• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU DI LINGKUNGAN KERJA Penyesuaian Diri Penyandang Tunarungu Di Lingkungan Kerja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU DI LINGKUNGAN KERJA Penyesuaian Diri Penyandang Tunarungu Di Lingkungan Kerja."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU

DI LINGKUNGAN KERJA

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:

Winda Puji Utami

F 100070169

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU

Penyesuaian diri merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesuksesan baik dalam dunia akademis maupun pekerjaan, termasuk penyandang tunarungu. Penyandang tuna rungu sebagai bagian dari masyarakat pada kenyataannya masih ada yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri di lingkungan kerja, karena keterbatasan fisiknya. Di sisi lain penyandang tunarungu perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, penyandang tunarungu perlu memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri di lingkungan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana cara dan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada penyandang tunarungu di lingkungan kerja.

Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive sampling. Informan dalam penelitian ini antara lain : (1) Penyandang tunarungu yang telah bekerja sebanyak tiga orang yang hanya dirinya sendiri sebagai penyandang tunarungu. (2) Penyandang tunarungu yang telah bekerja dan pegawai lainnya normal (berpendengaran baik). Informan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Guna memudahkan dalam interpretasi, masing-masing informan dibantu oleh informan pendukung. Jadi informan dalam penelitian ini ada 6 orang, 3 orang informan inti dan 3 orang informan pendukung. Metode pengumpulan data dengan wawancara dan observasi.

Kesimpulan hasil penelitian: (1) Cara penyesuaian diri tunarungu : Subjek dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi diri. Subjek sudah memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami pekerjaan, subjek mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan pembeli. Setelah subjek memahami kelemahan fisik dan menerima kelemahan tersebut, cara selanjutnya yang dilakukan subjek yaitu mampu melakukan feedback, subjek mau menerima masukan dan saran dari rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja melalui komunikasi verbal. (2) Bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja : Cara subjek dengan introspeksi diri (pengukuran individual) dan feedback dari teman dekat membentuk penyesuaian diri positif, karena tanda-tanda yang terdapat pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi, memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam belajar, menghargai pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.

(5)

1 PENDAHULUAN

Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena adanya keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat individu umumnya kurang mampu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar. Adanya kecacatan pendengaran otomatis berpengaruh langsung terhadap kemampuan tuna rungu dalam berkomunikasi belum mendapat diperhatikan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena individu yang tuna rungu hidup hidup pada dua dunia, dunia dalam dirinya dan dunia pada umumnya. Individu cenderung mengadakan kegiatan internal dalam komunitas tuna rungu itu sendiri. Masyarakat umum tak bisa mengakses informasi kegiatan tunarungu, sehingga tunarungu terkesan kelompok yang eksklusif.

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2010 diperkirakan mencapai 234,2 juta jiwa atau naik dibanding jumlah penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa. Data dari sensus penduduk dan jumlah penyandang tunarungu diperkirakan mencapai 1,25 % dari total jumlah penduduk indonesia di tahun 2010 (Moh, 2011). Untuk wilayah Di kota Surakarta tahun 2010 dapat diketahui bahwa penyandang cacat tuna rungu di kota Surakarta sebanyaknya 225 orang, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyandang tuna mental yang hanya 196 orang. Jumlah penyandang tuna rungu tersebut lebih kecil dibandingkan dengan penyandang tuna daksa dan tuna netra. Penjelasan tersebut dapat diketahui melalui tabel 1 berikut ini.

Tabel 1

Jumlah penyandang cacat menurut jenisnya Di kota surakarta tahun 2010

Kecamatan Tuna Daksa Tuna Netra Tuna Mental Tuna Rungu

Laweyan 141 16 8 51

Sumber : Dinas Sosial Tenaga Kerjadan Transmigrasi kota Surakarta

(6)

2

4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, “Perusahaan negara dan swasta

memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.”

Atas dasar bunyi pasal pasal 14 UU nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, penyandang tuna netra berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan pendidikan. Data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bahwa jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas pada tahun 2010 mencapai 7.126.409 orang terdiri dari tuna netra 2.137.923 orang, tuna daksa 1.852.866 orang, tuna rungu 1.567.810 orang, cacat mental 712.641 orang dan cacat kronis sebanyak 855.169 orang (Sas, 2012)

Angka tersebut di atas membuktikan bahwa penyandang tuna rungu sudah banyak yang yang memperoleh kesempatan kerja, Seperti halnya pada subjek penelitian yang bekerja di perusahaan swasta.

Penyandang tunarungu yang telah memasuki dunia kerja, lebih di tuntut untuk mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan barunya (kerja), dimana hampir seluruh pekerja adalah orang dengar. Penyesuaian diri merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesuksesan baik dalam dunia akademis maupun pekerjaan. Penyandang tuna rungu yang bekerja diharapkan memiliki penyesuaian diri tinggi, mengingat penyandang tuna rungu mempunyai kesempatan yang sama dengan orang normal lainnya. Penyandang tuna rungu memiliki kelemahan-kelemahan rangsang pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi di dalam pergaulannya memerlukan penyesuaian diri. Dengan penyesuaian diri, kepincangan berinteraksi dengan lingkungannya tidak akan terjadi, yang pada gilirannya akan mengembangkan kepribadian seseorang. Penyesuaian diri yang baik pada individu akan berdampak penyesuaian sosial yang baik pula, dalam hubungan sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan diri dengan yang lain atau sebaliknya.

(7)

3

konflik yang terjadi sehubungan dengan orang lain. Kemampuan penyesuaian diri yang dilakukan individu mampu membuat individu merasa nyaman di lingkungannya. Haber dan Runyon (dalam Ulfatusholiat, 2010) berpendapat bahwa penyesuaian diri ditandai dengan seberapa baik individu mampu menghadapi situasi

serta kondisi yang selalu berubah, dimana seseorang merasa sesuai dengan lingkungan dan merasa mendapatkan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya. Terdapat lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif, yaitu: persepsi yang akurat tentang realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, memiliki citra diri (self

image) yang positif, mampu mengekspresikan kenyataan, memiliki hubungan

interpersonal yang baik

Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua penyandang tuna runggu yang bekerja mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini juga terjadi pada sujek penelitian yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Dari hasil wawancara diketahui bahwa individu mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan teman kerja, individu menarik diri dari pergaulan dengan teman kerja, dan individu merasa rendah diri saat bekerja. Akibat dari sikap dan perilaku tersebut berdampak pada subjek kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya, sehingga subjek hanya memiliki sedikit teman di tempat kerja. Dari kenyataan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa secara nyata penyandang tunarungu perlu bersosialisasi dengan lingkungan, khususnya di lingkungan kerja.

Dampak dari ketunarunguannya menghambat berkomunikasi, sehingga mempengaruhi psikologi dan sosialnya. Aspek psikologis dan sosial, semua ini akan muncul apabila penyandang tunarungu telah berinteraksi dengan lingkungan, sehingga didalam menghadapi hidup ini penyandang tunarungu merasa asing dari lingkungan sosialnya. Ini disebabkan karena penyandang tunarungu kurang atau tidak dapat merespon perintah-perintah secara verbal yang meliputi kepada kekurangan dalam penguasaan bahasa sehingga fokus pemikirannya juga terbatas, sehingga semua ini dapat mengakibatkan kemunduran untuk bersoialisasi (Sutjihati 2006)

(8)

4

rungu dengan orang lain. Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor individu sendiri. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri penyandang tuna rungu yaitu ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan tuna rungu berbahasa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadap individu menghambat perkembangan kepribadiannya.

Sebagaimana dikatakan oleh Delphie (2006) bahwa penyandang-penyandang tuli lebih banyak memiliki masalah dalam kehidupan. Hal ini tergantung pada sejauh mana lingkungan dapat menerima keadaan individu, terutama respon orang tua dan keluarga guna mendukung anggota keluarganya yang menyandang tuna rung untuk memasuki dunia kerja.

Penelitian ini dilakukan karena masih jarang penelitian tentang penyandang tunarungu yang termasuk dalam psikologi sosial, kemudian agar masyarakat dan tunarungu mampu melakukan penyesuian diri, dengan demikian pentingnya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tunarungu dapat menyesuaikan diri dengan lingkunganya terutama dalam lingkungan kerja, agar tunarungu mendapat kesempatan kerja yang sama dengan orang dengar lain.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana cara dan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada penyandang tunarungu di lingkungan kerja.

PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam studi ini dan sekaligus menjadi pokok persoalan atau fokus penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah cara penyesuaian diri tunarungu baik pribadi maupun di lingkungan kerja ?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja?

METODE PENELITIAN

(9)

5

Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive sampling yaitu pemilihan informan dengan menggunakan kriteria ataupun ciri-ciri yang telah ditentukan sebelumnya. Informan dalam penelitian ini antara lain :

1. Penyandang tunarungu yang telah bekerja.

2. Lama bekerja minimal 1 tahun di lingkungan kerja yang pegawai lainnya normal (berpendengaran baik).

Berdasarkan pada kedua karakteristik tersebut, informan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Guna memudahkan dalam interpretasi, masing-masing informan dibantu oleh informan pendukung. Jadi informan dalam penelitian ini ada 6 orang, 3 orang informan inti dan 3 orang informan pendukung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyesuaian diri merupakan keharusan bagi setiap manusia yaitu suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakannya di dunia. Kegagalan dalam menyesuaikan diri seringkali ditentukan oleh hubungan kapasitas individu dalam menyesuaikan diri dan kualitas dari tuntutan yang dikenakan padanya (Seimun, 2006).

Penyandang tunarungu adalah bagian dari kesatuan sosial. Karena adanya keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat mereka umumnya kurang mampu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar. Secara umum, aspek perkembangan manusia dapat dibedakan menjadi aspek psikologis dan fisik. Aspek fisik merupakan aspek yang paling berkembang dan perlu dikembangkan oleh individu, bagi penyandang tunarungu, potensi tersebut tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna (Sutjihati, 2006).

(10)

6

Mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas, (3) Mempunyai konsep diri yang positif, (4) Mampu mengekspresikan emosi secara positif, (5) Mempunyai hubungan antar pribadi yang baik.

Berdasarkan pada pendapat tersebut, cara yang ada pada ketiga subjek dalam penyesuaian dirinya pribadi, yaitu:

1. Cara subjek pertama dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi diri. Subjek sudah memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami pekerjaan, subjek mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan pembeli. Setelah memahami keadaan, cara kedua yang dilakukan subjek yaitu mampu melakukan feedback, subjek mau menerima masukan dan saran dari rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja. Dari penjelasan dapat diketahui bahwa subjek memiliki bentuk penyesuaian diri positif, karena tanda-tanda yang terdapat pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi, memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam belajar, menghargai pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.

2. Cara penyesuaian diri di lingkungan kerja dilakukan oleh subjek kedua dengan cara introspeksi diri, subjek mampu melihat kenyataan bahwa dirinya tuli, mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas dengan bersikap seperti orang normal (dengar), mempunyai konsep diri yang positif dalam bekerja, mampu mengekspresikan emosi secara positif dengan bercanda bersama rekan kerja. Cara kedua melakukan feddback dengan rekan kerja dengan cara bertanya tentang pekerjaan yang belum dipahami. Kemampuan kedua penyesuaian tersebut berpengaruh terhadap bentuk penyesuaian diri subjek sebagai individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif.

(11)

7

kerja). Kemampuan kedua penyesuaian tersebut berpengaruh terhadap bentuk penyesuaian diri subjek bersifat positif.

Menurut Seimun (2006) kegagalan dalam menyesuaikan diri seringkali ditentukan oleh hubungan kapasitas individu dalam menyesuaikan diri. Hal yang paling dasar adalah penyandang tunarungu harus terlebih dahulu mampu menerima ketulian mereka, karena dengan mampu menerima ketulian yang mereka alami mereka mampu menyadari potensi yang dimiliki, sehingga menghilangkan rasa minder dan mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik. Ini sesuai dengan pernyataan Wall (1999) bahwa kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang memiliki respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat.

(12)

8

Selain penilaian positif terhadap diri subjek sendiri, subjek mampu mengatasi ketegangan dan konflik yang ada dalam diri. Schneider (dalam Wasito dkk, 2010) berpendapat bahwa penyesuaian diri adalah usaha individu untuk berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustrasi yang dialami didalam dirinya. Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Individu mampu menjalin hubungan dengan orang lain karena mampu mengatasi ketegangan yang muncul dan mampu menyelesaikan permasalahan.

Ketiga subjek yang mampu instrospeksi dengan memahami kelemahan yang dimiliki, mampu menekan atau mengontrol emosi, dan memiliki konsep diri positif berpengaruh terhadap penyesuaian diri di lingkungan tempat kerja. Ada dua yang mendukung ketiga subjek dalam melakukan penyesuaian diri di lingkungan kerja, yaitu dukungan dari pimpinan dan dukungan dari rekan kerja.

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yusuf (2008) menunjukkan bahwa individu dengan tingkat inteligensi tinggi akan menunjukkan penyesuaian sosial yang lebih baik tanpa melihat perbedaan jenis kelaminnya. Sependapat dengan pernyataan di atas, Schneiders (dalam Wasito, 2010) menyatakan bahwa individu dengan tingkat inteligensi tinggi cenderung akan bereaksi secara tepat terhadap situasi sosial yang dihadapi (lingkungan kerja), sebab inteligensi berhubungan dengan pengaturan diri (self-regulation) dan realisasi diri (

self-realization). Pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengatur diri dan

mengarahkan diri dalam menghadapi situasi sulit, konflik, dan frustrasi, sehingga dapat mencari jalan keluar secara tepat, efektif, dan efisien.

Kemampuan subjek untuk menyesuaikan diri mempunyai pengaruh yang cukup besar pada keadaan subjek untuk memberikan respon pada setiap keadaan yang dihadapi. Subjek yang memiliki penyesuaian yang baik akan mampu menghadapi keadaan yang sulit dengan penyelesaian yang positif di lingkungan tempat kerja.

(13)

9

berpartisifasi mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial dan lingkungan tempat kerja, serta dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan kerja.

Ketiga subjek dalam penyesuaian diri melalui cara instrospeksi diri dan feedback dengan teman kerja atau pimpinan berpengaruh terhadap bentuk penyesuaian diri subjek sebagai individu yang memiliki yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Richardson dan McCabe (2001) bahwa penyesuaian diri positif, yaitu saat seseorang berhasil menyesuaikan dirinya secara positif, maka akan muncul beberapa tanda-tanda: Tidak menunjukkan ketegangan emosi, Tidak menujukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis, Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi, Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, Mampu dalam belajar, Menghargai pengalaman, dan Bersikap realistik dan obyektif.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan data dari hasil analisis dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan:

a. Cara penyesuaian diri tunarungu

Subjek dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi diri. Subjek sudah memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami pekerjaan, subjek mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan pembeli. Setelah subjek memahami kelemahan fisik dan menerima kelemahan tersebut, cara selanjutnya yang dilakukan subjek yaitu mampu melakukan feedback, subjek mau menerima masukan dan saran dari rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja melalui komunikasi verbal.

b. Bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja

Cara subjek dengan introspeksi diri (pengukuran individual) dan feedback

(14)

10

pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam belajar, menghargai pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.

2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran penelitian ini adalah :

a. Untuk informan

Bagi informan tunarungu diharapkan mempertahankan cara-cara yang telah digunakan untuk melakukan menyesuaian diri. Adapun cara untuk mempertahankannya yaitu informan disarankan belajar tentang bahasa tulisan (SPOK), sehingga mampu menulis dan membaca dengan baik agar penyandang tunarungu mampu melakukan komunikasi dengan orang lain sebagai salah satu faktor dalam penyesuaian diri.

b. Untuk Perusahaan Tempat Kerja Informan

Bagi perusahaan yang menerima karyawan dengan kelemahan fisik tunarungu diharapkan mampu memberikan masukan dan saran yang mudah dipahami oleh karyawan penyandang tunarungu dengan cara sering mengajak berbicara pada karyawan penyandang tuli tentang pekerjaan, menghargai kerja penyandang tunarungu yang berprestasi dengan memberikan pujian, memberi kesempatan kepada karyawan penyandang tunarungu untuk mengemukakan ide-idenya.

DAFTAR PUSTAKA

Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.

Delphie, B. 2006. Pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Bandung Refika Aditama.

Hurlock, B.E. 1999. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang

rentang Kehidupan) Edisi keempat. Jakarta : Erlangga.

(15)

11

Sas. 2012. Pemerintah Perlu Memperhatikan Penyandang Cacat Tubuh dalam Dunia Kerja. http://ekonomi.inilah.com, diakses tanggal 20-12-2012

Seimun, Y. 2006. Kesehatan Mental (Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian

Diri dan Kesehatan Mental serta Teori-teori yang Terkait). Yogyakarta:

Kanisius.

Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung : Alfabeta.

Sutjihati, S. 2006. Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT. Refika Aditama

Wasito, D.R., Dwi Sarwindah S, dan Sulistiani, W. 2010. Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum. INSAN Vol. 12 No. 03, Hal. 138-152.

Wall, W.D. 1999. Pendidikan Konstruktif Bagi Kelompok Khusus: Anak-anak Cacat

Referensi

Dokumen terkait

Penyesuaian diri lebih ditekankan pada bagaimana individu itu sendiri yang memandang dirinya mampu menyesuaiakan diri atau tidak.. Penilaian diri sendiri itu merupakan bagian dari

Penyesuaian diri terhadap tuntutan sosial pada penyandang tuna daksa usaha yang dilakukan informan seperti berbaur dengan warga yang sedang berkumpul, mengikuti

Kedua, diperoleh hasil penyesuaian diri mantan PSK dalam bentuk penyesuaian diri positif yaitu tidak menunjukkan ketegangan emosi subjek tidak pernah membalas

Siswa dipandang mempunyai penyesuaian diri yang baik dimana individu telah belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang,

Penyesuaian sosial bagi remaja tuna rungu dalam kehidupannya adalah semata-mata untuk menyesuaikan diri agar dapat meningkatkan harga dirinya, serta mendapat dorongan dari orang

Sedangkan gambaran penyesuaian diri pada pasangan suami istri usia remaja yang hamil sebelum menikah pada subjek, yaitu subjek dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik,

Pola penyesuaian diri klien “A” dalam memenuhi kebutuhan seks karena ditinggal istrinya menjadi TKW yaitu dengan cara menyesuaikan dirinya menggunakan penyesuaian diri

Dari data yang diperoleh untuk melihat hubungan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa subjek yang berusia 12