• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH FISIOTERAPI DADA TERHADAP SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK DI RUANG PENYAKIT DALAM RSUD KABUPATEN BULELENG

OLEH:

LUH AYU SUARDIANI NIM. 1302115004

KEMENTERIAN KEPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

i

PENGARUH FISIOTERAPI DADA TERHADAP SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK DI RUANG PENYAKIT DALAM RSUD KABUPATEN BULELENG

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

LUH AYU SUARDIANI NIM. 1302115004

KEMENTERIAN KEPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Luh Ayu Suardiani

NIM : 1302115004

Fakultas : Kedokteran Program Studi : Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar , Februari 2015 Yang membuat pernyataan,

(4)
(5)
(6)

ABSTRACT

Suardiani, Luh Ayu 2015. Effect of Chest Physiotherapy Against Oxygen Saturation in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease In Space Medicine Hospital Buleleng. Final, Nursing Science, Faculty of Medicine, University of Udayana. Supervisor (1) nurses. Ni Ketut Guruprapti, S.Kep, MNS. (2) nurses, I Komang Widarma Atmaja, S.Kep.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease state characterized airflow limitation that is not fully irreversible. Some techniques intervention COPD include pharmacological and non-pharmacological therapies. Chest physiotherapy is one no pharmacological therapies used secrete mucus secretion in patients with COPD. COPD patients often experience excessive mucus production, damage to the walls of the alveoli and pulmonary elastic decline, causing hypoxemia, which can lead to hypoxia. Patients that hypoxia can be observed with a decrease in the number of cases of COPD oxygen. enhancement saturation supported by rising risk factors, namely life expectancy, smoking and air pollution. This study aims to determine the effect of chest physiotherapy on oxygen saturation. Using a quasi-experimental research design. Samples of 20 persons, 10 treatment and 10 control persons. Measurements were performed using pulse oximetry, pretest and posttest in the treatment group and the group control. chest physiotherapy intervention there is an increased oxygen saturation was not significant. The results of the study p> 0.005, so Ha rejected. Expected to further after researchers to conduct studies with sample sizes that more and more time,

(7)

ABSTRAK

Suardiani, Luh Ayu 2015.Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Ruang Penyakit

Dalam RSUD Buleleng. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu

Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ners. Ni Ketut Guruprapti, S.Kep, MNS . (2) Ners, I Komang Widarma Atmaja, S.Kep.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) adalah keadaan penyakit yang ditandai keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya irreversibel. Tehnik penataksanaan PPOK meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis. Fisioterapi dada merupakan salah satu terapi non farmakologis yang digunakan untuk mengeluarkan sekresi mukus pada pasien PPOK. Pasien PPOK sering mengalami produksi mukus berlebihan, kerusakan dinding alveoli dan penurunan elastis paru, sehingga menyebabkan hipoksemia, yang dapat mengarah pada hipoksia. Pasien yang hipoksia dapat diobservasi dengan adanya penurunan saturasi oksigen .Peningkatan jumlah kasus PPOK didukung oleh kenaikan faktor risiko yaitu umur harapan hidup, perilaku merokok dan polusi udara. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen. Rancangan penelitian menggunakan quasi eksperimen. Sampel berjumlah 20 orang, sepuluh orang perlakuan dan sepuluh orang kontrol. Pengukuran dilakukan menggunakan oksimetri nadi, pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Setelah intervensi fisioterapi dada terdapat peningkatan saturasi oksigen secara tidak signifikan. Hasil penelitian p> 0,005, sehingga Ha ditolak. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama,

(8)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul’’Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi Oksigen pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng”. Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan berupa bimbingan, arahan, motivasi dan dukungan moril maupun material dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes, sebagai dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. 2. Prof. dr Ketut Tirtayasa, MS, AIF, sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran

Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

3. Ns. Ni Ketut Guruprapti, S. Kep, MNS sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. 4. Ns. I Komang Widarma Atmaja, S.Kep sebagai pembimbing pendamping

telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

(9)

v

6. Suami, anak dan semua keluarga yang telah memberikan bantuan dan dorongan demi terselesainya skripsi ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang juga telah memberikan motivasi demi terselesainya skripsi ini. 8. Pasien dan keluarga pasien yang membantu penelitian ini.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Januari 2015

(10)

vi DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep PPOK... 8

2.2 Fisioterapi Dada... 14

2.3 Saturasi Oksigen... 18

2.4 Tehnik-Tehnik Pengukuran Saturasi Oksigen ... 2.5 Hipoksia... 20 23 BAB III. KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep ... 25

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 27

3.3 Hipotesa Penelitian... 28

BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 30

4.2 Kerangka Kerja ... 31

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4.4 Populasi, Teknik Sampling dan Sampel Penelitian ... 32

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 35

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ... 38

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 41

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian... 46

(11)

vii BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Jumlah Pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD

Buleleng Bulan Juli, Agustus, September... Tabel 2 Definsi operasinal Variabel Pengaruh Fisioterapi Dada

Tarhadap Saturasi Oksigen... Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur ... Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... Tabel 5 Saturasi Oksigen Pretest... Tabel 6 Saturasi Oksigen Postest...

Tabel7 Perbedaan saturasi oksigen pre-post test pada kelompok kontrol ... Tabel 8 Perbedaan Saturasi Oksigen Pre-Post Test Pada Kelompok

Perlakuan... Tabel 9 Perbedaan perubahan nilai saturasi oksigen pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol ...

3

28 42 42 43 43 44 44

(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kerangka Konsep Pengaruh Fisioterapi Dada

Terhadap Saturasi Oksigen... 26

Gambar 2 Kerangka kerja Pengaruh Fisioterapi Dada

(14)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian.

Lampiran 2. Surat Permohonan Menjadi Responden Lampiran 3. Lembar Persetujuan menjadi Responden Lampiran 4. Lembar Observasi.

Lampiran 5. Prosedur Fisioterapi Dada

Lampiran 6. Prosedur Penggunaan Oksimetri Nadi Lampiran 7. Anggaran Biaya Penelitian.

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

(16)

2

meningkat dari 616 tahun 2000 menjadi 1.735 pada tahun 2007 (Susanto, Prasenohadi & Yunus, 2010).

Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa PPOK adalah penyebab kematian terbesar keempat pada tahun 2011, dengan tiga juta kematian di seluruh dunia, yang mewakili 5,8% dari total mortality. Di Itali, jumlah kematian yang terjadi untuk penyakit pernafasan pada tahun 2008 adalah 37.659 (6,5%) dari total kematian, 20.786 (sekitar 50%) yang terkait dengan PPOK (Roggeri, Michellato & Roggeri, 2014). Di Indonesia PPOK adalah salah satu dari 10 penyebab utama kematian (Patriani, Paramastri & Priyono, 2010). Menurut prediksi WHO, diperkirakan pada tahun 2020, PPOK akan menjadi penyebab kematian urutan ketiga di seluruh dunia (Oemati, 2013).

Peningkatan jumlah kasus PPOK di Indonesia didukung oleh kenaikan faktor

risiko yaitu umur harapan hidup, perilaku merokok dan polusi udara (Patriani, Paramastri & Priyanto, 2010). Faktor risiko utama PPOK antara lain,

merokok, polutan indor, out door dan polutan di tempat kerja. Faktor risiko lain PPOK yaitu, genetik, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik. Rokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95%) di negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mukus dan obstruksi jalan napas. Perokok pasif juga menyumbang terhadap sympton saluran napas dan peningkatan kerusakan paru akibat partikel dan menghisap gas-gas berbahaya (Oemati, 2013).

(17)

3

Tabel 1. Jumlah Pasien PPOK Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng, bulan Juli, Agustus, September 2014

Ruangan

Pasien PPOK % Pasien PPOK % Pasien PPOK %

Anggrek 80 3 3,8 121 2 1,7 117 4 3,4

Cempaka 113 6 5,3 101 1 1,0 110 3 2,7

Jempiring 111 3 2,7 156 6 3,8 174 7 4,0

Jumlah 304 12 11,8 378 9 6,5 401 14 10,2

Juli Agustus September

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan pasien PPOK paling banyak terdapat di ruang Jempiring dan paling banyak jumlahnya pada bulan September. Hal ini disebabakan karena jumlah pasien di ruang Jempiring lebih banyak daripada ruang Anggrek dan ruang Cempaka. Adanya penurunan jumlah pasien bulan Agustus dibandingkan bulan Juli, dan adanya peningkatan jumlah pasien bulan September dibandingan bulan Agustus. Di ruang Jempiring, adanya peningkatan pasien PPOK, dari bulan Juli, Agustus dan September. Hari rawat pasien PPOK cukup lama, lebih dari lima hari, sehingga jumlah pasien yang dirawat tiap bulan kurang dari 6 %.

