• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sumber daya Wilayah Pesisir

Fakta menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut telah dikenali secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari lingkungan laut dunia benar-benar diperuntukkan sebagai kawasan yang dilindungi,bila dibandingkan dengan hampir 13% lingkungan darat sebagai kawasan perlindungan. Di perkirakan ±75% dari kawasan perlindungan laut mengalami pengelolaan yang terbatas atau tidak ada pengelolaan sama sekali (WWF, 2000)

Upaya konservasi di alam Indonesia telah dikenal sejak 287 tahun yang lalu (tahun 1714), saat seorang peranakan Belanda-Perancis bernama Cornelis Castelein mewariskan 2 bidang tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) (Wiratno dkk., 2004).

Dalam kurun waktu yang panjang, banyak kawasan perlindungan telah dibentuk terutama untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman dan variasi genetiknya, khususnya fokus pada ekosistem yang rentan dan species yang mempunyai nilai ekonomi penting. Pada saat ini, proses merosotnya mutu dan fungsi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya sumberdaya hutan (termasuk yang berada di dalam Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam) berjalan sangat cepat dalam tingkat yang memprihatinkan, dan telah meningkatkan intensitas konflik pengguna sumberdaya alam serta berdampak

(2)

negatif khususnya untuk fungsi kawasan taman nasional sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2001).

Secara teknis kegiatan konservasi menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjamin keberlangsungan pemanfaatan dan kelestarian alam, yang dituangkan dalam bentuk berbagai kegiatan dan proyek pemerintah melalui instansi-instansi teknis. Dalam perkembangannya hingga sekarang, masih banyak dijumpai proyek-proyek pemerintah yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi alam. Hal ini seringkali menimbulkan ketidakpuasan pihak-pihak pengguna, yang selanjutnya mencoba mendefinisikan dan mengembangkan program-program konservasi yang sesuai kebutuhannya.

Pergeseran paradigma pendekatan teknis program konservasi, yaitu pendekatan atas-bawah yang dilakukan oleh pemerintah, seharusnya diganti dengan pendekatan dari bawah ke atas (pelaksanaannya berawal dan berkembang dari masyarakat). (Anonim, 2001).

2.2 Efektivitas Pengelolaan Sumber Daya Alam 2.2.1 Pengertian Efektivitas Pengelolaan

Efektivitas pengelolaan adalah indeks yang menunjukkan apakah kegiatan manajemen telah mencapai tujuan dan sasaran dari kawasan perlindungan. Hal ini memungkinkan perbaikan manajemen perlindungan kawasan melalui pembelajaran, adaptasi, dan diagnosa masalah spesifik yang mempengaruhi baik tujuan maupun sasaran yang telah dicapai. Selain itu juga

(3)

memberikan jalan untuk menunjukkan akuntabilitas dari pengelolaan sebuah Kawasan Perlindungan Laut (KPL). Mengevaluasi efektivitas pengelolaan dari sebuah kawasan perlindungan bukan merupakan pekerjaan mudah. Sebagai contoh, walaupun usaha pengelolaan terbaik, gangguan alam dapat secara radikal merusak ekosistem tanpa memperhatikan kualitas baik pengelolaan kawasan telah dilakukan. Evaluasi harus tepat dan akurat dalam mengkaji derajat atau ukuran pencapaian secara langsung berkaitan dengan kegiatan manajemen (Pomeroy et al. 2004).

2.2.2 Manfaat Evaluasi Efektivitas Pengelolaan

Menurut Pomeroy et al, (2004) menyebutkan, bahwa melakukan evaluasi pengelolaan akan menawarkan jalan yang terstruktur untuk mempelajari keberhasilan dan kegagalan pengelolaan, serta membantu untuk mengerti bagaimana dan mengapa latihan-latihan dilakukan dan diperbaiki selalu sepanjang waktu. Selain itu evaluasi pengelolaan juga untuk identifikasi langkah dan aktivitas yang jelas, membangun dukungan peraturan baru atau menegakkan peraturan lama, menata agenda konservasi dan skala waktu yang realistis, serta membuka peluang untuk mengikat para pemakai kawasan dalam proses pembuatan keputusan.

Pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan lambat laun berubah menjadi kegiatan profesional. Ada pengakuan terhadap kebutuhan bagi para pengelola pesisir dan kelautan untuk lebih sistematik dalam menggunakan KPL, untuk memperbaiki pembelajaran konservasi kelautan dan membuat contoh terbaik kegiatan pengelolaan. Untuk mencapai kebutuhan ini, terdapat

(4)

kesepakatan umum diantara praktisi konservasi bahwa evaluasi efektivitas pengelolaan akan memperbaiki kegiatan pengelolaan KPL. Efektivitas pengelolaan dari KPL membutuhkan timbal balik informasi secara terus menerus untuk mencapai tujuan. Proses pengelolaan mencakup perencanaan, desain, implementasi, monitoring, evaluasi, komunikasi dan adaptasi. Evaluasi terdiri dari kajian hasil dari kegiatan yang dilakukan dan apakah kegiatan tersebut menghasilkan capaian yang diinginkan. Evaluasi adalah bagian rutin dari proses manajemen. Evaluasi efektivitas pengelolaan dibangun pada rutinitas yang ada.

Manajemen adaptif adalah substansi fundamental yang mendasari siklus proses pengelolaan, yang secara sistematis menguji asumsi-asumsi, pembelajaran terus menerus dengan mengevaluasi hasil, dan selanjutnya memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan manajemen. Hasil dari manajemen adaptif dalam konteks kawasan perlindungan adalah terperbaharuinya efektivitas dan meningkatkan kemajuan menuju pencapaian hasil dan tujuan (Pomeroy et al., 2004).

2.2.3 Tahapan Proses Evaluasi Efektivitas Pengelolaan

Menurut Pomeroy et al. (2004), tahapan proses evaluasi efektivitas pengelolaan meliputi:

1. Memilih kumpulan indikator terukur yang sesuai dengan tujuan dan sasaran kawasan perlindungan laut.

2. Membangun rencana kerja yang realistis dan batasan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi evaluasi.

(5)

3. Mengukur indikator dan mengumpulkan informasi penting untuk mengadakan evaluasi.

4. Mengkomunikasikan hasil ke pengambil keputusan dan para pihak terkait untuk menyesuaikan pengelolaan KPL.

2.2.4 Indikator Efektifitas Pengelolaan

Indikator efektivitas pengelolaan kawasan perlindungan laut menurut Pomeroy et al. (2004) terdiri dari tiga kategori yaitu:

1. Indikator biofisik

a. Kelimpahan species penting b. Struktur populasi species penting c. Distribusi habitat dan kompleksitasnya d. Komposisi dan struktur komunitas e. Keberhasilan merekrut dalam komunitas f. Kesatuan jaring makanan

g. Tipe, level, dan kembalinya usaha perikanan h. Kualitas air

i. Daerah yang menunjukkan tanda kepulihan j. Daerah minim atau tanpa dampak manusia 2. Indikator sosio-ekonomi:

a. Pola penggunaan Sumber Daya Kelautan (SDK) b. Nilai lokal dan kepercayaan tentang SDK

c. Tingkat pengetahuan dampak manusia terhadap SDK

d. Persepsi terhadap ketersediaan sumber makanan dari laut (seafood) e. Persepsi terhadap hasil sumber lokal

(6)

f. Persepsi terhadap nilai bukan pasar dan nilai tidak termanfaatkan g. Material gaya hidup

h. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga i. Kualitas kesehatan manusia

j. Struktur matapencaharian rumah tangga k. Infrastruktur masyarakat dan usaha l. Jumlah dan sifat pasar

m. Pengetahuan para pihak terhadap sejarah alam n. Distribusi pengetahuan formal masyarakat

o. Persentase kelompok pihak dalam posisi kepemimpinan

p. Perubahan kondisi dari gsaris keturunan/leluhur dan sejarah lokasi 3. Indikator pengaturan (governance)

a. Tingkat konflik terhadap sumber

b. Keberadaan lembaga pengelolaan dan pengambilan keputusan c. Keberadaan dan adopsi terhadap rencana pengelolaan

d. Pemahaman lokal terhadap aturan dan peraturan KPL e. Keberadaan dan kecukupan kebijakan yang mendukung

f. Ketersediaan dan alokasi dari sumber-sumber untuk administrasi KPL g. Keberadaan dan aplikasi masukan dan penelitian ilmiah

h. Keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi masyarakat i. Derajat interaksi antara pengelola dan para pihak

j. Proporsi pelatihan para pihak dalam pemanfaatan berkelanjutan k. Tingkat pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi l. Tingkat partisipasi dan kepuasan para pihak dalam pengelolaan

(7)

m. Tingkat keterlibatan para pihak dalam pemantauan n. Prosedur penegakan ditentukan dengan jelas o. Cakupan penegakan

p. Diseminasi informasi

2.2.5 Indikator dan Cara Menggunakannya

Sebuah indikator adalah sebuah unit informasi terukur dalam periode waktu yang akan mengijinkan untuk mendokumentasikan perubahan yang bersifat spesifik dari KPL. Sebuah indikator mengijinkan untuk mengukur aspek yang tidak secara langsung dapat diukur atau sangat sulit untuk diukur, seperti efektivitas. Efektivitas sulit diukur karena efektivitas adalah konsep multidimensi, sejumlah indikator yang berbeda harus digunakan untuk menentukan bagaimana perkembangan KPL. Indikator-indikator ini dapat menyediakan bukti apakah tujuan dan sasaran dari KPL tercapai atau tidak (Pomeroy et al. 2004).

Terdapat 42 indikator seperti yang tercantum diatas, yang terdiri dari 10 indikator biofisik, 16 indikator sosio-ekonomi dan 16 indikator pengaturan. Agar bermanfaat dan praktis, indikator tersebut dikembangkan dengan memenuhi beberapa kriteria yang sesuai dengan lokasi KPL, misalnya tujuan pengelolaan suatu kawasan bisa membutuhkan satu atau lebih indikator. Berdasarkan hasil terbaik (best practices) dilapangan, indikator yang baik memenuhi lima kriteria:

1. Terukur: dapat dicatat dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

2. Tepat (precise): ditentukan dengan cara yang sama oleh semua orang.

(8)

3. Konsisten: tidak berubah sepanjang waktu sehingga selalu mengukur hal yang sama.

4. Sensitif: berubah secara proposional dalam merespon perubahan aktual dalam komponen ukur.

5. Sederhana: indikator sederhana umumnya dipilih dibanding indikator yang kompleks (Pomeroy et al. 2004).

Indikator menyediakan hasil untuk beberapa tujuan:

1. Indikator memberikan masukan ke dalam evaluasi KPL untuk mengukur dan mendemonstrasikan efektivitas pengelolaan.

2. Pengukuran, analisa dan mengkomunikasikan indikator dapat mendorong pembelajaran, pertukaran pengetahuan, dan pemahaman yang baik terhadap kekuatan dan kelemahan dari pengelolaan KPL.

3. Pengelola dan praktisi KPL dapat menggunakan hasil indikator untuk menggarisbawahi perubahan yang dibutuhkan dalam rencana pengelolaan dan kegiatan untuk menyesuaikan dan memperbaiki KPL.

4. Indikator-indikator yang muncul akan membantu untuk mempelajari lebih dalam tentang KPL dan masyarakatnya serta sumber-sumber yang dipengaruhinya (Pomeroy et al. 2004)

2.2.6 Kondisi Sosial Ekonomi

Menurut Bunce dan Bob (2003) disebutkan bahwa pengelola Sumber Daya Alam (SDA) pesisir menyadari bahwa SDA pesisir tidak lagi dapat dikelola hanya dari segi biofisik saja. Perilaku masyarakat ke depan dan pemanfaatan SDA pesisir mempunyai implikasi serius pada kondisi/kesehatan

(9)

biofisik dari ekosistem pesisir dan laut. Pengelolaan SDA pesisir juga mempunyai implikasi serius terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Informasi sosial ekonomi sangat penting untuk pengelolaan pesisir yang efektif.

Sebagai contoh:

 Daerah larangan tangkap diusulkan sebagai bagian dari perikanan yang besar untuk melindungi lokasi ikan memijah dan daerah yang terancam.

Masyarakat pesisir menolaknya karena khawatir akan kehilangan mata pencaharian mereka. Informasi pola penangkapan yang dikumpulkan secara sistematis, jumlah nelayan dan persepsi nelayan akan membantu pengelola menentukan secara akurat siapa yang menerima dampak dan mengidentifikasi pilihan mata pencaharian yang dapat diterima.

 Pembuat kebijakan dan masyarakat umum ingin mengetahui “apakah daerah perlindungan laut sudah berjalan efektif?” Informasi perubahan persepsi masyarakat dalam memenuhi dan menegakkan peraturan dapat mengindikasikan kesuksesan atau kegagalan dari aktivitas pengelolaanjuga penerimaan terhadap kawasan perlindungan laut.

Monitoring sosial ekonomi (sosek) adalah seperangkat panduan untuk program monitoring sosek di wilayah pesisir. Panduan ini menyediakan daftar yang sudah diprioritaskan sesuai dengan indikator sosek yang bermanfaat untuk pengelola pesisir, juga pertanyaan-pertanyaan untuk pengumpulan data dan tabel untuk analisis data. Diharapkan panduan ini akan menjalin kebutuhan-kebutuhan di tiap-tiap site/lokasi. Monitoring sosial ekonomi diharapkan berguna untuk:

(10)

 Menyediakan metodologi untuk mengumpulkan data dasar sosial ekonomi

secara rutin yang berguna untuk pengelolaan pesisir di tingkat lapangan/level site

 Menyediakan dasar untuk sistem regional dimana data di tingkat lapangan

dapat mendukung/sesuai dengan data dasar (database) nasional,regional dan internasional untuk perbandingan.

Monitoring sosial ekonomi juga diharapkan mampu menyediakan wawasan/pengetahuan kepada pengelola, yang kebanyakan datang dari latar belakang pendidikan biologi, menjadi mengerti maksud sosial ekonomi, bagaimana informasi sosial ekonomi bermanfaat untuk pengelolaan di lokasinya (Bunce dan Bob, 2003).

2.3 Posisi Masyarakat Lokal

Roe (2004) menyatakan bahwa kini konservasi berbasis masyarakat menjadi wawasan kebijakan lingkungan global setelah puluhan tahun diperdebatkan. Dalam World Park Congress pada tahun 2003 di Durban, diluncurkan suatu prinsip bahwa biodiversitas sebaiknya dilindungi demi nilainya sebagai sumber daya masyarakat lokal dan sekaligus sebagai sumber daya publik di tingkat nasional dan global, dan bahwa pembagian yang setara antara biaya dan manfaat dari kawasan dilindungi harus terjamin terdistribusi di tingkat lokal, nasional dan global.

Dalam pengelolaan KPL dukungan dan penghargaan masyarakat sangat penting. Ketika masyarakat melihat KPL sebagai beban tanpa mendatangkan dukungan yang positif maka dapat dikatakan pengelolaanitu menjadi tidak

(11)

efektif. Banyak cara masyarakat setempat mendapatkan keuntungan dari KPL meliputi keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA), pelestarian hak-hak adat dan kegiatan-kegiatan budaya hingga pemanfaatan khusus buat masyarakat setempat (Jeanrenaud, 1997).

2.4 Pengaturan Yang Baik di Era Otonomi Daerah

Konservasi di Indonesia akan gagal, apabila tidak berhasil mendapatkan dukungan yang konsisten dari pemerintah daerah. Sementara itu, kecenderungan pemerintah daerah era otonomi ini adalah mengejar pendapatan asli daerah (PAD). Selama arah politik pembangunan belum dirubah, maka kabupaten yang bukan penghasil (baik tambang maupun kayu) sulit mendapatkan porsi dana alokasi khusus (DAK) yang memadai. Pola ini mendorong kabupaten untuk mendapatkan hak eksploitasi sumber daya alam. Kabupaten dengan berbagai macam peraturan daerah (perda) yang ditetapkannya dapat melakukan apa saja.

Hal ini sangat mengkhawatirkan, kaitannya dengan bagaimana kawasan- kawasan konservasi di daerah itu akan bertahan. Dengan dinamika perubahan yang sangat cepat ini, tentu masyarakat tidak bisa berharap banyak akan good governance di daerah-daerah (Wiratno, 2005).

Pengelolaan/konservasi keanekaragaman hayati merupakan tanggung jawab pemerintah serta semua pihak terkait seperti organisasi nonpemerintah, kalangan akademisi, lembaga penelitian serta masyarakat yang diwujudkan melalui konsep pengelolaan SDA secara terpadu dengan memasukkan prinsip

(12)

pendekatan ekosistem. Taman Nasional sebagai salah satu kawasan konservasi mengembangkan model kerja sama kemitraan melalui pembentukan kelembagaan kerja sama kemitraan (Kementrian Lingkungan Hidup, 2005).

2.5 Pengelolaan Kawasan Pesisir di Teluk Kupang

2.5.1 Taman Wisata Alam Laut di kawasan pesisir Teluk Kupang

Taman Wisata Alam Laut (TWAL) adalah suatu kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Dalam beberapa kasus, manajemen KPL yang efektif akan membutuhkan gambaran hubungan sebab-akibat antara kelautan dan lingkungan darat dengan pemanfaatan manusia. Menurut Pomeroy et al (2004) Kriteria Kawasan Perlindungan Laut (KPL):

1. Melindungi keanekaragaman laut dunia yang sangat penting dan spesies- spesies langka

2. Menurunkan kemiskinan

3. Menyediakan masyarakat pesisir yang lebih sehat dengan dasar yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Teluk Kupang adalah teluk terbesar di ujung Barat Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan merupakan pintu gerbang pelayaran terpenting ke Provinsi NTT. Teluk Kupang merupakan kawasan taman wisata alam laut, dan menurut administrasi pemerintahan berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat, Semau, Kupang Tengah, Kupang Timur, dan Sulamu di Kabupaten Kupang, dan berbatasan dengan Kecamatan Alak, Kelapa Lima, Maulafa, serts Oebobo di Kabupaten Kupang. Menurut administrasi kehutanan, TWAL Teluk

(13)

Kupang berada dalam wilayah kerja Sub Seksi KSDA Timor Barat, Sub Balai KSDA Nusa Tenggara Timur, BKSDA VII Kupang (Departemen Kehutanan, 1997).

Berdasarkan letak geografisnya, TWAL Teluk Kupang terletak bada posisi 9,19o-10,57o LS dan 121,30o-124,11o BT. Luas kawasan TWAL Teluk Kupang, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS- II/93 tanggal 28 Januari 1993 adalah 50.000 ha yang terbentang sepanjang pantai Teluk Kupang, Pulau Burung, Pulau Kera, Pulau Tikus, Pulau Kambing, Pulau Tabui, dan Pulau Semau. Topografi daerah di sekitar kawasan TWAL Teluk Kupang pada umumnya datar sampai bergelombang dengan titik tertinggi mencapai 250 meter dpl (Departemen Kehutanan, 1997). Keanekaragaman hayati, dan budaya masyarakat di daratan di dalam kawasan dan/atau di daratan di sekitar kawasan adalah modal dasar pembangunan daerah.

Kawasan perlindungan laut didirikan untuk tujuan skala besar, termasuk melindungi spesies laut dan habitatnya, menjaga keanekaragaman hayati laut, mengembalikan cadangan perikanan, mengelola aktivitas pariwisata, dan meminimalkan konflik diantara berbagai pengguna. Untuk mencapai tujuan ini, sasaran yang spesifik dan terukur harus ditentukan dalam konteks keluaran dan hasil yang dicari. Pada gilirannya membutuhkan pengembangan rencana pengelolaan yang ditentukan dengan baik, identifikasi ukuran keberhasilan dari kawasan perlindungan laut, monitoring dan evaluasi dampak pengelolaan, danpada akhirnya aktivitas tersebut menjadi masukan ke dalam proses perencanaan untuk memperbaiki tujuan, rencana dan capaian. Dengan kata lain, kawasan perlindungan laut harus di kelola secara adaptif. Pemerintah, agen

(14)

donor dan para pihak yang berkentingan (stakeholders) yang mendapat keuntungan dari kawasan perlindungan laut membutuhkan informasi mengenai efektivitas pengelolaan yang akan mengijinkan mereka untuk mengkaji apakah hasilnya sesuai dengan usaha dan sumber daya yang telah dikeluarkan serta apakah sesuai dengan kebijakan dan tujuan pengelolaan (Pomeroy et al, 2004).

Pengelolaan dengan menggunakan pendekatan struktural yang dilaksanakan di kawasan TWAL Teluk Kupang, dirancang untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang dengan tujuan akhir meningkatkan kesehatan terumbu karang untuk menghadapi perubahan iklim seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir di sekitar kawasan, melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Kriteria dasar pengelolaan terpadu dilakukan dengan membangun proses pengelolaan secara partisipatif, melalui pelibatan masyarakat lokal, pihak swasta dan pemerintah daerah dalam membangun konsep perencanaan kolaboratif. Kebutuhan yang sangat mendesak untuk menggunakan indikator-indikator dalam menilai atau mengevaluasi keluaran dari proses yang telah dibangun (WWF, 2003).

2.5.2 Degradasi ekosistem terumbu karang

Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Kenyataan bahwa terumbu karang adalah mantap, terdiri dari bermacam-macam jenis, merupakan ekosistem yang baik adaptasinya dengan tingkat simbiosis ke dalam sangat tinggi, namun tetap tidak membuatnya tahan dari gangguan manusia. Kunzmann (2001) mengatakan, meskipun terumbu karang penting bagi aktivitas perikanan

(15)

dan pariwisata, namun lebih dari 60% terumbu karang dunia terancam akibat aktivitas manusia tersebut. Berdasarkan survey line intercept transect yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dari luas tutupan karang hidup di Indonesia, hanya sekitar 6,2% dalam kondisi sangat baik, 23,72%

dalam kondisi baik, 28,3% dalam kondisi rusak dan 41,78% dalam kondisi rusak berat. Hasil pengamatan oleh juga menunjukkan bahwa terumbu karang di Indonesia memiliki kondisi lebih buruk dari pada terumbu karang di perairan kawasan tengah dan timur Indonesia (Idris,2001).

Kawasan pesisir Teluk Kupang memiliki kondisi ekosistem terumbu karang tidak jauh berbeda dengan kondisi secara keseluruhan di Indonesia.

Berdasarkan hasil monitoring terumbu karang yang dilakukan oleh BAPPEDA Propinsi NTT, didapatkan berupa Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan Teluk Kupang (Gambar 2.1).

(16)

22

PETA SEBARAN TERUMBARANG DI KAWASAN TELUK KUPANG

Gambar 2.1 Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan Teluk Kupang (Bappeda, 2004)

Gambar

Gambar 2.1 Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan Teluk Kupang  (Bappeda, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Selain informasi mengenai fungsi pusat permukiman kota yang tersebar diseluruh Kecamatan yang disusun untuk kurun waktu 20 tahun, dibawah ini akan disajikan informasi

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui bioaktivitas dari ekstrak kloroform kulit batang tumbuhan Rhizophora apiculata (EKRA) terhadap ulat grayak (Spodoptera

Langkah-langkah dalam pengecekkan televisi yang rusak adalah sebagai berikut , Pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa bagian catu dayanya, apakah sudah ada tegangan yang

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 97 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Metode pengujian Black Box Testing adalah metode pengujian yang terfokus kepada kebutuhan fungsionalitas dari sistem, dan tidak terfokus kepada source code

Hasil Audit yang berisikan temuan berupa kondisi, kriteria, akibat, sebab rekomendasi dan tindak lanjut yang diharapkan dari auditi. Kesimpulan berupa jawaban atas tujuan audit yang

Dengan demikian, perencanaan strategis harus menganalisa faktor faktor strategis suatu usaha (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat