Sejak ditemuk annya klorpromazin, suatu neuroleptik golongan fenotiazin pada tahun 1950, pengobatan untuk psikosis terutama skizofrenia terus dikembangkan (Setiabudy, 2007).

2.3.2 Indikasi

Klorpromazin HCl digunakan untuk penderita psikosis hiperaktif, memeperlambat perkembangan skizofrenia dini, mengobati rasa takut, dan digunakan juga untuk mengobati mual, muntah secara sentral (Munaf, 1994). 2.3.3 Farmakodinamik

Efek farmakologi klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi efek pada susunan saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin (Setiabudy, 2007). 2.3.3 Farmakokinetik

Kebanyakan antipsikosis diabsorpsi sempurna, sebagian diantaranya mengalami metabolisme lintas pertama. Kebanyakan antipsikosis larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma, serta memiliki volume distribusi besar. Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu setelah pemberian obat terakhir (Setiabudy, 2007).

2.3.4 Efek Samping

Kemungkinan terjadinya gejala indiosinkrasi, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia.

(9)

2.4 Disolusi

Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Uji disolusi merupakan suatu indikator sederhana dan tidak mahal untuk ketetapan fisik produk. Jika suatu bets sangat berbeda dari yang lain dalam karakteristik disolusinya, atau jika waktu disolusi bets produk menunjukkan kecenderungan tetap menaik atau menurun, hal tersebut diduga suatu peringatan pasti bahwa beberapa faktor dalam bahan baku, formulasi atau proses berada di luar kendali (Siregar, 2010).

Kecepatan disolusi obat merupakan tahap sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, bahan berkhasiat harus terlarut, sesudah itu barulah obat tersebut dapat melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat dan berdifusi secara pasif. Sebaliknya, obat yang kelarutannya kecil kecepatan disolusi tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif karena pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif (Syukri, 2002).

2.4.1 Alat Uji Disolusi

Alat uji disolusi berfungsi melepaskan dan melarutkan zat aktif dari sediaannya. Pada dasarnya alat ini berfungsi mengekstraksi zat aktif dari sediaannya dalam satuan waktu di bawah antar permukaan cairan solid, suhu, dan komposisi media yang dibakukan (Siregar, 2010).

Pada prinsipnya, alat uji disolusi terdiri atas bejana dan tutup, yang berfungsi sebagai wadah yang mendisolusi zat aktif; pengaduk, motor pemutar

(10)

pengaduk; termometer; penangas air yang dilengkapi dengan thermostat (Siregar, 2010).

Menurut Ditjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi:

a. Alat 1 (Tipe Keranjang)

Alat terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan wadah disolusi (keranjang) berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm−175 mm, diameter 98 mm−106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus dan tanpa goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang saringan kawat kecil yang diikatkan pada bagian bawah batang logam yang digerakkan oleh motor yang kecepatannya dapat diatur. Wadah dicelupkan sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37o ± 0,5oC selama pengujian dan menjaga agar gerakan air halus dan tetap. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang pas.

b. Alat 2 (Tipe Dayung)

Alat ini sama dengan alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi dengan jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dasar

(11)

wadah yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan.

2.4.2 Media Disolusi

Menurut Agoes (2008), media disolusi yang biasa digunakan adalah: 1. Air Suling

Pelarut air digunakan untuk uji penetapan pelarutan beberapa tablet. Pengujian menggunakan cairan air memberikan hasil yang sangat berbeda dengan cairan fisiologik, terutama untuk senyawa ionik yang sangat dipengaruhi oleh pH. 2. Larutan Ionik

Larutan ionik banyak digunakan untuk menyesuaikan pH organ tubuh : a. Larutan asam (pH 1,2) dibuat dari asam klorida encer baik ditambah

atau tidak ditambah dengan larutan natrium atau kalium klorida, sehingga pH cairan mendekati komposisi cairan lambung.

b. Larutan dapar alkali (pH 7-8) paling sering digunakan untuk meniru pH usus dalam pengujian sediaan dengan aksi diperpanjang atau aksi terjaga setelah melewati cairan yang asam.

2.4.3 Kriteria Sediaan Tablet yang Diuji dan Tidak Diuji Disolusi

Menurut Farmakope Indonesia Ed. IV (FI. Ed. IV), suatu sediaan tablet diuji disolusinya jika dinyatakan dalam monografinya. Hal ini berarti prosedur dan persyaratan uji disolusi hanya berlaku untuk sediaan tablet yang tertera dalam monografi tersebut. Sediaan tablet yang tidak tertera dalam FI. Ed. IV tentu saja

(12)

dapat diuji disolusinya dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan sendiri oleh pabriknya atau laboratorium pengendalian mutu pabrik tersebut (Siregar, 2010).

Tablet kunyah tidak diuji disolusinya sebab harus dikunyah sebelum ditelan. Untuk tablet salut enterik, digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas lambat, kecuali dinyatakan lain (Siregar, 2010).

2.4.4 Prosedur Pengujian Disolusi

Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti yang tertera dalam masing-masing monografi) ke dalam wadah, pasang alat dan dibiarkan media disolusi mencapai temperatur 37oC. Satu tablet dicelupkan dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM, 1995).

2.4.5 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Farmakope Indonesia Ed. IV menyatakan, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan (Siregar, 2010). Pengujian dilanjutkan sampai tiga tahap, Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini

(13)

tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat,

maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan

diuji lagi (Lachman, 1994).

Tabel 1. Tabel Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut, seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% adalah persen dari jumlah yang tertera pada etiket sehingga mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali ditetapkan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam 45 menit dengan menggunakan Alat 1 pada 100 rpm atau Alat 2 pada 50 rpm (Siregar, 2010).

Tahap Jumlah Sediaan

yang diuji Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6

Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah sama

dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%

S3 12

Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+ S3 ) adalah

sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q – 25%

(14)

2.4.6 Faktor yang Mempengaruhi Disolusi Zat Aktif

Menurut Syukri (2002), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan, antara lain:

a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi : kelarutan zat aktif, bentuk kristal, kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat fisikokimia lain seperti kekentalan dapat menimbulkan masalah disolusi. b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Penggunaan bahan tambahan sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi dapat menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung bahan tambahan yang digunakan. Cara pengolahan bahan baku, bahan tambahan dan prosedur yang dilakukan dalam formulasi sediaan padat peroral juga berpengaruh terhadap laju disolusi. Waktu pengadukan lama pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya: kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan.

(15)

Faktor ini dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan meliputi: kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang digunakan. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat disaluran cerna. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi sama atau berbeda, tergantung pada metode uji yang digunakan.

2.5 Penetapan Kadar

Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel. Prosedur penetapan konsentrasi zat aktif dan sampel uji disolusi mencakup titrasi asam-basa, titrasi kompleksometri, titrasi iodometri, spektrofotometri, spektrofluorometri, dan kromatografi cair kinerja tinggi (Siregar, 2010). Dalam hal ini, metode yang dipilih dalam penetapan kadar sampel uji disolusi yaitu Spektrofotometri UV.

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi

(16)

spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004).

Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat dan sangat cocok untuk digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai gugus kromofor. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993).

Gambar

Tabel 1. Tabel Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh dari tingkat pengungkapan informasi CSR, size, dan pro fi tabilitas terhadap informativeness of earnings yang dalam hal ini

Di tengah kesibukan Bapak/ Ibu/ Saudara/i, perkenankanlah saya meminta kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara/i untuk meluangkan waktu sejenak guna mengisi kuesioner

sterilisasi dan pertumbuhan mikroorganisme pada makanan kaleng agar dapat diselesaikan secara numerik dengan metode beda

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengelolaan keuangan daerah yang mencakup: perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan dan

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis besaran keuntungan dari penjualan produk ayam goreng presto kemasan vakum produk Celebes Organik Chicken (COC) hasil

Balai Besar Veteriner Denpasar menerapkan basis akrual dalam penyusunan dan penyajian Neraca, Laporan Operasional, dan Laporan Perubahan Ekuitas serta basis kas untuk penyusunan

Penilaian Kinerja Diskusi dan Presentasi Dilaksanakan pada proses pembelajaran, saat peserta didik menyampaikan hasil diskusi tentang Perubahan Sosial dan Budaya Akibat

Peningkatan ini juga membuktikan bahwa ingatan siswa tentang konsep-konsep ataupun pengetahuannya yang sudah pernah didapat tetap ada dalam ingatannya (tidak mudah