• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBARAN DAERAH

KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA

NOMOR 15 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR : 15 TAHUN 2008

TENTANG

IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN ENERGI SERTA PUNGUTAN RETRIBUSI ATASNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelanggaraan Otonomi Daerah yang semakin luas, nyata dan bertanggung jawab, sebagaimana diamanahkan oleh Undang- undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tentang Izin Usaha Pertambangan Dan Energi Serta Pungutan Retribusi Atasnya;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah- daerah tingkat II di Sulawesi (Lembaran Republik Indonesia tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);

2. Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104 );

3. Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);

4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686);

7. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68 Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisain Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 81,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3710);

9. Undang–undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (Lembaran Negara Republik

(2)

Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

10. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

11. Undang–undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

12. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondaw Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4686);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanan Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3258);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 55),

15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kontsruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3936);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4138);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 55. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3692 );

19. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang–undang Nomor 11 Tahun 1967 ;

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82);

21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah;

23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;

24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah;

25. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah jo Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah);

(3)

26. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 175 Tahun 1987 tentang Pedoman tata Cara Pemeriksaan di Bidang Retribusi Daerah;

27. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 388.K/008/M.PE/1995 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemanfaatan Lingkungan Untuk kegiatan Pertambangan Bahan Galian Golongan C;

28. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan;

29. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pungutan Pajak Daerah;

30. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 173 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemeriksaan di bidang Pajak Daerah;

31. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah;

32. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 119 Tahun 1998 tentang Ruang Lingkup dan Jenis-jenis Retribusi Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II;

33. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum;

34. Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 1454.K/29/MEM/2000 tanggal 3 November 2000, tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Minyak Dan Gas Bumi;

35. Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 1455.K/29/MEM/2000, tanggal 3 November 2000, tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Usaha PenyediaanTenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri, Usaha Penyediaan Listrik Untuk Kepentingan Umum dan Usaha Penunjang Tenaga Listrik;

36. Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 1 Tahun 2008 tentang Bentuk Lambang, Motto, Mars, Hymne, Hari Ulang Tahun dan Nama Panggilan Kesayangan Putra Putri Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Lembaran Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2008 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 1);

37. Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah wajib dan Pilihan yang menjadi kewenangan pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Lembaran Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 2);

38. Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Lembaran Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 4);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA

dan

BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA

M E M U T U S K A N

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN ENERGI SERTA PUNGUTAN RETRIBUSI ATASNYA

(4)

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara;

2. Pemerintah Daerah adalah Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas ekonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistim dan prinsip Negara Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Kepala Daerah adalah Bupati Bolaang Mongondow Utara;

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara disebut DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintah Daerah;

5. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Retribusi Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undang Daerah yang berlaku;

6. Dinas adalah Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bolaang Mongondow Utara;

7. Pelaksana Inspeksi Tambang (PIT) adalah Pegawai Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yang ditunjuk atau diangkat sebagai Pelaksana Inspeksi Tambang dan bertugas melaksananakan Pengawasan Keselamatan Kerja dan Lingkungan Hidup atas Usaha Pertambangan dalam bidang Pertambangan Umum;

8. Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara;

9. Wilayah Pertambangan Rakyat adalah wilayah yang telah ditetapkan oleh Menteri/Gubernur/Bupati sebagai wilayah dimana usaha pertambangan rakyat untuk jenis Bahan Galian Emas;

10. Bahan Galian adalah unsur–unsur kimia, mineral–mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu–batu mulia yang merupakan endapan – endapan alam;

11. Kuasa Pertambangan disingkat (KP) adalah wewenang yang diberikan kepada Badan atau Perseorangan untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian;

12. Kontrak Karya disingkat (KK) adalah Perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Kontraktor swasta untuk melaksanakan Pengusahaan Pertambangan Bahan galian;

13. Perusahan Negara adalah:

- Perusahaan Negara seperti yang dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan Negara yang berlaku;

- Badan Hukum yang seluruh modalnya berasal dari Negara.

14. Perusahaan Daerah adalah Perusahaan seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah yang berlaku;

15. Pertambangan Rakyat adalah suatu Usaha Pertambangan bahan – bahan galian dari semua Golongan A, B dan C yang dilakukan oleh rakyat setempat baik secara kecil-kecilan atau secara gotong royong;

16. Penduduk setempat adalah Penduduk dari suatu wilayah kecamatan dimana wilayah pertambangan rakyat berada;

17. Izin Pertambangan Rakyat Daerah disingkat SIPRD adalah kuasa pertambangan berisi wewenangan untuk melakukan usaha pertambangan rakyat jenis bahan galian emas diwilayah pertambangan rakyat berupa penambangan dan pengolahan;

18. Tromol adalah seperangkat alat teknologi tepat guna yang digunakan oleh rakyat secara sederhana untuk mengolah bahan galian emas;

19. Timbangan emas adalah alat timbangan untuk mengukur berat ringannya emas;

(5)

20. Usaha pertambangan bahan galian golongan C adalah segala kegiatan usaha pertambangan yang meliputi Eksplorasi, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan;

21. Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) adalah surat izin kuasa pertambangan daerah yang berisikan wewenang untuk melakukan semua atau sebagian tahap usaha pertambangan bahan galian golongan C;

22. Surat Keterangan Izin Peninjauan (SKIP) adalah hanya satu Surat Keterangan jalan bagi seseorang, untuk mengadakan peninjauan umum terhadap suatu wilayah tertentu, khusus untuk tujuan permohonan Kuasa Pertambangan dan atau Kontrak Karya, tanpa memberikan hak prioritas apapun kepada pemegang SKIP yang bersangkutan;

23. Penyelidikan Umum adalah Penyelidikan secara Geologi umum atau geofisika, didaratan,perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat Peta Geologi Umum atau untuk menetapkan tanda – tanda adanya Bahan Galian pada umumnya;

24. Eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkam lebih teliti/seksama adanya dari sifat letak bahan galian;

25. Eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian yang memanfaatkanya;

26. Pengelolaan dan pemurnian adalah usaha untuk mempertingi bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada galian itu;

27. Pengangkutan adalah usaha pemindahan galian dari wilayah eksplorasi, eksploitasi atau tempat pengelolahan/pemurnian bahan galian;

28. Penjualan adalah segala penjualan bahan galian dan hasil pengelolahan/pemurnian bahan galian;

29. Reklamasi adalah suatu kegiatan yang bertujuan memperbaiki mengembalikan kemanfaatan atau untuk meningkatkan daya guna lahan yang diakibatkan oleh usaha pertambangan umum;

30. Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara;

31. Upaya Pengengolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan Penambangan;

32. Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan Penambangan;

33. Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disingkat BBM adalah hasil pengolahan Minyak Bumi yang bersifat cair yang jenis spesifikasinya ditentukan oleh Ditjen Migas Departement Energi dan Sumber Daya Mineral;

34. Penimbunan Bahan Bakar Minyak adalah penimbunan atau penyimpanan Bahan Bakar Minyak untuk keperluan sendiri ataupun keperluan penjualan;

35. Penimbunan bahan bakar minyak untuk keperluan sendiri adalah penimbunan atau penyimpanan Bahan Bakar Minyak untuk keperluan bahan bakar mesin industri, keperluan operasional langsung dari suatu kegiatan usaha untuk keperluan pemakaian industri;

36. Ketenaga Listrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik;

37. Tenaga Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tidak termasuk listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika atau isyarat;

38. Penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik mulai dari titik pembangkitan sampai dengan titik pemakain;

39. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik;

40. Transmisi ketenaga listrikan adalah penyaluran tenaga listrik dari suatu sumber pembangkitan ke suatu sistim distribusi atau kepada konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antar sistim;

41. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistim transmisi atau sistim pembangkitan kepada konsumen;

(6)

42. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;

43. Izin Operasi adalah izin untuk mengoperasikan instalasi peyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri;

44. Usaha Penunjang Tenaga Listrik adalah usaha yang menunjang penyediaan tenaga listrik;

45. Penggunaan Utama adalah Penggunanaan tenaga listrik yang dibangkitkan secara terus menerus untuk melayani sendiri tenaga listrik yang diperlukan;

46. Penggunaan Darurat adalah Penggunaan tenaga listrik yang dibangkitkan hanya pada waktu terjadi gangguan pasokan tenaga listrik;

47. Penggunaan Sementara adalah penggunaan tenaga listrik yang dibangkitkan untuk kegiatan yang bersifat sementara dan pembangkitnya relatif dapat dipindah-pindahkan (Portable);

48. Retribusi Perizinan Tertentu adalah kewenangan pemerintah untuk memberikan perizinan tertentu yang diberikan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi, dimana biaya yang ditimbulkan atas pemberian izin tersebut menjadi beban daerah untuk menanggulangi dapak negatif yang cukup besar sehinga layak dibiayai dari retribusi periizinan dimaksud;

49. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan hukum menurut Peraturan Perundang–undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi;

50. Surat Pendaftaran Proyek Retribusi Daerah yang selanjutnya dapat disingkat SPORD adalah surat–surat yang digunakan oleh wajib retribusi sebagai dasar perhitungan dan pembayaran retribusi yang terutang menurut peraturan Perundang-undangan retribusi daerah;

51. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutkan dapat disingkat SKRD adalah keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;

52. Surat Ketetapan Retribusi Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya dapat disingkat SKRDKBT, adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atau jumlah retribusi yang telah ditetapkan;

53. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar selanjutnya dapat disingkat SKRDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang;

54. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sangsi administrasi berupa bunga atau benda;

55. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan keberatan dan SKRDLB yang diajukan oleh wajib retribusi;

56. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, rangka pengawasan, kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi berdasarkan peraturan perundang-undang;

Penyidikan Tindak Pidana dibidang Retribusi Daerah adalah serangkaian tindakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya dapat disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang Retribusi Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya;

BAB II

NAMA OBJEK DAN SUBJEK PERIZINAN DAN RETRIBUSI

Pasal 2

Dengan nama izin usaha pertambangan dan energi dipungut retribusi sebagai pembayaran atas Pemberian Izin Usaha Pertambangan dan Energi.

Pasal 3 Objek Retribusi terdiri atas :

a. Izin usaha pertambangan rakyat untuk bahan galian emas;

b. Izin usaha pertambangan bahan galian C;

c. Izin penimbunan, penyaluran dan penjualan bahan bakar minyak;

(7)

d. Izin operasi, izin usaha penyediaan tenaga listrik, dan izin usaha penunjang tenaga listrik.

