TESIS
Oleh DEWI JAYATI 137032116/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2016
T E S I S
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh DEWI JAYATI 137032116/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2016
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr.Drs. Badaruddin, M.Si Anggota : 1. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes
2. Drs. Eddy Syahrial, M.S 3. Dr. Asfriyati, S.K.M, M.Kes
REMAJA DI DESA BULU CINA KECAMATAN HAMPARAN PERAK TAHUN 2015
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar magister di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Maret 2016
Dewi Jayati 137032116/IKM
adanya ikatan pernikahan. Hal ini diakibatkan banyak faktor diantaranya pola asuh ayah, ibu, pergaulan teman sebaya dan media informasi. Masa remaja rentan untuk melakukan perilaku seks pranikah. Maka diperlukan pola asuh yang baik dari orang tua, pergaulan teman sebaya dan media yang memberi dampak positif agar remaja terhindar dari perilaku seks pranikah.
Jenis penelitian ini merupakan metode survei, dengan menggunakan desain Crosssectional. Populasi penelitian ini remaja yang berumur 16-19 tahun di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak yang masih mempunyai kedua orang tua.
Sampel ditentukan dengan teknik simple random sampling sebanyak 61 orang.
Analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pola asuh ayah (p=0,000), pola asuh ibu (p=0,036), pergaulan teman sebaya (p=0,009), media informasi (p=0,016) terhadap perilaku seks pranikah. Uji regresi logistik ganda menunjukkan hasil bahwa pola asuh ayah dan ibu memengaruhi perilaku seks pranikah remaja dengan nilai (ekp B = 3,030) dan (ekp B = 3,101) dengan kesimpulan bahwa pola asuh ibu permisip lebih berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah.
Penelitian ini diharapkan memberi masukan tentang pola asuh orang tua, pergaulan teman sebaya, dan media informasi yang baik pada remaja. Kepada BKKBN agar memantau program yang telah ada agar berjalan dengan baik.
Khususnya program Genre, Kesehatan Reproduksi Remaja dan Bina Keluarga Remaja.
Kata Kunci : Pola Asuh, Pergaulan Teman Sebaya, Media Informasi, Perilaku Sek Pranikah Remaja
i
factors, including parenting father, mother, association peers and media information.
Adolescence is vulnerable to premarital sexual behavior. It is necessary to good parenting of parents, peers and media relationships that have a positive impact for teens avoid premarital sexual behavior.
This research is a survey method, using cross sectional design. This study population of 16-19 year olds in China Bulu Village Overlay District of Perak who still have both parents. Samples were determined by simple random sampling technique as many as 61 people. Analysis of data using univariate, bivariate and multivariate analyzes.
The results showed no relationship parenting father (p = 0.000), parenting mothers (p = 0.036), social peer group (p = 0.009), media information (p = 0.016) against premarital sexual behavior. Multiple logistic regression analysis showed that the father and mother's parenting behaviors influence adolescent premarital sex with a value (EKP B = 3.030) and (EKP B = 3.101) with the conclusion that the mother's parenting permisip more influence on premarital sexual behavior.
This research is expected to provide input on parenting parents, social peers, and good information media in teenagers. BKKBN order to monitor existing programs to run properly. In particular genre program, Adolescent Reproductive Health and Family Development Youth.
Keywords : Parenting, Relationships Peers, Media Information, Premarital Sexual Behavior of Adolescents.
ii
Subhanahuwata’ala atas segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua, Pergaulan Teman Sebaya dan Media Informasi Terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memeroleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penyusunan tesis ini dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari banyak pihak.
Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada : 1. Prof. Runtung Sitepu, Sp.A (K), Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
iii
5. Bapak Drs. Eddy Syahrial, M,S dan Dr. Asfriyati, S.K.M, M.Kes, selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Seluruh dosen dan staf di lingkup Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.
7. Kepada Bapak Heri Cucahyo, S.Pd dan seluruh staf Desa Bulu Cina Kecamatan Hmparan Perak Kab. Deli Serdang yang telah memberi izin untuk melakukan penelitian yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
8. Adik-adik Remaja di Desa Bulu Cina yang sudah berpartisipasi dan bersedia menjadi responden pada penelitian ini.
9. Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta ayahanda M. Yamin dan Ibunda Suarni dan adikku Lia Andriyani dan Ardi Dermawan yang senantiasa memberi perhatian, dukungan baik moril maupun materil serta doa selama penulis menyelesaikan pendidikan Progran Pasca Sarjana IKM – FKM USU.
10. Rekan-rekan mahasiswa di lingkup Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara Khusunya Minat Studi Kesehatan
iv
yang telah memberikan bantuan, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.
Penulis menyadari segala keterbatasan dan kekurangan, namun penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Maret 2016 Penulis
Dewi Jayati 137032116/IKM
v
pada tanggal 25 Mei 1985. Penulis beragama Islam,anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan M. Yamin dan Suarni.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar Negeri No.
060954 tamat Tahun 1997, Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Medan tamat Tahun 2000, Sekolah Menengah Atas Negeri 16 Medan tamat tahun 2003, melanjutkan Pendidikan Diploma III Akademi Kebidanan Dokter Rusdi tamat tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Sumatera Utara Fakultas Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Reproduksi, tamat tahun 2010. Pada tahun 2013-2016 Penulis menempuh Pendidikan S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Reproduksi di Universitas Sumatera Utara.
vi
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Hipotesis ... 9
1.5. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Pola Asuh ... 11
2.1.1. Jenis Pola Asuh ... 12
2.1.2. Faktor yang Memengaruhi Pola Asuh ... 17
2.2. Pergaulan Teman Sebaya ... 21
2.3. Media Informasi ... 24
2.4. Perilaku Seks Pranikah ... 25
2.4.1. Dampak Perilaku Seks Pranikah ... 29
2.4.2. Faktor yang Memengaruhi Seks Pranikah ... 31
2.5. Remaja... 33
2.5.1. Ciri- Ciri Masa Remaja ... 33
2.5.2. Tahap Perkembangan Masa Remaja ... 35
2.5.3. Perkembangan Fisik Remaja ... 36
2.6. Landasan Teori ... 38
2.7. Kerangka Konsep ... 43
vii
3.3. Populasi dan Sampel ... 45
3.3.1. Populasi ... 45
3.3.2. Sampel ... 45
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 47
3.4.1. Data Primer ... 47
3.4.2. Data Sekunder ... 47
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 47
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 51
3.5.1. Variabel ... 51
3.5.2. Definisi Operasional ... 52
3.6. Metode Pengukuran ... 53
3.6.1. Metode Pengukuran Variabel Dependen ... 53
3.6.2. Metode Pengukuran Variabel Independen ... 53
3.7. Metode Analisis Data ... 55
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 57
4.2. Analisa Univariat ... 59
4.2.1. Karakteristik Responden ... 59
4.2.2. Pola Asuh Ayah ... 61
4.2.3. Pola Asuh Ibu ... 63
4.2.4. Pergaulan Teman Sebaya ... 66
4.2.5. Media Informasi ... 68
4.2.6. Perilaku Seks Pranikah ... 70
4.3. Analisis Bivariat ... 72
4.3.1. Hubungan Pola Asuh Ayah dengan Perilaku Seks Pranikah Remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak tahun 2015 ... 72
4.4. Analisis Multivariat ... 77
viii
5.1.4. Media Informasi ... 84
5.2. Analisas Bivariat ... 85
5.2.1. Hubungan Pola Asuh Ayah Terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja ... 85
5.2.2. Hubungan pola Asuh Ibu terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja ... 87
5.2.3. Hubungan Pergaulan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja ... 88
5.2.4. Hubungan Pergaulan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja ... 89
5.3. Analisis Multivariat ... 91
5.3.1. Pengaruh Pola Asuh Ayah dan Pola Asuh Ibu Terhadap Perilaku Seks Pranikah Remaja Di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak. ... 91
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
6.1. Kesimpulan ... 99
6.2. Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 101
LAMPIRAN ... 106
ix
2.1 Hubungan Pola asuh dan Karakteristik Anak ... 19
3.1. Hasil Uji Validitas Pola Asuh ... 48
3.2. Hasil Uji Validitas Pergaula Teman Sebaya ... 49
3.3. Hasil Uji Validitas Variabel Media Informasi ... 50
3.4. Hasil Uji Validitas Perilaku Seks Pranikah ... 50
4.1. Jumlah Dusun dan Jumlah Jiwa di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 57
4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 59
4.3. Distribusi Jawaban pernyataan Berdasarkan Pola Asuh Ayah di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 61
4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Asuh Ayah di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 63
4.5. Distribusi Jawaban Pertanyaan Berdasarkan Pola Asuh Ibu di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 64
4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Asuh Ibu di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 66
4.7. Distribusi Jawaban Pertanyaan Berdasarkan Pergaulan Teman Sebaya di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 67
x
Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 69 4.10. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Media Informasi di Desa
Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 70 4.11. Distribusi Jawaban Pertanyaan Berdasarkan Perilaku Seks
Pranikah di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 71 4.12. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perilaku Seks Pranikah di
Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 72 4.13. Hubungan Pola Asuh Ayah dengan Perilaku Seks Pranikah Remaja
di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 73 4.14. Hubungan Pola Asuh Ayah dengan Pekerjaan Ayah di Desa Bulu Cina
Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 74 4.15 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Prilaku Seks Pranikah Remaja di Desa
Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 75 4.16. Hubungan Pergaulan Teman Sebaya dengan Perilaku Seks
Pranikah Remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015 ... 76
xi
4.18. Pemilihan Kandidat Model untuk Tahap Pemodelan Multivariat ... 78
4.19. Metode Alternatif ... 79
4.20. Hasil Uji Interaksi ... 80
4.21. Hasil Analisis Regresi Logistik ... 80
xii
2.1. Kerangka Teori menurut Swenson dan Prelow (2005), Ghifari (2004)
Shochib (2000) ... 39 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 43
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Remaja sebagai generasi penerus bangsa akan membawa tongkat estafet pembangunan suatu negara. Oleh karena itu remaja yang merupakan cikal bakal pemuda harus memiliki sikap yang dapat dibanggakan dan diandalkan, karena remaja memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan suatu bangsa.
Diharapkan pemuda menjadi manusia yang sehat jasmani, rohani, memiliki identitas, kepribadian dan cerdas secara intelektual.
Menurut Hurlock (2003), masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Pada masa ini remaja mengalami perubahan baik dari segi emosi, tubuh, minat dan pola perilaku yang penuh dengan permasalahan. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah remaja umur 10-24 tahun sangat besar, yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa. Melihat jumlahnya yang sangat besar, maka remaja sebagai genarasi penerus bangsa perlu disiapkan menjadi manusia yang sehat secara jamani, rohani dan cerdas secara intelektual. Masa ini tidak hanya menjanjikan kesempatan untuk menuju kehidupan yang berhasil di masa depan, tetapi juga mengakibatkan risiko terpaparnya masalah kesehatan. Masalah yang menonjol dikalangan remaja meliputi masalah seksualitas, HIV dan AIDS serta Napza (BKKBN, 2014).
1
Menurut Ibrahim (2010), remaja adalah seorang individu yang sedang berada dalam masa persiapan menuju kedewasaan, terjadi perkembangan secara pesat baik fisik, psikologis dan intelektual. Pada masa ini, para remaja cenderung memiliki rasa keingintahuan yang besar dan mulai menyukai petualangan dengan mencoba hal-hal yang baru. Remaja memerlukan bimbingan agar mereka dapat membuat pilihan yang benar, sehingga penting sekali bahwa setiap remaja memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kewajiban-kewajiban mereka untuk melindungi serta hak-hak mereka atas tubuhnya.
Pengetahuan remaja yang serba tanggung tentang seks dan kesehatan reproduksi, membuat remaja mencari tahu dengan cara melakukannya. Remaja kurang menyadari akibat yang ditimbulkan dari aktifitas seksual dan tidak paham terhadap alat kontrasepsi atau gejala-gejala penyakit menular seksusl (PMS).
Kebanyakan dari remaja mencari penjelasan kepada teman sebaya, melihat gambar porno dari buku maupun internet. Remaja dapat dengan mudah mengakses internet, mendapatkan informasi yang tidak dibatasi umur, tempat dan waktu. Informasi yang diperoleh biasanya akan diterapkan dalam kehidupan kesehariannya, ada juga yang mendapatkan informasi dari orang tua tetapi kurang lengkap (Dianawati, 2006). Maka remaja memerlukan bimbingan agar mereka dapat menentukan pilihan yang benar terhadap perilaku seks dan kesehatan reproduksi.
