BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Teoritis
Menurut Felianna Yie Ke dalam Simposium Akuntansi Nasional X
(2007), “transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan berelasi (RPT)
memiliki dua hipotesis yang bertolak belakang yaitu sebagai transaksi
opportunis
atau sebagai transaksi efisien”. RPT dalam transaksi yang
opportunis menyebabkan
conflict of interest yang konsisten dengan
agency
theory dan sebagai transaksi efisiensi, RPT dilakukan untuk pertimbangan
efisiensi dalam memenuhi kebutuhan perusahaan.
Agency Theory (teori keagenan) menyatakan bahwa antara manajemen
dan pemilik mempunyai kepentingan yang berbeda. Perusahaan yang
memisahkan pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik
keagenan. Menurut Sunarto dalam Jurnal Teori Keagenan dan Manajemen
Laba (2009), “Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak
pada maksimalisasi manfaat pemilik dan insentif yang akan diterima oleh
2.1.1.Related Party Transaction (RPT) atau Transaksi Pihak Berelasi
Menurut PSAK No. 7, “Pihak-pihak yang dianggap mempunyai
hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk
mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak
lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional”.
Definisi yang RPT menurut International Financial Statement
Standar (IFRS) dalam IAS 24.9 , yaitu:
“A related party is a person or entity that is related to the entity that is preparing its financial statements (referred to as the ‘reporting entity’) A related party transaction is a transfer of resources, service, or obligations between related parties, regardless of whether a pr ice is changed”.
Yang berarti, “Pihak berelasi adalah orang atau entitas yang terkait
dengan entitas yang menyiapkan laporan keuangannya (disebut sebagai
'pelapor'). Jadi yang dimaksud dengan RPT adalah transfer sumber daya,
jasa, atau kewajiban antara pihak terkait, terlepas dari apakah harga
berubah”
2.1.1.1Pihak-pihak yang Mempunyai Related Party (Hubungan Berelasi)
Pihak-pihak yang memiliki related party (hubungan
berelasi) adalah sebagai berikut (PSAK No. 7):
3. Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut. Yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahan pelapor.
4. Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi, dan manajer dari perusahaan, serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut.
5. Perusahaan dengan kepentingan substansial dalam hak yang dimiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam (3) atau (4), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini mencakup perusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama dari perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.
2.1.1.2
Transaksi yang terjadi dalam RPT
Transaksi-transaksi
yang
karena
sifatnya
mungkin
memberikan indikasi adanya pihak yang memiliki hubungan
berelasi, seperti transaksi peminjaman yang tanpa beban bunga
atau dengan suku bunga di atas atau di bawah yang berlaku
umum, transaksi penjualan dengan harga yang berbeda yang
berlaku umum, transaksi pertukaran aset, dan transaksi
peminjaman
tanpa ketentuan mengenai jadwal dan cara
2.1.1.3Metode Penetapan Harga dalam RPT
Ada tiga metode penetapan harga dalam RPT, yaitu:
1. Metode Harga Sebanding
Metode ini menetapkan harga yang sama dengan pihak lain
yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
2. Metode Harga Penjualan
Metode harga penjualan menjelaskan penetapan harga dalam
RPT merupakan penetapan harga awal pada barang tersebut.
3. Metode Cost Plus
Metode cost plus menambahkan biaya (mark up) tertentu pada
pemasok.
2.1.1.4Dampak Positif dan Negatif dari RPT 1. Dampak positif
Dampak positif dari RPT dapat dilihat jika pemilik ataupun
manajemen melakukan RPT yang bersifat efisien, artinya
tindakan tersebut tidak merugikan pihak manajeman, pemilik
dan investor.
2. Dampak Negatif
Menurut Vera dkk dalam Jurnal Pengaruh Kepemilikan
Pengendali Akhir terhadap Transaksi Pihak Berelasi, “Di
Indonesia RPT menjadi salah satu cara untuk memperoleh
keuntungan pribadi baik manajemen maupun pemilik. RPT
interest hypothesis yang merupakan cerminan dari agency
theory (Gordon, 2005), seperti yang telah dijelaskan diawal.
2.1.2.Total Asset Turnover (TATO)
TATO adalah rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur
sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan
sumber dayanya yang berupa
asset. Semakin tinggi efisien penggunaan
asset
dan semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Abdul
Halim, 2007). TATO sendiri merupakan rasio antara penjualan dengan
total aktiva yang mengukur efisiensi penggunaan aktiva secara
keseluruhan. Apabila rasio rendah itu merupakan indikasi bahwa
perusahaan beroperasi pada volume yang memadai bagi kapsitas
investasinya. TATO disebut juga sebagai rasio pengelolaan aktiva
terakhir yang mengukur perputaran atau pemanfaatan dari semua aktiva
perusahaan. Apabila perusahaan tidak menghasilkan volume usaha yang
cukup untuk ukuran investasi sebesar total aktivanya, penjualan harus
ditingkatkan. Beberapa aktiva harus dijual, atau gabungan dari
langkah-langkah tersebut harus segera dilakukan.
Apabila dalam menganalisis rasio selama ini beberapa periode
menunjukkan suatu trend yang cenderung meningkat, memberikan
gambaran
bahwa
semakin
efisien
penggunaan
aktiva
sehingga
TATO secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : (Kasmir,
2008)
Total Asset Turnover
2.1.3.Manajemen Laba
2.1.3.1Pengertian Manajemen Laba
Menurut Darsono dan Ari (2008), laba ialah prestasi
seluruh karyawan dalam suatu perusahaan yang dinyatakan dalam
bentuk angka keuangan, yaitu selisih positif antara pendapatan
dikurangi beban (expense). Laba merupakan dasar ukuran kinerja
bagi kemampuan manajemen dalam mengoperasikan harta
perusahaan. Laba harus direncakan dengan baik agar manajemen
dapat mencapainya secara efektif.
Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen laba.
Baharuddin dan Satyanugraha (2004) mengutip dua definisi
manajemen laba yaitu:
1. Fisher dan Rosenzweig (1995)
Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk
menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah
perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabakan kenaikan
(penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.
Manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian
dalam laporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk
mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang
saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau besarnya
laba.
Sedangkan menurut Sugiri (2001) membagi definisi
manajemen laba menjadi dua, yaitu:
1. Definisi sempit
Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan
pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian
sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajemen untuk
“bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam
menentukan besarnya laba.
2. Definisi luas
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk
meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas
suatu unit di mana manajer bertanggung jawab, tanpa
mengakibatkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi
jangka panjang unit tersebut.
Maka manajemen laba adalah suatu tindakan yang sengaja
akuntansi yang dibutuhkan untuk memenuhi keinginannya
dalam merekayasa laba demi tujuan dan kepentingan
pribadinya.
2.1.3.2Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Manajemen Laba Menurut Watt dan Zimmerman dalam Creative Accounting
(2011) ada 6 motivasi yang mendorong individu atau perusahaan
melakukan manajemen laba, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Motivasi Bonus
Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan
memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau
evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional
perusahaan. Insentif ini diberikan dalam relatif tetap dan rutin.
Sementara bonus yang relatif besar nilainya hanya akan
diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian
bonus yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Pengukuran
kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi
para manajer untuk memberikan performa terbaiknya, sehingga
tidak menutup peluang mereka melakukan tindakan manajemen
laba agar dapat menampilkan kinerja (performance) yang baik
demi mendapatkan bonus yang maksimal.
2.
Motivasi HutangSelain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham,
melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam
hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan
dananya di perusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan
performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh
hasil maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku
kreatif dari manajer untuk menampilkan performa yang baik
dari laporan keuangan pun seringkali muncul.
3. Motivasi Pajak
Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan
menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih
rendah untuk bertindak kreatif melakukan tindakan manajemen
laba agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan memang lebih
rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntansi
perpajakan.
4. Motivasi Penjualan Saham
Motivasi ini banyak dilakukan oleh perusahaan yang akan go
public ataupun yang sudah go public. Proses penjualan saham
perusahaan ke publik akan direspon positif oleh pasar ketika
peruahaan penerbit saham (emiten) dapat menjual kinerja yang
baik. Salah satu ukuran kinerja yang baik adalah penyajian laba
pada laporan keuangan perusahaan. Kondisi ini sering kali
memotivasi manajer untuk berperilaku kreatif dengan berusaha
menampilkan kinerja keuangan yang lebih baik dari biasanya.
Praktek manajemen laba biasanya terjadi sekitar periode
pergantian direksi atau chief executive officer (CEO). Menjelang
berakhirnya masa jabata, direksi cenderung bertindak kreatif
dengan memaksimumkan laba agar performa kerjanya tetap
terlihat baik pada tahun terakhir menjabat. Motivasi utamanya
adalah memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa
jabatannya.
6. Motivasi Politis
Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang
usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti
perusahaan-perusahaan industri strategis perminyakan, gas,
listrik dan air.
Manajer cenderung melakukan manajemen laba untuk
menyajikan laba lebih rendah dari nilai yang sebenarnya,
terutama selama periode kemakmuran tinggi. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi visibilitas perusahaan sehingga tidak menarik
perhatian pemerintah, media, atau konsumen yang dapat
menyebabkan meningkatnya biaya politis perusahaan.
Rendahnya biaya politis akan menguntungkan manajemen.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong
terjadinya manajemen laba semuanya karena keadaan dan tujuan
tertentu yang ingin dicapai oleh manajer perusahaan. Manajer
memperoleh insentif atau bonus atas kinerjanya, ingin menjaga
nama baik perusahaan terhadap pihak kreditur agar tetap diberikan
pinjaman, dalam masa-masa-masa akan pensiunnya CEO agar
mendapat bonus, dan pada saat penawaran perdana saham agar
harga saham perusahaan tersebut naik. Dan manajer perusahaan
akan menurunkan laba misalnya untuk tujuan menurunkan pajak.
2.1.3.3Teknik Manajemen Laba
Ada tiga teknik dalam manajemen laba, antara lain:
1.
Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, yaitu manajemen mempengaruhi laba melalui estimasi piutangtak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap dan
amortisasi aktiva tidak berwujud, estimasi biaya garansi,dan
lain-lain. Teknik ini misalnya dilakukan dengan merekayasa
beban perusahaan seperti beban piutang tak tertagih, beban
garansi dan beban amortisasi. Apabila manajer ingin
menaikkan laba pada tahun tertentu, maka beban-beban
tersebut akan dikurangi jumlahnya pada tahun tersebut yang
berakibat beban terlalu rendah dan akhirnya akan
meningkatkan laba. Apabila manajer ingin menurunkan laba
pada tahun tertentu, maka beban-beban tersebut akan
ditingkatkan jumlahnya pada tahun tersebut yang berakibat
2.
Mengubah metode akuntansi, misalnya mengubah metodepenyusutan aktiva tetap. Teknik ini dilakukan dengan
mengubah metode penyusutan aktiva, misalnya dari metode
garis lurus menjadi metode saldo menurun atau menjadi
metode jumlah angka tahun atau sebaliknya. Hal ini juga
berkaitan dengan menaikkan atau menurunkan beban
penyusutan pada tahun tertentuyang diinginkan oleh manajer
sesuai dengan kehendaknya apakah ingin menaikkan atau
menurunkan laba.
3. Menggeser periode beban dan pendapatan, antara lain
menunda/mempercepat pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya,
menunda/mempercepat beban promosi sampai periode
akuntansi berikutnya, menunda/mempercepat pengiriman
produk ke pelanggan, dan lain-lain. Teknik ini mengakibatkan
beban atau pendapatan pada tahun tertentu dicatat tidak sesuai
dengan beban atau pendapatan yang sebenarnya terjadi di
tahun tersebut. Misalnya untuk menaikkan laba tahun tertentu
maka manajer menaikkan pula jumlah pendapatan pada tahun
tersebut dengan cara mengakui pendapatan pada tahun tersebut
yang seharusnya diterima tahun berikutny. Dapat pula
menaikkan laba dengan cara mengurangi beban yaitu menunda
yang seharusnya terjadi pada tahun ini tetapi baru akan dicatat
pada tahun berikutnya.
2.1.3.4Model – model Manajemen Laba
Menurut Dedhy dan Yeni (2011), model-model untuk
deteksi manajemen laba antara lain:
1. Jones Model (1991)
Model ini berfokus pada total akrual sebagai sumber informasi
manipulasi akuntansi atau manajemen laba. Secara spesifik,
model ini membagi total akrual menjadi akrual diskresioner
dan akrual nondiskresioner.
Jones Model (JM) mengasumsikan bahwa akrual
nondiskresioner bersifat tetap dari satu periode ke periode
lainnya sehingga akrual (perbedaan antara akrual tahun ini
dengan tahun lalu) yang terjadi disebabkan karena adanya
pertimbangan (diskresi) dari pihak manajemen, dalam hal ini
permainan kebijakan akuntansi.
2. Modified Jones Model (1995)
Modified Jones Model (MJM) dikembangkan oleh Dechow
dan kawan-kawan (1995). Model ini muncul untuk mengatasi
kelemahan yang ada dalam Jones Model (JM). Dechow
mengasumsikan bahwa perubahan yang terjadi dalam
penjualan kredit pada periode berjalan merupakan objek
menghilangkan variabel perubahan piutang dari variabel
perubahan pendapatan untuk mengestimasi akrual
nondiskresioner pada saat periode kejadian.
3. Klasznik Model (1999)
Kasznik Model (KM) telah mempertimbangkan
dimasukkannya operating cash flow (OCF) sebagai variabel
penjelas yang tidak dipertimbangkan dalam MJM. Lebih lanjut
dijelaskan dibawah ini:
Pada MJM, diasumsikan bahwa akrual non dikresioner
bersifat tetap sehingga total akrual berubah maka
perubahan akrual total merefleksikan perubahan yang
terjadi pada akrual diskresioner.
Pada MJM, Dechow dan kawan – kawan menunjukkan
perubahan dalam arus kas berhubungan negatif dengan total
akrual. Ini berarti ketika total akrual berubah, maka arus
kas bersifat tetap.
4. Performance – Matched Discretionary Accruals Model (2005)
Model ini dikembangkan oleh Kothari dan kawan – kawan,
yang memiliki ide dasar bahwa akrual yang terdapat dalam
perusahaan yang sedang memiliki kinerja yang “tidak biasa”
(unusual performance) secara sistematis diharapkan bukan nol
sehingga kinerja perusahaan pastinya berhubungan dengan
Ini berarti bahwa perusahaan yang memiliki kinerja yang tidak
biasa, seperti perusahaan yang sedang mengalami
pertumbuhan hubungan positif dengan akrual. Bahkan, jika
kinerja perusahaan sedang baik, bisa jadi akrual yang dimiliki
perusahaan cukup tinggi. Nilai akrual yang tinggi ini
disebabkan karena perusahaan sedang mengalami
pertumbuhan atau memang kinerjanya sedang dalam keadaan
baik, yang bisa saja ditunjukkan dengan jumlah piutang yang
tinggi, bukan karena manajemen laba.
2.2 Kerangka Konseptual
Kerangka berpikir merupakan penjelasan sementara gejala-gejala yang
menjadi objek permasalahan tentang hubungan antarvariabel yakni variabel
independen dan variabel dependen yang disusun dari berbagai teori yang telah
diuraikan (Sugiyono, 2007). Variabel independen dalam penelitian ini adalah
Transaksi Hubungan Istimewa dan Total Asset Turnover. Sedangkan variabel
dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Hubungan antara Related
Party Transaction dan Total Asset Turnover terhadap Manajemen Laba
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Pengungkapan dan pelaporan atas RPT yang diwajibkan oleh PSAK 7
yaitu meliputi mengenai besarnya asset, liabilities, sales dan expenses yang
dilakukan perusahaan atas dasar transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
TATO merupakan rasio antara jumlah aktiva yang digunakan dengan
jumlah yang diperoleh selama periode tertentu. Rasio ini menjadi ukuran
seberapa jauh aktiva yang digunakan dalam kegiatan atau menunjukkan berapa
kali aktiva berputar dalam periode tertentu. Semakin cepat tingkat perputaran
aktiva maka semakin meningkat penjualan yang nantinya akan mempengaruhi
laba.
2.3 Hubungan RPT dengan Manajemen Laba
Menurut PSAK No. 7, “Pihak-pihak yang dianggap mempunyai
hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk Related Party
Transaction (RPT)
Total Asset Turnover (TATO)
mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain
dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional”. Sedangkan manajemen
laba yaitu tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba
periode
berjalan
dari
sebuah
perusahaan
yang
dikelolanya
tanpa
menyebabakan
kenaikan
(penurunan)
keuntungan
ekonomi
perusahaan
jangka panjang.
Jian dan Wong (2003) menyatakan, “pihak yang memiliki RPT
menunjukkan kecenderungan opportunis. Dibuktikan dengan ditemukan
tingginya tingkat penjualan dengan RPT, terutama antara pemilik dan anggota
lain perusahaan dalam grup, ketika perusahaan memiliki insentif untuk
memanipulasi data”. Dengan kata lain, transaksi penjualan dengan RPT
digunakan untuk manajemen laba.
Dalam studi kasus Alexandra dan Adriana (2011), menemukan bahwa
transaksi dengan pihak yang diduga mempunyai hubungan istimewa tersebut
digunakan untuk memanipulasi laba, penjarahan perusahaan, dan melakukan
kecurangan. Selain itu Gordon dan Henry (2005) juga mengaitkan jenis transaksi
RPT dengan ukuran manajemen laba.
2.4 Hubungan TATO dengan Manajemen Laba
Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi penting bagi
menggunakan rasio aktivitas perusahaan, yaitu total asset turnover (TATO).
TATO merupakan rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur sampai
seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya
berupa asset (Abdul Halim, 2007).
Menurut Roychowdhury dalam Creative Accounting, TATO dapat
dihubungkan dengan manajemen laba karena salah satu cara dalam mendeteksi
manajemen laba yaitu mendeteksi produksi yang berlebihan (overproduction).
Agar laba naik, manajer memproduksi lebih banyak persediaan dari yang
sewajarnya untuk memenuhi permintaan. Dengan tingkat produksi yang lebih
tinggi, biaya overhead tetap per unit makin kecil sehingga biaya per unitnya akan
turun. Hal ini membuat biaya barang terjual lebih rendah sehingga perusahaan
mendapat keuntungan operasi yang lebih baik karena harga yang murah lebih
diminati konsumen dan membuat perputaran aset menjadi tinggi. Semakin tinggi
efisien penggunaan asset maka semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk
kas (Abdul Halim, 2007).
2.5 Hipotesis Penelitian
Menurut Erlina (2007), “Hipotesis menyatakan hubungan yang
digunakan secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan preposisi
yang dapat diuji secara empiris”. Hipotesis adalah dugaan atau jawaban
yang relevan dan kebenarannya akan diketahui setelah dilakukan penelitian.
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H0 : terdapat pengaruh RPT dan TATO secara simultan dan parsial terhadap