Pasal 4

Subjek Retribusi Izin Pertambangan dan Energi adalah orang atau badan yang memperoleh izin usaha pertambangan dan energi.

BAB III

GOLONGAN RETRIBUSI

Pasal 5

Izin pertambangan dan energi serta pungutan retribusi atasnya digolongkan sebagai retribusi perizinan tertentu.

BAB IV

CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA

Pasal 6

Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jumlah izin yang diberikan dan jenis perizinan.

BAB V

KEWAJIBAN MEMILIKI IZIN

Pasal 7

(1) Setiap kegiatan usaha pertambangan dan energi wajib memiliki izin bupati atau pejabat yang ditunjuknya;

(2) Tata cara dan syarat-syarat untuk memperoleh izin dan luas areal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB VI

PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF

Pasal 8

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif perizinan didasarkan pada tujuan untuk menutupi biaya penyelenggaraan pemberian izin;

(2) Biaya sebagamana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pengecekan, biaya pemeriksaan, biaya pembuatan peta dan biaya transportasi dalam rangka pengawasan dan pengendalian.

BAB VII RUANG LINGKUP

Bagian Pertama Bidang Pertambangan

Pasal 9

(1) Penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan umum dalam Peraturan Daerah ini adalah untuk pengusahaan semua jenis bahan galian Golongan A, Golongan B dan Golongan C sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

(8)

(2) Ruang Lingkup dalam Peraturan Daerah ini adalah Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum yang meliputi :

a. Pencadangan dan Penetapan wilayah usaha pertambangan;

b. Pemberian Kuasa Pertambangan;

c. Pemberian Penugasan Pertambangan;

d. Pemberian Izin Pertambangan Rakyat;

e. Pemberian Izin Pengelolaan Limbah Pertambangan;

f. Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Usaha Pertambangan dalam bentuk Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Kerja Sama Usaha Pertambangan Batu Bara (PKP2B);

g. Pengevaluasian dan Pelaporan Kegiatan;

h. Pembinaan dan Pengawasan;

i. Pemberian rekomendasi/persetujuan izin non inti.

BAB VIII

ORGANISASI PENGELOLA PERTAMBANGAN UMUM

Pasal 10

(1) Untuk penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan umum dilaksanakan oleh Dinas Pertambangan Dan Energi Kabupaten Bolaang Mongondow Utara;

(2) Fungsi – fungsi pengelolaan usaha pertambangan umum sebagaimana termaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. Pengaturan;

b. Pemrosesan izin;

c. Pembinaan Usaha;

d. Pengawasan Eksplorasi, Eksploitasi, Produksi, Konservasi, K3 dan Lingkungan;

e. Pengelolaan Informasi Pertambangan Umum;

f. Pengevaluasian dan Pelaporan Kegiatan.

Pasal 11

Kewenangan pengelolaan usaha pertambangan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) dalam pelaksanaannya bupati dapat melaksanakan kerjasama dengan pihak ketiga.

BAB IX

PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN UMUM

Pasal 12

(1) Setiap usaha pertambangan umum baru dapat dilaksanakan apabila telah mendapat Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari bupati;

(2) Usaha Pertambangan Umum dalam rangka Pemberian Kuasa Pertambangan dapat diberikan kepada :

a. Perusahaan Negara;

b. Perusahaan Daerah;

c. Koperasi ;

d. Perusahaan Swasta Nasional;

e. Perorangan.

(3) Usaha Pertambangan Umum dalam rangka Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia yang bergerak di bidang Pertambangan Umum, pengaturan lebih lanjut ditetapkan dalam Peraturan Bupati.

(9)

Pasal 13

(1) Kuasa Pertambangan (KP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) diberikan dalam bentuk :

a. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan;

b. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan;

c. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat.

(2) Kuasa Pertambangan terdiri dari :

a. Kuasa Pertambangan Penyelidikan umum;

b. Kuasa Pertambangan Eksplorasi;

c. Kuasa Pertambangan Eksploitasi;

d. Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian;

e. Kuasa Pertambangan Pengangkutan;

f. Kuasa Pertambangan Penjualan.

BAB X

TATA CARA MEMPEROLEH KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 14

(1) Permohonan Kuasa Pertambangan diajukan secara tertulis kepada bupati dengan melampirkan persyaratan yang diperlukan;

(2) Bentuk dan syarat – syarat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati;

(3) Apabila dalam satu wilayah terdapat lebih dari satu permohonan, maka prioritas pertama diberikan, ditentukan oleh bupati berdasarkan urutan pengajuan permohonan.

BAB XI LUAS WILAYAH

Pasal 15

(1) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum maksimal 5.000 hektar;

(2) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan Eksplorasi maksimal 2.000 hektar;

(3) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi maksimal 500 hektar.

Pasal 16

(1) Jumlah Wilayah Kuasa Pertambangan dapat diberikan kepada perusahaan atau perorangan maksimum 2 wilayah;

(2) Untuk mendapatkan luas wilayah kuasa pertambangan atau jumlah wilayah kuasa pertambangan melebihi ketentuan yang dimaksud dalam pasal 12 dan pasal 13 ayat (1) Peraturan Daerah ini harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari bupati.

BAB XII

MASA BERLAKUNYA KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 17

Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diberikan oleh bupati untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dan dapat memperpanjang (1) satu tahun lagi apabila diperlukan.

(10)

Pasal 18

(1) Kuasa Pertambangan Eksplorasi diberikan oleh bupati untuk jangka waktu selama-lamanya 3 (tiga ) tahun;

(2) Bupati dapat memperpanjang waktu termasuk pada ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun;

(3) Apabila pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi menyatakan akan meningkatkan usaha pertambangan ke tahap Eksploitasi, bupati dapat memberikan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksplorasi selama–

lamanya 3 (tiga) tahun untuk pembangunan fasilitas Eksploitasi.

Pasal 19

(1) Kuasa Pertambangan Eksploitasi diberikan oleh Bupati untuk jangka waktu selama–lamannya 10 (sepuluh) tahun;

(2) Bupati dapat memperpanjang waktu termasuk pada ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 10 (sepuluh) tahun lagi.

Pasal 20

(1) Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian diberikan oleh bupati untuk jangka waktu selama–lamanya 10 (sepuluh) tahun;

(2) Bupati dapat memperpanjang waktu termasuk pada ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 10 (sepuluh) tahun lagi.

Pasal 21

(1) Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan diberikan oleh bupati untuk jangka waktu selama – lamanya 10 (sepuluh ) tahun;

(2) Bupati dapat memperpanjang waktu termasuk pada ayat (1) untuk jangka waktu setiap kali perpanjangan 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 22

Permohonan Perpanjangan Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17, 18, 19, 20 dan 21 Peraturan Daerah ini diajukan oleh pemohon secara tertulis kepada bupati 3 (tiga) bulan sebelum berakhir masa berlakunya.

BAB XIII

PENUGASAN PERTAMBANGAN

Pasal 23

(1) Surat Keputusan Penugasan Pertambangan dapat diberikan kepada instansi Pemerintah atau Perguruan Tinggi dalam rangka penelitian bahan galian A, B dan C;

(2) Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB XIV

PERTAMBANGAN RAKYAT

Pasal 24

(1) Bupati sebelum memberikan izin pertambangan rakyat terlebih dahulu dapat ditetapkan suatu wilayah pertambangan rakyat;

(2) Usaha Pertambangan Rakyat hanya diberikan kepada perorangan;

(3) Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

(11)

BAB XV

PENGELOLAAN LIMBAH PERTAMBANGAN

Pasal 25

(1) Izin Pengelolaan Limbah Pertambangan dapat diberikan kepada Koperasi, Perusahaan Swasta Nasional dan atau Perorangan;

(2) Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Bupati;

BAB XVI

HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 26

(1) Pemegang Kuasa Pertambangan berhak untuk melakukan kegiatan didalam Wilayah Kuasa Pertambangannya sesuai tahapan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam BAB XI Pasal 15 Peraturan Daerah ini;

(2) Pemegang Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum berhak untuk meningkatkan usahanya ke tahap eksplorasi dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Bupati dengan memenuhi persyaratan yang di tentukan;

(3) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak untuk meningkatkan usahanya ke tahap eksploitasi dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan;

(4) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksploitasi berhak memiliki bahan galian yang tergali setelah memenuhi kewajiban membayar iuran tetap dan iuran eksplorasi/eksploitasi;

(5) Pemegang Kuasa Pertambangan diberikan prioritas untuk melakukan pembangunan prasarana yang diperlukan bagi pelaksanaan usaha pertambangan.

Pasal 27

(1) Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan menyampaikan laporan mengenai hasil penyelidikan dan atau perkembangan kegiatan yang telah dilakukan, kepada bupati secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali;

(2) Disamping hak termaksud pada pasal 18 ayat (1) Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan menyampaikan laporan akhir kegiatan/tahunan kepada bupati mengenai perkembangan pekerjaan yang telah dilakukan;

(3) Pemegang kuasa Pertambangan diwajibkan membayar iuran tetap setiap tahun sesuai luas dan tahapan kegiatan yang besarnya :

a. Iuran tetap Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum : 1. Tahun ke I Rp. 500 /hektar

2. Tahun ke II Rp. 1.000/hektar

b. Iuran tetap Kuasa Pertambangan Eksplorasi : 1. Tahun ke I Rp. 2.000/hektar

2. Tahun ke II Rp. 2.500/hektar 3. Tahun ke III Rp. 3.000/hektar

c. Perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi : 1. Tahun ke 1 Rp. 5.000/hektar

2. Tahun ke II Rp. 6.000/hektar

d. Pembangunan Fasilitas Eksploitasi Rp. 7.000/hektar/tahun e. Iuran Tetap Kuasa Pertambangan Eksploitasi Rp 10.000/hektar/tahun (4) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi diwajibkan membayar iuran

eksplorasi atau bahan galian tergali sesuai dengan tarif berdasarkan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku;

(12)

(5) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar iuran eksploitasi/produksi atau hasil produksi yang diperoleh sesuai Peraturan Perundang – undangan yang berlaku.

Pasal 28

(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib dan bertanggung jawab atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3 sesuai dengan keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 serta Peraturan Perundang – undangan yang berlaku);

(2) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib melakukan pengelolaan dan pemeliharaan kelestarian lingkungan sesuai ketentuan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku di bidang lingkungan hidup.

Pasal 29

(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib membantu pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat yang dilaksanakan Pemerintah Daerah di sekitar usaha pertambangannya;

(2) Kewajiban membantu pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati.

BAB BAB XVII

HUBUNGAN PEMEGANG IZIN DENGAN PEMILIK HAK ATAS TANAH

Pasal 30

(1) Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat usaha pertambangan yang dilakukan pada segala sesuatu yang berada di atas tanah termasuk tanam tumbuh dengan pemilik tanah;

(2) Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan dengan pihak-pihak berwenang sebelum kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan;

(3) Segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian ganti rugi maupun tumpang tindih lahan dibebankan kepada pemegang Kuasa Pertambangan;

(4) Penyelesaian ganti rugi dan tumpang tindih lahan dapat dilakukan terlebih dahulu secara musyawarah, dan apabila tidak dicapai kesepakatan baru melalui Pengadilan atau Badan Arbitrasi Nasional;

(5) Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB XVIII

BERAKHIRNYA KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 31

(1) Apabila setelah berakhirnya jangka waktu pemberian Kuasa Pertambangan tidak diajukan peningkatan atau perpanjangan oleh pemegang Kuasa Pertambangan, maka Kuasa Pertambangan tersebut dinyatakan berakhir dan segala usaha pertambangan harus dihentikan;

(2) Pemegang Kuasa Pertambangan dapat mengembalikan Kuasa Pertambangannya kepada Bupati dengan mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan alasan–alasan mengenai pengembalian tersebut;

(3) Pengembalian Kuasa Pertambangan baru sah setelah mendapat persetujuan dari bupati;

(4) Kuasa Pertambangan dapat dibatalkan oleh bupati walaupun masa berlakunya belum berakhir apabila pemegang Kuasa Pertambangan tidak dapat memenuhi kewajiban–kewajiban dalam keputusan Kuasa Pertambangan maupun berdasarkan ketentuan–ketentuan lain yang berlaku;

(5) Sebagai akibat beralihnya Kuasa Pertambangan sebagaimana tersebut pada ayat (1), (2), dan (3) Pemegang Kuasa Pertambangan tetap harus menyelesaikan kewajiban–kewajiban yang belum dipenuhi selama berlakunya Kuasa Pertambangan.

(13)

BAB XIX

PEMINDAHAN KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 32

(1) Dalam rangka meningkatkan usaha maka Kuasa Pertambangan dapat dipindahkan kebadan lain atas persetujuan bupati;

(2) Tata cara dan persyaratan pemindahan Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB XX

KETENTUAN KERJASAMA USAHA

Pasal 33

(1) Kuasa Pertambangan tidak dapat dipergunakan sebagai unsur permodalan dengan pihak ketiga;

(2) Pemegang Kuasa pertambangan dapat bekerjasama dengan pihak lain setelah mendapat persetujuan dari bupati;

(3) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh bupati.

BAB XXI

PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 34

(1) Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan oleh Dinas Pertambangan Dan Energi;

(2) Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Pengelolaan Lingkungan, atau Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dilaksanakan oleh Pelaksana Inspeksi Tambang (PIT);

(3) Tata cara dan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dan pengangkatan pejabat Pelaksana Inspeksi Tambang ditetapkan lebih lanjut oleh bupati berdasarkan Perundang–undangan yang berlaku.

BAB XXII

USAHA KETENAGALISTRIKAN

Bagian Kedua Energi Pasal 35 (1) Usaha Ketenaga Listrikan terdiri dari :

a. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik;

b. Usaha Penunjang Tenaga Listrik;

(2) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana tersebut dalam ayat (1) huruf a terdiri atas :

a. Pembangkitan Tenaga Listrik untuk kepentingan Rumah Tangga;

b. Tranmisi Tenaga Listrik swasta untuk industri Rumah Tangga;

c. Distribusi Tenaga Listrik;

d. Penjualan Tenaga Listrik oleh Swasta ke Pabrik dan Industri;

e. Agen Penjualan Tenaga Listrik Swasta;

f. Pengelola Pasal Tenaga Listrik;

g. Pengelola Sistem Tenaga Listrik.

(3) Usaha Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana tersebut dalam ayat (1) huruf b terdiri atas :

a. Usaha jasa penunjang Tenaga Listrik :

a – 1 Konsultasi dalam bidang Tenaga Listrik;

(14)

a – 2 Pembangunan dan pemasangan instalasi Tenaga Listrik;

a – 3 Pengujian Instalasi Tenaga Listrik;

a – 4 Pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik;

a – 5 Pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik;

a – 6 Penelitian dan Pengembangan;

a – 7 Pendidikan dan Pelatihan;

a – 8 Usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan Tenaga Listrik.

b. Industri Penunjang Tenaga Listrik : b – 1 Industri Peralatan Tenaga Listrik b – 2 Industri Pemanfaatan Tenaga Listrik

BAB XXIII

PERIZINAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN UMUM ( I U P L )

Pasal 36

1. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum dapat meliputi jenis usaha :

a. Pembangkitan Tenaga Listrik;

b. Transmisi Tenaga Listrik;

c. Distribusi Tenaga Listrik;

d. Penjualan Tenaga Listrik;

e. Agen Penjualan Tenaga Listrik;

f. Pengelola Pasar Tenaga Listrik;

g. Pengelola Sistem Tenaga Listrik.

2. IUPL diberikan sesuai dengan jenis usahanya sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan berlaku selama 30 (tiga puluh) tahun, dan selanjutnya dapat di perpanjang.

Pasal 37

Usaha penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana tersebut dalam pasal 35 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan IUPL yang dikeluarkan oleh :

a. Menteri Untuk usaha

penyediaan Tenaga Listrik yang dilakukan oleh BUMN;

Untuk usaha penyediaan Tenaga Listrik yang terhubung dengan jaringan Trasmisi Nasional (On Grid);

Untuk usaha Penyediaan Tenaga Listrik antar Propinsi yang tidak terhubung dengan jaringan Transmisi Nasional (Off Grid).

b. Gubernur Untuk usaha

penyediaan Tenaga Listrik antar kabupaten / kota

yang tidak

terhubung dengan

(15)

jaringan Transmisi Nasional (Off Grid).

c. Bupati/Wali Kota Untuk usaha

penyediaan Tenaga Listrik dalam Kabupaten / Kota

yang tidak

terhubung dengan jaringan Transmisi Nasional (Off Grid).

Pasal 38

(1) Menteri memberikan persetujuan harga jual/tarif Tenaga Listrik;

(2) Usulan harga jual/tarif Tenaga Listrik diajukan oleh permohonan IUPL kepada menteri melalui Bupati untuk mendapat persetujuan;

(3) Bupati melakukan evaluasi terlebih dahulu atas usulan persetujuan harga jual/tarif Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud ayat (2) yang diajukan permohonan IUPL dengan memperhatikan :

a. Kepentingan rakyat dan kemampuan masyarakat;

b. Kaida – kaida industri dan niaga yang sehat;

c. Biaya produksi;

d. Kelangkaan sumber energi primer yang digunakan;

e. Skala pengusahaan;

f. Tersedianya dana untuk investasi.

(4) Sesuai kewenagan sebagaimana tersebut dalam Pasal 37, bupati mengajukan persetujuan harga jual/tarif Tenaga Listrik kepada Menteri.

Pasal 39

Persyaratan dan tata cara penerbitan IUPL ditetapkan oleh bupati.

Pasal 40

(1) Persyaratan teknis dalam pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik milik pemegang IUPL harus memenuhi standar dan ketentuan teknis di bidang ketenagalistrikan yang diberlakukan secara nasional;

(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

keselamatan kerja/umum, keselamatan lingkungan, mutu dan keandalan tenaga listrik.

Pasal 41

Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IUPL berdasarkan pedoman pelaksanaan yang ditetapkan oleh menteri.

Pasal 42

Pelaksanaan Pengawasan atas ditaatinya standar dan ketentuan teknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan oleh pelaksana inspeksi Ketenagalistrikan.

(16)

BAB XXIV

PERIZINAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTIK UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI ( I O )

Pasal 43

(1) Sifat Penggunaan Tenaga Listrik oleh usaha penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri dapat meliputi :

a. Penggunaan Utama;

b. Penggunaan Darurat;

c. Penggunaan Sementara.

(2) IO diberikan sesuai dengan sifat penggunaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan berlaku selama 5 (lima) tahun, dan selanjutnya dapat diperpanjang.

Pasal 44

(1) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana tersebut pada Pasal 43 ayat (1) huruf b, dilakukan berdasarkan IO yang dikeluarkan oleh bupati;

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), adalah usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang jumlah kapasitas tenaga listriknya tidak melebihi 200 kVA dapat dilakukan tanpa izin;

(3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri untuk kapasitas tertentu sampai dengan 200 kVA wajib didaftar;

(4) Batas kapasitas tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan oleh bupati.

Pasal 45

Pemegang IO yang mempunyai kelebihan tenaga listrik dapat menjual tenaga listriknya dengan kewajiban memiliki IUPL terlebih dahulu.

Pasal 46

Persyaratan dan tata cara IO ditetapkan oleh bupati.

Pasal 47

(1) Persyaratan teknis dalam pengoperasian instalasi tenaga listrik milik pemegang IO harus memenuhi standar dan ketentuan teknis di bidang ketenagalistrikan yang diberlakukan secara nasional;

(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Keselamatan Kerja/Umum, Keselamatan Lingkungan, Mutu dan Keandalan Tenaga listrik.

Pasal 48

Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IO berdasarkan pedoman pelaksanaan yang ditetapkan oleh menteri.

Pasal 49

Pelaksanaan pengawasan atas ditaatinya standar dan ketentuan teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat (1) dilakukan oleh pelaksana inspeksi ketenagalistrikan.

Pasal 50

Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan dalam penyelenggaraan usahanya, dapat dikenai sanksi administrasi/pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah ini.

(17)

BAB XXV

STRUKTUR DAN BESARAN TARIF RETRIBUSI

Bagian Pertama Bidang Pertambangan

Pasal 51

A. Izin Usaha pertambangan rakyat untuk bahan galian emas:

a. Pemberian Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD) - Penambangan Rp 100.000,- per Tahun - Pengolahan Rp 100.000,- per Tahun b. Pengganti biaya cetak peta bahan galian emas:

- Skala 1 : 20.000 Rp 100.000,- per Buah - Skala 1 : 10.000 Rp 100.000,- per Buah - Skala 1 : 5.000 Rp 125.000,- per Buah - Skala 1 : 1.000 Rp 150.000,- per Buah - Skala 1 : 500 Rp 150,000,- per Buah c. Retribusi hasil bahan galian emas = 5% dari harga jual d. Retribusi jasa usaha tromol Rp. 10.000,- per Buah/tahun e. Retribusi usaha timbangan emas Rp. 50.000- per Buah/tahun f. Retribusi bea masuk pertambangan Rp. 250,- per hari/orang B. Izin Usaha Pertambangan Bahan Galian C;

a. Pemberian Surat Izin Pertambangan daerah(SIPD)

Penambangan Rp 100.000,00 perbuah Pengolahan Rp 100.000,00 perbuah Penggunaan alat berat Rp 100.000,00 Perbuah b. Penganti biaya cetak peta bahan galaian golangan C

Sakla 1: 20.000 Rp 100.000,00 Perbuah Sakla 1: 10.000 Rp 100.000,00 Perbuah Skala 1: 5.000 Rp 125.000,00 Perbuah Skala 1: 1.000 Rp 150.000,00 Perbuah Skala 1: 500 Rp 150.000,00 Perbuah

Bagian Kedua

Bidang Energi dan Ketenaga Listrikan

Pasal 52

A. IzinUsaha Penimbunan,Penyaluran dan Penjualan BBM

a. Izin untuk stasiun pengisian Bahan Bakar untuk umum(SPBU) adalah : Retribusi Rp 157.500,00 Pertahun

b. Izin untuk Agen Bahan Bakar Minyak dan sejenisnya adalah : Retribusi Rp. 147.500,00 Pertahun

c. Izin pangkalan bahan bakar minyak adalah:

Retribusi Rp 137.500,00 Pertahun

d. Izin penyalur/penjual bahan bakar minyak dan sejenisnya untuk usaha sedang adalah:

Retribusi Rp 75.000,00 Pertahun

e. Izin penyalur/penjual bahan bakar minyak dan sejenisnya untuk usaha kecil adalah:

Retribusi Rp 50.000,00 Pertahun

B. Izin Operasi, Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik :

a. Izin operasi : Rp 10.000.000,-

(18)

b. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik : Rp 5.000.000,- c. Izin Usaha Jasa penunjang Tenaga Listrik : Rp 2.500.000,-

BAB XXVI

WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 53

Retribusi yang terhutang dipungut di wilayah Daerah Tempat Izin Usaha diberikan.

BAB XXVII

TATA CARA PEMUNGUTAN

Pasal 54

(1) Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan;

(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;

(3) Tata Cara Pemungutan Retribusi ditetapkan oleh Bupati;

(4) Kepada Petugas Pemungut diberikan uang Perangsang sebesar 5 % dari Realisasi Penerimaan.

BAB XXVIII

MASA RETRIBUSI DAN SAAT RETRIBUSI TERHUTANG

Pasal 55

Masa Retribusi adalah jangka waktu lamanya 1 (satu) tahun.

Pasal 56

Saat Retribusi Terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau Dokumen lain yang dipersamakan.

BAB XXIX

SURAT PENDAFTARAN

Pasal 57 (1) Wajib Retribusi wajib mengisi SPdORD;

(2) SPdORD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, lengkap serta ditandatangani oleh wajib retribusi atau kuasanya;

(3) Bentuk serta tata cara pengisian dan penyampaian SPdORD dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati.

BAB XXX

PENETAPAN RETRIBUSI

Pasal 58

(1) Berdasarkan SPdORD sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 ayat (1) ditetapkan Retribusi Terhutang dengan menerbitkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;

(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah retribusi terutang maka dikeluarkan SKRDKBT;

(3) Bentuk, isi serta tata cara penerbitan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan SKRDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

(19)

BAB XXXI

TATA CARA PEMBAYARAN

Pasal 59

(1) Pembayaran retribusi terhutang harus dilunasi sekaligus;

(2) Retribusi yang terhutang dilunasi selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;

(3) Tata Cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XXXII

T ATA CARA PENAGIHAN

Pasal 60

(1) Retribusi terhutang berdasarkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, SKDRBT, STRD dan Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah retribusi yang harus dibayar bertambah atau kurang bayar oleh wajib retribusi dapat ditagih melalui Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN);

(2) Penagihan retribusi melalui BUPLN dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

BAB XXXIII

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 61

(1) Atas kelebihan pembayaran retribusi, wajib retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada bupati;

(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6(enam) bulan sejak diterima permohonan kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memberikan keputusan;

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan bupati tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan retribusi dianggap dikabulkan dan SKRD harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan;

(4) Apabila wajib retribusi mempunyai utang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran retribusi dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang retribusi tersebut;

(5) Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2(dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.

Pasal 62

(1) Permohonan pengembalian retribusi diajukan secara tertulis kepada bupati dengan sekurang-kurangnya menyebutkan :

a. Nama dan alamat wajib Retribusi;

b. Masa retribusi;

c. Besarnya kelebihan pembayaran;

d. Alasan yang singkat dan jelas.

(2) Permohonan Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi disampaikan secara langsung atau melalui pos tercatat.

(3) Bukti penerimaan oleh pejabat daerah atau bukti pengiriman pos tercatat merupakan bukti saat permohonan diterima oleh bupati.

Pasal 63

(1) Pengembalian kelebihan retribusi diajukan secara tertulis kepada bupati dengan sekurang-kurangnya menyebutkan:

(2) Apabila kelebihan pembayaran retribusi diperhitungkan dengan retribusi lainnya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (4), pembayaran

(20)

dilakukan dengan cara pemindabukuan dan bukti pemindabukuan juga berlaku sebagai bukti pembayaran.

BAB XXXIV

PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI

Pasal 64

(1) Bupati dapat memberikan keringanan dan pembebasan retribusi;

(2) Pengurangan, keringanan pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan dengan memperhatikan kemapuan wajib retribusi;

(3) Tata cara pengurangan keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan oleh bupati.

BAB XXXV KEBERATAN

Pasal 65

(1) Wajab Retrbusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada bupati atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, SKRDKBT dan SKRDLB;

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas;

(3) Dalam hal wajib retribusi mengajukan keberatan atas keberatan retribusi, wajib retribusi harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan retribusi tersebut;

(4) Keberatan yang diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, SKRDKBT dan SKRDLB diterbitkan, kecuali apabila wajib retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar jangkauanya;

(5) Keberatan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) tidak dianggap surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan;

(6) Pengajukan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi;

Pasal 66

(1) Bupati dalam jangka paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan;

(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat menerima seluruhnya atau sebagian menolak atau menambah besarnya retribusi yang terutang;

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan bupati tidak memberikan keputusan keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

BAB XXXVI

KADALUARSA PENAGIHAN Pasal 67

(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutang retribusi, kecuali apabila wajib retribusi melakukan tindak pidana di bidang retribusi;

(2) Kadaluarsa penagihan retribusi sebagaimana dimasud ayat (1) tertangguh apabila :

a. Diterbitkan surat teguran atau;

b. Ada pengakuan penagihan utang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak langsung.

(21)

BAB XXXVII PENYIDIKAN

Pasal 68

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :

a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan rertribusi;

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpjakan daerah dan retribusi;

d. Memeriksa buku-buku catatan-catatan, dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;

e. Melakukan penggeledahan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

f. Meminta tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;

g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana yang dimaksud pada huruf e;

h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan retribusi;

i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. Menghentikan penyidikan;

k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.

(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan kententuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

BAB XXXVIII KETENTUAN PIDANA

Pasal 69

(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setingginya Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah);

(2) Tindak pidana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB XXXIX

KETENTUAN PENUTUP Pasal 70

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur tersendiri dalam Peraturan Bupati.

(22)

Pasal 71

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.

Disahkan : B o r o k o Pada tanggal : 12 Mei 2008

Pj. BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA

H. R. MAKAGANSA

Diundangkan : B o r o k o Pada tanggal : 12 Mei 2008

SEKRETARIS DAERAH

KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA

Drs. REKY POSUMAH PEMBINA UTAMA MUDA

NIP : 131 843 689

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA TAHUN 2008 NOMOR : 15

TTD

TTD + CAP

(23)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR : 15 TAHUN 2008

TENTANG

IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN

ENERGI SERTA PUNGUTAN RETRIBUSI ATASNYA

I. UMUM

Ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 119 Tahun 1998 tentang Ruang Lingkup dan Jenis-jenis Retribusi Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, maka retribusi kesehatan merupakan Retribusi Daerah Tingkat II, dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah perlu ditingkatkan, sehingga kemandirian daerah dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat terwujud.

Sehingga perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Tentang Izin Usaha Pertambangan Dan Energi Serta Pungutan Retribusi Atasnya;

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s.d Pasal 71 Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR : 15

Referensi

Dokumen terkait

[r]

a) Biaya pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan dibayar dengan paket INA CBGs tanpa pengenaan iur biaya kepada peserta. b) Tarif paket INA CBG’s sesuai dengan

Scilab menyediakan bagi pengguna dengan jumlah bentuk pemrograman yang banyak memiliki kesamaan dengan FORTRAN dan bahasa pemrograman tingkat tinggi lainnya.. Kita

Bila penulangan konstruksi beton menggunakan tulangan jaring, maka akan berlaku pera- turan sebagai berikut : jaringan digambar dalam bentuk empat persegi panjang pada gambar

Pada pengamatan saat usia bayi 0-6 bulan, dari 125 bayi yang tidak menderita ADB dilakukan pemeriksaan saturasi transferin untuk menetapkan apakah seorang bayi menderita

Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa pemanfaatan kedua cara tersebut tidaklah cukup dalam mengurangi hambatan pendengaran, tetapi anak tunarungu juga perlu mendapatkan

tahu asal-muasalnya. siswa bekerja dan berpikir menurut apa yang disampaikan oleh guru sehingga kreativitas belajar matematika siswa tidak berkembang. Faktor lain yang

Besaran pokok Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dengan dasar