• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Status Sosial dalam Interfe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Representasi Status Sosial dalam Interfe"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI STATUS SOSIAL

DALAM INTERFERENSI BAHASA JAWA PADA WACANA KELAS

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Sosiolinguistik yang dibimbing oleh Prof. Anang Santoso, M. Pd dan Dr. Sunoto, M. Pd

Oleh

Kukuh Fadliyatis S. 130211810294

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PASCASARJANA

(2)

I. Pendahuluan

Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia yang bertujuan untuk menyampaikan pesan. Fungsi bahasa tidak hanya terbatas sebagai alat komunikasi saja. Bahasa mempunyai arti dan fungsi berbeda dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dengan bahasa, manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Bahasa yang digunakan seorang individu dalam masyarakat merepresentasikan bahasa masyarakat penuturnya.

Bahasa dijelaskan dan dipelajari tidak hanya melalui struktur dalam bahasa tersebut. Untuk mempelajari dan menjelaskan seluk beluk bahasa juga melibatkan aspek – aspek nonbahasa yaitu aspek sosial. Aspek sosial terdiri dari struktur sosial, status sosial, tatanan sosial, usia, dan gender. Aspek sosial merupakan bagian dari kelas sosial. Aspek sosial yang dimiliki penutur secara tidak langsung memengaruhi bahasa yang digunakan dalam berbagai fungsi. Pengaruh tersebut dapat berupa dialek atau logat yang diucapkan, kosa kata yang menunjukkan status sosial yang digunakan. Pengaruh yang lebih besar dapat berupa interferensi bahasa pertama yang digunakan.

Salah satu aspek sosial yang juga berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan yaitu status sosial dalam masyarakat. Status sosial yang dimiliki masyarakat beragam bergantung tempat dan fungsi di dalam masyarakat. Status sosial dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh seorang penutur (dalam hal ini siswa). Status sosial pembelajar selain sebagai pelajar (jika di sekolah), mereka berstatus sosial sebagai pekerja paruh waktu. Pekerjaan paruh waktu dilakukan pembelajar sepulang sekolah. Pekerjaan yang dilakukan siswa yaitu sebagai Pekerjaan yang sebagian besar dilakukan oleh para pembelajar yaitu kuli

bangunan, cleaning service, dan pelayan warung. Jika dilihat dari kelas sosialnya, kelas sosial pembelajar lebih dominan kelas menengah ke bawah. Hal tersebut yang mendorong pembelajar untuk bekerja guna membantu orang tua.

(3)

kerja dan lingkungan sosial masyarakat siswa tidak mendukung siswa menggunakan bahasa Indonesia. Kelas sosial pembelajar yang menengah ke bawah dan domisili di pinggiran kota juga menjadi sebab terjadinya interferensi dalam pembelajaran bahasa.

II. Pembahasan 2.1 Status Sosial

Status pembelajar siswa yang melekat di dalam dirinya berhubungan dengan kedudukan pembelajar tersebut di dalam masyarakat. Kedudukan siswa dapat dilihat dalam keluarga dan masyarakat. Untuk melihat hal tersebut, terlebih dahulu melihat kedudukan status sosial di dalam terminologi sosiolinguistik. Status sosial merupakan bagian dari kelas sosial. Kelas sosial berhubungan dengan sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan tertentu dalam bidang ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan kedudukan. Kajian ini difokuskan pada pekerjaan pembelajar yang memengaruhi pemakaian bahasa di dalam kelas. Pengaruh pekerjaan terhadap pemakaian bahasa yaitu munculnya variasi bahasa yang berbeda. Kajian ini menggunakan teori Berstein tentang kelas sosial dan teori Wardhaugh tentang variasi bahasa.

Bahasa yang digunakan dokter, pengacara, kuli bangungan, dan pelayan pastilah berbeda. Variasi bahasa yang digunakan dokter dan pengacara

dipengaruhi oleh bidang atau pengetahuan yang dikuasi seseorang. Misalnya, topik yang dibicarakan oleh seorang dokter berbeda dengan topik yang

dibicarakan oleh seorang kuli bangungan atau pelayan. Dalam hal ini mitra tutur juga harus memiliki pengetahuan tentang topik yang sedang dibicarakan. Hal terserbut dikarenakan status sosial dan kelas sosial yang berbeda. Pekerjaan dokter dan pengacara menduduki kelas sosial menegah ke atas, sedangkan kuli bangunan menduduki kelas sosial menengah ke bawah.

(4)

komunikasi yang terus berulang cenderung mengembangkan kosakata, intonasi, dan kepingan karakteristik sintaksis dan fonologi yang serupa yang mereka gunakan dalam situasi-situasi tersebut. Variasi jenis inilah yang disebut register. Ferguson menambahkan bahwa istilah-istilah khusus untuk objek-objek atau kejadian-kejadian tertentu yang berulang ini tampaknya membantu komunikasi agar semakin cepat.

