• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita Suku Dani dalam Ritual Niki Paleg Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832009008 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita Suku Dani dalam Ritual Niki Paleg Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832009008 BAB II"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Sebuah respon emosional yang dialami manusia pada umunya atas sebuah kematian ialah dukacita. Dimana saja diseluruh dunia, manusia tidak terlepas dari adanya realitas hidup yang dinamakan kematian, dan manusia juga tidak dapat memisahkan diri dari kebudayaan yang memiliki aspek budaya yaitu diantaranya adalah adat dan ritual berkabung.

Istilah dukacita sendiri telah banyak dipaparkan oleh beberapa ahli yang melakukan penelitian indigenous pada budaya tertentu atau suatu kelompok manusia. Bagian ini merupakan pemaparan deskripsi umum mengenai beberapa konsep yang menjadi acuan dalam penelitian yang dilakukan, diantaranya ialah pengertian dukacita, faktor yang penyebab kedukaan, proses dukacita, ritual niki paleg, serta aspek-aspek ritual niki paleg.

A. PENGERTIAN DUKACITA

Kematian dipandang sebagai akhir dari keberadaan manusia dalam dunia dan merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang tidak dapat dipecahkan dengan cara apapun serta tidak dapat dihindarkan dan merupakan refleksi dari keterbatasan manusia (Koesworo dalam Yudistiani, 2007). Demikian juga sama halnya seperti yang disampaikan oleh Attig (dalam Leming & Dickinson, 2006) bahwa dukacita adalah kekuatan emosi yang sangat besar yang sering dipicu oleh kematian, terlebih khusus kematian orang yang dicintai. Sebabnya Santrock (2002), dikatakan bahwa tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari seorang yang kita cintai dan sayangi seperti orang tua, saudara kandung, dan pasangan hidup.

(2)

dilakukan pengkajian mengenai struktur pengalaman dukacita yang dialami oleh individu dan pengkajian tentang kompleksitas emosi dan perilaku mereka yang terkait dengan pengalaman dukacita agar kita dapat memahami proses dukacita tersebut dan menyusunnya dalam terminologi yang terukur. Studi ini berupaya untuk menyajikan konsep dukacita berdasarkan pendekatan psikologis. Dukacita dapat dimaknai dengan kesedihan yang mendalam disebabkan karena kehilangan seseorang yang dicintainya (misalnya kematian).

Apabila kita membuka Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, kata “grief (kedukaan)” mendapat penjelasan yang jauh lebih lengkap, yaitu penderitaan batin yang sangat dalam suatu peristiwa kehilangan. Dalam Wiryasaputra (2003), ia menyatakan bahwa kedukaan merupakan reaksi terhadap suatu peristiwa kehilangan. Sementara itu, Cowles dan Rodgers (2000), dukacita dapat digambarkan sebagai “suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah dan tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku seseorang” (h.103). Hal ini dibuktikan Stroebe dan Gergen (2005), bahwa umat muslim di Bali yang didorong untuk menekan kesedihan dengan tawa dan kegembiraan (dalam Papalia & Fieldman).

Pengalaman dukacita terdiri dari berbagai tahap yang dihubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya oleh sebabnya dukacita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu. Keadaan yang hampir sama terjadi dalam ritual Rambu Solo’, tradisi yang dimiliki suku Toraja, yaitu dimana keluarga dilarang meratap sampai tiba waktunya Rambu Solo’ dilaksanakan, dan hal ini dapat mengakibatkan kedukaan yang tidak penuh, karena keluarga harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan rasa dukanya (Lawole, 2012). Dalam hal ini berarti pengalaman dukacita bersifat individualistis dan dipengaruhi oleh banyak faktor dan aspek kehidupan lainnya. Demikian juga seperti yang dikatakan Papalia dan Fieldman (2007) bahwa meskipun grief adalah pengalaman yang universal, namun juga dipengaruhi konteks budaya, sehingga apapun bentuk dan proses dari sebuah perilakunya akan dipengaruhi oleh kebudayaan setempat.

