BAB II
URAIAN TEORITIS
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori karena salah satu unsur yang
paling besar peranannya dalam suatu penelitian adalah teori. Landasan teori berfungsi sebagai dasar strategi dalam pelaksanaan penelitian dan sebagai tuntutan
dalam memecahkan masalah penelitian (Kaelan,2005:240). Dengan adanya
kerangka teori, maka akan mempunyai landasan untuk menentukan tujuan dan
arah penelitian, serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang ditempuh
selanjutnya dapat jelas dan konsisten.
2.1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses, suatu kegiatan yang berlangsung kontinu.
Joseph A. Devito mengemukakan komunikasi adalah transaksi. Dengan transaksi
dimaksudkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses di mana
komponen-komponennya saling terkait, dan bahwa komunikatornya beraksi dan bereaksi
sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan (Effendy, 2003:5).
Menurut Carl I Hovland (Mulyana,2002:62) menyebutkan bahwa
komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)
menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal untuk mengubah
prilaku orang lain (komunikan). Sedangkan Louis Forsdale (Muhammad, 2007: 2)
menyatakan, “communication is the process by which a system is established, maintianed, and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara dan
diubah.
Menurut Harold Lasswell (Effendy, 2003: 253), komunikasi meliputi 5 (lima)
unsur yaitu:
1. Komunikator (source, sender) 2. Pesan (message)
3. Saluran (channel, media)
Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk
atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada
gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2005: 19).
Dalam pengertian paradigmatis, komunikasi memiliki tujuan tertentu, ada
yang dilakukan secara lisan, secara tatap muka atau melalui media, baik media
massa maupun media lainnya. Komunikasi dalam pradigmatis bersifat intensional,
mengandung tujuan, dan dilakukan dengan perencanaan. Dari beberapa pengertian
komunikasi yang telah diucapkan oleh para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa
komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain
untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik
langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2004: 5).
2.1.1. Karakteristik Komunikasi
Adapun karakteristik dari komunikasi (Wiryanto, 2005: 22) adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi suatu proses. Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa
komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi
secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu
tertentu. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau unsur, antara lain
mencakup pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi dan cara
penyampaiannya), saluran atau alat yang digunakan menyampaikan pesan,
waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi.
2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan.
Komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta
sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya.
3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang
terlibat.
4. Komunikasi bersifat simbolis, komunikasi pada dasarnya menggunakan
lambang-lambang, misalnya bahasa.
5. Komunikasi bersifat transaksional, yaitu melibatkan dua tindakan, memberi
6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu, komunikasi menembus
ruang dan waktu maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat
dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama.
2.2.Bahasa dan Lirik Lagu
Menurut Ensiklopedia Indonesia, bahasa berarti alat untuk melukiskan
suatu pikiran, perasaan atau pengalaman, alat ini terdiri dari kata-kata. Sedangkan
menurut Wibowo, dalam wacana linguistik, bahasa diartikan sebagai suatu simbol
bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbiter
dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok
manusia untuk melahirkan perasaan dan pemikiran (Sobur, 2004: 274).
Dalam arti luas, bahasa dapat ditafsirkan sebagai suatu penukaran
(komunikasi) tanda-tanda (dan berlaku baik bagi bahasa dalam arti sempit: bahasa
kata-kata, maupun mengenai semua tanda lainnya). Ilmu yang mempelajari
komunikasi melalui tanda-tanda disebut dengan semiotika (Sobur, 2004: 275).
Menurut Anderson, (Sobur, 2004: 276), bahasa memiliki delapan prinsip dasar,
yaitu:
1. Bahasa adalah suatu sistem
2. Bahasa adalah vocal (bunyi ujaran)
3. Bahasa tersusun dari lambang-lambang mana suka (arbitary symbol) 4. Setiap bahasa bersifat unik, bersifat khas
5. Bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan
6. Bahasa adalah alat komunikasi
7. Bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada
8. Bahasa itu berubah-ubah
Dari semua poin-poin di atas, hakikat terpenting dari bahasa adalah,
bahasa merupakan alat komunikasi dan interaksi yang diciptakan oleh manusia
sendiri, agar proses berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari dapat
berlangsung secara efektif dan tepat guna.
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut demikian,
karena keberadaan makna selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan
antar-lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial
bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat
digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga
untuk mengolah informasi dan dialog antar-diri sendiri. Kajian bahasa sebagai
suatu kode dalam pemakaian berfokus pada karakteristik hubungan antara
bentuk, lambang atau kata satu dengan kata lainnya, hubungan antar bentuk
kebahasaan dengan dunia luar yang diacunya, dan hubungan antara kode dengan
pemakainya (Sartini, 2009: 7).
Lirik lagu adalah sebuah proses komunikasi, karena terdapat informasi
atau pesan yang terkandung dalam simbol lirik lagu yang diciptakan oleh
penciptanya. Agar komunikan dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan
komunikator, maka dalam lirik lagu tersebut digunakan bahasa dengan makna
sebenarnya. Dalam hal ini bahasa yang digunakan adalah bahasa verbal yang bisa
berupa kata-kata dalam teks lirik lagu yang merupakan suatu bentuk komunikasi
verbal.
Bila dikaitkan dengan perilaku media massa kadang konsep ‘kebenaran’
yang dianut oleh media massa bukanlah kebenaran sejati tetapi sesuatu yang
dianggap masyarakat sebagai suatu kebenaran. Seperti itulah bahasa yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Tanpa memahami konteksnya kata
kebenaran kadang bermakna semu. Padahal bisa saja kebenaran itu subyektif atau
paling tidak dianggap benar oleh wartawan (Wibowo, 2011: 7).
Hakikat bahasa adalah bahasa tutur, bahasa membahasa dalam bahasa
tutur, tidak dalam bahasa tulis (didengar dan tidak dilihat). Bahasa terlepas dari
proses pelaksanannya begitu dibahasatuliskan. Bahasa tulis kehilangan daya
ekspresif ketimbang bahasa yang diucapkan. Dengan ditulis, bahasa memang
dilestarikan, tetapi bahasa pun menjadi lemah. Dalam hal ini Gadamer mengutip
Plato, yang dalam berbagai karyanya menandaskan kelemahan dan tidak
berdayanya bahasa tulis (to asthenes toon logoon)(Sobur, 2004: 273).
Lirik lagu diciptakan oleh pencipta lagu untuk menyampaikan perasaan
mereka. Pencipta lagu sering menggunakan makna kias agar lirik lagu tersebut
lebih indah. Lagu merupakan salah satu karya sastra yang menarik, dapat
Menurut Kurniawan, teks merupakan seperangkat tanda yang
ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium
tertentu dan kode-kode tertentu. Pihak penerima yang menerima tanda-tanda
tersebut sebagai teks segera mencoba menafsirkannya berdasarkan kode-kode
yang tepat dan telah tersedia (Purwasito, 2003: 240).
2.2.1. Bahasa Sebagai Alat Komunikasi
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan suatu
kebutuhan yang vital dalam berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Manusia
adalah makhluk sosial, dimana makhluk sosial memerlukan bahasa untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara berkomunikasi, baik itu kebutuhan
moral dan non moral. Sebab dengan adanya bahasa tersebut hubungan komunikasi
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau sebaliknya akan
berjalan lancar.
Robert ( 1975:18) says that language is the system of speech sound by which human beings, communicate with one another. Language is an important thing which is very close to human life since language is used by human to communicate in their daily activities. On the other words, language can not be separated from the life of human being. As we use language to express our desire, option, emotion, intentions, and ideas to the other people.
Menurut Robert bahasa adalah sistem bahasa yang digunakan seseorang
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan sesuatu hal yang
penting yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia, selagi bahasa digunakan
oleh manusia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.Dengan kata lain,
bahasa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Seperti halnya kita
menggunakan bahasa untuk mengungkapkan keinginan, pilihan, emosi, perhatian,
dan ide kepada orang lain.
Menurut Gorys Keraf (Sobur, 2004: 303) komunikasi adalah kunci
terakhir untuk membuka hakikat bahasa. Keraf berjasa dalam perkembangan
linguistik modern, yang dimulai dari awal tahun tujuh puluhan. Menurutnya,
fungsi terpenting dari bahasa adalah alat komunikasi dan interaksi. Bahasa
berfungsi sebagai lem perekat dalam menyatupadukan keluarga, masyarakat dan
adalah bersifat umum dan universal. Bila sifat itu dilihat dari fungsinya, maka
bahasa mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Untuk tujuan praktis, yaitu komunikasi antar manusia dalam pergaulan.
2. Untuk tujuan artistik, yaitu tatkala manusia mengolah bahasa untuk
menghasilkan ungkapan yang seindah-indahnya, seperti dalam cerita,
kisah, syair, puisi, gambar, lukisan, musik dan pahat-pahatan.
3. Untuk tujuan filologis, yakni tatkala kita mempelajari naskah-naskah
kuno, latar belakang sejarah, kebudayaan, adat-istiadat manusia, serta
perkembangan bahasa.
4. Untuk menjadi kunci dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan
lainnya.
Musik, dalam hal ini lirik lagu pada dasarnya adalah pesan yang nantinya
akan disampaikan pada khalayak melalui media tertentu. Musik dapat dimasukkan
ke dalam komunikasi massa karena beberapa unsur karakter dan fungsinya sama
dengan komunikasi massa. Komunikasi massa merrupakan penyampaian pesan
dari komunikator terhadap komunikan melalui media massa. Sedangkan dari
karakteristiknya, terdapat karakter komunikasi massa, yaitu: komunikatornya
terlembaga, pesan bersifat umum, komunikan anonim dan heterogen,
menimbulkan keserempakan, mengutamakan isi, linier dan bersifat sekilas
(Ardianto, 2004: 7).
Musik merupakan salah satu bentuk komunikasi massa, mempunyai
karakter yang sama, yaitu pesannya bersifat liniear dimana hubungan
komunikasinya searah dari komunikator pada komunikan. Dalam hal ini seorang
penyanyi yang menjadi komunikator untuk menyampaikan pesan kepada
komunikan (pendengar). kemudian komunikan anonim dan heterogen, yang
artinya dimana komunikator atau penyanyi tidak mengenal komunikannya yang
mana komunikan itu terdiri dari lapisan-lapisan masyarakat yang berbeda.
Komunikatornya terlembaga yaitu pesan yang sampai ke komunikan melalui
proses yang memerlukan banyak pihak yang telibat. Artinya, si penyanyi memiliki
struktur dalam menyampaikan pesan. Baik itu pesannya dalam bentuk rekaman
video/suara harus melalui proses yang melibatkan banyak pihak.
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya
hal lain. Contohnya asap menandai api, sirene mobil yang keras meraung-raung
menandai adanya kebakaran di sudut kota. Lebih jelas lagi, kita banyak mengenal
tanda-tanda dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Misalnya, bila di
sekitar rumah kita ada tetangga yang memasang janur maka itu petanda ada
hajatan perkawinan, tetapi bila terpasang bendera warna kuning di depan rumah
dan sudut jalan maka itu petanda ada kematian (Wibowo, 2011: 5).
Umberto Eco mendefenisikan semiotika adalah sebagai displin yang
mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk berbohong, karena jika
sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai
untuk apapun juga (Danesi, 2010: 33).
Teori mengenai apa yang disebut ‘semiotika signifikasi’ tidak dapat
dilepas dari dasar-dasar ‘semiotika struktural’ yang dikembangkan oleh Ferdinand
de Saussure. Saussure mendefinisikan ‘semiotika’ (semiotics) di dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dalam definisi tersebut adalah sebuah
relasi, bahwa bila tanda merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku.
Ada sistem tanda (sign system) dan ada sistem sosial (social system), yang keduanya saling berkaitan. Dalam hal ini, Saussure berbicara mengenai konvensi
sosial (social convention) yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengkombinasian dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu,
sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial (Sobur, 2004: 159).
Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika
mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi,
keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009: 27).
Tanda menurut pandangan Pierce (Sobur, 2004: 17), adalah sesuatu yang
yang dapat diperkirakan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara
lima istilah:
S (s,i,e,r,c)
S adalah adalah untuk semiotic relation(hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsiran); e untuk effect (pengaruh); r untuk refrence (referensi); c untuk context (konteks) atau condition (kondisi)
Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang
salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi
yaitu pengirim, penerima, kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan
acuan yang dibicarakan. Sementara, semiotika signifikasi tidak ‘mempersoalkan’
adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis yang kedua, yang lebih diutamakan
adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima
tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya (Wibowo, 2011: 6-7).
Menurut Morissan (2009: 47), semiotika dibagi atas tiga wilayah, yaitu:
1. Semantik membahas tentang bagaimana tanda berhubungan dengan
referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan
dua dunia, yaitu dunia benda dan dunia tanda, dan menjelaskan hubungan
keduanya. Semiotika semantik menguraikan tentang pengertian suatu
tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Perwujudan makna suatu
rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin
disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan
diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin
disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
2. Sintaktik dalam studi semiotika adalah studi mengenai hubungan di antara
tanda. Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa
memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap prilaku
subyek. Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek
yang menginterpretasikan.
3. Pragmatik, yaitu bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam
mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan. Pragmatik
menguraikan tentang asal-usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan dalam
batas perilaku subyek.
2.3.1. Semiotik Charles Pierce
Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama yakni, tanda, objek dan makna. Tanda menurut
pandangan Pierce (Sobur, 2004: 40), adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi
(cultivated). Tanda menurut Pierce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan indeks (tanda
yang muncul dari hubungan sebab akibat). Ia hadir dalam proses interpretasi
(semiosis) yang mengalir.
Tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam
batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh Pierce
disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan tanda baru, yang
dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant. Interpretant adalah pemahaman makna yang muncul dalam diri
penerima tanda, artinya konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Misalnya jika kita mendengar kata “hamster”, maka di dalam pikiran kita
akan muncul sebuah asosiasi dengan kata hewan tertentu. Kata “hamster”itu
sendiri bukanlah hewan, namun asosiasi yang kita buatlah (interpretant) yang
menghubungkan keduanya. Ketiga elemen tersebut yakni sebagai berikut:
1. Tanda, yakni seperti kata “hamster” terdiri dari beberapa huruf hingga
tercipta kata “hamster”, adalah wakil dari tanda.
2. Referen, yakni objek yang tergambarkan oleh kata “hamster” yang
terbentu di dalam pikiran, yakni hewan berkaki empat.
3. Makna, yaitu gabungan tanda dan referen yang terbentuk di dalam pikiran.
Makna “hamster” bagi mereka yang menyukai “hamster” adalah hewan
yang menyenangkan dan lucu. Sebaliknya makna “hamster” bagi mereka
pikiran mereka hamster sebangsa dengan tikus yang ada di got. Tanda dan
referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi.
Hubungan ketiga bagian ini dijelaskan dalam model yang dibuat oleh C.K
ogden dan I.A Richard pada skema berikut (Morissan, 2009: 45) :
Gambar 2.1 Segitiga Makna
Sumber: Morissan, 2009: 45, Teori Komunikasi: Tentang Komunikator, Pesan, Percakapan dan Hubungan.
Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna
muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan saat berkomunikasi. Pada
dasarnya, semiosis data dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat
diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah
sebagai berikut:
S (s,i,e,r,c)
S adalah adalah untuk semiotic relation(hubungan semiotik); s untuk sign (tanda);
i untuk interpreter (penafsiran); e untuk effect (pengaruh); r untuk refrence (refrensi); c untuk context (konteks) atau condition (kondisi).
2.3.2. Semiotik Ferdinand De Saussure
Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial” (Trabaut, 1996: 22). Menurut
Saussure tanda terdiri dari:
“hamster”
Kata (Simbol)
Objek (referen)
1. Bunyi-bunyi dan gambar (sounds and images), disebut signifier 2. Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar disebut signified
Model semiotika dari Saussure terdiri dari Sign (tanda), Composed of (terdiri dari), Signifer Signifed Referent (external reality)
Tanda (sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari
realitas yang ingin dikomunikasikan. Objek tersebut dikenal dengan referent. Dalam komunikasi seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang
objek dan orang lain menginterpretasikan tanda tersebut. Syaratnya komunikator
dan komunikan harus mempunyai bahasa atau pengetahuan yang sama terhadap
sistem tanda.
Sebuah tanda terdiri dari penanda (signifier)yang adalah gambaran fisik nyata dari tanda ketika kita menerimanya dan petanda (signified)yang adalah konsep mental yang mengacu pada gambaran fisik nyata dari tanda. Konsep
mental dikenali secara luas oleh anggota dari suatu budaya yang memiliki bahasa
yang sama (Fiske, 2012: 73).
Saussure menegaskan bahwa petanda adalah sesuatu yang bersangkut-paut
dengan aktivitas mental seseorang yang menerima sebuah penanda. Menurut
Saussure, tanda mengekspresikan ide-ide dan menanadaskan bahwa dia tidak
sepakat dengan interpretasi Platonis atau istilah ide yaitu ide sebagai
peristiwa-peristiwa mental yang jadi sasaran pikiran manusia. Dengan demikian, tanda
secara implisit dipandang sebagai sarana komunikatif yang bertempat diantara dua
orang manusia yang bermaksud melakukan komunikasi atau mengekspresikan
sesuatu satu sama lain (Eco, 2009: 20).
2.3.3. Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes
meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan
pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan
ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
penanda-petanda yang diusung Saussure (Sobur, 2004: 58).
Dalam semiologi Roland Barthes, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem
tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam
waktu tertentu. Dalam hal ini, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan
makna. Dan konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai
‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran bagi
nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu (Sobur, 2004: 70).
Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru,
sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut
sebagai gejala metabahasa dan membentuk apa yang disebut dengan kesinoniman
(synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan istilah denotasi oleh Barthes disebut sistem primer, kemudian
pengembangannya disebut skunder. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak
hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai
tanda dan situasi pemahamannya (Wibowo, 2011: 17).
Aliran semiotik yang diusung oleh Barthes adalah aliran semiotika
konotasi. Para ahli semiotika aliran konotasi pada waktu menelaah tanda tidak
bepegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui
konotasi (Pateda, 2001: 53).
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan gabungan antara penanda dan petanda (makna denotasi). Pada tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam
tanda, dan antara tanda dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini
mengacu pada makna sebenarnya (nyata) dari penanda (objek). Dan signifikasi
tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).
Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos dan simbol)
dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau
dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama dalam peta Roland
Barthes.
Gambar 2.2 Peta tanda Roland Barthes
1. signifier
(penanda)
2. signified
(petanda)
3. denotative sign (tanda denotatif)
4. connotative signifier
(penanda konotatif)
5. connotative signified
(petanda konotatif)
6. connotative sign (tanda konotatif)
Sumber: Sobur, Alex, 2004: 69, Semiotika Komunikasi
Dari tabel Barthes diatas, akan terlihat tanda denotatif (3) yang terdiri dari
penanda (1) dan petanda (2). Pada bersamaan juga, denotatif adalah penanda
konotatif (4). Jadi menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya.
Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci
dari analisisnya, Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas
model ‘glossematic sign’(tanda-tanda glossemetic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, dan fokus pada makna konotasi. Konotasi adalah istilah
yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Pada level
ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dalam denotasi menjadi penanda bagi
babak kedua pemunculan makna. Petanda pada level ini adalah konteks, baik
personal maupun budaya, yang didalamnya pembaca pendengar, atau pengamat
tanda memahami dan menafsirkannya (Barton, 2010: 108). hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan.
Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam
tingkatannya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang
berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif)
Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap
pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh
kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap
sehingga lama-kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes
membuktikannya dengan melakukan pembongkaran makna (Barthes, 2007: 82).
Sedangkan Van Zoest menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam
teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya.
Dalam perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya
dengan mencari indikasi fiksional dalam teks, yang secara keseluruhan disajikan
sebagai nonfiksional (melalui indikasi nonfiksional dengan sifat ferensial:
nama-nama orang yang kita kenal secara nonfiktif). Kelompok indikasi nonfiksional
yang paling penting mungkin ialah indikasi peristiwa. Peristiwa yang terjadi boleh
jadi sedemikian klise atau begitu tak bisa dipercaya sehingga dunia yang
digambarkan, yang pada dasarnya nyata, memperlihatkan tanda-tanda dunia fiktif
seperti yang kita kenal dalam dongeng dan sebagainya (Sobur, 2004: 210).
Ciri-ciri mitos menurut Barthes dalam buku Adhithia (2010: 38)
1. Deformatif
Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan sigification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Significationinilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang
sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, formdan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian,
formdikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila
makna mitos sudah terkandung di dalam form. 2. Intensional
Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara
intensional. Mitos berakar dari konsep histori. Pembacalah yang harus
melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali
arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun,
ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang berbeda
dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi bergenting merah,
berdinding setengah kayu berwarna coklat tua, beratap asimetris, secara
spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque. 3. Motivasi
Bahasa bersifat arbiter, tetapi kearbiteran itu mempunyai batas. Misalnya
melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca-dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbiter, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa
kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan
bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi berrsifat historis.
Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari
minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan, namun
Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang
diminumnya bukan sekedar untuk mabuk-mabukan, hal itu ditunjukkan pula
dengan adanya pelabelan tahun pada minuman tersebut. Anggur dengan merk
tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu
makan anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai
makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan
demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan tertanam di dalam praktik kehidupan
sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos.
Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki
kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Sedangkan
Eriyanto (2001: 146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis
wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya karena teks, perckapan dan
lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi
tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata
logia berasal dari kata logosyang berarti kata-kata, dan arti kata logiaberarti science(pengetahuan) atau teori.
Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan cara meneliti pelbagai
konotasi di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks.
Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan-kesatuan
mitos yang koheren) adalah makna-makna yang memiliki wadah dalam ideologi.
Ideologi harus dapat diceritakan. Dan cerita itu adalah mitos. Setiap
bangsa memiliki cerita-cerita kunonya dan cerita turun-temurun yang disebut
mitos mengenai bangsanya. Mitos adalah uraian naratif ataupun penuturan sesuatu
yang suci, yaitu kejadian-kejadian luar biasa, di luar pengalaman manusia
sehari-hari (Sobur, 2004: 209).
Misalnya: Rumah yang tua dan tidak dipakai lagi menimbulkan konotasi
“angker” karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi “angker” ini
kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol rumah
tua, sehingga rumah tua yang angker bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi
berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini “rumah
tua yang angker” akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.
2.4 Representasi
Menurut Eriyanto (2001: 113), istilah representasi itu menunjuk pada
bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan.
Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok
atau gagasan tersebut ditampilkan semestinya. Kedua, bagaimana representasi
tersebut ditampilkan.
Menurut David Croteau dan William Hoynes (2000: 194) representasi
merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal
tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan
digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses
seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian
tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda
lain diabaikan.
Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi
atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam
pemberitaan. Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain
di luar pemberitaan. Intinya bahwa sama dengan berita (Wibowo, 2011: 122-123).
Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi
mendefinisikannya sebagai berikut: proses merekam ide, pengetahuan atau pesan
dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat
sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru
sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa
bentuk fisik. Di dalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah
representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkan (baik jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan
petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem
penanadaan).
Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam
rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada dalam bentuk material
maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya
menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari
pembuatbentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk
ini, tujuan pembuatnya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks, yang
memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis,
terbentuklah disini suatu terminologi yang khas (Danesi, 2010: 3-4).
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi
mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing
(peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak.
Kedua, ‘bahasa,’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep
abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang
lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu
dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak
menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media
menunjukkan bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat
Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep
resepresentasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru.
Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu
terjadi proses sebagai negosisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah
suatu kegiatan atau proses statis, tetapi merupakan proses dinamis yang terus
berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna
tanda, yaitu manusia sendiri yang terus bergerak dan berubah. Representasi
merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru
menghasilkan pemaknaan baru, yang merupakan hasil pertumbuhan konstruksi
pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini
menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.
2.5 Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan
istilah yang membingungkan (Sobur, 2004: 255). Orang-orang sering
menggunakan istilah pesan dan makna secara bergantian akan tetapi, ‘pesan’ itu
tidak sama dengan ‘makna’, pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan
beberapa pesan bisa memiliki satu makna.
Menurut Blumer, tiga premis utama dalam proses penafsiran makna adalah
sebagai berikut: (1) individu memberi tanggapan terhadap sesuatu secara simbolik
sesuai batasan yang mereka berikan terhadap situasi yang dihadapinya, (2) makna
adalah hasil interaksi sosial yang dinegosiasi melalui bahasa, dan (3) makna yang
ditafsirkan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan
konteks situasi (Bustan, 2008: 5).
Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal)
dan manusia. makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata
membangkitkan makna dalam pikiran orang, Jadi tidak ada hubungan langsung
antara objek dan simbol yang digunakan untuk mempresentasikannya. Ketika kita
mengatakan “saya sakit kepala” pengalaman itu nyata bagi kita, namun pada saat
itu tak seorang pun yang dapat merasakan sakit kita. Jadi hubungan itu diciptakan
dalam pikiran si pembicara. Seperti yang telah dikemukakan oleh C.K Ogden dan
I.A. Richards dalam diagram segitiga makna. Garis putus-putus antara objek atau
langsung atau ilmiah antara kedua hal itu (Mulyana, 2007: 84). Makna sendiri
dapat digolongkan ke dalam makna denotasi dan makna konotasi.
2.5.1. Makna Denotasi
Makna denotatif adalah makna sebenarnya (factual), seperti yang ditemukan di dalam kamus. Karena itu makna denotatif lebih umum. Sejumlah
kata bermakna denotatif, namun banyak juga yang bermakna konotatif, lebih
bersifat pribadi, yakni makna diluar rujukan objektifnya. Dengan kata lain, makna
konotatif lebih subjektif dan emosional daripada makna denotatif.
Spradley menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang dirujuk oleh
kata-kata (makna refrensial). Sedangkan menurut Pierce, tahap denotatif, yaitu
mencatat semua tanda visual yang ada. Misalnya, ada gambar manusia, binatang,
pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, hijau, biru dan
sebaginya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. Sementara
Saussure mengidentifikasikan makna denotatif sebagai makna-makna yang dapat
dipelajari pada fisik benda-benda (prinsip anatomis, material, fungsional)
(Tinarbuko, 2003: 37).
Menurut Lyons, denotasi merupakan makna objektif dan tetap, sedangkan
konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua
makna tersebut ditentukan oleh konteks. denotasi adalah hubungan yang
digunakan dalam tingkat pertama sebuah kata yang secara bebas memegang
peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna
khusus yang terdapat dalam sebuah tanda. Harimurti Kirdalaksana mendefinisikan
denotasi sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas
penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas
konvensi tertentu, sifatnya objektif” (Sobur, 2004: 263).
2.5.2. Makna Konotatif
Menurt Pateda, konotasi diartikan sebagai “aspek makna” sebuah atau
kelompok kata yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata
lain, makna konotatif merupakan makna leksikal. Kata amplop bermakna sampul
yang berfungsi tempat surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau
kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu semua beres”, maka kata amplop sudah
bermakna konotatif, yaitu berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih ada
hubungan, karena amplop bisa diisi dengan uang. Dengan kata lain, kata amplop
mengacu pada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin ataupun
uang sogok (Sobur, 2004: 263).
Makna konotatif meliputi semua signifikasi sugestif dari simbol yang lebih
daripada arti referensialnya. Menurut Pierce, dalam tahapan konotatif, kita
membaca yang tersirat. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat
diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagian. Tetapi sebaliknya, bisa saja
tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. untuk
memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula.
Sedangkan catatan Saussure menyebutkan bahwa makna konotatif adalah
makna-makna lebih dalam (ideologis, mitologis, teologis) yang melatari bentuk-bentuk