(18)

4

PPOK, ditemukan kelemahan otot pernafasan, disebabkan hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutirsi kronis (Ikalius, Yunus, Suradi & Rahma, 2007).

Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik yaitu dengan gas darah arteri dan oksimetri nadi. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner & Suddart, 2002).

Beberapa tehnik penatalaksanaan pasien PPOK, yang berkisar dari latihan olah raga, konseling nutrisi, penyuluhan, terapi obat, penggunaan oksigen dan pembedahan dapat efektif dalam terapi PPOK (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi, edukasi, obat-obatan, terapi oksigen ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Rehabilitasi paru pada penderita PPOK merupakan pengobatan yang standar yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala, meningkatkan kapasitas fungsional secara optimal sehingga pasien dapat hidup mandiri dan berguna bagi masyarakat (Khotimah, 2013). Pada pasien PPOK yang telah mengalami rehabilitasi paru, gejala sesak nafasnya akan berkurang dan pernafasannya menjadi efektif karena sputum dapat dimobilisasi (Ikalius, Yunus, Suradi & Rahma, 2007).

(19)

5

Fisioterapi dada direkomendasikan untuk klien-klien yang memproduksi sputum lebih dari 30cc per hari atau menunjukkan bukti atelektasis dengan sinar X dada. Terapi ini terdiri dari drainase postural, perkusi dada dan vibrasi. Fisioterapi dada harus diikuti dengan batuk produktif dan penghisapan pada klien yang mengalami penurunan kemampuan untuk batuk (Potter & Perry, 2006). Pasien yang mengalami retensi sekresi dan gangguan oksigenasi, seperti pneumonia dan PPOK membutuhkan fisioterapi dada untuk mengencerkan dan membuang sekresi. Waktu yang optimal untuk melakukan tehnik ini adalah sebelum klien makan dan sebelum klien tidur. Respon yang diharapkani, pengumpulan sekresi dapat dicegah, drainase traheobranbronkhial dapat ditingkatan dan ventilasi dapat diperbaiki (Asih & Effendy, 2004). Pasien dengan sekret yang banyak dilakukan perkusi dan drainase postural untuk membuang sekret yang menyumbat, yang menjadi faktor predisposisi infeksi ( Price & Wilson, 2006)

(20)

6

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah penelitian ’’apakah ada pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK”

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi saturasi oksigen pre test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng. b. Mengidentifikasi saturasi oksigen post test kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.

c. Menganalisis perbedaan saturasi oksigen pada masing-masing kelompok pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.

(21)

7

1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Secara Praktis

Meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan fisioterapi dada sehingga mengurangi keluhan pasien mengakibatkan hari rawat inap pasien PPOK menjadi lebih singkat dan kualitas hidup pasien meningkat.

1.4.2 Secara Teoritis

a. Tersusun protap tentang tindakan fisoterapi dada pada pasien PPOK.

(22)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Paru Obstuktif Kronik (PPOK) 2.1.1 Definisi

PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkhitis kronis, bronkiektasis, emfiesema, dan asma. PPOK merupakan kondisi irreversibel yang berkaitan dengan diaspneu saat beraktivitas dan penurunan aliran udara masuk dan keluar paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002). PPOK adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kondisi obstruksi irreversibel progresif aliran udara ekspirasi. Kelainan utama yang tampak pada individu dengan PPOK adalah bronkhitis kronis, emfisema dan asma (Asih & Effendy, 2004).

(23)

9

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja (terhadap batubara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor risiko penting yang menunjang pada terjadinya pada penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2002). Meski setiap penyakit bermanifestasi dalam bentuk murninya, adalah lazim penyakit bronkhitis kronis dan emfisema untuk timbul bersamaan pada klien yang sama. Asma lebih mudah dipisahkan dari bronkhitis kronis dan emfisema karena awitanya yang mendadak (Asih & Effendy, 2004).

a. Definisi Bronkitis Kronik

Bronkitis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung tiga bulan dalam satu tahun selama dua tahun berturut-turut (Brunner & Suddarth, 2002). Bronkhitis kronis secara fisiologi ditandai oleh hipertropi dan hipersekresi kelenjar mukosa bronkhial, dan perubahan struktur bronkhi dan bronkhioles (Asih & Effendy, 2004).

(24)

berturut-10

turut. Sputum yang terbentuk dapat mukoid atau mukopurulen (Price & Wilson, 2006).

Pada pasien dengan bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi saluran pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri dan mikroplasma yang luas dapat menyebabkan episode bronkitis akut. Eksaserbasi bronkitis kronik hampir terjadi selama musim dingin (Brunner & Suddarth, 2002).

b. Definisi Emfisema Paru

Emfisema paru didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar bronkiulus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Pada kenyataannya, ketika pasien mengalami gejala, fungsi paru sering mengalami kerusakan yang ireversibel (Brunner & Suddarth, 2002). Emfisema didefinisikan sebagai kehilangan elastik paru dan pembesaran abnormal dan permanen pada ruang udara yang jauh dari bronkiolus terminal dengan destruksi dinding alveolar dan bantalan kapiler tanpa fibrosis yang nyata (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

(25)

11

2.1.2 Manisfestasi Klinis

a. Manisfestasi Klinis Bronkitis Kronis

Batuk produktif kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda dini bronkitis kronis. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh cuaca yang dingin, lembab dan iritan paru. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan sering mengalami infeksi pernapasan (Brunner & Suddarth, 2002). Tanda dan gejala bronkhitis kronis adalah batuk produktif ketika bangun tidur pagi (Asih & Effendy, 2004). Tanda dan gejala bronkitis kronis, ekspektorasi sputum yang berlebih saat tidur, peningkatan volume sputum dan perubahan warna sputum dari putih sampai kuning atau hijau, hemoptisis selama eksaserbasi akut, penurunan suara napas, mengi atau ronkhi, frekuensi pernapasan yang lebih dari 16 kali permenit, waktu ekspirasi kuat yang lama (lebih 4 detik normal) (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

b. Manisfestasi Klinis Emfisema Paru

(26)

12

yang menandakan emfesema adalah dispnea, pembentukan sputum sedikit atau tidak ada, penggunaan otot-otot eksesori pernapasan peningkatan frekuensi pernapasan dan perpanjangan fase ekspiratori (Asih & Effendy, 2004). Keluhan utama emfesema, dispnea, batuk jarang terjadi, pasien kurus disertai penurunan berat badan, dada tanpa suara tambahan, tidak terjadi edema perifer, pasien tampak tidak nyaman dengan penggunaan otot bantu pernafasan (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

2.1.3 Penatalaksanaan PPOK a. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi terdiri dari, program aktivitas olah raga, konseling nutrisi dan penyuluhan. Program aktivitas terdiri dari, sepeda ergometri, latihan tredmill,

(27)

13

postural, pengobatan dengan oksigen aliran rendah, hidrasi dan program kerja fisik (Price & Wilson, 2006).

b. Terapi Farmakologi

Menurut GOLD (2001), terapi farmakologi untuk pasien PPOK adalah bronkodilator dan glukokortikosteroid. Bronkodilator memperbaiki pengosongan paru, mengurangi hiperinflasi pada saat istirahat dan selama latihan, dan memperbaiki perfoma latihan. Terapi inhalasi glukortikokoid yang lama dapat mengurangi gejala, namun tidak merubah penurunan jangka panjang forced expiratory volume (FEV), yang biasanya dilihat pada pasien PPOK (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Pengobatan farmakologi pasien PPOK meliputi, antibiotik, vaksin pneumokus dan influenza, bronkodilator, alfa 1-antitripsin, reseksi bedah (pada kasus-kasus tertentu) (Price & Wilson, 2006). Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia, penatalaksanaan farmakologi meliputi, ventilasi mekanik dan obat-obatan. Obatan-obatan yang diberikan yaitu bronkodilator, antiinflamasi, antibiotika, antioksidan, mukolitik, (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.1.4 Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah

(28)

14

melakukan aktivitas sedang. Situasi yang menekan, yang dapat mencetuskan batuk atau gangguan emosional harus dihindari (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia, edukasi yang perlu diberikan antara lain berhenti merokok, penggunan obat dengan tepat, mengenal dan mengataasi efek samping obat dan oksigen, penilaian tanda eksaserbasi akut (sesak bertambah, batuk bertambah, sputum berubah warna), menghindari pencetus eksaserbasi, menyesuaikan keterbatasan hidup dengan aktivitas (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.2 Fisioterapi Dada

Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi yang digunakan dengan kombinasi untuk memobilisasi sekresi pulmonal. Terapi ini terdiri dari drainase postural, perkusi dada, dan vibrasi. Klien yang mengalami retensi sekresi dan gangguan oksigenasi, seperti pneumonia, penyakit paru obstuksf kronik membutuhkan bantuan ini untuk mengencerkan dan mengeluarkan sekresi. Fisioterapi dada mencakup tiga tehnik drainase postural, perkusi dada dan vibrasi (Asih & Effendy, 2004). Drainase postural, perkusi, dan vibrasi dada merupakan metode fisioterapi dada yang digunakan untuk memperbesar upaya klien dan memperbaiki fungsi paru. Metode ini dapat digunakan secara berurutan pada posisi drainase yang berbeda dan harus diawali dengan bronkodilator (jika diprogramkan), dan dilanjutkan dengan napas dalam dan batuk (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

(29)

15

Drainase postural menggunakan posisi spesifik yang memungkinkan gaya gravitasi untuk membantu membuang sekresi pulmonal. Jika drainase postural digunakan, pasien dibaringkan secara bergantian dalam posisi yang berbeda, sehingga gaya gravitasi membantu mengalirkan sekresi dari jalan nafas bronkial yang lebih kecil ke bronki yang lebih besar dan trakea. (Brunner, Suddart, 2002). Posisi drainase postural memfasilitasi drainase sekret paru ke arah bronkus utama dan trakea dengan bantuan gaya gravitasi berdasarkan anatomi segmen-segmen paru (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

Pengaturan posisi pasien dengan menempatkan paru yang sakit di sebelah bawah cenderung menyebabkan hipoksia, yang disertai ketidakselarasn ventilasi - perfusi dan pemintasan. Akan tetapi pertukaran posisi tersebut diubah jika pasien mengalami abses paru (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Latihan drainase dapat diarahkan pada semua segmen paru (Brunner & Suddart, 2002).

(30)

16

Pasien diinstruksikan untuk tenang dalam setiap posisi selama 10 sampai 15 menit dan menghirup dengan lambat melalui hidung. Kemudian menganjurkan menghembuskan napas dengan perlahan sambil merapatkan bibir untuk membantu mempertahankan jalan napas terbuka sehingga sekresi dapat dialirkan ketika dalam berbagai posisi (Brunner & Suddarth, 2002). Minta klien untuk mempertahankan posisi selama 15 sampai 45 menit. Pada klien anak-anak prosedur ini membutuhkan waktu 3-5 menit (Eni Kusyanti dkk, 2013).

Kontra indikasi untuk drainase postural: peningkatan tekanan intra intrakranial, setelah makan dan pemberian makan melalu selang, tidak mampu batuk, hipoksia, ketidaksatabilan hemodinamik, penurunan status mental, setelah operasi mata, obesitas (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

2.2.2 Perkusi Dada (Clapping)

(31)

17

kulit dan kemerahan akibat kontak langsung. (Brunner & Suddarth, 2002). Perkusi setiap segmen paru selama 1-2 menit. Hindari melakukan perkusi pada struktur yang mudah cidera seperti payudara, sternum, kolumna spinalis dan ginjal (Eni Kusyanti dkk, 2013).

2.2.3 Vibrasi

(32)

18

Kontra indikasi perkusi /vibrasi, Fraktur tulang iga atau osteoporosis, pembedahan pada dada atau abdomen, hemoragi atau emboli paru, malignansi dada/masktomi, pneumotorak/emfesema subkutan, trauma medula servikal, tuberkulosis, efusi fleura/emfiema, asma (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Sebagai kewaspadaan, perkusi di atas selang drainase dada, sternum, tulang belakang, ginjal, limpa, atau payudara (pada wanita) dihindari (Brunner & Suddarth, 2002).

2.3 Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen (O2 sat) adalah presentase haemoglobin yang disaturasi oksigen (Potter & Perry, 2006). Oksigen (O2) dapat diangkut dari paru-paru ke jaringan melalui dua jalan, secara fisik larut dalam plasma atau secara kimiawi berikatan dengan Hb (HbO2). Ikitan kimia O2 dengan Hb ini bersifat irreversibel, yang jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 secara fisik larut dalam plasma. Selanjutnya jumlah O2 yang terlarut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial alveoli (PAO2) (Price &Wilson, 2006).

(33)

19

memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun sekitar 75% hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk vena darah campuran. Jadi hanya 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan dalam keperluan jaringan (Price & Wilson, 2006).

Oksigen dibutuhkan untuk memenuhi katabolisme kimia yang terjadi dalam memproduksi energi seluler. Saat difusi dari paru-paru ke darah, sebagian kecil dari oksigen akan larut dalam plasma dan cairan sel, tetapi lebih dari 60 kali banyaknya berikatan cepat dengan hemoglobin. Pada PAO2 100mm Hg, hampir 96% dari semua molekul hemoglobin telah berkombinasi dengan oksigen. Persentase ini menunjukkan saturasi hemoglobin atau saturasi oksigen arteri (SaO2) (Guyton, 2000). Jumlah oksigen yang bergabung dengan haemoglobin juga tergantung padaPaO2, tetapi hanya paO2 sekitar 150 mmHg. Jika Pao2 kurang dari 150 mmHg, prosentase haemoglobin yang tersaturasi akan lebih reendah. Sebagai contoh, pada PaO2 100 mmHg (nilai normal ), saturasi oksigen 97%, dan pada PaO2 40 mmHg saturasi adalah 70% (Brunner & Suddarth, 2002).

(34)

20

adalah 80 sampai 100 mmHg. Dengan tingkat oksigenasi ini, terdapat batas kelebihan oksigen 155 tersedia untuk jaringan (Brunner & Suddarth, 2002).

2.4Tehnih-Tehnik Pengukuran Saturasi Oksigen Arteri

Pengukuran Saturasi oksigen arteri dapat dilakukan dengan dua cara : 2.4.1 Gas Darah Arteri

Tekanan oksigen arteri (PaO2) menunjukkan derajat oksigenasi darah dan tekanan karbon dioksida arteri, menunjukkan keaadekuatan ventilasi alveolar. Pemeriksaan gas darah arteri membantu mengkaji tingkat tingkat dimana paru-paru mampu memberikan oksigen yang adekuat dan membuang karbon dioksida serta tingkat dimana ginjal mampu menyerap kembali dan mengekskresikan ion-ion bikarbonat untuk mempertahankan pH darah yang normal (Brunner &Suddarth, 2002). Artei radialis (brakialis) sering dipilh karena arteri mudah dicapai. Gas-gas darah arteri didapat melalui fungsi arteri pada arteri radialis, arteri brakiali, arteri femoralis atau melalui arteri indwwlling (Brunner & Suddarth, 2002) Pergelangan tangan diektensikan dengan menempatkan di atas gulungan handuk, setelah kulit disterilkan, lalu arteri distabilkan dengan dua jari dari satu tangan, sedangkan tangan yang lain menusuk arteri tersebut dengan alat suntik yang berisi heparin. Setelah lima ml darah terhisap ke dalam alat suntik , udara dikeluarkan, dan darah disimpan di atas es dan langsung dibawa ke laboratorium (Price & Wilson, 2006)

(35)

21

meterjadi pada kelebihan dosis narkotik atau barbiturat. Penyebab PaCO2 menurun adalah selalau hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan pH darah. Hiperventilasi sering timbul pada asma dan pneumonia dan menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan PaCO2 dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru (Price &Wilson, 2006). PaO2 (tekanan parsial kelarutan oksigen di dalam darah), nilai normal 80-100 mmHg. PaCO2 (tekanan kelarutan parsial CO2 dalam darah), nilai normal 38-45 mmHg. SaO2 (presentasi ikatan oksigen dengan haemoglobin), nilai normal 95%-98%. Kosentrasi ion hidrogen (pH), nilai normal 7,35-7,45 (Asih & Effendy, 2006). Kosentrasi bikarbonat HCO3, nilai normal 22-26 mEq/L (Price & Wilson, 2006). Perubahan asam - basa pada asidosis dan alkalosis yaitu, (a) asidosis respiratorik: pH menurun, HCO3 meningkat, PaCO2 meningkat, (b) alkalosis respiratorik: pH meningkat, HCO3 menurun, PaCO3 menurun, (c) asidosis metabolik: pH menurun, HCO3 menurun, PaCO2 menurun, Alkalosi metabolik: pH meningkat, HCO3 meningkat, PaCO2 meningkat (Price & Wilson, 2006).

2.4.2 Oksimetri Nadi (Pulse Oximetry)

(36)

22

mengalami kelainan perfusi/ventilasi, seperti pneumonia, emfesema, bronkitis kronik, asma, embolisme pulmonar, gagal jantung merupakan kandidat ideal untuk menggunakan oksimetri nadi (Potter & Perry, 2006).

Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit perawatan umum, Oksimetri nadi juga digunakan pada area diagnostik dan pengobatan selama pelaksanaan prosedur. (Brunner & Sudarth, 2002). Pemantauan saturasi oksigen yang kontinu bermanfaat dalam pengkajian gangguan tidur, toleransi dalam latihan fisik, penyapihan dari ventilasi mekanis dan penurunan sementara saturasi oksigen (Potter & Perry, 2006).

Sensor atau probe dilekatkan pada ujung jari, dahi, daun telinga atau batang hidung. Sensor mendeteksi perubahan tingkat saturasi oksigen dengan memantau signal cahaya yang dibangkitkan oleh oksimetri dan direfleksikan oleh darah yang berdenyut melalui jaringan pada probe (Brunner, Suddarth, 2002). Nasal probe (alat yang menyelidiki kedalaman) direkomendasikan untuk kondisi perfusi darah yang rendah. Keakuratan nilai oksimetri nadi secara tidak langsung berhubungan dengan perfusi di daerah probe. Pengukuran oksimetri nadi di daerah yang memiliki perfusi jaringan buruk, yang disrbabkan oleh syok, hipotermi, atau penyakit vaskuler perifer mungkin tidak dapat dpercaya (Potter & Perry, 2006)

(37)

23

diharapkan saturasi oksigen klien 96% sampai 100% , dan klien mamapu metoleransi prosedur (Asih & Effendy, 2006).

2.5Hipoksia

Hipoksia adalah oksigenasi jaringan yang tidak adekuat pada tingkat jaringan. Kondisi ini terjadi akibat penggunaan oksigen di selluler dan difisiensi penghantaran oksigen di seluler (Potter & Perry, 2006). Hipoksia dapat disebabkan oleh :

1. Penurunan kadar haemoglobin dan penurunan kapasitas darah yang membawa oksigen.

2. Penurunan kosentrasi oksigen yang diinspirasi.

3. Ketidakmampuan jaringan untuk mengambil oksigen dari darah, seperti pada kasus keracunan sianida.

4. Penurunan difusi oksigen dari alveoli ke darah, seperti pada kasus pneumonia. 5. Perfusi darah yang mengandung oksigen di jaringan yang buruk, seperti pada

pasien syok.

6. Kerusakan ventilasi seperti yang terjadi pada fraktur iga multiple dan trauma dada.

Tanda dan gejala hipoksia (Potter & Perry, 2006)

(38)

24

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan POJK No 10 Tahun 2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat dan Transformasi BKD yang diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat, telah

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kemauan untuk meningkatkan keberadaan sistem dan mengembangkan sistem bagi pembuat keputusan berhubungan positif dengan kualitas

Berdasarkan tabel 1.1 ikhtisar laporan keuangan di atas dapat dilihat total aset yang dimiliki oleh PT Aneka Gas dan Indutsri Tbk dari tahun 2013 sampai tahun

Keperluan yang paling biasa untuk bahan anodik SOFC adalah kekonduksian elektrik yang sangat baik, aktiviti elektrokimia yang baik untuk mengoksidakan fuel,

Kabupaten Pesawaran sebagai daerah otonom baru melalui pelayanan publik di bidang kesehatan masyarakat antara lain melalui penyempurnaan manajemen pelaksanaan program

orientasi kawasan dengan penataan massa bangunan sudut simpangan dan penambahan suatu elemen estetis pada pusat / median simpangan jalan Bagian Utara kawasan terdiri dari

artinya bahwa nilai tukar (kurs) tengah rupiah terhadap dolar Amerika memiliki tingkat pentingnya yang mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 86,54114%,

Kaitannya dapat dilihat dari faktor berlakunya ketidakakuran sivil itu, antaranya adalah kerana masyarakat menentang pemerintahan kerajaan yang tidak demokrasi seperti tidak