• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Tumbuhan - Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-heksana Etilasetat dan Etanol Dari Rumput Laut Coklat (Sargassum polycystum C.Agardh.) Terhadap Bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Tumbuhan - Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-heksana Etilasetat dan Etanol Dari Rumput Laut Coklat (Sargassum polycystum C.Agardh.) Terhadap Bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan

Rumput laut dalam bahasa Inggris disebut ’seaweeds’ adalah algae makro yang termasuk tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Tumbuhan tersebut memiliki sistem morfologis dan reproduksi tersendiri yang umumnya berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi (tumbuhan berbunga) yang biasa tumbuh didarat. Tumbuhan ini tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati (Atmadja, dkk., 1996).

Rumput laut biasa nya hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia. Seiring kemajuan sains dan teknologi pemanfaatan rumput laut telah meluas di berbagai bidang, seperti bidang pertanian dapat digunakan sebagai bahan pupuk organik dan salah satu media tumbuh dalam kultur, di bidang peternakan dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak, di bidanag kedokteran digunakan sebagai media kultur bakteri, di bidang farmasi digunakan sebagai bahan pembuat suspensi, pengemulsi, tablet, pleste dan filter, di bidang industri digunakan sebagai bahan aditifseperti pada industri teksti, keras dan keramik (Aslan, 1991).

(2)

betina yang berasal dari satu tumbuhan, hal ini disebut partenogenesis atau berumah satu (monoceus). Perbedaan jenis kelamin tumbuhan tersebut di alam ada yang mudah dikenal dengan penglihatan biasa tetapi ada juga yang sulit dibedakan kecuali dengan bantuan alat pandang mikroskopik (Atmadja, dkk., 1996).

Sargassum polycystum C.A. Agardh tumbuh pada substrat batu atau benda keras lainnya di daerah rataan terumbu. Terdapat dengan sebaran yang meluas diperairan Indonesia (Atmadja, dkk., 1996).

Talus berbentuk silindris, holdfast membentuk cakram kecil, “batang” pendek dengan percabangan utama tumbuh rimbun di bagian ujungnya, dapat mencapai tinggi 2 meter. “Daun” kecil, lonjong, ujungnya rata dan runcing, tepi daun bergerigi dan urat daun tidak begitu jelas, gelembung udara atau vesikel bulat telur,duduk pada percabangan. Kandungan kimianya antara lain berupa alginat dan yodium (iodin) (Atmadja, dkk., 1996).

Sistematika tumbuhan Sargassum menurut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI adalah:

Divisio : Phaeophyta Subdivisio : Phaeophyceae Kelas : Fucales Ordo : Sargassaceae Marga : Sargassum

(3)

2.2. Kandungan Kimia

Menurut skrinning fitokimia yang telah di lakukan rumput laut jenis

Sargassum polycystum C.A. Agardh mengandung steroid/triterpenoiod, glikosida dan saponin. Rumput laut ini juga mengandung protein, vitamin C, mineral seperti Ca, Mg, Na, dan Mn, tanin, iodin dan fenol (Kadi, 2005) dan memproduksi beberapa jenis senyawa sekunder seperti florotanin, steroid dan sterol (Hayati, 2010).

2.3.Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Ditjen POM, 1979).

Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman dan eksudat tanaman. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa zat kimia murni. Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik telah diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni (Ditjen POM, 1979).

2.4 Ekstraksi

(4)

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstarksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

Ada beberapa metode ekstraksi menggunakan pelarut (Ditjen POM 2000), yaitu:

1. Cara Dingin

a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahapan maserasi antara tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang tidak meninggalkan sisa bila 500 mg perkolat terakhir diuapkan pada suhu ±50ºC.

2. Cara Panas

(5)

b. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperatur 40-50oC. d. Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature 96-98oC selama

15-20 menit di penangas air dapat berupa bejana infus tercelup dangan penangas air mendidih.

2.5 Bakteri

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1988).

Menurut Pratiwi (2008), pertumbuhan dan perkembangan bakteri di pengaruhi oleh:

a. Temperatur

(6)

Berdasarkan batas temperatur dibagi atas tiga golongan yaitu:

- Bakteri psikrofil yaitu mikroorganisme yang dapat hidup baik pada suhu 0-20 o

C, dengan suhu optimumnya adalah 10-20 oC.

- Bakteri mesofil yaitu mikroorganisme yang dapat hidup baik pada suhu 5-60oC, dan memiliki suhu pertumbuhan optimal antara 25-45 oC.

- Bakteri termofil yaitu mikroorganisme yang dapat hidup baik pada suhu 45-80 oC. Suhu optimumnya antara 50-60 oC.

b. pH

pH optimum bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan 7,5. Namun ada beberapa mikroorganisme yang dapat tumbuh pada keadaan yang sangat asam atau alkali.

c. Tekanan osmosis

Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Medium yang baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel sehingga menyebabkan sel membengkak, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis). d. Oksigen

Berdasarkan kebutuhan oksigen, mikroorganisme menjadi 5 golongan yaitu: -Aerob yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya. -Anaerob yaitu bakteri yang tidak memerlukan oksigen dalam

(7)

-Anaerob fakultatif yaitu bakteri yang dapat hidup tumbuh dengan atau tanpa oksigen.

-Mikroaerofilik yaitu bakteri yang memerlukan hanya sedikit oksigen dalam pertumbuhannya.

e. Nutrisi

Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen (elemen yang diperlukan dalam jumlah banyak) dan mikroelemen (trace element yaitu elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit).

2.6. Morfologi Bakteri

Menurut Pratiwi (2008), berdasarkan bentuk morfologinya bakteri dapat di bagi atas tiga golongan yaitu:

1. Bentuk basil

Golongan basil berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat bergandengan dua-dua, atau terlepas satu sama lain, yang bergandeng-gandengan panjang disebut streptobasil, yang dua-dua disebut diplobasil.

2. Bentuk kokus

(8)

3. Bentuk spiral

Golongan spiral merupakan bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok serupa spiral. Bakteri ini tidak banyak terdapat, karena itu merupakan golongan yang paling kecil, jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil.

2.7 Uraian Bakteri

Jenis bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis.

2.7.1 Bakteri Propionibacterium acne

Menurut Irianto (2006), sistematika bakteri Propionibacterium acne adalah:

Divisio : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Genus : Propionibacteriaceae

Marga : Propionibacterium

Spesies : Propionibacterium acne

(9)

Propionibacterium acne adalah flora normal kulit terutama di wajah. Bakteri ini berperan pada patogenesis jerawat yang dapat menyebabkan inflamasi (Irianto, 2006).

2.7.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis

Menurut Irianto (2006), sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis

adalah:

Divisio : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Genus : Micrococaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Bakteri ini membentuk koloni berupa abu-abu sampai putih, non patogen, koagulasi negatif, memfermentasi glukosa, dapat bersifat aerob dan anaerob fakultatif.

Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit. Infeksi

Staphylococcus secara lokal tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut atau abses, terdapat juga sebagai reaksi inflamasi yang kuat dan terlokalisir (Irianto, 2006).

2.8 Fase Pertumbuhan Bakteri

(10)

1. Fase lambat (Lag phase)

Pada saat dipindahkan ke media yang baru, bakteri tidak langsung tumbuh dan membelah, meskipun kondisi media sangat mendukung untuk pertumbuhan. Bakteri biasanya akan mengalami masa penyesuaian untuk menyeimbangkan pertumbuhan.

2. Fase cepat (Log phase)

Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel.

3. Fase tetap (Stationary phase)

Pada fase ini terjadi kompetisi antara bakteri untuk memperoleh nutrisi dari media untuk tetap hidup. Sebagian bakteri mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi tetap.

4. Fase kematian (Death phase)

Pada fase ini, sel bakteri akan mati bila tidak dipindahkan ke media segar yang lain. Sebagaimana pertumbuhan kematian sel juga secara eksponensial, fase kematian ini merupakan penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-sel yang hidup terhadap waktu, kecepatan kematian berbeda-beda tergantung dari lingkungan dan spesies mikroorganisme.

2.9 Media Pertumbuhan Bakteri

Media pertumbuhan bakteri dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:

(11)

1. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat.

2. Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton.

b. Menurut Irianto (2006), berdasarkan kegunaannya dapat dibagi atas: 1. Media selektif

Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi.

2. Media diferensial

Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar.

3. Media diperkaya

Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit.

c. Menurut Irianto (2006), berdasarkan konsistensinya dapat dibagi atas: 1. Media padat/solid

(12)

2.10 Metode Isolasi Biakan Bakteri

Menurut Stanier, et al., (1982), metode isolasi biakan bakteri dapat dibagi atas:

1. Cara gores

Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat.

2. Cara sebar

Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat.

3. Cara tuang

Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut.

2.11 Uji Aktivitas Antibakteri

Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu:

a. Metode Dilusi

Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimum) dan KBM (kadar bunuh minimum) dari obat antibiotika. Prinsip dari metode dilusi adalah sebagai berikut :

(13)

18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KBM dari obat. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji (Pratiwi, 2008).

b. Metode Difusi

Sebagai pencadang dapat digunakan cakram kertas, silinder gelas, porselen, logam danpencetak logam (punch hole).

1. Cara tuang

Media agar yang telah diinokulasikan dengan suspensi bakteri uji dituangkan ke dalam cawan petri, dan dibiarkan memadat, kedalam cakram yang digunakan di teteskan zat antibakteri, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 18-24 jam. Daerah bening yang terdapat di sekeliling cakram kertas atau selinder menunjukkan hambatan pertumbuhan bakteri, diamati dan diukur.

2. Cara sebar

(14)

c. Metode turbidimetri

(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental. Tahap penelitian meliputi penyiapan bahan, karakterisasi simplisia, skrinning fitokimia, pembuatan ekstrak, dan pengujian aktivitas antibakteri. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi, dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, lemari pengering, blender (Philips), desikator, freeze dryer

(Modulio), inkubator (Fiber Scientific), jangka sorong, jarum ose, kamera digital (Sony), krus porselin, Laminar Air Flow Cabinet (Astec HLF 1200L), lemari pendingin (Toshiba), mikroskop, neraca kasar (Sun), neraca listrik (Vibra AJ), oven (Memmert), penangas air (Yenaco), pinset, pipet mikro (Eppendorf), rotary evaporator (Haake D), seperangkat alat penetapan kadar air, punch hole, spektrofotometer visible (Dynamica).

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut, Nutrient Agar (Oxoid), Nutrient Broth (Oxoid), Mueller Hinton Agar (Oxoid), bakteri

(16)

bismuth (III) nitrat, dimetil sulfoksida (DMSO), etanol 96%, etilasetat, n-heksana, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloralhidrat, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium klorida, natrium sulfat anhidrat, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk zinkum, timbal (II) asetat dan toluen.

3.3 Pengambilan Bahan Tumbuhan

Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan dari daerah lain. Bahan penelitian adalah rumput laut Sargassum polycystum C.A. Agardh yang diperoleh dari Pantai Desa Pal 7, Kecamatan Sosorgadong, Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara.

3.4 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta. Hasil determinasi menunjukan bahan tumbuhan adalah Sargassum polycystum C.A.Agardh.

3.5 Pembuatan Simplisia

(17)

sampai diperoleh serbuk. Berat bahan basah adalah 15 kg dan berat kering adalah 1,9 kg. Dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 45-46.

3.6 Pembuatan Larutan Pereaksi

Pembuatan larutan pereaksi besi (III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendorff, Mayer, Molish dilakukan menurut (Depkes RI, 1995), asam klorida 2 N, asam sulfat 2 N, kloralhidrat, natrium hidroksida 2 N (Ditjen POM, 1979), Liebermann-Bouchard (Harbone, 1987), timbal (II) asetat 0,4 M (Ditjen POM, 1979).

3.6.1 Besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml kemudian disaring.

3.6.2 Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.6.3 Dragendorff

Sebanyak 0,85 g bismut (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 100 ml asam asetat glasial ditambahkan 40 ml air suling. Kemudian pada wadah lain ditimbang 8 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling, lalu campurkan kedua larutan sama banyak. Kemudian ditambahkan 20 ml asam asetat glasial dan diencerkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.6.4 Mayer

(18)

3.6.5 Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat

0,5 N hingga volume 100 ml. 3.6.6 Asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga volume 100 ml.

3.6.7 Asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,4 ml asam sulfat pekat kemudian diencerkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.6.8 Natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml.

3.6.9 Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dicampurkan dengan 5 ml asam sulfat pekat kemudian ditambahkan 50 ml etanol ke dalam campuran tersebut.

3.6.10 Timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air bebas karbondioksida hingga 100 ml.

3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 3.7.1 Pemeriksaan makroskopik

(19)

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia rumput laut. Serbuk simplisia ditaburkan sedikit di atas kaca objek, kemudian ditambahkan kloral hidrat lalu dipanaskan dan tutup dengan kaca penutup, kemudian diamati dibawah mikroskop.

3.7.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena) (WHO, 1992). Cara kerja: Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam, setelah toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit volume air pada tabung penerima dibaca, kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik, setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen.

3.7.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

(20)

kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995).

3.7.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995).

3.7.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). 3.7.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

(21)

ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995).

3.8 Penentuan Golongan Senyawa Kimia 3.8.1 Pemeriksaan alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Percobaan dilanjutkan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml amonia pekat dan 10 ml campuran eter-kloroform (3:1), diambil lapisan kloroform lalu diuapkan di atas penangas air. Sisa kemudian dilarutkan dengan sedikit asam klorida 2 N dan ditambahkan dengan pereaksi Mayer, Bouchardat dan Dragendorff.

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan di atas.

3.8.2 Pemeriksaan flavonoid

(22)

temperatur 40oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut:

a. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N. Didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid.

b. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat. Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah ungu menunjukkan adanya flavonoid.

3.8.3 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air (7:3) direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Kemudian diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform dan isopropanol (3:2), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan:

(23)

- Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia direbus dalam air, kemudian didinginkan lalu disaring. Pada filtrat ditambahkan Fehling A dan Fehling B (1:1), kemudian dipanaskan. Terbentuknya endapan warna merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi.

3.8.4 Pemeriksaan saponin 3.8.4.1 Uji busa

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin.

3.8.4.2 Uji dengan pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 1 g simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksana selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dan sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Jika terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijauan menunjukkan adanya triterpenoid/steroid bebas.

3.8.5 Pemeriksaan tanin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3 menit dalam air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1% b/v. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin.

3.8.6 Pemeriksaan triterpenoid/steroid

(24)

sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

3.9 Pembuatan ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol rumput laut secara perkolasi berkesinambungan

(25)

3.10 Sterilisasi Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Lay,1994).

3.11 Pembuatan Media

3.11.1 Media Nutrient Agar (NA) Komposisi : Bacto Beef extract 3 g

Bacto peptone 5 g

Bacto Agar 15 g Cara Pembuatan:

Sebanyak 23 g sediaan NA ditimbang, disuspensikan kedalam air suling 1000 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna. Kemudian media dimasukkan kedalam erlenmeyer dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid , 2013).

3.11.2 Media Mueller Hinton Agar (MHA) Komposisi: Beef infusion form 300 g Casein hydrolysate 17,5 g

Starch 1,5 g

Agar 17 g Cara pembuatan:

(26)

Disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121oC tekanan 2 atm selama 15 menit (Oxoid , 2013).

3.11.3 Nutrient Broth

Komposisi: Bacto beef extract 3,0 g

Bacto peptone 5,0 g

Cara pembuatan:

Sebanyak 8 g nutrient broth dilarutkan dalam air suling steril sebanyak 1000 ml kemudian dipanaskan hingga semua larut, dalam keadaan panas larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Lalu disterilkan di autoklaf 1210C selama 15 menit (Oxoid , 2013).

3.11.4 Pembuatan Agar Miring

Kedalam tabung reaksi dimasukkan 10 ml media Nutrien agar yang sudah dicairkan, kemudian diletakkan dengan posisi miring dengan kemiringan lebih kurang 45oC, ditutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan dibiarkan memadat.

3.12 Pembuatan Stok Kultur

3.12.1 Bakteri Propionibacterium acne

Biakan bakteri Propionibacterium acne dari strain utama diambil dengan jarum ose steril lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar miring, kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam.

3.12.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis

Biakan bakteri Staphylococcus epidermidis dari strain utama diambil dengan jarum ose steril lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar

(27)

3.13 Penyiapan Inokulum

3.13.1 Bakteri Propionibacterium acne

Koloni bakteri Propionibacterium acne diambil dari stok kultur diambil menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml media

nutrient broth steril lalu diinkubasikan pada suhu 37oC selama ± 3 jam sampai didapat kekeruhan dengan transmitan 25% menggunakan alat spektrofotometer UV panjang gelombang 580 nm (Ditjen POM, 1995).

3.13.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis

Koloni bakteri Staphylococcus epidermidis diambil dari stok kultur diambil menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml media

nutrient broth steril lalu diinkubasikan pada 37oC selama ± 3 jam sampai didapat kekeruhan dengan transmitan 25% menggunakan alat spektrofotometer UV panjang gelombang 580 nm (Ditjen POM, 1995).

3.14 Pembuatan larutan uji (ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol) dengan berbagai konsentrasi.

(28)

3.15 Metode Pengujian Efek Antibakteri secara In vitro 3.15.1 Bakteri Propionibacterium acne

Kedalam cawan petri dimasukkan 0,1 ml inokulum (106) kemudian ditambahkan 15-20 ml media Mueller HintonAgarsteril yang telah dicairkan (45-50oC CFU/ml) dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat. Selanjutnya diatas permukaan media dilubangi, kemudian masing-masing kedalam lubang dimasukkan ekstrak n-heksana sebanyak 0,1 ml dengan berbagai konsentrasi, diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Hal yang sama dilakukan terhadap ekstrak etilasetat dan ekstrak etanol, selanjutnya diameter daerah hambat disekitar sumur diukur dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali (Ditjen POM, 1995).

3.15.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis

(29)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta, menyatakan bahwa tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut Sargassum polycyctum C.A. Agardh.

4.2 Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan makroskopik rumput laut jenis Sargassum diperoleh simplisia berupa talus yang berkerut-kerut, bewarna coklat kehitaman, berbau khas dan tidak berasa. Hasil pemeriksaan mikroskopik dari serbuk simplisia rumput laut coklat memperlihatkan adanya sel-sel parenkim yang bewarna coklat dan sel-sel propagul.

Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia rumput laut terlihat pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia rumput laut

No Uraian Hasil (%)

1 Kadar air 5,95

2 Kadar sari yang larut dalam air 10,28 3 Kadar sari yang larut dalam etanol 4,01

4 Kadar abu total 18,13

5 Kadar abu yang tidak larut dalam asam 2,55

(30)

10%. Apabila kadar air simplisia lebih besar dari 10% maka simplisia tersebut akan lebih mudah ditumbuhi kapang pada saat penyimpanan sehingga mutu simplisia akan menurun. Hasil penetapan kadar sari menunjukkan bahwa simplisia rumput laut lebih banyak mengandung senyawa yang larut dalam air daripada yang larut dalam etanol. Penetapan kadar sari larut air dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa yang bersifat polar sedangkan kadar sari larut dalam etanol untuk mengetahui senyawa yang terlarut dalam etanol baik polar maupun non polar. Kadar sari yang larut dalam air lebih besar dari kadar sari yang larut dalam etanol karena senyawa bersifat polar lebih banyak larut di dalam pelarut air daripada etanol, dan senyawa yang tidak larut di pelarut air akan larut di dalam pelarut etanol. Air dapat melarutkan zat lain yang tidak diperlukan seperti gom, pati, protein, lemak, lendir dan lain-lain, hal ini yang menyebabkan tingginya kadar sari yang larut dalam air dari tanaman yang dilarutkan (Depkes, 1986).

Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral internal (abu fisiologis) yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri, dan eksternal (abu non-fisiologis) yang merupakan residu dari luar seperti pasir dan tanah yang terdapat di dalam sampel (Ditjen POM 2000; WHO, 1992). Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 1992).

(31)

dalamnya. Hasil pemeriksaan penentuan golongan senyawa kimia simplisia rumput laut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Hasil penentuan golongan senyawa kimia simplisia rumput laut

No Golongan Senyawa Hasil Skrining Fitokimia

1 Alkaloida -

2 Glikosida +

3 Saponin +

4 Flavonoid -

5 Tanin -

6 Steroid/Triterpenoid +

Keterangan : + = Mengandung golongan senyawa - = Tidak mengandung golongan senyawa

(32)

4.4 Hasil Ekstraksi

Hasil ekstraksi yang diperoleh dari rumput laut sebanyak 400 g yang diperkolasi dengan pelarut n-heksana 4,57 g, pelarut etilasetat 4,75 g, dan pelarut etanol 8,15 g. Ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol ini kemudian digunakan untuk uji aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acne dan

Staphylococcus epidermidis.

4.5 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-heksana, Etilasetat dan Etanol Rumput Laut Terhadap Bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis

Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak rumput laut menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana dan ekstrak etanol tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis

yang ditandai dengan tidak adanya zona hambat (daerah bening) disekitar daerah sumur. Ekstrak etilasetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri

Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis, yaitu ditandai dengan adanya zona hambat (daerah bening) disekitar sumur. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etilasetat maka akan menghasilkan diameter daerah hambat yang semakin besar.

(33)

Tabel 3. Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan

Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis ekstrak

n-heksana, etilasetat dan etanol rumput laut. No Konsentrasi

(mg/ml)

Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri (mm)*

Staphylococcus epidermidis Propionibacterium acne

n-heksana etilasetat etanol n-heksana etilasetat Etanol

1 500 - 15,1 - - 15,9 -

(*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan

Blanko = DMSO (dimetil sulfoksida)

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode sumuran yaitu mengukur diameter zona hambat pertumbuhan bakteri di sekitar sumur. Diameter zona hambat akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Berdasarkan tabel di atas memperlihatkan bahwa ekstrak etil asetat memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan batas daerah hambat yang dinilai efektif menurut Farmakope Indonesia yaitu diameter daya hambat lebih kurang 14 mm sampai 16 mm. Hasil pengukuran diameter daerah hambat ekstrak etilasetat pada bakteri Staphylococcus epidermidis didapat diameter 15,1 mm pada konsentrasi 500 mg/ml dan KHM 60 mg/ml (9,8 mm) sedangkan pada bakteri

(34)

dan KHM 60 mg/ml (10,1 mm). Sedangkan pada ekstrak etanol dan ekstrak

n-heksana tidak memberikan daya hambat terhadap bakteri Propionibacterium acne

dan Staphylococcus epidermidis.

Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat menunjukkan bahwa senyawa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak etilasetat memiliki aktivitas antibakteri sehingga menunjukkan aktivitas yang efektif. Hal ini mungkin disebabkan karena ekstrak etilasetat mengandung senyawa steroid dalam jumlah yang lebih banyak dan adanya kerja yang sinergis antara senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak etilasetat dalam peranannya sebagai antibakteri.

Gambar

Tabel 1. Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia rumput laut
Tabel 3. Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan Propionibacterium acne  dan Staphylococcus epidermidis ekstrak n-heksana, etilasetat dan etanol rumput laut

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

Ekstrak adalah sediaan galenik yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua