• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh: DEDI IRWANSYAH NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh: DEDI IRWANSYAH NIM :"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI NILAI RED-CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW) HARI PERTAMA DAN HARI KEEMPAT TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN PNEUMONIA BERDASARKAN SKOR CURB-65 DAN

SKOR PSI PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TESIS

Oleh:

DEDI IRWANSYAH NIM : 147041107

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

i

SKOR PSI PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik dan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DEDI IRWANSYAH NIM : 147041107

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)
(5)

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(6)

v

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : DEDI IRWANSYAH

NIM : 147041107

Tanda tangan :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7)

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dedi Irwansyah

NIM : 147041107

Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam JenisKarya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul:

KORELASI NILAI RED-CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW) HARI PERTAMA DAN HARI KEEMPAT TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN PNEUMONIA BERDASARKAN SKOR CURB-65 DAN SKOR PSI PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : Juni 2019 Yang menyatakan

Dedi Irwansyah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(8)

vii

SKOR PSI PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS Dedi Irwansyah, Alwinsyah Abidin1, Dairion Gatot2

1Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2Divisi Hemato-onkologi medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Latar Belakang: RDW (Red-cell Distribution Width) merupakan suatu konsep mengukur variasi ukuran sel darah merah. Langkah ini mencerminkan heterogenitas volume sel darah merah dan merupakan komponen dari hitung lengkap (Complete Blood Count / CBC). Sampai sekarang, signifikansi klinis dari RDW telah terbatas pada diagnosis differensial anemia. Namun, laporan terbaru mengaitkan peningkatan RDW dapat memprediksi mortalitas dan morbiditas yang berat pada keadaan kardiovaskular, pneumonia, artritis reumatoid, kanker usus besar dan sindrom metabolik. PSI dan CURB-65 digunakan dalam menilai keparahan penyakit dan memprediksi prognosis pasien pneumonia.

Tujuan: Menilai RDW sebagai marker prognosis kematian pasien pneumonia komunitas melalui skor CURB-65 dan PSI

Metode: Penelitian cohort study ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Juni 2018 hingga Maret 2019 dengan 50 pasien pneumonia komunitas. Pasien dilakukan pemeriksaan RDW hari pertama dan hari keempat, kultur sputum, serta perhitungan skor PSI dan CURB-65. Analisa data menggunakan SPSS 22nd..

Hasil Penelitian: 50 pasien pneumonia dilakukan pemeriksaan RDW hari I dan IV dengan hasil median 13,65% dan 14,70%. Terdapat korelasi positif antara nilai RDW hari IV terhadap CURB 65 dengan kekuatan korelasi sedang (p=0,001;

r=0,486), namun tidak terdapat korelasi terhadap skor PSI (p=0,178). Untuk menilai perbedaan nilai RDW terhadap status hidup diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan nilai RDW hari IV yang bermakna secara statistik terhadap status hidup pasien (p=0,046).

Kesimpulan: RDW hari keempat berkorelasi positif secara signifikan terhadap skor CURB 65.

Kata kunci : RDW, pneumonia komunitas, CURB-65, PSI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(9)

viii

ABSTRACT

CORRELATION OF RED-CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW) IN FIRST DAY AND FOURTH DAY BASED ON CURB-65 SCORES AND PSI SCORES

IN PNEUMONIA COMMUNITY PATIENTS Dedi Irwansyah, Alwinsyah Abidin1, Dairion Gatot2

1Division of Pulmonologi, Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara

2Division of Hemato-oncology Medic, Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara

Introduction : RDW (Red-cell Distribution Width) is a concept of variations in the size of red blood cells and reflects the heterogeneity of the volume of red blood cells. RDW is a component of the complete count (Complete Blood Count / CBC). Until now, the clinical significance of RDW has been limited to the differential diagnosis of anemia. However, recent reports linking increased of RDW can predict severe mortality and morbidity in cardiovascular disease, pneumonia, rheumatoid arthritis, colon cancer and metabolic syndrome. PSI and CURB-65 were used in assessing disease severity and predicting the prognosis of pneumonia patients using PSI and CURB-65

Aim: To investigate the RDW value as a prognosis marker for the death of community pneumonia patients through PSI and CURB-65 scores

Methods: Cohort study was conducted at the Haji Adam Malik General Hospital in Medan from June 2018 to March 2019 with total sample are 50 pneumonia patients. Patients performed RDW examinations on the first and fourth days, sputum cultures, and calculation of PSI and CURB-65 scores. Data analysis using SPSS 22nd.

Result: 50 pneumonia patients were tested for RDW on the first and fourth days with a median result are 13.65% and 14.70%. There is a positive correlation of the fourth day RDW to CURB 65 with moderate correlation (p = 0.001; r = 0.441), but no correlation of the fourth day RDW to PSI (p=0,178). This study assess the difference of RDW for life status patient. It was found that there were differences in the fourth day RDW which was statistically significant for the patient's life status (p = 0.046).

Conclusion: RDW on the fourth day is significantly corelated to CURB 65 scores.

Keyword : RDW, community pneumonia, CURB-65, PSI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(10)

ix

Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan FK USU, Ketua TKP-PPDS FK USU, dan Ketua Program Studi Magister Kedokteran FK USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam dan Magister Kedokteran Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur RSUP H. Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi, dan RS Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit kepada penulis dalam menjalani penelitian dan pendidikan.

3. dr. Refli Hasan, SpPD, K-KV, SpJP(K), FINASIM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan dr. Taufik Sungkar SpPD, K-GEH selaku Sekretaris Departemen yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberikan dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.

4. dr. Ilhamd, SpPD, K-GEH selaku ketua SMF Departemen Ilmu Penyakit Dalam/ RSUP H. Adam Malik Medan dan dr. Wika Hanida Lubis, M.Ked (PD), SpPD, K-Psi selaku ketua Instalasi Rawat Jalan RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu, membimbing, memberi dorongan selama penulis menjalani pendidikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(11)

x

5. dr. Dairion Gatot, M.Ked, SpPD, K-HOM sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam dan Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto SpPD, K-EMD sebagai Sekretaris Program Studi yang telah dengan sungguh-sungguh membantu, membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam yang berbudi luhur serta siap mengabdi dan berbakti pada nusa dan bangsa

6. Khusus mengenai tesis ini, kepada dr. Alwinsyah Abidin, SpPD, K-P dan dr. Dairion Gatot, M.Ked, SpPD, K-HOM selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama mengadakan penelitian juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya tesis ini.

7. Dr. dr. Taufik Azhar, M.Kes selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam menyusun tesis ini.

8. Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing akademik dr. EN Keliat, SpPD, K-P yang telah memberikan masukan, motivasi dan semangat kepada penulis selama menjalankan pendidikan.

9. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H. Adam Malik/ RSUD dr. Pirngadi/ Medan, Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD, K-GH, Prof. dr. Habibah Hanum Nasution, SpPD, K-Psi, Prof. dr.

Sutomo Kasiman, SpPD, K-KV, SpJP(K), Prof. dr. OK Moehad Sjah, SpPD, K-R, Prof. dr. Lukman H. Zain, SpPD, K-GEH, Prof. Dr. Abdul Madjid, SpPD, K-KV, (Alm) Prof. Dr. dr. Harun Alrasyid Damanik, SpPD, SpGK (K), Prof. Dr. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD, K- GEH, Prof. dr. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K), Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, SpPD, K-EMD, Dr. dr. Rustam Effendi YS, SpPD, K-GEH, DR. dr. Juwita Sembiring, SpPD, K-GEH, dr. Yosia Ginting, SpPD, K- PTI, dr. EN. Keliat, SpPD, K-P, dr. Armon Rahimi, SpPD, K-PTI, dr.

Leonardo Basa Dairi, SpPD, K-GEH, dr. Zuhrial Zubir, SpPD, K-AI, DR. dr. Blondina Marpaung, SpPD, K-R, dr. Tambar Kembaren, SpPD, K-PTI, dr. Mardianto, SpPD, K-EMD, Dr. dr. Santi Syafril, SpPD, K-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(12)

xi

Suhartono, SpPD, dr. Asnawi Arief, SpPD, dr. Saut Marpaung, SpPD, dr. Meutia Sayuti, SpPD, dr. Jerahim Tarigan, SpPD, dr. M. Bastanta Tarigan, SpPD, K-EMD, dr. Ida Nensi, SpPD, dr. Savita Handayani, SpPD, dr. Syafrizal Nasution, SpPD, K-GH, dr. Wika H. Lubis, SpPD, K-Psi, dr. T. Realsyah, SpPD, SpJP, dr. Deske Muhadi, SpPD, dr. Radar Tarigan, SpPD, K-GH, dr. Leni Sihotang, SpPD, dr. Ameliana Purba, SpPD, dr. Imelda Rey, SpPD, K-GEH, dr. Henny Syahrini, SpPD, dr.

Dina Aprillia Ariestine, SpPD, dr. Melati Silvanni Nasution, SpPD, dr.

Restuti Hidayani Saragih, SpPD, dr. M. Aron Pase, SpPD, dr. Sumi Ramadani, SpPD, dr. Bayu Rusfandi Nst, SpPD, dr. Sari Harahap, SpPD, dr. Naomi N. Dalimunthe, SpPD, dr. M. Feldy Gazali Nst, SpPD, dr. Dian Anindita Lubis, SpPD, dr. Brama Ihsan Sazli, SpPD, dr.

Meivina Pane, SpPD, dr. Ananda Wibawanta Ginting SpPD, dr. Andi Raga Ginting, SpPD, dr. Rizqi Arini Siregar, SpPD, dr. Nurfatimah Itoni, SpPD serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatian senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan.

10. Kepada Pimpinan Instalasi Gawat Darurat, Poliklinik Pulmonologi dan Poliklinik Paru, RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Jejaring beserta staf yang telah membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis hingga penelitian ini dapat selesai.

11. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan yang telah memberikan dorongan dan semangat, dr. Joshua Patrick, dr. Herwindo, dr. Darmadi, dr. Sri Ningsih, dr. Yan Indra Fajar Sitepu, dr. Andrie Wiguna, dr. Henry Sibarani, dr.

Haryandi, dr. Risna Hayati, dr. Beatrice Angela, dr. Farhan, dr. Ruqaiyah, dr.

Faradilla Nova, dr. Nova Sipahutar yang telah bersama mengalami suka dan duka selama mengikuti pendidikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(13)

xii

12. Abang, kakak, dan adik-adik keluarga besar IKAAPDA dan Forum Ukhuwah Penyakit Dalam (FUPD) serta peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK USU yang telah banyak membantu penulis selama menjalani pendidikan ini.

13. Seluruh Perawat/ Paramedis di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama pendidikan.

14. Inna Sutanty, SP, M. Ali, S.Kom, Putri Nanda, Lely Husna Nasution, Wilda Siti Fathonah, Sriwanti, Ita, Fitri, Wahdini, Gloria, Putri, Maya, Febri, Deasy, dan seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK- USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

Ucapan terima kasih tidak terhingga dan rasa hormat serta sembah sujud penulis persembahkan kepada kedua orang tua yang sangat penulis sayangi dan cintai, Ayahanda tersayang H. Tambi Ikhwan Hasibuan dan Ibunda Hj. Dewi Angriani Harahap, SE atas segala jerih payah, pengorbanan dan dengan kasih sayang yang tulus telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendoakan tiada henti, memberikan dukungan moril/ materiil dan mengajarkan penulis untuk selalu berjuang menjalani hidup. Tidak akan pernah bisa penulis membalas jasa- jasa Ayah dan Ibunda. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan dan memberikan kesehatan, kebahagian, rahmat dan karunia-Nya kepada Ayahanda dan Ibunda.

Terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada kakak, abang dan adik-adikku tercinta Desi Irawani Hasibuan, SH dan Andy Permana, SH, dr. Ririn Mei Karlina dan dr. M. Khairul Aswin, drh. Nelly Kartika Hasibuan dan seluruh keluarga besar yang telah banyak membantu, memberi semangat dan dukungan doa selama pendidikan.

Kepada semua pihak, baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan berperan dalam menyelesaikan penelitian dan pendidikan saya ini, penulis ucapkan banyak terima kasih.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(14)

xiii

perkembangan keilmuan dalam dunia kedokteran. Semoga segala bantuan, dukungan, bimbingan dan petunjuk yang telah diberikan kiranya mendapat balasan berlipat-ganda dari Allah SWT. Amin

Medan, Juli 2019 Penulis

dr. Dedi Irwansyah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(15)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Orisinalitas ………... v

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Medis .. vi

Abstrak ………. ... vii

Abstract ……….. ... viii

Kata Pengantar ……… ... ix

Daftar Isi ………xiv

Daftar Tabel ……… .... xvi

Daftar Gambar ………. .... xvii

Daftar Singkatan ………....xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. ...1

1.2 Rumusan Masalah ...4

1.3 Hipotesis .. ...4

1.4 Tujuan Penelitian ...4

1.4.1 Tujuam Umum.. ...4

1.4.2 Tujuan Khusus ...4

1.5 Manfaat Penelitian... ...4

1.6 Kerangka Konsepsional ... ...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pneumonia Komunitas... ...6

2.1.1 Epidemiologi ...6

2.1.2 Etiologi ...6

2.1.3 Patofisiologi. ...7

2.1.4 Diagnosis ...10

2.1.5 Kultur Sputrum...11

2.1.6 Kultur Darah...12

2.1.7 Skor Klinis ...13

2.2 RDW (Red-cell Distribution Width)…………. ... 19

2.3 RDW dan Pneumonia Komunitas ... .22

2.4 Kerangka Teori...24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ...25

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...25

3.3 Subjek Penelitian ...25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(16)

xv

3.5 Besar Sampel ...26

3.6 Cara Penelitian ...27

3.6.1 Kultur Sputum ...28

3.6.2 Kultur Darah...28

3.7 Defenisi Operasional ...29

3.8 Analisa Data ...32

3.9 Kerangka Operasional ...33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... ...34

4.1.1 Karakteristik Responden ...34

4.1.2 Hubungan Data Karakteristik Dasar terhadap skor CURB-65 dan skor PSI ...36

4.1.3 Korelasi Data Karakteristik Dasar terhadap skor CURB-65 dan skor PSI ...38

4.1.4 Perbedaan Nilai RDW Hari I dan RDW Hari IV terhadap Status Hidup Pasien...40

4.2 Pembahasan …………. . ...40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...44

5.2 Saran ... ...45

DAFTAR PUSTAKA ...46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

Tabel 2.1. Pola penyebaran CAP berdasarkan etiologi.. ... 8

Tabel 2.2. Skor CURB-65.. ... 14

Tabel 2.3. Skor Prediksi PSI.. ... 15

Tabel 2.4. Derajat keparahan pneumonia berdasarkan skor PSI... 16

Tabel 2.5. Perbandingan skor PSI, CURB-65 dan CRB-65…… ... 17

Tabel 2.6. Kelebihan dan kekurangan Skor Klinis ... 18

Tabel 2.7. Hubungan RDW dengan MCV……… ... 21

Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian.. ... 35

Tabel 4.2. Hubungan data karakteristik dasar terhadap Skor CURB-65.. ... 37

Tabel 4.3. Hubungan data karakteristik dasar terhadap Skor PSI.. ... 38

Tabel 4.4. Korelasi data karakteristik dasar terhadap Skor CURB-65.. ... 39

Tabel 4.5. Korelasi data karakteristik dasar terhadap Skor PSI … ... 40

Tabel 4.6. Perbedaan nilai RDW hari pertama dan hari keempat terhadap status hidup ... 41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(18)

xvii

Nomor Judul Hal

Gambar 1.1. Kerangka Konseptual…. ... 5

Gambar 2.1. Respon inflamasi local pada pathogenesis CAP.. ... 10

Gambar 2.2. Histogram distribusi ukuran sel normal……….. ... 20

Gambar 2.3. Penilaian RDW………... ... 20

Gambar 2.4. Kerangka Teori………... ... 24

Gambar 3.1. Kerangka Operasional………. . 33

Gambar 4.1. Scatter plot nilai RDW hari keempat terhadap skor CURB-65 39 Gambar 4.2. Scatter plot nilai leukosit terhadap skor CURB-65………. ... 40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(19)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

PK Pneumonia Komunitas

SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga

PSI Pneumonia Severity index

PORT Patients Outcomes Research Team Score

CURB-65 Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65Years

CRP C-Reaktif Protein

TREM-1 Triggering receptor expressed on myeloid cell-1

TNF-α Tumor necrosis factor- α

BTS British Thoracic Society

RDW Red-cell Distribution Width

AUC Area Under Curve

CBC Complete Blood Count

HCAP Health-Care Associated Pneumonia

IDSA/ATS Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society

MCV Mean Corpuscular Volume

SD Standard Deviation

IGD Instalasi Gawat Darurat

BUN Blood Urea Nitrogen

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang tinggi diseluruh dunia. Angka kematian Pneumonia Komunitas (PK) berkisar kurang dari 5% pada pasien rawat jalan dan sampai 12% pada pasien rawat inap (Akpinar et al., 2013). Di negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3 juta orang per tahun dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak akibat infeksi (De Frances et al., 2008; Mikaeilli et al., 2009; Mira et al., 2008). Tingginyaangka kejadian dan dampak mortalitas diikuti oleh tingginya biaya kesehatan terutama pada penderita PK berat (Akpinaret al., 2013;Mira et al., 2008). Berdasarkan Riskesdas, pada tahun 2013 periode prevalensi pneumonia di Indonesia adalah sebesar 1,8 persen dan prevalensi pneumonia adalah sebesar 4,5 persen. Lima provinsi dengan insidensi dan prevalensi tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Sementara prevalensi untuk wilayah Sumatera Utara adalah sebesar 1,3% (Kemenkes, 2013).

Hardiyanto dkk melaporkan dari 235 pasien yang dirawat di RS Hasan Sadikin Bandung, sebanyak 75,3% menderita PK (Dahlan, 2000). Mar Masia, dkk melaporkan dari 240 pasien yang diteliti penyebab terjadinya pneumonia yang terbanyak adalah bakteri (39 orang), atypical (36 orang), virus (15 orang), gabungan (14 orang), tidakdiketahui (81 orang) (Masia et al., 2005).

Penilaian keparahan penyakit dan memprediksi prognosis pada pasien PK adalah penting untuk perawatan yang adekuat dan pilihan terapi dalam tatalaksana PK. Oleh karna itu berbagai sistem skor untuk menentukan derajat keparahan PK telah berkembang dan digunakan secara luas, diantaranya adalah PSI (Pneumonia Severity index), PORT (Patients Outcomes Research Team Score), dan CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age

>65 years). Namun sistem skor ini memiliki keterbatasan (Akpinar et al., 2013;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(21)

2

Lee et al., 2011; Viasuset al., 2013). Beberapa tahun terakhir, banyak penelitian menemukan bahwa biomarker tertentu dapat memberikan informasi tambahan dalam menentukan keparahan penyakit PK, membedakan etiologi PK apakah bakteri atau virus dan dapat mengetahui dengan dini komplikasi/ prognosis penyakit (Viasuset al., 2013). Biomarker tersebut seperti C-Reaktif Protein (CRP), procalsitonin, D-Dimer, Kortisol, leukosit total, immunoglobulin, IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α) dan Triggering receptor expressed on myeloid cell- 1(TREM-1) (Capelastegui et al., 2006). Namun pemeriksaan ini mahal dan pada umumnya tidak selalu tersedia segera di rumah sakit.

British Thoracic Society (BTS) mengusulkan penggunaan peraturan CURB-65 dengan sistem penilaian lima poin dan tiga kategori resiko: 0-1 (resiko rendah mortalitas; kelas 0 = 0,7%; kelas 1 = 3,2%), 2 (resiko kematian antara

=13%) dan > 3 (resiko tinggi kematian; kelas 3 = 17%; kelas 4 = 41,5%; kelas 5 = 57%). Skor keparahan ini, diperkenalkan pada tahun 2003, sekarang telah divalidasi secara luas pada lebih dari 12.000 pasien dari beberapa negara yang berbeda. Studi yang menilai CURB-65 telah menunjukkan sebagai alat yang tangguh dengan nilai diskriminatif sedang sampai baik (nilai AUC berkisar antara 0,73 sampai 0,83) untuk prediksi mortalitas 30 hari (Singanayagam et al., 2009).

PSI (Pneumonia Severity Indeks) ialah skor untuk menilai keparahan penyakit pneumonia komunitas, dimana terdiri dari beberapa komponen yaitu usia, penyakit-penyakit komorbid, tingkat kesadaran, nilai ureum darah, frekuensi pernapasan, tekanan darah, frekuensi denyut nadi, Analisa Gas Darah, kadar gula darah, natrium serum, hematokrit dan ureum darah diperoleh dari pemeriksaan darah yang menunjukkan ada atau tidak gangguan di ginjal (Singanayagam et al., 2009).

RDW (Red-cell Distribution Width) merupakan suatu konsep statistik yang mengukur variasi ukuran sel darah merah. Langkah ini mencerminkan heterogenitas volume sel darah merah dan merupakan komponen dari hitung lengkap (Complete Blood Count / CBC). Sampai sekarang, signifikansi klinis dari RDW telah terbatas pada diagnosis differensial anemia. Namun, laporan terbaru mengaitkan peningkatan RDW dapat memprediksi mortalitas dan morbiditas yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(22)

berat pada keadaan kardiovaskular, artritis reumatoid, kanker usus besar dan sindrom metabolik. Mekanisme menyebabkan peningkatan RDW pada beberapa kondisi tidakdiketahui, diasumsikan berhubungan dengan proses peradangan yang mungkin mengganggu proses eritropoesis (Dahlan, 2000; Sang-Min et al., 2016;

Oleg et al., 2016).

Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa pasien PK dengan peningkatan nilai RDW pada awal pertama rawatan di rumah sakit, baik sendiri atau dikombinasikan dengan kadar sel darah putih, berhubungan dengan kematian yang tinggi dan komplikasi-komplikasi lainnya yang didapat selama rawatan rumah sakit (Braun et al., 2014). Hal ini mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang nilai red blood cell distribution width (RDW) hari pertama dan hari keempat rawatan di rumah sakit dengan derajat keparahan pneumonia (menggunakan skor klinis CURB-65 dan PSI) pada pasien pneumonia komunitas. Dimana pemantauan dilakukan pada hari pertama dan hari keempat rawatan rumah sakit merujuk penelitian sebelumnya tentang hubungan antara perubahan RDW dengan mortalitas pada pasien severe sepsis/ syok sepsis. Dan pada penelitian ini menyimpulkan 72 jam nilai RDW adalah prediktor penyebab semua mortalitas pasien dengan bakterimia gram negatif. Sejalan dengan penelitian oleh Kim, 2016 tentang perubahan RDW pada pasien PK dengan kesimpulan bahwa perubahan nilai RDW yang meningkat secara signifikan didapatkan kelompok yang meninggal setelah empat hari rawatan di rumah sakit (Sang-Min et al., 2016). Sehingga hal ini yang melatarbelakangi peneliti untuk melihat nilai RDW hari pertama dan hari keempat pada pasien PK di RSUP HAM Medan sehinggadiharapkan kewaspadaan pemantauan dan penanganan yang lebih intensif serta penggunaan antibiotik empirik terhadap pasien PK yang dirawat di rumah sakit dengan menggunakan parameter yang sederhana yaitu dengan pemeriksaan darah lengkap.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(23)

4

1.2. Perumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi antara nilai RDW hari pertama dan hari keempat terhadap derajat keparahan pneumonia berdasarkan skor CURB-65 dan skor PSI.

