BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan buah pinang
Gambar 1. Buah pinang
Tanaman pinang diklasifikasikan dalam
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Arecales
Suku : Arecaceae/palmae
Marga : Areca
Jenis : Areca catechu L. (Syamsuhidayat and Hutapea, 1991)
1. Nama Daerah
2. Morfologi Tanaman
Areca catechu L. (pinang) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan (Depkes RI, 1989).
3. Kandungan kimia buah pinang
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasin dan isoguvasin,
tanin terkondensasi, tanin terhidrolisis, flavan, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang dan Lee, 1996). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tanin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid.
4. Manfaat
Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus,
antikarsinogenik, anti-inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi(Fine, 2000).
B. Antioksidan dan radikal bebas
1. Antioksidan
bebas. Ada 3 macam antioksidan berdasarkan mekanisme kerja (Winarsi, 2007) :
a. Antioksidan primer
Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila, dapat memberikan atom hidrogen secara tepat kepada senyawa radikal kemudian radikal yang terbentuk dapat menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer disebut juga chain-breaking-antioksidant.
b. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder disebut pertahanan preventif dimana mekanisme kerjanya yaitu dengan memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menyapu radikal bebas tersebut (free radical scavanger). Antioksidan kelompok ini disebut juga sebagai antioksidan eksogenus atau non-enzimatis. c. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas.
2. Radikal bebas
Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen yang reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas yang ada pada tubuh dapat mengalami serangkaian reaksi yang berlangsung secara terus menerus sehingga radikal bebas dapat hilang dari dalam tubuh. Hilangnya radikal bebas dari dalam tubuh karena adanya reaksi dengan radikal bebas yang lain, sehingga menjadi senyawa yang stabil atau hilangnya radikal bebas karena adanya antioksidan (Winarsi, 2007). Tahap-tahap radikal bebas yaitu ;
a. Tahap insiasi
b. Propagasi
Yaitu perpanjangan rantai radikal, tahap ini menyebabkan terbentuknya senyawa radikal bebas yang baru. Jumlah berulangnya tahap propagasi disebut rantai panjang (chain length). c. Terminasi
Yaitu tahap dimana senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa radikal yang lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.
C. Ekstraksi
Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi 3 yaitu: simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1989).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1986).
Simplisia yang disari, mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat aktif yang tidak larut seperti serat, karbohidrat dan protein. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara penyari dengan bahan yang mengandung zat tertentu (Depkes RI, 1986).
Macam – macam ekstraksi : a. Maserasi
penyari. Contoh cairan penyari yaitu air, etanol, air-etanol (Depkes RI, 2000).
b. Infudasi
Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Infundasi dilakukan dengan cara menambahkan serbuk dengan air secukupnya dalam penangas air selama 15 menit yang dihitung mulai suhu di dalam panci mencapai 90°C sambil sesekali diaduk, infus disaring sewaktu masih panas dengan menggunakan kain flanel. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan jamur (Depkes RI, 1986).
c. Sokletasi
Sokhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 1986).
d. Perkolasi
Istilah perkolasi berasal dari bahasa Latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes, secara umum dapat dinyatakan sebagai proses ini obat yang sudah halus, zat yang larutnya diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Obat yang dimampatkan dalam alat ekstraksi khusus yang disebut perkolator, dengan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989).
D. Fraksinasi dan Isolasi Ekstrak
senyawa yang non-polar akan masuk ke pelarut non-polar (Harbone, 1987). Dari proses fraksinasi ini dapat diduga sifat kepolaran dari senyawa yang akan dipisahkan. Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat di laboratorium kimia.
E. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi merupakan suatu teknik analisis biokimia
berdasarkan metode pemisahan yang memerlukan waktu relatif singkat dan tidak membutuhkan alat yang rumit dibandingkan metode pemisahan lainnya.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) termasuk kedalam kromatografi adsorpsi. Media yang digunakan dapat berupa pelat tipis yang dilapisi oleh fase diam. Fase diam yang digunakan dapat berupa silika gel, alumenita, kieselguhr maupun selulosa yang bergantung pada sampel yang akan dianalisis (Bintang, 2010).
Pada KLT, cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan pada lapisan tipis yang nantinya akan diabsorpsi oleh zat penyerap dan kemudian dielusi oleh fase gerak. Pemisahan didasarkan pada sifat polaritas senyawa. Senyawa yang memiliki polaritas hampir yang sama dengan fase geraknya akan terelusi terlebih dahulu dibandingkan senyawa dengan sifat polaritas yang berbeda dengan fase geraknya. Pada Kromatografi Lapis Tipis ini terjadi persaingan antara proses penyerapan yang cenderung untuk menempelkan senyawa dalam fase diam dan pelarutan yang cenderung membawa dalam fase gerak (Shellard, 1975).
Paramater pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Untuk analisis preparatif, sampel yang ditotolkan dalam lempeng dengan lapisan besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang nondestruktif. Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan analisis lanjutan. KLT terdiri dari :
1. Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penyerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penyerap yang paling sering digunakan adalah serbuk selulosa dan silika.
2. Fase gerak
Fase gerak pada KLT dapat diperoleh dari pustaka atau dengan percobaan. Sistem yang paling sederhana yaitu campuran 2 atau lebih pelarut organik karena daya elusi campuran pelarut dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. 3. Penotolan Sampel
Untuk memperoleh reprodusibiltas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µL. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 µL maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan.
4. Pengembangan
gerak, biasanya bejana dilapisi kertas saring, jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh.
5. Metode deteksi
Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia yang biasa dilakukan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika dapat dilakukan untuk menampakan bercak yaitu dengan cara pencacahan radioaktif dan flouresensi sinar ultraviolet. Perhitungan nilai Rf didasarkan atas rumus (Stahl, 1985) :
F. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Absorbsi dan partisi yang berdasarkan pada jumlah dan cara penotolan cuplikan berkesinambungan dengan hasil akhir membentuk pita. Kromatografi lapis tipis preparatif yaitu sebuah metode isolasi dari suatu simplisia untuk mendapatkan senyawa tunggal. Lapisan preparatif normalnya adalah lapisan KLT yang lebih tebal dari 0,5. Seperti aturan umumnya dimana ketebalan maksimumnya adalah 2 mm meskipun beberapa pengerjaan melibatkan penggunaan lempeng yang tebalnya mencapai 10 mm (Mardia, 2009).
G. Uji Antioksidan 1,1 diphenil-1-picryl-hydrazil (DPPH)
Pengukuran akitifitas antioksidan ditandai dengan penurunan serapan larutan DPPH yang disebabkan adanya penambahan sampel. Untuk memperoleh nilai serapan DPPH terhadap sampel (ekstrak) tersebut dihitung sebagai persen inhibisi (% inhibisi) dengan rumus ;
Keterangan ;
A kontrol : absorbansi tidak mengandung sampel
B sampel : absorbansi sampel
Kemudian hasil yang diperoleh dimasukan kedalam persaman regresi dengan konsetrasi sampel atau ekstrak (ppm) sebagai absis (sumbu x) dan nilai % inhibisi (antioksidan) sebagai ordinatnya (sumbu y). Nilai IC50 dari perhitungan pada saat % inhibisi sebesar 50% dengan y = aX + b
(Fatimah Z, 2008).
H. Spektrofotometri Ultraviolet dan Tampak (Visibel)