BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah
yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip),
ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior) (Soetjipto, 2007).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu: sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago alar mayor, dan
kartilago septum (Soetjipto, 2007).
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior
dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto, 2007).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise
(Soetjipto, 2007). Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka.
Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media
yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah
Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Berdasarkan letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior,
meatus medius, dan meatus inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka media. Di daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini
terdapat muara duktus nasolakrimalis (Soetjipto, 2007; Snell, 2006).
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan
bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2007).
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau
atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal
dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid (Snell,
2006; Soetjipto, 2007).
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris
interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena
(Soetjipto, 2007). Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat
di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika,
fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2007; Snell, 2006).
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari
nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk
gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna
mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, sehingga
dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan kelembaban aliran udara (Snell,
2006).
Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang
terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi
obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada
sinus yang terkait (Soetjipto, 2007).
2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal A. Sinus Maksila
Pada waktu lahir sinus maksila berupa celah kecil di sebelah medial orbita.
Pada awal dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus
mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun. Perkembangannya
bergerak kearah bawah dan membentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen.
Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun
31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml (Ballanger, 2002).
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto, 2007). Antrum mempunyai hubungan
dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil yaitu ostium maksila
yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus ( Ballanger, 2002).
Yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah (1) dasar sinus
maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2),
Molar (M1 dan M2), kadang-kadang gigi taring dan gigi molar M3. Bahkan
akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. (2) Sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. (3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi
dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula
drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Soetjipto, 2007).
B. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Soetjipto, 2011).
Ukuran sinus frontal pada orang dewasa adalah 28 mm tingginya, 24 mm
lebar, dan 20 mm secara mendalam. Ukuran bervariasi substansial antara individu
seperti halnya asimetri antara sisi kiri dan kanan pada individu yang sama.
Meskipun sinus frontalis biasanya dianggap sebuah struktur piramida di bagian
vertikal dari tulang frontal, mungkin muncul dalam bentuk lain (Cummings,1999).
Biasanya sinus frontalis membuka ke bagian anterior meatus tengah atau
ke frontal dalam beberapa kasus yang diteliti dan langsung ke bagian anterior
infundibulum pada sebagian individu. Ostium sinus frontal dapat ditemukan pada
akhir superior-anterior infundibulum. Ini terletak antara bagian posterior dan
anterior konka di dinding lateral hidung. Jika sel-sel resesus frontal di daerah ini
dihapus secara hati-hati, ostium dapat ditemukan secara jelas. Ostium biasanya
terletak posteromedial di sinus frontalis, sehingga sering sekali juga akan melihat
Sinus frontalis dipasok oleh supraorbital dan supratrochlear arteri yang
berasal dari arteri ophthalmic, cabang dari arteri karotis internal. Aliran darah
yang normal dalam arteri oftalmik keluar dari orbit dan ke dahi melalui pembuluh
supraorbital. Drainase vena terutama melalui vena mata superior posterior melalui
fisura orbital superior ke dalam sinus kavernosus (Cummings,1999).
C. Sinus Etmoidalis
Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan
dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5
cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior
1,5 cm (Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita (Soetjipto,
2007).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan
dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila
(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).
D. Sinus sfenoid
Sinus sphenoid dapat diidentifikasi di bagian janin pada bulan keempat,
saat lahir sinus tetap kecil dan sedikit lebih dari satu evaginasi dari resesus
sphenoethmoid. Setelah tahun kelima, invasi tulang sphenoid lebih cepat, dan
pada usia 7 tahun, sinus telah diperpanjang posterior ke tingkat sela tursika. Pada
pembesaran ke basisphenoid yang mungkin terjadi pada orang dewasa
(Cummings,1999). Ukuran rata-rata sinus sphenoid pada orang dewasa, adalah 20
mm tingginya, 23 mm dalamnya, dan 17 mm lebarnya. Sering ada asimetri antara
kedua belah karena septum intersinus adalah struktur garis tengah yang tidak datar
dan sering membungkuk atau memutar. Sebuah aspek yang menarik dari anatomi
dewasa berkaitan dengan tingkat pneumatisasi tulang sphenoid, ketika erosi tulang
maksimal, struktur berdekatan dengan sinus cenderung terpahat di interior dinding
sinus (Cummings,1999).
Sinus sphenoid membuka ke resesus sphenoethmoid di atas concha
superior. Ostium terletak kira-kira 2 mm x 3 mm dan 10 mm di atas sinus
(Cummings,1999). Pasokan darah dari sinus sphenoid tiba melalui cabang arteri
karotid internal dan eksternal. Dari daerah orbit, cabang ethmoidal posterior arteri
ophthalmic dapat berkontribusi ke sinus sphenoid setelah memasuki sel ethmoid
posterior. Dinding sinus menerima darah dari cabang sphenopalatina dari arteri
maksilaris(Cummings,1999).
2.2 FUNGSI SINUS PARANASAL
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai yang dapat mebuktikan teori-teori tersebut.
Beberapa teori yang dikemukakan antara lain:
a. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung
(Soetjipto, 2007).
b. Sebagai penahan suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataan sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ
yang dilindungi (Soetjipto, 2007).
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
tidak dianggap bermakna (Soetjipto, 2007).
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk menambah resonansi suara
dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang
efektif (Soetjipto, 2007).
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus (Soetjipto, 2007).
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
2.3 RINOSINUSITIS 2.3.1 DEFENISI
Rinosinusitis secara luas didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya
termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior) serta nyeri pada wajah atau rasa tertekan di wajah dan penurunan atau
hilangnya penghidu. Dan satu lagi dari temuan nasoendoskopi separti polip dan
atau sekret mukopurulen dari meatus medius, dan atau edema/obstruksi mukosa di
meatus medius dan atau gambaran tomografi komputer seperti perubahan mukosa
di kompleks osteomeatal dan atau sinus ( EP3OS,2012 ).
2.3.2 ETIOLOGI
a. Virus
Virus yang lebih sering menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus,
virus parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Setiap virus mempunyai banyak serotype yang mempunyai potensi tersendiri untuk
memperparahkan infeksi tersebut. Infeksi akibat rhinovirus merupakan penyebab
tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV
dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di
awal musim semi (Brown, 2008).
b. Bakteri
Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah
S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang
sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s. aureus, staphylococcus
koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative (Brown, 2008).
c. Jamur
Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada
infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau
berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan
imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan
gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama
histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan
blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung (Boeis, 1997).
d. Alergi
Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin.
Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi
melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan
alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil
pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera
yang timbul , misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang
selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan
demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit (Boeis, 1997).
e. Kelainan anatomi dan struktur hidung
Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar
secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau
bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip,
konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan
ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 1997).
f. Hormonal
Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada
trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih
belum jelas (Brook, 2012).
g. Lingkungan
Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar
pada oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan
2.3.3 Klassifikasi
Tabel 2.3 Klasifikasi Rinosinusitis (Valerie, 2008)
Klasifikasi Durasi
Akut 7 hari hingga ≤ 4 minggu
Subakut 4 hingga 12 minggu
Akut Rekuren ≥ 4 kali episode ARS per tahun
Kronik ≥ 12 minggu
Eksaserbasi Akut Rinosinusitis Kronik
Keadaan akut yang memburuk pada CRS
2.3.4 PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya “clearance” mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal
(KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernapasan (Mangunkusumo E, 2007).
Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan,
maka apabila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu
sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya
muncul tekanan negative di dalam rongga sinus yang seterusnya menyebabkan
terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan (Soetjipto,2007).
Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan
menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari
kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai
rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri
(Mangunkusumo E, 2007).
Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak
dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang
kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan
2.3.5 Gejala Klinis
Pasien sering mengeluh pengerasan kulit hidung, obstruksi, hipersekresi
atau postnasal drip, batuk, tekanan pada wajah, dan kelelahan ketika fungsi
mukosa hidung tidak normal. Sumbatan hidung yang bergeser dari sisi ke sisi
adalah umum pada banyak jenis rhinitis dan dapat dianggap berlebihan pada
fisiologi normal ( Lee, 2012 ).
Gejala utama dari sinusitis termasuk tekanan pada wajah, kemacetan
atau kepenuhan pada wajah, obstruksi hidung, discharge hidung, dan anosmia.
Gejala ringan termasuk sakit kepala, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan
tekanan pada telinga. Tanda-tanda utama termasuk purulensi di hidung yang
dicatat pada pemeriksaan dengan sinusitis akut, dan demam. Nyeri adalah keluhan
yang sering dengan sinusitis akut tetapi jarang terjadi dengan sinusitis kronis.
Pasien dengan sinusitis kronis sering perhatikan tekanan wajah kusam yang
tampaknya memburuk dengan ketergantungan. Pasien dengan sinusitis akut
mungkin memiliki rasa sakit wajah diskrit atau sakit gigi, tetapi juga memiliki
discharge purulen pada hidung, sering dengan demam. Hal ini penting untuk
dicatat bahwa nyeri wajah bukanlah gejala sinusitis kronis dengan tidak adanya
tanda-tanda dan gejala hidung lain. Umumnya, sinusitis diduga terjadi atas dasar
setidaknya dua faktor utama, salah satu faktor utama dan dua faktor minor, atau
purulensi pada pemeriksaan hidung ( Lee, 2012 ).
2.3.6 Diagnosa
Anamnesa
Riwayat menyeluruh harus diselidiki, apakah pasien telah mencoba
obat-obatan seperti antihistamin, dekongestan, mukolitik, analgesik, stabilisator sel
mast, bahkan steroid, dan apakah mereka telah memperbaiki kondisinya. Selain
itu, obat lain yang memiliki efek samping yang mempengaruhi fisiologi hidung,
termasuk pil kontrasepsi, obat antihipertensi yang menyebabkan vasodilatasi
sistemik, aspirin, steroid, dan antibiotik. Pertanyaan khusus mengenai alergi yang
penting, termasuk perubahan musim atau pencetus lingkungan, ada atau tidaknya
dan kondisi hidup, penggunaan karpet lama atau baru, atau dinding interior yang
baru dicat. Seorang pasien harus ditanya tentang riwayat pengujian alergi kulit
atau pengujian lainnya. Pasien juga harus ditanya mengenai riwayat anggota
keluarga atau rekan kerja yang sakit karena menyarankan proses infeksi. Sebuah
riwayat medis masa lalu harus memungkinkan seseorang untuk menentukan
apakah kondisi yang relevan seperti hidung sebelumnya pernah melakukan
pembedahan atau trauma, penyakit granulomatosa, cystic fibrosis, kondisi
rematologi, atau defisiensi imun ( Lee, 2012 ).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan lengkap dari kepala dan leher harus dilakukan untuk melihat
tanda-tanda trauma baru atau lama seperti hematom bawah kelopak mata, bengkak
dari jaringan lunak wajah, atau penyimpangan dari dorsum nasal. Leher harus
teraba untuk adenopati atau massa lainnya. Sebuah pemeriksaan mata dasar harus
dilakukan untuk menilai fungsi pupil, gerakan ekstraokular, dan mungkin
nistagmus. Pemeriksaan telinga harus dilakukan untuk menilai membran timpani
bilateral. Pada pasien dengan kelainan membran timpani atau bersamaan keluhan
gangguan pendengaran atau ketidakseimbangan, pneumatoscopi menggunakan
bola udara melekat otoscope yang dapat digunakan untuk meniup saluran telinga
dan menilai mobilitas membran timpani, penurunan mobilitas menunjukkan efusi
telinga tengah. Pengujian Weber dan Rinne dengan menggunakan 512-Hz layar
garpu tala untuk gangguan pendengaran konduktif, terutama loss unilateral.
Pemeriksaan mulut dan orofaring, termasuk dinding posterior faring,
kadang-kadang bisa mengidentifikasi aliran postnasal discharge atau nanah. Kemampuan
pasien untuk membuka mulut tanpa batasan membantu mengecualikan trismus,
yang kadang-kadang dapat disebabkan oleh infeksi leher yang parah ( Lee, 2012 ).
Pemeriksaan endoskopi hidung, hampir selalu dilakukan oleh spesialis, ini
adalah "gold standard" untuk mengevaluasi rhinitis dan sinusitis. Sebuah serat
optik yang fleksibel atau kaku dapat melakukan inspeksi pada septum, meatus
tengah, dan sphenoethmoid, serta pemeriksaan langsung dari nasofaring, lubang
tuba eustachius, dan fossa dari Rosenmuller, yang hanya berhadapan ke tuba
eustachius di nasofaring dan sering pada lokasi asal karsinoma nasofaring.
Endoskopi fleksibel dapat digunakan untuk menginspeksi orofaring, laring, dan
Pemeriksaan Penunjang
Pengolesan hidung dapat menunjukkan eosinofil, yang konsisten dengan
rhinitis alergi. Demikian juga, pengujian kulit atau pengujian radioallergosorbent
dapat membantu menentukan pemicu alergi. Pada pasien dengan sinusitis akut,
jumlah sel darah putih dengan diferensial mungkin berguna. Pada pasien dengan
sinusitis kronis, tingkat immunoglobulin serum dapat membantu (Lee,2012).
Tingkat imunoglobulin E (IgE) yang sangat tinggi dapat meningkatkan
kecurigaan untuk alergi sinusitis yang disebabkan oleh jamur, manakala IgG yang
tingkat rendah dan subclass lainnya menyarankan immunodeficiency. Jika pasien
memiliki pengerasan kulit hidung yang kronis sebagai keluhan primer, tes
skrining serologi untuk sarkoid, Wegener granulomatosis, limfoma sel-T, sifilis,
TBC, sindrom Sjogren, dan penyakit inflamasi kronis lainnya dapat
dipertimbangkan (Lee,2012).
Infeksi yang jarang terjadi seperti rhinoscleroma juga ditemukan, sehingga
biopsi dan kultur dapat diindikasikan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Penggunaan zat terlarang harus dipertimbangkan karena kokain dan obat-obatan
terlarang lainnya dapat menyebabkan pengerasan kulit hidung. Cystic fibrosis juga
harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat sinusitis sejak kecil ( Lee,
2012).
Computed tomography (CT) scanning saat ini metode pilihan untuk pencitraan sinus. Karena virus infeksi saluran pernapasan atas dapat menyebabkan
kelainan pada CT scan yang bisa dibedakan dari rinosinusitis, pencitraan pada
rinosinusitis bakteri akut telah membatasi kegunaan kecuali bila terdapat
komplikasi yang dicurigai. Di sisi lain, gejala rinosinusitis kronis tidak berkorelasi
dengan temuan (Anil,2008).
Oleh karena itu, CT scan dan endoskopi hidung diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Selain menyediakan visualisasi yang sangat baik,
penebalan mukosa, kadar cairan udara, dan struktur tulang, scan koronal
memberikan visualisasi yang optimal dari kompleks osteomeatal dan ini
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih jarang dilakukan dibandingkan CT scan terutama karena modalitas ini tidak melakukan pencitraan tulang dengan
baik. Namun, MRI biasanya dapat membedakan pertahanan lendir dari massa
jaringan lunak berdasarkan karakteristik intensitas sinyal, yang memiliki
penampilan yang sama pada CT scan. Oleh karena itu, MRI dapat membantu
dalam membedakan sebuah sinus yang dipenuhi dengan tumor dari sebagian yang
diisi dengan sekresi. MRI juga membantu modalitas yang diduga ekstensi orbital
atau intracranial ( Anil, 2008 ).
2.3.7 TERAPI Rinosinusitis Akut
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam).
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan
terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk
memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal (EP30S, 2007).
Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai
mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik
lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat atau ampisilin sulbaktam,
cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan
antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka
dilakukan rontgen-polos atau CT scan dan atau endoskopi nasal (EP30S, 2007).
Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis
yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus (EP30S, 2007).
Rinosinusitis Subakut
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan berupa
antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10
– 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada
sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (EP30S, 2007).
Rinosinusitis Kronis
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik
mencukupi 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai
pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur (EP30S, 2007).
Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak
ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi
(jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka
dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada
obstruksi maka evaluasi diagnosis. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan
irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan
pencucian Proetz (Mangunkusumo, 2007 ; EP30S, 2007).
2.3.8 Komplikasi
1.Orbital cellulitis and abscess
Kondisi ini menyulitkan kedua infeksi sinus ethmoid atau frontal. Sakit di sekitar
orbit diikuti oleh pembengkakan kelopak mata dan kemudian konjungtiva.
Gerakan bola mata yang semakin terbatas sampai mata tidak dapat bergerak.
Ketegangan pada saraf optik mengakibatkan kebutaan (Bernard, 1987).
Selain itu, ia juga akan menyebabkan pembentukan abses, dan
memerlukan drainase eksternal secara mendesak. Hal ini dapat diatasi dengan
melakukan insisi pada kuadran superomedial orbit di mana saluran ( tube ) akan
dimasukkan untuk mengeluarkan nanah yang terkumpul pada saat melakukan
2. Meningitis
Hal ini mungkin karena penjangkitan secara langsung tetapi dapat juga terjadi dari
penyebaran tromboflebitis. Prinsip-prinsip diagnosis dan pengobatan sama seperti
yang dijelaskan pada meningitis otitic. Infeksi tersebut sering terjadi pada bagian
frontal dan ethmoid di mana ia memerlukan terapi secara mendesak (Bernard,
1987).
3. Brain abscess
Abses biasanya terjadi karena infeksi sinus frontal kronis. Mungkin terjadi pada
bagian ekstradural atau dalam lobus frontal dan diikuti dengan erosi dinding
posterior sinus. Diagnosanya sulit diketahui, tetapi dapat diperiksa dengan
CT-scan. Scan tersebut dapat membantu dalam pemantauan abses. Kemungkinan
terjadinya abses sangat luas jika sakit kepala masih berlanjut setelah pengobatan
yang adekuat, atau karena terjadinya kelemahan dalam perkembangan memori,
perilaku dan kepribadian. Pengobatan terdiri dari aspirasi secara berulang melalui
eksplorasi burr-hole (Bernard, 1987).
4. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula
pada pipi (Soetjipto, 2007).
5. Cavernous Sinus Thrombosis
Dalam kasus ini, emboli septik mengalir posterior melalui sistem vena mata ke
sinus cavernous di mana ia mengakibatkan terjadinya infeksi, peradangan dan
akhirnya trombosis sinus. Gejala okularnya termasuk kemosis, respons pupil yang
lambat, oftalmoplegia dan juga kebutaan. Temuan ini sering bilateral. Pemberian
antibiotik secara intravena harus dilakukan cepat dan jika ada indikasi harus
melakukan drenase pada sinus yang terlibat. Antikoagulan berperan untuk
mencegah pembentukan trombus dan terapi steroid yang sistemik masih