Menurut Sarwono (2007), perilaku seks pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis, maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama, perilaku
tersebut bersifat aktif dan pasif. Perilaku seks dikalangan remaja cenderung meningkat. Dari data Annisa Foundation (2006) dalam Wibowo (2010), menunjukkan bahwa 42,3% remaja SMP dan SMA di Cianjur, Jawa Barat, melakukan hubungan seks yang pertama di bangku sekolah dan melakukannya berdasarkan rasa suka dan tanpa paksaan. Selanjutnya yang dilakukan oleh Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007), menunjukkan bahwa remaja perempuan dan laki-laki usia 15-24 tahun yang menyatakan pernah melakukan hubungan seks pranikah masing-masing 1% pada wanita dan 6% pada laki-laki. Masih berdasarkan sumber data yang sama, menunjukkan pengalaman berpacaran remaja semakin berani dan terbuka, dengan data berpegangan tangan, laki-laki 69% dan perempuan 68,3%, berciuman, laki-laki 41,2 % dan perempuan 29,3%, meraba/merangsang, laki-laki 26,5% dan perempuan 9,1% (BKKBN, 2014).
Menurut data BKKBN (2008), sebanyak 63% remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan seks pranikah. Hubungan seks yang dilakukan, dilandasi pemikiran bahwa apabila melakukan hubungan seks satu kali tidak menyebabkan kehamilan. Menurut data Depkes (2009), yang melakukan penelitian di 4 kota besar (Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya), menunjukkna bahwa 35,9%
remaja mempunyai teman yang pernah berhubungan seks pranikah, dan 6,9%
responden telah melakukan hubungan seks pranikah (BKKBN, 2014).
Berdasarkan penelitian dari Australia National University (ANU) dan pusat penelitian kesehatan Universitas Indonesia tahun 2010 di Jakarta, Tanggerang, Bekasi (JATABEK), dengan sampel 3006 responden (usia 17-24 tahun), menunjukkan
bahwa 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah, dan 38,7% remaja mengalami kehamilan sebelum menikah. Pada tahun 2012, Komnas Perlindungan Anak melakukan penelitian kepada remaja SMP dan SMA, diperoleh hasil dari 4.726 responden, sebanyak 97% mengatakan pernah menonton pornografi, 93,7% mengaku sudah tak perawan, bahkan 21,26% sudah pernah melakukan aborsi (BKKBN, 2014).
Kasus aborsi merupakan imbas dari hubungan seksual pada remaja. Penelitian yang dilakukan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27% dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus tetapi gagal (Syafrudin, 2011). Menurut BKKBN (2012), dari 552 remaja yang ada di Sumatera Utara, diketahui sebanyak 86,3%
remaja yang berpegangan tangan ketika berpacaran, 32,2 % remaja yang melakukan cium bibir dan sebanyak 8,2% remaja yang melakukan rabaan/rangsangan.
Sumber masalah seks remaja terutama hubungannya dengan penyimpangan seksualitas/seks pranikah pada dasarnya bukan murni tindakan dari diri mereka sendiri, melainkan ada faktor yang mempengaruhi dari luar. Fakor tersebut antara lain, keluarga melalui pola asuh orang tua, lingkungan, media informasi (Ghifari, 2004). Orang tua sudah selayaknya memberikan pola asuh yang tepat kepada remaja, pola asuh orang tua telah diidentifikasi sebagai pengaruh yang sangat penting dalam membentuk sikap dan perilaku remaja, adapun jenis pola asuh orang tua adalah pola asuh authoritarian, authoritative, permissive (Yusuf, 2006).
Pengawasan dan perhatian orang tua yang longgar, yang mengizinkan pola pergaulan bebas, lingkungan yang semakin permisif, semakin banyak hal yang memberikan rangsangan seksual yang sangat mudah dijumpai dan fasilitas yang mendukung sering kali diberikan orang tua sendiri tanpa disadari (Pankahila, 1997).
Komunikasi aktif dengan orang tua, pola asuh dengan pengawasan yang ketat dan orang tua yang masih lengkap mengurangi dan menunda remaja melakukan hubungan seks sebelum menikah. Pola asuh orang tua sangat menentukan bagaimana remaja itu akan berperilaku (Prasnata, 2005).
Conger & Chao (1996) dalam Santrock (2007) mengatakan bahwa remaja yang kedua orang tuanya mengalami perceraian dan diasuh oleh ibu atau bapak saja akan memperlihatkan perilaku seksual yang lebih tinggi, sedangkan Wolfinger (2000) dalam berk (2012) mengatakan bahwa remaja yang mempunyai orang tua yang menikah di usia muda akan memperlihatkan perilaku seksual dini yang lebih tinggi.
Salah satu dampaknya adalah bagaimana mendidik anak dengan pola asuh yang tepat dan benar, karena sampai saat ini banyak ditemukan kasus yang terjadi pada anak dengan orang tua yang menikah di usia muda menjadikan orang tua sebagai sosok yang penelantar, permisif dan otoriter. Orang tua yang demokratis jarang ditemukan, akibatnya keturunan mereka berisiko terlibat dalam aktifitas seksual tidak bertanggung jawab ketika mereka mencapai pubertas (Berk, 2012).
Menurut Rohner & Rohner (1981) dalam Santrock (2007), pada studi mengenai perilaku pengasuhan yang dilakukan pada 186 budaya negara di dunia menemukan bahwa pola asuh yang paling banyak dijumpai adalah gaya pengasuhan
yang hangat dan terkendali, gaya ini tidak bersifat permisif ataupun membatasi.
Keluarga merupakan awal pola pengasuhan anak, biasanya pengasuhan dilakukan secara bersama untuk membesarkan anak. Apabila kurangnya pengasuhan dari kedua orang tua secara efektif, merendahkan salah satu orang tuanya, kurangnya kerja sama dari kedua orang tua dan kehangatan, hal tersebut menempatkan anak pada risiko masalah (Feinberg & Kan, 2008 dalam Santrock, 2014).
Dari hasil penelitian dilakukan oleh Hidayati (2013), menunjukkan ada hubungan antara pola asuh permisip, jenis kelamin dan sikap terhadap perilaku seksual, ada pengaruh teman sebaya, usia bapak menikah, pendidikan ibu, pendidikan bapak, pasangan atau pacar, jumlah pacar dan paparan jenis media, jenis media pornografi terhadap perilaku seksual remaja. Hasil penelitian yang dilakukan Fatimah, Hidayat dan Maryatun (2013), mengatakan makin baik hubungan orang tua dengan anak remajanya, makin rendah perilaku seksual pranikah remaja. faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja paling tinggi adalah hubungan antara orang tua dengan remaja, tekanan peer group dan pemahaman tingkat agama.
Menurut Wentzel & Watkins (2011) dalam Santrock (2014), pada kenyataannya remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman sebayanya. Umumnya mereka memiliki usia, tingkat kematangan atau kedewasaan yang sama. Teman sebaya memegang peran yang unik dalam perkembangan, salah satu fungsi terpenting teman sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga. Menurut Yusuf (2006), memiliki teman
dapat memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dapat diambil apabila teman-teman yang berorientasi secara akademik, terampil sosial dan mendukung dapat memacu untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya dampak negatif yang dapat timbul akibat pergaulan teman sebaya seperti penyalahgunaan narkoba dan seks pranikah (Cook, Deng dan Margono, 2007 dalam Santrock, 2014), bergaul dengan teman–teman yang nakal sangat meningkatkan risiko menjadi nakal (Farrington, 2010 dalam Santrock, 2014).
Selain peran orang tua dan teman sebaya, media informasi juga sangat berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah (Hidayati, 2013). Menurut Brown (2008), banyak yang telah menulis tentang pengaruh media terhadap perilaku seksual remaja, terutama yang berhubungan dengan keputusan remaja tentang seks, beberapa topik diskusi remaja tentang seksualitas sebagai pengaruh dari media. Kekuatan dan cakupan media menembus semua konteks, serta memberikan pengaruh pada pengetahuan, sikap dan perilaku seksual baik secara positif maupun negatif.
Menurut Mohammad (1998), media cetak dan elektronik merupakan media yang paling banyak dipakai sebagai penyebarluasan pornografi. Akibat dari kemajuan teknologi terutama internet, membuat remaja dapat dengan mudah mengakses pornografi, kebanyakan dari remaja menyimpannya di handpone dan tidak jarang mereka saling bertukar atau memberikan kepada temannya yang lain. Remaja tidak menyadari hal buruk yang akan ditimbulkan dari melihat pornografi, dengan melihat pornografi akan berefek pada kecanduan, kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama berulang-ulang. Menurut Set (2007), bila remaja yang kecanduan media
pornografi akan mendorong mereka melakukan perilaku berisiko bahkan sampai melakukan hubungan seksual.
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak, dengan mewawancarai 10 remaja dan 2 kepala dusun diperoleh permasalahan. Pada tahun 2013 – 2014 telah terjadi 9 kasus perilaku seks pranikah yang mengakibatkan kehamilan, remaja yang melakukan seks pranikah rata- rata berusia 16-19 tahun. Pada saat ditanyakan kepada 10 remaja mereka semua pernah mempunyai pacar hanya 3 dari remaja saat ini yang sedang tidak mempunyai pacar. Bagi mereka mempunyai teman dekat yang berlainan jenis adalah hal yang wajar dan orang tua tidak melarang apabila mereka memiliki pacar. Ketika ditanya mengenai kehamilan di usia muda, rata-rata dari mereka tidak setuju jika ada remaja seumur mereka sudah hamil, apalagi bila kehamilan disebabkan oleh perilaku seks pranikah.
Berdasarkan uraian dan penjelasan tersebut maka perlu dikaji pengaruh pola asuh orang tua, pergaulan teman sebaya dan media informasi terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah apakah pola asuh ayah, pola asuh ibu, pergaulan teman sebaya dan media informasi berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh ayah terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
2. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh ibu terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
3. Untuk mengetahui pengaruh pergaulan teman sebaya terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
4. Untuk mengetahui pengaruh media informasi terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
1.4. Hipotesis
1. Ada pengaruh pola asuh ayah terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
2. Ada pengaruh pola asuh ibu terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
3. Ada pengaruh pergaulan teman sebaya terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
4. Ada pengaruh media informasi terhadap perilaku seks pranikah remaja di Desa Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2015.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini memberikan masukan tentang pola asuh ayah, pola asuh ibu pergaulan teman sebaya, dan media informasi terhadap perilaku seks pranikah kepada BKKBN dalam membuat perencanaan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) dan bina keluarga remaja (BKR), agar remaja mampu mencegah perilaku seks pranikah dan meningakatkan pengetahuan orang tua dalam pembinaan tumbuh kembang remaja
2. Kepada remaja sebagai bahan informasi dan masukan agar dapat menjaga tingkah laku remaja sehingga terhindar dari hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai agama khususnya dalam perilaku seks pranikah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pola Asuh
Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik anak. Menurut Tarmizi (2009) dan Pentrato (2006), pola asuh adalah pola perilaku yang diterapkan kepada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Setiap orang tua memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dan bermacam-macam, salah satunya adalah mengasuh dan mendidik anak.
Pengasuhan menurut Prasetya (2013), adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin atau mengelola. Menurut Krisnawati dalam Ebin (2005), pola asuh terbagi atas dua kata, pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu, sedangkan mengasuh adalah membina interaksi dan komunikasi secara penuh, sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa serta mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut Hurlock pola asuh orang tua adalah cara orang tua dalam mendidik anak.
Jas dan Racmadiana (2004), mengatakan setiap orang tua memiliki cara yang berbeda dalam mendidik anak. Cara yang dilakukan oleh orang tua untuk mendidik anak disebut sebagai pola asuh. Orang tua cenderung menggunakan cara yang dianggap paling tepat dan baik untuk anak, disinilah letak terjadinya beberapa perbedaan dalam pola asuh. Disatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh 11
yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, di sisi lain sebagian orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentu lebih baik dari orang tuanya.
Pola asuh orang tua dapat membentukan karakter seorang anak hingga masa remaja dan dewasa, hal ini dapat terjadi karena pengasuhan telah dimulai sejak kecil dalam keluarga, pola asuh yang tepat pada seorang anak dapat menghindarkan anak dari pengaruh buruk lingkungan seperti penggunaan narkotika dan perilaku seks pranikah. Menurut Penelitian Maryatun (2013) menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua mempunyai peran dengan perilaku seksual remaja. Pada hasil uji statistik ditemukan remaja dengan pola asuh autoritarian berpeluang untuk melakukan perilaku seksual yang wajar sembilan belas kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang diasuh dengan pola permisif. Tetapi tidak semua pola asuh memberi dampak yang baik untuk anak, hal ini dikarenakan jenis pola asuh yang diberikan orang tua tidaklah sama pada setiap anak.
2.1.1. Jenis Pola Asuh
Baumrind (1996) dalam Yusuf (2006), mengatakan bahwa gaya pengasuhan datang dalam tiga bentuk yaitu : authoritative, authoritarian, permissive. Ketiga pola pengasuhan ini memiliki ciri khas masing-masing dan memberikan efek yang berbeda kepada tingkah laku anak.
1. Pengasuhan Authoritative (demokratis) adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ketat terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati pemikiran, perasaan,
serta mengikut sertakan anak dalam pengambilan keputusan. Santrock (2003) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan pola pengasuhan orang tua yang demokratis akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam mengahdapi masa depannya. Pola pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak. Anak-anak yang hidup dalam keluarga yang demokratis akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis. Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, dan memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.
2. Pengasuhan Authoritarian (otoriter) adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengemukakan pendapat. Orang tua otoriter juga cenderung bersikap sewenang-wenang dan tidak demokratis dalam membuat keputusan, memaksa peran-peran atau pandangan-pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri, serta kurang menghargai pemikiran dan perasaan mereka. Pola pengasuhan orang tua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang anak terhadap orang tuanya (Rice, 1996). Pola pengasuhan ini menyebabkan remaja akan
kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 2003).
Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orang tua dengan pola pengasuhan otoriter cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah diterapkan oleh orang tuanya, cenderung mengucilkan dirinya dan kurang berani dalam menghadapi tantangan tidak merasa bahagia. Namun dibalik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita dibandingkan kelompok peer groupnya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan anak cenderung untuk selalu tergantung pada orang tuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Hal ini disebabkan karena semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orang tuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang anak yang berada dalam asuhan orang tua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.
3. Pengasuhan Permissive (permisif) adalah pengasuhan orang tua yang berfokus pada anak. Orang tua tidak memiliki control kepada anak, segala aturan diserahkan kepada anak, anak diberi kebebasan untuk berbuat sesuai keinginan.
Orang tua yang demikian umumnya membiarkan anaknya untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya. Orang tua yang
cenderung atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya dan lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari pola pengasuhan dari orang tua yang permisif. Pola pengasuhan demikian dipilih oleh orang tua yang permisif karena mereka menganggap bahwa anak harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa.
Orang tua yang permisif bersikap lunak, lemah, dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderung tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anaknya, dan memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap anaknya menurut pandangan orang tua yang permisif adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang anak (Steinberg, 1999).
Menurut Baumrind (1971), anak yang berada dalam pengasuhan orang tua yang permisif sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial, mereka sulit mengendalikan desakan hati, tidak patuh dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain. Tingkah laku sosial anak kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat buruk, tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Santrock, 2003).
Meskipun di satu sisi pola pengasuhan yang permisif dapat memberikan anak kebebasan untuk bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggungjawab. Anak yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya
pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orang tua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan.
Jika anak menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orang tua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orang tuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice, 1996).
Remaja dari orang tua yang memiliki pola pengasuhan permisif tidak terlibat ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua dengan pola pengasuhan demokratis. Masalah perilaku tersebut misalnya seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi, remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan, menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orang tuanya karena merasa telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak
tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak.
2.1.2. Faktor yang Memengaruhi Pola Asuh
Faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Hurlock (2007) sebagai berikut:
1. Usia orang tua
Menurut Hurlock (1998) dalam Wawan dan Dewi (2010), semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seorang yang lebih dewasa dipercaya dari pada orang yang belum dewasa. Hal ini di karenakan pengalaman dan kematangan seseorang. Dalam hal pola asuh orang tua dengan usia yang matang dan pengalaman diharapkan akan memberi dampak yang positif bagi pengasuhan.
2. Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan, antara lain : terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak. Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson dalam Supartini (2004), menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu, untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam
mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Ibu sangat berpengaruh pada perilaku remaja. Ibu berpendidikan tinggi mempunyai kemampuan kognitif yang tinggi dan mendapatkan informasi yang lebih baik, sehingga mampu memberikan keputusan terkait dengan masalah remaja, selanjutnya mampu mencegah perilaku seksual remaja (Hurlock, 2003). Ariani (2006), melakukan penelitian di Bogor Barat menemukan bahwa remaja yang memiliki ibu berpendidikan rendah, memiliki resiko untuk berperilaku merokok, agresif dan seksual 5,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang mempunyai ibu berpendidikan tinggi.
3. Pekerjaan orang tua
Han (2009) dalam Santrock (2014), menyatakan pekerjaan dapat menghasilkan efek pengasuhan, baik positif ataupun negatif. Clarke dan Stewart (2006) dalam Santrock (2014), mengatakan bahwa yang penting bagi perkembangan anak adalah sifat pekerjaan orang tua, dari pada apakah salah satu orang tua bekerja di luar rumah. Hal ini dikarenakan orang tua yang memiliki beban/kondisi yang buruk di tempat kerja seperti beban kerja yang berat, stress pada pekerjaan, cenderung lebih mudah marah di rumah dan terlibat dalam pengasuhan kurang efektif, dari pada rekan-rekan mereka yang memiliki kondisi kerja yang lebih baik dalam pekerjaan mereka.
Ada dua cara menilai pola asuh, yaitu pola asuh menurut persepsi anak dan pola asuh menurut orang tua. Pola asuh menurut persepsi anak adalah dengan mengajukan
pertanyaan pola asuh kepada anak sesuai dengan parental authority questionnair (Buri, 1991), sedangkan pola asuh menurut orang tua dengan mengajukan pertanyaan kepada orang tua. Untuk mengukur pola asuh digunakan kuesioner yang mengandung pernyataan masing-masing pola asuh. Pernyataan tersebut masing-masing memuat beberapa indikator, yaitu:
1. Indikator pola asuh authoritative (demokratis) terdiri dari : orang tua memberi dukungan pada anak, komunikasi terjalin dengan baik, kontrol dalam hal yang dianggap perlu dan memiliki kekuatan dalam mengasuh anak.
2. Indikator pola asuh authoritarian (otoriter) terdiri dari : penerapan disiplin yang tinggi, kurang berkomunikasi dengan anak, sering menggunakan hukuman dan pembatasan serta mengasuh dengan kekerasan dan kemarahan.
3. Indikator pola asuh permissive (permisif) terdiri dari : orang tua menuruti kehendak anak, komunikasi dengan anak relatif baik, tidak menuntut tanggung jawab anak dan membiarkan anak berkembang apa adanya.
Hubungan Pola asuh dan Karakteristik Anak
POLA ASUH KARAKTERISTIK ANAK
ORANG TUA YANG
AUTHORITATIVE (DEMOKRATIS) Hangat, terlibat, responsif, menunjukkan rasa senang dan dukungan pada tingkah laku yang konstruktif, mempertimbangkan keinginan anak dan meminta pendapatnya, menawarkan alternatif.
Menetapkan standar, Mengkomunikasikan dengan sungguh-sungguh, tidak memaksa anak, tidak suka pada tingkah laku yang buruk, menentang anak yang tidak patuh.
Mengharapkan kedewasaan, Kemandirian,
ANAK YANG ENERGIK DAN BERSAHABAT
Ceria. Punya kontrol diri dan dapat mengandalkan diri sendiri.
Mempunyai tujuan, berorientasi pada prestasi.
Menunjukkan minat dan Keingintahuan pada situasi yang baru.
Memiliki tingkat energi yang tinggi.
Mempertahankan hubungan persahabatan
tingkah laku yang Sesuai dengan umur anak.
Membudayakan perencanaan kegiatan dan aktifitas bersama.
ORANG TUA YANG OTORITER
Menampilkan kehangatan, dan keterlibatan positif yang sedikit.
Tidak meminta dan mempertimbangkan keinginan dan pendapat anak.
Melaksanakan peraturan secara ketatnamun tidak menerangkan dengan jelas.
Menunjukkan kemarahan dan ketidak senangan, berkonfrontasi
Menunjukkan kemarahan dan ketidak senangan, berkonfrontasi, dengan anak berkaitan dengan tingkah laku yang buruk dan menggunakan disiplin yang keras dan hukuman.
Memandang anak seperti didominasi oleh dorongan antisosial.
ORANG TUA YANG PERMISIF Cukup hangat.
Mengutamakan kebebasan berekspresidan keinginan.
Tidak mengkomunikasikan dengan jelas peraturan atau pelaksanaannya, mengabaikan atau menerima tingkah laku yang buruk, disiplin yang tidak konsisten, menimbulkan kekerasan dan rengekan, menutupi ketidaksabaran dan kemarahan.
Sedikit menuntut terhadap perilaku dewasa dan mandiri
dengan teman.
Bekerjasama dengan orang dewasa,patuh.
Dapat menangani stress dengan baik
ANAK YANG PENUH KONFLIK DAN LEKAS MARAH
Murung, tidak gembira, tidak mempunyai tujuan.
Silih berganti antara tingkah laku agresif dan merajuk.
Penakut, khawatir, cepat merasa terganggu.
Sikap bermusuhan dan suka berdusta.
Rentan terhadap stress.
ANAK YANG IMPULSIF DAN AGRESIF
Agresif, mendominasi; melawan, tidak patuh.
Mudah marah namun cepat berubah menjadi gembira.
Kontrol diri yang kurang dan kurangbisa mengandalkan diri sendiri.
Impulsif.
Kurang berorientasi pada prestasi.
Tidak memiliki tujuan, sedikit melakukan aktifitas yang memiliki tujuan.
Sumber : Baumrind (1991) dalam Agustiani (2006), Psikologi Perkembangan
2.2. Pergaulan Teman Sebaya
Teman sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira- kira sama (Ghozali, 2005). Teman sebaya memegang peran yang unik dalam perkembangan, salah satu fungsi terpenting teman sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga.
Menurut Mu’tadin (2002), pergaulan teman sebaya adalah kelompok orang- orang yang seumur dan mempunyai kelompok sosial yang sama, seperti teman sekolah atau teman bermain. Dalam perkembangan sosial, remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebayanya, teman sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja.
teman sebaya juga merupakan wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui teman sebaya remaja dapat mengambil berbagai peran dan menjadi sangat bergantung, (Santrock, 2007). Remaja menganggap teman sebayanya sebagai sesuatu hal yang penting, memberikan sebuah dunia tempat kawula muda mulai melakukan sosialisasinya, dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan orang dewasa melainkan oleh teman-temannya.
Menurut Hurlock (2003), remaja banyak menghabiskan waktu dengan teman- teman sebayanya melebihi waktu yang mereka habiskan dengan orang tua dan anggota keluarga yang lain. Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya, maka dapatlah dimengerti bahwa, pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga Hurlock (2003).
Remaja dan dorongan seksual adalah dua hal yang sangat berhubungan erat sehingga tidak bisa dipisahkan. Ini dikarenakan fase remaja umumnya memiliki dorongan seksual yang sangat kuat, sedangkan risiko akibat kegiatan seksual yang menjurus pada hubungan seks belum sepenuhnya mereka ketahui. Umumnya remaja lebih sering melakukan kegiatan bersama teman sebayanya, hal ini memicu munculnya pergaulan yang menganut nilai-nilai kebebasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis akan ia turuti demi memperoleh pengakuan dan penerimaan dari teman sebayanya. Akan dianggap kuno dan ketinggalan zaman kalau tidak mencium atau berciuman dengan pacarnya.
Dalam berteman terjadi interaksi yang saling memengaruhi yaitu konformitas.
Santrock (2003) mengatakan, bahwa konformitas kelompok bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut.
Sarwono (2011) menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja, maka biasanya hal ini sering dianggap juga sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Apabila lingkungan remaja tersebut mendukung untuk dilakukan seks bebas, serta konformitas remaja yang juga tinggi pada teman satu sebayanya, maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan seks bebas (Cynthia, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Condry, Simon, & Bronffenbrenner, 1968 (Santrock, 2003) menyatakan bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya. Pegaulan teman sebaya dapat
memberi pengaruh positif atau negatif pada remaja menurut Yusuf (2006), memiliki teman-teman yang nakal meningkatkan resiko remaja menjadi nakal pula.
Menurut Santrock (2007), remaja menjadi nakal karena mereka tersosialisasi kedalam kenakalan, terutama oleh pertemanan misalnya sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian teman, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh teman menjadi lebih besar.