1.3. Hipotesis

Terdapat korelasi antara nilai RDW hari pertama dan hari keempat terhadap derajat keparahan pneumonia berdasarkan skor CURB-65 dan skor PSI.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

- Untuk melihat nilai RDW sebagai marker prognosis kematian pada pasien pneumonia komunitas

1.4.2. Tujuan Khusus

- Untuk melihat korelasi nilai RDW hari pertama dan keempat terhadap skor CURB-65 dan skor PSI

- Untuk melihat karakteristik demografi dan klinis pasien pneumonia komunitas

- Untuk melihat skor klinis CURB-65 dan PSI pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dengan angka mortalitasnya.

- Untuk mengetahui pola kuman penyebab pada pasein pneumonia komunitas di RSUP HAM Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

 Membantu klinisi mengidentifikasi derajat keparahan dan prognosis pasien pneumonia sejak awal pasien masuk rumah sakit, sehingga dapat menentukan arah tata laksana pasien pneumonia komunitas secaradini.

 Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya serta untuk memberi pemahaman akan penggunaan petanda inflamasi dan menambah pengetahuan mengenai karakteristik PK di kota Medan, sehingga bermanfaat dalam penatalaksanaan yang lebih intensif serta menurunkan angka mortalitasnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(24)

1.6. Kerangka Konseptual

Gambar 1.1. Kerangka Konseptual

Keterangan:

: Dihubungkan secara langsung

: Dihubungkan secara tidak langsung

CURB-65 dan PSI Pneumonia

Komunitas

Nilai RDW hari I dan hari IV

rawatan RS

Variabel Independen Variabel Dependen

Mortalitas Pasien PK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(25)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pneumonia Komunitas

Pneumonia secara umum adalah radang dari parenkim paru, dengan karakteristik adanya konsolidasi dari bagian yang terkena dan alveolar terisi oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia yang berkembang diluar rumah sakit atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit disebut dengan pneumonia komunitas (PK) dan tidak memenuhi kriteria Health-Care Associated Pneumonia (HCAP) (Singanayagam et al., 2009).

2.1.1. Epidemiologi

Pneumonia komunitas umumnya adalah penyakit sepanjang waktu dengan prevalensi 20-30% pada negara sedang berkembang dan 3-4% di negara maju (Moghaddam et al., 2013). Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi non tuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komunitas dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komunitas menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun (PDPI, 2003).

2.1.2. Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir- akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(26)

yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut : Klebsiella pneumoniae 45,18%, Streptococcus pneumoniae 14,04%, Streptococcus viridans 9,21%, Staphylococcus aureus 9%, Pseudomonas aeruginosa 8,56%, Steptococcus hemolyticus 7,89%, Enterobacter 5,26%, Pseudomonas spp 0,9% (PDPI, 2003).

2.1.3. Patofisiologi

Secara garis besar, kegagalan dari mekanisme pertahanan dan adanya faktor predisposisi tertentu yang menyebabkan seseorang rentan terhadap infeksi dapat menyebabkan CAP. Adapun beberapa kondisi diatas dapat dijelaskan secara singkat (Mandell dan Wunderink, 2012) :

a. Perubahan flora normal pada orofaring b. Refleks glotis dan batuk tertekan c. Penurunan kesadaran

d. Rusaknya mekanisme mukosiliar e. Disfungsi makrofag alveoli f. Disfungsi imunitas

Parenkim paru rentan terhadap invasi mikroorganisme yang memiliki virulensi dapat disebabkan oleh paparan yang konstan terhadap udara yang terkontaminasi dan kejadian aspirasi yang sering terjadi dapat mengganggu flora nasofaring. Sebagian besar mikroorganisme dapat mencapai traktus respitarorik bagian bawah melalui inhalasi mikro-droplet yang terkontaminasi. Terjadinya pneumonia membutuhkan interaksi kompleks antara virulensi dan jumlah dari mikroorganisme patogen yang melibatkan integritas dari sawar pertahanan (defence barriers) dan status imunitas individu (Mandell dan Wunderink, 2012).

Tidak semua partikel dapat mengendap di saluran pernafasan, partikel dengan diameter lebih dari 100 μm dapat mengendap dengan mudah dan tidak diinhalasi. Partikel lebih dari 10 μm dapat terperangkap di sekret nasal. Hampir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(27)

8

seluruh partikel yang masuk dapat mengalami perubahan ukuran menjadi lebih besar akibat proses humidifikasi di trakea dan terperangkap di bronkus. Hanya partikel dengan ukuran < 5 μm yang dapat mencapai alveolus. Partikel-partikel tersebut dapat mentranspor inokulum bakteri hingga mencapai 100 mikroorganisme bergantung pada ukuran bakteri tersebut. Hampir seluruh bakteri memiliki diameter lebih atau sama dengan 1 μm, namun pada Mycoplasma, Chlamydophila, dan Coxiella memiliki ukuran 5 sampai 100 kali lebih kecil (Mandell dan Wunderink, 2012).

Pneumonia umumnya terjadi melalui inhalasi mikroorganisme yang memiliki (1) kemampuan untuk tetap tersuspensi di udara sehingga bisa diangkut lebih jauh, (2) dapat bertahan dalam waktu yang cukup panjang saat transit, (3) berukuran < 5 μm, (4) membawa inokulum patogen yang besar, dan (5) dapat menghindar dari mekanisme pertahanan tubuh lokal. Infeksi oleh bakteri intraselular seperti Mycoplasma pneumoniae, Chlamydophila, dan Coxiella burnetti terjadi melalui inhalasi aerosol yang terkontaminasi, sedangkan CAP akibat Streptococcus pneumoniae, Haemophilus, dan bakteri gram negatif terjadi melalui mikro-aspirasi (Tabel 2.1)(Mandell dan Wunderink, 2012).

Tabel 2.1. Pola penyebaran CAP berdasarkan etiologi

Mekanisme penyebaran Etiologi

Sekresi orofaring Streptococcus pneumoniae

Inhalasi aerosol Mycoplasma pneumoniae, Chlamydophila, Legionella pneumophila

Aspirasi Haemophilus influenza, bakteri anaerob, bakteri gram negatif

Penyebaran hematogen Staphylococcus aureus

Reaktivasi mikroorganisme laten Mycobacterium tuberculosis, Pneumocystis jiroveci

Untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke saluran nafas terutama bagian bawah, mekanisme imun dan non-imun yang efektif dari sistem respiratorik sangatlah berperan penting. Seperti yang disebutkan di awal, CAP

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(28)

dapat terjadi jika terdapat kegagalan atau gangguan dari mekanisme pertahanan tubuh penderita (Mandell dan Wunderink, 2012).

Faktor mekanik seperti rambut-rambut halus, turbinasi udara di rongga hidung, struktur anatomis percabangan trakea-bronkus, mekanisme pembersihan mukosiliaris dan adanya faktor antibakteri lokal merupakan faktor yang sangat penting untuk pertahanan tubuh dalam menangkap partikel maupun membunuh mikroorganisme patogen yang masuk ke saluran nafas (Ramirez, 2017). Selain itu, adanya imunoglobulin lokal, terutama imunoglobulin A bersama dengan komplemen dan flora normal di orofaring ikut berperan dalam mencegah kolonisasi mikroorganisme patogen di saluran nafas (Mandell dan Wunderink, 2012).

