BAB II
KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Konsep
Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan yang digunakan secara
abstrak untuk menggambarkan kejadian, kelompok atau individu yang menjadi
pusat perhatian ( Rusliana, 2010 : 10).
Woodruff (dalam Rusliana, 2010:10) menjelaskan pengertian konsep
menjadi 3 yaitu:
1.Konsep dapat didefenisikan sebagai suatu gagasan atau ide yang relative sempurna dan bermakna.
2.Konsep merupakan suatu pengertian tentang suatu objek.
3.Konsep adalah produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda tertentu melalui pengalamannya (setelah melalui persepsi terhadap objek atau benda).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai
rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret,
gambaran mental dari objek atau apapun yang berada di luar bahasa yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.
Selain itu, konsep dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka
menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam eksistensi, memperlakukan
seolah-olah mereka identik. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk
tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat
mengaburkan tujuan penelitian.
2.1.1 Makna
Dalam kamus linguistik, pengertian makna dapat dijabarkan menjadi :
1. Maksud pembicara
2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia.
3. Hubungan antara kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atauantara ujaran dan semua hal yang ditunjukkan.
4. Cara menggunakan lambang- lambang bahasa
Bloomfied (dalam Stephen Ullman, 1977:40) mengemukakan bahwa makna
adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus di analisis dalam batas-batas unsur
penting situasi dimana si penutur mengujarkannya. Terkait dengan hal tersebut,
Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara
bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling
dimengerti.
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu
melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari mak na sendiri sangatlah
beragam. Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan
kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna selalu menyatu dengan tuturan kata-kata
maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Pateda, 2001:82) mengemukakan
bahwa makna adalah hubungan antara makna dan pengertian.Dalam penulisan
skripsi ini, yang dimaksud dengan makna adalah nilai yang terkandung dalam
jenis-jenis benda yang dipercaya sebagai simbol keberuntungan bagi masyarakat
2.1.2 Fungsi
Pengertian fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456)
merupakan kegunaan suatu hal, daya guna serta pekerjaan yang dilakukan. Fungsi
dapat diartikan sebagai jabatan atau pekerjaan yang dilakukan. Dalam kehidupan
sehari-hari fungsi sering diartikan sebagai dampak yang dapat diberikan oleh
suatu hal atau benda. Begitu pula dalam penulisan skripsi ini, fungsi yang
dimaksud adalah kegunaan atau dampak baik, yang diperoleh oleh masyarakat
dari benda-benda yang diyakini sebagai simbol keberuntungan, bagi masyarakat
Tionghoa di desa Lincun Binjai itu sendiri.
2.1.3 Simbol Keberuntungan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta
disebutkan, simbol atau lambang adalah sejenis tanda, lukisan, perkataan, lencana,
dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu.
Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa
dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan :
1) Penafsiran pemakai
2) Kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya
3) Kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya.
Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tanda tersebut
berbentuk simbolik. Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda
(sign). Menurut Pierce (dalam Hoed, 2009 :8), tanda (sign) terdiri atas ikon (icon),
Simbol tidak selalu diungkapkan melalui bahasa verbal. Menurut Eickelman
dan Piscatori (dalam Sobur, 2004:176) simbol merupakan tanda yang menunjuk
kepada nilai-nilai, dan seringkali meskipun tidak selalu simbol ini diungkapkan
melalui bahasa.
Hartoko dan B. Rahmanto (1998:133) membagi simbol dalam tiga bagian yaitu:
1. Simbol universal yang berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian.
2. Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, misalnya keris dalam budaya Jawa.
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsir dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah simbol sebagai simbol
kultural, yakni suatu simbol yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu.
Simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa, membentuk harapan kuat
masyarakat Tionghoa akan suatu kehidupan yang sempurna. Di sisi lain, hal ini
juga merefleksikan ketakutan akan faktor-faktor yang tak dapat diperkirakan
dalam hidup dan mentalitas selalu berharap memperoleh keberuntungan, dan
menghindari ketidakberuntungan serta bencana-bencana yang mungkin terjadi
(Chunjiang 2012 : 1).
Dalam hal ini yang dimaksud dengan simbol keberuntungan ialah semua
benda-benda baik berupa lukisan, patung, tumbuhan, hewan dan benda lainya
yang menurut masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai dipercaya
menggambarkan keberuntungan. Benda-benda tersebut dijadikan sebagai simbol
kedengaran sama dengan makna-makna yang menggambarkan keberuntungan
tertentu. Pada akhirnya masyarakat tersebut menjadikan benda-benda tersebut
sebagai simbol keberuntungan dalam kehidupan.
2.1.4 Masyarakat Tionghoa di Desa Lincun Binjai
Masyarakat adalah sekelompok individu yang hidup bersama di suatu
daerah tertentu dan terikat oleh suatu aturan tertentu yang disepakati bersama.
August Comte (1896) mengatakan bahwa masyarakat merupakan
kelompok-kelompok mahluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut
pola perkembangannya sendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang
khas dari manusia, sehingga tanpa adanya kelompok manusia yang atau dengan
sendirinya bertalian secara golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang
atau dengan sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh
kebatinan.
Masyarakat tidak lepas dari sebuah kebudayaan. Pelly dan Menanti (1994)
mengatakan hakikat masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang memiliki
buadaya sendiri dan bertempat tinggal di daerah teritorial yang tertentu. Anggota
masyarakat itu memiliki rasa persatuan dan menganggap mereka memiliki idetitas
sendiri. Ralph Linton, (dalam Abu Ahmadi, 1986;56) mengemukakan, bahwa
anggota-anggota masyarakat tersebut memiliki pengalaman hidup bersama dalam
jangka waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, terdapat kerja sama dan
Begitu juga halnya dengan masyarakat Tionghoa, Tionghoa (dialek Hokkien
dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah; dalam bahasa mandarin ejaan
pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang
dari suku atau ras Cina di Indonesia. Terdapat banyak mitologi dan cerita tentang
asal-mula kebudayaan Tionghoa serta tokoh legendarisnya seperti Kaisar Kuning
(Huang Ti) yang membuat senjata dari batu giok, istrinya memperkenalkan cara
pemeliharaan ulat sutera, dan Yu terkenal karena berhasil mengatasi banjir-banjir
besar. Hingga saat ini, persebaran masyarakat Tionghoa sudah hampir tersebar
keseluruh penjuru negeri, salah satunya adalah masyarakat Tionghoa di Indonesia
yang hampir dapat dijumpai di setiap daerah di Indonesia.
Lincun merupakan suatu pemukiman masyarakat Tionghoa di kelurahan
Suka Maju Kecamatan Binjai Barat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak
Poleng seorang shinshe yang memiliki pengetahuan lebih tentang adat dan
kebudayaan Tionghoa di desa Lincun Binjai, beliau mengatakan menurut sejarah,
nama Lincun diambil dari nama seorang hartawan Cina yang terkemuka yang
bernama Lim Chun. Sekitar tahun 1910-an Lim Chun menjabat sebagai Kapiten
untuk wilayah Binjai. Satu jabatan yang berwenang untuk memimpin etnis
Tionghoa di suatu kawasan tertentu. Dengan jabatannya ini memungkinkan
kapiten Lim Chun dekat dengan pemerintah kolonial.
Bapak Poleng mengemukakan, masyarakat Tionghoa yang menetap di
kawasan sekitar Lincun merupakan penduduk turunan sejak pembukaan
masyarakat Tionghoa dengan penduduk pribumi dimulai dari masa pembukaan
perkebunan. Istilah Lincunmulai populer sebagai sebutan suatu pemukiman
masyarakat Tionghoa di Binjai ini dimulai sejak tahun 1970.
Saat ini masyarakat Tionghoa di Desa Lincun memiliki profesi yang
beragam. Rumah makan, tambal ban, kedai kopi, dan toko kelontong merupakan
contoh usaha masyarakat Tionghoa yang paling banyak dijumpai di daerah
Lincun. Masyarakat Tionghoa di desa Lincun sedikit berbeda dengan masyarakat
Tionghoa pada umumnya yang cenderung menutup diri dan sulit berbaur dengan
penduduk pribumi. Mereka tampak lebih membuka diri dan berbaur dengan
masyarakat pribumi sekitar. Hal ini sangat terlihat dari bentuk rumah yang terbuka
bebas tanpa adanya jerjak besi yang biasanya kita jumpai pada kediaman
masyarakat Tionghoa pada umumnya.
Sumber :Dokumentasi pribadi. Desa Lincun Binjai, 20 Februari 2015
Unsur budaya Tionghoa tidak lepas dari keseharian masyarakat Tionghoa di
desa Lincun ini. Benda-benda yang erat kaitannya dengan budaya Tionghoa,
khususnya yang dipercaya dapat membawa hal baik atau keberuntungan tidak
2.2 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki
atau mempelajari) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah
kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912).
Tinjauan Pustaka beararti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait
(review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka
berfungsi sebagai peninjauan kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan
sebagainya) tentang masalah yang berkaitan, tidak selalu harus tepat identik
dengan bidang permasalahan yang dihadapi, tetapi termasuk pula yang seiring dan
berkaitan (collateral).
Penelitian yang relevan dengan judul penelitian ini, baik mengenai
simbol-simbol, makna dan fungsi, kepercayaan akan suatu benda yang dianggap
membawa keberuntungan, dan hubungan manusia dengan hewan dan tumbuhan
sudah banyak dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian
tersebut diantaranya adalah Hoed (2014) dalam bukunya yang berjudul Semiotik
& Dinamika Sosial Budaya menyatakan bahwa sistem simbolik didasari oleh
sistem konvensi sosial. Jadi, dalam sistem simbolik, makna dari semua tanda
didasari oleh konvensi sosial yang berarti harus dilihat dalam konteks kebudayaan
suatu masyarakat atau subkultur suatu komunitas. Buku ini sangat membantu
penulis untuk memahami makna simbol dalam kebudayaan.
陈 慎 (Chén shèn) (2003) dalam jurnal China National Knowledge
zhuǎn tǒng jíxiáng wù chén wén chūtàn), jurnal ini mengkaji sejarah pembetukan
sebuah simbol keberuntungan pada masayarakat Tionghoa. Dengan menggunakan
metode pembelajaran dasar sejarah, jurnal ini mengkaji lima fase pembentukan
sebuah simbol keberuntungan pada masyarakat Tionghoa. Lima tahap
pembentukan tersebut terdiri dari tahap embrio, tahap pembentukan, tahap
pertumbuhan, tahap perkembangan, dan periode puncak. Jurnal ini memberikan
kontribusi penting dalam penulisan penelitian ini, yakni berupa pemahaman
sejarah awal mula terbentuknya simbol pembawa keberuntungan bagi masyarakat
Tionghoa. Jurnal ini terfokus membahas sejarah pembentukan hingga periode
puncak keberadaan benda-benda yang dijadikan simbol keberuntungan bagi
masyarakat Tionghoa, namun tidak membahas makna dan fungsi dari simbol
pembawa keberuntungan itu sendiri.
Kustedja (2013) dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12 yang
berjudul Makna Ikon Naga, Long, 龙, Elemen Utama Arsitektur Tradisional
Tionghoa, sangat membantu penulis untuk memahami makna keberuntungan yang
tersirat dalam simbol naga khususnya simbol naga dalam arsitektur bangunan
Tionghoa. Penulis jurnal menyimpulkan bahwa naga sebagai ikon dan simbol
terbukti dapat bertahan dari zaman purba hingga sekarang, gambaran ini tetap
hidup dan terpakai dalam segala segi budaya Tionghoa. Daya tahan keberadaan
yang demikian kuatnya karena didukung konsep naga yang selalu dapat
memberikan keberuntungan dan kejayaan, harapan ini selalu dimiliki oleh setiap
manusia selama ia hidup. Perbedaan penelitian dalam jurnal ini dengan penelitian
pada makna hewan naga sebagai simbol keberuntungan dalam arsitektur
Tionghoa.
Rusliana R.P (2010) dalam skripsinya yang berjudul Interpretasi Tanda
Dalam Simbol Tato, dalam skripsinya penulis memaparkan bahwa Tato yang
umum digunakan pemakai tato adalah tato berbentuk elang, salib, tengkorak,
naga, dan bunga. Interpretasi makna dari simbol tato meliputi,makna sekuler,
makna estetis, makna tato sebagai ekspresi diri, makna tato sebagai filosofis, dan
makna tato sebagai makna konotasi. Tujuan utama peneliti skripsi ini mengkaji
makna yang terkandung dalam sebuah simbol tato. Perbedaan skripsi ini dengan
penelitian yang dilakukan penulis terletak pada objek kajiannya. Penelitian dan
skripsi ini menggunakan teori semiotika. Penelitian ini memberikan kontribusi
berupa pemahaman penggunaan teori semiotika. Skripsi ini juga sangat mebantu
penulis dalam memaparkan makna simbol dalam kehidupan sehari-hari.
Sembiring (2011) dalam skripsinya yang berjudul Makna dan Fungsi Alam
Hewan dan Tumbuhan Dalam Kehidupan Etnis Tionghoa, penulis dalam
skripsinya mengatakan bahwa etnis Tionghoa mempercayai banyak jenis
tumbuhan yang memiliki nilai filosofi, makna dan fungsi, yang menurut
kepercayaan mereka, dapat membawa keberuntungan atau hal baik. Etnis
Tionghoa menjadikan tumbuhan sebagai simbol dalam kebudayaan mereka.
Penulis dalam skripsi ini membahas enam jenis tumbuhan, yaitu bambu, pinus,
bunga meihua, bunga lotus, angrek dan krisan. Penelitian dalam skripsi ini
penulis, hanya saja dalam penelitian yang akan dilakukan penulis, objek yang
akan dikaji lebih luas bukan hanya terfokus pada makna yang terkandung dalam
tumbuhan sebagai simbol keberuntungan, namun juga membahas hewan, dan
benda-benda lainnya yang sering dijadikan simbol keberuntungan bagi
masyarakat Tionghoa, khususnya masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai.
Skripsi ini juga sangat membantu penulis untuk memahami makna dan fungsi dari
beberapa jenis tumbuhan yang dianggap sebagai sebuah simbol keberuntungan.
2.3 Landasan Teori
Dalam penulisian skripsi ini, penulis mengawali penulisan dengan
menggunakan Teori semiotik. Teori semiotik yang digunakan terfokus pada teori
Semiotik Charles Sanders Peirce. Hal tersebut dikarenakan penelitian yang akan
dilakukan pertama kali dalam skripsi ialah menelaah dan membedah simbol
sehingga dapat menemukan makna dibalik simbol tersebut. Selanjutnya, penulis
akan melanjutkan penelitian dengan menggunakan Teori Fungsional yang
dikemukakan oleh Malinowski untuk mencari fungsi dari hewan, tumbuhan, dan
benda lainnya yang dipercaya sebagai simbol pembawa keberuntungan bagi
masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai.
Teori semiotik digunakan untuk membedah simbol-simbol yang terdapat
pada jenis-jenis benda yang telah diuraikan jenisnya di dalam pembatasan
masalah. Semiotik atau ada yang menyebutnyasemiotika berasal dari kata Yunani
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda (Zoest, 1991:1).
Menurut Charles Sanders Peirce, proses pemaknaan dan penafsiran tanda
dalam semiotik disebut semiosis. Istilah semiosis digambarkan sebagai suatu
proses dari pencerapan sesuatu oleh indra kita yang kemudian diolah oleh kognisi
kita. Tanda yang diserap oleh manusia merupakan tahap awal dari semiosis. Pada
tahap awal ini hal yang diindra disebut ground atau representamen. Tahap ini
diikuti dengan tahap lanjutannya, yakni pengolahannya dalam kognisi secara
instan yang hasilnya disebut object (ini adalah istilah yang tidak sama artinya
dengan ‘benda’). Proses semiosis selanjutnya adalah penafsiran setelah ada waktu
untuk mengolah lebih lanjut object dan hasilnya disebut interpretant.
Karena tanda dimulai dari representamen yang seakan mewakili apa yang
ada dalam pikiran manusia (object), teori semiotik Peirce mendefinisikan tanda
sebagai “something that represant something else”, yang secara teoritis dapat
diterjemahkan menjadi tanda adalah representamen yang secara spontan mewakili
object.’Mewakili’ disini berarti berkaitan secara kognitif yang secara sederhana
dapat diartikan sebagai proses pemaknaan : ada kaitan antara ”realitas” dan “ apa
yang berada dalam kognisi manusia”. Pengertian ini menjadi lebih jelas apabila
kita memasuki tiga kategori tanda berdasarkan sifat hubungan antara
representamen dan object menurut Peirce (Hoed 2014:10).
Kategori pertama adalah index, yakni tanda yang hubungan antara
adalah apabila kita melihat sandal sang ayah sudah tidak ditempatnya lagi
(representamen), ini berarti bahwa sang ayah sudah berada di rumah (object).
Artinya bahwa ada hubungan ntara ruang kosong, yakni “ ketiadaan sandal ayah
ditempatnya” (representamen) dan ”ayah ada dirumah” (object) yang bersifat
kausal.
Kategori kedua adalah icon. Icon adalah kategori tanda yang
representamennya memiliki keserupaan identitas dengan object yang ada dalam
kognisi manusia yang bersangkutan. Contohnya foto seseorang adalah icon
dirinya. Bagi seseorang lukisan kerbau adalah icon dari kerbau yang ada dalam
pikiran orang tersebut.
Kategori ketiga adalah symbol. Symbol adalah tanda yang makna
representamennya diberikan berdasarkan konvensi sosial. Jadi, bendera merah
yang ada di laut merupakan representamen yang maknanya secara sosial
‘dilarang melewati, bahaya’ (object). Berbagai sistem bahasa, verbal, nonverbal,
merupakan merupakan sistem symbol karena makna dari setiap representamennya
diperoleh berdasarkan konvensi sosial. Index dan icon dapat digunakan sebagai
symbol. Bau kemenyan (representamen) bisa tidak sekedar mewakili object
‘kemenyan’, tetapi dapat mempunyai makna sosial ‘ada hantu yang hadir’ (object)
(Hoed 2014:11). Dari ketigajenis kategori tanda (indext, icon, symbol )yang
diuraikan oleh Peirce, symbol merupakan jenis tanda yang dimaksudkan dalam
penelitian ini. Setelah menggunakan teori semiotik untuk mengkaji makna yang
Binjai, penelitian ini akan dilanjutkan dengan menggunakan teori Fungsionalisme
yang dikemukakan oleh Malinowski.
Malinowski dalam (T.O. Ihroni 2006), mengajukan sebuah orientasi teori
yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua
unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan
kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan
bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan
dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat,
memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Teori fungsionalisme dapat diterapkan dalam analisa
mekanisme-mekanisme kebudayaan secara tersendiri, namun teori ini tidak mengemukakan
dalil-dalil sendiri untuk menerangkan mengapa kebudayaan yang berbeda-beda
memiliki unsur-unsur budaya yang berbeda dan mengapa terjadi perubahan dalam
kebudayaan. Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuik
menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori
fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of culture”. Menurut
Malinowski (1984:216) :
Hal inilah yang kemudian menguatkan tesis dari Malinowski yang sangat
menekankan konsep fungsi dalam melihat kebudayaan . Ada tiga tingkatan oleh
Malinowski yang harus terekayasa dalam kebudayaan yakni :
“ (1) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan pangan dan prokreasi, (2) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan hokum dan pendidikan, (3) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti kebutuhan agama dan kesenian”.
Melalui tingkatan abstraksinya tersebut Malinowski kemudian mempertegas
inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan / aktivitas
manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan
suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Sesuai dengan teori fungsionalisme yang dikemukan oleh Bronislaw
Malinowski bahwa kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, instrumental
dan integrative, maka 15 simbol keberuntungan pada masyarakat Tionghoa desa
Lincun Binjai juga memiliki fungsi biologis sebagai lambang harapan masyarakat
Tionghoa desa Lincun Binjai akan suatu keberuntungan tertentu. Instrumental
sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat dan juga sebagai lambang
kebudayaan. Integratif yang memenuhi kebutuhan agama atau religi masyarakat.
Teori Fungsionalisme Malinowski juga mengemukakan bahwa fungsi mengalami
perubahan ke arah nilai-nilai dan dampak dari nilai tersebut akhirnya berubah