Demikian pula bila anggota teman mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang, merokok, seks bebas maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikannya perasaan mereka sendiri (Hurlock, 2003). Sebaliknya secara positif, teman sebaya adalah tempat terjadinya proses belajar sosial, yakni suatu proses dimana individu mengadopsi dengan kebiasaan-kebiasaan, sikap, gagasan, keyakinan, nilai-nilai dan pola tingkah laku dalam bermasyarakat dan mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya.
Santrock (2007), mengatakan remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima teman sebaya. Teman sebaya merupakan acuan penting bagi remaja untuk dapat melewati dengan baik, masa-masa sulit pada periode transisi dan pembentukan identitas tersebut. Dalam pergaulan sehari-hari, remaja sangat terikat dengan teman sebayanya, dimana semua tindakan atau perbuatan perlu memperoleh dukungan dan persetujuan sebayanya. sebaliknya merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan atau diremehkan oleh kawan sebayanya. Bagi banyak remaja, pandangan kawan-kawan terhadap dirinya merupakan hal yang sangat penting.
2.3. Media Informasi (informasi dari media)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) media adalah alat/sarana komunikasi. Sebagai alat komunikasi ada 2 media yaitu media cetak (majalah, surat kabar/koran, buku, poster,) dan media elektronik (televisi, radio, handphone, film, internet). Media mempunyai kemampuan untuk menyebarkan pesan ke banyak orang diberbagai tempat sekaligus, menjadikannya sumber kekuatan, terlepas dari informasi/gagasan apa yang disebarkannya. Karena itu berbagai pihak akan berusaha memanfaatkannya, baik itu media elektronik maupun media cetak.
Menurut Brown (2008), banyak yang telah menulis tentang pengaruh media terhadap perilaku seksual remaja, terutama yang berhubungan dengan keputusan remaja tentang seks, media memberikan pengaruh pada pengetahuan, sikap dan perilaku seksual baik secara positif maupun negatif. Menurut Mohammad (1998), media cetak dan elektronik merupakan media yang paling banyak dipakai sebagai penyebarluasan pornografi. Akibat dari kemajuan teknologi terutama internet.
Membuat remaja dapat dengan mudah mengakses informasi yang tidak dibatasi umur, tempat dan waktu. Informasi yang diperoleh biasanya akan diterapkan dalam kehidupan kesehariannya, banyak remaja mengakses gambar atau video porno melalui warnet-warnet yang ada disekitar mereka. kebanyakan dari remaja menyimpan di handpone mereka, bahkan tidak jarang mereka saling bertukar atau memberikan kepada teman yang lain melalui bluetooth.
Remaja tidak menyadari hal buruk yang akan ditimbulkan dari melihat pornografi, dengan melihat pornografi akan berefek pada kecanduan, kemungkinan
besar akan melakukan hal yang sama berulang–ulang. Menurut Set (2007), bila remaja yang kecanduan media pornografi akan mendorong mereka melakukan perilaku berisiko bahkan sampai melakukan hubungan seksual.
2.4. Perilaku Seks Pranikah
Dari segi aspek biologis, perilaku menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000) adalah, suatu kegiatan atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis makhluk hidup mulai dari binatang sampai manusia, mempunyai aktifitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai kegiatan yang sangat luas, adapun kegiatan yang dilakukan antara lain : berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir, berlari, makan dan seterusnya.
Menurut Mu’tadin (2002) Perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sarwono (2007), perilaku seks pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis, maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama.
Menurut Stuart dan Sundeen (1999), Perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan di tempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum. Sebagian besar dari remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja melakukan
sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual. Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas tersebut ada yang dapat diamati secara langsung dan tidak langsung.
Perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respons (Skinner, 1949 dalam Notoatmojo, 2010). Perilaku tersebut dibagi lagi dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Kognitif diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap dan psikomotor dari tindakan (keterampilan). Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Menurut Sarwono (2007), Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku juga merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan yaitu berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan).
Sarwono (2007), juga mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk perilaku seksual, mulai dari bergandengan tangan (memegang lengan pasangan), berpelukan (seperti merengkuh bahu, merengkuh pinggang), bercumbu (seperti cium pipi, cium kening, cium bibir), meraba bagian tubuh yang sensitif, menggesek-gesekkan alat kelamin sampai dengan memasukkan
alat kelamin. Sedangkan menurut Imran (2000) perilaku seksual yang sering ditemukan pada remaja berupa :
1. Berfantasi
Adalah perilaku membayangkan atau mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotis. Jika dibiarkan dalam waktu lama bisa berlanjut ke aktifitas lain, seperti masturbasi, dan lain-lain.
2. Berpegangan tangan
Aktivitas ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya.
3. Cium kering
Merupakan aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi, pipi dengan bibir.
Perilaku ini bisa berlanjut keaktivitas lainnya yang dapat lebih dinikmati.
4. Cium basah
Cium basah merupakan aktivitas seksual berupa sentuhan bibir dengan bibir.
Aktivitas ini menjadikan jantung lebih berdebar-debar dan menimbulkan sensasi seksual yang kuat, yang membangkitkan dorongan seksual hingga tidak terkehendaki, yang tanpa disadari akan terjadi cumbuan, petting, bahkan sampai hubungan intim.
5. Meraba
Kegiatan meraba bagian-bagian sensitif seperti payudara, leher, paha atas, vagina, penis, dan pantat. Bila kegiatan ini dilakukan maka seseorang akan terangsang secara seksual, akibatnya bisa melakukan aktivitas seksual selanjutnya (cumbuan
berat dan senggama).
6. Berpelukan
Aktivitas ini membuat jantung berdegup lebih kencang, menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang, serta menimbulkan rangsangan seksual.
7. Masturbasi
Adalah perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual, biasanya dengan tangan, tanpa melakukan hubungan intim, dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasaan seksual. Bagi laki-laki adalah merangsang penis dengan mengusap-ngusap dan menggosok-gosoknya. Sedangkan perempuan masturbasi biasanya mengusap-ngusap dan menggesek-gesek kemaluan, terutama klitoris dan vagina. Masturbasi digolongkan kedalam kegiatan memuaskan diri sendiri, tetapi kadang-kadang dapat pula terjadi dengan satu pasangan akan merangsang alat kelamin lawan jenisnya untuk mencapai orgasme.
8. Oral
Perilaku seksual dengan cara oral adalah memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.
9. Petting
Petting adalah kesuluruhan aktivitas non intercouse (hingga menempelkan alat kelamin). Masih banyak remaja yang beranggapan tidak akan menyebabkan kehamilan. Padahal perilaku ini dapat menyebabkan hamil, karena cairan pertama yang keluar pada saat terangsang pada laki-laki bisa mengandung sperma walaupun dalam jumlah yang sedikit. Petting dapat berlanjut ke persenggamaan.
10. Senggama
Senggama adalah aktivitas dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Banyak risiko yang diakibatkan dari hubungan seksual pranikah, dari mulai perasaan bersalah, berdosa, ketagihan, merusak masa depan, merusak nama baik pribadi dan keluarga, hingga hamil, terkena PMS, HIV-AIDS.
Bahkan ada yang melakukan aborsi hingga mengakibatkan kematian.
Menurut L”Engle et.al (2005) dalam Tjiptanigrum (2009), mengatakan bahwa perilaku seksual ringan mencakup : Menaksir, pergi berkencan, mengkhayal, berpegangan tangan, berciuman ringan (kening/pipi), saling memeluk, sedangkan yang termasuk kategori berat adalah : Berciuman bibir/mulut dan lidah, meraba dan mencium bagian sensitive seperti payudara, alat kelamin, menempelkan alat kelamin, oral seks, berhubungan seksual (senggama).
Faktor yang juga diasumsikan sangat mendukung remaja untuk melakukan hubungan seksual adalah keluarga dan teman sebaya. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak diantara berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan.
Hubungan orang tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian remaja dan sebaliknya orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga.
2.4.1. Dampak Perilaku Seks Pranikah
Perilaku seks pranikah pada remaja mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan. Adapun dampak perilaku seks pranikah diantaranya :
1. Dampak psikologis
Dampak psikologis dari perilaku seks bebas pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah, dan berdosa.
2. Dampak fisiologis
Dampak fisiologis dari perilaku seks bebas tersebut diantaranya dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan aborsi.
3. Dampak sosial
Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seks bebas yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut.
4. Dampak fisik
Dampak fisik lainnya adalah berkembang penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan sakit kronis serta meningkatakan risiko terkena PMS dan HIV/AIDS (Sarwono, 2011).
2.4.2. Faktor yang Memengaruhi Seks Pranikah
Penyebab perilaku seks pranikah menurut Ghifari (2004) adalah : 1. Kualitas keluarga
Kualitas keluarga yang tidak mendukung anak untuk berlaku baik, bahkan tidak mendapat kasih sayang dari orang tua, dan pergeseran norma positif dari keluarga, di samping itu keluarga tidak memberikan arahan seks yang baik pada remaja, akan dapat membuat remaja berperilaku seks pranikah. Menurut BKKBN (2014), permasalahan yang dihadapi remaja adalah Seksualitas, HIV, dan AIDS serta NAPZA). Melalui pedekatan pola asuh orang tua dalam keluarga diharapkan dapat mencegah permasalahan pada remaja. Karena pola asuh orang tua telah diidentifikasi memiliki pengaruh yang sangat besar/penting dalam pembentukan sikap dan perilaku remaja.
2. Kualitas informasi
Kualitas informasi yang masuk pada remaja sebagai akibat globalisasi mengakibatkan remaja sangat mudah mendapatkan informasi dalam hal seksualitas.
3. Kualitas lingkungan
Kualitas lingkungan yang kurang sehat seperti lingkungan masyarakat yang mengalami kesenjangan komunikasi antar tetangga.
4. Kualitas diri remaja
Kualitas diri remaja itu diantaranya perkembangan emisional yang tidak sehat, kurangnya control diri atau pengendalian diri, mengalami hambatan dalam pergaulan, kurangnya norma agama, ketidak mampuan menggunakan waktu.
Menurut Shochib (2000) sebagai berikut:
1. Lingkungan keluarga 2. Media informasi
3. Lingkungan masyarakat 4. Pergaulan teman sebaya 5. Hilangnya figur ideal
Sedangkan menurut Sarwono (2007), faktor yang memengaruhi seks pranikah sebagai berikut :
1. Perubahan hormone
2. Penundaan usia perkawinan
3. Penyebaran informasi melalui media 4. Norma dalam masyarakat
Santrock (2014) mengutip pendapat Huebner dan Howel (2003), Swenson dan Prelow (2005), mengatakan faktor-faktor resiko untuk masalah-masalah seksual pada remaja dapat meliputi status sosial-ekonomi (SeS) dan lingkungan keluarga/
pengasuhan. Santrock (2014) mengutip pendapat Miller, Benson, dan Galbraith (2001), mengatakan bahwa tinggal di dalam lingkungan yang berbahaya dan
tergolong sosio-ekonomi rendah mengandung risiko untuk mengalami kehamilan di masa remaja.
2.5. Remaja
Banyak ahli yang memberikan definisi/batasan tentang remaja, remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti remaja atau tumbuh menjadi dewasa, bangsa primitive-demikian juga orang-orang zaman purbakala, memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan priode-priode lain dalam rentan kehidupan, anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Istilah adolescence yang sekarang ini memiliki arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik (Hurlock, 2003).
Menurut Papalia dan Olds (2001) dalam Jahja (2011), mengatakan masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal 20 tahun. Sarwono (2007), mengatakan masa remaja adalah masa periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, sejak mulainya seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual.
2.5.1. Ciri- Ciri Masa Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2003), antara lain :
1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi, perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai- nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupaya usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.
6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
7. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan di
dalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderung remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab.
2.5.2. Tahap Perkembangan Masa Remaja
Menurut Depkes RI (2002), tahapan perkembangan masa remaja dibagi menjadi tiga tahap perkembangan yaitu :
1. Masa remaja awal (10-12 tahun)
Ciri khas tahap remaja awal antara lain : Lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan tubuh dan mulai berfikir abstrak.
2. Masa remaja tengah (13-15 tahun)
Ciri khas tahap remaja awal antara lain: Mencari identitas diri, mempunyai rasa cinta yang mendalam dan mengembangkan kemampuan berfikir abstrak serta berkhayal tentang aktifitas seks.
3. Masa remaja akhir (16-19 tahun)
Ciri khas tahap remaja akhir antara lain : Pengungkapan kebebasan diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta dan mampu berfikir abstrak.