Pneumonia yang terjadi pada penderita merupakan pertahanan terakhir dari tubuh saat mikroorganisme mencapai ruang alveolus, dimana pertahanan ini akan mengaktifkan makrofag alveolus. Makrofag alveolus akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa walaupun jumlah mikroorganisme yang dapat mencapai alveolus sedikit namun manifestasi klinis pneumonia sering terjadi (Dahlan, 2009). Pada kondisi ini, gejala klinis yang muncul merupakan hasil dari respon inflamasi tubuh yang diperantarai oleh makrofag sendiri dibandingkan proliferasi mikroorganisme itu sendiri (Ramirez, 2017). Jika makrofag alveolus tidak dapat mengendalikan atau melawan pertumbuhan mikroorganisme patogen, maka akan terjadi mekanisme perlindungan akhir pada paru dengan membentuk respon inflamasi lokal. Respon inflamasi ini ditandai dengan perpindahan leukosit, linfosit, dan monosit dari kapiler ke alveolus (Annane et al., 2008). Rekrutmen sel-sel fagosit ke alveolus terutama dimediasi oleh interleukin (IL) 1 dan tumor necrosis factor (TNF) yang dihasilkan oleh makrofag alveolus. Sitokin lain yang penting adalah IL-6, IL-8, IL-10, IL-12, monocyte chemotaxin protein-I dan granulocyte-colony stimulating factor (GCSF). Inflamasi sistemik yang terjadi pada tubuh penderita juga disebabkan oleh sitokin-sitokin tersebut yang mencapai sirkulasi sistemik.

Terjadinya respon inflamasi lokal dan sistemik menjadi penyebab timbulnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(29)

10

gejala klinis, tanda, dan kelainan pada pemeriksaan penunjang yang khas pada CAP (Dahlan, 2009).

Pelepasan mediator inflamasi lokal terutama IL-1 dan TNF menimbulkan demam, sitokin lain seperti IL-8 dan GCSF menstimulasi pelepasan neutrofil ke alveolus yang menghasilkan gambaran leukositosis perifer serta sekret yang purulen. Mediator-mediator inflamasi dan masuknya neutrofil menimbulkan kerusakan pembuluh kapiler alveolus sehingga dapat menghasilkan gambaran infiltrat pada pemeriksaan radiologi, suara ronkhi pada auskultasi, dan hipoksemia akibat terganggunya proses pertukaran gas di alveolus (Ramirez, 2017).

Gambar 2.1. Respon inflamasi lokal pada patogenesis CAP (Dahlan, 2009).

2.1.4. Diagnosis

Diagnosis pneumonia komunitas biasanya dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari pemeriksaan fisis dijumpai adanya tanda atau gejala yang berhubungan dengan infeksi saluran napas dan adanya gambaran konsolidasi yang baru pada foto dada (Armitage et al., 2007). Pada tanda-tanda fisik dijumpai demam, sesak napas, nyeri dada dan batuk produktif dengan sputum purulen serta tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial) (Dahlan, 2009; Watkins dan Lemonovich, 2011).

Pada pemeriksaan radiologis dapat menolong untuk menentukan keparahan penyakit dan membantu dalam memutuskan perawatan inisial.

Konsolidasi lobus, kavitas dan efusi pleura menunjukkan penyebabnya adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(30)

bakteri. Keterlibatan parenkim yang difus sering berhubungan dengan Legionella atau pneumonia oleh karena virus (Watkins dan Lemonovich, 2011). Distribusi infiltrat pada segmen atipikal lobus bawah atau inferior lobus atas biasanya kuman aspirasi (Dahlan, 2009).

Pada pemeriksaan laboratorium, leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri. Leukosit normal atau rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon leukosit, contohnya pada orang tua atau lemah (Dahlan, 2009). Adanya hipoglikemi (glukosa darah ≤ 70 mg/dl) berhubungan dengan peningkatan kematian 30 hari (Dahlan, 2009). Prokalsitonin yang meningkat pada banyak pasien menandakan infeksi bakteri dan beberapa studi menunjukkan bahwa prokalsitonin bisa digunakan pada pneumonia komunitas (Watkins dan Lemonovich, 2011). Pemeriksaan bakteriologis, bahan bisa berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/ transtrakeal, aspirasi jarum, transtorakal, torakosintesis, bronkoskopi atau biopsi. Kultur darah tidak direkomendasikan pada pasien PK yang dirawat kecuali pada PK yang sedang dan berat. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apusan gram, Burri Gin, Quellung tes dan Ziech Nielsen. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk eveluasi terapi selanjutnya (Dahlan, 2009). Infectious Diseases Society of America/ American Thoracic Society (IDSA/ATS) merekomendasikan kultur sputum sebelum pemberian antibiotik pada pasien yang dirawat di rumah sakit (Watkins dan Lemonovich, 2011).

2.1.5. Kultur Sputum

Data IDSA dan ATS pada tahun 2007 menunjukkan bahwa penyebab PK terbanyak disebabkan bakteri gram positif oleh kuman Streptococcus Pneumonia.

Sedangkan kuman patogen penyebab PK lainnya mencakup Hemophillus Influenza, Mycoplasma Pneumonia, Chlamydia Pneumonia, Staphylococcus Aureus, Streptococcus Pyogenes, Neisseria Meningitidis, Moraxella Catarrhalis, Klebsiella Pneumonia, Legionella sp dan batang gram negatif lainnya (Watanathum et al., 2003).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(31)

12

Menurut BTS guideline pada tahun 2009 menyatakan bahwa kuman patogen penyebab PK yang banyak ditemukan, yaitu Streptococcus Pneumonia dan diikuti kuman patogen lainnya Mycoplasma Pneumonia, Chlamydia Pneumonia dan kuman gram negatif lainnya. Di Asia Tenggara, Streptococcus Pneumonia juga merupakan kuman patogen paling sering ditemukan kemudian diikuti Chlamydia Pneumoniae dan bakteri gram negatif (Watanathum et al., 2003).

Di Cina kuman patogen Streptococcus Pneumonia paling banyak ditemukan lalu kuman-kuman lainnyaseperti Mycoplasma Pneumonia dan H.

Influenza (Huang et al., 2006). Begitu juga di Jepang, Streptococcus Pneumonia paling umum ditemukan dan diikuti oleh H.Influenza (Saito et al., 2006).

Penelitian PK rawat inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan Streptococcus Pneumonia sebagai penyebab tersering PK, antara lain Klebsiella Pneumonia (Dahlan, 2009).

2.1.6. Kultur Darah

Menurut British Thoracic Society (BTS) tahun 2009 kultur darah dianjurkan untuk semua pasien pada PK sedang dan berat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum pemberian terapi antibiotik dimulai. Jika diagnosis PK telah pasti dikonfirmasi dan pasien dengan keparahan PK ringan tanpa komorbiditas penyakit, kultur darah boleh tidak dianjurkan. Kultur darah dapat membantu untuk mengidentifikasi bakterimia dan patogen resisten, dimana kuman Streptococcus Pneumonia menjadi patogen yang paling umum diidentifikasi (Crist-Crain and Opal, 2010).

ATS dan IDSA pada tahun 2007 merekomendasikan indikasi kuat untuk kultur darah pada PK berat. Pasien dengan PK berat lebih mungkin terinfeksi dengan kuman patogen selain Streptococcus Pneumoniae, termasuk Staphylococcus Aureus, Pseudomonas Aeruginosa, dan gram negatif lainnya.

Kultur darah yang positif pada pneumonia hanya pada 5 - 16% kasus. Dimana kuman patogen yang paling sering umum ditemukan adalah Streptococcus Pneumonia (Crist-Crain and Opal, 2010).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(32)

Christ-Crain M dkk (2006) mendapatkan bahwa adanya bakteri patogen di dalam darah (blood stream infection/ BSI) erat kaitannya terhadap tingginya mortalitas pasien sepsis. Keadaan ini disebabkan terlambatnya pemberian antibiotik yang seharusnya sudah dapat dimulai saat awal pasien masuk.

Umumnya antibiotik diberikan pada pasien dengan gejala infeksi yang nyata (demam dan leukositosis), yang sensitifitas dan spesifisitasnya rendah dan jika harus menunggu hasil kultur akan memperpanjang masa penundaan pemberian antibiotik (Crist-Crain and Opal, 2010).

2.1.7. Skor Klinis

Pneumonia komunitas penyebab terbesar kesakitan dan kematian, penyebab utama kematian pada penyakit infeksi dan merupakan penyebab kematian ke-6 pada berbagai penyakit. Penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan pengobatan atau keterlambatan perawatan ICU akan menyebabkan peningkatan kematian. Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam tatalaksana PK. Ada berbagai skor untuk menilai keparahan pneumonia komunitas, diantaranya PSI, CURB-65, CRB-65, modified ATS (m-ATS) dan sebagainya. Skor PSI diperkenalkan pada tahun 1997 yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia . Skor ini terdiri atas beberapa variabel klinikyang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari (klas I= 0,1 – 0,4%; klas II= 0,6 - 0,7%; klas III= 0,9 – 2,8%; klas IV= 4 – 10%; klas V= 27%). Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan AUC: 0,74 - 0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA). Akan tetapi, terlalu kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat sistem skor ini tidak praktis dan digunakan dalam klinik sehari-hari (Singanayagam et al., 2009; Mandell and Wunderink, 2012; Shah et al., 2009).

Skor CURB-65 (Tabel 2.2) diperkenalkan oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun 2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan risiko kematian dalam 30 hari. Pasien dengan skor 0 - 1 memiliki resiko kematian rendah (skor 0 = 0,7% dan skor 1 =

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(33)

14

3,2%) dan dapatdirawat dirumah, skor 2 resiko kematiannya meningkat (Skor 2 = 13%) dapat dipertimbangkan dirawat di RS atau dirawat di rumah dengan pemantauan khusus, skor > 3 memiliki resiko kematian tinggi (skor 3 = 17%, 4=

41,5% dan 5= 57%) dan di terapi sebagai pneumonia berat. Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan PSI yaitu dengan AUC: 0,73 - 0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang digunakanya itu lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan akhirnya merekomendasikan penggunaan CURB-65 (Singanayagam et al., 2009; Mandell and Wunderink, 2012).

Tabel 2.2. Skor CURB-65 (Singanayagam et al., 2009)

Clinical Factor Points

C Confusion 1

U Blood urea nitrogen ≥ 20 mg/dL 1

R Respiratory rate ≥ 30 breaths/min 1

B Systolic BP ≤ 90 mmHg or diastolic BP ≤ 60 mmHg 1

65 Age ≥ 65 years 1

Skor prediksi PSI mengklasifikasikan pasien kedalam 5 kelas mortalitas dan keunggulan skor ini untuk memprediksi angka mortalitas telah dikonfirmasi melalui berbagai penelitian. Kriteria PSI terdiri dari 20 variabel yang berbeda oleh karena itu sangat tergantung dari kelengkapan lembar penilaian, Total Score Mortality Risk Level Suggested Site-of-care

0 0,6 % Low Outpatient

1 2,7 % Low Outpatient

2 6,8 % Moderate Short inpatient/supervised outpatient

3 14 % Moderate to

High

Inpatient

4 or 5 27,8 % High Inpatient / ICU

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(34)

sehinggasulitditerapkan pada situasi pelayanan gawat darurat yang sibuk. Akan tetapi, skor ini sangat baik untuk mengkaji penderita dengan risiko mortalitas rendah yang sesuai untuk mendapat penanganan rawat jalan dari pada penderitadengan pneumonia berat yang membutuhkan perawatan rumah sakit (Lim et al., 2003). Berdasarkan tingkat mortalitasnya maka pasien dibagi menjadi:

kelas risiko I dan II dirawat jalan (outpatients) ,pasien kelas risiko III dirawat inap singkat atau dalam unit pengawasan, dan pasien kelas risiko IV dan V dirawat inap (inpatients) (Fine et al., 1997). Berdasarkan pedoman ATS, pasien dengan kelas risiko III mungkin untuk dirawat jalan atau dirawat inapsingkat (Niederman et al., 2001).

Tabel 2.3. Skor Prediksi Pneumonia Severity Index (Fine et al., 1997)

Karakteristik Pasien Poin skor

Faktor Demografi Usia laki-laki Usia wanita

Tinggal di rumah perawatan Penyakit Komorbid

Keganasan Penyakit liver

Gagal jantung kongestif Penyakit serebrovaskuler Penyakit ginjal

Temuan Pemeriksaan Fisik Penurunan kesadaran

Laju pernapasan ≥ 30 x per menit Tekanan darah sistolik < 90 mmHg Suhu < 35 ⁰C / ≥ 40 ⁰C

Nadi ≥ 125 x per menit Temuan Laboratorium

Usia Usia-10

+ 10

+ 30 + 20 + 10 + 10 + 10

+ 20 + 20 + 20 + 15 + 10

+ 30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(35)

16

pH < 7,35

BUN >11 mmol/L atau ≥ 30 mg/dL Natrium < 130 mmol/L

Gula darah >14 mmol/L atau ≥ 250 mg/dL

Hematokrit < 30%

pO2 < 60 mmHg Efusi pleura

+ 20 + 20 + 10

+ 10 + 10 + 10

Total skor PSI berdasarkan karakteristik pasien pada tabel 2.3 selanjutnya digunakan untuk menentukan kelas risiko dan risiko mortalitas pasien CAP (ditunjukkan pada tabel 2.4).

Tabel 2.4. Derajat keparahan pneumonia berdasarkanskor PSI (Niederman et al., 2001)

Total Skor PSI Kelas Risiko Risiko Mortalitas

< 51 51 - 70 71 - 90 91 - 130

> 130

I II III IV V

Rendah

Sedang Tinggi

Modifikasi dari skor PSI dibutuhkan dalam memutuskan tempat perawatan pasien. Pasien dengan kelas risiko I - III dirawat inap apabila saturasi oksigen arteri < 90% atau tekanan oksigen arteri (PaO2) < 60 mmHg (Fine et al., 1997).

Selain karena hipoksemia, kelas risiko rendah kriteria PSI I - III dirawat inap apabila didapatkan syok, penyakit penyerta, efusi pleura, ketidakmampuan mempertahankan konsumsi obat secara oral, masalah sosial (tidak ada keluarga/orang yang dapat menjaga), dan respon yang inadekuat terhadap terapi antibiotik empirik sebelumnya (Halm et al., 2000). Alasan medik dan psikososial lain untuk pasien dirawat inap adalah vomitus,penyalahgunaan obat injeksi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(36)

gangguan jiwa berat, tuna wisma, status fungsional yang buruk dan disfungsi kognitif (Marrie and Wu, 2005; Goss et al., 2003; Metlay and Fine, 2001). Namun pasien dengan kelas risiko V dan umur yang sangat tua dan disertai berbagai penyakit kronik dapat dikelola sebagai outpatient (Suchyta et al., 2001).

Tabel 2.5. Perbandingan skor PSI, CURB-65 dan CRB-65 (Zoe et al., 2016)

Baikskor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan skor CRB 65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer.

Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0,69 – 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayagam et al., 2009; Bont et al., 2008).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(37)

18

Selain skor PSI, CURB-65, CRB-65dsb, ada beberapa biomarker yang digunakan untuk menilai keparahan penyakit pneumonia komunitas seperti procalsitonin, C-Reaktif Protein (CRP), proadrenomedullin. Peningkatan level copeptin, natriuretic peptida, cortisol, proatrial natriuretic peptide, TNF-α, dan penanda koagulasi juga berhubungan bermakna dengan kematian pada pneumonia komunitas. Namun biomarker ini mahal dan tidak selalu tersedia dengan segera.

Banyak penelitian yang dilakukan baru-baru ini untuk menentukan prognosis pada pasien PK yang dirawat dirumah sakit dan didapatlah bahwa RDW dapat menjadi prediktor yang kuat pada pasien pneumonia (Akpinar et al., 2013; Lee et al., 2011; Viasus et al., 2013; Sang-Min et al., 2016; Kim et al., 2016; Meynaar et al., 2013; Jae et al., 2013; Sabina et al., 2012; Eyal et al., 2011).

Tabel 2.6. Kelebihan dan kekurangan masing-masing skor klinis (Singanayagam et al., 2009)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(38)

2.2. Red-cell Distribution Width (RDW)

RDW merupakan suatu hitungan matematis yang menggambarkan jumlah anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu menggambarkan poikilositosis (variasi bentuk sel) sel darah merah pada pemeriksaan darah tepi.

RDW adalah cerminan dari nilai koefisien variasi dari distribusi volume sel darah merah. BaikMean Corpuscular Volume (MCV) dan RDW keduanyadinilai dari histogram eritrosit (RBC). MCV dihitung dari seluruh luas area dibawah kurva, sedangkan RDW dihitung hanya dari basis tengah histogram. Ada dua metode yang dikenal untuk mengukur nilai RDW, yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard Deviation). Nilai RDW-CV dapat diukur dengan formula (Constantino, 2011).

Nilai normal berkisar antara 11.5% - 14.5%. sedangkan RDW-SD merupakan nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekuensi 20%. Nilai normal RDW-SD adalah 39 sapai 47 Fl. Semakin tinggi nilai RDW maka semakin besar variasi ukuran sel (Ciesla, 2007).

Nilai RDW-CV sangat baik digunakan sebagai indikator anisositosis ketika nilai MCV adalah rendah atau normal dan anisositosis sulit dideteksi, namun kurang akurat digunakan pada nilai MCV yang tinggi. Sebaliknya nilai RDW-SD secara teori lebih akurat untuk menilai anisositosis terhadap berbagai nilai MCV. Namun tidak semua laboratorium kesehatan mengukur nilai RDW-SD pada pemeriksaan hitung darah lengkapnya (Turgeon, 2012).

RDW = Standard Deviasi RBC (1 SD) x 100 Mean MCV

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(39)

20

Gambar. 2.2. Histogram distribusi ukuran sel normal. Ukuran sel lebih kecil dari normal distribusi kekiri; ukuran sel lebih besar dari normal distribusi kekanan

(Turgeon, 2012)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(40)

Gambar 2.3.Penilaian RDW. RDW dinilai darilebar histogram pada 1 standar deviasi (1 SD) dibagi nilai rerata MCV. Nilai normal RDW-CV adalah 11,5%

sampai 14,5%. RDW-SD adalah nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekwensi 20%. Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fL.

(Constantino, 2011)

RDW pada awalnyadiperkenalkan sebagai alat bantu diagnosa kerjadari anemia normositik. Penyebab umum yang mendasari terjadinya peningkatan RDW adalah defesiensi zat besi, vitamin B12, atau asam folat, dimana eritrosit yang normal akan bercampur dengan yang ukurannya lebih kecil atau yang lebih besar yang terbentuk saat terjadi defisiensi. Kenaikan serupa juga terjadi selama mendapatkan terapi pengganti besi, B12, dan asam folat ketika jumlah retikulosit meningkat. Nilai RDW juga meningkat setelah mendapatkan transfusi darah, seperti halnya juga pada penderita anemia hemolitik dan trombotik dimana eritrosit terfragmentasi dalam sirkulasi. Peningkatan RDW juga berhubungan dengan penyakit hati, pecandu alkohol, keadaan inflamasi, dan penyakit ginjal, namun mekanisme dibalik timbulnya variasi eritrosit ini masih sangat kompleks (Hammarsten et al., 2010).

Tabel 2.7. Hubungan RDW dengan MCV (Marks, 2012)

Low MCV Normal MCV High MCV

Normal RDW

High RDW

Chronic disease Thalasemia trait

Iron deficiency sicle

- thalasemia

Acute blood loss inflamation renal disease

Early iron deficiency Early B12 deficiency Early folate deficiency Sickle cell anemia SC disease

Chronic liver disease Myelodisplasia

Aplastic anemia Chronic liver disease Various medication

B12 deficiency Folate deficiency Immune hemolysis Chronic liver disease Myelodisplasia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(41)

22

RDW juga dapat digunakan untuk mengukur variabilitas ukuran sel darah merah dan meningkat sebagai respon terhadap rangsangan inflamasi atau status gizi yang buruk. RDW telah dikaitkan dengan hasil klinis pada varietas pengaturan klinis. RDW adalah prediktor hasil yang independen pada pasien dengan fibrosis paru idiopatik. Hasil yang serupa telah direplikasi di banyak penyakit dan pengaturan lainnya termasuk sindrom koroner akut, pasien yang menjalani operasi by pass kardiopulmoner, pneumonia yang didapat masyarakat, infark serebral akut dan bakteremia. Hasil ini membuat RDW menjadi biomarker yang menjanjikan untuk stratifikasi resiko pasien (Jan et al., 2015).

2.3. RDW dan Pneumonia Komunitas

Red-cell Distribution Width (RDW) adalah tes laboratorium rutin yang mencerminkan tingkat heterogenitas volume eritrosit (anisositosis). Pengukuran RDW secara tradisional digunakan untuk diagnosis diferensial anemia. Selain itu, nilai RDW yang tinggi telah terbukti dapat memprediksi morbiditas dan mortalitas diantara populasi pasien yang berbeda, tidaktergantung pada usia, anemia dan komorbiditas lainnya. Penderita pneumonia komunitas adalah alasan umum untuk rawat inap, serta salah satu penyebab utama kematian di rumah sakit. Peningkatan kadar RDW telah diamati pada 36% pasien dengan pneuonia komunitas saat masuk ke rumah sakit dan diperkirakan mengalami peningkatan mortalitas jangka pendek dan jangka panjang (Sang-Min et al., 2016; Oleg et al., 2016; Braun et al., 2014).

RDW baru-baru ini dikaitkan dengan prognosis dari pneumonia komunitas. Pneumonia komunitas adalah penyebab utama kematian menular di seluruh dunia dan prognostikasi merupakan bagian penting dari manajemennya.

Stres inflamasi dan oksidatif yang disebabkan oleh infeksi telah disarankan sebagai mekanisme untuk mengetahui hubungan antara RDW dan penyakit menular. Demikian pula, RDW dilaporkan menunjukkan hubungan yang kuat dan bergradasi dengan biomarker inflamasi pada populasi rawat jalan umum.

Peningkatan RDW dari baseline baru-baru ini telah terbukti dapat memprediksi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(42)

angka kematian pada pasien dengan sepsis berat (Sang-Min et al., 2016; Eyal et al., 2011).

Selanjutnya, peningkatan perubahan dalam RDW sangat berkorelasi dengan penanda inflamasi seperti tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dan tingkat CRP. Dengan demikian, perubahan dalam RDW selama pengobatan dapat dikaitkan dengan hasil penyakit inflamasi dan dapat menjadi penanda perkembangan penyakit atau resolusi. Dalam penelitian ini, perubahan nilai RDW awal pengobatan dan hari keempat rawatan di rumah sakit dikaitkan secara dependen dengan derajat keparahan pneumonia (CURB-65 dan PSI) sertaberhubungan dengan mortalitas pada pasien rawat inap dengan pneumonia komunitas (Sang-Min et al, 2016; Fine MJ et al, 1997; I A Meynar et al, 2013).

Penelitian sebelumnya tentang hubungan antara perubahan RDW dengan mortalitas pada pasien severe sepsis/ syok sepsis menyimpulkan bahwa 72 jam nilai RDW adalah prediktor penyebab semua mortalitas pada pasien dengan bakterimia gram negatif. Sejalan dengan penelitian oleh Kim dkk tahun 2016 tentang perubahan RDW pada pasien PK dengan kesimpulan bahwa perubahan nilai RDW pada hari kedua dan ketiga tidak signifikan antara kelompok yang hidup dan kelompok yang meninggal. RDW menurun pada kelompok yang hidup dan meningkat pada kelompok yang mati pada empat hari rawatan rumah sakit dan perubahan RDW ini diamati bermakna signifikan secara statistik pada hari rawatan keempat.(Sang-Min et al., 2016).

Waktu bertahan hidup tertinggi pada pasien dengan RDW rendah pada awal dan menurunkan RDW selama empat hari rawat inap. Temuan ini dapat dijelaskan dengan resolusi peradangan dan stres oksidatif selama pengobatan awa lpneumonia komunitas. Sitokin peradangan dilaporkan menghambat pematangan eritrosit akibat eritropoietin, fungsi sumsum tulang yang dipengaruhi oleh sistem dan metabolisme zat besi, sementara stres oksidatif mempersingkat kelangsungan hidup sel darah merah dan mendorong pelepasan sel darah merah prematur. Jadi, selama perawatan awal, resolusi stres inflamasi dan oksidatif dapat menurunkan RDW, dan nilai RDW awal mungkin mencerminkan stres inflamasi dan oksidatif awal (Sang-Min et al., 2016; Jae et al., 2013; Sabina et al., 2012; Jan et al., 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(43)

24

2.4. Kerangka Teori

Gambar 2.4. KerangkaTeori Aktivasi sistem imun dan

respon tubuh terhadap inflamasi dan infeksi

Skor Klinis (CURB-65, PSI, PORT, CRB-65)

RDW ↑ dijumpai banyak kasus (penyakit hati, penyakit ginjal, keadaan

inflamasi→

PNEUMONIA

Nilai RDW hari I  hari IV normal atau ↓

Mortalitas ↓ Mortalitas ↑ Prognosis Pasien

Pasien Pneumonia Komunitas (PK)

Respon Inflamasi Baik

Respon sirkulasi sistemik

Pelepasan Mediator inflamasi  Biomarker untuk menilai prognosis (Procalcitonin, CRP, Copeptin, natriuretic peptida, cortisol, TNF-α,

RDW, dsb)

Respon Inflamasi Buruk

Nilai RDW hari I  hari IV ↑

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(44)

25 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara cohort study yang bersifat prospektif dengan variabel independen adalah nilai red cell distribution width (RDW) dan variabel dependen adalah derajat keparahan pneumonia (skor CURB-65 dan skor PSI) pada pasien pneumonia komunitas.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2018 s/d Maret 2019 atau sampai dengan jumlah sampel terpenuhi. Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang rawat inap RSUP. H. Adam Malik Medan dengan persetujuan Komisi Etik Penelitian FK USU serta Bagian Pendidikan dan Penelitian RSUP H.

Adam Malik Medan.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian

a. Populasi target penelitian adalah semua pasien yang masuk melalui IGD RSUP HAM Medan, sedangkan populasi terjangkau adalah pasien pneumonia komunitas yang masuk ke IGD RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Juni 2018 – Maret 2019.

b. Subjek penelitian ini diambil dari populasi pasien pneumonia komunitas yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dan secara tertulis bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis (informed consent).

3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi 3.4.1. Kriteria inklusi

- Pasien baru masuk IGD - Usia diatas 18 tahun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(45)

26

- Gambaran klinis, laboratorium dan radiologi sesuai dengan diagnosis pneumonia.

- Dari hasil laboratorium darah lengkap didapatkan nilai RDW > 14,5%.

- Bersedia mengikuti penelitian

3.4.2. Kriteria eksklusi

- Pasien pindahan dari rumah sakit lain.

- Baru pulang dari rumah sakit 10 hari yang lalu.

- Menderita pneumonia dalam 30 hari terakhir.

- Pasien pneumonia komunitas yang meninggal sebelum 4 hari rawatan rumah sakit.

- Pasien dengan fibrosis kistik paru maupun tuberkulosis paru yang aktif.

- Pasien penyakit ginjal kronik.

- Pasien dengan anemia defesiensi besi.

- Pasien dengan status gizi malnutrisi.

- Pasien hamil, HIV, alkoholisme, sindroma nefrotik dan adanya penyakit hati (Sirosis Hepatis, Hepatitis virus akut dan kronik).

- Pasien imunosupresi kronik (didefinisikan sebagai imunosupresi untuk transplantasi tumor solid, post splenoktomi, mendapat prednisolon atau sejenisnya dengan dosis ≥ 10 mg/ hari untuk < 30 hari, pengobatan dengan obat imunosupresi lain atau neutropenia (< 1 x 109/L neutrofil).

3.5. Besar Sampel

Untuk penghitungan sampel penelitian digunakan data dari hasil penelitian oleh Kim et.al tahun2016.

 

 

2

2 ) 1 ( )

2 / 1

( (1 ) ) (1 )

a o

a a o

o

P P

P P Z

P P n Z

Dimana :

) 2 / 1 (

Z = deviat baku alpha. utk= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(46)

) 1 (

Z = deviat baku betha utk = 0,2 maka nilai baku normalnya 0,842 P0= proporsi kematian pada populasi dengan pneumonia komunitas 0,12

(12 %) (Dahlan, 2000).

Pa= proporsi kematian pada populasi pneumonia komunitas denga nnilai RDW yang meningkat 0,27

Po

Pa = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar 0,15

Maka besar sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak 45,4 penderita pneumonia komunitas. Namun untuk menghindari bias, maka pada penelitian ini ditetapkan sampel minimal untuk penelitian sebanyak 50 penderita pneumonia komunitas.

3.6. Cara Penelitian

a. Seluruh pasien yang didiagnosis menderita pneumonia komunitasdari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dilakukan anamnesis untuk mendapatkan data: umur, jenis kelamin dan data pribadi lainnya.

b. Setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, pada pasien dilakukan pengambilan sampel darah pada daerah fossa cubiti untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap, ureum, creatinin, RDW, kadar gula darah, analisa gas darah, elektrolit (natrium) dan kultur sputum/ ST pada pasien pneumonia komunitas. Pengambilan darah dilakukan oleh analis laboratorium.

c. Dilakukan penilaian derajat keparahan pneumonia dengan skor CURB-65 sesuai dengan guideline dari British Thoracic Society (BTS) dengan 2 sistem penilaian 5 poin dengan tiga kategori resiko: 0 - 1 (resiko rendah mortalitas; kelas 0 = 0,7%; kelas I = 3,2%), 2 (Resiko kematian antara – 13%) dan > 3 (resiko tinggi kematian; kelas 3 = 17%; kelas 4 = 41,5%;

kelas 5 = 57%). Serta penilaian juga dilakukan dengan skor PSI dimana menurut guideline American Thoracic Society (ATS) dengan 2 sistem penilaian 5 kelas resiko dengan tiga kategori resiko mortalitas: < 51 kelas resiko I (resiko mortalitas rendah), 51 – 70 kelas resiko II (resiko

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Referensi

Dokumen terkait

Pada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Kepada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Kepada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Pada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Kepada Bapak/ Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Kepada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Kepada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Pada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal