• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan HAM terhadap Sanksi Kebiri Kimiawi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan HAM terhadap Sanksi Kebiri Kimiawi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 T1 BAB II"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebagaimana judul di atas, Bab ini berisi gambaran hasil tinjauan

kepustakaan atau kajian atas literatur Hukum yang secara khusus membicarakan

tentang berbagai kaedah atau asas hukum yang mengatur tentang Hak Asasi

Manusia.

Bab ini juga berisi analisa dalam rangka menjawab pertanyaan dalam

perumusan masalah, yaitu Apakah pemberatan sanksi berupa tindakan kebiri

kimia dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1

Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak sesuai dengan asas dan tujuan serta

Norma-norma dalam Hak Asasi Manusia?

Gambaran hasil studi kepustakaan tentang Hak Asasi Manusia tersebut

Penulis pilah ke dalam beberapa sub bab yaitu antara lain Pengertian Hak Asasi

Manusia dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia di

dalam Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Hak Asasi Manusia

dalam Hukum Pidana dan Peradilan Pidana Indonesia, Hak Asasi Manusia dari

Perspektif Kejahatan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan, Hak Asasi Manusia

(2)

2.1

Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi fundamental untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia,

maka perlu dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif “hak”

merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku,

melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia

dalam menjaga harkat dan martabatnya1. Hak sendiri mempunyai beberapa

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Pemilik hak;

b. Ruang lingkup penerapan hak;

c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.2

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.

Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap

manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan

hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan

instansi.

Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan

pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg.

Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk

dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel

Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim

1 TIM ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada

Media, Jakarta, 2003, h. 199.

(3)

yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai

pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari

pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara

hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam

perwujudannya. Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan

kewajiban.3

The cambridge Dictionary of Philosophy, buku yang diedit oleh Robert Audi memberikan penegasan tentang hak sebagai berikut:

Rights, advantegous positions conferred on some prossessors by law, morals, rules, or other norms. There is no agreement on the sense in which

rights are advantages. Will theories hold that rights favor the will of the possessor over th conflicting will of some other party; interest theories mantain that rights serve to protect or promote the interests of the high

holder4.

Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum, moral, peratauran atas

norma-norma lain dapat memberikan hak kepada seseorang. Dengan kata lain,

kedudukan yang menguntungkan bagi para pemilik hak dapat ditoleransi melalui

aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dalam penerapannya

terdapat perbedaan yang terjadi karena stressing point yang berbeda.

3Ibid., h. 200.

(4)

Kalau mengikuti teori kemauan (will theory), yang dipegangi adalah bahwa hak megutamakan kemauan pemilik hak dari berbagai keinginan yang

berbeda dengan pihak lain. Sementara teori kepentingan (interest theory), lebih

menekankan bahwa hak berperan untuk melindungi atau mengembangkan

kepentingan pemilik hak. Kedua teori besar ini lahir sebagai produk pemikiran

sejarah peradaban manusia. Tentunya, keduanya mencerminkan perlakuan yang

berbeda sebagai wujud manifestasi interaksi antara manusia yang satu dengan

manusia lainnya.5

Dalam bukunya, ilmu hukum, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa suatu

kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh

hukum, tetapi juga karena adanya pengakuan. Pengakuan ini penting dilihat

sebagai ratio legis munculnya sikap bersama bahwa susuatu hak yang melekat

bagi pemiliknya dipahami dan disadari dapat menghasilkan

keteraturan-keteraturan. Sehubungan dengan ini, Audi mengungkapkan bahwa disamping ada

hak hukum, juga terdapat hak alami. Ia mengatakan sebagai berikut: “Just as positive law posited by human lawmakers confers legal rights, so the natural law

confers natural rights”.6

Untuk memberikan kejelasan tentang hak hukum dan hak alami, Nur

Ahmad Fadhil Lubis memberikan uraiannya; kalau yang pertama dapat ditarik

kembali atau dalihkan sesuai dengan ketentuan lawmakers, maka yang terakhir

bersifat melekat dan abadi pada pemiliknya. Hak dalam bentuk terakhir ini tidak

5Ibid., h. 36.

(5)

dapat ditanggalkan, baik oleh raja atau negara sekalipun, inalienable rights. Audi

menyebutkan yang pertama sebagai advantegous positions under the law of a

society, sedangkan yang terakhir ia namakan dengan most fundamental rights.

Kecuali itu, status ternyata memiliki peran sentral dalam memberikan dan

menentukan hak tertentu, kata Audi. Menurutnya lagi, hak sangat terkait erat

dengan status. Hak anak misalnya, merupakan hak yang melekat pada status

seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anak. Demikian juga dengan hak

wanita, hak buruh, hak orang tua, hak perusahaan, dan sebagainya. berarti, karena

status seseorang mengalami perubahan yang tidak saja diakibatkan oleh

perubahan sosial dan ekonomi seperti status buruh dan majian, maka hak juga

mengalami perubahan sesuai dengan pihak mana seseorang itu berhadapan dan

berinteraksi.7

Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru

tetap melekat sebagai pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusian, terlepas dari

perbedaan jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama,

dan lain-lain. inilah selanjutnya yang menghasilan lahirnya konsepsi HAM.

Dengan kata lain, HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran manusia

tentang hakikat dirinya. Sebagai pengemban fitrah kemanusiaan yang bersifat

universal dan eternal. Dengan mengagumkan, Audi mengungkapkannya sebagai

berikut:

It seems sampler to appeal instead to fundamental rights that must be

iniversal among human beings because they are possessed merely by

(6)

virtue of one’s status as a human being. Human rights are still thought of

as natural in the very broad sense of existing independently of any human action or institution.8

Sejalan dengan itu seorang ilmuwan politik Maurice cranston sebagaimana

dikutip oleh T. Mulya Lubis dalam disertasinya In Search of Human Rights;

legal-political Dilemmas of Indonesia’s New Orde 1966-1990, mengatakan bahwa:

That rights must pass the test of universality, praticality, an paramount importance, and that it is these rights which should be regarded as the

inalienable rights to every human being... However, in the final analysis, the effectiveness of human rights depend largely on acceptance of political

realities9.

