BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu produk badan legislatif di negara kita yang menyentuh secara
langsung penghidupan masyarakat bangsa kita adalah UU Perkawinan nasional
yang di undangkan tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya .Untuk
kelancaran dan ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaanya
tersebut, di keluarkan pula petunjuk pelaksanaannya, antara lain termuat dalam
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 , Peraturan Menteri Agama No. 4
Tahun 1975 , Intruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No.
D/INS/117/1975 , dan Petunjuk–petunjuk Mahkamah Agung Mengenai
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb/0807/75. Tujuh setengah tahun kemudian
setelah UU Perkawinan ini berlaku secara efektif , keluarlah pula Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (TAMBAHAN
LNRI No. 3250) yang mulai berlaku sejak di undangkan tanggal 21 April 1983.
Ketentuan-Ketentuan teknis Peraturan Pemerintah ini termuat di dalam Surat
Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 08/SE/1983 tanggal
Kehadiran undang-undang yang mengatur segala masalah perkawinan yang
selaras dengan perkembangan dan dinamikanya masyarakat ini,sebenarnya sudah
lama sekali didambakan oleh masyarakat bangsa kita, bahkan sejak tahun
limapuluhan. Akan tetapi karena beberapa hambatan maka baru pada awal tahun
1974 berhasil diciptakan UU Perkawinan nasional yang bersifat unifikasi yang
berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia.1
Selama ini, nampaknya harapan-harapan yang dicanangkan dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ini belum semuanya tercapai dengan
menggembirakan, malahan sebagian harapan masih tinggal harapan.Ini justru
karena belum dapat dilaksanakannya undang-undang tersebut secara keseluruhan
sebagaimana mestinya.
Tidak tercapainya apa yang menjadi tujuan dari suatu undang-undang
memang suatu hal yang wajar, karena tidak ada undang-undang di dunia ini yang
dapat mencapai seratus persen tujuannya. Akan tetapi khusus buat UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, titik-titik lemah yang menyebabkan belum dapat dijalankan
sepenuhnya undang-undang ini kiranya dapat kita identifikasi dengan mudah. Di
antaranya karena sarana dan prasarana yang belum memadai, aparat pelaksananya
masih kurang baik kualitasnya maupun kuantitasnya, dan kesadaran hukum
masyarakat kita yang masih belum mapan. Hal yang terakhir ini merupakan titik
lemah yang paling mendasar dalam pelaksanaan hampir semua peraturan
perundang-undangan di negara kita, termasuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
1
dan seperangkat peraturan pelaksanaanya. Kelemahan ini secara perlahan-lahan
akan dapat diatasi dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum kepada
masyarakat, antara lain dengan cara menyebarluaskan tulisan-tulisan yang
menguraikan dan mengupas kaidah-kaidah, asas-asas dan tujuan-tujuan serta
dasar-dasar pemikiran yang terkandung dalam UU Perkawinan tersebut maupun
peraturan-peraturan pelaksanaannya tersebut dapat diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan akan tetapi dirasakan sebagai
suatu keharusan. 2
Sebelum lahirnya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, hukum perkawinan
di Indonesia masih bersifat pluralistis, dimana masing-masing golongan dalam
masyarakat kita mempunyai hukum perkawinan yang berbeda-beda. yaitu:
1) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama dalam Hukum Adat.
2) Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat
3) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 No. 74).
4) Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warganegara Indonesia keturunan
Cina berlaku Ketentuan-Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan sedikit perubahan.
5) Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka dan.
2
6) Bagi orang-orang Eropa dan warganegara Indonesia keturunan Eropa dan
yang dipersamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Dengan lahirnya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1
Oktober 1975 yakni sejak mulai berlakunya PP No. 9 Tahun 1975 sebagai
peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan
semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya,melainkan harus dengan
prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan/alasan-alasan yang
dapat di benarkan.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian
menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di bawah ini:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat,penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri.
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah
tangga.3
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian di
atas ini termuat dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun
1974, kemudian diulangi kembali dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 peraturan
pelaksanaannya.
Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan perceraian,selain harus
mengindahkan ketentuan umum sebagaimana termuat dalam Undang-undang No.1
Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya PP No. 9 Tahun 1975 yang telah
diuraikan, juga harus mengindahkan ketentuan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil
yang termuat dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 , yang ada
mengatur mengenai izin perceraian.
Izin untuk melakukan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang diatur
dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, pengaturannya hampir
sama dengan izin untuk melakukan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil pria, dan
izin menjadi istri kedua/ketiga/keempat bagi Pegawai Negeri Sipil wanita.
3
Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan perceraian,wajib memperoleh
izin lebih dahulu dari pejabat. Untuk ini ia harus terlebih dahulu mengajukan
permintaan secara tertulis (Pasal 3), melalui saluran hirarki yang ada dalam
lingkungan dimana yang bersangkutan bekerja (Pasal 5 ayat (2)).Dalam surat
permintaan izin bercerai harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izi tersebut.4
Sejarah lahirnya hukum di Indonesia
Perhatian terhadap anak sudah ada sejalan dengan peradaban manusia itu
sendiri, yang dari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan,
masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan,
bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara
maksimal.
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan
sejak Tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonasi
1949 No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak Dan Wanita.Kemudian Tahun
1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang
Muda bekerja di atas kapal,selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),yang disahkan mulai berlaku pada
tanggal 26 Februari 1946.
4
Dalam hukum kita, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak,ini sebagai
akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria
tentang anak sebagai berikut:
1) Undang-undang Pengadilan Anak
Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-Undang No. 3 Tahun 1997)
Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak
Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak
belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan
ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang
terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian,
maka si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap
18 (delapan belas) tahun.
2) Anak menurut Hukum Perdata
Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun
B. Permasalahan
Bedasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini,yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan terhadap anak akibat perceraian?
2. Bagaimanakah status anak akibat perceraian berbeda agama?
3. Apakah tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda
agama dalam persfektif hukum perdata?
4. Bagaimana kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan
No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang perlindungan terhadap anak akibat perceraian
berbeda agama.
2. Untuk mengetahui status anak dalam perceraian.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab bapaknya terhadap anak akibat dari
D. Manfaat Penulisan
Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah
1. Secara teoritis penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa
yang tertarik pada bidang keperdataan khususnya mengenai masalah yang
timbul akibat perkawinan dan perceraian berbeda agama serta dapat
dijadikan sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Dengan adanya tulisan ini kiranya dapat
memberikan pengetahuan umum mengenai hasil putusan mengenai
tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama
dalam persfektif hukum perdata (analisis Putusan Pengadilan Negeri
Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.Mdn).
2. Secara praktis tulisan ini dapat memberikan jawaban atas masalah yang
diteliti, melatih mengembangkan pola piker yang sistematis serta mengukur
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh.
E. Keaslian Penulisan
Bahwa skripsi ini yang membahas tentang Tanggung Jawab Suami
Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum
Perdata yang bermasalah , merupakan hasil karya dan ide sendiri yang sudah
diperiksa diperpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak
adanya judul yang sama. Jika ada judul yang mirip dengan judul penulisan skripsi
Berdasarkan pertimbangan khusus inilah maka timbul ide atau niat penulis
untuk mengangkat judul skripsi tersebut di atas dengan harapan dapat memberi
inspirasi-inspirasi, selanjutnya bagi mereka yang ingin mengetahui tentang
Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam
Persfektif Hukum Perdata. Untuk hal tersebut penulis berpedoman pada
buku-buku tentang hukum pada permasalahan atau tema yang sama, serta adapun
berpedoman pula kepada peraturan-peraturan yang berlaku.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Sifat / Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini
adalah bersifat deskriptif analitis mengarah kepada penelitian yuridis normatif,
yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang
tertulis atau bahan hukum yang lain.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder
didapatkan melalui :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni
seperti KUH Perdata,Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974,Riduan
Syahrani,H.Hilman Hadikusuma,Martiman Prodjohamidjojo.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti : putusan pada Pengadilan Negeri Medan dengan
seperti buku, yurisprudensi, buku-buku ilmiah,undang-undang, majalah,
internet,. ataupun jurnal yang mengulas tentang tanggung jawab suami
terhadap sebagai bahan acuan dalam pembahasan skripsi ini. Penelitian ini
memberikan porsi yang sama antara penelitian kepustakaan. Untuk itu
digunakan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan
mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari
yurisprudensi, buku-buku ilmiah, yang telah disebutkan sebelumnya itu.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
1) Bahan – bahan yang memberi petunjuk – petunjuk maupun
penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan – bahan primer, sekunder dan tertier ( penunjang ) di luar
bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah
dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan
3. Alat Pengumpulan Data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui putusan Pengadilan Negeri Medan No 144/Pdt.G/2012/PN.Mdn.
4. Analisis Data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,
putusan Pengadilan Negeri Medan,dan hasil penelitian ini menggunakan analisa
kualitatif.Dan beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan
G. Sistematika Penulisan
Materi skripsi ini pada garis besarnya terbagi menjadi lima bab, dimana di
dalam setiap bab masih terbagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu sebagai
berikut :
BAB I : Isinya merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Isinya merupakan Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
yang terdiri dari : Pengertian Perkawinan,Syarat-Syarat Sahnya
Perkawinan,Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata,Pengertian Perceraian,Akibat
Dari Suatu Perceraian.
BAB III : Isinya merupakan Kedudukan Anak Dalam Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang yang terdiri dari Pengertian Anak
Menurut Undang-Undang,Hak Dan Kewajiban Anak,Makna
Kehadiran Anak Dalam Sebuah Keluarga.
BAB IV : Isinya merupakan Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat
Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan yang terdiri dari
Perlindungan Terhadap Anak Akibat Perceraian,Status Anak Akibat
Perceraian Berbeda Agama,Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak
Perdata,Kasus Posisi Berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri
Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.
BAB V : Merupakan kesimpulan dan saran berdasarkan apa yang telah
dikemukakan pada bab–bab sebelumnya sebagai hasil dari