(KAJIAN PRAGMATIK GRICE)
HUMOROUS DISCOURSE IN STAND UP COMEDY (PRAGMATIC STUDY GRICE)
TESIS
Oleh:
NAJAMUDDIN
Nomor Induk Mahasiswa: 10.50.413. 03918
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
i
WACANA HUMOR DALAM STAND UP COMEDY (KAJIAN PRAGMATIK GRICE)
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan Oleh
NAJAMUDDIN
Nomor Induk Mahasiswa: 105 04 13 039 18
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
iv Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Najamuddin
NIM : 105 04 13 039 18
Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar- benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa tulisan ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, April 2021 Yang menyatakan
Najamuddin
v
Najamuddin, 2021. Wacana Humor Dalam Stand-Up Comedy: Kajian Pragmatik Grice. Dibimbing oleh Munirah dan Mulis Madani.
Penelitia ini bertujuan mengetahui Bentuk pelanggaran prinsip kerja sama Grice dalam wacana humor SUC dan Makna pesan sosial yang disampaikan Komika dengan pelanggaran prinsip kerja sama Grice. Jenis pendekatan penelitian deskriptif kualitatif, dan sumber data dalam penelitian ini dari situs Youtube. Teknik pengumpulan data mengunakan teknik dokumentasi, observasi,simak, dan catat. Data dianalisis menggunakan teknik reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan dan penampilan data.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bentuk pelanggaran prinsip kerja sama Grice yang ditemukan yaitu; 1) maksim kuantitas yang meliputi informasi yang disampaikan kurang informatif dan melebihi yang dibutuhkan, 2) maksim kualitas meliputi mengatakan sesuatu yang diyakini salah dan menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara memadai, 3) maksim relevansi meliputi pemberian informasi yang tidak relevan dengan konteks tuturan, 4) maksim cara meliputi tuturan yang tidak jelas dan memiliki makna ganda. Dan makna pesan sosial yang disampaikan oleh Komika yaitu; 1) pemerintah harus menegakkan hukum, pemerataan pembangun diseluruh wilayah Indonesia, menyelesaikan angka buta huruf, pemerintah harus sigap, tanggap, meperhatikan korban bencana tanpa ada pilih kasih, dan institusi pendidikan harus memperhatikan alat musik tradisoanal, 2) senantiasa bernyukur dengan apa yang kita miliki, berhenti menilai orang dari penampilan luar, berhentilah melakukan kegiatan yang mubazir dan tidak mendidik, menjaga kebersihan, jangan mendiskreditkan beberapa pihak, berhenti melakukan bullying terhadap orang, serta para penyanyi dangdut harus lebih memperhatikan dan mementingkan kualitas dan makna lagu dibangding dengan goyangan, 3) perbedaan itu adalah hal yang wajar dan tidak perlu diributkan, banggalah dengan Indonesia, kesetaraan itu penting, namun harus proposional, dan membeli suatu barang harus lebih mengedepankan fungsi dari pada genggsi. Serta fashion kita harus enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap kita dan kita harus mampu bersikap toleran, dan 4) pondok pesantren selaku institusi pendidikan Islam agar memberikan perhatian serius pada persoalan kebutuhan gizi para santri. Dan iklan di Tv harus dapat menumbuhkan, mengajak, dan memicu kesadaran masyarakat untuk taat beribadah terkhususnya salat tahajud. Di samping itu juga DPR harus mampu dekat dan mendengar insprirasi rakyat dan mudah ditemui, didekati, dan merakyat.
Kata kunci: Stand-up comedy, prinsip kerja sama, kritik sosial.
vi
Najamuddin, 2021. Discourse on Humor in Stand-Up Comedy: Grice's Pragmatic Study. Supervised by Munirah and Mulis Madani.
This research aims to find out the form of violation of Grice's principle of cooperation in the SUC humorous discourse and the meaning of the social message conveyed by Komika in violation of Grice's cooperation principle. This type of research approach is qualitative descriptive, and the source of the data in this study is from the Youtube site. The technique of collecting data uses documentation, observation, observing, and taking notes. Data were analyzed using data reduction techniques, data presentation, drawing conclusions and data appearance.
The results of this study indicate that the forms of violations found in Grice's cooperation principles are; 1) the maxim of quantity which includes the information conveyed is less informative and exceeds what is needed, 2) the maxim of quality includes saying something that is believed to be wrong and stating something that cannot be proven adequately, 3) the maxim of relevance includes providing information that is not relevant to the context of the speech, 4) maxims include speech that is unclear and has multiple meanings. And the meaning of the social message conveyed by Komika, namely; 1) the government must enforce the law, develop equitable distribution of builders throughout Indonesia, resolve illiteracy rates, the government must be alert, responsive, pay attention to disaster victims without favoritism, and educational institutions must pay attention to traditional musical instruments, 2) always be grateful for what we have , stop judging people from outward appearances, stop doing redundant and uneducative activities, maintain cleanliness, don't discredit some parties, stop bullying people, and dangdut singers must pay more attention and give priority to the quality and meaning of songs compared to shaking, 3) That difference is a natural thing and there is no need to be fussed about, be proud of Indonesia, equality is important, but it must be proportional, and buying an item must prioritize function rather than prestige. As well as our fashion must be pleasing to the eye and can represent our attitude and we must be able to be tolerant, and 4) Islamic boarding schools as Islamic educational institutions to pay serious attention to the problem of nutritional needs of the santri. And advertisements on TV must be able to grow, invite, and trigger public awareness to obey worship, especially the
vii
Segala puji bagi Allah yang telah memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Berbahagialah manusia yang telah mendapat hikmah dari Allah, karena ia telah memperoleh kebaikan hidup dan kehidupan. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada Muhammad Rasulul lah yang telah menjadi al-mu’allim al-awwal bagi kaum Muslim seluruh dunia. Juga kepada para sahabatnya, keluarganya, dan semua manusia yang mengikuti jejak langkah konsep pendidikan yang dipraktikkannya. Tesis ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu.
Setiap orang dalam berkarya selalu mencari mencari kesempurnaan, tetapi terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Begitupun dengan tesis ini yang tidak akan terlepas dari kesalahan karena kapasitas penulis terbatas. Berbagai upaya telah dilakukan demi tulisan ini selesai dengan baik.
Berbagai motivasi dari pihak yang sangat membantu selesainya tulisan ini. Segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta penulis yang telah memberikan pendidikan kedisiplinan, ilmu ketegaran, keyakinan dan material sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan setinggi ini. Kepada Dr. Munirah, M.Pd dan Dr. H. Muhlis Madani, M.Si dosen pembimbing I dan pembimbing II, yang telah memberi bimbingan dan arahan serta motivasi sejak awal penyusunan tesis hingga selesai.
viii
Darwis Muhdina, M.Ag Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum Ketua Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta seluruh staf pegawai dalam lingkungan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada teman- teman yang sama-sama bergelut di dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM), Ikatan Mahasiswa Woja (IMW), dan Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan se Indonesia (IMAKIPSI) yang begitu banyak memberikan saya inspirasi, ilmu, pengalaman dan motivasi sehingga bisa sampai pada saat sekarang ini.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak yang membangun.
Semoga dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi saya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Makassar, Maret 2021
Penulis
ix
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang penelitian 1
B. Fokus Penelitian 5
C. Tinjuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 7
A. Tinjauan Hasil Penelitian 7
B. Tinjauan Teori dan Konsep 11
C. Kerangka Pikir 44
BAB III METODE PENELITIAN 46
A. Pendekatan Penelitian 46
x
D. Teknik Pengumpulan Data 48
E. Teknik Analisis Data 50
F. Mengecek Keabsahan Data 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 52
A. Deskripsi Hasil Penelitian 52
B. Pembahasan 112
BAB V SIMPULA DAN SARAN 118
A. Simpulan 118
B. Saran 120
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
SUC : Stand Up Comedy
WH : Wacana Humor
PKS : Prinsip Kerja Sama
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
TV : Televisi
TVRI : Televisi Republik Indonesia
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang ke Dua
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Humor merupakan kebutuhan manusia yang sulit dihindari.
Sebagai kebutuhan nonmateri, humor bisa berdampak besar bagi penikmatnya. Setiap orang, bahkan sekelompok orang, sering membuat humor, baik disengaja maupun tidak. Humor biasanya sengaja dilakukan di depan orang banyak, misalnya dalam pertunjukan komedi di atas panggung, atau dalam pidato yang bertujuan untuk mencairkan suasana.
Humor secara tidak sengaja disebabkan oleh situasi yang tiba-tiba muncul dan membuat orang lain disekitarnya tertawa dan bahagia.
Manfaat atau keutamaan membuat orang lain bahagia dalam islam adalah mendapatkan pengampunan dosa dari Allah SWT. Hal ini tertulis dalam kitab Al ‘Athiyyatul Haniyyah yang berbunyi:
ِلَذ ْنِم ُالله َقَل َخ ،ا ًر ْوُرُس ٍنِم ْؤُم ىَلَع َلَخْدَا ْنَم ،َيِوُر َنْيِعْبَس ِر ْوُرُسلا َك
ِةَماَيِقْلا ِم ْوَي ىَلِا ُهَل َن ْوُرِفْغَتْسَي ،ٍكَلَم َفْلَا
Artinya: Barang siapa yang membahagiakan orang mukmin lain, Allah Ta’ala menciptakan 70.000 malaikat yang ditugaskan meminta ampunan baginya sampai hari kiamat sebab ia telah membahagiakan orang lain.
Sudah sepatutnya orang muslim melakukan hal-hal yang terpuji menurut pandangan Allah SWT. Salah satunya dengan membahagiakan orang lain.
1
Hal ini seperti yang dituturkan dalam hadis riwayat Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa baginda Nabi Muhammad SAW bersabda:
اَمُهْنَع ىَلاَعَت ُالله َى ِضَر ٍساَّبَع ِنْبِا ْنَع َلاَق: الله ىلص ِالله َل ْوُسَر َّنِإ ِر ْوُرُّسلا ُلاَخْدِإ ِضِئاَرَفْلا َدْعَب ِالله ىَلِا ِلاَمْعَ ْلْا َّبَحَا َّنِإ َلاَق ملسو هيلع ِمِلْسُمْلا ىَلَع.
Artinya: Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah SWT setelah melaksanakan berbagai hal yang wajib adalah menggembirakan muslim yang lain.
Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menyampaikan keinginan atau perasaannya. Humor merupakan cara seseorang menyampaikan sesuatu secara tidak langsung. Sebagai fenomena kebahasaan, humor dapat ditemukan di berbagai tempat, dan dalam berbagai bentuk. Inilah yang membuat humor begitu menarik di masyarakat.
Humor merupakan sarana komunikasi, seperti menyampaikan informasi, mengkritik, mengungkapkan kesenangan, mengutarakan pendapat, rasa kesal, marah, atau rasa simpatik. Selain berfungsi untuk mengubah keadaan emosi seseorang, humor juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan dan kritik sosial (Wijana 1994: 21). Sebagai sarana pendidikan, humor dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sarana untuk menambah dan memperluas ilmu. Sebagai sarana kritik sosial, humor
merupakan alat atau sarana kritik yang ampuh, karena mereka yang dikritik tidak menganggapnya sebagai konfrontasi.
Sejalan dengan perintah Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 71:
ْؤُمْلا َو َن ْوُنِم ْؤُمْلا َو َن ْوَهْنَي َو ِف ْوُر ْعَمْلاِب َن ْوُرُمْأَي ٍۘ ٍضْعَب ُءۤاَيِل ْوَا ْمُهُضْعَب ُت ٰنِم
َ ٰٰالله َن ْوُعْيِطُي َو َةو ٰكَّزلا َن ْوُت ْؤُي َو َةوٰلَّصلا َن ْوُمْيِقُي َو ِرَكْنُمْلا ِنَع ٌمْيِكَح ٌزْي ِزَع َ ٰٰالله َّنِاۗ ُ ٰٰالله ُمُهُمَحْرَيَس َكِ ىٰۤلوُاۗ ٗهَل ْوُسَر َو
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul- Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Merujuk pada ayat di atas, Al-quran menyuruh kita agar berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Salah satu cara untuk mencegah kemungkaran yaitu dengan mengkritik dan menyampaikan pendapat. Syariat Islam menetapkan hak-hak diri atau individu muslim.
Allah telah mewajibkan nasihat dan perintah pada yang baik dan mencegah kemunkaran. Tidak mungkin hal itu bisa ditegakkan jika muslim tidak memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan kebebasannya dalam hak tersebut. Tidaklah amar ma’ruf nahi munkar bisa ditegakkan tanpa adanya hak kebebasan berpendapat pada diri
seorang muslim. Salah satu cara menyampaikan kritik dan pendapat yaitu melalui humor pada Stand Up Comedy (SUC).
Ada berbagai macam jenis humor yang berkembang di masyarakat.
Misalnya humor yag ditampilkan dalam bentuk tulisan, gambar, dan humor yang ditampilkan dengan gestur humor pembuatnya. Stand Up Comedy (SUC) juga merupakan jenis humor yang berkembang di masyarakat.
Humor disampaikan melalui tuturan atau retorika dan bergantung pada gerakan tubuh pembicara. Jenis humor ini berpotensi menambah wawasan pengetahuan yang luas tentang karakter seorang pelawak (Muzayyanah 2014: 3).
Dalam hal ini wacana humor yang akan diteliti oleh peneliti adalah Stand Up Comedy (SUC). Stand Up Comedy merupakan lelucon personal, yaitu lelucon yang dilakukan atau dibawakan oleh seorang individu, biasanya dihadapan penonton dengan menggunakan monolog suatu tema atau topik. Tema atau topik yang disampaikan biasanya berkaitan dengan kehidupan pribadi atau kehidupan di lingkungan suatu kelompok masyarakat. Namun sebagian besar peserta komedi membahas berbagai fenomena kehidupan di negeri ini, misalnya tentang korupsi, pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan lain-lain.
Stand up comedy dimulai pada tahun 1800-an di Amerika sebagai teater. Menurut Odios Arminto dalam artikelnya yang berjudul "Mari Melek Sejarah Perlawakan Kita Sendiri", SUC sudah ada sejak lama di Indonesia. Ada Cak Markeso, seorang seniman ludruk dan garingan (tanpa iringan musik) yang memulai karirnya sejak zaman penjajahan
sekitar tahun 1949. Sebelumnya, Cak Markeso adalah bagian dari kelompok bernama "Ludruk Cinta Massa". Entah kenapa, dia memilih keluar dari grup dan memilih bersolo karier. Cak Markeso tercatat dalam sejarah seni ludruk karena pidatonya yang sangat khas dan lihai menggugah imajinasi penikmatnya.
Sebuah program komedi tunggal yang mirip dengan Stand Up Comedy (SUC) juga pernah tayang di TVRI (antara tahun 1970-an hingga 1980-an) dan cukup terkenal serta disukai masyarakat. Tercatat, misalnya, nama komedian Arbain dengan aksen Tegal yang sangat kental mampu membuat penonton tertawa karena lelucon yang dibuat sangat hits. Apalagi ia juga memiliki kemampuan sulap yang sangat baik, sehingga acaranya di TVRI berlangsung cukup lama. Sedangkan meski tidak rutin, artis serba bisa Kris Biantoro ini menampilkan stand-up comedy di TVRI dengan cara yang sangat khas, bahkan jika dibandingkan dengan produk pertunjukan serupa hingga saat ini (Arminto 2014).
Humor di SUC berbeda dengan genre komedi-komedi lainnya.
Kekuatan dan keunggulan SUC terletak pada dominasi penggunaan bahasa verbal. Komika aktif bercerita tentang hasil pengalaman, observasi, dan aspirasinya terhadap kehidupan pribadinya dan kehidupan di sekitarnya yang dikemas menjadi sesuatu yang lucu bagi penontonnya.
Merujuk pada hal tersebut, sebagai entitas komunikasi verbal yang tidak lepas dari maksud dan tujuan tertentu. Sebagaimana Kundharu Saddhono & Slamet (2012: 34) yang menyatakan bahwa berbicara secara umum dapat diartikan sebagai penyampaian maksud yang dapat berupa
gagasan, pemikiran, isi hati seseorang kepada orang lain. Begitu pula dengan wacana SUC yang mengandung berbagai dimensi makna dan maksud yang luas. Pertunjukan SUC tidak hanya sebagai sarana hiburan, tetapi juga dapat berperan sebagai media edukasi karena informasi atau materi yang disampaikan oleh Komika mengandung pesan-pesan yang bersifat informatif dan mengedukasi penonton.
Para Komika sering kali membawakan materi humor yang berhubungan dengan ruang lingkup sosial. Secara umum, permasalahan sosial tersebut meliputi permasalahan terhadap keadaan atau tatanan sosial, ekonomi, dan tirani kekuasaan, baik dalam lingkup daerah asal Komika, nasional, maupun dalam lingkup Internasional. Atas dasar itulah peneliti menjadikan wacana Stand Up Comedy (SUC) sebagai objek penelitian. Penelitian ini akan membahas dua masalah yang berhubungan dengan wacana humor dalam Stand up comedy. Pertama, bagaimana bentuk pelanggaran prinsip kerja sama Grice dalam wacana humor Stand Up Comedy (SUC)? Kedua, bagaimana makna pesan sosial yang disampaikan Komika dengan pelanggaran Prinsip Kerja Sama (PKS) Grice?
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan untuk mendapatkan penelitian yang terarah, diperlukan suatu fokus penelitian, fokus penelitian dalam penelitian ini yaitu:
1. Bentuk pelanggaran Prinsip Kerja Sama (PKS) Grice dalam wacana humor SUC.
2. Makna pesan sosial yang disampaikan Komika dengan pelanggaran Prinsip Kerja Sama (PKS) Grice.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas, tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan bentuk pelanggaran prinsip kerja sama Grice dalam wacana humor SUC.
2. Mendeskripsikan makna pesan sosial yang disampaikan Komika dengan pelanggaran prinsip kerja sama Grice.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis tentang analisis wacana humor, terkhususnya terkait prinsip kerjasama Grice dan menambah pengembangan teori kajian pragmatik pada khususnya dan wacana pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a. Bagi masyarakat, menumbuhkan kesadaran bahwa wacana humor tidak hanya dinikmati sebagai hiburan saja, melainkan juga sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.
b. Bagi guru, menjadi sumber referesi dalam proses belajar mengajar.
c. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan referensi dan pertimbangan atau rujukan untuk penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Untuk mendukung penelitian ini, digunakan beberapa penelitia relevan dan teori yang dianggap relevan yang dapat mendukung penemuan data agar memperkuat teori dan keakuratan data.
A. Penelitian Relevan
Kajian tentang wacana humor terkait linguistik pernah dilakukan oleh Sudarsono (2013), Wati (2013), Sari (2012), Fadilah (2015), dan Wijayanti (2015). Sudarsono (2013), melalui skripsinya “Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural”, melihat penciptaan humor dalam wacana global melalui proses berikut ini.
Pertama, penggunaan aspek kebahasaan dari tingkat rendah hingga tinggi, yaitu (1) aspek fonologi, berupa permainan fonem dan penambahan suku kata, (2) aspek sintaksis, berupa keterkaitan kata dalam frasa dan keterkaitan antarklausa, (3) aspek semantik, berupa
polisemi, idiom, homonimi, peribahasa, hiperbola, metafora, elipsis, dan personifikasi, dan (4) aspek wacana, berupa pantun, silogisme, dan entailmen. Kedua, proses penciptaan humor dalam wacana global dilakukan dengan berpaling dari Prinsip Kerja Sama (PKS) hingga menghasilkan nilai rasa global. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama (PKS) berupa sumbangan informasi yang berlebihan, tidak logis, ambigu, di luar konteks.
Wati (2013) mengkaji humor SUC dalam skripsinya yang berjudul
“Bahasa Humor Pertunjukan: Kajian Prinsip Kerja Sama terhadap Pertunjukan Stand Up Comedy Show di Metro TV”. Penelitian ini membahas bentuk pendayagunaan maksim-maksim dalam Prinsip Kerja Sama (PKS) Grice dan implikatur tuturan humor yang mendayagunakan prinsip kerja sama dalam SUC Show di Metro TV. Berikut ini adalah hasil penelitiannya. Pertama, pendayagunaan maksim kualitas pada terbagi atas sembilan jenis: pelesetan, pemahaman yang salah, dianggap salah oleh Komika, generalisasi yang salah, tidak masuk akal, tidak didukung bukti-bukti, hal yang belum tentu benar, pemikiran yang menyimpang atau tidak lazim, dan kombinasi tidak masuk akal dan dianggap salah oleh Komika. Kedua, pendayagunaan maksim cara terdiri atas penuturan yang tidak jelas, kabur, dan tidak langsung. Ketiga, pendayagunaan maksim relevansi terdiri dari selipan, ketidaksinambungan dengan pernyataan sebelumnya dalam satu topik pembicaraan, ketidaksinambungan karena ambiguitas, ketidaksinambungan karena tuturan yang kurang lengkap, dan penggunaan kata yang kurang tepat.
8
Sari (2012), dalam skripsi berjudul “Humor dalam Stand Up Comedy oleh Raditya Dika (Kajian Tindak Tutur, Jenis, dan Fungsi)”, mengkaji tentang jenis tindak tutur dan penerapan prinsip kerja sama beserta penyimpangan yang terjadi dalam humor SUC oleh Raditya Dika serta mengetahui jenis dan fungsi humor yang digunakan. Adapun hasil penelitiannya sebagai berikut. Pertama, jenis tindak tutur dalam humor SUC oleh Raditya Dika yang menimbulkan kelucuan adalah tindak tutur lokusi naratif, deskriptif, dan informatif; ilokusi asertif, direktif, deklaratif, dan ekspresif; serta tindak tutur perlokusi. Kedua, ditemukannya penerapan dan penyimpangan maksim-maksim prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun dalam tuturan untuk memancing tawa penonton.
Ketiga, jenis humor yang terdapat dalam SUC oleh Raditya Dika adalah guyonan parikena, satire, sinisme, plesetan, analogi, unggul-pecundang, dan apologisme. Keempat, fungsi yang termuat di dalam SUC oleh Raditya Dika adalah fungsi (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatkan solidaritas suatu kelompok, (3) sebagai sarana kritik sosial, (4) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (5) mengubah pekerjaan yang menyenangkan menjadi permainan.
Fadilah (2015), melalui skripsinya: “Humor dalam Wacana Stand- up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV”, mengemukakan hasil penelitiannya sebagai berikut. Pertama, penciptaan humor SUCI 4 menggunakan teknik praanggapan, teknik implikatur, dan teknik dunia kemungkinan. Kedua, tuturan humor SUCI 4 berfungsi sebagai penyalur keinginan dan gagasan, pemahaman diri untuk menghargai orang lain,
pemahaman kritis terhadap masalah yang ada, penghibur, penyegaran pikiran, dan peningkatan rasa sosial.
Wijayanti dalam tesisnya: “Analisis Wacana Stand Up Comedy Indonesia Session 4 Kompas TV” menemukan bahwa struktur wacana SUCI 4 terdiri atas struktur wajib, yaitu isi lawakan yang terdiri atas pengantar dan punch line, serta unsur opsional yang terdiri atas salam pembukan, pertanyaan kabar, kalimat penutup, dan penyebutan nama.
Selain itu, kepaduan antarpremis dalam wacana ditemukan wacana yang kohesif saja, kohesif dan koheren, serta tidak kohesif dan koheren.
Wijayanti juga menemukan berbagai fenomena kebahasaan dalam acara SUCI 4 untuk menimbulkan efek humor, yaitu permainan bunyi yang terdiri atas penggantian bunyi pada kata dan suku kata, ambiguitas yang terdiri dari ambiguitas gramatikal (kata majemuk, frasa, amfipoli) dan ambiguitas leksikal (polisemi dan homonimi), relasi leksikal (hiponimi dan kohiponimi, meronimi, kolokasi, sinonimi, antonimi), permainan unsur pembatas, metonimi, hiperbola, simile, visualisasi referen, dan entailment.
Fungsi komunikatif SUCI 4 yaitu untuk bercanda, menertawakan diri sendiri, menyindir, mengkritik, mempengaruhi penonton, dan menginformasikan budaya.
Berdasarkan beberapa tinjauan penelitian relevan di atas, beberapa persamaa dari penelitian diatas ialah bentuk pelanggaran prinsip kerjasama Grice. Kebaruan yang ditemukan di dalam penelitian ini adalah makna pesan dalam Stand Up Comedy (SUC). Dalam pragmatik, berbicara berorientasi pada maksud tujuan. Humor dalam acara SUC
tidak hanya untuk menghibur penonton saja, tetapi juga untuk menyikapi berbagai permasalahan sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Di atas panggung, Komika menyuarakan kritik dan aspirasinya melalui lelucon.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan membahas secara komprehensif bentuk pelanggaran Prinsip Kerja Sama (PKS) Grice dan makna pesan sosial yang disampaikan Komika dalam SUC.
B. Tinjauan Teori dan Konsep
Teori yang digunakan sebagai landasan penelitian ini meliputi beberapa aspek sebagai berikut.
1. Wacana
Istilah wacana telah dipopulerkan oleh Z. S Harris pada tahun 1952 dalam artikelnya yang berjudul Discourse Analysis dalam majalah Language (Tarigan, 1987:21). Di Indonesia istilah wacana muncul sekitar tahun 1970-an (dari bahasa Inggris discourse) (Djajasudarman, 1994:1).
Hal ini menandakan bahwa wacana sudah ada dan terkenal sejak dulu.
Poerwadarminta (dikutip oleh Baryadi, 2002: 1) mengartikan kata wacana merunut dari akar atau asal katanya. Kata wacana berasal dari kata vacana yang berarti "bacaan" dalam bahasa Sansekerta yang kemudian dimasukkan sebagai kosakata bahasa Jawa Kuna dan Jawa Baru, wacana yang artinya "bicara, kata, atau ucapan". Dalam ilmu linguistik, istilah wacana dipandang sebagai satuan kebahasaan tertinggi
karena mencakup kalimat, gugus kalimat, paragraf, penggalan wacana, dan wacana utuh.
a. Pengertian Wacana
Wacana merupakan satuan bahasa yang tinggi tatarannya dalam ilmu linguistik. Kridalaksana (dalam Rustono 2000: 19) menyatakan bahwa “wacana adalah satuan bahasa dengan unsur terlengkap”.
Kridalaksana adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah wacana, yaitu pada tahun 1978.
Van Dijk memandang bahwa wacana merupakan konstruksi teoritis abstrak yang dilaksanakan melalui teks (Rustono 2000: 20). Menurut Van Dijk, wacana ada pada tataran langue, sedangkan teks adalah parole-nya.
Dapat disimpulkan bahwa teks merupakan realisasi wacana.
Chaer (2007: 267) mengungkapkan bahwa wacana merupakan satuan Bahasa yang lengkap dan satuan gramatikal tertinggi. Secara keseluruhan dalam sebuah wacana terdapat ide, gagasan, konsep, atau pemikiran yang lengkap yang dapat dipahami oleh pembaca atau pendengar. Sebagai satuan tata bahasa tertinggi dan terbesar, wacana terdiri dari satuan tata bahasa di bawahnya, yaitu kalimat.
Istilah wacana juga dijelaskan oleh beberapa ahli bahasa yang dikutip oleh Tarigan (1987:24-25) sebagai berikut; (1) Edmonson, wacana merupakan suatu peristiwa yang terstruktur dan dimanifestasikan dalam perilaku linguistik. Sedangkan teks merupakan suatu urutan ekspresi- ekspresi linguistik yang terstruktur yang membenrtuk suatu keseluruhan yang padu atau initer. (2) Stubbs, wacana adalah organisasi bahasa di
atas kalaimat atau klausa, dengan kata lain unit-unit linguistik yang lebih besar dari pada kalimat atau klausa, seperti pertukaran-pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis. (3) Deese, wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi pendengar atau pembaca. (4) Kridalaksana, wacana (discourse) merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki dramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (buku, novel, seri ensiklopedia, dan sebagainya). Paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, Tarigan (1994: 27) meyimpukan bahwa hakikat wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi, berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir, dan yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.
Richards, dkk (dalam Djajasudarma, 1994: 3) mengatakan bahwa wacana dikatakan juga sebagai sebuah istilah umum dalam contoh pemakaian bahasa, yakni bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi.
Tata bahasa, dikatakannya mengacu pada kaidah-kaidah pemakaian bahasa, pada bentuk unit-unit gramatikal, seperti; frasa, klausa, dan kalimat. Sedangkan wacana mengacu pada unit-unit bahasa yang lebih besar, seperti paragraf, percakapan, dan wawancara.
Selanjutnya, Samsuri (dalam Djajasudarma, 1994: 4) mengungkapkan bahwa wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh
tentang suatu peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan tulis. Apapun bentuknya, wacana mengasumsikan adanya penyapa dan pesapa. Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, dan peserta adalah pendengar. Sedangkan dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis, dan pesapa adalah pembaca. Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian, jadi wacana bersifat pragmatik.
Sobur (dalam Darma, 2009: 3) mengungkapkan bahwa wacana adalah rangkaian ujaran atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan sebuah hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dan dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Eriyanto (2005: 2) yaitu; (1) wacana adalah komunikasi verbal, ucapan, percakapan, sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat (Collin Coneise English Dictonary). (2) wacana adalah sebuah percakapan khusus yang alamiah, formal, dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya, sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan (Longman, Dictornary of the Language). (3) wacana merupakan rentetan kalimat yang saling berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat. (J.S. Badudu).
(4) wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas
personal yang bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya (Hawthorn). (5) wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan yang dimaksud mewakili pandangan dunia sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Roger Fowler).
J.S. Badudu (dalam Badara, 2012: 16) membagi atas dua pengertian wacana yakni; 1) wacana merupakan rentetan kalimat yang saling berkitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat; 2) wacana merupakan kesatuan bahasa yang lengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat, atau klausa dengan koherasi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu memunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan dan tulisan.
Berdasarkan uraian menurut para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang tertinggi dan terlengkap yang tatarannya berada di atas kalimat yang memeiliki makna tersirat dan tersurat.
b. Jenis Wacana
Wacana pada dasarnya di bagi menjadi dua, yakni wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan merupakan segala bentuk ujaran yang dilakukan suatu orang atau lebih. Ujaran yang dilakukan satu orang, misalnya ceramah, berpidato, dan lain-lain, dan ujaran yang dilakukan beberapa orang misalnya, diskusi, wawancara, dan lain-lain. Wacana tulis
adalah segala bentuk bahasa yang dilakukan dengan teks (tulisan/grafik), misalnya, novel, cerpen, dongeng dan lain-lain.
Mulyana (2005:53) membagi wacana berdasarkan jumlah penutur menjadi dua, yaitu wacana monolog dan wacana dialog. Wacana monolog merupakan jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang. Penuturnya bersifat satu arah, yaitu dari pihak penutur. Beberapa bentuk wacana monolog antara lain yaitu pembacaan puisi, pidato, pembacaan berita, dan lain-lain. Wacana dialog merupakan jenis wacana yang ditututrkn oleh dua orang atau lebih. Jeni wacana ini bisa berbentuk lisan atau tulisan.
Dalam kajian wacana, istilah penutur (addresser) atau orang pertama O1, bisa disebut sebagai penyapa, pembicara, dan penulis (wacan tulis).
Sedangkan penutur (addresser) atau orang ke dua O2, sering disamakan dengan sebutan pesapa, mitra bicra, pasangan bicara, lawan bicara, pendengar, dan pembaca (wacana tulis).
Sejalan dengan itu, menurut Darma (2009:26-32, jenis wacana dibagi menjadi dua, yaitu wacana dialog dan wacan monolog. Wacana dialog adalah wacana yang dibentuk oleh percakapan atau pembicaraan antara dua belah pihak seperti terdapat pada obrolan pembicara dengan penelpon, wawancara, dan lain-lain. Wacana monolog adalah wacana yang tidak melibatkn suatu bentuk tutur percakapan atau pembicaraan dua pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya, Tarigan (1987:51) mengemukakn bahwa wacana dapat diklasifikasi dengan berbagai cara bergantung kepada sudut pandang seseorang. Menurutnya, wacana dapat dibagi menjadi sembiln
jenis, yaitu wacana lisan dan tulisan, wacana langsung dan tidak langsung, wacana pembeberan dan penutur, wacana prosa, puisi, dan drama. Secara garis besar, tipe-tipe wacana dapat disederhanakn menjadi dua kelompok, yaitu wacana lisan dan tulisan. Wacana lisan terdri dari wacana lisan langsung, tidak langsung, lisan pembeberan, dan penuturn berupa prosa, puisi, dan drama. Wacana tulis dikategorikan menjadi wacana tulis langsung dan tidak langsung, pembebern, penuturan, prosa, puisi, dan drama.
Wacana tulis atau written discourse adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam Koran, majalah, buku, dan lain-lain.
Wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan melalui media lisan. Contohnya sangat produktif dalam sastra lisan di seluruh tanah air kita ini, juga dalam siaran-siaran televisi, radio, ceramah, khotbah, kuliah, pidato, stand up comedy dan sebagainya.
Wacana langsung atau direct discourse adalah kutipan wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi. Wacana tidak langsung atau direct discourse adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutif harfiah kata-kata yang diapakai oleh pembicara dengan menggunakn konstruksi pragmatik atau kata tertentu, antara lain dengan klausa subordinatif, kata “bahwa”, dan sebagainya.
Wacana pembeberan atau expository discourse adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis. Wacana penuturn
atau narrative discourse adalah wacana yang mementingkan urutan waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.
Wacana prosa merupakan wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa, dapat lisan atau pun tulisan, dapat berupa wacana langsung atau tidak langsung, dapat pula dengan pembeberan atau penuturan. Sebagai contoh: novel, novelet, cerita pendek, kertas kerja, artikel, surat, skripsi, tesis, disertasi, dan sebagainya. Wacana puisi adalah wacana yang disampaikn dalam bentuk puisi, baik secara tertulis maupun secara lisan.
Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik secara tertulis atau lisan.
Sementara itu, menurut Oktavianus (2006: 44-49), jenis-jenis wacana dibagi atas dua kelompok yaitu:
1) Berdasarkn cara pengungkapan, terdiri dari empat jenis, yaitu: (1) wacana lisan, (2) wacana tulisan, (3) wacana verbal, dan (4) wacana nonverbal.
2) Berdasarkan konfigurasi makna, terdiri dari enam jenis, yaitu: (1) wacana naratif, (2) wacana deskriptif, (3) wacana procedurl, (4) wacana ekspositori, (5) wacana hartori, dan (6) wacana humor.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jenis wacana yang akan diteliti adalah jenis wacana berdasarkn cara pengungkapannya, yakni wacana lisan yang terdapat dalam Stand Up Comedy (SUC) yang ditayangkan di televisi maupun di media sosial youtube. Sedangkan berdasarkan konfigurasi makna termasuk wacana humor. Jenis wacana ini bisa juga di
sebut wacana monolog kerana wacana ini tidak melibatkn suatu bentuk tutur percakapan atau pembicaraan dua pihak yang berkepentingan.
c. Sifat dan Ciri-ciri Wacana
Menurut Syamsuddin (dalam Darma, 2009: 16) ciri-ciri dasar lain yang dapat diramu dari pendapat beberapa ahli, seperti Selegloff, Merrit, dan Sacls, Fraser, Richard, Searle, Halliday, Horn,dan Hasan, antara lain sebagai berikut.
1) Analisis wacana bersifat interpretative pragmatis, baik bentuk bahasanya maupun maksudnya (form and nation).
2) Analisis wacana lebih banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan pengetahuan yang luas (interpretation of word).
3) Semua unsur yang terkandung di dalam wacana dianalisis sebagai suatu rangkaian.
4) Wujud bahasa dalam wacana itu lebih jelas karena didukung oleh situasi yang tepat.
5) Khusus untuk wacana dialog, kegiatan analisis terutama berkaitan dengan pertanyaan, jawaban, pengalaman percakapan, kesempatan berbicara, dan lain-lain.
Selanjutnya, menurut Darma (2009: 3-4) ciri dan sifat sebuah wacana dapat diidentifikasi berdasarkan pengertian wacana, antara lain sebagai berikut.
1) Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan da tulisan atau rangkaian tindak tutur.
2) Wacana mengungkapkan sesuatu hal (subjek).
3) Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya.
4) Wacana memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian.
5) Wacana dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental.
Dengan demikian, ciri-ciri wacana adalah ujaran-ujaran yang berbentuk lisan atau tulisan, membahas suatu hal yang lengkap, sistematis, dan koheren sesuai konteks dan situasi, serta dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental.
Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam suatu komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.
Melalui analisis wacana, kita tidak hanya mengetahui isi teks yang terdapat pada suatu wacana. Tetapi juga mengetahui pesan yang ingin disampaikan, mengapa harus disampaikan, dan bagaimana pesan-pesan itu tersusun, dan dipahami. Analisis Wacana memungkinkan untuk memperlihatkan motivasi yang tersembunyi di belakang sebuah teks atau di belakang pilihan metode penelitian tertentu untuk menafsirkan teks.
Objek kajian atau penelitian analisis wacana pada umumnya berpusat pada bahasa yang digunakan sehari-hari, baik yang berupa tulis atau teks maupun lisan. Jadi objek kajian atau penelitian analisis wacana adalah unit bahasa diatas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan konteks yang eksis dikehidupan sehari-hari, misalnya naskah pidato, rekaman percakapan yang telah dinaskahkan, percakapan langsung,
catatan rapat, dan sebagainya. Pembahasan wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap hubungan antara konteks-konteks yang terdapat dalam teks. Pembahasan tersebut bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran (utterances) yang membentuk wacana.
2. Wacana Humor
Dalam kehidupan sosial tentunya tidak lepas dari humor. Humor merupakan kebutuhan yang sangat penting karena dapat menenangkan pikiran yang tegang. Selain itu, dalam suasana yang kaku sekalipun, humor berfungsi untuk mencairkan suasana. Meski humor itu dibutuhkan, namun masih banyak orang yang belum paham apa itu humor. Tidak semua orang mengerti humor. Hanya mereka yang bekerja di bidang humor yang akan lebih memahaminya.
Humor berkembang di beberapa wilayah seperti Jerman dan Yunani yang di kenal sebagai satire. Satire diartikan sebagai komedi yang berisi sindiran (kegetiran, kepedihan, dan sebagainya) terhadap suatu keadaan seseorang atau kelompok. Komedi berisi hal-hal jenaka yang merupakan representasi dari kehidupan yang disajikan secara menyenangkan, yang membutuhkan rileksasi dalam kehidupan. Komedi digambarkan secara berlebih-lebihan atau diplesetkan dan merupakan wujud baru dari humor. Dengan demikian, humor telah dikenal sejak dahulu dengan nama satire.
a. Pengertian Humor
Humor menurut KBBI daring berarti (i) sesuatu yang lucu dan (ii)
keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang menggelitik hati;
kejenakaan, kelucuan. Humor menurut Wikipedia adalah sikap yang cenderung dilakukan untuk membangkitkan rasa gembira dan memicu gelak tawa. Istilah ini berasal dari istilah medis Latin kuno, yang mengajari bahwa keseimbangan cairan dalam tubuh manusia, yang dikenal sebagai humor (bahasa Latin: humor, "cairan tubuh"), yang diatur oleh kesehatan dan emosi manusia. Sedangkan menurut Danandjaja (1997) mengemukakan bahwa humor merupakan segala bentuk folklore yang dapat menimbulkan atau menyebabkan pendengarnya (maupun pembawanya) merasa tergelitik perasaan lucunya sehingga terdorong untuk tertawa. Humor disampaikan dalam bentuk lelucon, teka-teki, anekdot, plesetan, dan lain-lain. Lebih lanjut, Danandjaja menyatakan bahwa humor biasanya mengandung sebuah kejutan, karena mengungkapkan suatu yang tidak terduga, dapat mengecoh orang, melanggar tabu, menampilkan yang aneh-aneh karena tidak biasa, tidak masuk akal dan tidak logis, kontradiktif dengan kenyataan, mengandung kenakalan untuk mengganggu orang lain, dan umumnya mengandung makna ganda.
Suprana (dalam Rustono 2000: 33) menjelaskan bahwa ada seorang Yunani yang tertarik pada penamaan segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan. Baginya, humor sangat bermanfaat bagi kesehatan karena dapat digunakan sebagai obat, sehingga dalam dunia kesehatan kata humor memiliki arti “cairan tubuh”. Secara umum kamus menjelaskan bahwa humor adalah sesuatu yang lucu dan menggelikan.
Pandangan ini memperkuat anggapan bahwa humor adalah stimulasi dan tawa adalah respon. Namun, tertawa tidak selalu terjadi karena humor.
Demikian pula, humor tidak selalu membuat orang tertawa. Tersenyum, meringis, bahkan menangis juga bisa terjadi karena humor. Dalam Ensiklopedia Britanica terdapat batasan humor, yaitu suatu rangsangan, baik verbal maupun nonverbal yang dapat memancing penonton untuk tertawa.
Menurut Danandjaja, yang dikutip dalam Wijana (2003: 3), mengungkapkan bahwa dalam masyarakat, segala bentuk humor harus dapat memberikan kenyamanan. Humor melalui reaksi emosional, seperti tertawa dapat meredakan masalah mental dan pikiran yang diakibatkan oleh masalah sosial yang dihadapi masyarakat tersebut. Dengan demikian, humor tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga dapat menciptakan kondisi psikologis yang lebih baik dan menjaga keseimbangan mental.
Selanjutnya, Levinson mengemukakan bahwa bahasa juga bisa dikaji dari aspek konteks pemakainya atau secara pragmatik. Suatu ujaran pada umumnya memiliki tiga komponen tindak tutur seperti mengucapkan sesuatu (tindak lokusi), melakukan sesuatu (tindak ilokusi), dan efek dari ujaran (tindak perlokusi). Pada ketiga komponen ini, konteks sangat berperan. Manipulasi konteks pada komponen tindak tutur ini berpotensi menimbulkan efek lucu. Pada dasarnya manipulasi konteks inilah yang dimanfaatkan untuk menciptkan wacan humor (Otavianus, 2006:52).
Humor adalah sesuatu yang lucu dan menggelitik hati. Santono
Mukadis berpendapat bahwa humor itu sesuatu seni yang di dalamnya terdapat penjungkirbalikan nilai-nilai antara yang serius dengan yang tidak serius. Humor yang demikian oleh Sigmud Freud mempunyai kemiripan dengan impian. Humor merupakan rangsangan yang menyebabkan seseorang tertawa atau tersenyum dalam kebahagiaan. Senyum dan tawa merupakan manifestasi eksternal dari penikmat humor tersebut (Wijana, 2003:37).
Manser (dalam Rahmanadji 2007: 215) menyatakan bahwa kata humor berasal dari bahasa latin umor "cairan". Asal kata tersebut merupakan upaya pertama untuk menjelaskan sesuatu yang disebut humor. Namun, humor yang artinya cairan, tidak ada hubungannya dengan pemahaman humor secara umum seperti saat ini.
Saat ini ada banyak teori tentang humor. Banyak humor dianalisis dengan menggunakan teori psikologi, sehingga teori humor dari sudut pandang psikologis cukup berkembang saat ini. Lebih lanjut, humor juga dianalisis dalam disiplin ilmu lain, seperti linguistik dan seni budaya.
Humor bukanlah komunikasi yang serius. Raskin (1985: 100) menyebut komunikasi humor sebagai komunikasi yang non-bona-fide.
Komunikasi non-bona-fide terjadi dalam empat situasi, yaitu pembicara berhumor secara tidak sengaja, pembicara berhumor dengan sengaja, pendengar tidak mengharapkan humor, dan pendengar mengharapkan humor. Wilson (dalam Soedjatmiko 1992: 70) membagi teori humor menjadi tiga kelompok besar, yaitu teori pembebasan, teori konflik, dan teori ketidaksesuaian.
Dengan demikian, humor adalah sesuatu yang tercipta baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal, baik disengaja maupun tidak disengaja, yang dapat membuat orang senang, sedih, tersenyum, tertawa, bahkan menangis. Tujuan umum humor adalah untuk menghibur atau melepaskan ketegangan penikmat humor. Wacana di SUC termasuk humor, karena humor dihadirkan untuk menghibur penonton. Dalam acara SUC, salah satu bentuk menikmati humor adalah tertawa dan/atau tepuk tangan.
b. Jenis-jenis Wacana Humor
Jenis humor sangat beragam. Berdasarkan bentuknya, Rustono (2000: 39) mengelompokkan humor menjadi dua, yaitu humor verbal dan humor nonverbal. Humor verbal merupakan humor yang disampaikan dengan kata-kata, sedangkan humor nonverbal adalah humor yang disampaikan melalui gerakan tubuh atau dalam bentuk gambar. Dari segi penyajiannya, ada humor lisan, humor tulis, dan kartun. Humor lisan disajikan dengan tuturan, humor tulis dipresentasikan secara tertulis, dan kartun yang diekspresikan dalam gambar dan tulisan.
Menurut Freud (dalam Rustono 2000: 39) klasifikasi humor dapat dilakukan berdasarkan dua kriteria, yaitu motivasi dan topik. Berdasarkan motivasinya, humor dibedakan menjadi komik, humor, dan kecerdasan.
Komik adalah humor yang tidak termotivasi untuk diolok-olok, diejek, atau menyinggung orang lain. Humor adalah humor yang bersifat memotivasi, seperti mengejek atau menghina. Wit adalah humor yang dimotivasi secara intelektual. Sedangkan dari segi topik, humor dapat dikelompokkan menjadi humor seksual, humor etnik, humor religius, dan humor politik.
Selanjutnya jenis humor menurut Setiawan (dalam Rahmanadji 2007: 217) dibedakan berdasarkan kriteria bentuk ekspresi yang terdiri dari humor personal, humor dalam interaksi sosial, dan humor dalam seni.
Humor pribadi adalah humor yang cenderung menertawakan dirinya sendiri, misalnya melihat suatu benda lucu akan membuat seseorang tertawa. Humor dalam interaksi sosial terjadi dalam percakapan antara dua orang atau lebih. Selain itu dalam pidato atau ceramah sering kali terdapat humor. Humor seni dapat dibagi menjadi humor perilaku, humor grafis, dan humor sastra. Humor dilihat dari maksud dalam komunikasi terbagi menjadi tiga, yaitu humor yang dimaksudkan melucu dan penerima menanggapi bahwa itu merupaka suatu humor, penutur tidak bermaksud berhumor tetapi penerima menganggap itu humor, dan humor yang disampiakan untuk melucu tapi penerima tidak menggap itu humor.
Menurut Pramono (dalam Rahmanadji 2007: 218) humor dapat diklasifikasikan menjadi humor menurut penampilannya, yang terdiri dari humor lisan, humor tertulis / bergambar, dan humor gestur. Selain itu, humor menurut tujuannya terdiri dari humor kritis, humor beban pesan, dan humor semata-mata pesan.
Lebih lanjut, Rahmanadji (2007: 218) membagi humor berdasarkan kriteria indrawi berupa humor verbal, humor visual, dan humor auditif.
Humor menurut kriteria materi dibedakan menjadi humor politik, humor seksual, humor sadis, dan humor teka-teki. Berdasarkan etik, humor dibedakan menjadi humor sehat atau humor edukatif dan humor tidak
sehat. Berdasarkan estetika, humor dibedakan menjadi humor tinggi (halus dan tidak langsung) dan humor rendah (kasar dan terlalu eksplisit).
Dengan demikian, jenis humor yang akan di teliti adalah jenis humor verbal yang berdasarkan penampilannya yakni humor lisan, dan humor gerak tubuh. Berdasarkan tujuannya yakni humor kritik dan humor beban pesan.
c. Ciri-ciri Wacana Humor Ciri-ciri wacana humor yaitu:
1) Bentuk lisan atau lisan yang sudah ditranskipkan dalam bentuk tulisan.
2) Milik kolektif.
3) Bersifat anonym.
4) Bersifat aktual dengan kejadian dalam masyarakat pad masa tertentu.
5) Bersifat spontan dan polos.
6) Mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakat.
Lebih lanjut, Wijan (1995: vii) wacana humor adalah wacana yang terbentuk dari proses komunikasi yang tidak bonafid (non-bona-fide communication). Pernyataan tersebut merupakan ciri yang sangat penting untuk diperhatikan sebagai ciri bahasa humor. Jadi dalam wacana ini, maksim-maksim percakapan, maksim-maksim kesopanan, serta parameter pragmatik dengan sengaja dilarang untuk menciptakan humor.
d. Fungsi Wacana Humor
Humor sebagai suatu kebutuhan bagi setiap orang memiliki banyak fungsi. Menurut Sujoko (dalam Rahmanadji 2007: 218) humor dapat berfungsi sebagai:
1) Melaksanakan semua keinginan dan semua tujuan, ide atau pesan.
2) Membuat orang menyadari bahwa mereka tidak selalu benar.
3) Mengajari orang untuk melihat masalah dari berbagai sudut.
4) Menghibur.
5) Memperlancar pikiran.
6) Membuat orang mentolerir sesuatu, dan
7) Memungkinkan orang untuk memahami pertanyaan kompleks.
Danandjaja (dalam Rahmanadji 2007: 219) mengemukakan bahwa humor dapat berfungsi sebagai sarana penyalur perasaan yang menekan diri seseorang. Perasaan ini dapat disebabkan oleh ketidakadilan sosial, persaingan politik, ekonomi, etnis atau kelas, dan pembatasan kebebasan bergerak, seks, atau kebebasan berekspresi. Dari berbagai permasalahan tersebut, humor biasanya muncul dalam bentuk kritik sosial atau tentang seks.
Asyura dk (2014: 5) membagi fungsi humor menjadi tiga, yaitu:
1) Fungsi memahami. Humor mampu membuka pikiran seseorang untuk memahami dan memperdalam suatu masalah yang rumit.
Permasalahan yang terjadi disampaikan dalam bentuk humor agar dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Fungsi memahami menjadikan humor sebagai media kritik dan komunikasi sosial antarmanusia.
2) Fungsi mempengaruhi. Humor berfungsi untuk menyampaikan pendapat atau gagasan dalam upaya mempengaruhi orang untuk