Meskipun ada perbedaan antara hak hukum dengan hak lainnya, namun

hal itu bukan berarti bahwa hak jauh dari konsepsi umum yang menegaskannya

sebagai sesuatu yang eksis dalam masyarakat, demikian pandangan G.W Paton

dalam bukunya A Text Book of Jurisprudence. Menurutnya perbedaan itu

dipandang sebagai realitas adanya implikasi baru yang memberikan pengaruh

yang bersifat alami terhadap hukum. Korelasi antara keduanya akan semakin

menjadikan hak lebih tegas baik untuk melindungi atau melarang seseorang untuk

melakukan sesuatu10.

8Ibid., h. 37.

(7)

Dari teori-teori diatas pengertian hak memilki perkembangan dari waktu

kewaktu, memiliki jenis yang berbeda dan melekat pada status pemilik hak.

Setelah mengetahui mengenai pengertian hak tersebut maka terdapat hak yang

dikategorikan sebagai hak alami atau hak hakiki atau kodrati dikenal dengan nama

Hak Asasi Manusia.

Pengertian Hak Asasi Manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang

dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. Pemahaman atas hak asasi

yang demikian ini merupakan pemahaman yang sangat umum dengan tanpa

membedakan secara akademik hak-hak yang dimaksud serta tanpa

mempersoalkan asal-usul atau sumber diperolehnya hak tersebut. Pengertian Hak

Asasi Manusia seperti pemahaman tersebut memang tidak salah, namun karena

pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang sempit mengenai Hak Asasi

Manusia, maka penerapan terhadap hak tersebut sering salah kaprah atau sering

disalah gunakan. Untuk itu guna memperoleh pemahaman yang lebih sempurna

tentang Hak Asasi Manusia, perlu dipahami istilah-istilah yang memberi

pengertian secara tepat mengenai Hak Asasi Manusia11.

Ditinjau dari berbagai istilah yang ditemukan dalam literatur, Hak Asasi

Manusia merupakan terjemahan dari droits de l’homme dalam bahasa Perancis

yang berarti hak manusia, atau dalam bahasa Inggrisnya human rights dan dalam

bahasa belanda disebut mensenrechten. Dalam kepustakaan lain digunakan istilah

hak-hak dasar yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris

dan grondrechten dalam bahasa belanda, sebagian orang menyebutnya dengan

11 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2014,

(8)

hak-hak fundamental sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa

Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa belanda. Istilah lain tentang Hak

Asasi Manusia sebagaimana dikemukakan oleh hadjon (1987:38), ada

kepustakaan dalam bahasa Inggris yang menggunakan istilah natural right dan

dalam bahasa Belanda digunakan istilah rechten van den mens sedang dalam

kepustakaan yang berbahasa Indonesia terdapat istilah-istilah seperti hak-hak asasi

manusia, hak-hak dodrat dan hak-hak dasar12.

Pada sisi lain kepustakaan hukum selain menggunakan istilah hak dasar

sebagai terjemahan dari istilah grondrachten, frundrechte, fundamental rights,

droits fundamentaux juga mempergunakan istilah hak-hak asasi manusia sebagai

terjemahan dari mensentechten, menchenrechte, human rights, dan droits de

l’homme.13

Dari peristilahan diatas, perlu dibedakan pengertian antara hak-hak asasi

dengan hak-hak dasar. Perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut adalah

bahwa; hak-hak asasi menunjuk pada hak-hak yang memperoleh pengakuan

secara internasional sedang hak dasar diakui melalui hukum nasional. Konotasi

hak-hak asasi manusia terkait erat dengan asas-asas idea dan politis, sedangkan

hak dasar merupakan bagian dari hukum dasar. Selanjutnya hak-hak asasi dimuat

dalam dokumen politik sehingga sifatnya lebih dinamis dibandingkan dengan

hak-hak dasar yang dituangkan dalam dokumen yuridis seperti Undang-Undang Dasar

(konstitusi) dan dalam Konvensi Internasional. Dengan demikian mengacu pada

hal tersebut diatas, pengertian Hak Asasi Manusia kiranya harus dipahami juga

12Ibid., h. 129.

(9)

sebagai hak dasar. Hal ini tidak lain karena istilah hak dasar maupun Hak Asasi

Manusia kiranya harus dipahami juga sebagai hak dasar. Hal ini tidak lain karena

istilah hak dasar maupun Hak Asasi Manusia yang populer dan lazim

dipergunakan di masyarakat, pada prinsipnya mempunyai pengertian yang sama.

Di samping itu pembatasan terhadap hak tersebut juga dilakukan secara yuridis

dan moral, artinya Hak Asasi Manusia selain diatur melalui norma-norma hukum

juga dirumuskan dalam statement-statement politik. Walaupun dalam kepustakaan

terdapat perbedaan pengertian, antara hak dasar (grondrechten) dengan hak asasi

(mensenrechten) namun bukan perbedaan ini yang menjadi permasalahan pokok dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Perbedaan ini hanya diperlukan untuk

analisis akademik, bukan untuk praktek pemerintahan.14

Bertolak dari pembedaan peristilahan dimaksud diatas, pengertian Hak

Asasi Manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah hak untuk

kebebasan persamaan dalam derajat yang diperoleh sejak lahir serta tidak dapat

dicabut dari seseorang. Sedangkan mernurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia didefinisikan sebagai hak dasar

yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng,

oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh

diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun15.

Pengertian Hak Asasi Manusia diatas tersebut sekurang-kurangnya

mengandng tiga hak elementer yang tidak boleh dicabut dari seseorang sebagai

14Ibid. h. 130.

(10)

individu, yakni hak untuk hidup, hak untuk dianiaya, dan adanya kebebasan.

Disamping itu ada hak ekonomi, sosial dan budaya yang dimiliki setiap orang

sebagai anggota masyarakat dan tidak dapat dikesampingkan bagi martabat

manusia dan kebebasan dalam mengembangkan kepribadiannya.

Dari pengertian dasar Hak Asasi Manusia juga muncul pengakuan bahwa

setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional sehingga dalam

melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada pembatasan yang

ditetapkan oleh hukum.

2.2

Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata

karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya

oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata

berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian, faktor-faktor seperti

ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat menegasikan eksistensi Hak

Asasi Manusia pada diri manusia.16

Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat merunut konsep Hak Asasi

Manusia yang sederhana sampai kepada fisafat stoika di zaman kuno lewat

yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari

Undang-undang Romawi, tampa jelas bahwa asal usul konsep Hak Asasi Manusia yang

modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada

abad ke 17 dan ke 1817.

(11)

Hugo de Groot- seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai

“bapak hukum internasional” atau yang dikenal dengan nama latinnya, Grotius,

mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus

asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang

rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya,

salah seorang kaum terpelajar pasca-renaisans, John Locke mengajukan pemikiran

mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati.

Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi revolusi hak

dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad

ke 17 dan 1818.

Paham Hak Asasi Manusia Lahir di Inggris pada abad ke 17. Inggris

memiliki tradisi perlawanan yang lama terhadap segala usaha raja untuk

mengambil kekuasaan mutlak. Sementara Magna Carta (1215) sering keliru

dianggap sebagai cikal bakal kebebasan warga negara Inggris, piagam ini

sesungguhnya hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John. Dan

para bangsawannya, dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini sebenarnya

baru dalam Bill of Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi

hak-hak atau kebebasan individu19.

Kemudian, tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus, suatu

dokumen keberadaban hukum bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang

ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan

18Ibid.

(12)

diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan, pernyataan ini menjadi dasar prisnsip

hukum bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim20.

Bill of Rights (1689), sebagaimana diperikan dengan judulnya yang

panjang “An act Declaring the Rights and the Liberties and the Subject and Setting the Succession of the Crown” (Akta Deklarasi Hak dan Kebebasan Kawula dan Tata Cara Suksesi Raja), merupakan hasil perjuangan parlemen melawan

pemerintahan raja-raja wangasa Stuart yang sewenang-wenang pada abad ke 17.

Disahkan stelah Raja James II dipaksa turun takhta dan Willian II serta Mary II

naik ke singgasana menyusul “Revolusi Gemilang” (Glorius Revolution) pada

tahun 1688, Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi

undang-undang yang ada dan bukan merupakan undang-undang-undang-undang yang baru, menundukkan

monarki dibawah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan

Raja untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang di klaim raja adalah

ilegal. Perlu dicatat pula bahwa dengan adanya Bill of Rights timbul kebebasan

untuk berbicara (speech) dan berdebat (debate), sekalipun hanya untuk anggota

parlemen dan untuk digunakan di dalam gedung parlemen.21

Kemudian deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Deklaration of

Independence) pada 1778. HAM di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak

terlepas dari beberapa rumusan sebelumnya seperti Virginia Bill of Right. Dalam

deklarasi ini dapat ditemukan kalimat “kita menganggap kebenaran-kebenaran berikut ini sebagai eviden berikut saja, bahwa semua manusia diciptakan sama,

bahwa mereka dianugerahi oleh pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang

20Ibid., h. 4.

(13)

tidak tak terasingkan”. Hal mana kemudian diperkuat dengan dicantumkannya ketentuan mengenai setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan

dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti

pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut22.

Deklarasi tentang Hak Manusia dan Warga Negara yang dikeluarkan di

Perancis waktu pecahnya Revolusi Perancis (1789) dan secara mendalam

dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan hak asasi dari Amerika. Deklarasi inipun

masih mencoba mengkaitkan keasasian hak-hak tersebut dengan Tuhan. Hal ini

terlihat ketika Majelis Nasional Perancis membacakan deklarasi ini didahului

dengan kalimat “di hadapan wujud tertinggi dan di bawah perlindungan-Nya”. Meskipun semangat revolusi Peranscis begitu menggebu untuk

mengobarkan tendensi anti Kristen dan mengedepankan semangat pencerahan

(Aufklarung), namun mereka tetap mendasarkan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia pada kodrat Tuhan. Pemikiran-pemikiran kaum foundationalism masih

sangat mempengaruhi deklarasi tentang Hak Asasi Manusia dan warga negara

Perancis sebagaimana dalam Declaration of Independence/ Deklarasi

Kemerdekaan di Amerika Serikat. Dengan menitik beratkan pada kelima hak asasi

pemilikan harta (property), kebebasan (liberty), persamaan (egalite), keamanan

(security), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence al’oppresstion).23

Kemudian adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang

diproklamirkan dalam sidang umum PBB pada 10 Desember 1948. Hal yang baru

dalam deklarasi ini adalah adanya pergeseran pendasaran HAM dari kodrat Tuhan

22Ibid

.

(14)

kepada pengakuan akan martabat manusia. Diawal deklarasi disebutkan

Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama serta tak terasingkan dari semua anggota masyarakat merupakan dasar untuk kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia”.24

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini memiliki perbedaan

mendasar dari deklarasi sebelumnya. Louis Henkin dan James W. Nickel dalam

making senses of Human Rihgt (1996) menyebutkan bahwa manifesto Hak Asasi Manusia Mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik

mengenai hak-hak kodrati (sebagai hak yang berasal dari Tuhan), dan lebih

menekankan sifat persamaan (egaliterianisme). Setelah ini, penegakan HAM

menjadi semakin gencar di seluruh dunia. HAM telah mengalami

internasionalisasi.

Dengan latar belakang seperti tersebut di atas, maka menurut Philipus

M.Hadjon25, hak asasi manusia konsep Barat yang pada dasarnya adalah

pembatasan terhadap tindak tanduk negara dan organ-organnya dan peletakan

kewajiban negara terhadap warganya sehingga prinsip yang terkandung dalam

konsep hak asasi manusia adalah tuntutan (claim) akan hak terhadap negara dan

kewajiban yang harus dilakukan oleh negara.

Kemudian, pada tahun 1966 dihasilkan perjanjian internasional (treaty)

yang di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan perlindungan Hak Asasi

Manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) serta hak-hak

24Ibid., h. 6.

25 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 2010,

(15)

ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and

Cultural Rights/ICESCR). Kemudian dikenal dengan istilah “the International Bill of Human Rights”.26

2.3

Hak Asasi Manusia di dalam Hukum Internasional

Perkembangan Hak Asasi Manusia dalam hukum internasional hingga

seperti sekarang ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan

individu dalam hukum internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu

diakuinya individu sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban

tertentu menurut hukum internasional.

Menurut Ved Vanda, hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan

secara dramatis kedudukan (status) individu yang beralih dari semata-mata

sebagai objek menjadi subjek hukum internasional. Individu memiliki hak untuk

mencari pelunasan (redress) di forum internasional. Perlindungan Hak Asasi

Manusia yang diakui secara internasional merupakan suatu perubahan bersifat

revolusioner.27

Dengan status individu sebagai subjek hukum internasional, maka secara

teori individu dapat melanggar hukum internasional (di samping hukum nasional).

Hal tersebut muncul sebagai akibat dari tindakan-tindakan mengerikan oleh rezim

Nazi Jerman. Teori tersebut dihidupkan kembali oleh para sarjana dan ahli hukum

dari negara-negara Barat yang menyatakan bahwa individu dapat melanggar

hukum internasional. Teori tersebut dikenang dalam putusan Pengadilan

(16)

Nuremberg dan Tokyo. Praktik negara kemudian setuju untuk mengadili para

individu atas tindakannya melanggar hukum internasional.28

Berkenaan dengan diadilinya para penjahat perang secara individual di

hadapan Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Ian Brownlie menyatakan bahwa

sejak pertengahan abad ke 19 secara umum telah diakui bahwa ada beberapa

tindakan (acts) atau kelalaian (ommissions) yang menyebabkan berlakunya

tanggung jawab pidana pada para individu dan atas hal itu penghukuman bisa

diberlakukan, baik oleh pengadilan internasional atau nasional dan pengadilan

militer.29

Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di

Nuremberg dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional

mengenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap para individu. Mereka

memiliki kewajiban internasional melebihi kepatuhan terhadap kewajiban yang

dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar hukum perang tidak

dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari negara, jika

negara mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya menurut

hukum internasional.30

Tanggung jawab yang bersifat individual selanjutnya juga diterapkan oleh

Mahkamah Pidana Internasional ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan

kemanusiaan yang terjadi di Bekas Yugoslavia (1993) dan di Rwanda (1994). Hal

28Ibid., h. 15.

(17)

tersebut juga diatur di dalam Piagam Mahkamah Pidana Internasional

(International Criminal Court/ICC) yang mulai berlaku sejak 1 juli 2002.

Dalam hukum perjanjian internasional juga telah diatur bahwa individu

merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum, individu harusbertanggung

jawab secara individual apabila melakukan kejahatan genosida yang merupakan

kejahatan menurut hukum internasional, terlepas dari jabatan yang dimilikinya.

Hal tersebut diatur dalam Convention on the Prevention and Punishment of the

Crime of Genocide tahun 1948, yaitu sebagai berikut: “persons commiting genocide or any of the other act enumerated in article II shall be punished, wheter

they are constitutionally responsible rulers, public officials or private individuals”.31

Berdirinya PBB pada tahun 1945 merupakan saat yang sangat penting

terhadap eksistensi Hak Asasi Manusia. Dibentuknya PBB juga merefleksikan

komitmen dari sejumlah besar negara menyangkut Hak Asasi Manusia. Hal

tersebut terlihat dari ketentuan-ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia yang

terkandung dalam Piagam PBB.32

Beberapa Badan PBB yang terkait dengan Penegakan Hukum dan

Pembentukan standar HAM Internasional:

a. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)

Majelis Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang

setiap negara anggota PBB terwakili di dalamnya. Kewengan dari Majelis Umum

PBB yang terkait dengan HAM adalah membuat rekomendasi dalam bentuk

resolusi, yang diantaranya menghasilkan Resolusi A/RES/217, tentang Deklarasi

(18)

Universal Hak Asasi Manusia, dan kewenangan untuk membuat organ tambahan

(subsidiary organs) yang kemudian membentuk Dewan Hak Asasi Manusia

melalui Resolusi A/RES/60/251.

b. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and

Social Council)

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, seperti halnya Majelis Umum PBB,

merupakan organ utama dari PBB. Tugasnya adalah memberikan bantuan kepada

Majelis Umum PBB untuk peningkatan kerjasama dalam bidan ekonomi dan

sosial. Salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial adalah Komisi

HAM PBB (United Nations Commission for Human Rights) yang kemudian

digantikan oleh Dewan HAM PBB.

Sebagian besar perjanjian internasional HAM, seperti Kovenan

Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political

Rights) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights), merupakan perjanjian yang dihasilkan oleh organ PBB ini.

c. Dewan Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Council)

Dewan HAM PBB, merupakan organ PBB yang dibentuk berdasarkan

Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/60/251, yang menggantikan posisi dari

Komisi HAM PBB. Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap

pelanggaran HAM yang terjadi di dunia. Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai

(19)

d. Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission on

Promotion dan Protection of Human Rigths)

Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM adalah badan dibawah

Dewan HAM yang bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil

dan membuat rekomendasi bahwa HAM dapat terlindungi secara hukum. Sub

Komisi ini terdiri atas 26 ahli HAM.

e. Pertemuan Berkala mengenai Pencegahan Tindak Pidana dan

Penanganan Pelaku Tindak Pidana (Periodic Congresses on the

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)33.

Norma dan standar HAM berasal dari hukum internasional. Sumber

hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam

Mahkamah Internasional terdiri dari 3 sumber utama dan 2 sumber tambahan.

Sumber hukum tersebut adalah:

a. Hukum Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh anggota

masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara, bertujuan untuk

membentuk hukum sehingga mempunyai akibat hukum. Bentuknya dapat berupa

kovenan, konvensi, perjanjian dan lain-lain.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Kebiasaan internasional (Customary International Law) adalah kebiasaan

internasional antar negara-negara di dunia, merupakan kebiasaan umum yang

diterima sebagai ‘hukum’.

33 AE Widiarto, Instrumen Hak Asasi Manusia, 7 Oktober 2009,

(20)

c. Prinsip Hukum Umum

Prinsip Hukum Umum adalah asas hukum umum yang terdapat dan

berlaku dalam hukum nasional negara-negara di dunia. Prinsip ini mendasari

sistem hukum positif dan lembaga hukum yang ada di dunia.

d. Putusan Hakim

Putusan pengadilan internasional merupakan sumber hukum tambahan dari

tiga sumber hukum utama di atas. Keputusan pengadilan ini hanya mengikat para

pihak yang bersengketa saja. Namun demikian, keputusan tersebut dapat

digunakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai

suatu perkara, yang didasarkan pada tiga sumber hukum utama di atas.

e. Pendapat para ahli hukum internasional

Pendapat ahli hukum internasional yang terkemuka adalah hasil penelitian

dan tulisan yang sering dipakai sebagai pedoman untuk menemukan apa yang

menjadi hukum internasional. Meskipun demikian, Pendapat tersebut bukan

merupakan suatu hukum34.

Dalam hukum internasional sebagaimana juga dalam hukum HAM

internasional terdapat beberapa bentuk produk hukum, diantaranya adalah:

a. Resolusi adalah keputusan yang diambil oleh suatu badan dalam

organisasi internasional dalam hal ini adalah PBB. Di PBB terdapat

dua resolusi yang sangat penting, pertama adalah resolusi yang

dihasilkan oleh Majelis Umum PBB. Resolusi ini tidak mempunyai

kekuatan hukum walaupun ada beberapa Resolusi yang cukup

otoritatif seperti Resolusi tentang DUHAM. Kedua resolusi yang

(21)

dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB. Resolusi Dewan Keamana

PBB mempunyai kekuatan hukum, dimana negara anggota PBB harus

mengikuti isi dari resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB.

b. Konvensi adalah perjanjian internasional yang telah mempunyai

kekuatan hukum. Konvensi mempunyai nama yang bermacam-macam

seperti Kovenant, Pakta, Agreement, Charter (Piagam) dan lain-lain.

c. Protocol dan Annex adalah penjelasan atau aturan lebih lanjut dari

Konvensi atau perjanjian internasional. Protokol dan Annex tidak

berdiri sendiri dalam pelaksanaannya, karena terkait erat dengan

perjanjian induknya.35

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk

memenuhi, melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara

universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3):

”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan

menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan

kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin,

bahasa atau agama …”

Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan

instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:

a. Instrumen Hukum yang Mengikat

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human

Rights/UDHR)

(22)

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar

yang diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang

terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima

oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan

kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber

utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil

dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari Hak-hak-Hak-hak dasar yang terdapat

dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10

dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas

kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang

kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan

sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti

bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM

merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.36

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant

on Civil and Political Rights)

Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara

internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:

 Hak hidup;

 Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam,

tidak manusiawi atau direndahkan martabat;

(23)

 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;

 Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan

memenuhi kewajiban kontraktual;

 Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan

peradilan; dan

 Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut

dalam penerapan hukum pidana.37

Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia

turut mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun

2005, sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini

diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia.

Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(International

Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)

Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11

tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam

Kovenan ini adalah:

 Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan

budaya masyarakat.

 Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam

pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat

prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.

37 AE Widiarto, Instrumen Hak Asasi Manusia, 7 Oktober 2009,

(24)

 Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai

sesuatu yang saling terkait satu sama lain.

Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam

pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial

dan Budaya).38

Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide)

Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran

HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan

menetapkan perlunya kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan

kejahatan genosida.

Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang

Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang

Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui

UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat

dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk

mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif

lainnya guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau

pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk

menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi

(25)

sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya

telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu,

memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang

secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya

dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau

kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak

untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam

pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk

berdasarkan aturan yang terdapat didalamnya.39

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial(International

Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)

Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui

UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial

dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini jugamenjamin

hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna

kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan

Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against

Women)

Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia

melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi

instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam

bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara

(26)

melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu

kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan

kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga

mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap

Perempuan (CEDAW).40

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)

Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh

Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus

menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan,

asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara

juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak

dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status,

kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang

sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC)

untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.

Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )

Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi

ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan

istilah “internaly displaced person”atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu

negara. Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan

negaranya karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau

(27)

keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan.

Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu:

persamaan hak, tidak adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari

hak-hak mereka, serta hak untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.41

b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat

Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement

Officials)

Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169

tentangPedoman Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan

bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang

mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM,

penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan

penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat

manusia, perlindungan kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan

terhadap hukum dan undang-undang.42

Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api(Basic

Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)

Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa

penggunaan kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai

dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.

Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All

(28)

tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap

kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi,

hukum, maupun langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan

tindakan penghilangan paksa.

Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the

Elimination of Violence against Women)

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi

mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan

kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil

langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar

dalam penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Wanita.

Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi

Pembela HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan

kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada

memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka.

Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang

harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping juga menjelaskan hubungan antara

HAM dan hukum nasional suatu negara. Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan

aktivitasnya dengan cara-cara damai.

Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan

Sumir (Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal,

(29)

Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman

Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang

direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003.

Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku

tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk

kejelasan dalam rantai komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum.

Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk

hidup.43

2.4

Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia maka tidak akan

terlepas dari perjalannya dalam dinamika Konstitusi di Indonesia.

1.7 UNDANG-UNDANG DASAR 1945

UUD ini sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian karena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya negara Indonesia melalui

proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Fakta sejarah

mnunjukkan bahwa pergulatan pemikiran, khususnya pengaturan Hak Asasi

Manusia dalam konstitusi begitu intens terjadi dalam persidangan BPUPKI dan

PPKI.44

Satu hal menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalh hukum dasar tertulis

yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta

kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan Hak Asasi Manusia

43Ibid.

(30)

itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan,

Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Yang ditemukan bukanlah Hak Asasi

Manusia, tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara (HAW).45

Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa, waktu

yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan

dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Atas dasar itu,

Presiden Soekarno menandaskan bahwa UUD 1945 adalah “UUD kilat”, yang

karenanya harus dilakukan perubahan saat Indonesia merdeka. Jelas bahwa

pengaturan Hak Asasi Manusia berhasil dirumuskan dalam UUD 1945. Itu

artinya, bahwa jauh sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi PBB, Indonesia

ternyata lebih awal telah memberlakukan sebuah UUD yang mengatur perihal dan

penegakan hukum di Indonesia.46

2.7 KONSTITUSI RIS 1949.

UUDRIS sering disebut dengan Konstitusi Republik Indonesia (KRIS)

Tahun 1949. UUDRIS 1949 yang disusun di bawah bayang-bayang Konfrensi

Meja Bundar (KMB), menurut Adnan Buyung Nasution, menjadi Konstitusi RIS

dan berlaku sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh belanda. Karena itu,

secara formal, dengan UURIS ini perjuangan kemerdekaan nasional dan

pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat telah

tercapai. Meskipun, secara subtansial politik RIS merupakan kemenangan bagi

perjuangan nasional Indonesia, namun menurut Herbeth Feith, secara hukum

45Ibid., h. 56.

(31)

Belanda berhasil memaksakan kehendaknya yang mengakibatkan kekacauan

administrasi pemerintahan yang luar biasa.47

Dalam Konstitusi RIS 1949, pengaturan Hak Asasi Manusia terdapat

dalam bagian V yang berjudul “Hak-hak dan Kebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal dari mulai Pasal 7 sampai dengan Pasal 33.

Eksistensi manusia secara tegas dinyatakan pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi,

“Setiap orang diakui sebagai manusia”. Selain itu, hak atas perlindungan hukum juga termuat pada Pasal 13 ayat (1), “Setiap orang berhak, dalam persamaan jang

sepenuhnya, mendapat perlakuan djudjur dalam perkaranja oleh hakim jang tak

memihak, dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman yang

dimandjukan terhapnja beralasan atau tidak”.48

3.7 UNDANG-UNDANG DASAR 1950

UUDS 1950 terdiri atas 6 bagian dan 43 pasal. Dari tiga UUD yang

berlaku sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, menurut Adnan Buyung

Nasution, negara ini pernah memiliki UUD yang memuat pasal-pasal tentang Hak

Asasi Manusia yang lebih lengkap daripada UDHR/DUHAM yaitu UUDS 1950.49

Ketentuan Hak Asasi Manusia diatur pada Bagian V (Hak-hak dan

Kebebasan-kebebasan dasar Manusia) dari mulai Pasal 7 sampai Pasal 33

menariknya, pemerintah juga memiliki kewajiban dasar konstitusional yang diatur

sedemikian rupa, sebagaimana diatur pada Bagian VI (Asas-asas dasar), Pasal 35

sampai dengan Pasal 43. Kewajiban dasar ini dapat dilihat , misalnya pada Pasal

47Ibid., h. 57.

(32)

36 yang berbunyi: “Penguasa Memadjukan kepastian dan djaminan sosial,

teristimewa pemastian dan pendjaminan sjarat-sjarat perburuhan dan

pemberantasan pengangguran serta penjelenggaraan persediaan untuk hari tua dan

pemeliharan djanda-djanda dan anak jatim-piatu”.50

4.7 Kembali kepada UUD 1945

Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis hukum dasar

ketatanegaraan Indonesia mengalami suasana set-back. Dekrit tersebut menjadi

dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD

1945. Oleh karena itu, pengaturan HAM adalah sama dengan apa yang tertuang

dalam UUD 1945.51

5.7 Amandemen UUD 1945

Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru bagi

masa depan konstitusi Indonesia. Perubahan UUD 1945 dilakukan sebagai buah

dari amanat reformasi pembangunan nasional sejak turunnya rezim Soeharto

(1967-1998). Terdapat empat kali perubahan yang berturut-turut telah dilakukan

sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.52

Khusus mengenai pengaturan Hak Asasi Manusia, dapat dilihat pada

Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan

adalah dengan dicantumkannya persoalan Hak Asasi Manusia secara tegas dalam

sebuah bab tersendiri, yakni Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28 A

sampai dengan 28J. Penegasan Hak Asasi Manusia kelihatan menjadi semakin

eksplisit, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 28A yang berbunyi “setiap orang

(33)

berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Kemajuan lain dapat juga dilihat pada Pasal 28I yang berbunyi:

Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun.

Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia

dapat dikatakan bahwa konseptualisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia telah

mengalami proses dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan Hak

Asasi Manusia dalam konstitusi menggambarkan komitmen atas upaya penegakan

hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, beragamnya muatan Hak Asasi

Manusia dalam konstitusi secara maksimal telah diupayakan untuk

mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan Hak Asasi Manusia, baik

dalam konteks pribadi, keluarga, masyarakat, dan sebagai warga negara

Indonesia.53

Menyangkut penegakan hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia, secara

kelembagaan ada dia institusi yang mempunyai peran yang sangat penting, yaitu

Komisi Nasional hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan Hak Asasi

Manusia. Kedua institusi ini dikatakan sangat penting, terutama juka kaitkan

dengan masalah pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (gross violations of human

rights).54

53Ibid., h. 59.

(34)

Komnas HAM didirikan berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993 dengan

tujuan untuk membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan

HAM serta meningkatkan perlindungan HAM. Untuk mewujudkan tujuan

tersebut, Komnas HAM melakukan sejumlah kegiatan yang pada intinya meliputi

tiga hal, yaitu: penyebarluasan wawasan HAM kepada masyarakat Indonesia dan

internasional; pengkajian berbagai instrumen HAM PBB dalam rangka

aksesi/ratifikasi; pemantauan dan penyelidikan pelaksanaan HAM. Dalam

perkembangan selanjutnya, eksistensi Komnas HAM kemudian lebih diperkuat

dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan,

berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,

Komnas HAM memiliki kewenangan sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran

berat HAM.55

Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk sebagai amanat Undang-undang

No. 39 Tahun 1999 untuk mengadili pelanggaran berat HAM. Kemudian, sebagai

tindak lanjut dari ketentuan tersebut, dibuatlah Undang-undang tersebut sebagai

dasar hukum Pengadilan HAM, yaitu Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus yang berada

di lingkungan Peradilan Umum dan memiliki tugas dan kewenangan untuk

memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM. Adapun pelanggaran

berat yang dimaksud hanya meliputi kejahatan “genocide” dan kejahatan terhadap

kemanusiaan (crimes againts humanity).56

55Ibid., h. 42.

(35)

Undang-undang Pengadilan HAM menentukan bahwa untuk kasus-kasus

pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini

akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc atas usul DPR

berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Pengadilan ini juga

berada di lingkungan Peradilan Umum. Berdasarkan Keppres No. 53 Tahun 2001

dan Keppres No. 96 Tahun 2001 dua pengadilan HAM ad hoc telah dibentuk

untuk menyelesaikan kasus Tanjung Priok (1984) dan kasus Pelanggaran HAM di

Timor Timur (1999).57

2.5

Hak Asasi Manusia dalam Hukum Pidana dan Peradilan

Pidana.

Sistem peradilan pidana harus peka dan tanggap terhadap pembangunan

dan HAM, termasuk peran media massa dan pendidikan. Asas kekuasaan

kehakiman yang merdeka yang menekankan betapa pentingnya kualifikasi, seleksi

dan pelatihan orang-orang yang akan duduk di lembaga pengadilan, kondisi

pelayanan dan masa jabatan, kewajiban terhadap kerahasiaan profesional,

imunitas terhadap gugatan dan kerugian finansial atas perbuatan dan tidak berbuat

yang dilakukan dalam fungsi judicial, dan asas-asas bahwa mereka hanya bisa

diskors dan diberhentikan atas dasar alasan-alasan ketidakmampuan atau perilaku

yang membuat mereka tidak layak untuk menunaikan tugas-tugasnya. (Muladi :

2009).58

57Ibid., h. 43.

(36)

Berdasarkan hal tersebut bahkan bagian dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan juga bahwa negara Republik

Indonesia ialah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),

menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta menjamin segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Butir 2 (dua) Penjelasan Umum KUHAP menjelaskan, bahwa

pembangunan di bidang hukum acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat

menghayati hak dan kewajibannya, serta dapat ditingkatkan pembinaan sikap para

pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke

arah tegak dan mantapnya hukum, keadilan, dan perlindungan yang merupakan

pengayoman terhadap keluruhan harkat serta martabat manusia, juga ketertiban

dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum

sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. (Soeharto : 2007).59

Kemudian asas legalitas sebagai asas fundamental juga terkait dengan

larangan pemberlakuan surut perundang-undangan pidana (nullum crime sine

lege, nulla poena sine lege), dapat dikemukakan kembali bahwa dalam hal

pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) dimungkinkan secara

ad hoc (locus dan tempus delicti tertentu) memberlakukan surut perundang-undangan pidana atas dasar hukum kebiasaan internasional dan keadilan.

Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika, hal ini

paling tidak didasarkan atas empat alasan, yaitu, pertama, sistem peradilan pidana

(37)

secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau kadang-kadang bahkan

kekerasan (coercion) dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk

menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). Kedua, hampir semua profesional

dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public servant)

yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani.60 Ketiga, bagi

setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan

dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan profesionalnya (enlightened

moral judgment), kemudian, keempat, dalam kehidupan profesi sering dikatakan

bahwa “a set of ethical requirements are as part of its meaning”. Sesuatu yang harus tetap diperhitungkan dalam kehidupan demokrasi ialah kekuasaan

kehakiman yang merdeka yang memberikan jaminan terselenggaranya peradilan

yang jujur terhadap semua orang yang dituduh melakukan tindak pidana. Jaminan

ini secara konkret dilakukan terhadap individu yang dituduh melakukan tindak

pidana, yang mengklaim bahwa haknya atas “fair trial” telah dilanggar.61

Hakikat penahanan/penangkapan ialah pengurangan hak asasi seseorang

yang dapat membawa akibat jauh bagi pribadi, keluarga dan lingkungan, karena

itu, tindakan demikian harus benar-benar dilakukan dengan penuh tanggung jawab

berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dengan motto “bukti dulu baru pegang,buka pegang dulu baru bukti”. (Rukmini : 2007) Patokan yang dapat

dipakai sebagai ukuran (kriteria) untuk menilai bahwa kekuasaan dalam bentuk

kekerasan telah terjadi (digunakan) secara tidak pada tempatnya, yaitu 62:

60Ibid., h. 7.

(38)

a. Apabila seorang polisi menyerang seseorang secara fisik dan

kemudian gagal untuk melakukan penahanan, penggunaan kekuasaan

yang wajar diikuti oleh penahanan.

b. Apabila seorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak

melakukan perlawanan, baik dengan perbuatan maupun

kata-kata,kekerasan hanya digunakan apabila diperlukan untuk melakukan

penahanan.

c. Apabila seorang polisi, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan

terhadap usaha penahanan, masih bisa dengan mudah diatasi melalui

cara-cara lain.

d. Apabila sejumlah polisi ada disitu dan bisa membantu dengan

mengiring warga negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan

atau kamar interogasi.

e. Apabila seseorang ditahan itu diborgol dan tidak berusaha untuk lari

atau melakukan perlawanan dengan kekerasan.

f. Apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan masih

saja berlangsung, sekalipun orang itu sudah ditundukkan. Berdasarkan

hal tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa sebaik apapun suatu

undang-undang tidaklah berarti, apabila pelaksanaannya tidak adil dan

benar serta tidak disertai moralitas tinggi dari para penegak

(39)

2.6

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Kejahatan Seksual.

J.E Sahetapy berpendapat, “berbicara mengenai kejahatan dan penjahat,

menyimpulkan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu

pengertian dan penamaan yang relatif mengandung variabilitas dan dinamik serta

bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang

dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan

anti sosial, suatu perkosaan terhadap nilai sosial dan atau perasaan hukum yang

hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu” (Abdulsyani,

1987:19).63

Membicarakan perbuatan kejahatan itu tidak terlepas pula melibatkan

akibat-akibat yang ditimbulkannya di tengah masyarakat, baik akibat terhadap

individu maupun kelompok dan bersifat instirusional dan keorganisasian.

Akibat-akibat yang ditimbulkannya ini menjadi tolok ukur suatu modus kejahatan, apakah

modus kejahatan itu berkategori ringan ataukah pemberatan. Ada yang

beramsumsi suatu kejahatan itu tidak tergolong serius, meresahkan dan

merugikan, namun ada pula yang menyatakan bahwa kejahatan yang terjadi itu

benar-benar mengakibatkan penderitaan luar biasa.64

Manusia yang menjadi korban kejahatan itu sama artinya dengan dirampas

hak-hak asasinya. Eksistensi Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dikalahkan oleh

63 Abdul Wahid, et.al., PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT Refika Aditama, Bandung, 2001, h. 2.

(40)

perilaku yang mengedepankan kebiadaban (kekejian). Harkat kemanusiaan yang

idealnya dijunjung tinggi justru ditanggalkan, dinodai dan dikebiri.65

Masalah kekerasan seksual merupakan satu bentuk kejahatan yang

melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai

jenis kejahatan melawan kemanusiaan (crime againts humanity).66

Ada yang mengamsumsikan bahwa khusus kata “kejahatan” dan “seksual” tersebut dapat diringkas menjadi dua kata saja, yakni “kejahatan seksual” atau ada

pula yang mempertanyakan, apakah tidak setiap kejahatan itu mengandung

usnsur-unsur kekerasan atau apakah tidak setiap tindakan kekerasan itu dapat

dikatakan sebagai komponen kejahatan.

Namun ada pula tindak kejahatan seksual yang tidak berbentuk atau

dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada diantara kejahatan seksual (sexual

crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual

seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran.67

Berdasarkan Kamus Hukum, “sex” dalam bahasa inggris diartikan dengan jenis kelamin (Yan Pramadya Puspa, 3989:770). Jenis kelamin di sini lebih

dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dan

perempuan.68 Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk

kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang

dilakukan dengan cara-cara kekerasan, kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan

(41)

pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan

alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya.69

Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku

seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak

korban dan merusak kedamaian ditengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual

yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang

membutuhkan perhatian.

Pada pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah

setiap perbuatan berdasarkan perbedaaan jenis kelamin yang berakibat atau

mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual

atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau

perampokan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan

umum maupun dalam kehidupan pribadi.70

Hubungan seksual yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan yang

mengakibatkan kerugian bagi korban. Kekerasan ini mencerminkan bahwa

kekuatan fisik laki-laki merupakan faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan

perempuan. Laki-laki telah tampil menjadi semacam kekuatan yang bercorak

represif yang menempatkan perempuan sebagai korbannya.

Kekuatan laki-laki yang lebih unggul secara fisik dibandingkan dengan

perempuan telah disalahgunakan untuk melecehkan, menindas dan menodai

69Ibid., h. 32.

Referensi

Dokumen terkait

Yang jelas seluruh rangkaian pelaksanaan selamatan mayat yang biasa dilakukan masyarakat Bulukumpa khususnya, maka yang umum diadakan mappasoro pada setiap kegiatan

dari perilaku etis staff, peneliti uraikan dalam tesis ini. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang. membutuhkannya. Saran dan masukan dari pembaca

JUDUL PERTUNJUKAN SENI SAMAN GRUP CAHYA MEKAR DESA PASIR EURIH KECAMATAN CIPEUCANG KABUPATEN PANDEGLANG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Gambar 4.7 Tindakan yang Diambil Konsumen Ketika Mengalami Situasi Vending 55 Machine Bermasalah Gambar 4.8 Alasan Konsumen Tidak Ingin Menghubungi Customer service

Diterbitkannya suatu ketetapan pajak menimbulkan permasalahan yang cukup krusial antara wajib pajak dan petugas pajak dikarenakan perbedaan pendapat antara wajib

berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika peserta didik pada

➢ Keunikan futsal mendapat perhatian di seluruh Amerika Selatan, terutamanya di Brazil yang terkenal dengan sukan bola sepak.. ➢ Brazil merupakan salah satu jaguh antarabangsa

(2) Faktor-faktor yang menghambat Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai dalam pencegahan tindak pidana penyelundupan rokok via tol laut adalah: a)