(3)

klinis “kedukaan itu adalah sebuah reaksi normal terhadap suatu peristiwa kehilangan atas sesuatu yang berharga” (Tomb, 1981: 77-78). Sekali lagi dapat dikatakan bahwa dukacita merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan diri secara holistik dalam menghadapi kehilangan sesuatu yang bernilai, berharga atau penting. Tanggapan secara holistik berarti menyagkut seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu keadaan fisik, mental, spritual, dan sosial. Dari berbagai pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kedukaan selalu berkaitan secara langsung dengan kehilangan sesuatu atau seseorang yang dianggap berharga atau bernilai. Kedukaan itu sendiri merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri ketika sedang menghadapi peristiwa kehilangan.

B. SIFAT UTAMA DUKACITA 1. Dukacita bersifat Unik

Sekali lagi, setiap proses dukacita sesungguhnya merupakan sebuah pengalaman yang bersifat unik, khas, dan sangat pribadi (Wiryasaputra, 2003). Pengalaman dukacita yang dialami oleh seseorang kemungkinan besar tidak sama dengan pengalaman orang lain, walaupun pada hakikatnya kehilangan objek yang sama, dan bahkan terjadi pada waktu yang bersamaan pula. Tidak ada kedukaan yang sama. Proses dukacita bukan merupakan sebuah proses garis lurus, melainkan seperti seutas tali yang melingkar-lingkar (Wiryasaputra, 2003).

Selanjutnya, dukacita dapat terjadi pada orang yang sama mengalami peristiwa kehilangan yang sama, namun kedalaman dukacitanya yang berbeda. Perbedaan kedalaman itu mungkin disebabkan oleh waktu, kondisi, dan situasi yang berbeda. Itulah sebabnya dukacita dianggap sangat personal, situasional, dan, kontekstual. Waktu, situasi, dan kondisi yang berbeda dapat membuat penghayatan dan kedalaman kedakatan juga berbeda.

2. Dukacita bersifat holistik

(4)

Keempat aspek tersebut, yaitu: fisik, mental, spiritual, dan sosial, saling melengkapi dan mempengaruhi. Wiryasaputra (2003) menjelaskan juga bahwa aspek fisik (biologis) dapat mempengaruhi kondisi aspek lainnya dan pengaruh tersebut dapat bersifat positif atau pun negatif.

Aspek fisik berkaitan dengan tubuh kita yang dapat dilihat dan diraba atau disentuh. Inilah aspek somatis, biologis dan medis hidup manusia. Aspek ini sangat berhubungan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, kebersihan tubuh, keutuhan anggota tubuh, lingkungan alam, dan metabolisme tubuh kita. Sementara, aspek mental juga mengacu pada hubungan manusia dengan ketidaktampakan dirinya. Dengan aspek mentalnya manusia dapat menghidupkan, memberadakan, dan membedakan dirinya. Dalam aspek ini manusia menjadi pribadi yang otonom, serta memiliki identitas diri. Aspek mental dikaitkan dengan pikiran, emosi (perasaan positif dan negatif), motivasi, harga diri, integritas, dan kreatifitas diri. Sedangkan aspek spritual memungkin menusia memiliki visi, misi, dan harapan yang jelas dalam hidup. Aspek ini memampukan manusia tetap memberadakan dirinya sebagai manusia dengan nilai-nilai leluhurnya (Wiryasaputra, 2003). Dengan adanya aspek ini maka manusia dengan dunia metafisik dan transenden (Tuhan) yang mengatasi dirinya. Yang terakhir adalah aspek sosial, aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan manusia lainnya serta mengacu penuh pada kebersamaan hidup manusia dalam kelompok bermasyarakat.

Dalam hubungan dengan dukacita, lewat keempat aspek inilah manusia dikatakan manusia sinergik, yaitu manusia mampu bertumbuh melalui pengalaman kehilangan atas kematian. Maksudnya ialah ia tidak mampu menghindar dari pengalaman dukanya, melainkan ia harus masuk dan merangkul pengalamannya dengan jiwa yang terbuka.

Adapun gejala-gejala dukacita secara holistik dilihat dari keempat aspek ini (Wiryasaputra, 2003), yaitu:

a. Aspek Fisik

(5)

kencing terus, perut kembung, tidak dapat tidur dengan pulas, ngilu dipersendian, nafsu makan menurun atau bertambah, dan nafsu seks juga menurun.

b. Aspek Mental

Dalam aspek mental biasanya muncul gejala-gejala seperti tidak dapat menerima kenyataan (menyangkal, menolak), terkejut, sedih, bingung, gelisah, pikiran kacau tidak teratur, tidak dapat berkonsentrasi, acuh tak acuh, selalu berpikir dan merindukan yang hilang, mudah tersinggung, benci, marah, kecewa, rasa putus asa, batin tertekan, perasaan menyesal yang berlebihan, rasa bersalah, merasa berdosa, merasa tidak berarti lagi, merasa sendiri atau kesepian, dan kadang muncul keinginan untuk bunuh diri.

c. Aspek Spritual

Dalam aspek ini gejala yang namapak adalah gejala seperti rasa berdosa, mempersalahkan Tuhan, marah pada Tuhan, tidak dapat berkonsentrasi (misalkan berdoa, membaca kitab suci, mendengarkan kotbah rohani), tidak berminat mengikuti kegiatan keagamaan, merasa dikucilkan oleh kelompok keagamaannya, kadang muncul tawar-menawar dengan Tuhan.

d. Aspek Sosial

Yang terakhir adalah aspek sosial, gejala kedukaannya adalah suka menyendiri, menarik diri, mengurung diri, selalu ingin menceritakan tentang sesuatu atau orang yang hilang secara berlebihan, suka mengunjungi makan atau tempat-tempat yang berhiubungan dengan orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan orang lain, membenci atau marah pada orang lain juga, bersikap kasar atau berlebihan dalam berbagai hal. Sering peristiwa kehilangan menimbulkan perselisihan antara anggota keluarga. Selanjutnya persoalan sosial seperti ketagihan, bergosip, merokok, melacur, terlibat dalam penggunaan obat terlarang dan minuman keras mungkin saja berakar pada sebuah peristiwa kedukaan.

C. TAHAP DUKACITA

(6)

bersalah (6), marah (7), diam (8), berpengharapan (9), pasrah menerima kenyataan (10). Ada juga pandangan lain dari seorang psikolog klinis di Amerika Serikat mengenai tahapan dukacita yang ia dapatkan dari kliennya adalah terkejut (1), tanpa tujuan (2), emosi berubah-ubah dengan cepat (3), perasaan bersalah (4), kesepian (5), merasa lega (6) dan pulih kembali (7). Di samping itu menurut pandangan seorang psikiater sosial, pandangannya didasarkan observasi dan wawancara dengan ribuan pasien yang ditanganinya, ia mebuat kesimpulan dalam lima tahap dukacita, yaitu: penolakan (1), marah (2), tawar-menawar (3), depresi (4), dan penerimaan (5).

Dari seluruh pandangan-pandangan para psikolog dan psikiater yang memandang dari bidangnya, Wiryasaputra (2003) menyimpulkannya kedalam gejala utama proses dukacita, yaitu seperti dibawah ini: air mata dan kepedihan hati (1), stress (2), penolakan (3), marah (4), depresi (5), muram, tertekan batinya (6), putus asa (7), rasa bersalah (8), serta menerima kenyataan (9).

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DUKACITA

Dukacita dipengaruhi oleh beberapa variabel (Wiryasaputra, 2003), antara lain: a. Intensitas Hubungan dengan ‘yang hilang’

Intensitas hubungan dengan orang yang hilang mewarnai kedalaman guncangan emosi. Jika pribadi yang mati tidak memainkan peranan yang urgen, maka respon duka tidak mendalam. Sebaliknya, jika peran orang yang hilang sangat signifikan, maka respon kedukaan menjadi lebih mendalam dan kompleks.

b. Struktur Kepribadian Penduka

(7)

Simptom dan proses emosi dukacita juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, cara pandang, dan struktur nilai. Tidak semua orang yang berduka mengalami depresi. Orang yang memandang kematian sebagai hal yang wajar, akan mampu mengelola guncangan akibat realitas kematian. Disisi lain, pribadi yang melihat kematian sebagai maut cenderung terpuruk dan merasa dunia berakhir ketika ditinggalkan oleh yang dikasihinya. Individu yang memiliki sejarah kedukaan akut rentan terpuruk menghadapi kematian orang yang dicintainya.

c. Sosio-Budaya Penduka

Dukacita tidak hanya dipengaruhi oleh struktur kepribadian tetapi juga berakar pada sistem sosial. Jika lingkungan sosial mengerti seluk-beluk kedukaan dan menyediakan sarana pendukung kesembuhan pribadi secara internal, maka penduka dapat segera pulih dengan cara-cara yang lebih manusiawi. Sebaliknya, jika iklim sosial (masyarakat adat dan masyarakat umum) tidak bersahabat dan memandang dukacita sebagai hal negatif, maka kedukaan dapat mejadi patologis. Untuk memahami kedukaan seseorang sangat penting untuk mengerti iklim sosialnya.

d. Nilai Pribadi yang Hilang

(8)

e. Tingkat hubungan emosional

Tingkat hubungan antara orang yang kehilangan dengan sesuatu atau seseorang yang hilang merupakan faktor yang cukup memengaruhi dukacita sesorang. Makin tinggi nilai yang diberikan pada sesuatu atau seseorang maka dalam pula hubungan yang diciptakan. Kedalaman kedukaan berbanding lurus dengan tingkat hubungan emosional, oleh sebabnya semakin dalam hubungan emosional sesorang dengan objek yang hilang maka semakin kompleks dan berkepanjangan dukacita itu datang. Sebaliknya, semakin dangkal atau renggang hubungan emosional seseorang dengan sesuatu atau seseorang yang hilang, maka semakin ringan dan sederhana kedukaannya.

f. Kebudayaan dan adat istiadat

Faktor terakhir yang cukup mempengaruhi dukacita ialah kebudayaan dan adat istiadat. Dalam hal ini termasuk pola pikir dan hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang berduka dalam relasinya di lingkungannya. Sampai batas-batas tertentu, termasuk pola penduka menghadapi kedukaanya. Hal ini mempengaruhi cara mereka memproses dukacitanya.

Pada dasarnya, setiap kebudayaan telah memiliki perangkat untuk menolong masyarakatnya dalam masa duka, namun persoalanya bahwa perangkat dan kebijaksanaan budaya biasanya hanya terfokus pada kehilangan karena meninggal, dan belum merambah pada masalah lain seperti kehilangan akan sesuatu (harta, keperawanan, dan sebagainya).

E. PENGARUH DUKACITA PADA PSIKOLOGIS

Menurut Martono (1997) dalam Darmojo (2004: 40), beberapa masalah psikologis pada individu dalam menghadapi kematian antara lain:

a. Kesepian, yang dialami oleh individu pada saat meninggalnya pasangan hidup.

(9)

hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang, yang selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu periode depresi.

c. Depresi, pada individu yang mengalami dukacita stress lingkungan sering menimbulkan depresi dan kemampuan beradaptasi yang semakin menurun. d. Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan

panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan ganggua obsesif-kompulsif.

e. Syndrome diagnose, merupakan suatu keadaan dimana indivdiu menunjukkan penampilan perilaku yang sangat mengganggu dalam menanggapi keadaan dukanya.

F. KONSEP DAN KOMPLEKSITAS DUKACITA

1. Konsep Dukacita menurut Model Sistem Neuman

(10)

pasangannya, anak, atau orang tua), atau ekstra-personal (misalnya: hilangnya pekerjaan, rumah, atau hilangnya lingkungan yang dikenal).

Neuman (1995) menyatakan bahwa “dampak dari stressor dapat didasarkan pada dua hal yaitu kekuatan stressor dan banyaknya stressor” (h.147). Modifikasi terhadap respon dukacita diidentifikasi sebagai kombinasi dari beberapa pengalaman yang bersifat individual dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari hubungan antara orang yang berduka dengan obyek yang hilang, sifat alami dari kehilangan, dan kehadiran sistem pendukung. Faktor-faktor lain memiliki efek yang kuat pada perasaan dukacita, seperti pengalaman individu yang sama sebelumnya, kepercayaan spiritual dan budaya yang dianut. Penjelasan mengenai modifikasi respon dukacita sama halnya dengan gagasan Neuman mengenai interaksi antar variabel (fisik, psikologis, sosial budaya, perkembangan, dan rohani). Kombinasi beberapa variabel yang unik pada diri seseorang (pengalaman sebelumnya dengan dukacita, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, status fisiologis, batasan sosial budaya, dan yang lainnya) dapat dibandingkan dengan variabel-variabel yang menyusun garis pertahanan normal dan garis perlawanan. Masing-masing garis pertahanan dan garis perlawanan memodifikasi pada tingkatan tertentu dimana stressor mempunyai efek yang negatif pada diri seseorang. Garis pertahanan normal membantu sistem klien untuk menyesuaikan dengan stres akibat kehilangan, sementara garis perlawanan bertindak sebagai kekuatan untuk membantu klien kembali ke kondisi yang stabil. Faktor yang lain, seperti pengalaman individu sebelumnya dengan perasaan kehilangan dan dukacita, budaya, dan kepercayaan religius menjadi bagian dari struktur dasar individu. Garis pertahanan dan perlawanan melindungi struktur dasar dari gangguan stres yang menimpa individu (Reed, 1993).

(11)

continium) untuk mendefinisikan batasan sehat, kondisi kesehatan seseorang yang optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal itu dilihat sebagai batasan normal.

Respon terhadap perasaan dukacita, selanjutnya dapat ditentukan dari efek kehilangan pada tingkat energi tertentu yang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas klien. Berbagai macam tingkatan reaksi dukacita dapat diamati, tergantung pada kemampuan untuk mengelola perasaan kehilangan dan efeknya dalam kehidupan klien (Reed, 2003). Hal yang serupa sesuai dengan gagasan Neuman (dalam Reed, 2003) mengenai rekonstitusi dimana tujuannya adalah untuk mengembalikan sistem klien pada kondisi yang stabil. Rekonstitusi dapat dijelaskan sebagai proses kerja dukacita, penyusunan karakter baru, dan penetapan kenyataan baru. Sistem klien berupaya untuk mengembalikan keadaannya pada kondisi yang stabil, atau mengoptimalkan dirinya untuk mencapai daerah di luar garis pertahanan normal. Dengan kata lain, seseorang akan mencoba untuk mengatasi perasaan dukanya agar lebih baik atau normal (sehat). Sebuah penelitian telah membuktikan adanya perbedaan respon berdasarkan jender terhadap perasaan kehilangan pada masa prenatal (Adler & Boxley, 1985 & Gilbert, 1989), maka respon terhadap pengalaman dukacita bagi masing-masing orang tidak akan sama, termasuk rentang waktu pemulihannyapun berbeda.

2. Kompleksitas Kedukaan

(12)

a. Duka yang diselesaikan

Kondisi ini dukacita ini adalah pada saat penduka menyadari bahwa ia sedang berduka, menerimanya sebagai pengalaman pribadi dan bersedia mengekspresikan perasaan yang muncul. Sikap terbuka menerima realitas adalah pintu masuk ke dalam proses penyembuhan.

b. Duka yang belum diselesaikan

Duka yang belum diselesaikan muncul sebagai konsekwensi pilihan penduka. Ketika menekan perasaannya, ia akan mengalami duka yang tidak terselesaikan.

Unfinished grief terdiri dari 3 kategori, yaitu:

a. Duka yang Berkepanjangan

Duka yang berkepanjangan ini terjadi karena orang yang berduka membawa dukanya terus menerus dari waktu ke waktu. Dia mengakui sedang berduka namun dalam waktu yang lama tetap tidak mampu menerima kenyataan kehilangan. Ia tetap mengenang keistimewaan individu yang hilang. Hal ini merupakan dampak proses idealisasi. Duka yang berkepanjangan dapat muncul dalam bentuk duka warisan. Cerita konflik yang diteruskan kepada generasi selanjutnya turut mewariskan kedukaan kepada orang yang lebih muda.

b. Duka yang Ditunda

Duka yang ditunda muncul sebagai hasil internalisasi orang yang berduka. Penduka bisa menunda kedukaan karena tujuan tersendiri. Ia memerintah diri sendiri agar tidak merasakan duka. Menunda kedukaan bermanfaat jika berlangsung dalam waktu singkat sebab penundaan yang lama atau permanen mengakibatkan duka patologis. Yang menjadi masalah adalah manusia cenderung terlena dalam penundaan dan menganggap hal tersebut sebagai tanda kemampuan untuk menghadapi kedukaan.

(13)

Sedikit berbeda dengan kedukaan yang ditunda. Kedukaan yang tidak penuh timbul karena pengaruh eksternal seperti contohnya penghiburan yang terburu-buru menjadikan duka tidak penuh.

G. PENDEKATAN PSIKOLOGI INDIGENOUS

Mengapa Indigenous Psychology?, pertanyaan ini kelak akan menjadi tanda tanya yang cukup mengganggu para psikolog atau kita yang mendalami teori-teori psikologi. Di bidang sains, berbagai teori, prinsip, dan hukum harus diverifikasikan secara teoritik empirik daripada diasumsikan secara a priori. Psikologi umum telah berusaha mengembangkan teori-teori yang objektif dan universal tentang perilau-perilaku manusia dengan mengeluarkan aspek-aspek subjektif fungsi manusia. Sementara itu Indigenous Psychology menganjurkan untuk menelaah pengetahuan, ketrampilan dan keyakinan yang dimiliki orang tentang dirinya dan bagaimana mereka menjalankan fungsinya dalam konteks keluarga, soisal, kultural dan ekologis mereka. Dalam studi ini, penulis menggunakan pendekatan psikologi indigenous sebagai tolak ukur dalam kajian psikologisnya. Konsep pendekatan psikologi indigenus ini muncul pertama kali di kawasan Asia oleh Hwang (2004). Seperti yang diungkapkannya “kajian ilmiah tentang perilaku atau pikiran manusia yang native (asli), yang tidak ditransportasikan dari wilayah lain, dan yang dirancang untuk masyarakatnya” (h.8). Menurut Matsumoto dalam Kim & Berry (1996) “Budaya tidak dapat terlihat oleh kasat mata atau dirasakan didengar atau diuji. Apa yang nyata serta dapat diamati satu demi satu dari perbedaan dalam perilaku didalam tindakan, pikiran, ritual, tradisi, dan kegemaran. Kita dapat melihat maifestasi dari budaya namun kita tidak dapat melihat budaya itu sendiri (h.14).

(14)

Disamping itu Kim, Hwang dan Yung (2011) dalam beberapa pernyataannya diantaranya: “Indigenous psychology represents an approach in which the content (i.e., meaning, values, and beliefs) context (i.e., family, social, cultural, and ecological) are explicitly incorporated into research design” (h.3). “It is an involving system of psychological knowldege based on scientific research that it sufficiently compatable with the studied phenomena and their ecological, economic, social, cultural, and historical context” (h.245) .

Maka dari definisi yang ada Kim, Yang, dan Hwang (2010) mengidentifikasi sepuluh karakteristik psikologi indigenous yang dapat diidentifikasi, yaitu:

1. Indigenous psychology menekankan menelaah fenomena psikologis dalam konteks keluarga.

2. Indigenous psychology dibutuhkan oleh semua kelompok-kelompok kultural, pribumi, dan etnik, termasuk negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara maju.

3. Indigenous psychology merupakan bagian dari tradisi ilmu pengetahuan yang salah satu aspek pentingnya ialah menemukan metode-metode yang tepat untuk fenomena yang sedang diinvestigasi, oleh karenanya dianjurkan untuk menggunakan berbagai metodologi.

4. Diasumsikan bahwa hanya orang pribumi atau orang dalam di sebuah budaya yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural dan bahwa orang luar hanya bisa memiliki pemahaman terbatas.

5. Dalam indigenous psychology peran para penelitilah yang mampu menerjemahkan pengetahuan episodik menjadi bentuk-bentuk analitik agar dapa diuji dan diverifikasi.

(15)

7. Banyak pakar indigenous psychology yang mencari buku filsafat untuk menjelaskan fenomena indigenous. Namun analisis-analisis tersebut adalah filsafat spekulatif dan mereka masih harus didukung oleh bukti-bukti empiris. Meskipun mereka telah memberi informasi yang kaya dan basis bagi pengembangan bagi teori-teori formal, masih perlu diuji dan divalidasi secara empiris.

8. Indigenous psychology diidentifikasikan sebagai bagian tradisi ilmu budaya, dimana orang tidak sekedar bereaksi atau beradaptasi dengan lingkungan, tetapi merkea mampu memahami dan mengubah lingkungan, orang lain, dan dirinya.

9. Indigenous psychology menganjurkan pengaitan antara humanitas (misalkan sejarah yang difokuskan pada pengalaman manusia) dengan ilmu-ilmu sosial (yang difukuskan pada pengetahuan analitis, analitis empirik, dan verifikasi) sehingga dapat memberikan pengetahuan dan insight yang berharga.

10.Dua titik awal penelitian dalan indigenous psychology ialah indigenization from without (melibatkan teori, konsep yang sudah ada dan memodifikasi mereka agar cocok dengan budaya lokal) dan indigenization from within (teori, konsep dan metode dikembangkan secara internal, dan informasi indigenous dianggap sebagai sumber utama pengetahuan).

Disamping itu Heels dan Lock (1981) dalam Kim, Hwang dan Yang (2010) mendefinisikan indigenous psychology sebagai pandangan, teori, dugaan, klasifikasi,a sumsi, da metafora kultural bersama gagasan-gagasan yang melekat pada intitusi-institusi sosial yang menyangkut topik-topik psikologis, dimana pendekatannya menekankan pada isu0isu psikologis dan dialektika mutualisitis dengan budaya.

(16)

Kim & Yang, 2011) mereviu berbagai definisi yang pada dasarnya mengeskpresikan tujuan dasar yang sama, yaitu mengembangkan sistem pengetahuan ilmiah yang secara efektif merefleksikan, menjelaskan, atau memahami aktifitas-aktifitas psikologis dan perilaku pada konteks aslinya dalam kaitannya dengan kerangka acuan yang relevan secara kultural” (h.8). Dengan adanya indigenous psychology, ilmu yang memahami orang dalam konteksnya merupakan suatu terobosan baru dalam dunia psikologi. Hal ini juga sebagai bukti bahwa setiap perilaku manusia itu akan selalu dan pasti dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat setempat. Dan seperti yang sudah dikatakan diawal, bahwa lewat pendekatan indigenous psikologi dalam studi ini, analisis deskriptif menjadi titik awal pada penelitian ini, tetapi tidak boleh menjadi menajdi titik akhirnya. Seperti yang diungkapkan oleh Kim, Huang dan Yung (2011) “The descriptive analysis is a starting point of research in indigenous psychology, but they can not be the end point”(h.8).

(17)

H. SUKU DANI

1. Kepribadian Orang Dani

Kepribadian orang Dani dilihat dalam kehidupan kelompok etniknya merupakan suatu keseluruhan yang kompleks meliputi sifat karakteristik rohani yang imanen, intelegensi yang prakmatis, berketarampilan sederhana, memiliki sifat batin dan mentalitas yang menyatu dengan alam, dengan tata kelakuan yang bersifat simbolis berdasarkan keyakinan dan pendirian kelompok etniknya. Sunario (1994) mengungkapkan bahwa “dengan sikap mental yang menyatu dengan alam lingkungan orang Dani mempunyai ikatan batiniah yang erat dengan sesama manusia “ (h.21).

Orang Dani mempunyai relasi perkawanan dan persaudaraan dengan sikap saling mencintai, memahami, persaudaraan, kebersamaan, kekeluargaan, solidaritas dan saling ketergantungannya (Sunario, 1994). Mereka memiliki hubungan batiniah yang erat sekali dengan alam sekitarnya, seperti tempat sakral, pohon khusus, telaga, kali, serta hewan.

2. Tatanan Nilai Dalam Kehidupan Masyarakat Suku Dani a. Nilai-Nilai Leluhur

(18)

b. Nilai Relasi

Hidup baik dalam penghayatan orang Dani selalu dan dimana-mana terkait dengan relasi. Pentingnya relasi kekerabatan bagi orang Dani, nampak dalam berbagai tindakan dan ungkapan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip relasi teritorial orang Dani diatur juga melalui tempat tinggal dan lingkungan hidup seseorang. Adanya kenyataan kesamaan minat, perhatian dan sikap dari orang-orang yang bebeda suku memungkinkan terciptanya relasi diantara mereka. Dalam kelompok ini ide persaudaraan diperluas melampaui saudara sekandung dan meliputi orang lain yang dapat hidup bersama seakan-akan saudara sekandung. Suasana hidup saling memperhatikan secara timbal balik yang diungkapkan dalam tindakan sehari-hari merupakan daya pengikat hidup mereka. “Relasi berakar dari kedalaman hati orang Dani, dengan saling member hati secara timbal balik” (h.46). Simbol bagi orang Dani amat penting, karena simbol merupakan gambaran penting yang membantu manusia untuk memahami dan mengungkapkan realitas spiritual, yakni daya relasi yang menyelamatkan.

Bagi orang Dani dengan membagi milik orang akan tetap hidup sekalipun telah meninggal. “Hati baik tidak pernah boleh bersepi, ciptakan kesempatan bagi orang lain untuk mengatakan engkau baik” . Nilai membagi tidak terbatas pada materi saja, melainkan juga membagi rasa. Perasaan sedih, rindu atas kematian seseorang diungkapkan dengan cara memotong bagian jari dan telinga. Pandangan dibalik kebiasaan ini ialah “dia pergi membawa potongan anggota tubuhku, dan aku tinggal dengan jari atau telinga yang terpotong. Setiap saat kami boleh saling memandang”. Jadi tersirat pandangan bahwa jari atau telinga tidak putus atau terpotong melainkan ‘dibawa pergi’ oleh dia yang telah meninggal. Nilai solidaritas yang diungkapkan melalui kebersamaan dan menuntut orang Dani merupakan penuntun jalan hidup baik. Seseorang yang memisahkan diri dari kebersamaan dianggap ‘mati’, sekalipun tidak secara biologis. Ia kehilangan pedoman arah dan menyimpang dari tujuan hidup. Maka, nilai solidaritas sangat penting bagi orang Dani (Sunario, 1994).

(19)

kaum pria: anak, remaja, pemuda), ritus tipat (memperkuat relasi), menggunakan suku menurut garis keturunan ayah, pusat perkampungan ditempatkan dalam satu honai (rumah pria), semua anggota suku menganut garis keturunan sama melalui garis ayah disurutkan sampai kepada satu leluhur pria, serta saling menyapa dengan pihak yang tua sebagai ayah atau bapak dan yang muda sebagai anak atau adik sebagaimana yang disebutkan oleh Sunario (1993) bahwa “hubungan ini sangat kuat dalam menghadapi berbagai peristiwa hidup” (h.45).

I. RITUAL NIKI PALEG ORANG DANI

Kebudayaan asli suku Dani ini sampai saat ini masih dijalani dengan penuh penghayatan. Pada orang orang Dani, jenazah akan dibakar. Pada upacara pembakaran jenazah, tubuh orang yang meninggal dihias dan didudukkan diatas suatu singgasana (bea).

Upacara ini dilakukan disuatu lapangan di pusat perkampungan. Para kerabat dan orang-orang yang datang untuk melayat akan duduk mengelilingi bea dan menangis sekeras-kerasnya. Tubuh para wanita dilumuri dengan lumpur putih tanda berkabung dengan nyanyian-nyanyian kematian dan ratapan. Dan pada siang harinya, beberapa orang dukun (orang yang dapat berhubungan denga roh leluhur) melakukan upacara pemotongan satu ruas jari dari tiap anggota keluarga inti orang yang meninggal dengan menggunakan kapak batu tetapi ada juga yang menggunakan bambu. Dan luka dari pemotongan itu akan di balut dengan sejenis daun khusus yaitu daun keladi.

Jerit tangis dari anak-anak yang menjalani pemotongan jari ini, akan menghilang diantara orang-orang yang sedang melayat. Biasanya jari-jari yang dipotong, bukan hanya sekali saja, tetapi tergantung berapa banyak kerabat terdekat yang meninggal, mereka akan melakukan lagi ritual pemotongan jari. Bahkan sampai jari mereka habis. Dan apabila jari-jari mereka telah dipotong habis, mereka akan memotong lagi sebagian dari telinga mereka.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Kematian yang terjadi terhadap seseorang yang kita kasihi merupakan sesuatu yang.. juga pasti dialami oleh

persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan

Menentukan hubungan antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi dengan Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public Speaking.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Motivasi Berprestasi adalah kebutuhan yang mendorong individu melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan yaitu

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, dapat dilihat bahwa 41,35% responden menilai bahwa Motivasi Berprestasi mahasiswa FBS UKSW yang mengambil matakuliah Public Speaking

Atau minimal, mahasiswa memiliki keyakinan bahwa orang lain memiliki pengetahuan yang sama dengan dirinya, sehingga keyakinan tersebut diikuti perasaan rileks dalam

Masyarakat Toraja memiliki budaya unik yang disebut ma’nenek, sebuah ritual yang mungkin aneh bagi orang lain, namun oleh mereka yang memelihara tradisi ini diyakini sebagai

Biasa ada yang menangis, b iasa dukana’ mbating, tumangi’ ba’tu mattuna’ - tuna’ (saya juga masih sering meratap, dan menangis kalau ada jenazah yang baru