• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERGERAK DI DALAM MISTERI SEPERCIK INSPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BERGERAK DI DALAM MISTERI SEPERCIK INSPI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BERGERAK DI DALAM MISTERI: SEPERCIK INSPIRASI DARI PERIODE PATRISTIK

TENTANG SPIRITUALITAS KRISTEN

1

Hendri Mulyana Sendjaja2

Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga Kis. 17:28)

I. Pengantar

Menurut Penulis Kisah Para Rasul (selanjutnya disebut Lukas), ketika menunggu Silas dan Timotius di Atena, Paulus melihat patung-patung berhala (eidōla) yang mewarnai kota Yunani itu. Paulus menjadi resah dan segera mengajak orang-orang Yahudi dan orang-orang beriman di sinagoge, dan orang-orang lainnya di agora, termasuk beberapa pemikir dari golongan Epikuros dan Stoa, untuk berdiskusi tentang Allah. Paulus menyatakan kepada mereka bahwa Allah yang disembahnya dan diberitakannya adalah Allah yang berbeda sama sekali dari semua yang ada di bumi dan di langit. Inilah kesaksian Paulus tentang Allah:

Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing (Kis. 17:24-27).

Tampak dari tulisan Lukas ini Paulus memperkenalkan Allah yang tak terbatas kepada orang-orang Atena pada waktu itu. Dia adalah Pencipta dan Pemelihara semesta alam, termasuk bumi dan segala isinya. Umat manusia mendiami bumi supaya mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah

dan menemukan Dia . Pernyataan terakhir ini pada dasarnya mengungkapkan pandangan Paulus tentang Allah yang tak kelihatan, yang (seharusnya) dicari oleh manusia, yang pada kenyataannya tidak jauh dari manusia. Demikianlah Paulus memandang Allah sebagai yang transenden dan sekaligus yang imanen, yang jauh (karena berbeda sama sekali dari segala yang ada di bumi dan langit) dan sekaligus yang dekat (kepada seluruh ciptaan-Nya). Allah adalah Sang Misteri yang di dalam-Nya kita

hidup, kita bergerak, kita ada.

Tulisan ini memaparkan secara singkat kisah hidup dan pemikiran beberapa tokoh pengikut Kristus pada periode Patristik, antara lain: Ignatius dari Antiokhia, Felisitas, Vibia Perpetua, Makrina dari Kapadokia, dan Gregorius dari Nyssa, tentang bergerak di dalam Sang Misteri untuk

menunjukkan dua model spiritualitas Kristen pada periode Patristik, yaitu spiritualitas menjadi

seperti Kristus dan spiritualitas menjadi sahabat Allah . Tulisan ini diharapkan turut menggairahkan studi tentang spiritualitas Patristik, dan turut memberikan sepercik inspirasi tentang spiritualitas Kristen bagi gereja-gereja Indonesia pada masa kini.

II. Garis Besar Konteks Periode Patristik

Alister E. McGrath membatasi periode Patristik dari ±100, tahun paling akhir penulisan kitab Perjanjian Baru, sampai dengan 451, tahun penyelenggaraan Konsili Khalsedon, konsili yang berhasil

1 Disampaikan pada Program Studi Teologi Bersertifikat VIVEKA III STFT Jakarta, 05 September 2017.

(2)

menetapkan paham tentang keilahian penuh dan keinsanian penuh Yesus. Periode ini merupakan salah satu kurun waktu yang paling menarik dan kreatif dalam sejarah pemikiran Kristen (McGrath 2013, 17). Pada kurun waktu ini banyak tokoh pengikut Kristus, baik itu yang disebut sebagai Bapa-bapa Gereja maupun Ibu-ibu Gereja, menunjukkan keteladanan dan pemikiran, yang mengembangkan dan mematangkan kekristenan. Spiritualitas Kristen pada periode Patristik bukanlah sebuah kisah yang tunggal dan bukan juga sebuah perkembangan yang linear tentang gagasan-gagasan dan praktik-praktik para pengikut Kristus (Stewart 2005, 73).

Kekristenan dalam konteks dunia Yunani-Romawi pada periode awal Patristik sampai dengan dikeluarkannya Dekret Milano pada 3133 merupakan kelanjutan dari Gerakan Yesus dari Nazaret di Palestina dan sekitarnya, sebuah gerakan keagamaan di kalangan masyarakat Yahudi yang dipelopori

oleh Yesus dari Nazaret untuk membarui hidup keagamaan kaum sebangsanya (Theissen 2005, 1). Dalam pandangan orang-orang Romawi, seperti dikemukakan oleh para penulis Romawi, kekristenan merupakan sebuah gerakan politik yang berjuang untuk pemulihan Kerajaan Daud (Israel).

Penyebutan khristianoi kepada para pengikut Kristus oleh orang-orang Romawi, seperti tertulis dalam Kis. 11:26 – perhatikan akhiran anoi (jamak), anos (tunggal) – sebenarnya menunjukkan suatu tuduhan, atau paling tidak kecurigaan, dari orang-orang Romawi, terutama dari penguasa, kepada para pengikut Kristus yang dianggap hidup dan bergerak demi kekuasaan (politis) di dunia. Oleh karena itu, penguasa Romawi seringkali mengadakan aksi penganiayaan, entah secara sporadis, entah secara sistematis, terhadap pengikut-pengikut Kristus sehingga banyak pengikut Kristus mati martir. Dalih yang sering dikemukakan penguasa untuk melakukan aksi bengis itu adalah karena orang-orang Kristen telah menunjukkan perilaku atau aksi subversif terhadap pemerintah.

Tentu saja, pengikut-pengikut Kristus menolak dalih seperti itu. Mereka memang mengalami perubahan laku hidup karena percaya pada Injil Yesus Kristus, tetapi itu bukanlah perilaku atau aksi subversif terhadap pemerintah. Sejak menerima baptisan, mereka belajar mendalami pengajaran Injil Tuhan dan bergiat mengenangkan karya kasih Allah di dalam Kristus melalui perjamuan makan bersama. Mereka pun berjuang meneruskan Injil Kerajaan Tuhan dalam laku hidup sehari-hari. Tidak sedikit di antara mereka berusaha membela iman secara terbuka. Yustinus Martir (100-165) misalnya menegaskan,

Ketika engkau mendengar bahwa kami mencari kerajaan, engkau menganggap kami berbicara tentang kerajaan

manusia. Padahal yang kami maksudkan adalah kerajaan dari Tuhan. … Jika menginginkan kerajaan manusia, kami

akan menyangkal bahwa kami adalah umat Kristen sehingga kami tidak dihukum mati (1Apology 11).

Melalui proses yang mengalir dan dinamis, jemaat-jemaat Kristen yang multi-wajah pada gilirannya terbentuk (Theissen 2005, 2). Menurut George H. van Kooten, dalam proses pembentukan jemaat-jemaat Allah (ekklēsia tou theou) itu, sebenarnya terjadi persaingan paham (ajaran), ritual ibadah, dan kebajikan (virtue) hidup antara kekristenan dengan agama-agama lain atau filsafat-filsafat Yunani dan Romawi yang tumbuh subur dalam konteks dunia Yunani-Romawi abad-abad pertama (van Kooten 2010, 3-37). Sebagai sebuah gerakan religio-filosofis, kekristenan sendiri menawarkan laku hidup spiritual yang utuh, yakni melalui paham (ajaran) yang logis, ritual ibadah yang sambung dengan perilaku hidup sehari-hari, dan kebajikan hidup yang penuh kasih. Ini berbeda dari agama-agama Romawi (paganisme) yang rupanya kuat dalam ritual ibadah, tetapi tidak sambung dengan perilaku hidup sehari-hari. Itu sebabnya, tak dapat dipungkiri, kekristenan mendapat sambutan yang semakin meningkat jumlahnya dari orang-orang Romawi dan orang-orang Yunani, selain juga dari orang-orang Yahudi sendiri. Jemaat-jemaat Kristen pun terbentuk dan tersebar luas di kawasan Asia Barat (Armenia, Turki, Suriah, Israel), kawasan Asia Kecil (Yunani dan sekitarnya), kawasan Laut Tengah bagian Barat (Roma dan sekitarnya), kawasan Afrika (Mesir, Etiopia, dan sekitarnya), dan kawasan Asia Selatan (India dan sekitarnya). Diduga, para akhir abad ketiga, gereja yang terorganisasi sudah terbentuk dalam dunia Yunani-Romawi.

(3)

III. Spiritualitas Menjadi Seperti Yesus

Pada abad pertama Patristik kebanyakan pengikut Kristus menunjukkan laku hidup spiritual secara mengalir berangkat dari iman (pistis) kepada Tuhan Yesus Kristus. Di sini iman kepada Tuhan Yesus lebih baik dipahami sebagai: (1) sikap mengamini (assensus) Injil Tuhan Yesus, (2) sikap mempercayakan diri (fiducia) kepada Tuhan Yesus, (3) sikap taat dan setia (fidelitas) kepada Tuhan Yesus, dan (4) sebagai cara melihat (visio) seperti Tuhan Yesus (Borg 2003, 28-37). Ekspresi iman yang utuh ditunjukkan secara mencolok oleh para pengikut Kristus yang berani menanggung risiko kemuridan (the risk of discipleship), yaitu mereka yang menempuh jalan kemartiran demi Injil Kristus. Ekpresi iman yang bermuara pada laku hidup spiritual yang tampak radikal itu pada gilirannya

menunjukkan model spiritualitas menjadi seperti Yesus . Di bawah ini adalah tiga tokoh pengikut Kristus yang menunjukkan model tersebut.

31. Ignatius dari Antiokhia

Tidak ada rincian jelas tentang asal-usul Ignatius, selain tentang jabatannya sebagai uskup yang ketiga4 di Antiokhia, Suriah, dari 70 sampai dengan 107, tahun wafatnya sebagai martir. Memang tradisi Gereja Timur menyebut Ignatius dengan nama Theoforus dan mempercayai bahwa Ignatius adalah salah seorang anak kecil yang dipeluk dan diberkati oleh Yesus dalam Injil Markus 10:13-16. Namun, hal ini tidak memiliki bukti yang kuat. Pembaca masa kini mengetahui secara jelas kisah keteladanan dan pemikiran Ignatius dari surat-surat yang ditinggalkannya dan dari tulisan Eusebius dari Kaesarea (±260-339), seorang Bapa Gereja penulis sejarah. Salah satu cuplikan kisah Ignatius yang dituliskan Eusebius adalah sebagai berikut:

Menurut laporan, Ignatius dikirim dari Suriah ke Roma untuk menjadi mangsa binatang buas karena kesaksian yang telah diberikannya tentang Kristus. Dan dalam perjalanan melalui Asia, di bawah penjagaan ketat tentara, dalam kota-kota di mana mereka singgah, ia sempat meneguhkan umat dengan memberi homili-homili dan nasihat-nasihat. Di atas semuanya mereka semua diperingatkannya supaya hati-hati secara khusus terhadap bidaah-bidaah yang pada waktu itu mulai berkembang. Mereka dianjurkan supaya tetap berpegang pada tradisi para Rasul (Church History 3:36, sebagaimana dituliskan oleh Benedictus XVI 2010, 20).

Dari kutipan Eusebius di atas pembaca masa kini mungkin bertanya: mengapa Ignatius yang ditangkap di Antiokhia Suriah mesti dibawa ke Roma? Mengapa tidak dihukum di Antiokhia? Dari pertanyaan seperti ini, beberapa orang pun memandang, seperti Robert Joly lakukan, bahwa kisah perjalanan kemartiran Ignatius merupakan fiksi belaka (sebagaimana dinyatakan Brent 2007, 15, 109). Allen Brent mengungkapkan bahwa perjalanan seperti yang Ignatius tempuh itu bukanlah hal yang mustahil oleh karena peristiwa semacam itu pernah terjadi pada tahun 57 SZB berdasarkan laporan Cicero, yaitu bahwa seseorang yang harus dihukum Roma ketika ia melakukan kejahatan terhadap negara (Brent 2007, 15). Jadi, kemungkinan besar Ignatius ditangkap dan dibawa ke Roma karena tuduhan telah melakukan kejahatan terhadap negara.

Dari surat-surat yang ditinggalkan Ignatius, pembaca tidak mendapatkan paparan tentang alasan penangkapan Ignatius oleh para tentara Romawi. Justru pembaca akan menjumpai dalam kebanyakan suratnya uraian Ignatius tentang kerinduan untuk mewujudkan satu persekutuan yang akrab dalam kehidupan para pengikut Kristus. Apakah semangat persekutuan sebagai pengikut Kristus ini yang menjadi alasan penangkapan Ignatius karena semangat persekutuan ini dipandang subversif terhadap Romawi? Perhatikan kata-kata Ignatius dalam suratnya kepada Jemaat di Filadelfia berikut ini:

Aku melakukan segala sesuatu yang aku mampu, sebagai orang yang sangat mencintai persatuan. Di mana ada skisma dan perasaan yang buruk, maka Allah tidak ada di sana. … Aku mendorong engkau semua, janganlah melakukan sesuatu apapun di dalam kelompok-kelompok, tetapi bertindaklah sebagaimana layaknya murid-murid Kristus. (Surat kepada Jemaat di Filadelfia 8.1-2).

Semangat persekutuan dari Ignatius dapat dipahami jika pembaca menyadari bahwa konteks zaman yang dihadapi Ignatius pada waktu itu diwarnai oleh tumbuh suburnya paham gnostik, secara

(4)

khusus paham doketik yang menegaskan bahwa apa yang kelihatan itu (materi) pada hakikatnya maya atau semu (dokein), yang pelan-pelan menggerogoti persekutuan umat Kristen (yang kelihatan). Untuk meneguhkan dan memelihara satu persekutuan para pengikut Kristus (yang kelihatan), Ignatius merasa terpanggil untuk menegaskan pengajaran tentang kesatuan dengan Gereja dan tentang kesatuan dengan Allah.

Tentang kesatuan dengan Allah, Ignatius memilih untuk menjadi seperti Yesus. Tulis Ignatius,

Semangatku adalah suatu persembahan yang sederhana bagi salib, yaitu yang merupakan batu

sandungan bagi orang-orang yang tidak beriman, tetapi adalah keselamatan dan hidup yang kekal bagi kita (Surat Ignatius kepada Jemaat di Efesus 8: . Bagi )gnatius, menjadi seperti Yesus berarti siap menjalani jalan penderitaan sebagai risiko kemuridan. Ignatius mengungkapkan kesiapan itu di sepanjang perjalanannya menuju Roma. Berikut kata-katanya:

Dari Suriah, di sepanjang jalan menuju Roma aku bertempur melawan binatang-binatang buas, di darat dan di laut, siang dan malam, dirantai di tengah-tengah sepuluh ekor macan tutul (yaitu satu regu serdadu) yang hanya menjadi lebih buruk ketika mereka diperlakukan dengan baik. Akan tetapi oleh karena perlakuan buruk mereka, aku lebih

menjadi seorang murid; meski demikian bukan karena itulah aku dibenarkan. Kiranya aku memiliki sukacita dari binatang-binatang buas yang telah disiapkan bagiku; dan aku berdoa agar mereka cepat terhadapku. Aku bahkan

akan membujuk mereka untuk menelan aku dengan segera …. Sekarang setidaknya aku mulai menjadi seorang

murid. Kiranya tidak ada yang nampak maupun tak nampak menjadi iri padaku, agar aku boleh meraih Yesus Kristus. Api, salib, dan pertarungan-pertarungan dengan hewan buas, mutilasi, penelanjangan, pelintiran terhadap tulang, pemotongan angggota badan, peremukan terhadap seluruh tubuhku, siksaan-siksaan si Iblis, biarlah semua itu datang padaku, hanya saja biarlah aku mencapai Yesus Kristus! (Surat Ignatius kepada Jemaat di Roma 5)

Walaupun menunjukkan kesiapan untuk martir di Roma, Ignatius pada kenyataannya juga menunjukkan diri sebagai seorang pengikut Kristus yang rendah hati. Semangat persekutuan, kesiapan menerima risiko kemuridan, dan kerendahan hati menjadi ciri mencolok spiritualitas Ignatius. Ignatius menuliskan:

Aku terlalu banyak berpikir untuk segera menyatu dengan Allah, tetapi aku harus bisa mengukur diriku sendiri, jika tidak aku pasti hancur oleh kesombongan bualan-bualanku. Sebab saat sekarang ini aku sebaiknya berhati-hati dan tidak memandang mereka yang hanya memujiku, sebab dengan pujian-pujian semacam itu terbukti membuatku lebih tersiksa. Sebab sementara aku dengan keras berkeinginan untuk menderita, aku tidak pernah mengetahui

apakah aku sudah cukup berharga untuk itu … Karena itu aku membutuhkan kerendahan hati, yang oleh hal itu

penguasa zaman ini telah dihancurkan (Surat Ignatius kepada Jemaat di Tralia, 4).

3.2. Felisitas dan Vibia Perpetua

Dua tokoh perempuan pengikut Kristus ini sering dikisahkan secara bersama-sama. Tidak banyak informasi berkatian dengan Felisitas dan Vibia Perpetua. Felisitas adalah seorang budak atau pelayan-rumah-tangga (oiketēs) di sebuah keluarga kaya di Kartago, Afrika Utara, yang bersama dengan seorang Vibia Perpetua (lahir pada ±182), seorang ibu muda berusia 22 tahun dari keluarga bangsawan, ditangkap dan dipenjara oleh tentara Romawi pada masa kekaisaran Septimius Severus pada 203. Kedua perempuan ini dieksekusi mati karena mereka menunjukkan laku hidup menjadi seperti Kristus: taat dan setia kepada Allah sampai akhir hayat.

Ketika ditangkap, Felisitas sedang hamil 8 bulan, sementara Perpetua sedang menyusui bayinya. Dalam penantian hari eksekusi mati, Perpetua mendapat karunia penglihatan profetis yang menguatkan iman dan pengharapan mereka yang menjalani penderitaan di penjara. Perpetua menuliskan pengalaman-pengalaman di penjara itu dalam catatan harian yang kemudian beredar setelah kematiannya. Salah satu kisah yang beredar adalah tentang kekhawatiran Felisitas yang tidak diizinkan mati bersama dengan para pengikut Kristus lainnya karena sedang hamil. Untuk itu, Felisitas berdoa kepada Allah. Dua hari sebelum hari eksekusi, doanya terpenuhi. Felisitas melahirkan anaknya secara prematur dan selanjutnya ia siap memasuki arena binatang buas. Pada hari ulang tahun putra kaisar, yaitu 07 Maret 203, bersama dengan Perpetua dan para pengikut Kristus lainnya, Felisitas dipertarungkan dengan binatang buas. Felisitas dan Perpetua mati bukan karena binatang-binatang buas itu, melainkan karena dipenggal kepala (Irvin-Sunquist 2004, 132-133).

(5)

Romawi, tidak diragukan, di antara para budak ada yang menjadi pengikut Kristus. Menarik, Larry Hurtado menunjuk pada beberapa tulisan dalam Perjanjian Baru, yaitu 1Kor. 7:17-24; Ef. 6:5-8; Kol. 3:22-25; Tit. 2:9-10, dan 1Ptr. 2:18-25, sebagai bukti adanya budak-budak yang bergabung ke dalam jemaat Kristen (Hurtado 2005, 65). Tentang bagaimana budak-budak itu menjadi pengikut Kristus, paling tidak ada dua kemungkinan: (1) dari dalam rumah, yaitu dari pemberitaan Injil oleh sang tuan atau puan yang lebih dulu telah menjadi pengikut Kristus; dan (2) dari luar rumah, yaitu dari

pemberitaan Injil oleh pengikut-pengikut Kristus di kota tempat mereka bekerja. Tampaknya, tulis Hurtado, ada hari-hari libur Romawi yang resmi di mana para budak bebas dari kewajiban rutin mereka dan boleh menggunakannya sebagai waktu luang secara bebas. Waktu luang itulah yang memungkinkan mereka berjumpa dengan komunitas Kristen di kota (Hurtado 2005, 65).

Seorang budak murid Kristus yang hidup bersama dengan tuan dan puan yang juga pengikut Kristus pada umumnya tidak mengalami banyak pergumulan. Namun, budak pengikut Kristus yang dimiliki oleh tuan dan puan yang bukan pengikut Kristus, misal: penganut pagan, biasanya

menghadapi banyak tantangan dan pergumulan. Tak heran, budak-budak pengikut Kristus seperti itu memeluk iman Kristen dan mengikuti kegiatan ibadah Kristen secara diam-diam. Mereka akan masuk ke dalam badai pergumulan ketika sang tuan atau puan memaksa mereka untuk turut-serta dalam ritual ibadah rumah tangga yang pagan. Badai pergumulan yang lebih hebat lagi dapat terjadi ketika budak-budak pengikut Kristus mesti menjalani perlakuan sang majikan yang sewenang-wenang atas tubuh mereka. Eksploitasi tubuh, termasuk kekejaman seksual demi pemuasan nafsu sang majikan, membuat budak-budak pengikut Kristus menderita lahir dan batin. Konflik batin antara, di satu sisi, sikap tunduk kepada sang majikan dan menerima perlakuan seksual yang bengis dari sang majikan,

dan di sisi lain sikap takut akan Allah dan sadar akan kehendak Allah tidak jarang membuat

mereka, khususnya budak-budak murid Kristus yang perempuan, menarik diri dari komunitas pengikut Kristus sehingga pada gilirannya mereka masuk ke dalam badai pergumulannya yang semakin hebat (Hurtado 2005, 67; gambaran rinci tentang perbudakan pada masa kekristenan awal, Glancy, 2002.).

Menarik apa yang dinyatakan Carolyn Osiek bahwa peristiwa Felisitas menjadi suatu kesaksian tentang batas-batas kepatuhan (limits of obedience) dari seorang budak kepada tuannya (Osiek 2003, 267). Kemungkinan Felisitas mengalami perlakuan tidak adil dari sang tuan oleh karena ia menjadi seorang pengikut Kristus. Nihilnya informasi tentang suami Felisitas atau orang yang menghamili Felisitas mendorong pembaca untuk berpendapat bahwa tidak mustahil kehamilan Felisitas merupakan buah dari tindakan pemerkosaan.

Tentang Vibia Perpetua, dalam traktat The passion of Perpetua and Felicity, pembaca dapat menemukan kisah seorang ibu muda yang teguh dalam imannya kepada Kristus. Walaupun berkali-kali ayah Perpetua membujuk Perpetua agar melepaskan imannya kepada Kristus, Perpetua tetap menyatakan dirinya sebagai seorang Kristen. Bahkan di hadapan para tentara yang menyiksanya dan memintanya untuk meninggalkan iman Kristen, Perpetua tetap berkata, Aku adalah seorang Kristen. Penegasan sikap iman dari seorang perempuan seperti itu merupakan salah satu bentuk aksi yang dipandang subversif bagi pemerintah Romawi. Bagi masyarakat Romawi, aksi itu pun dianggap virus yang merusak tatanan budaya-sosial patriarki (van Henten – Avemarie 2002, 101-102). Itulah sebabnya Perpetua dieksekusi mati.

IV. Spiritualitas Menjadi Sahabat Allah

4.1. Makrina dari Kapadokia

(6)

Ayah Makrina adalah seorang guru retorika. Ketika Gregorius masih kanak-kanak, sang ayah meninggal dunia karena martir. Ibu Makrina, yaitu Emmelia, adalah seorang Kristen yang menaruh perhatian serius terhadap kehidupan spiritual anak-anaknya. Ketika suaminya martir, Emmelia sempat mengalami kesusahan dalam mengurus kehidupan keluarga. Makrina membantu Emmelia untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sang ibu dan Makrina berusaha membimbing seluruh anggota keluarga, termasuk pelayan-pelayan rumah, untuk menghidupi the philosophical and

immaterial way of life , gaya hidup yang mengarahkan hati kepada Tuhan dan sekaligus mencintai kebanaran sejati (Mateo-Seco 2010b, 472). Demikianlah mereka mengembangkan komunitas asketik yang lebih berciri domestik (keluarga) daripada institusional di Annisa, 30 km sebelah barat dari

Neokaesarea. Mereka hidup sebagai the pious household Rousseau , ; Maraval , .

Atas keteladanan yang telah ditunjukkan oleh Makrina, Gregorius sang adik menuliskan secara khusus kisah hidup Makrina dalam Life of Macrina. Dalam pandangan Gregorius, Makrina sungguh telah menunjukkan diri sebagai pribadi penuh kasih dan hikmat di tengah pergumulan keluarga. Sebenarnya Makrina sendiri sempat bergumul dengan dirinya setelah tunangannya meninggal secara tiba-tiba. Namun, ia berhasil memaknai dan melampaui pergumulannya itu.

Berkali-kali Gregorius menyebut kakaknya ini sebagai the great Macrina , suatu pujian yang mengungkapkan kekaguman Gregorius atas laku hidup spiritual Makrina. Gregorius melihat dan mengalami sendiri bahwa Makrina menolong dan membimbing seluruh anggota keluarga dalam terang Injil Kristus. Dua gambaran tentang Makrina diungkapkan Gregorius: (1) gambaran Makrina sebagai Thekla5, yang menunjukkan diri sebagai guru, pewarta Injil Kristus, dan pemimpin kepada pengajaran rasuli; dan (2) gambaran Makrina sebagai Sokrates, sang filsuf, yang menjalani hidup sebagai pecinta kebenaran yang sejati (Wilson-Kastner 1979, 105).

Pada 379 Makrina meninggal dunia karena sakit. Selama hidupnya Makrina tampil sebagai pribadi yang menjadi sahabat Allah, yaitu dengan membaktikan hidupnya untuk pekerjaan-pekerjaan Allah di tengah kehidupan keluarga dan masyarakat (Mateo-Seco 2010b, 472).

4.2. Gregorius dari Nyssa

Gregorius adalah adik Makrina. Ia lahir pada ±335 di Pontus, Neokaesarea. Selain dari Makrina, ia menerima perlakuan penuh kasih dari Basilius kakaknya (Harrison 2010, 26; Meredith 1999, 2). Ia

memandang Basilius sebagai guru dan ayah . Memang sebagai seorang kakak laki-laki tertua, Basilius memiliki panggilan untuk membimbing adik-adiknya, apalagi ia sempat menikmati pendidikan tinggi di Atena dan di Konstantinopel ketimbang adik-adiknya. Agaknya kondisi keuangan keluarga

membuat tidak semua anak-anak Emmelia bersekolah di universitas (von Campenhausen 1959, 108). Hanya Basilius bersekolah secara formal dan menerima bimbingan dari guru-guru yang terkenal pada masanya. Basilius meneruskan pengetahuannya kepada Gregorius, sehingga walaupun tidak sempat belajar secara formal di universitas, Gregorius pada gilirannya mampu memelajari filsafat-filsafat Yunani, retorika Libanius, dan pengajaran-pengajaran teologis Philo dari Aleksandria dan Origenes (von Campenhausen 1959, 108-109; Meredith 1999, 2-3; Maraval 2010, 104-106).

Ketika bekerja sebagai seorang pembaca Alkitab di Gereja dan sebagai guru retorika (antara 362-371), Gregorius menikah dengan perempuan cendekia yang sangat dicintainya, Theosebeia. Tidak banyak informasi tentang Theosebeia, dan tentang kehidupan rumah tangga mereka berlangsung, serta tentang informasi kehadiran anak. Yang cukup diketahui adalah mereka tetap menjalin relasi sebagai suami istri bahkan juga ketika Gregorius menjadi uskup Nyssa pada 372 (von Campenhausen 1959, 109; Corrigan 1988; Maraval 2010, 106).

Pada masa awal pelayanannya sebagai Uskup Nyssa, Gregorius masih menikmati situasi yang tenang di Nyssa. Kaisar Valens yang berkuasa sebenarnya adalah pendukung kelompok Homoian, suatu kelompok Arian arus utama pada abad IV yang berpendirian bahwa Yesus Kristus itu hanyalah

seperti homoios) Bapa. Sebagai Uskup Nyssa, Gregorius rupanya berpartisipasi aktif dalam perdebatan-perdebatan tentang paham Allah Trinitas. Dia mendukung hasil Konsili Nikaea yang menegaskan Yesus sebagai sehakikat (homoousios) dengan Bapa dan memberikan pendalaman

(7)

tentang paham Trinitas dari hasil Nikaea tersebut. Itu berarti, Uskup Nyssa ini mulai mengusik para Homoian. Pada 376 Gregorius diekskomunikasi dari keuskupan wilayah Nyssa. Ekskomunikasi ini berlangsung tidak lama karena setelah Kaisar Valens wafat pada 378, Gregorius kembali ke Nyssa. Banyak warga gereja Nyssa menyambut gembira kembalinya Gregorius sebagai Uskup Nyssa (Maraval 2010, 107-108; McGuckin 2004, 152, 170).

Sejak kembali dari pembuangan nya, Gregorius Uskup Nyssa mengalami banyak peristiwa

yang makin memerkaya kehidupan spiritualitasnya. Pada September 378 kakaknya Basilius Uskup Kaesarea, yang belum mencapai usia 50 tahun, meninggal dunia. Setelah peristiwa ini, ia bertekad untuk meneruskan perjuangan kakaknya di banyak lingkup pelayanan dan kesaksian Gereja, termasuk di tengah ajang pergulatan ajaran-ajaran iman Gereja (Maraval 2010, 108-112).

Gregorius menikmati tahun-tahun pada masa tuanya dengan menulis traktat-traktat, homili-homili, dan surat-surat. Melalui traktat dan homilinya, banyak warga gereja dan masyarakat mengenal Grogorius dari Nyssa sebagai kritikus yang tajam tentang sistem sosial dan budaya perbudakan yang hidup di wilayah sekitar Laut Tengah pada abad IV (Flint-Hamilton 2010; Harrison 2010, 26).

Salah satu traktat yang ditulis Gregorius dari Nyssa pada 390-an adalah The life of Moses (De vita Moyses). Traktat ini merupakan buah pemikiran yang matang tentang spiritualitas Kristen, yang

bertolak dari dua hal tak terpisahkan: pertama, pengalaman hidup atau peira – sebuah istilah Yunani yang dipakai oleh Gregorius dari Nyssa dalam tulisan-tulisannya, yang menunjuk kepada pengalaman kekinian yang selalu baru, yang sambung dengan, bukan hanya kenangan masa lalu, tetapi juga harapan masa depan (Samellas 2013) – dan kedua, pemahaman teks Kitab Suci secara mendalam melalui upaya penggalian makna spiritual atas teks dengan metode allēgoria – sebuah metode penafsiran Kitab Suci yang khas dari tradisi Aleksandria, secara khusus dari Philo dan Origenes (Beirne 2012; Solovieva 2015).

Pada dasarnya setiap pengalaman dan ke(men)jadian dalam perziarahan hidup, bagi Gregorius dari Nyssa, merupakan bahan-bahan yang turut membentuk dan mengembangkan spiritualitasnya. Dengan iman (pistis) dan pengetahuan (gnosis , bahan-bahan itu diolah dan dikelola sedemikian rupa sehingga tersingkap makna yang luhur (kebajikan, virtue) yang membentuk, meneguhkan, dan menggairahkan diri dalam menempuh perjalanan hidup yang tidak selalu lurus dan tidak selalu mulus. Menurut Gregorius, sebagaimana juga menurut Bapa-bapa Gereja dari Aleksandria, seperti Klemens, Origenes, dan Athanasius, yang paling penting dalam perziarahan hidup ini adalah kontemplasi pada Allah: jiwa (psukē) dan pikiran (nous) yang selalu mengarah kepada Allah dan dalam persekutuan dengan Allah, atau dengan perkataan lain, yang tetap mau menjadi sahabat dengan Allah.

Gregorius menyadari bahwa Allah itu tak-diciptakan (uncreated), berbeda sama sekali dari segala yang diciptakan. Dalam bahasa apofatik, Uskup Nyssa ini menegaskan Allah sebagai yang tak-terlukiskan (ineffable), yang tak-dapat-dinamakan (unnameable), dan yang tak-dapat-diketahui (unknowable). Manusia – dengan bahasa yang pada hakikatnya bersifat terbatas – tidak mampu menggapai Allah yang tak-terbatas (infinite). Manusia dapat mengenal dan membahasakan bukan ousia (hakikat) Allah, melainkan energeia (hal yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan) Allah. Dari energeia-Nya, manusia dapat berkata (atau berteologi) bahwa Allah itu ada dan hidup; Dia begini-begitu. Namun, segala perkataan manusia tentang Allah itu (atau teologi) tidak dapat mengungkapkan Allah secara sempurna (Ojell 2010, 68-73).

Bagi Gregorius, Allah yang tak-terbatas itu adalah Allah yang baik. The Divine One is himself

the Good, whose very nature is goodness, demikian tulis Gregorius dari Nyssa The life of Moses I.7.). Berdasarkan Injil Matius 5:45-48, Gregorius menegaskan bahwa Allah yang baik adalah Bapa yang

sempurna. Kata sempurna yang dirangkaikan pada Allah di sini menunjuk pada kebaikan Allah yang

tak-terbatas. Dengan demikian, kebaikan Allah pada hakikatnya tak-terlukiskan (ineffable). Bahasa manusia tidak mampu menampung sepenuhnya kebaikan Allah. Merumuskan kesempurnaan Allah atau kebaikan Allah yang tak-terbatas dalam bahasa manusia sebagai begini-begitu, dan menjadikan rumusan begini-begitu itu sebagai patokan yang mutlak, itu berarti mereduksi – bahkan mungkin juga memanipulasi – kesempurnaan Allah yang sejati.

Selanjutnya, dari Injil Matius 5, secara khusus dari ayat ke-48, Gregorius pun menggarisbawahi perkataan Yesus agar orang seharusnya menjadi sempurna sama seperti Bapa yang di surga adalah

(8)

maka menjadi sempurna sama seperti Bapa yang di surga adalah sempurna adalah menjalani proses

terus-menerus dalam hidup yang mengarahkan diri kepada Allah dan yang berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan Allah yang baik bagi diri sendiri dan seluruh ciptaan-Nya yang lain. Menjalani proses terus-menerus itulah yang merupakan pokok dari spiritualitas Kristen. Dalam tulisannya, Gregorius memakai istilah epektasis (perpetual progress) – mengacu kepada tulisan Rasul Paulus dalam surat Filipi 3:13 – untuk menunjukkan perkembangan terus-menerus spiritualitas manusia dalam perziarahan menuju Allah (Mateo-Seco 2010a, 263). Gerak epektasis ini pada dasarnya mengandalkan dua hal, yaitu: (1) Allah yang mau berjalan lewat di depan ciptaan-Nya dan yang rela memberikan diri-Nya untuk diikuti ciptaan-Nya, dan (2) ciptaan Allah (seperti manusia) yang, setelah membiarkan Allah berjalan lewat di depannya, taat dan setia mengikuti Dia dari belakang.

Gregorius menjabarkan secara jelas gerak epektasis sebagai bagian erat spiritualitas Kristen dalam traktatnya The life of Moses. Traktat yang tetap populer sampai sekarang ini sebenarnya adalah sebuah surat dengan uraian yang panjang, dari Gregorius untuk sahabatnya, Caesarius. Tampaknya melalui surat panjang ini Gregorius bermaksud mengungkapkan proses menggapai kesempurnaan hidup (the perfection of life) dalam kebajikan (virtue) bagi pengikut Kristus. Untuk maksud itu, dia memaparkan tokoh Musa sebagai (salah satu) model yang seharusnya dipelajari, dihayati, dan diikuti oleh pengikut Kristus. Mengapa Gregorius menampilkan tokoh Musa? Mengapa bukan Yesus?

Jawabannya adalah hal itu berkaitan dengan paham Kristus (Kristologi) dari Gregorius. Bagaimanapun Gregorius mendukung paham Kristus sebagaimana ditetapkan Konsili Nikaea, bahwa Anak (Yesus Kristus) adalah sehakikat (homoousios) dengan Bapa. Dengan menampilkan Musa, bukan Yesus, sebagai tokoh yang berproses menuju kesempurnaan hidup, itu berarti Gregorius sedang menegaskan hakikat Musa sebagai manusia yang mampu berproses menuju kesempurnaan hidup. Sebagai manusia, Musa pada gilirannya mampu menjadi sahabat Allah; demikian juga setiap pengikut Kristus.

Pemaparan Gregorius tentang Musa itu sebenarnya bukan tanpa alasan dan tanpa latar belakang. Memang sebelumnya Philo dari Aleksandria sudah menulis dan memaknai secara alegorik kisah Musa dalam karyanya Life of Moses. Namun, Philo adalah seorang Yahudi yang ingin menegaskan signifikansi dan relevansi tokoh Musa bagi umat Yahudi kepada orang-orang Yunani pada waktu itu (abad I). Kemungkinan besar Gregorius mendapat inspirasi dari tulisan Philo ini. Paling tidak, metode

allēgoria dari Philo, khusunya dalam menafsirkan kisah Musa, dipelajari dan dikembangkan oleh Gregorius untuk menyelisik kisah Musa dan memaknai itu bagi pembaca Kristen. Untuk tujuan itu, Gregorius pun memakai lensa Kristologis dan eklesiologis dalam memaknai kisah Musa.

Pada bagian pertama The life of Moses, setelah menjelaskan maksud penulisan traktat dan metode pendekatan subjek bahasan, Gregorius memaparkan riwayat hidup Musa secara padu dari kitab-kitab Keluaran, Bilangan, dan Ulangan. Di sini kisah Musa dari kelahirannya sampai dengan akhir hayatnya dikemukakan sedemikian rupa sehingga menjadi semacam orientasi awal bagi pembaca (khususnya Caesarius) untuk masuk ke bagian kedua yang lebih membutuhkan banyak waktu perenungan untuk menangkap maknanya. Pada bagian kedua, memang Gregorius mengulas secara mendalam babak-babak tertentu kisah Musa. Di sini diungkapkan pengajaran-pengajaran tentang kebajikan dari peristiwa-peristiwa tertentu yang dialami Musa, dalam perspektif Kristologis dan eklesiologis (Harrison 2010, 28). Pengajaran-pengajaran tentang kebajikan ini pada kenyataannya berperan tidak sebagai panduan moral yang beku, tetapi lebih dari itu sebagai panduan inspiratif bagi pembentukan spiritualitas pengikut Kristus. Oleh karena itu, pada bagian kedua ini Gregorius pun memaparkan pemaknaan tentang tiga babak perjumpaan Musa dengan Allah,

perjumpaan-perjumpaan yang pada gilirannya mentransformasi Musa menuju kesempurnaan hidup. Di bawah ini tiga babak perjumpaan Musa dengan Allah yang dituliskan Gregorius.

Perjumpaan pertama: semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api (The life of Moses II. 19-41). Kisah perjumpaan Musa dengan Allah ini tertulis dalam kitab Keluaran 3. Dalam kisah ini, di Gunung Horeb, Musa melihat semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api. Ketika

memeriksa apa yang dilihatnya itu, Musa mendengar firman Allah. Terjadilah percakapan antara Allah dan Musa, suatu percakapan tentang misi Allah yang dianugerahkan kepada Musa untuk turut ambil bagian dalam memerdekakan umat Israel dari penindasan bangsa Mesir. Bagi

(9)

Hebrew is like the fight of idolatry against true religion, of licentiousness against self-control, of injustice against righteousness, of arrogance against humility, and of everything against what

perceived by its opposite The life of Moses II.14). Dengan demikian, perjumpaan Musa dengan Allah di Gunung Horeb itu merupakan perjumpaan pertama yang mendorong dan meneguhkan Musa (manusia) untuk turut dalam pekerjaan-pekerjaan (misi) Allah di dunia.

Perjumpaan kedua: asap (awan) yang menutupi puncak gunung (The life of Moses II. 152-188). Kisah perjumpaan kedua antara Musa dengan Allah, menurut Gregorius, tertulis dalam Keluaran 19:17-24. Kisah perjumpaan ini terjadi di puncak Gunung Sinai. Melalui perjumpaan ini, Musa diingatkan oleh Allah tentang keberlainan (kekudusan) diri-Nya dari segala ciptaan-Nya. Allah adalah sama sekali lain dari ciptaan-Nya. Dia pada hakikatnya adalah kegelapan yang

bercahaya luminous darkness) bagi segala ciptaan-Nya. Di sini Gregorius sebenarnya hendak mengungkapkan arti penting dari teologi apofatik bagi perjalanan manusia menuju Allah yang tak-terlukiskan (the ineffable). Dengan sikap apofatik, manusia pada dasarnya diundang untuk selalu waspada terhadap idola, termasuk idola berupa pengertian-pengertian tentang Allah (teologi-teologi). Selain itu, dengan sikap apofatik, manusia pun diajak untuk menyadari (keterbatasan) dirinya dan sekaligus untuk selalu menggapai kesempurnaan hidup dalam kebajikan, yakni dalam Allah yang tak-terbatas itu. Inilah firman Allah yang didengar Musa di puncak Gunung Sinai:

Turunlah, peringatkanlah kepada bangsa itu, supaya mereka jangan menembus mendapatkan TUHAN hendak melihat-lihat; sebab tentulah banyak dari mereka akan binasa. Juga para imam yang datang mendekat kepada TUHAN haruslah menguduskan dirinya, supaya TUHAN jangan melanda mereka (Keluaran 19:21).

Perjumpaan ketiga: Allah yang berjalan lewat (The life of Moses II. 219-254). Kisah perjumpaan ketiga ini tertulis dalam kitab Keluaran 33:6-23, khususnya ayat 18-23. Kisah ini terjadi di Gunung Horeb. Ketika itu Musa memohon agar Allah memperlihatkan kemuliaan-Nya. Allah menegaskan bahwa Musa tidak akan tahan memandang wajah Allah yang penuh kemuliaan. Namun, Allah memberikan diri-Nya untuk berjalan lewat. Dia akan menempatkan Musa dalam lekuk gunung dan akan menutupi Musa sampai Dia benar-benar lewat. Musa akan melihat belakang Allah, tidak wajah Allah. Bagi Gregorius, peristiwa ini memiliki makna yang mendalam tentang anugerah Allah bagi manusia, yaitu kesediaan diri-Nya untuk berjalan lewat di hadapan manusia. Di samping itu, anugerah Allah itu pun menunjuk pada kesediaan diri-Nya untuk diikuti oleh manusia dari belakang. Allah memperlihatkan belakang-Nya, menurut Gregorius, bukan berarti Dia sedang melakukan suatu pertunjukan atraktif, tetapi itu berarti Dia sedang mengajak manusia dan seluruh ciptaan-Nya untuk mengikuti Dia. Ajakan untuk mengikuti Dia itu adalah ajakan untuk menempuh perjalanan hidup dalam perkembangan terus-menerus menuju kesempurnaan hidup dalam kebajikan-Nya. Itulah ajakan perziarahan menjadi sahabat Allah.

Penutup

Banyak pelajaran bermanfaat yang dapat dipetik dari kisah Ignatius dari Antiokhia, Felisitas, Vibia Perpetua, Makrina, dan Gregorius dari Nyssa. Dari mereka, kita dapat menghayati dan

mempraktikkan spiritualitas Kristen yang bertolak dari iman yang hidup, yakni iman yang mencari pemahaman (fides quaerens intellectum), iman yang mencintai Misteri (fides adorans mysterium), dan iman yang mencari keterlibatan atau partisipasi (fides quaerens partisipionem). Iman yang hidup seperti itu menggerakkan orang untuk menempuh perjalanan hidup yang berliku-liku dan berbatu-batu, dengan menjadi seperti Yesus dan/atau menjadi sahabat Allah.

Daftar Rujukan

Beirne, Margaret. 2012. Spiritual enrichment through exegesis: St. Gregory of Nyssa and the Scriptures. Phronema, 27 (2): 83-98.

(10)

Brent, Allen. 2007. Ignatius of Antioch: A martyr bishop and the origin of episcopacy. London: T&T Clark International.

von Campenhausen, Hans. 1959. The fathers of the Greek church. Trans. Stanley Godman. New York: Pantheon. Corrigan, Kevin. 1988. Saint Macrina: The hidden face behind the tradition. Vox Benedictina: A Journal of

Translations from Monastic Sources 5 (1): 13-43. Diakses pada 08 Agustus 2017. https://monasticmatrix.osu.edu/ cartularium/life-macrina-gregory-bishop-nyssa.

Flint-Hamilton, Kimberly. 2010. Gregory of Nyssa and the culture of oppression. Racism: Christian Reflection: 26-36. Diakses pada 31 Juli 2017. http://www.baylor.edu/content/ services/document.php/110994.pdf. Glancy, Jennifer A. 2002. Slavery in early Christianity. New York: Oxford University Press.

Gregory of Nyssa. 1978. The life of Moses. Trans. Abraham J. Malherbe and Everett Ferguson. New York – Mahwah: Paulist Press.

_______. 1988. The life of Macrina. Trans. Kevin Corrigan. Dalam Saint Macrina: The hidden face behind the tradition. Vox Benedictina: A Journal of Translations from Monastic Sources 5 (1): 13-43. Diakses pada 08 Agustus 2017. https://monasticmatrix.osu.edu/ cartularium/life-macrina-gregory-bishop-nyssa. Harrison, Nonna Verna. 2010. Gregory of Nyssa (c.335-c.395), the Life of Moses. Dalam Christian spirituality: The

classics, ed. Arthur Holder, 25-36. New York: Routledge.

Hefferman, Thomas J. 2012. The passion of Perpetua and Felicity. Oxford University Press.

van Henten, Jan Willem – Friedrich Avemarie. 2002. Martyrdom and noble death: Selected texts from Graeco-Roman, Jewish, and Christian antiquity. London – New York: Routledge.

Hurtado, Larry W. 2005. How on earth did Jesus become a God? Historical questions about earliest devotion to Jesus. Grand Rapids – Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publ. Co.

Irvin, Dale T. – Scott W. Sunquist. 2004. Kekristenan: Gerakan universal – Sebuah ulasan sejarah dari kekristenan bahari sampai tahun 1453. Maumere: Penerbit Ledalero.

Ignatius dari Antiokia. 2006. Surat-surat dan kisah kemartiran Ignatius dari Antiokia. Terj. Christian P. Sidenden, dkk. Jakarta: Synaxis Press.

Maraval, Pierre. 2010. Biography of Gregory of Nyssa. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas Francisco Mateo-Seco – Giulio Maspero, 103-116. Leiden – Boston: Brill.

Mateo-Seco, Lucas Francisco. 2010a. Epektasis. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas Francisco Mateo-Seco – Giulio Maspero, 263-272. Leiden – Boston: Brill.

_______. 2010b. Macrina. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas Francisco Mateo-Seco – Giulio Maspero, 471-474. Leiden – Boston: Brill.

McGrath, Alister E. 2013. Historical theology: An introduction to the history of Christian thought, 2nd ed. West Sussex: Wiley-Blackwell.

McGuckin, John Anthony. 2004. The Westminster handbook to Patristic theology. Louisville – London: Westminster John Knox Press.

Meredith, Anthony. 1999. Gregory of Nyssa. London – New York: Routledge.

Ojell, Ari. 2010. Apophatic theology. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas Francisco Mateo-Seco – Giulio Maspero, 68-73. Leiden – Boston: Brill.

Osiek, Carolyn. 2003. Female slaves, Porneia, and the limits of obedience. Dalam Early Christian families in context: An interdisciplinary dialogue, 255-274. Grand Rapids – Cambridge: Wm. B. Eerdmans Pub. Co.

Rousseau, Philip. . The pious household and the virgin chorus: Reflections on Gregory of Nyssa s Life of

Macrina. Journal of Early Christian Studies, 13 (2): 165-186.

Samellas, Antigone. 2013. Experience, freedom, and canon in the work of Gregory of Nyssa. Journal of Early Christian Studies, 21 (4): 569-595.

Solovieva, Olga. 2015. Spiritual exegesis as an ascetic perfomance in Gregory of Nyssa. Journal of Early Christian Studies, 23 (4): 529-558.

Stewart, Columba. 2005. Christian spirituality during the Roman empire (100-600). Dalam The Blackwell companion to Christian spirituality, ed. Arthur Holder, 73-89. Oxford: Blackwell Publishing.

Theissen, Gerd. 2005. Gerakan Yesus: Sebuah pemahaman sosiologis tentang jemaat Kristen perdana. Terj. Robert Mirsel. Maumere: Penerbit Ledalero.

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR URUT KEPANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PUSKESMAS SUMBER WARAS KOTA LUBUKLINGGAU TAHUN 2016. DIKLAT

Adalah tidak wajar dan adil jika negeri Sabah diperintah oleh orang-orang daripada luar kerana rakyat Sabah juga memiliki golongan cerdik pandai yang pernah menuntut di Universiti

Pada perancangan skripsi aplikatif ini, konsep perancangan di fokuskan pada strategi dan pembuatan media komunikasi visual untuk mendukung kampanye donor darah di lingkungan

Sektor pertanian saat ini kurang banyak menarik minat generasi muda untuk bekerja didalamnya.Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apa sajafaktor yang

Toko Badan percaya bahwa percobaan pada binatang untuk produk perawatan kulit dan rambut, atau produk kosmetika lainnya merupakan hal yang tidak benar dan tidak perlu..

Pada agroforest dijumpai jenis tanaman 30% lebih rendah, dan untuk jenis burung sekitar 50% lebih rendah daripada yang dijumpai di hutan (Van Schaick dan Van Noordwijk, 2002).

Dari Gambar 7 dijelaskan hasil penerimaan hasil informasi kecepatan kendaraan yang dikirim oleh pengguna ( user ) dapat tampil dengan dua penerima dengan posisi yang berbeda

Menghimpun data tugas-tugas dalam suatu pekerjaan, perilaku karyawan yang diperlukan, kondisi kerja, karakteristik dan kemampuan manusia yang dibutuhkan untuk