• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF, 11 (2) (2022): DOI: /jppuma.v6i PERSPEKTIF. Available online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSPEKTIF, 11 (2) (2022): DOI: /jppuma.v6i PERSPEKTIF. Available online"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Koalisi Elite Politik dalam Pemekaran Daerah Political Elite Coalition in Regional Expansion

Hilal Ramdhani*

Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi, Indonesia

Diterima: 13 Oktober 2021; Direview: 14 November 2021; Disetujui: 30 Desember 2021 Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji koalisi elite politik dalam pemekaran daerah. Masalah difokuskan pada kasus upaya pemekaran Provinsi Cirebon sejak tahun 2009, ketika Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dideklarasikan. Sampai tahun 2019, P3C belum mampu membentuk koalisi elite politik lokal untuk mengusulkan pemekaran Provinsi Cirebon. Guna mendekati masalah ini dipergunakan acuan teori koalisi elite politik dalam pemekaran daerah yang digagas Ehito Kimura. Data-data yang dikumpulkan melalui wawancara dan dokumentasi, kemudian dianalisis secara kualitatif. Kajian ini menyimpulkan bahwa tidak terbentuknya koalisi elite politik lokal untuk pemekaran Provinsi Cirebon dikarenakan adanya perbedaan isu di antara kelompok elite politik lokal yang menyetujui dengan elite politik lokal yang menolak mengenai isu pemanfaatan sumber daya ekonomi, pembangunan daerah, kepentingan politik, etnisitas dan sejarah politik eks-karesidenan Cirebon. Selain itu, lemahnya koalisi elite politik lokal yang hanya didukung oleh tiga wilayah dan perilaku koruptif para elite yang menyetujui usulan pemekaran Provinsi Cirebon baik di tingkat bawah maupun tingkat atas, berakibat pada tidak terbentuknya pemekaran Provinsi Cirebon selama tahun 2009-2019.

Kata Kunci: Elite Politik Lokal; Perbedaan Isu; Koalisi Elite; Pemekaran Daerah; Cirebon.

Abstract

This article aims to examine the political elite coalition in regional expansion. The problem is focused on the case of the expansion of the Cirebon Province since 2009, when the Presidium for the Establishment of the Cirebon Province (P3C) was declared. Until 2019, P3C has not been able to form a coalition of local political elites to propose the expansion of Cirebon Province. In order to approach this problem, the theoretical reference of the political elite coalition in regional expansion initiated by Ehito Kimura is used. The data collected through interviews and documentation, then analyzed qualitatively. This study concludes that the local political elite coalition did not form for the expansion of Cirebon Province due to differences in issues between local political elite groups who agree with local political elites who reject the issue of the use of economic resources, regional development, political interests, ethnicity and former political history. - Cirebon residency. In addition, the weakness of the local political elite coalition which is only supported by three regions and the corrupt behavior of the elites who approve the proposed expansion of Cirebon Province at both the lower and upper levels, resulted in the absence of the expansion of Cirebon Province during 2009-2019.

Keywords: Local Political Elite; Difference Issues; Elite Coalition; Regional Expansion; Cirebon.

How to Cite: Ramadhani, H., (2022), Koalisi Elite Politik dalam Pemekaran Daerah, PERSPEKTIF, 11(2):587-595

*Corresponding author:

E-mail: [email protected]

ISSN 2085-0328 (Print) ISSN 2541-5913 (online)

(2)

PENDAHULUAN

Proses pemekaran Provinsi Cirebon dimulai pada tahun 2009 sampai pada tahun 2019, tepatnya saat Provinsi Cirebon diproklamasikan. Beberapa anggota dewan yang hadir menyatakan dukungannya terhadap berdirinya Provinsi Cirebon.

Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon membuat pengumuman di ballroom hotel di Jalan Tuparev Kabupaten Cirebon.

Ada sekitar 1.000 orang yang hadir, termasuk seluruh Panitia Pendukung Pembentukan Provinsi Cirebon. Selain itu, hadir pula perwakilan dari DPRD, antara lain Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon, Wakil Ketua DPRD Majalengka, dan Ketua DPRD Kabupaten Indramayu. Anggota DPRD yang tidak hadir di wilayah Cirebon hanya perwakilan dari Kabupaten Kuningan (Tempo, 2009).

Dinamika politik berlanjut hingga tahun 2019, namun tidak mampu membangun koalisi di tingkat kabupaten dan kota, karena P3C tidak mampu membujuk elite politik di Kabupaten Majalengka dan Kuningan untuk bergabung dalam koalisi Provinsi Cirebon.

Provinsi Cirebon tidak akan terbentuk jika hanya Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon, dan Kabupaten Cirebon yang bergabung dalam aliansi tersebut. Dalam keadaan politik seperti itu, tidak mungkin untuk membangun provinsi baru karena melanggar batasan legislatif yang tercantum dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, yang mengatur bahwa provinsi harus memiliki minimal lima kabupaten dan/atau kota.

Dinamika elite politik lokal di tingkat Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Kuningan (ciayumajakuning) mengakibatkan terjadinya dinamika elite antar faksi elite yang mendukung dan menentang pembentukan Provinsi Cirebon.

Elite politik lokal di Kabupaten Majalengka dan Kuningan menentang pembentukan Provinsi Cirebon. Masa jabatan Sutrisno sebagai Bupati Majalengka dari 2008 hingga 2013 dan 2013 hingga 2018 menjadi pengingat bagi para penggagas untuk tidak menyamakan Provinsi Cirebon dengan Kabupaten Majalengka. Sutrisno menekankan keterkaitan Kabupaten Majalengka yang terus berlanjut dengan Provinsi Jawa Barat. Sutrisno juga berpesan agar pemekaran kabupaten

diprioritaskan jika jumlah kabupaten pendukung pemekaran Provinsi Cirebon dinilai belum mencukupi (Nastain, 2012).

Sejarah Kabupaten Majalengka yang berada di bawah kekuasaan Sunan Gunung Djati tidak bisa menjadi alasan bagi pemrakarsa Provinsi Cirebon untuk memasukkan Kabupaten Majalengka dalam rencana tersebut. Keengganan Bupati Majalengka untuk pemekaran Provinsi Cirebon sejalan dengan ribuan penduduk Kabupaten Majalengka yang menentang pembentukan Provinsi Cirebon dengan alasan akan membahayakan kemajuan Majalengka (Ruslan, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa persoalan sejarah politik tidak membuat para elite politik di Kabupaten Majalengka menyetujui pembentukan Provinsi Cirebon; justru elit politik di Kabupaten Majalengka mengangkat isu pembangunan daerah untuk menentang usulan pemekaran Provinsi Cirebon.

Bupati Kuningan menolak usulan P3C untuk pemekaran Provinsi Cirebon dengan alasan disibukkan dengan pembangunan di Kabupaten Kuningan. Pertumbuhan Provinsi Cirebon akan mengganggu dan menimbulkan malapetaka di masyarakat.

Bupati Kuningan juga mengkritisi Tim P3C yang terlalu tergesa-gesa dalam mewacanakan Provinsi Cirebon. Penolakan yang dilakukan Bupati Kuningan terkait pemekaran Provinsi Cirebon, selaras dengan sikap masyarakat Kuningan yang menolak bergabung ke dalam bagian Provinsi Cirebon, karena merasa lebih dekat secara etnisitas dengan Jawa Barat yang merupakan etnis Sunda (Ibranif, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa elit politik di Kabupaten Kuningan mengangkat keprihatinan pembangunan daerah dan etnis untuk menentang pemekaran Provinsi Cirebon.

Keengganan Kabupaten Majalengka dan Kuningan untuk bergabung dalam koalisi Provinsi Cirebon menunjukkan kegagalan aliansi elit politik yang mengakibatkan provinsi tersebut tidak terealisasi. Pengaruh dinamika elite tersebut melahirkan konsep pemekaran kabupaten menjadi dua kabupaten baru, Indramayu Barat dan Cirebon Timur (Hidayat, 2011).

Provinsi Cirebon disahkan oleh elit politik Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon. Elit politik lokal mengambil tindakan dengan mengadakan

(3)

kongres untuk membentuk Provinsi Cirebon, karena mereka merasa diabaikan oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Semua strategi pembangunan dikatakan tidak berpengaruh di wilayah Pantura, yang meliputi Cirebon, Indramayu, bahkan Subang dan Karawang (DetikNews, 2008).

Rucita Dewa sebagai perwakilan seniman Cirebon, mengungkapkan selama ini seniman di wilayah Cirebon belum pernah mendapatkan tawaran untuk tampil di luar negeri. Kondisi ini sering kali menyebabkan kecemburuan seniman Cirebon dengan seniman yang ada di Bandung (Tempo, 2009).

Hal tersebut menandakan bahwa isu marginalisasi ekonomi, ketidakadilan pembagian sumber daya alam, kesejahteraan dan kesenjangan pemberdayaan budaya lokal, merupakan isu yang dimunculkan oleh kelompok elite politik yang menyetujui pembentukan Provinsi Cirebon.

Upaya pemekaran Provinsi Cirebon mendapatkan respon Ahmad Heriyawan sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2008- 2013 dan 2013-2018 berpendapat bahwa tidak mempermasalahkan pemekaran Provinsi Cirebon, akan tetapi harus ada lima kabupaten atau kota yang menyetujui untuk bergabung dalam membentuk Provinsi Cirebon.

Upaya pemekaran daerah Provinsi Cirebon yang digagas oleh P3C juga mendapatkan respon dari Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2018- 2022. Ridwan Kamil tidak sepakat dengan adanya pemekaran provinsi di wilayah Jawa Barat, karena menilai pemekaran wilayah tingkat dua lebih penting ketimbang membentuk provinsi baru, seperti pemekaran wilayah Kabupaten Sukabumi Selatan dan Kabupaten Garut Selatan (Abdussalam, 2019).

Terkait dengan usulan P3C kepada partai politik untuk membentuk Provinsi Cirebon, hal itu sudah disampaikan kepada Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim, ia menyatakan bahwa peningkatan populasi penduduk dan bonus demografi mengharuskan daerah Ciayumajakuning menjadi provinsi tersendiri yang terpisah dari Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Cirebon-Indramayu, hanya memberikan persetujuan untuk pemekaran Kabupaten Indramayu Barat (Sadewo, 2018).

Pemekaran Provinsi Cirebon menunjukkan dinamika elit politik lokal

membentuk aliansi politik di tingkat lokal dan nasional dalam rangka membangun Provinsi Cirebon. Kimura menyampaikan teori elit dalam proses pertumbuhan daerah, yang menyatakan bahwa contoh pemekaran Provinsi menunjukkan apa yang dikenal sebagai politik perbedaan. Cita-cita konkuren yang beragam dapat menjadi landasan untuk menciptakan aliansi elit politik (Kimura, 2020). Dengan kata lain, aliansi elit politik dapat dibangun atas dasar perbedaan, bukan hanya dengan mengesampingkan perbedaan;

hal ini sesuai dengan pergerakan teritorial atau regional Indonesia.

Merujuk pandangan Kimura tersebut, tidak ada koalisi yang stabil di wilayah ciayumajakuning karena elit politik justru memperburuk perpecahan politik. Hal ini mengakibatkan kegagalan koalisi elit untuk terbentuk di tingkat lokal, yang sangat penting untuk menerapkan pembagian provinsi di Indonesia.

Kimura menyatakan bahwa dalam pemekaran daerah yang bersifat bottom-up seperti yang terjadi dalam pemekaran provinsi Gorontalo, elite politik yang berkoalisi terbagi menjadi kelompok intelektual, kelompok budaya, tokoh agama dan pebisnis. Elit politik lokal yang sudah berkoalisi perlu untuk memiliki hubungan dengan elite politik nasional, seperti dalam kasus pemekaran Provinsi Gorontalo adanya dukungan dari Habibie, Rahmat Gobel dan Wiranto. Bukan hanya melakukan lobi antar individu, elite politik lokal yang berkoalisi perlu untuk melobi partai politik yang ada di daerah maupun di pusat untuk menyetujui pemekaran daerah. Isu-isu yang muncul dalam kasus pemekaran Provinsi Gorontalo yaitu marginalisasi ekonomi antara Gorontalo dan Minahasa, perbedaan agama dan etnis, serta dominasi Minahasa sejak pemerintahan Presiden Soekarno menjadi dasar pembentukan koalisi pemekaran daerah Provinsi Gorontalo (Kimura, 2007).

Berdasarkan hal tersebut, tampaknya dinamika elite politik lokal yang terjadi di kawasan ciayumajakuning belum berhasil membentuk suatu koalisi yang solid, karena adanya penolakan dari elite politik di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan untuk bergabung dalam koalisi pembentukan Provinsi Cirebon. P3C juga belum berhasil melakukan lobi kepada partai-

(4)

partai politik, terutama yang berkuasa di tingkat lokal maupun nasional, serta belum ada soliditas dari koalisi di tingkat lokal yang seharusnya diwakili oleh lima Kabupaten atau Kota. Kondisi tersebut berdampak pada lemahnya koalisi elite di tingkat lokal untuk mengajukan usulan pemekaran Provinsi Cirebon di Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat.

Terdapat penelitian terdahulu terkait elite dalam pemekaran daerah, seperti Penelitian Razak (2015) menunjukkan wacana etnisitas menjadi salah satu instrumen aktor politik lokal untuk memperjuangkan pemekaran Kabupaten Pinrang Utara.

Sedangkan, penelitian Alian (2019) menunjukkan elite politik daerah yang berperan dalam pemekaran Kabupaten OKU Timur adalah para kepala desa, tokoh masyarakat dan para anggota partai nasional yang terdiri dari para penduduk lokal.

Penelitian Hanafi (2013) mengenai pemekaran Nanggroe Aceh Darussalam menggunakan isu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, peningkatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan antara pusat dengan daerah.

Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut menunjukkan bahwa terdapat peran elite dalam melakukan pemekaran daerah dengan menggunakan isu-isu terkait dengan pembangunan daerah, akan tetapi belum secara rinci mengkaji terkait koalisi elite sebagai penggerak utama pemekaran daerah.

Atas dasar tersebut, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji lemahnya koalisi elite politik dari tingkat bawah sampai tingkat atas yang mengakibatkan kegagalan pemekaran Provinsi Cirebon selama periode 2009-2019.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan masalah yang dihadapi, peneliti menggunakan metodologi kuantitatif dalam penelitian ini. Metode investigasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Penelitian ini dilakukan di lima Kabupaten dan satu Kota yaitu Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Kota Cirebon. Lokasi penelitian dipilih sesuai dengan persyaratan penelitian.

Bupati atau eksekutif stakeholders, Anggota DPRD Kabupaten dan Kota di wilayah Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan Kota Cirebon, serta Kesultanan Kasepuhan Cirebon, bersama penelitian ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik wawancara yaitu baku pertanyaan. Dokumentasi mencari kegiatan ditingkat lokal maupun nasional adalah kegiatan-kegiatan elite politik.

Proses analisis data untuk penelitian ini akan berlangsung tanpa batas waktu dari awal hingga akhir, baik di dalam maupun di luar lokasi. Analisis data terjadi bersamaan dengan proses pengumpulan data. Diantaranya adalah redaksi data, penyimpanan data, dan validasi/verifikasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koalisi elite politik terbentuk atas kesamaan tujuan, maka penting dalam memahami berbagai isu yang muncul dalam proses pemekaran Provinsi Cirebon. Isu-isu yang muncul berdasarkan hasil penelitian, yaitu: isu pemanfaatan sumber ekonomi, isu kepentingan politik, isu pembangunan daerah, isu etnisitas, dan isu sejarah politik eks- karesidenan Cirebon. Kelima isu tersebut menjadi aspek penting ketika terjadinya dinamika di antara kelompok elite politik lokal yang menyetujui dan menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon.

Kelompok elite yang setuju pemekaran Provinsi Cirebon mengenai isu pemanfaatan sumber ekonomi menganggap bahwa kawasan Cirebon memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah ciayumajakuning. Dalam hal, isu pembangunan daerah, wilayah ciayumajakuning akan lebih maju bila memisahkan diri dengan Jawa Barat, salah satu indikatornnya ialah terciptanya pelayanan masyarakat terjangkau.

Kepentingan politik merupakan isu yang digunakan untuk memunculkan tokoh daerah sebagai calon pemimpin di wilayah ciayumajakuning yang akan memperjuangkan kehendak masyarakat. Isu etnisitas digunakan untuk menguatkan soliditas di masyarakat, bahwa terdapat perbedaan etnis antara wilayah ciayumajakuning dengan Jawa Barat.

Isu eks-karesidenan Cirebon digunakan untuk menguatkan soliditas masyarakat dan

(5)

mengangkat kembali budaya Cirebon yang tidak banyaj dimunculkan oleh Jawa Barat.

Kelompok elit yang menentang pemekaran Provinsi Cirebon dengan alasan eksploitasi sumber daya ekonomi berpendapat bahwa daerah ciayumajakuning secara ekonomi tidak siap untuk melepaskan diri dari Jawa Barat dan marginalisasi sumber ekonomi dikarenakan elite politik di wilayah Cirebon dan Indramayu tidak mampu mengelola keuangan pemerintah dengan baik. Isu kepentingan politik dianggap hanya akan menyengsarakan rakyat, karena secara teknokratis wilayah ciayumajakuning belum siap menjadi Provinsi.

Pembangunan daerah yang semakin pesat di Kabupaten Majalengka menimbulkan suatu pandangan bahwa isu pemekaran Provinsi Cirebon hanya akan menghambat pembangunan ekonomi yang sedang dilakukan di Kabupaten Majalengka. Etnisitas juga menjadi isu yang justru digunakan oleh elite di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan untuk menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon, karena mereka merupakan etnis Sunda yang sama dengan Jawa Barat. Isu eks-karesidenan Cirebon sudah tidak lagi relevan dengan zaman di era kemerdekaan, karena elite politik dipilih oleh rakyat bukan berdasarkan keturunan.

Pemaparan tersebut menunjukkan bahwa terjadi dinamika antar elite politik mengenai isu-isu yang muncul dalam pemekaran daerah yang merupakan kebijakan politik atas tuntutan elite, yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kapasitas mengelola pemerintahan secara lebih efektif, tampaknya masyarakat lokal juga kurang mengindahkan tujuan elite selama hak budaya mereka dihormati. Demikian pula, elit masyarakat lokal tampaknya tidak menyeimbangkan sumber daya manusia dan alam mereka secara bijaksana dengan kemampuan mereka untuk menjalankan pemerintahan baru (Tryatmoko, 2016).

Sebagai dampak dari kebijakan desentralisasi, beberapa inisiatif untuk pertumbuhan daerah telah dilakukan oleh elit lokal. Pemekaran daerah dipandang sebagai upaya untuk memaksimalkan potensi suatu daerah guna memaksimalkan efektivitas pembangunan daerah. Tampaknya banyak orang yang terus memperdebatkan masalah ini, karena sejumlah komunitas yang terpisah

mengalami nasib buruk, termasuk kegagalan pertumbuhan. Akademisi telah menekankan kegagalan ini sebagai alasan untuk mengubah Undang-undang yang mengatur kondisi pemekaran.

Pemekaran daerah tampaknya menjadi salah satu pendekatan reformasi teritorial yang disukai Indonesia selama masa reformasi.

Pada awalnya, strategi ini tampaknya mendapat dukungan luas di kalangan elit dan masyarakat, karena berbagai faktor harapan, antara lain sebagai berikut: Pertama, masyarakat merasa bahwa karena pendekatan kedekatan geografis, pelayanan publik akan lebih cepat dan tepat.

Kedua, kaum elite sangat berhasrat untuk mendirikan wilayah administrasi baru, karena pembubaran kekuasaan menciptakan peluang bagi mereka yang belum mencapai kekuasaan. Ketiga, sesuai dengan etos kedaerahan dan etnisitas, individu merasa lebih aman dalam lingkup geografis yang lebih homogen. Keempat, elit dan masyarakat lokal semakin percaya diri dalam mengelola wilayah barunya secara efektif sebagai akibat adanya jaminan keuangan pemerintah berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH) dibiayai oleh pajak.

Keempat kriteria tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan kebijakan merger (Tryatmoko, 2016). Kasus proses pengusulan pemekaran Provinsi Cirebon masuk dalam makna pemekaran daerah dari segi peningkatan kesejahteraan, peningkatan layanan publik, mengatasi rentang kendali, kontestasi elite lokal, mengembalikan kejayaan sejarah dan pemanfaatan sumber daya alam lokal.

Dinamika elite politik lokal dalam proses pemekaran daerah di Indonesia berlangsung secara vertikal dan horizontal. Karena koalisi teritorial berdasarkan gagasan skala ada selama pertumbuhan regional, khususnya wilayah dengan berbagai ukuran yang berkolaborasi satu sama lain, misalnya, koalisi di tingkat nasional dan lokal. Karena ukuran koalisi itu dinamis, politik mungkin vertikal atau horizontal. Tempat atau wilayah yang terpinggirkan dapat bertransisi dari “ruang ketergantungan” ke “ruang keterlibatan”

dengan membentuk koalisi dengan organisasi di berbagai tingkat teritorial, di mana

(6)

kepentingan lokal didahulukan kebijakan melalui pembentukan koalisi tersebut (Arianto

& Afrizal, 2013).

Dalam kasus usulan pemekaran Provinsi Cirebon, seolah-olah terjadi dinamika elit politik lokal yang belum mampu membentuk koalisi elit untuk mengusulkan pemekaran, sebagaimana disyaratkan undang-undang.

Dinamika di antara elite pemerintah yang menyetujui dan menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon menunjukkan adanya sifat dinamis di antara elite politik (Ramdhani, 2019). Seperti hasil wawancara dengan stakeholders di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa pada awal kemunculan usulan pemekaran Provinsi Cirebon, Bupati Majalengka mendapatkan tekanan dari empat wilayah yaitu Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Pada saat itu, Bupati Majalengka menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon.

Lebih lanjut, elite yang menyetujui usulan pemekaran Provinsi Cirebon merupakan elite yang sudah habis masa periode jabatan, hanya kepala daerah Kabupaten Majalengka, pada saat itu yang masih memiliki satu kali periode jabatan.

Sehingga unsur kepentingan politik elite untuk berkuasa di wilayah ciayumajakuning, menjadi dasar para elite politik untuk menyetujui usulan pemekaran Provinsi Cirebon.

Secara personal, Bupati Majalengka mempunyai kedekatan dengan Bupati Kuningan, karena mereka berasal dari kalangan pengusaha. Terjadi konsolidasi politik diantara keduanya, bahwa jika ada isu pemekaran Provinsi Cirebon, maka megaproyek Bandara Internasional Kertajati yang ada di wilayah Kabupaten Majalengka akan dicabut oleh Jawa Barat. Sehingga akan mengganggu kemajuan pembangunan yang ada di Kabupaten Majalengka dan berimbas pada Kabupaten Kuningan, Usulan pemekaran Provinsi Cirebon juga berakibat pada stabilitas politik, apalagi Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan merupakan etnis Sunda.

Atas dasar konsolidasu tersebut, maka terjadi kesepakatan di antara kedua elite untuk menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon.

Kedua elite politik di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan lebih memprioritaskan permasalahan pembangunan daerah dan stabilitas politik, karena dua Kabupaten ini memiliki proyek pembangunan

daerah yang perlu mendapatkan dukungan dari Jawa Barat. Diakui oleh Informan peneliti bahwa bahwa ada tawaran jabatan yang disampaikan oleh P3C kepada Bupati Majalengka, jabatan tersebut tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi merupakan jabatan strategis di Provinsi Cirebon jika sudah terbentuk.

Tawaran jabatan yang disampaikan P3C kepada Bupati Majalengka tidak dapat merubah sikap politik yang menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon, karena menganggap pembangunan daerah berupa megaproyek Bandara Internasional Kertajati lebih penting untuk dipertahankan, daripada memikirkan tawaran jabatan dari P3C yang belum pasti kebenarannya.

Sikap politik dari Bupati Majalengka dan Bupati Kuningan yang menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon, tidak membuat kelompok elit politik Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu diam saja, akan tetapi mereka mengupayakan melakukan pemekaran Kabupaten Cirebon Timur dan Kabupaten Indramayu Barat terlebih dahulu. Ketika dua Kabupaten baru ini terbentuk, maka tidak perlu mengajak Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan untuk bergabung menjadi bagian dari Provinsi Cirebon. Menurut pandangan peneliti, hal ini tidak serta merta memudahkan pengajuan usulan pemekaran Provinsi Cirebon, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu merupakan daerah yang memiliki PAD sangat kecil, sehingga sangat rentan gagal dalam uji kelayakan yang dilakukan oleh Kemendagri.

Dalam upaya pemekaran di Kabupaten Cirebon Timur, hal itu merupakan langkah yang dilakukan oleh kelompok elite politik yang menyetujui pemekaran Provinsi Cirebon.

Dalam prosesnya, usulan pemekaran di tingkat Kabupaten sudah mendapatkan persetujuan dari Jawa Barat yang menginginkan adanya pemekaran di tingkat Kabupaten. Akan tetapi, pemekaran di tingkat Kabupaten juga memiliki permasalahan tersendiri, yaitu kurangnya pendapatan daerah, sumber daya manusia yang rendah, serta adanya penolakan dari beberapa anggota DPRD di Kabupaten Cirebon.

Permasalahan finansial, sumber daya manusia dan penolakan dari DPRD juga dirasakan oleh Kabupaten Indramayu yang akan melakukan pemekaran Kabupaten Indramayu Barat.

(7)

Dinamika elite politik lokal di wilayah ciayumajakuning juga didasarkan atas perbedaan etnis. Adanya perbedaan etnisitas antara Jawa Barat dan wilayah ciayumajakuning, akan tetapi untuk wilayah Kabupaten Kuningan mayoritas masyarakat merupakan etnis Sunda. Terdapat beberapa keberatan dari masyarakat Kabupaten Kuningan untuk bergabung menjadi bagian dari Provinsi Cirebon, karena merasa lebih dekat dengan Jawa Barat.

Menariknya penolakan Bupati Kuningan tersebut berbeda pandangan dengan hasil Pansus DPRD Kabupaten Kuningan yang justru menyetujui pembentukan Provinsi Cirebon.

Ketua DPRD Kabupaten Kuningan mengakui bahwa DPRD Kuningan Periode 2009-2014 menyetujui usulan pembentukan Provinsi Cirebon. Anggota dari Pansus tersebut merupakan anggota Dewan yang tidak terpilih lagi pada masa jabatan berikutnya, sehingga mereka berpikir kalau terbentuk Provinsi Cirebon akan memberikan peluang mendapatkan kekuasaan legislatif kembali.

Penolakan Bupati Kuningan untuk menyetujui usulan pembentukan Provinsi Cirebon atas dasar perbedaan etnis membuat kelompok elite di Cirebon dan Indramayu merasa kecewa. Informan dari anggota DPRD Kabupaten Cirebon menyatakan bahwa walaupun terdapat perbedaan Bahasa yang digunakan antara Cirebon dan Kuningan, akan tetapi wilayah ini memiliki sejarah politik yang sama. Seharusnya perbedaan etnis tidak boleh menjadi dasar penolakan usulan pemekaran Provinsi Cirebon, apalagi DPRD Kuningan memberikan persetujuan untuk membentuk Provinsi Cirebon.

Dinamika atas isu etnis di wilayah ciayumajakuning memunculkan suatu ide alternatif, selain melakukan pemekaran Kabupaten Cirebon Timur dan Kabupaten Indramayu Barat. Koalisi elite yang mendukung pemekaran Provinsi Cirebon juga mengajukan wilayah Provinsi Cirebon menjangkau kota-kota pantura di sebelah timur seperti Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang. Menurut pandangan peneliti, opsi tersebut terlalu sulit untuk direalisasikan karena akan berhadapan dengan elite di Provinsi Jawa Tengah dan elite di Provinsi Jawa Barat, wilayah-wilayah

tersebut memiliki sejarah politik yang berbeda, walaupun memiliki etnisitas yang sama sebagai Jawa Pantura.

Berdasarkan dimanika elit politik lokal antara yang menyetujui dan menolak usulan pembentukan Provinsi Cirebon, terlihat bahwa dinamika yang terjadi berjalan secara seimbang, dalam artian tidak ada kekuatan politik yang dominan di miliki oleh salah satu elite. Hal ini mengakibatkan ketika elite Bupati Majalengka dan elite Bupati Kuningan menolak, maka elite-elite lain di wilayah ciayumajakuning tidak memiliki power untuk menekan agar Bupati Majalengka dan Bupati Kuningan menyetujui usulan pemekaran Provinsi Cirebon. Diakui oleh ajudan Keraton Kasepuhan Cirebon menyatakan di wilayah ciayumajakuning tidak memiliki tokoh yang dikatakan sebagai local strongman, sehingga menyulitkan pembentukan koalisi di tingkat lokal.

Berdasarkan teori koalisi elite politik lokal, Kimura (2010) menyatakan bahwa provinsi hasil pemekaran yang berasal dari buttom-up biasanya memiliki local strongman yang berperan penting dalam membentuk koalisi elite di tingkat lokal, melakukan lobi ke tingkat tengah (Provinsi) dan atas (Pemerintah Pusat). Seperti dalam kasus pemekaran Banten terdapat tokoh Tryana Sjam'un seorang Pengusaha, Uwes Qorny sebagai tokoh Lebak yang sangat di hormati masyarakat dan Irsyad Djuwaeli sebagai Ketua PB Matla'ul Anwar.

Sedangkan, pemekaran Provinsi Gorontalo terdapat tokoh B.J Habibie, Jendral Wiranto dan Rachmat Gobel. Tidak adanya local strongman di wilayah ciayumajakuning berdampak pada soliditas elite politik lokal dalam membentuk koalisi, diakui oleh P3C bahwa upaya mengusulkan pemekaran Provinsi Cirebon perlu dana yang besar, sedangkan dana yang diperoleh oleh P3C hanya berasal dari sumbangan masyarakat.

Duncan (2007) juga berpandangan bahwa partai politik memiliki peran besar dalam kegiatan pemerintah daerah. Seperti, calon anggota DPRD, DPR dan Bupati atau Walikota harus mendapat dukungan dari partai politik. Kondisi ini menandakan bahwa sikap partai politik berdampak pada perilaku dan keputusan para elite politik di tingkat lokal.

Dalam kasus usulan pemekaran Provinsi Cirebon, partai politik tidak berperan dalam

(8)

mendukung atau menolak usulan pemekaran Provinsi Cirebon, semua keputusan terkait pemekaran Provinsi Cirebon diberikan kepada kader partai yang menjabat di lembaga legislatif maupun eksekutif, sikap partai tersebut dikarenakan tidak ada instruksi dari pimpinan partai di tingkat pusat.

Adapun dukungan partai politik hanya berada di tingkat DPC, itu pun tidak bisa mempengaruhi elite politik di Kabupaten atau Kota lain. Selain itu, dukungan Partai Politik di tingkat DPC dikarenakan Ketua DPC merupakan Kepala Daerah. Tidak adanya dukungan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik berakibat setiap kader partai politik memiliki sikap yang berbeda atas usulan pemekaran Provinsi Cirebon.

Berdasarkan rekapitulasi hasil perolehan kursi DPRD di kawasan ciayumajakuning pada periode 2009-2014 dan periode 2014-2019, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapatkan perolehan kursi DPRD terbanyak di Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sedangkan Golkar mendapatkan perolehan kursi DPRD terbanyak di Kabupaten Indramayu. Berarti hanya ada dua partai politik yang memiliki kekuasaan di wilayah ciayumajakuning, seharusnya kondisi ini akan lebih memudahkan para penggagas untuk melakukan lobi kepada partai politik.

Kenyataannya partai politik tidak berperan untuk melakukan tekanan kepada elite politik lokal di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan untuk menyetujui usulan pembentukan Provinsi Cirebon. Kondisi tersebut berakibat pada keputusan masing- masing kader partai yang berada di legislatif maupun di eksekutif. Sehingga yang muncul adalah kepentingan sektoral setiap Kabupaten dan Kota di wilayah ciayumajakuning. Partai tidak melakukan peran untuk memerintahkan kader yang berada di legislatif maupun eksekutif untuk menyetujui usulan pembentukan Provinsi Cirebon.

SIMPULAN

Pembentukan koalisi elite politik untuk melakukan pemekaran Provinsi Cirebon menunjukkan kemunduran soliditas diantara koalisi elite pada tingkat lokal yang ditandai keluarnya DPRD Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan dari koalisi elite yang menyetujui usulan pemekaran Provinsi

Cirebon. Kondisi itu dikarenakan melemahnya peran P3C karena Ketua P3C menjadi tersangka pidana pemilu di Indramayu.

Adanya kasus elite politik yang mendukung usulan pemekaran Provinsi Cirebon sangat berdampak pada soliditas elite politik lokal yang menyetujui usulan pembentukan Provinsi Cirebon. Kondisi tersebut membuat tidak terbentuknya koalisi elite politik yang kuat baik di tingkat lokal maupun nasional sebagai aspek penting dalam melakukan pemekaran daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, S. (2019). Ridwan Kamil Tak Setuju Pembentukan Provinsi Bogor Raya, Lebih Setuju Pemekaran Kabupaten/Kota. [online]

diakses dari

https://jabar.tribunnews.com/2019/08/12/ri dwan-kamil-tak-setuju-pembentukan-

provinsi-bogor-raya-lebih-setuju-pemekaran- kabupatenkota.

Alian, A. (2019). Elit Politik Lokal dalam Otonomi Daerah: Peranan PPP-KOT dalam Pemekaran Wilayah Oku Timur 2001-2004. Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam, 4(1), 47-58.

Arianto, B., & Afrizal, A. (2013). Fenomena Pemekaran Daerah Di Provinsi Kepulauan Riau (Studi Pemekaran Daerah di Kabupaten Bintan).

Jurnal Selat, 1(1), 33-44.

DetikNews. (2008). 8.000 Orang Berkongres Tuntut Pembentukan Provinsi Cirebon. [online].

Diakses dari

https://news.detik.com/berita/890024/8000- orang-berkongres-tuntut-pembentukan- provinsi-cirebon

Duncan, C. R. (2007). Mixed outcomes: The impact of regional autonomy and decentralization on indigenous ethnic minorities in Indonesia.

Development and change, 38(4), 711-733.

Hanafi, M. S. (2013). Konflik Pemekaran Wilayah di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Pasca Perjanjian Helsinki. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 21(1), 219-240.

Hidayat, A. A. (2011). Provinsi Cirebon Berdiri, Provinsi Jawa Barat "Pudar". [online]. diakses dari

https://www.kompasiana.com/atep_afia/550 913b1a33311b4422e3b42/provinsi-cirebon- berdiri-provinsi-jawa-barat-pudar

Ibranif. (2012). Warga Kuningan Menolak Provinsi Cirebon. [online]. Diakses dari https://www.kaskus.co.id/thread/50a3aff856 2acf3418000084/warga-kuningan-jabar- masuk-sini/

Kimura, E. (2007). Marginality and opportunity in the periphery: The emergence of Gorontalo

(9)

province in North Sulawesi. Indonesia, (84), 71-95.

Kimura, E. (2010). Proliferating provinces: Territorial politics in post-Suharto Indonesia. South East Asia Research, 18(3), 415-449.

Nastain, I. (2012). Majalengka Ogah Ikut Wacana Provinsi Cirebon. [online]. Diakses dari https://news.okezone.com/read/2012/01/28 /340/565334/majalengkaogah-ikut-wacana- provinsi-cirebon

Ramdhani, H. (2019). Realitas Elit Politik Lokal dan Persepsi Masyarakat dalam Proses Pemekaran Daerah. JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA (Journal of Governance and Political Social UMA), 7(2), 219-226.

Razak, F. S. H. (2015). Pergulatan Etnis dalam Pemekaran Daerah (Studi Kasus: Wacana Pemekaran Pinrang Utara). GOVERNMENT:

Jurnal Ilmu Pemerintahan, 8(2), 83-92.

Ruslan. H. (2012). Warga Majalengka Tolak Pembentukan Provinsi Cirebon. [online].

Diakses dari

https://republika.co.id/berita/regional/jawa-

barat/12/01/24/lyb0xw-warga-majalengka- tolak-pembentukan-provinsi-cirebon

Sadewo, K. (2018). Satu Langkah Menuju Pemekaran Cirebon Timur dan Indramayu Barat? [online].

Diakses dari

http://cirebonplus.com/berita/bersiap- menyambut-pemekaran-cirebon-timur-dan- indramayu-barat/

Tempo. (2009). Jawa Barat Didesak Setujui Pembentukan Provinsi Cirebon. [online].

Diakses dari

https://nasional.tempo.co/read/205220/jawa -barat-didesak-setujui-pembentukan-provinsi- cirebon/full&view=ok

Tempo. (2009). Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon Deklarasikan Provinsi Cirebon.

[online]. Diakses dari

https://nasional.tempo.co/read/163726/presi dium-pembentukan-provinsicirebon-

deklarasikan-provinsi-cirebon

Tryatmoko, M. W. (2016). Pemekaran daerah dan persoalan governability lokal di Indonesia.

Jurnal Penelitian Politik, 7(1), 13.

Referensi

Dokumen terkait

Adanya kendala tersebut di atas harus benar-benar menjadi fokus pelayanan DPMPTSP Kota Medan dalam memberikan pelayanan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) serta

calon yang akan diusung oleh partai dalam Pemilukada. Kandidat Hasil Seleksi, Dalam rangka memperoleh calon kandidat terbaik yang hendak diusung dan/atau didukung

Ini berarti responden yang berumur 20-24 tahun saat melahirkan pertama kali akan cenderung memiliki lebih dari 2 anak lahir hidup daripada tidak memilki anak lahir

Mengingat pesan komunikasi di era siber juga dilakukan dengan kanal termediasi, maka strategi hubungan masyarakat, menurut Holtz (2002), perlu memerhatikan beberapa aspek

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Biro Analisis Dan Kajian Strategi Badan Pendidikan Dan Pelatihan Pusat DPP PDI Perjuangan, Utomo (2021), partai dalam

Banyak terjadi perceraian di pengadilan- pengadilan agama yang disebabkan dengan berbagai alasan, diantaranya karena faktor ekonomi, karena Kekerasan Dalam Rumah

Secara umum, terlepas dari peran dan tugas relawan demokrasi dalam kegiatan sosialisasi, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Pidie juga menggunakan kegiatan

Tujuan dari penelitian ini yaitu apakah program rumah pintar pemilu mempunyai pengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat (studi kasus pada kantor komisi pemilihan umum