BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tidak
dibarengi dengan perkembangan sumber daya manusia dan perkembangan
masyarakat seperti kebutuhan dalam bidang ekonomi. Hal ini mengakibatkan
anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang saling berbeda, sehingga
masing–masing pihak akan mempertahankan kepentingannya sendiri-sendiri
dengan sebaik mungkin bagi dirinya masing-masing. Berbagai kepentingan anggota
masyarakat kadang menimbulkan pertentangan dan penyimpangan yang akan
membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan dalam masyarakat bahkan
pada dirinya sendiri.
Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak
asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh
undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib diberlakukan sebagai
manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap
manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk
hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa
untuk melakukan yang tidak disukai atau diperlakukan dengan tidak sesuai harkat,
martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya
Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dalam
kehidupan anak. Terutama rasa kasih sayang yang diberikan dari orang tua. Tetapi
dalam kenyataannya, banyak anak dibesarkan dalam kondisi yang penuh dengan
konflik sehingga seringkali menyebabkan perkembangan jiwa anak tersebut
seperti itu dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang
sering dikategorikan sebagai kenakalan anak.
Kenakalan anak dewasa ini terus meningkat dalam kehidupan
bermasyarakat. Bukan hanya meresahkan orang tua dari si anak pembuat kenakalan,
tetapi masyarakat di lingkungan sekitar anak tersebut juga menjadi terganggu
keamanan, kenyamanan dan ketertiban kehidupannya. Kenakalan anak pada
akhirnya bukan sekedar merugikan orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Tetapi
lebih jauh mengancam masa depan bangsa dan negara, dimana anak merupakan
generasi penerus masa depan bangsa dan negara Indonesi
Penyimpangan perilaku yang melanggar hukum yang dilakukan anak
disebabkan berbagai faktor. Antara lain dampak negatif dari perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi,
kemajuan IPTEK, serta perubahan gaya hidup telah membawa perubahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga akan sangat berpengaruh
pada nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh
bimbingan kasih sayang, pembinaan dalam pengembangan sikap dan perilaku,
penyesuaian diri serta pengawasan orang tua, wali atau orang tua asuh akan
menyebabkan anak mudah terseret dalam pergaulan yang kurang sehat. Sehingga
akan merugikan perkembangan pribadinya. Bahkan hal tersebut dapat membuka
peluang bagi anak untuk melakukan tindak pidana. Walaupun anak dapat
menentukan sendiri langkah dan perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan
kehendaknya, akan tetapi keadaan lingkungan disekitarnya dapat mempengaruhi
perilakunya, diantaranya adalah perilaku untuk berbuat jahat.
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi
penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,
dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan
prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana
dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang
menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang
sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara
dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup
terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan
budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif
yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum
maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus
diberikan kepada mereka.
Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu tidaklah mengherankan
apabila orang mengatakan bahwa hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum
manakala ia tidak pernah dilaksanakan (lagi).1 Hukum dapat dilihat bentuknya
melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah
atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung tindakan-tindakan yang harus
dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan hukum itu2.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak yang melakukan
tindak pidana diistilahkan dengan anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam
perspektif Konvensi Hak Anak/KHA (Convention The Rights of The Children/
CRC), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam
situasi khusus (children in need of special protection/ CNSP). UNICEF menyebut
anak dalam kelompok ini sebagai children in specially difficult circumtances
(CDEC), karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas intitusi
negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, membutuhkan
perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi
karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak
dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat dimana biasanya anak
menjalani hidup.
Tindak pidana yang dilakukan anak merupakan masalah serius yang
dihadapi setiap Negara. Di Indonesia masalah tersebut banyak diangkat dalam
1
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung : Sinar Baru), 1999, hal. 15
2
bentuk seminar dan diskusi yang diadakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan
lembaga terkait lainnya. Kecenderungan meningkatnya pelanggaran yang dilakukan
anak atau pelaku usia muda yang mengarah pada tindak kriminal, mendorong upaya
melakukan penanggulangan dan penanganannya, khusus dalam bidang hukum
pidana (anak) beserta acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus
terhadap pelaku tindak pidana usia muda.3
Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang
dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum
belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih
disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul
masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum.4
Kejahatan terhadap jiwa seseorang yang menimbulkan akibat matinya
seseorang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Praktek kejahatan terhadap jiwa meliputi jumlah yang besar setelah
kejahatan terhadap harta benda.5 Pembunuhan adalah suatu kejahatan yang tidak
manusiawi, karena pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan
kematian orang lain, yang dilakukan secara sadis. Pembunuhan berencana ialah
pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu,
misalnya, dengan berunding dengan orang lain atau setelah memikirkan
siasat-siasat yang akan dipakai untuk melaksanakan niat jahatnya itu dengan
sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum tindakan yang kejam itu dimulainya.
Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah
“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk
undang-undang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, yang rumusannya
dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu
3
Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 2
4
Mulyana W. Kusumah (ed), Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.3
5
dipidana karena pembunuhan dengan rencana”. Dapat disimpulkan bahwa
merumuskan pasal 340 KUHP dengan cara demikian, pembentuk undang-undang
sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri.
Pembunuhan berencana merupakan suatu tindak pidana kejahatan berat.
Pembunuhan berencana muncul dikarenakan oleh faktor-faktor antara lain yaitu :
1) Unsur subjektif terdiri dari:
a. Dengan sengaja
b. Dengan terlebih dahulu
2) Unsur objektif terdiri dari:
a. Perbuatan : menghilangkan nyawa
b. Objeknya : nyawa orang lain.6
Apabila salah satu unsur diatas terpenuhi maka seseorang dapat ditetapkan
sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Setelah ada bukti-bukti dan
saksi yang kuat maka pelaku tindak pidana dapat dituntut dipengadilan. Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Hal ini berarti segala bentuk perilaku individu didasarkan kepada
hukum yang berlaku. Pelaku kejahatan ataupun korban kejahatan akan
mendapatkan tindakan hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Seseorang yang diduga melakukan pelanggaran hukum tidak dapat dikatakan
bersalah sebelum adanya keputusan hukum dari hakim yang bersifat tetap. Untuk
menjaga supremasi hukum saat ini sedang gencar-gencarnya diadakan reformasi
penegak hukum yang bersih dan berwibawa.
Kejahatan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah pelanggaran
terhadap hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan pelanggaran yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa dilihat sebagai hukum pidana
objektif, yaitu suatu tindak pidana yang digolongkan menurut ketentuan-ketentuan
hukum itu sendiri dan dapat juga dilihat sebagai hukum pidana subjektif yaitu
ketentuan-ketentuan di dalam hukum mengenai hak penguasa menerapkan hukum.7
Masalah kejahatan merupakan bagian dari perubahan sosial dan bukan hal yang
6
Wawancara dengan Erwin Silalahi, SH, staf pidana umum Kejaksaan Negeri Medan
7
baru, pada prinsipnya meskipun tempat dan waktunya berlainan namun tetap dinilai
sama. Peningkatan kejahatan dari waktu ke waktu tidak dapat dihindari,
dikarenakan bentuk perusahaan sosial sebagai pendorongnya.
Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak
asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh
undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sehingga dengan kata lain seseorang berhak dan wajib
diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.
Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan
apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan
dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai ataupun diperlakukan
dengan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia
seutuhnya.
Menurut Gatot (2000), menyatakan bahwa penyimpangan tingkah laku atau
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang
cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup orang tua, telah
membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang
sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku manusia. Selain itu kurang perhatian
dan kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan
sikap perilaku penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang
tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang lingkungannya
yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.8
Sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku harus didasarkan pada
kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Penjatuhan pidana atau tindakan
merupakan suatu tindakan yang harus mempertanggungjawabkan dan bermanfaat
bagi pelaku. Hakim wajib mempertimbangkan keadaan, keadaan rumah, keadaan
lingkungan dan laporan pembimbing kemasyarakatan.
8
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk
mencoba menguraikan masalah tindak pidana pembunuhan khususnya tindak
pidana pembunuhan berencana dalam skripsi dengan judul
“Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan Pasal 340 KUHP” untuk dikaji sesuai Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn mengenai pertanggungjawaban pelaku
pembunuhan berencana.
B. Permasalahan
1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi timbulnya tindak
pidana pembunuhan oleh anak sesuai pasal 340 KUHP?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak yang
melakukan tindak pidana pembunuhan menurut pasal 340 KUHP pada
putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn?
3. Bagaimana akibat hukum terhadap pelaku tindak pidana sesuai pasal 340
KUHP pada kasus putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
timbulnya tindak pidana pembunuhan oleh anak sesuai pasal 340 KUHP
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak yang
melakukan tindak pidana pembunuhan menurut pasal 340 KUHP pada
putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn.
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pelaku tindak pidana sesuai
pasal 340 KUHP pada kasus putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 /
PN.Mdn.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dan
1. Secara praktis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,
khususnya yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban tindak
pidana bagi terdakwa tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.
2. Secara Teoritis
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah ilmu
pengetahuan pada penegakan hukum positif yang lebih jelas pada
pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa tindak pidana
pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.
b. Bagi Instansi
Diharapkan dapat menggunakan Undang-Undang yang ada sesuai
dengan aturan yang berlaku terhadap pertanggungjawaban pidana
terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh
penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai
“Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Sesuai Dengan Pasal 340 KUHP” belum pernah dilakukan
penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.
Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan
belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah
sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan
azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan maupun kritikan yang
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Pidana dan Tujuan Hukum Pidana
Masalah pendefenisian hukum pidana tidaklah semudah untuk
merumuskanya seperti yang disangka orang semula.Istilah hukum pidana
dapat diberikan definisi menurut sudut pandang seseorang darimana aspek
hukum itu diperhatikan. Berikut beberapa definisi oleh para ahli tentang
hukum pidana :
1) Wirjono Projodikoro, mengemukakan Hukum pidana adalah peraturan
hukum mengenai pidana.Kata “pidana” berarti hal yang dipidanakan
yaitu oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakanya dan juga hal yang
sehari-hari dilimpahkan.9
2) WLG. Lemaire, menyatakan bahwa Hukum pidana itu terdiri dari
norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan
yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa
hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan
demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan
suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tidakan yang
mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana
terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan
bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang
bagaimana yang dapat diajtuhka bagi tindakan-tidakan tersebut.10
3) WFC. Hattum, menyatakan Hukum pidana (positif) adalah suatu
keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh
Negara atau masyarakat hukum lainya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umumtelah melarang dilakukanya
tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar hukum dan telah
9
Erdianto Efendi., Hukum Pidana Indonesia-Suatu Pengantar, Bandung, 2011, hlm. 7.
10
mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu
penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.11
4) WPJ. Pompe, menyatakan Hukum pidana sama halnya dengan hukum
tata Negara, hukum perdata dan lain-lain dari hukum, biasanya diarikan
sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak
bersifat umum yang abstrak dari keadan-keadan yang bersifat konkret.12
5) Kansil, mengemukakan Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran- pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan.13
Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikat kepada
perbuatan yang mengambil syarat-syarat tertentu berupa pidana. “Hukum pidana
adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan”.
a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau yang
dilarang dengan, disertai ancaman-ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah direncanakan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan.14
Secara umum hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang
dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Arti hukum positif adalah hukum yang berlaku
pada suatu waktu tertentu dalam suatu masyarakat tertentu. Jadi hukum positif
adalah hukum pidana yang diberlakukan oleh suatu masyarakat pada saat ini.
C.S.T. Kansil.,Pokok-Pokok Hukum Pdana, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 3.
14
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum pidana
bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma hukum yang mengenai
kepentingan hukum. Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan
umum ialah:
1. Badan dan peraturan perundangan negara,seperti negara,
lembaga-lembaga negara, pejabat negara,pegawai negeri, undang-undang,
peraturan pemerintah, dan sebagainya
2. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu jiwa,raga/tubuh, kemerdekaan,
kehormatan, dan hak milik/ harta benda
Hukum pidana tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan
mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan
hukum, memang sebenarnya peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya,
dari tiap orang telah termasuk hukum perdata hal pembunuhan, pencurian, dan
sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata di urus oleh pengadilan
pidana.kita mengetahui pengadilan perdata baru bertindak kalau sudah ada
pengaduan dari pihak yang menjadi korban. Orang itu sendirilah yag harus
mengurus perkaranya ke dan di uka pengadilan perdata. Sedangkan dalam hukum
pidana yang bertindak dan dan yang mengurus ke perkara ke dan di muka
pengadilan pidana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat kekuasaan
negara seperti polisi,jaksa dan hakim.
Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan
unsur yang terpenting dalam hukum pidana.Kita telah mengetahui, bahwa sifat
dari hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; dan paksaan itu perlu untuk
menjaga tertibnya, diturutnya peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si
perusak untuk memperbaiki keadaan yang dirusaknya atau mengganti kerugian
yang disebabkannya. Pokoknya untuk menjaga dan memperbaiki keseimbangan
atau keadaan yang semula.Tapi dalam hukum pidana paksaan itu di sertai suatu
siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman itu bermacam-macam
jenisnya. Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana terdiri atas:15
15
a. Pidana (hukuman) pokok (utama):
1.) Pidana mati
2.) Pidana penjara :
a.) Pidana seumur hidup
b.) Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun
dan sekurang-kurangnya 1 tahun)
3.) Pidana kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya
1 tahun)
4.) Pidana denda
5.) Pidana tutup
b. Pidana ( hukuman ) tambahan :
2.) Pencabutan hak-hak tertentu
3.) Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu
4.) Pengumuman keputusan tertentu
Hukman-hukuman itu dipandang perlu agar kepentingan umum dapat
lebih terjamin keselamatannya.
2. Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana ialah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana dan
diancam dengan hukuman. Prof. Muljatno, SH16 memberikan rumusan perbuatan
pidana dalam arti suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Adapun perbuatan pidana (delik pidana) terdapat beberapa macam, yaitu:17
a) Delik formal, yaitu perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan benar-benar
melanggar ketentuan yang telah dirumuskan dalam undang-undang yang
bersangkutan. Contoh mencuri
b) Delik material, yaitu suatu perbuatan pidana yang dilarang, dalam artian
akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Contoh pembunuhan
c) Delik dolus, yaitu suatu perbuatan pidan yang dilakukan dengan sengaja.
Contoh pembunuhan berencana
16
Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, hal.130
17
d) Delik culpa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja atau
kelalaian, yang mengakibatkan matinya seseorang
e) Delik aduan, yaitu suatu perbuatan pidana yang merupakan pengaduan orang
lain. Contoh penghinaan
f) Delik politik, yaitu perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini delik politik lebih
cenderung menyangkut urusan masalah politik kenegaraan.
a. Jenis Pemidanaan
Jika berdasarkan ketentuan KUHP mengenai macam sangsi pidana
atau jenis pemidanaan terdapat dua macam hukum pidana sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 10 bagian buku I, yaitu: Pidana Pokok (Hoofd
Straffen) dan Pidana Tambahan (BijkomendeStraffen).
1. Pidana Pokok
Pidana pokok ialah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari
hukuman lain. Oleh karena itu pidana pokok dapat dijatuhkan kepada
pelanggar dengan tersendiri dan atau dapat dijatuhkan bersama dengan
pidana tambahan.Akan tetapi antara pidana pokok tidak dapat dijatuhkan
bersama, sebab sistem pidana KHUP menganut suatu asas bahwa “Tidak
ada penggabungan dari pidana pokok”.
Pidana pokok atau hukuman pokok terdiri dari empat macam, yaitu:
a) Hukuman Mati
b) Hukuman Penjara
c) Hukuman Kurungan
d) Hukuman Denda
Adapun sedikit penjelasan dari macam-macam pidana pokok
adalah sebagai berikut:
a) Hukuman mati
Sesuai dengan yang tercantum pada redaksi KHUP pasal 11 bahwa
pidana mati dilakukan oleh algojo ditempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang diikatkan di tiang gantungan pada leher
b) Huk uman penjara
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para
terhukum yang telah dijatuhkan oleh seorang hakim. Pidana penjara
dilakukan dengan mengucilkan terpidana dari pergaulan sosial pada
umumnya. Masa pidana penjara bisa berupa pidana seumur hidup dan
selama waktu tertentu atau hukuman terbatas(KUHP pasal 12).
Hukuman terbatas tersebut paling sedikit satu hari dan paling lama 15
tahun dan bisa menjadi 20 tahun sesuai dengan sebab-sebab yang
tercantum pada KUHP pasal 12 ayat 3.
c) Hukuman kurungan
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara.
Perbedaanya terletak pada sifat dan ancaman hukuman yang lebih
ringan. Dan juga terletak dalam peraturan mengenai cara
memperlakukan si terhukum/terpidana.
Seseorang yang mendapat hukuman kurungan mempunyai ciri sebagai
berikut :
a. Pekerjaan harus lebih ringan (pasal 19 KUHP)
b. Hukuman harus dilaksanakan pada tempat tinggal terpidana
(pasal 21 KUHP)
c. Terpidana dapat meringankan hukumannya dengan biaya
sendiri menurut tata tertib rumah penjara dan lain sebagainya.
Adapun lamanya kurungan tidak lebih dari satu tahun empat bulan
serta tidak kurang dari satu hari (pasal 18).
d) Hukuman denda
Hukuman kurungan telah tercantum dalam pasal 30-33 KUHP. Pidana
denda dapat dijadikan sebagai pengganti pidana kurungan dan
sebaliknya pidana kurungan dapat dijdikan pengganti pidana denda.
Tentang banyaknya pidana denda tidak ada maksimum melainkan
2. Pidana Tambahan
Pidana tambahan ialah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersama
dengan hukuman pokok. Jadi hukuman tambahan tidak bisa berdiri sendiri
artinya hukuman tambahan tidak bisa dijatuhkan terhadap pidana tanpa
adanya hukuman pokok. Hukuman tambahan terdiri dari 3 (tiga) macam,
yaitu:
a) Pencabutan beberapa hak tertentu
Yang dimaksud adalah pencabutan hak-hak tertentu oleh negara
kepada terpidana yang dianggap telah melakukan kejahatan terhadap
negara.Misal pencabutan hak untuk dipilih dan memilih, hak jadi PNS
dan sebagainya.
b) Perampasan barang-barang tertentu
Pidana dalam hal ini biasanya berupa perampasan barang-barang yang
berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan terpidana. Contoh
perampasan sabu bagi terpidana pengedar sabu dan lain sebagainya.
c) Pengumuman putusan hakim
Hukuman ini biasanya hakim menyuruh agar putusannya secara
khusus diumumkan lewat media masa seperti televisi, radio maupun
surat kabar.
3. Pidana Bersyarat
Selain pidana pokok dan tambahan ada juga pidana bersyarat.18Pidana
bersyarat atau yang disebut “voorwaardelijke veroordeling” ialah putusan
hakim yang mengandung suatu pidana yang dijatuhkan pada terpidana tapi
ekskusinya ditunda dengan digantungkan pada suatu syarat. Hal ini berarti
terpidana tidak akan menjalani hukuman jika tidak melanggar syarat yang
telah diberikan di waktu tertentu. Terpidana bersyarat harus mengindahkan
syarat-syarat yang ditentukan selama dalam masa percobaan.Masa
percobaan ini boleh melebihi 2 tahun.
18
Adapun pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hal: 1. Penjatuhan hal
pidana setinggi-tingginya 1 tahun, 2. Penjatuhan pidana kurungan, dan 3.
Penjatuhan pidana denda (kecuali pelanggaran terhadap pajak negara)
3. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah tindakan yang dinilai melanggar ketentuan KUHP.
Maksudnya ialah dimana bila ada seseorang melakukan tindakan melanggar
hukum maka orang tersebut dapat dikenai salah satu pasal dalam KUHP, yang
dimaksud pelanggaran adalah tindakan menurut hukum yang berlaku tidak boleh
dilakukannya misalnya melakukan tindakan penadahan. Dapat dimengerti apa
yang dimaksudkan dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda
strafbaar feit yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku Indonesia, ada istilah
dalam bahasa lain yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dilakukan
merupakan “subyek” tindak pidana.19
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
Belanda yaitu “strafbaarfeit”.Strafbaarfeit dari dua kata yakni strafbaar dan feit,
yang mana strafbaar diterjemahkan dengan dapat dihukum, sedangkan kata feit
diterjemahkan dengan kenyataan.20 Menurut Simons dalam merumuskan
strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.21
Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat
Moeljatno yang menyatakan :22
19
Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco, Bandung, 2000, hal. 55
20
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 5
21
Ibid., hal. 5
22
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan”
Menurut Pompe straafbaarfeit, secara teoritis dapat dirumuskan sebagai
suatu : “Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan
sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Hukum pidana dapat didefinisikan
sebagai berikut : aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (defenisi dari
Mezger).
Jadi yang dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 (dua) hal, yaitu :
1) Pidana adalah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan
“perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan
perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang
dapat dipidana” atau disingkat perbuatan jahat.
2) Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebeankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.23
Tindak pidana menurut Prof. Moeljatno, menganggap lebih tepat
dipergunakan istilah : perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum
pidana, perbuatan itu ialah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang
sesuatu yang dilakukan. Perbuatan ini menunjukkan baik pada akibatnya maupun
yang menimbulkan akibat. Jadi mempunyai makna yang abstrak.24
23
Sudarto, Hukum Pidana I, Penerbit Alumni, Bandung, 2009, hal. 9
24
4. Macam-Macam Tindak Pidana
a. Tindak Pidana Umum
Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria.
Pembagian ini berhubungan erat dengan berat ringannya ancaman, sifat, bentuk
dan perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan
ajaran-ajaran umum hukum pidana. Dengan membagi sedemikian itu sering juga
dihubungkan dengan akibat-akibat hukum yang penting.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan
KUHP) yang berlaku sekarang diadakan tiga macam pembagian title (bab), yaitu
buku I tentang peraturan umum, buku ke II tentang kejahatan, dan yang
ditempatkan dalam buku ke-III tentang pelanggaran.
Buku I yang dinamakan peraturan umum adalah : Percobaan.
Lingkungan berlakunya ketentuan pidana dalam Undang-Undang. Hukuman-hukuman.
Pengecualian, pengurangan, dan penambahan hukuman. Turut serta melakukan perbuatan yang dapat di hukum. Gabungan perbuatan yang dapat dihukum.
Memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan, yang hanya boleh dituntut atas pengaduan.
Gugurnya hak menuntut hukuman, dan gugurnya hukuman. Arti beberapa sebutan dalam kitab Undang-Undang.
Buku II yang dinamakan kejahatan adalah : Kejahatan terhadap keamanan Negara. Kejahatan terhadap ketertiban umum.
Kejahatan melanggar martabat kedudukan Presiden dan wakil Presiden. Kejahatan terhadap Negara yang bersahabat dan terhadap kepala dan wakil
Negara yang bersahabat. Perkelahian satu lawan satu.
Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum, manusia atau barang.
Kejahatan terhadap kekuasaan umum. Sumpah palsu dan keterangan palsu.
Memalsukan mata uang dan uang kertas Negara serta uang kertas bank. Memalsukan materai dan merek.
Memalsukan surat-surat,
Kejahatan terhadap kedudukan warga. Kejahatan kesopanan.
Penghinaan. Membuka rahasia.
Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang. Kejahatan terhadap jiwa orang.
Penganiayaan.
Mengakibatkan orang mati karena kesalahannya. Pencurian.
Pemerasan dan ancaman. Penggelapan.
Penipuan.
Menghancurkan dan merusak barang. Kejahatan pelayaran.
Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan. Pertolongan (jahat).
Kejahatan Penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana / penerbangan.
Buku III yang dinamakan Pelanggaran adalah :
Pelanggaran keamanan umum bagi orang lain dan kesehatan umum. Pelanggaran tentang ketertiban umum.
Pelanggaran tentang kekuasaan umum. Pelanggaran tentang kedudukan warga.
Pelanggaran tentang orang yang perlu ditolong. Pelanggaran tentang kesopanan.
Pelanggaran dilakukan dalam jabatan. Pelanggaran polisi daerah.
Pelanggaran dalam pelayaran.
b. Tindak Pidana Khusus
Tindak pidana khusus ini dikategorikan tindak pidana yang sifatnya tidak
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun ada aturan tersendiri
yang mengatur di dalam tindak pidana tersebut. Tindak pidana khusus ini meliputi
antara lain :
1. Terorisme.
2. Narkotika dan Psykotropika
3. Korupsi.
4. Perlindungan anak.
5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
6. Militer.
7. Money Laundry.
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur yang terkandung di dalam tindak pidana di Indonesia
menurut Simons antara lain sebagai berikut :
a. Perbuatan manusia.
b. Diancam dengan pidana.
c. Melawan hukum.
d. Dilakukan dengan kesalahan.
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
d. Asas-Asas Hukum Pidana
Asas-asas hukum pidana terdiri dari beberapa asas yaitu sebagai berikut :
Penafsiran peraturan-peraturan pidana itu hanya berdasarkan arti kata-kata, yang
terdapat di dalam aturan pidana itu saja. Tidak ada hukuman jika tidak ada
kesalahan. Hukuman pidana menjatuhkan sanksinya, yaitu hukuman jika di
langgar. Yang dapat di hukum hanya orang biasa saja, sedangkan badan hukum
tidak. Asas Teritorial Ioaliteit yaitu baik orang Indonesia, maupun orang asing
yang telah melakukan kejahatan di dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, diadili oleh hakim Indonesia, di dalam asas ini orang menitikberatkan
pada dimana tindak pidana itu telah dilakukan.
Asas Personaliteit aktif yaitu setiap orang Indonesia, baik ia ada di Indonesia,
ataupun di luar Indonesia, dikenakan hukum pidana Indonesia, di mana saja ia
melakukan kejahatan.
Asas Personaliteitpasif yaitu hukum pidana itu berlaku di mana saja dan terhadap
siapa saja, jika kepentingan-kepentingan nasional tertentu dilanggar atau dinodai.
Asas Universaliteit yaitu tiap-tiap Negara dengan hukum pidananya berkewajiban
untuk menjaga dan memelihara jangan sampai ketertiban di seluruh dunia itu
e. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Terdapat asas yang terkandung dalam Hukum Acara Pidana, asas-asas
tersebut terkandung di dalam Hukum Acara Pidana yaitu :
Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas Praduga Tidak Bersalah.
Asas Oportunitas (suatu asas yang berlaku di negeri ini sekalipun sebagai hukum
tak tertulis yang berlaku)25
Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum. Semua orang diberlakukan sama di depan Hakim. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya.
Asas Accusatoir (sistem pemeriksaan perkara seperti ini dimana kedudukan orang
yang menuduh dan orang yang dituduh dimuka pemeriksaan sama
tingginya) dan Inquisitoir (sistem penuntutan yang berat sebelah, dimana
kedudukan tertuduh dan yang menuduh tidak sama tingginya dan tidak
seimbang itu dalam ilmu pengetahuan)26
Tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum.27
Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.28
5. Pertanggungjawaban Pidana
Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana maka akan selalu
mengaitkannya dengan adanya kesalahan yang melanggar larangan pidana dan
kemampuan bertanggung jawab, tanggung jawab adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatu (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Tindak pidana hanya menunjuk
kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.
Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana
sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan
perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas
dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”.
Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak
tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
25
C.S.T Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 15
26
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1982, hal. 14-15
27
makalah-hukum-pidana.blogspot.com, diakses pada hari Kamis, 13 Februari 2013
28
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan, dsb)29. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai
pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya
dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana.
Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi
pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana30. Dengan demikian,
pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak
pidana.
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak. Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam
hukum pidana maka kita harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan itu:
“orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela kareananya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makan (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dialkukan. Penjelasan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.”
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada ketentuan
tentang arti kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai
kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai kemampuan
bertanggung jawab yaitu dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang
terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana.”
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 1006
30
Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga
dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan
pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi,
manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan
perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak di pidana. Asas yang tidak
tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada
dipidananya si pembuat.31 Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu
dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif
terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa.
Dengan demikian nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat
bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan
pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak
pidana.32 Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana
adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan
adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya,
sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas”tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan
pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia
dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia
mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat
(liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor
penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur
mental dalam tindak pidana.33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai
31
Prof.Mr.Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal 75
32
Ibid, hal .76
33
faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam
common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa
kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea
merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini
menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena
melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri
orang tersebut.
Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan
quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin
mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan
asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Bertitik tolak pada
asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan
yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada
pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah
apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah
persoalan lain.34
Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari
batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain,
walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi
kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu
tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.35
Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana
diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena
melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan
tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak
pidana dilakukan dengan kesalahan. Dipisahkannya tindak pidana dan
34
Chairul Huda, Ibid, hal. 5
35
pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur
tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam
pertanggungjawaban pidana.
Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik
hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama
dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori
pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama
dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan
pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari
teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan.
Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan
perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya,
sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian.
Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif
menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang
berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang
dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah
ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin dari terdakwa, tetapi
bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu,
apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.
Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid)
dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan36. Pompe
mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya
dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak
si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini
dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan
atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si
pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum
oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum.
36
Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat
dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe,
kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak
keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Simons
mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan
perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian
rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.37Jadi yang harus
diperhatikan adalah :
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Kedua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya
terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal
yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan
batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana
merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung
jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang
dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf,
sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan
serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.
Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya
dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu.
Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau
kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak
dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu
bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.
Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan
terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat
melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada
kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur
37
kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang
dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya
terdakwa maka haruslah :
a. Melakukan perbuatan pidana
b. Mampu bertanggung jawab
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan
d. Tidak adanya alasan pemaaf
Telah dikatakan di atas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa
dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah
yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ? Dalam hukum
positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa : “Apabila yang
melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan
karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada
jiwanya maka orang itu tidak dipidana. “
Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP,
maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan
apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab
dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang
disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak
mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat
seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.
Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu
bertanggung-jawab itu harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu : 38
a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.
b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur
dalam pergaulan masyarakat.
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
38
KUHP memberikan defenisi ketidakmampuan bertanggung jawab ditandai
oleh salah satu dari dua hal yaitu jika cacat atau jiwa yang terganggu karena
penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan keadaan batin
pembuat karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa. Sehingga padanya tidak
memenuhi persyaratan untuk diperiksa. Dengan kata lain seseorang dipandang
bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tertentu. Maka dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
pertanggung-jawaban yaitu kemampuan seseorang utnuk menerima resiko dari perbuatan yang
diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi
yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang
akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai
dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat
dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki
oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan
keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.
6. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak
Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak
memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi selaras, dan seimbang.
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum
dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur/keadaan
dibwah umur (minderjarig heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak
yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).
Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan
dewasa).39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia
menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian tersebut
hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah
seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di
dalam kandungan
Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara
pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu
ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan
dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah.
Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak
yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya
disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak
haram jaddah.
Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia
kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tampat, waktu dan
untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan
untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat
pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian
anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Menurut R.A Koesno, yang dimaksud dengan anak adalah manusia yang
masih muda dalam umur, muda jiwa dan pengalaman hidupnya karena lingkungan
sekitar. Shanty Dellyana berpendapat bahwa anak adalah mereka yang belum
39
dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental dan fisik yang
belum dewasa).40
Beberapa negara memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau
dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara
Inggris, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh)
tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau
mempunyai hak politik apabila telah berusia di atas 18 (delapan belas) tahun41
Di negara Inggris, definisi anak dari nol tahun sampai 18 (delapan belas)
tahun, dengan asumsi dalam interval usia tersebut terdapat perbedaan aktifitas
dan pola pikir anak-anak (childhood) dan dewasa (adulthood). Interval tertentu
terjadi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual termasuk kemampuan
(skill) dan kompetensi yang menuju pada kemantapan pada saat kedewasaan (adulthood).42 Perbedaan pengertian anak pada setiap Negara, dikarenakan adanya perbedaan pengaruh social perkembangan anak di setiap Negara.
Aktifitas sosial dan budaya serta ekonomi disebuah negara mempunyai pengaruh
yang besar terhadap tingkat kedewasaan seorang anak.43
Menurut Nicholas McBala dalam bukunya Juvenile Justice System
mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan.
Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan
kemampuan termasuk untuk membahayakan orang lain.44
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child,
anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan
hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.
Pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia
18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
40
Ibid, hal.50.
41
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refki Aditama, Bandung, 2009, hal. 34-35.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin. Menurut Pasal 1
butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
dimaksud dengan anak nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
(selanjutnya disingkat dengan Undang Undang Pengadilan Anak/UUPA).
Ketentuan pasal 1 angka 1, pasal 2 angka 2 dan 2b menyatakan secara jelas status
dan kedudukan anak yang menyebutkan bahwa :
Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur
delapan tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah
kawin.45
Pasal 1 angka 2a UU Pengadilan Anak
a. Anak yang melakukan tindak pidana atau
b. Anak melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Anak lebih diutamakan dalam pemahaman terhadap hak-hak anak yang
harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang)
dan di dalam hukum dipandang sebagai subyek hukum yang ditanamkan dari
bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang
normal. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek
hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang
45
(kejahatan dan pelanggaran pidana) untuk membuat kepribadian dan
tanggungjawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak
dan masa depan yang lebih baik. UU Pengadilan Anak.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Batas usia anak memberikan pengelompokkan terhadap
seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas
usia anak adalah pengelompokkan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak
dalam status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa
atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak
itu. Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan secara jelas
dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak
pada pasal 1 angka 1 yaitu :
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
tahun belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis
kehidupan agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak
semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial, sebab anak merupakan
suatu anugerah dari Tuhan yang berharga dan tidak dapat dinilai dengan nominal.
7. Pengertian Pembunuhan Berencana
Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338
KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Direncanakan
lebih dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antar timbul maksud untuk
membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk
dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu
Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau
pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pada pasal 338 itu dilakukan seketika
pada waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanaan itu
ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana
pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk
membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga
pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan,
atau pula merencana dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu.
Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi di dalam diri si pelaku
sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk
pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi
pelaku. Di dalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan
jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada
pembunuhan berencana terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka
waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya.
Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan
dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan
oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan
pelaksanaannya.46 Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya
mengandung 3 (tiga) unsur/syarat, yaitu :
a. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.
b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan
pelaksanaan kehendak.
c. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
F. Metode Penelitian
Pendapat Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat tentang penelitian
dengan mengatakan:
46
Penelitian hukum dimaksudkan sebagai kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau lebih gejala-gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan ataspermasalahan yang timbul dalam
segala hal yang bersangkutan.47
1. Spesifikasi Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini
termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji pertanggungjawaban
pidana tindak pidana sesuai pasal 340 KUHP di Pengadilan Negeri Medan dalam
perspektif hukum positif, menggambarkan secara rinci tindak pidana pembunuhan
berencana yang ada dan tinjauan dari perspektif hukum nasional.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah untuk
memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
lainnya, maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka
menyusun teori baru. Jadi deskriptif di sini mempunyai tujuan untuk melukiskan
atau memberikan gambaran tentang sesuatu.48 Menurut Mohammad Nazir
penelitian yang menggunakan format deskriptif bertujuan untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengani
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.49
Menurut Burhan Bungin, penelitian sosial yang menggunakan format
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi
obyek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau
gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu.50
47
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 1981, hal. 34
48
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 10
49
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Semarang, 1983, hal. 63
50
2. Metode Pendekatan
Permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian pokok dari
penegakan hukum. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif yaitu digunakan untuk mengkaji/menganalisis data
yang berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan primer dan bahan-bahan
sekunder.51
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka
metode pengumpulan data yang digunakan adalah berupa kata-kata, gambar, dan
bukan angka-angka.52 Sedangkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro metode
pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan data primer dan
sekunder, sehingga diperoleh data yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data
primer merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara secara langsung yang
dilakukan oleh peneliti terhadap informan. Data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dan
bahan hukum sekunder yaitu berupa dokumen atau risalah perundang-undangan,
hasil penelitian dan kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukum dan hasil
penelitian dan kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukum dan ensiklopedia.53
Oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan:
a. Studi Kepustakaan dan Dokumen
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder di bidang hukum
dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi54 :
1) Bahan Hukum Primer, yang meliputi:
a) Norma dasar Pancasila;
b) Peraturan dasar: batang tubuh UUD 1945
c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
d) Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana;
51
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Semarang, 1988, hal.11-12
52
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988, hal. 6
53
Ronny Hanitijo Soemitri, Ibid, hal. 11-12
54
e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
g) Undang-Undang Nomor 48 Tahun2009 tentang Kehakiman;
h) Peraturan Perundang-undangan;
i) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;
j) Yurisprudensi: putusan hakim yang memutus sanksi pidana
terhadap terdakwa tindak pidana sesuai Pasal 340 KUHP di
Pengadilan Negeri Medan;
k) Traktat.
2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi:
a) Rancangan peraturan perundang-undangan;
b) Hasil karya ilmiah para sarjana;
c) Hasil-hasil penelitian;
d) Literatur-literatur yang berkaitan dengan perkara pidana; dan
e) Jurnal serta artikel tentang perkara pidana.
3) Bahan Hukum Tersier
a) Kamus; dan
b) Ensiklopedia.
Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer,
yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat; bahan hukum sekunder, yaitu yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer; dan bahan hukum tertier
yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dari sekian banyak data sekunder di bidang hukum, yang digunakan
dalam penelitian ini adalah norma dasar Pancasila, Peraturan
Perundang-undangan yang terkait, Traktat, Rancangan Peraturan Perundang-Perundang-undangan, Hasil
karya ilmiah para sarjana, dan hasil-hasil penelitian. Disamping itu juga
digunakan dokumen-dokumen dan artikel media massa, serta data lapangan