Perbedaan status sosial pembelajar di dalam wacana kelas memengaruhi bahasa yang digunakan terutama pengunaan bahasa Jawa dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Bernstein menyatakan keberhasilan bermasyarakat para anggota kelompok sosial dan untuk memasuki hak-hak sosial mereka tergantung pada tingkat pengorganisasian pesan-pesan bahasa mereka. Peranan bahasa di sini sangat penting karena tanpa bahasa seseorang tidak mungkin dapat mengutarakan isi hati atau idenya. ragam bahasa yang digunakan berbeda antara kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial lainnnya. Dengan demikian ada variasi bahasa dalam suatu kelompok masyarakat, yaitu variasi bahasa berbentuk lengkap (elaborated code) yang biasa digunakan pada situasi formal dan variasi yang terbatas atau tidak lengkap (testricted) yang biasa digunakan pada situasi tak formal atau dalam kehidupan sehari - hari atau bahasa sehari-hari (dalam hal ini bahasa Jawa). Hal tersebut memengaruhi interferensi bahasa Jawa dalam wacana kelas.

2.2 Interferensi Bahasa Jawa

Penguasaan bahasa pertama (bahasa jawa) oleh pembelajar bahasa kedua menjadi hambatan dalam proses pembelajaran bahasa kedua (bahasa Indonesia) di dalam wacana kelas. Selain menjadi hambatan dalam pembelajaran, interferensi juga merepresentasikan status sosial pembelajar di dalam masyarakat.

Pembelajaran bahasa Indonesia tidak maksimal dikarenakan interferensi bahasa Jawa.

(5)

mengungkapkan gagasan bahasa Indonesia. Interferensi terjadi pada keterampilan berbicara. Jika dipersentasikan, interferensi pada pembelajaran keterampilan berbicara sebanyak 70% pembelajar menggunakan unsur bahasa Jawa dan sisanya menggunakan bahasa Indonesia. Jadi bahasa yang dominan dalam pembelajaran bahasa Indonesia bukan bahasa Indonesia tetapi bahasa Jawa.

Interferensi dalam bidang fonologi terjadi ketika mengucapkan bunyi /p/, /d/, /g/,dan /j/ dalam konteks pengucapan nama tempat. Pembelajar mengalami interferensi bahasa Jawa ketika mengucapkan bunyi – bunyi tersebut yang rentan disisipi kaidah dan kebiasaan pengucapan bunyi dalam bahasa Jawa. Misalnya ketika menuturkan Bantur menjadi mBantur, daerah Bawang menjadi daerah mBawang.

Interferensi yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dalam wacana kelas yaitu interferensi dalam bidang morfologi. Interferensi dalam bidang morfologi terjadi dalam pembetukan dan penyerapan afiks bahasa Jawa.

Misalnya, Tetanggaku ketabrak sepeda Shogun, bu kemarin. Dalam kalimat tersebut, kata ketabrak merupakan interferensi afiksasi bahasa Jawa. Afiksasi dalam bahasa Indonesia yang tepat yaitu tertabrak.

Interferensi juga terjadi dalam bentuk kalimat (sintaksis). Pembelajar bahasa Indonesia sering menggunakan kaidah bentuk kalimat bahasa Jawa dalam bentuk kalimat bahasa Indonesia. Interferensi pembentukan kalimat bahasa Indonesia oleh pembelajar dilakukan dengan menambahkan afiksasi –Nya untuk menunjukkan milik yang diikuti kata benda (nama orang) yang seharusnya dalam pembentukan kalimat bahasa Indonesia tidak perlu ada. Hal tersebut dikarenakan nama orang sudah menunjukkan milik. Misalnya, Bu, bapaknya sudah datang ta?. Kata Bapaknyamerujuk kepada guru Sejarah, ta bermaksud untuk

menegaskan kalimat bapaknya sudah datang. Hal tersebut tidak terdapat dalam bentuk kalimat bahasa Indonesia. Bentuk kalimat yang tepat dalam bahasa Indonesia yaitu Bu, bapak Agus sudah datang?. Interferensi tersebut terjadi disebabkan ada padanan konteks dari bahasa Jawa yaitu Bu, bapake sampun dugi?.

Contoh interferensi di dalam pembelajaran menanggapi wawancara.

(6)

Murid 1 : Itu bu, menurut saya seharuse orang utan itu dirawat oleh pihak berwajib kan orang utan masuk hewan yang tidak boleh

dipelihara bu.Lha itu kok malah dipelihara dan hidup bersama manusia bu.

Murid 2 : Kalau saya, mungkin orang utan itu ditaruh di kebun binatang bu. Kan terawat selain itu juga dapat mengurangi kepunahan orang utan.

Murid 3 : mending orang utan ditaruh di hutan, dibuatkan konservasi alam bu. Maksudnya hutannya itu khusus untuk orang utan saja biar orang utannya tidak banyak yang punah.

Murid 4 : Kalau saya se bu tidak apa-apa dipelihara kan yang memelihara juga seorang peneliti. Peneliti kan pintar bu, pasti juga mengerti

cara memelihara orang utan dengan baik. Selain itu juga, orang utannya kan diteliti. Peneliti pasti memberikan solusi atas permalahan orang utan. Misalnya, penyebab orang utan turun gunung untuk mencari makan. Kan itu bisa dicari tahu oleh peneliti bu.

Interferensi bahasa Jawa dalam pembelajaran bahasa Indonesia terjadi karena pembelajar jarang menggunakan bahasa Indonesia di luar sekolah. Hal itu disebabkan karena latar belakang pembelajar yang dominan dari keluarga kurang mampu dan berdomisili di daerah pinggiran kota. Latar belakang keluarga yang kurang mampu mendorong pembelajar bekerja paruh waktu untuk membantu kedua orang tuanya. Pekerjaan yang sebagian besar dilakukan oleh para pembelajar yaitu kuli bangunan, cleaning service, dan pelayan warung. Lingkungan kerja yang seperti itu kurang bisa mendukung pembelajar untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut yang menyebabkan interferensi terjadi di dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Interferensi merupakan penyimpangan norma berbahasa yang dilakukan oleh dwibahasawan atau orang yang menguasai bahasa lebih dari satu. Keakraban dwibahasawan atau bilingual terhadap satu bahasa menyebabkan adanya kontak bahasa. Kontak terjadi antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Ketika

(7)

masing – masing konteks maka pembelajar tersebut melakukan interferensi. Dalam kasus ini, interferensi terjadi dari bahasa Jawa ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Interferensi terjadi karena pembelajar tidak dapat membedakan sistem bahasa pertama dan bahasa kedua. Pembelajar mencampuradukan kedua sistem bahasa tersebut tanpa memperhatikan struktur dan sistemnya.

Penyimpangan yang dilakukan oleh dwibahasawan berupa penyimpangan dari norma bahasa Indonesia sebagai akibat kurang mengenal sistem dan kaidah bahasa tersebut. Penyimpangan sebagai akibat pengenalan pembelajar terhadap bahasa Indonesia masih kurang. Penyimpangan terjadi karena pada waktu melakukan identifikasi antarbahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia) itu menerapkan dua buah sistem yang berbeda secara serempak kepada suatu unsur bahasa.

Weinreich membatasi interferensi hanya terjadi di dalam tuturan saja. Hal tersebut dikarenakan tuturan tidak terkonsep di dalam pemikiran. Artinya sesuatu yang dituturkan oleh penutur rentan menggunakan interferensi bahasa pertama ke dalam bahasa kedua.Pembelajar tidak dapat mengantisipasi adanya interferensi. Hal tersebut berbeda dengan wacana tulis, pembelajar dapat mencegah dan mengantisipasi adanya interferensi karena pembelajar memiliki waktu yang banyak untuk berpikir tentang struktur dan sistem yang digunakan dalam bahasa kedua.

2.3 Representasi Status Sosial dalam Interferensi

Interferensi bahasa Jawa bukan hanya sabagai hambatan dalam

pembelajaran bahasa Indonesia tetapi juga merepresentasikan status sosial yang disandang pembelajar dalam masyarakat. Interferensi bahasa Jawa dalam wacana kelas dipengaruhi oleh faktor internal kebahasaan dan faktor eksternal

kebahasaan. Faktor internal kebahasaan meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis. Sedangkan faktor eksternal kebahasaan meliputi latar belakang

pembelajar dan status sosial dalam masyarakat. Dalam kajian ini ditemukan faktor eksternal kebahasaan memengaruhi adanya interferensi kebahasaan.

(8)

memengaruhi interferensi bahasa Jawa dalam wacana kelas. Hal tersebut dikarenakan pembelajar jarang menggunakan bahasa Indonesia di luar sekolah. Lingkungan kerja pembelajar kurang mendukung pembelajar menggunakan bahasa Indonesia. Kelas sosial pembelajar yaitu menengah ke bawah. Sebagian besar bekerja sebagai cleaning service, pelayan warung, pelayan toko, dan kuli bangunan. Tidak hanya lingkungan kerja yang memengaruhi interferensi bahasa Jawa dalam wacana kelas, lingkungan pembelajar tinggal juga menjadi faktor penyebab interferensi. Hal tersebut menyebabkan sistem bahasa Jawa yang terdapat dalam otak sering digunakan.

Interferensi terjadi karena sistem bahasa Jawa yang terdapat dalam otak lebih kuat daripada sistem bahasa Indonesia. Interferensi dalam wacana kelas terjadi hampir di semua bidang kajian bahasa yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Interferensi terjadi dalam wacana kelas terutama wacana lisan. Keterampilan berbicara membutuhkan pengetahuan yang luas untuk dijadikan topik pembicaraan. Keterampilan ini memerlukan pengetahuan tentang tata

bahasa, penguasaan kosa kata, penguasaan ragam bahasanya, pengetahuan tentang konteks situasi dan budaya.

Dalam wacana kelas, pengaruh penggunaan bahasa Jawa dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia cenderung mengacaukan struktur dan kaidah bahasa Indonesia. Interferensi tersebut menimbulkan bahasa tersendiri yang bukan termasuk dalam sistem bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa tersebut

dinamakan bahasa antara (interlanguage). Bahasa antara memiliki sistem sendiri yang dimunculkan pembelajar dan bersifat alami. Bahasa ini masih dapat

dimengerti artinya bahasa antara yang dimunculkan tidak keluar dari konteks pemahaman mitra tutur.

(9)

menghilangkan peran bahasa yang dipakai sehari – hari (bahasa Jawa). Keluarga dan masyarakat harus mendukung penggunaan bahasa Indonesia.

Selain itu, guru dapat menggunakan pendekatan komunikatif – interaktif di dalam pembelajaran. Pembelajar mempraktikkan pengetahuan tentang bahasa (tatabahasa, kosa kata, penggunaan bentuk yang tepat untuk fungsi tertentu) dan keterampilan untuk mengomunikasikan pesan. Dalam interaksi, pembelajar belajar bagaimana menegosiasikan makna, bagaimana memperkenalkan atau mengubah topik, bagaimana membuka dan menutup percakapan lawan bicara dengan konteks yang berbeda. Sekolah dan guru harus mendukung pembelajar untuk berbicara bahasa Indonesia ketika pembelajaran atau tidak dalam konteks pembelajar masih berada disekolah. Guru seharusnya tidak membawa status sosial pembelajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal tersebut dapat

menyebabkan interferensi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

III. Kesimpulan

Interferensi bahasa Jawa bukan hanya sebagai hambatan dalam

pembelajaran bahasa Indonesia tetapi juga merepresentasikan status sosial yang disandang pembelajar dalam masyarakat. Status sosial tersebut berupa pekerjaan yang dilakukan oleh pembelajar diluar sekolah. Pekerjaan yang sebagian besar dilakukan oleh para pembelajar yaitu kuli bangunan, cleaning service, dan pelayan warung. Lingkungan kerja yang seperti itu kurang bisa mendukung pembelajar untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut yang menyebabkan interferensi terjadi di dalam pembelajaran bahasa Indonesia

(10)

SUMBER BACAAN

Bhela, Baljit. 1990. Native Language Interference in Learnign a Second

Language: Exploratory Case Studies of Native Language Interference with Target Language Usage. International Education Journal, (Online) 1 (1) : 22-31 , (B Bhela - International Education Journal, 1999 -

openjournals.library.usyd.edu.au), diakses tanggal 10 Desember 2013 Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Galasso, Joseph. 2002. Interference in Second Language Acquisition : A Review ,

the Fundamentasl Difference Hypothesis. California State University Northridge

Ghazali, A.Syukur. 2013. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Dengan Pendekatan Komunikatif – Interaktif. Bandung : Refika Aditama Giglioli, Pier (Ed). 1972. Language in Context. Amerika Serikat : Pier Paolo

Giglioli

Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) Pengaruh secara simultan citarasa, desain kemasan, promosi melalui media elektronik dan event terhadap

Dengan adanya perpustakaan, maka masjid juga berfungsi sebagai pusat pendidikan karena lewat perpustakaan para jamaah masjid dan umat Islam umumnya mempelajari apa-apa

9 Apa yang Nalau alami ini adalah awal dari sikap penyerahan diri pada pengabdian yang rela dan setia dengan segenap hati, dalam semangat memberikan Persembahan dalam ibadah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fenomena yang terjadi, meliputi pola aliran dan distribusi temperatur pada permasalahan Konveksi alami, pada kotak 2D

Atas dasar itu karena desa Blimbingsari memiliki jumlah penduduk 1.075 orang yang mayoritas beragama Kristen dan sudah sesuai dengan pemahaman dari segi Tri Hita Kirana

Variabel Struktur Modal tidak berpengaruh secara signifikan, terhadap keputusan investasi pada perusahaan Consumer Good sub sektor perusahaan Makanan dan Minuman

Ban yak oran g di In don esia bertahan hidup dalam krisis karen a m ereka m asih bisa m em peroleh m akan an dari hasil tan ah m ereka sen diri, m en gam bil bahan m en tah

Kegiatan penjualan adalah kegiatan yang penting, karena dengan adanya kegiatan penjualan, maka akan terbentuk laba yang dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Tujuan