BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengetahuan
Pengetahuan merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Tanpa ada pemikiran tersebut, maka pengetahuan tidak akan ada. (Hidayat, 2008).
2.1.1.Defenisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indera. Pengetahuan atau kognitif merupakan desain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007)
2.1.2.Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007) ada enam tingkatan pengetahuan didalam domain kognitif yang meliputi:
a. Tahu (know)
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi adalah kemampuan untuk mengungkapkan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang riil.
d. Analisis (analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut.
e. Sintesis (sintesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian- bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau objek penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.1.3.Faktor faktor yang mempengaruhi pengetahuan
a. Umur
Dengan bertambahnya umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Makin tua umur seseorang akan makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi.
b. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah mencerna informasi sehingga semakin banyak juga pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pendidik an yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai- nilai yang baru diperkenalkan.
(Nursalam, 2001) c. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang. Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Oleh karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, sehingga penghayatan pengalaman akan lebih lama membekas.
d. Informasi
e. Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.
2.2. Konsep Kepatuhan
2.2.1.Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan keprilaku yang mentaati peraturan (Notoatmodjo, 2003).
Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dan perilaku yang disarankan. kepatuhan ini dibedakan menjadi dua yaitu kepatuhan penuh (total compliance) dan penderita yang tidak patuh (non compliance).
2.2.2.Faktor faktor yang mendukung kepatuhan
Menurut Feuer Stein dalam Niven (2002) ada beberapa faktor yang mendukung sifat patuh, diantaranya :
a.Pendidikan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
Domain pendidikan dapat diukur dari (Notoatmodjo, 2003) :
1). Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan(knowledge).
2) Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude)
3) Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan.
b . Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial.
Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program pengobatan.
d.Perubahan model terapi .
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi diagnosa.
2.3. Konsep ISPA 2.3.1. Defenisi Ispa
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut diperkenalkan pada tahun 1984. Istilah ini merupakan padanan dari istilah inggris acute respiratory infections. Secara anatomis, ISPA dibagi dalam dua bagian yaitu ISPA atas dan ISPA bawah (Maryunani, 2011)
Menurut Amin. M, dkk ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh jasad renik bakteri, virus maupun riketsia, tanpa/disertai radang parenkim paru.. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru.
2.3.2. Cara penularan ISPA
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya.
Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.
2.3.3. Tanda-tanda Bahaya
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
2. 3.4. Tanda-tanda klinis
Malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, nausea, insomnia. Kadang-kadang dapat juga terjadi diare.
Dikatakan Pneumonia apabila frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih pada usia 2-12 bulan, dan 40 x/menit atau lebih pada usia 12 bulan -5 tahun. Terdapat tarikan dinding dada kedalam, stridor (Nursalam, 2005).
Pada pemeriksaan laboratorium jarang terjadi lekositosis, paling sering jumlahnya normal atau rendah. Lekopenia yang rendah bilangan angkanya menunjukkan gambaran klinik yang berat. Pada hitung jenis dapat dijumpai eosinofilia, limfofenia, netrofilia. Lekositosis dengan peningkatan sel PMN yang juga ditemukan dalam sputum menandakan adanya infeksi sekunder bacterial (Amin, 1989).
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam dan dingin.
2.3.5. Klasifikasi ISPA
Infeksi saluran pernafasan bagian atas mencakup nasofaringitis, faringitis,
dan tonsillitis.
b. Faringitis adalah infeksi virus atau bakteri dan inflamasi pada faring, jarang terjadi pada bayi sebelum usia 1 tahun, insidensi faringitis meningkat antara usia 4 dan 7 tahun.
c. Tonsilitis adalah infeksi virus atau bakteri dan inflamasi pada tonsil. Insidensi tonsillitis meningkat pada anak-anak usia sekolah (Muscari, 2005).
Infeksi saluran pernafasan bagian bawah
a. Bronkiolitis merupakan infeksi virus pada saluran pernafasan bagian bawah dengan karakteristik peradangan bronkiolus dan produksi mucus, biasanya mengikuti infeksi saluran pernafasan bagian atas (Muscari, 2005).
b. Laringo-trakeo-bronkitis disebabkan oleh virus dan bakteri hemofilus influenza, Pada kasus yang ringan, hanya laring dan trakea yang terkena. Tetapi pada kasus yang lebih berat, infeksi menyebar kebawah bahkan mengenai bronkus yang terkecil, sehingga terjadi penyempitan dan kesulitan bernafas (Jelliffe, 1994).
c. Pneumonia adalah radang parenhim paru, penyebabnya adalah bakteri, virus, mycoplasma pneumonia, jamur, aspirasi, pneumonia hypostatic dan sindrom Loeffler (Nursalam, 2005).
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:
• Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat. • Bukan pneumonia : ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai
demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolo ng bukan pneumonia.
2.3.6. Faktor Resiko terjadinya ISPA 1. Faktor Lingkungan
a) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.
b) Ventilasi Rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
c) Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2 (Maryunani, 2011).
2. Faktor Individu anak a) Umur anak
b) Berat badan lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi.
c) Status Gizi
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi no rmal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.
d) Vitamin A
Pemberian Vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya berada dalam nilai yang cukup tinggi
e) Status imunisasi
Sebagian besar kematian ISPA dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi campak dan pertusis.
3. Faktor Perilaku
besar dekat balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit. (Maryunani, 2011).
2.3.7. Penatalaksanaan Kasus ISPA
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA) .
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan
bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan di klasifikasikan.
2. Pengobatan
o Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan sebagainya.
o Pneumonia : Diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
oBukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
3. Perawatan dirumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.
? Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
? Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
? Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih- lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
? Pemberian minuman
? Lain- lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih- lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.
2.3.8. Pencegahan dan Pemberantasan Pencegahan dapat dilakukan dengan :
Ø Menjaga keadaan gizi agar tetap baik. Ø Imunisasi.
Ø Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan. Ø Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Pemberantasan yang dilakukan adalah :
Ø Penyuluhan kesehatan yang terutama di tuj ukan pada para ibu. Ø Pengelolaan kasus yang disempurnakan.
Pelaksana pemberantasan
Tugas pemberantasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya. Sebagian besar kematian akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan dari petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat mela lui aktifitas kader akan sangat membantu menemukan kasus-kasus pneumonia
yang perlu mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlu segera dirujuk ke rumah sakit.
Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
Ø Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana
atau sarana dan tenaga yang tersedia.
Ø Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan
standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.
Ø Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia
berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.
Ø Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa
dirujuk ke rumah sakit.
Ø Bersama dengan staf puskesmas memberikan penyuluhan kepada
Ø Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri
wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,
Ø Melatih kader untuk bisa mengenal kasus pneumonia serta dapat
memberikan penyuluhan terhadap ibu- ibu tentang penyaki ISPA, Ø Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi