• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tidak

dibarengi dengan perkembangan sumber daya manusia dan perkembangan

masyarakat seperti kebutuhan dalam bidang ekonomi. Hal ini mengakibatkan

anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang saling berbeda, sehingga

masing–masing pihak akan mempertahankan kepentingannya sendiri-sendiri

dengan sebaik mungkin bagi dirinya masing-masing. Berbagai kepentingan anggota

masyarakat kadang menimbulkan pertentangan dan penyimpangan yang akan

membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan dalam masyarakat bahkan

pada dirinya sendiri.

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak

asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh

undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib diberlakukan sebagai

manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap

manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk

hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa

untuk melakukan yang tidak disukai atau diperlakukan dengan tidak sesuai harkat,

martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya

Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dalam

kehidupan anak. Terutama rasa kasih sayang yang diberikan dari orang tua. Tetapi

dalam kenyataannya, banyak anak dibesarkan dalam kondisi yang penuh dengan

konflik sehingga seringkali menyebabkan perkembangan jiwa anak tersebut

(2)

seperti itu dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang

sering dikategorikan sebagai kenakalan anak.

Kenakalan anak dewasa ini terus meningkat dalam kehidupan

bermasyarakat. Bukan hanya meresahkan orang tua dari si anak pembuat kenakalan,

tetapi masyarakat di lingkungan sekitar anak tersebut juga menjadi terganggu

keamanan, kenyamanan dan ketertiban kehidupannya. Kenakalan anak pada

akhirnya bukan sekedar merugikan orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Tetapi

lebih jauh mengancam masa depan bangsa dan negara, dimana anak merupakan

generasi penerus masa depan bangsa dan negara Indonesi

Penyimpangan perilaku yang melanggar hukum yang dilakukan anak

disebabkan berbagai faktor. Antara lain dampak negatif dari perkembangan

pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi,

kemajuan IPTEK, serta perubahan gaya hidup telah membawa perubahan sosial

yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga akan sangat berpengaruh

pada nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh

bimbingan kasih sayang, pembinaan dalam pengembangan sikap dan perilaku,

penyesuaian diri serta pengawasan orang tua, wali atau orang tua asuh akan

menyebabkan anak mudah terseret dalam pergaulan yang kurang sehat. Sehingga

akan merugikan perkembangan pribadinya. Bahkan hal tersebut dapat membuka

peluang bagi anak untuk melakukan tindak pidana. Walaupun anak dapat

menentukan sendiri langkah dan perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan

kehendaknya, akan tetapi keadaan lingkungan disekitarnya dapat mempengaruhi

perilakunya, diantaranya adalah perilaku untuk berbuat jahat.

Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi

penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,

dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang

tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan

prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana

dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang

menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa

(3)

Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang

sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara

dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup

terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan

budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif

yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum

maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus

diberikan kepada mereka.

Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu tidaklah mengherankan

apabila orang mengatakan bahwa hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum

manakala ia tidak pernah dilaksanakan (lagi).1 Hukum dapat dilihat bentuknya

melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah

atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung tindakan-tindakan yang harus

dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan hukum itu2.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak yang melakukan

tindak pidana diistilahkan dengan anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam

perspektif Konvensi Hak Anak/KHA (Convention The Rights of The Children/

CRC), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam

situasi khusus (children in need of special protection/ CNSP). UNICEF menyebut

anak dalam kelompok ini sebagai children in specially difficult circumtances

(CDEC), karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas intitusi

negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, membutuhkan

perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi

karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak

dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat dimana biasanya anak

menjalani hidup.

Tindak pidana yang dilakukan anak merupakan masalah serius yang

dihadapi setiap Negara. Di Indonesia masalah tersebut banyak diangkat dalam       

1

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung : Sinar Baru), 1999, hal. 15

2

(4)

bentuk seminar dan diskusi yang diadakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan

lembaga terkait lainnya. Kecenderungan meningkatnya pelanggaran yang dilakukan

anak atau pelaku usia muda yang mengarah pada tindak kriminal, mendorong upaya

melakukan penanggulangan dan penanganannya, khusus dalam bidang hukum

pidana (anak) beserta acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus

terhadap pelaku tindak pidana usia muda.3

Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang

dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum

belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih

disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul

masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum.4

Kejahatan terhadap jiwa seseorang yang menimbulkan akibat matinya

seseorang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang. Praktek kejahatan terhadap jiwa meliputi jumlah yang besar setelah

kejahatan terhadap harta benda.5 Pembunuhan adalah suatu kejahatan yang tidak

manusiawi, karena pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan

kematian orang lain, yang dilakukan secara sadis. Pembunuhan berencana ialah

pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu,

misalnya, dengan berunding dengan orang lain atau setelah memikirkan

siasat-siasat yang akan dipakai untuk melaksanakan niat jahatnya itu dengan

sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum tindakan yang kejam itu dimulainya.

Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah

“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang

lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua

puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk

undang-undang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, yang rumusannya

dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu

      

3

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 2

4

Mulyana W. Kusumah (ed), Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.3

5

(5)

dipidana karena pembunuhan dengan rencana”. Dapat disimpulkan bahwa

merumuskan pasal 340 KUHP dengan cara demikian, pembentuk undang-undang

sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri.

Pembunuhan berencana merupakan suatu tindak pidana kejahatan berat.

Pembunuhan berencana muncul dikarenakan oleh faktor-faktor antara lain yaitu :

1) Unsur subjektif terdiri dari:

a. Dengan sengaja

b. Dengan terlebih dahulu

2) Unsur objektif terdiri dari:

a. Perbuatan : menghilangkan nyawa

b. Objeknya : nyawa orang lain.6

Apabila salah satu unsur diatas terpenuhi maka seseorang dapat ditetapkan

sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Setelah ada bukti-bukti dan

saksi yang kuat maka pelaku tindak pidana dapat dituntut dipengadilan. Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum. Hal ini berarti segala bentuk perilaku individu didasarkan kepada

hukum yang berlaku. Pelaku kejahatan ataupun korban kejahatan akan

mendapatkan tindakan hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Seseorang yang diduga melakukan pelanggaran hukum tidak dapat dikatakan

bersalah sebelum adanya keputusan hukum dari hakim yang bersifat tetap. Untuk

menjaga supremasi hukum saat ini sedang gencar-gencarnya diadakan reformasi

penegak hukum yang bersih dan berwibawa.

Kejahatan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah pelanggaran

terhadap hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan pelanggaran yang diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa dilihat sebagai hukum pidana

objektif, yaitu suatu tindak pidana yang digolongkan menurut ketentuan-ketentuan

hukum itu sendiri dan dapat juga dilihat sebagai hukum pidana subjektif yaitu

ketentuan-ketentuan di dalam hukum mengenai hak penguasa menerapkan hukum.7

Masalah kejahatan merupakan bagian dari perubahan sosial dan bukan hal yang       

6

Wawancara dengan Erwin Silalahi, SH, staf pidana umum Kejaksaan Negeri Medan

7

(6)

baru, pada prinsipnya meskipun tempat dan waktunya berlainan namun tetap dinilai

sama. Peningkatan kejahatan dari waktu ke waktu tidak dapat dihindari,

dikarenakan bentuk perusahaan sosial sebagai pendorongnya.

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak

asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh

undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Sehingga dengan kata lain seseorang berhak dan wajib

diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.

Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan

apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan

dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai ataupun diperlakukan

dengan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia

seutuhnya.

Menurut Gatot (2000), menyatakan bahwa penyimpangan tingkah laku atau

perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku disebabkan oleh berbagai

faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang

cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup orang tua, telah

membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang

sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku manusia. Selain itu kurang perhatian

dan kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan

sikap perilaku penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang

tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang lingkungannya

yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.8

Sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku harus didasarkan pada

kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Penjatuhan pidana atau tindakan

merupakan suatu tindakan yang harus mempertanggungjawabkan dan bermanfaat

bagi pelaku. Hakim wajib mempertimbangkan keadaan, keadaan rumah, keadaan

lingkungan dan laporan pembimbing kemasyarakatan.

      

8

(7)

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk

mencoba menguraikan masalah tindak pidana pembunuhan khususnya tindak

pidana pembunuhan berencana dalam skripsi dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan Pasal 340 KUHP” untuk dikaji sesuai Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn mengenai pertanggungjawaban pelaku

pembunuhan berencana.

B. Permasalahan

1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi timbulnya tindak

pidana pembunuhan oleh anak sesuai pasal 340 KUHP?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak yang

melakukan tindak pidana pembunuhan menurut pasal 340 KUHP pada

putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap pelaku tindak pidana sesuai pasal 340

KUHP pada kasus putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi

timbulnya tindak pidana pembunuhan oleh anak sesuai pasal 340 KUHP

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak yang

melakukan tindak pidana pembunuhan menurut pasal 340 KUHP pada

putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn.

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pelaku tindak pidana sesuai

pasal 340 KUHP pada kasus putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 /

PN.Mdn.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dan

(8)

1. Secara praktis

Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,

khususnya yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban tindak

pidana bagi terdakwa tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.

2. Secara Teoritis

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah ilmu

pengetahuan pada penegakan hukum positif yang lebih jelas pada

pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa tindak pidana

pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.

b. Bagi Instansi

Diharapkan dapat menggunakan Undang-Undang yang ada sesuai

dengan aturan yang berlaku terhadap pertanggungjawaban pidana

terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh

penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai

“Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana

Pembunuhan Sesuai Dengan Pasal 340 KUHP” belum pernah dilakukan

penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan

belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah

sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan

azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan maupun kritikan yang

(9)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pidana dan Tujuan Hukum Pidana

Masalah pendefenisian hukum pidana tidaklah semudah untuk

merumuskanya seperti yang disangka orang semula.Istilah hukum pidana

dapat diberikan definisi menurut sudut pandang seseorang darimana aspek

hukum itu diperhatikan. Berikut beberapa definisi oleh para ahli tentang

hukum pidana :

1) Wirjono Projodikoro, mengemukakan Hukum pidana adalah peraturan

hukum mengenai pidana.Kata “pidana” berarti hal yang dipidanakan

yaitu oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang

oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakanya dan juga hal yang

sehari-hari dilimpahkan.9

2) WLG. Lemaire, menyatakan bahwa Hukum pidana itu terdiri dari

norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan

yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa

hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan

demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan

suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tidakan yang

mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana

terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan

bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang

bagaimana yang dapat diajtuhka bagi tindakan-tidakan tersebut.10

3) WFC. Hattum, menyatakan Hukum pidana (positif) adalah suatu

keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh

Negara atau masyarakat hukum lainya, dimana mereka itu sebagai

pemelihara dari ketertiban hukum umumtelah melarang dilakukanya

tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar hukum dan telah

      

9

Erdianto Efendi., Hukum Pidana Indonesia-Suatu Pengantar, Bandung, 2011, hlm. 7.

10

(10)

mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu

penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.11

4) WPJ. Pompe, menyatakan Hukum pidana sama halnya dengan hukum

tata Negara, hukum perdata dan lain-lain dari hukum, biasanya diarikan

sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak

bersifat umum yang abstrak dari keadan-keadan yang bersifat konkret.12

5) Kansil, mengemukakan Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur

tentang pelanggaran- pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap

kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang

merupakan suatu penderitaan atau siksaan.13

Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikat kepada

perbuatan yang mengambil syarat-syarat tertentu berupa pidana. “Hukum pidana

adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang

mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan”.

a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau yang

dilarang dengan, disertai ancaman-ancaman atau sanksi yang berupa

pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah direncanakan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan.14

Secara umum hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang

dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Arti hukum positif adalah hukum yang berlaku

pada suatu waktu tertentu dalam suatu masyarakat tertentu. Jadi hukum positif

adalah hukum pidana yang diberlakukan oleh suatu masyarakat pada saat ini.

      

C.S.T. Kansil.,Pokok-Pokok Hukum Pdana, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 3.

14

(11)

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum pidana

bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma hukum yang mengenai

kepentingan hukum. Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan

umum ialah:

1. Badan dan peraturan perundangan negara,seperti negara,

lembaga-lembaga negara, pejabat negara,pegawai negeri, undang-undang,

peraturan pemerintah, dan sebagainya

2. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu jiwa,raga/tubuh, kemerdekaan,

kehormatan, dan hak milik/ harta benda

Hukum pidana tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan

mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan

hukum, memang sebenarnya peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya,

dari tiap orang telah termasuk hukum perdata hal pembunuhan, pencurian, dan

sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata di urus oleh pengadilan

pidana.kita mengetahui pengadilan perdata baru bertindak kalau sudah ada

pengaduan dari pihak yang menjadi korban. Orang itu sendirilah yag harus

mengurus perkaranya ke dan di uka pengadilan perdata. Sedangkan dalam hukum

pidana yang bertindak dan dan yang mengurus ke perkara ke dan di muka

pengadilan pidana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat kekuasaan

negara seperti polisi,jaksa dan hakim.

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan

unsur yang terpenting dalam hukum pidana.Kita telah mengetahui, bahwa sifat

dari hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; dan paksaan itu perlu untuk

menjaga tertibnya, diturutnya peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si

perusak untuk memperbaiki keadaan yang dirusaknya atau mengganti kerugian

yang disebabkannya. Pokoknya untuk menjaga dan memperbaiki keseimbangan

atau keadaan yang semula.Tapi dalam hukum pidana paksaan itu di sertai suatu

siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman itu bermacam-macam

jenisnya. Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana terdiri atas:15

      

15

(12)

a. Pidana (hukuman) pokok (utama):

1.) Pidana mati

2.) Pidana penjara :

a.) Pidana seumur hidup

b.) Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun

dan sekurang-kurangnya 1 tahun)

3.) Pidana kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya

1 tahun)

4.) Pidana denda

5.) Pidana tutup

b. Pidana ( hukuman ) tambahan :

2.) Pencabutan hak-hak tertentu

3.) Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu

4.) Pengumuman keputusan tertentu

Hukman-hukuman itu dipandang perlu agar kepentingan umum dapat

lebih terjamin keselamatannya.

2. Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana ialah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang

menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana dan

diancam dengan hukuman. Prof. Muljatno, SH16 memberikan rumusan perbuatan

pidana dalam arti suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Adapun perbuatan pidana (delik pidana) terdapat beberapa macam, yaitu:17

a) Delik formal, yaitu perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan benar-benar

melanggar ketentuan yang telah dirumuskan dalam undang-undang yang

bersangkutan. Contoh mencuri

b) Delik material, yaitu suatu perbuatan pidana yang dilarang, dalam artian

akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Contoh pembunuhan

c) Delik dolus, yaitu suatu perbuatan pidan yang dilakukan dengan sengaja.

Contoh pembunuhan berencana

      

16

Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, hal.130

17

(13)

d) Delik culpa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja atau

kelalaian, yang mengakibatkan matinya seseorang

e) Delik aduan, yaitu suatu perbuatan pidana yang merupakan pengaduan orang

lain. Contoh penghinaan

f) Delik politik, yaitu perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara

baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini delik politik lebih

cenderung menyangkut urusan masalah politik kenegaraan.

a. Jenis Pemidanaan

Jika berdasarkan ketentuan KUHP mengenai macam sangsi pidana

atau jenis pemidanaan terdapat dua macam hukum pidana sebagaimana

dijelaskan dalam pasal 10 bagian buku I, yaitu: Pidana Pokok (Hoofd

Straffen) dan Pidana Tambahan (BijkomendeStraffen).

1. Pidana Pokok

Pidana pokok ialah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari

hukuman lain. Oleh karena itu pidana pokok dapat dijatuhkan kepada

pelanggar dengan tersendiri dan atau dapat dijatuhkan bersama dengan

pidana tambahan.Akan tetapi antara pidana pokok tidak dapat dijatuhkan

bersama, sebab sistem pidana KHUP menganut suatu asas bahwa “Tidak

ada penggabungan dari pidana pokok”.

Pidana pokok atau hukuman pokok terdiri dari empat macam, yaitu:

a) Hukuman Mati

b) Hukuman Penjara

c) Hukuman Kurungan

d) Hukuman Denda

Adapun sedikit penjelasan dari macam-macam pidana pokok

adalah sebagai berikut:

a) Hukuman mati

Sesuai dengan yang tercantum pada redaksi KHUP pasal 11 bahwa

pidana mati dilakukan oleh algojo ditempat gantungan dengan

menjeratkan tali yang diikatkan di tiang gantungan pada leher

(14)

b) Huk uman penjara

Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para

terhukum yang telah dijatuhkan oleh seorang hakim. Pidana penjara

dilakukan dengan mengucilkan terpidana dari pergaulan sosial pada

umumnya. Masa pidana penjara bisa berupa pidana seumur hidup dan

selama waktu tertentu atau hukuman terbatas(KUHP pasal 12).

Hukuman terbatas tersebut paling sedikit satu hari dan paling lama 15

tahun dan bisa menjadi 20 tahun sesuai dengan sebab-sebab yang

tercantum pada KUHP pasal 12 ayat 3.

c) Hukuman kurungan

Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara.

Perbedaanya terletak pada sifat dan ancaman hukuman yang lebih

ringan. Dan juga terletak dalam peraturan mengenai cara

memperlakukan si terhukum/terpidana.

Seseorang yang mendapat hukuman kurungan mempunyai ciri sebagai

berikut :

a. Pekerjaan harus lebih ringan (pasal 19 KUHP)

b. Hukuman harus dilaksanakan pada tempat tinggal terpidana

(pasal 21 KUHP)

c. Terpidana dapat meringankan hukumannya dengan biaya

sendiri menurut tata tertib rumah penjara dan lain sebagainya.

Adapun lamanya kurungan tidak lebih dari satu tahun empat bulan

serta tidak kurang dari satu hari (pasal 18).

d) Hukuman denda

Hukuman kurungan telah tercantum dalam pasal 30-33 KUHP. Pidana

denda dapat dijadikan sebagai pengganti pidana kurungan dan

sebaliknya pidana kurungan dapat dijdikan pengganti pidana denda.

Tentang banyaknya pidana denda tidak ada maksimum melainkan

(15)

2. Pidana Tambahan

Pidana tambahan ialah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersama

dengan hukuman pokok. Jadi hukuman tambahan tidak bisa berdiri sendiri

artinya hukuman tambahan tidak bisa dijatuhkan terhadap pidana tanpa

adanya hukuman pokok. Hukuman tambahan terdiri dari 3 (tiga) macam,

yaitu:

a) Pencabutan beberapa hak tertentu

Yang dimaksud adalah pencabutan hak-hak tertentu oleh negara

kepada terpidana yang dianggap telah melakukan kejahatan terhadap

negara.Misal pencabutan hak untuk dipilih dan memilih, hak jadi PNS

dan sebagainya.

b) Perampasan barang-barang tertentu

Pidana dalam hal ini biasanya berupa perampasan barang-barang yang

berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan terpidana. Contoh

perampasan sabu bagi terpidana pengedar sabu dan lain sebagainya.

c) Pengumuman putusan hakim

Hukuman ini biasanya hakim menyuruh agar putusannya secara

khusus diumumkan lewat media masa seperti televisi, radio maupun

surat kabar.

3. Pidana Bersyarat

Selain pidana pokok dan tambahan ada juga pidana bersyarat.18Pidana

bersyarat atau yang disebut “voorwaardelijke veroordeling” ialah putusan

hakim yang mengandung suatu pidana yang dijatuhkan pada terpidana tapi

ekskusinya ditunda dengan digantungkan pada suatu syarat. Hal ini berarti

terpidana tidak akan menjalani hukuman jika tidak melanggar syarat yang

telah diberikan di waktu tertentu. Terpidana bersyarat harus mengindahkan

syarat-syarat yang ditentukan selama dalam masa percobaan.Masa

percobaan ini boleh melebihi 2 tahun.

      

18

(16)

Adapun pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hal: 1. Penjatuhan hal

pidana setinggi-tingginya 1 tahun, 2. Penjatuhan pidana kurungan, dan 3.

Penjatuhan pidana denda (kecuali pelanggaran terhadap pajak negara)

3. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah tindakan yang dinilai melanggar ketentuan KUHP.

Maksudnya ialah dimana bila ada seseorang melakukan tindakan melanggar

hukum maka orang tersebut dapat dikenai salah satu pasal dalam KUHP, yang

dimaksud pelanggaran adalah tindakan menurut hukum yang berlaku tidak boleh

dilakukannya misalnya melakukan tindakan penadahan. Dapat dimengerti apa

yang dimaksudkan dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda

strafbaar feit yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku Indonesia, ada istilah

dalam bahasa lain yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dilakukan

merupakan “subyek” tindak pidana.19

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

Belanda yaitu “strafbaarfeit”.Strafbaarfeit dari dua kata yakni strafbaar dan feit,

yang mana strafbaar diterjemahkan dengan dapat dihukum, sedangkan kata feit

diterjemahkan dengan kenyataan.20 Menurut Simons dalam merumuskan

strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang

dapat dihukum.21

Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat

Moeljatno yang menyatakan :22

      

19

Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco, Bandung, 2000, hal. 55

20

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 5

21

Ibid., hal. 5

22

(17)

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan”

Menurut Pompe straafbaarfeit, secara teoritis dapat dirumuskan sebagai

suatu : “Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan

sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana

penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Hukum pidana dapat didefinisikan

sebagai berikut : aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (defenisi dari

Mezger).

Jadi yang dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 (dua) hal, yaitu :

1) Pidana adalah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan

“perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan

perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya

pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang

dapat dipidana” atau disingkat perbuatan jahat.

2) Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebeankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.23

Tindak pidana menurut Prof. Moeljatno, menganggap lebih tepat

dipergunakan istilah : perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum

pidana, perbuatan itu ialah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang

sesuatu yang dilakukan. Perbuatan ini menunjukkan baik pada akibatnya maupun

yang menimbulkan akibat. Jadi mempunyai makna yang abstrak.24

      

23

Sudarto, Hukum Pidana I, Penerbit Alumni, Bandung, 2009, hal. 9

24

(18)

4. Macam-Macam Tindak Pidana

a. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria.

Pembagian ini berhubungan erat dengan berat ringannya ancaman, sifat, bentuk

dan perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan

ajaran-ajaran umum hukum pidana. Dengan membagi sedemikian itu sering juga

dihubungkan dengan akibat-akibat hukum yang penting.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan

KUHP) yang berlaku sekarang diadakan tiga macam pembagian title (bab), yaitu

buku I tentang peraturan umum, buku ke II tentang kejahatan, dan yang

ditempatkan dalam buku ke-III tentang pelanggaran.

Buku I yang dinamakan peraturan umum adalah : Percobaan.

Lingkungan berlakunya ketentuan pidana dalam Undang-Undang. Hukuman-hukuman.

Pengecualian, pengurangan, dan penambahan hukuman. Turut serta melakukan perbuatan yang dapat di hukum. Gabungan perbuatan yang dapat dihukum.

Memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan, yang hanya boleh dituntut atas pengaduan.

Gugurnya hak menuntut hukuman, dan gugurnya hukuman. Arti beberapa sebutan dalam kitab Undang-Undang.

Buku II yang dinamakan kejahatan adalah : Kejahatan terhadap keamanan Negara. Kejahatan terhadap ketertiban umum.

Kejahatan melanggar martabat kedudukan Presiden dan wakil Presiden. Kejahatan terhadap Negara yang bersahabat dan terhadap kepala dan wakil

Negara yang bersahabat. Perkelahian satu lawan satu.

Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum, manusia atau barang.

Kejahatan terhadap kekuasaan umum. Sumpah palsu dan keterangan palsu.

Memalsukan mata uang dan uang kertas Negara serta uang kertas bank. Memalsukan materai dan merek.

Memalsukan surat-surat,

Kejahatan terhadap kedudukan warga. Kejahatan kesopanan.

(19)

Penghinaan. Membuka rahasia.

Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang. Kejahatan terhadap jiwa orang.

Penganiayaan.

Mengakibatkan orang mati karena kesalahannya. Pencurian.

Pemerasan dan ancaman. Penggelapan.

Penipuan.

Menghancurkan dan merusak barang. Kejahatan pelayaran.

Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan. Pertolongan (jahat).

Kejahatan Penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana / penerbangan.

Buku III yang dinamakan Pelanggaran adalah :

Pelanggaran keamanan umum bagi orang lain dan kesehatan umum. Pelanggaran tentang ketertiban umum.

Pelanggaran tentang kekuasaan umum. Pelanggaran tentang kedudukan warga.

Pelanggaran tentang orang yang perlu ditolong. Pelanggaran tentang kesopanan.

Pelanggaran dilakukan dalam jabatan. Pelanggaran polisi daerah.

Pelanggaran dalam pelayaran.

b. Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana khusus ini dikategorikan tindak pidana yang sifatnya tidak

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun ada aturan tersendiri

yang mengatur di dalam tindak pidana tersebut. Tindak pidana khusus ini meliputi

antara lain :

1. Terorisme.

2. Narkotika dan Psykotropika

3. Korupsi.

4. Perlindungan anak.

5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

6. Militer.

7. Money Laundry.

(20)

c. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur yang terkandung di dalam tindak pidana di Indonesia

menurut Simons antara lain sebagai berikut :

a. Perbuatan manusia.

b. Diancam dengan pidana.

c. Melawan hukum.

d. Dilakukan dengan kesalahan.

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

d. Asas-Asas Hukum Pidana

Asas-asas hukum pidana terdiri dari beberapa asas yaitu sebagai berikut :

Penafsiran peraturan-peraturan pidana itu hanya berdasarkan arti kata-kata, yang

terdapat di dalam aturan pidana itu saja. Tidak ada hukuman jika tidak ada

kesalahan. Hukuman pidana menjatuhkan sanksinya, yaitu hukuman jika di

langgar. Yang dapat di hukum hanya orang biasa saja, sedangkan badan hukum

tidak. Asas Teritorial Ioaliteit yaitu baik orang Indonesia, maupun orang asing

yang telah melakukan kejahatan di dalam wilayah hukum Negara Republik

Indonesia, diadili oleh hakim Indonesia, di dalam asas ini orang menitikberatkan

pada dimana tindak pidana itu telah dilakukan.

Asas Personaliteit aktif yaitu setiap orang Indonesia, baik ia ada di Indonesia,

ataupun di luar Indonesia, dikenakan hukum pidana Indonesia, di mana saja ia

melakukan kejahatan.

Asas Personaliteitpasif yaitu hukum pidana itu berlaku di mana saja dan terhadap

siapa saja, jika kepentingan-kepentingan nasional tertentu dilanggar atau dinodai.

Asas Universaliteit yaitu tiap-tiap Negara dengan hukum pidananya berkewajiban

untuk menjaga dan memelihara jangan sampai ketertiban di seluruh dunia itu

(21)

e. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Terdapat asas yang terkandung dalam Hukum Acara Pidana, asas-asas

tersebut terkandung di dalam Hukum Acara Pidana yaitu :

Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas Praduga Tidak Bersalah.

Asas Oportunitas (suatu asas yang berlaku di negeri ini sekalipun sebagai hukum

tak tertulis yang berlaku)25

Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum. Semua orang diberlakukan sama di depan Hakim. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya.

Asas Accusatoir (sistem pemeriksaan perkara seperti ini dimana kedudukan orang

yang menuduh dan orang yang dituduh dimuka pemeriksaan sama

tingginya) dan Inquisitoir (sistem penuntutan yang berat sebelah, dimana

kedudukan tertuduh dan yang menuduh tidak sama tingginya dan tidak

seimbang itu dalam ilmu pengetahuan)26

Tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum.27

Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.28

5. Pertanggungjawaban Pidana

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana maka akan selalu

mengaitkannya dengan adanya kesalahan yang melanggar larangan pidana dan

kemampuan bertanggung jawab, tanggung jawab adalah keadaan wajib

menanggung segala sesuatu (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Tindak pidana hanya menunjuk

kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.

Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana

sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan

perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas

dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”.

Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak

tertulis yang juga berlaku di Indonesia.       

25

C.S.T Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 15

26

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1982, hal. 14-15

27

makalah-hukum-pidana.blogspot.com, diakses pada hari Kamis, 13 Februari 2013

28

(22)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah

keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang

pembunuhan, perampokan, dsb)29. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai

pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya

dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana.

Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi

pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana30. Dengan demikian,

pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak

pidana.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang

terjadi atau tidak. Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam

hukum pidana maka kita harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan itu:

“orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela kareananya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makan (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dialkukan. Penjelasan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.”

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada ketentuan

tentang arti kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai

kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai kemampuan

bertanggung jawab yaitu dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang

terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana.”

      

29

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 1006

30

(23)

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga

dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan

pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi,

manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan

perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak di pidana. Asas yang tidak

tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada

dipidananya si pembuat.31 Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu

dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif

terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa.

Dengan demikian nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat

bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan

pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak

pidana.32 Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana

adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan

adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya,

sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas”tidak dipidana

jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan

pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia

dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia

mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat

(liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor

penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur

mental dalam tindak pidana.33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai

      

31

Prof.Mr.Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal 75

32

Ibid, hal .76

33

(24)

faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam

common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa

kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea

merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini

menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena

melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri

orang tersebut.

Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan

quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin

mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan

asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Bertitik tolak pada

asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan

yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada

pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah

apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah

persoalan lain.34

Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari

batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain,

walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi

kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu

tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.35

Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana

diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena

melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan

tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak

pidana dilakukan dengan kesalahan. Dipisahkannya tindak pidana dan

      

34

Chairul Huda, Ibid, hal. 5

35

(25)

pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur

tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam

pertanggungjawaban pidana.

Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik

hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama

dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori

pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama

dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan

pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari

teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan.

Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan

perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya,

sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian.

Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif

menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang

berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang

dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah

ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin dari terdakwa, tetapi

bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu,

apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.

Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid)

dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan36. Pompe

mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya

dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak

si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini

dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan

atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si

pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum

oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum.       

36

(26)

Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat

dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe,

kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak

keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Simons

mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan

perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian

rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.37Jadi yang harus

diperhatikan adalah :

a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.

b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Kedua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya

terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal

yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan

batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana

merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung

jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang

dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf,

sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan

serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.

Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya

dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu.

Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau

kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak

dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu

bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.

Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan

terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat

melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada

kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur       

37

(27)

kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang

dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya

terdakwa maka haruslah :

a. Melakukan perbuatan pidana

b. Mampu bertanggung jawab

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan

d. Tidak adanya alasan pemaaf

Telah dikatakan di atas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa

dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah

yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ? Dalam hukum

positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa : “Apabila yang

melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan

karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada

jiwanya maka orang itu tidak dipidana. “

Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat

dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP,

maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan

apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab

dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang

disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak

mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat

seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.

Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu

bertanggung-jawab itu harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu : 38

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur

dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan

perbuatan.

      

38

(28)

KUHP memberikan defenisi ketidakmampuan bertanggung jawab ditandai

oleh salah satu dari dua hal yaitu jika cacat atau jiwa yang terganggu karena

penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan keadaan batin

pembuat karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa. Sehingga padanya tidak

memenuhi persyaratan untuk diperiksa. Dengan kata lain seseorang dipandang

bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tertentu. Maka dari

keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian

pertanggung-jawaban yaitu kemampuan seseorang utnuk menerima resiko dari perbuatan yang

diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan

adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi

yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan

antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang

akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai

dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat

dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki

oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan

keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

6. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan

strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak

memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi selaras, dan seimbang.

Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum

dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur/keadaan

dibwah umur (minderjarig heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak

yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).

Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan

(29)

dewasa).39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia

menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah

18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian tersebut

hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah

seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di

dalam kandungan

Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara

pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu

ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan

dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah.

Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak

yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya

disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak

haram jaddah.

Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia

kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tampat, waktu dan

untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan

untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat

pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian

anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

Menurut R.A Koesno, yang dimaksud dengan anak adalah manusia yang

masih muda dalam umur, muda jiwa dan pengalaman hidupnya karena lingkungan

sekitar. Shanty Dellyana berpendapat bahwa anak adalah mereka yang belum

      

39

(30)

dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental dan fisik yang

belum dewasa).40

Beberapa negara memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau

dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara

Inggris, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh)

tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau

mempunyai hak politik apabila telah berusia di atas 18 (delapan belas) tahun41

Di negara Inggris, definisi anak dari nol tahun sampai 18 (delapan belas)

tahun, dengan asumsi dalam interval usia tersebut terdapat perbedaan aktifitas

dan pola pikir anak-anak (childhood) dan dewasa (adulthood). Interval tertentu

terjadi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual termasuk kemampuan

(skill) dan kompetensi yang menuju pada kemantapan pada saat kedewasaan (adulthood).42 Perbedaan pengertian anak pada setiap Negara, dikarenakan adanya perbedaan pengaruh social perkembangan anak di setiap Negara.

Aktifitas sosial dan budaya serta ekonomi disebuah negara mempunyai pengaruh

yang besar terhadap tingkat kedewasaan seorang anak.43

Menurut Nicholas McBala dalam bukunya Juvenile Justice System

mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan.

Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan

kemampuan termasuk untuk membahayakan orang lain.44

Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child,

anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan

hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.

Pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia

18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

      

40

Ibid, hal.50.

41

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refki Aditama, Bandung, 2009, hal. 34-35.

(31)

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah

mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin. Menurut Pasal 1

butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang

dimaksud dengan anak nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik

menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang

hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

(selanjutnya disingkat dengan Undang Undang Pengadilan Anak/UUPA).

Ketentuan pasal 1 angka 1, pasal 2 angka 2 dan 2b menyatakan secara jelas status

dan kedudukan anak yang menyebutkan bahwa :

Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur

delapan tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah

kawin.45

Pasal 1 angka 2a UU Pengadilan Anak

a. Anak yang melakukan tindak pidana atau

b. Anak melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut

peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain hidup

dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Anak lebih diutamakan dalam pemahaman terhadap hak-hak anak yang

harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang)

dan di dalam hukum dipandang sebagai subyek hukum yang ditanamkan dari

bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang

normal. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek

hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang

      

45

(32)

(kejahatan dan pelanggaran pidana) untuk membuat kepribadian dan

tanggungjawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak

dan masa depan yang lebih baik. UU Pengadilan Anak.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang

masih dalam kandungan. Batas usia anak memberikan pengelompokkan terhadap

seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas

usia anak adalah pengelompokkan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak

dalam status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa

atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri

terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak

itu. Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan secara jelas

dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak

pada pasal 1 angka 1 yaitu :

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

tahun belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”.

Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam

bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis

kehidupan agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak

semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial, sebab anak merupakan

suatu anugerah dari Tuhan yang berharga dan tidak dapat dinilai dengan nominal.

7. Pengertian Pembunuhan Berencana

Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338

KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Direncanakan

lebih dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antar timbul maksud untuk

membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk

dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu

(33)

Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau

pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pada pasal 338 itu dilakukan seketika

pada waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanaan itu

ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana

pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk

membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga

pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan,

atau pula merencana dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu.

Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi di dalam diri si pelaku

sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk

pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi

pelaku. Di dalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan

jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada

pembunuhan berencana terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka

waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya.

Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan

dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan

oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan

pelaksanaannya.46 Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya

mengandung 3 (tiga) unsur/syarat, yaitu :

a. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.

b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan

pelaksanaan kehendak.

c. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.

F. Metode Penelitian

Pendapat Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat tentang penelitian

dengan mengatakan:

      

46

(34)

Penelitian hukum dimaksudkan sebagai kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau lebih gejala-gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan ataspermasalahan yang timbul dalam

segala hal yang bersangkutan.47

1. Spesifikasi Penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini

termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji pertanggungjawaban

pidana tindak pidana sesuai pasal 340 KUHP di Pengadilan Negeri Medan dalam

perspektif hukum positif, menggambarkan secara rinci tindak pidana pembunuhan

berencana yang ada dan tinjauan dari perspektif hukum nasional.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah untuk

memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala

lainnya, maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat

membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka

menyusun teori baru. Jadi deskriptif di sini mempunyai tujuan untuk melukiskan

atau memberikan gambaran tentang sesuatu.48 Menurut Mohammad Nazir

penelitian yang menggunakan format deskriptif bertujuan untuk membuat

deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengani

fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.49

Menurut Burhan Bungin, penelitian sosial yang menggunakan format

deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,

berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi

obyek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau

gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu.50

      

47

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 1981, hal. 34

48

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 10

49

Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Semarang, 1983, hal. 63

50

(35)

2. Metode Pendekatan

Permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian pokok dari

penegakan hukum. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif yaitu digunakan untuk mengkaji/menganalisis data

yang berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan primer dan bahan-bahan

sekunder.51

3. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka

metode pengumpulan data yang digunakan adalah berupa kata-kata, gambar, dan

bukan angka-angka.52 Sedangkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro metode

pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan data primer dan

sekunder, sehingga diperoleh data yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data

primer merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara secara langsung yang

dilakukan oleh peneliti terhadap informan. Data sekunder terdiri dari bahan

hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dan

bahan hukum sekunder yaitu berupa dokumen atau risalah perundang-undangan,

hasil penelitian dan kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukum dan hasil

penelitian dan kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukum dan ensiklopedia.53

Oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan:

a. Studi Kepustakaan dan Dokumen

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder di bidang hukum

dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi54 :

1) Bahan Hukum Primer, yang meliputi:

a) Norma dasar Pancasila;

b) Peraturan dasar: batang tubuh UUD 1945

c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

d) Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana;

      

51

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Semarang, 1988, hal.11-12

52

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988, hal. 6

53

Ronny Hanitijo Soemitri, Ibid, hal. 11-12

54

(36)

e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;

f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;

g) Undang-Undang Nomor 48 Tahun2009 tentang Kehakiman;

h) Peraturan Perundang-undangan;

i) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;

j) Yurisprudensi: putusan hakim yang memutus sanksi pidana

terhadap terdakwa tindak pidana sesuai Pasal 340 KUHP di

Pengadilan Negeri Medan;

k) Traktat.

2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi:

a) Rancangan peraturan perundang-undangan;

b) Hasil karya ilmiah para sarjana;

c) Hasil-hasil penelitian;

d) Literatur-literatur yang berkaitan dengan perkara pidana; dan

e) Jurnal serta artikel tentang perkara pidana.

3) Bahan Hukum Tersier

a) Kamus; dan

b) Ensiklopedia.

Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer,

yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat; bahan hukum sekunder, yaitu yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer; dan bahan hukum tertier

yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Dari sekian banyak data sekunder di bidang hukum, yang digunakan

dalam penelitian ini adalah norma dasar Pancasila, Peraturan

Perundang-undangan yang terkait, Traktat, Rancangan Peraturan Perundang-Perundang-undangan, Hasil

karya ilmiah para sarjana, dan hasil-hasil penelitian. Disamping itu juga

digunakan dokumen-dokumen dan artikel media massa, serta data lapangan

Referensi

Dokumen terkait

UJI VALIDITAS DAN REABILITAS INSTRUMEN TES FOREHAND SMASH DARI JAMES POOLE UNTUK CABANG

Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan diterapkan untuk menetukan waktu

[r]

Ada beberapa keunggulan penerapan kinerja balanced scorecard (BS) dibanding- kan dengan kinerja tradisional yang hanya fokus pada aspek keuangan saja, yaitu: (1) Pengukuran

setiap langkah besar dalam proses perencanaan dan penerapan rencana dan akan memasukkan bahan belajar dari pengalaman rencana, dan akan memasukkan bahan belajar dari pengalaman

Dengan sasaran seramai 3000 orang penerima sumbangan untuk BKR tahun 2018, Yayasan Ikhlas bersedia untuk menggerakkan para sukarelawan di lokasi-lokasi terpilih ini dalam

MEMENUHI Auditee melakukan pembelian bahan baku dari pengepul berupak kayu rakyat dengan disertai Kwitansi pembelian bahan baku, dokumen angkutan hasil hutan yang

a. Kegiatan yang disiapkan memberi kemungkinan bagi pengembangan bahan belajar yang sedang ditangani. Misalnya bahan yang hendak dikembangkan adalah konsep kegotongroyongan.